BAB 1 PENDAHULUAN 1. PERMASALAHAN 1.1.
Latar Belakang Permasalahan
Konteks Global Dewasa Ini Masa sekarang ini akrab dikenal sebagai masa postmodern. Kalau kita artikan secara harfiah maka masa postmodern adalah masa setelah era modern. Namun yang umum dimengerti mengenai masa postmodernitas adalah suatu reaksi terhadap modernitas dan segala dampaknya. Ada yang memahami reaksi tersebut sebagai evaluasi, namun ada pula yang memaknainya sebagai perlawanan terhadap modernitas. Satu Hal yang pasti bahwa postmodern bukan berarti telah berlalunya modernitas. Justru sebaliknya, modernitas dan segala cirinya seperti : rasionalitas, kebebasan individu, demokrasi, pembangunan, globalisasi, superioritas negara Barat atas negara dunia ketiga dan sebagainya masih ada dan menjadi pilihan hidup hampir setiap orang di belahan bumi ini. Kembali ke hal postmodern, penulis akan mengutip defenisi yang dipakai oleh I. Bambang Sugiharto. Menurut Sugiharto, masa postmodern bisa diartikan sebagai ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi besar; penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala bentuk pikiran yang mentotalisasi seperti Hegelianisme, Liberalisme, Marxisme atau apapun. Di samping menolak pemikiran yang totaliter, postmodernisme juga menghaluskan kepekaan kita terhadap perbedaan dan memperkuat kemampuan toleransi kita terhadap kenyataan yang tak terukur1.
1
Sugiharto I. Bambang, Postmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1996, hal. 28.
1
Melengkapi defenisi di atas,
postmodern ditandai dengan gejala
postmodernitas. Menurut Daniel J. Adams2, gejala tersebut antara lain: pertama, penolakan terhadap superioritas dunia Barat atas budaya-budaya setempat di seluruh belahan dunia. Dengan kata lain, budaya Barat hanyalah salah satu jenis budaya di muka bumi ini yang sama dan sejajar dengan budaya lainnya. Kedua, dipertanyakannya seluruh konsep-konsep yang pada zaman modern memiliki otoritas yang tidak terbantahkan. Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’. Pada masa ini kata ‘pembangunan’ bukan lagi otomatis positif mengingat dampak negatif yang ditimbulkannya seperti kemiskinan dan kerusakan lingkungan hidup yang sangat parah3. Ketiga, masa postmodern juga ditandai dengan bebasnya budaya, agama dan seluruh sumber informasi dari kontrol kaum intelektual dan elit politik. Sehingga saat ini tidak ada lagi pengekangan-pengekangan seperti halnya orangtua tidak lagi mengekang anaknya, guru tidak mengekang muridnya atau bahkan pendeta tidak lagi mengekang jemaatnya. Keempat, masa postmodern ditandai dengan upaya dekonstruksi terhadap seluruh wacana. Saat ini tidak ada lagi kebenaran yang mutlak benar dan obyektif. Sebagai gantinya, seluruh wacana terbuka untuk ditafsirkan. Menurut Adams, keempat karakteristik di atas memunculkan empat konsekuensi pula pada bidang teologi yaitu : bergesernya epistemologi teologi dari dominasi deduktif menjadi induktif, di mana tiap konteks menjadi sangat berharga dan unik. Kedua, ditolaknya kebebasan mutlak manusia sebagai individu. Manusia harus dipahami sebagai bagian dari kelompok sosial yang lebih besar dan juga bagian 2
Adams Daniel J., Doing Theology In Postmodern Times, Hanil University Press, Korea, 2006, p. 1420 3 Selain kata ‘pembangunan’, Adams juga menyebutkan kata ‘rasio’ sebagai nilai yang tidak boleh dimutlakkan lagi. Menurut Adams, rasio bukan lagi satu-satunya nilai yang dipakai dalam mengambil suatu keputusan. Di samping rasio, unsur perasaan atau emosi seseorang harus turut berperan. Berdasarkan hal ini jugalah, Adams mengajak gereja-gereja reformed (yang menurutnya identik dengan modernitas) untuk tidak lagi mengutamakan rasio dalam memahami Alkitab dan sejarah, melainkan harus mulai mempertimbangkan unsur ikon dan menyeimbangkan keduanya. Dengan kata lain Adams hendak menekankan bahwa unsur rasio harus diseimbangkan dengan unsur spiritual. Band. Adams, Ibid, p. 67.
2
dari sistem budaya, ekonomi, agama dan sebagainya.
Ketiga, teologi lebih
menekankan pada praksis yang terkait dengan konteks daripada teori dan dogma. Keempat adalah munculnya penolakan yang sangat kuat terhadap dominasi pemikiran teologi Barat atas pemikiran teologi lokal. Dengan kata lain, teologi lokal yang sadar akan konteks dan berdialog dengan konteks diakui sebagai cara berteologi yang lebih tepat dan bijaksana4. Seluruh pemikiran ini sesungguhnya muncul sebagai tanggapan atas masalah modernitas yang berdampak buruk kepada manusia dan seluruh ciptaan. Modernitas yang merupakan produk pencerahan dunia Barat telah menjadikan manusia sebagai makhluk-makhluk individu yang bersaing untuk keuntungan pribadi tanpa peduli pada bencana yang diakibatkannya bagi dunia. Di Indonesia, dampak dari modernitas telah membawa negara ini pada titik kemiskinan yang sangat parah, kerusakan lingkungan hidup, konflik agama yang berkepanjangan dan
penderitaan yang
semakin berat terutama bagi kaum marginal5. Itulah sebabnya, Adams berpendapat bahwa dalam berteologi, terutama dalam konteks Asia, bukan lagi dogma yang paling penting melainkan tindakan etis. Sependapat dengan Adams, Emanuel Gerrit Singgih mengatakan bahwa tindakan etis yang dibutuhkan saat ini adalah tindakan etis yang didasari atas kesadaran global dan yang memberi penekanan pada sisi kemanusiaan (humaneness)6. Instansi-instansi keagamaanpun diharapkan memberikan perhatian yang besar terhadap sisi kemanusiaan ini di samping hal-hal yang bersifat ritus. Di sini dapat kita pahami bahwa kedua tokoh di atas berusaha menyadarkan para pemeluk agama di Asia agar
4
Ibid, p. 21-23 Singgih Emanuel Gerrit Pdt. Ph.D. Mengantisipasi Masa Depan, Berteologi Dalam Konteks di Awal Milenium III, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004, hal. 56-73 6 Singgih Emanuel Gerrit, Ibid hal. 17 5
3
berhenti untuk sekedar berwacana dan mulai melakukan tindakan kemanusiaan kepada korban-korban modernitas, terutama penderita kemiskinan yang sangat parah. Singgih mencontohkan bahwa di Indonesia, 450 anak kecil meninggal dunia setiap hari akibat menderita kelaparan. Apa tindakan orang Kristen Indonesia terhadap permasalahan ini? Bukankah tugas setiap orang Kristen, baik di zaman pramodern, modern dan postmodern adalah membuat kehadiran Allah benar-benar dapat dilihat (menjadi terang) dan dirasakan (menjadi garam) oleh orang-orang yang sedang mengalami penderitaan? Untuk itu, gereja harus mulai memikirkan makna keberadaannya dalam situasi yang demikian. Apakah gereja masih teguh pada pendirian bahwa tanda keberadaan gereja cukup pada 3 hal saja yaitu : adanya pemberitaan Firman, dilakukannya sakramen (baptisan kudus dan perjamuan kudus) dan diberlakukannya siasat gereja?7 Dalam bukunya, ‘Do we need the church?8’, Richard P. McBrien mengatakan bahwa gereja tidak bermakna apabila gereja memahami dirinya sebagai ‘Kerajaan Allah pada dirinya sendiri’ dan ‘keselamatan’ hanya didapat apabila seseorang menjadi anggota dari gereja tersebut. McBrien mengistilahkan cara bergereja seperti ini dengan istilah ‘Ptolemaic Church’ dan juga ‘Pre-Einstein Church’ yang memandang gereja sebagai pusat dari dunia ini. Sebaliknya, dia menyarankan agar gereja memahami dirinya sebagai ‘tanda’ dari kerajaan Allah (bukan kerajaan Allah itu sendiri). Sebagai tanda, para anggotanya harus berusaha menghadirkan dan memperkenalkan Allah kepada orang-orang di sekitar tanda tersebut. Dengan demikian, menjadi anggota gereja berarti harus ‘bekerja’. Bekerja dengan orang lain dalam 3 wujud aktifitas yaitu : diakonia, koinonia dan marturia. 7
The Book of Concord, The Confessions of the Evangelical Lutheran Church, Tappert G. Theodore (Ed), dalam bahasa Indonesia berjudul, Buku Konkord, Konfesi Gereja Lutheran, Jakarta, BPK. Gunung Mulia, 2004, hal. 40. 8 McBrien P. Richard, Do We Need The Church, London, Collin Clear-Type Press, 1969, p.228-230.
4
Khusus untuk konteks Indonesia, sebegitu parahnya kemiskinan yang melanda sehingga dari ketiga tugas panggilan gereja tersebut, maka diakonialah yang harus didahulukan. Gereja di Indonesia mutlak harus berdiakonia, bukan hanya kepada sesama anggota jemaat melainkan juga berdiakonia kepada orang lain yang bukan anggota jemaat. Gerrit Singgih bahkan menyimpulkan bahwa bermisi di Indonesia tidak lain adalah berdiakoni9. Sedangkan lebih jauh Banawiratma memperjelas bahwa untuk konteks Indonesia, tidak lagi cukup hanya melakukan diakonia secara karitatif dan reformatif, melainkan harus berjuang sampai pada taraf transformatif. Gereja harus memberdayakan masyarakat miskin untuk menyadari kemiskinannya dan berusaha keluar dari keadaan tersebut10. Dari penjelasan di atas kita memang mendapatkan kesan bahwa gereja di Indonesia lebih menekankan pada salah satu tri tugas panggilan gereja saja yaitu diakonia (pelayanan ke dalam dan keluar jemaat) dan melupakan dua tugas yang lain yaitu koinonia (persekutuan jemaat) dan marturia (kesaksian). Namun sesungguhnya bukanlah demikian.
Gereja tidak dapat menjalankan fungsi diakonia dan
meninggalkan koinonia dan marturia, sebab sesungguhnya diakonia tanpa koinonia dan marturia bukanlah diakonia yang Alkitabiah. Pelayanan harus selalu identik dengan persekutuan dan kesaksian. Melalui miskin
dikumandangkan
dan
melalui
kesaksian, pelayanan kepada orang
pelayanan,
persekutuan
diteguhkan.
Noordegraaf menyebutnya dengan istilah ‘persekutuan diakonal’ dan ‘diakonal sebagai kesaksian’.11
9
Singgih E. Gerrit, Doing Theology In Indonesia, Sketches For An Indonesian Contextual Theology, Philippines, ATESEA, 2003, p. 129 10 Banawiratma J.B., 10 Agenda Pastoral Transformatif Menuju Pemberdayaan Kaum Miskin Dengan Perspektif Adil Gender, HAM dan Lingkungan Hidup, Kanisius, Jogjakarta, 2002, hal. 15. 11 Noordegraaf A. Dr., Orientasi Diakonia Gereja, Teologi Dalam Perspektif Reformasi, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004, hal. 58-74.
5
Jelaslah bahwa dalam konteks Indonesia, permasalahan utama yang dihadapi oleh gereja adalah kemiskinan dan penderitaan yang cukup parah yang diakibatkan oleh ekonomi kapitalis. Hal ini diperburuk lagi dengan rusaknya lingkungan hidup akibat dari proyek-proyek pembangunan yang menguntungkan segelintir orang kaya saja. Dalam keadaan seperti ini, gereja sangat tidak etis apabila hanya memikirkan diri sendiri dan organisasinya. Gereja yang manusiawi adalah gereja yang memikirkan kualitas anggotanya lebih dari pada kuantitas anggotanya. Dengan demikian, konsep pembangunan jemaat dalam konteks Indonesia tidak terutama difokuskan pada koinonia. Untuk konteks Indonesia, fokus gereja adalah pada diakonia (di mana jemaat dimampukan untuk melayani dan mengatasi kemiskinan melalui koinonia dan marturianya). Setelah berbicara mengenai tugas gereja sebagai tanda kerajaan Allah melalui 3 tugas panggilannya, maka pembicaraan bergeser pada pertanyaan ‘bagaimana cara yang paling efektif dan efisien dalam mewujudkan 3 tugas panggilan tersebut? Menurut Gerald A. Arbuckle, gereja harus memiliki visi dan misi yang jelas tentang apa yang mau dituju dan dikerjakan. Dan yang paling penting, visi dan misi itu harus terus-menerus dikomunikasikan kepada seluruh anggota agar benar-benar menyatu dengan kehidupan mereka. Dengan demikian, Arbuckle sampai pada kesimpulan, gereja sebagai sebuah ‘persekutuan besar’ tidak akan bisa efektif dan efisien mengkomunikasikan visi dan misi kepada angotanya. Gereja harus dipecah menjadi kelompok-kelompok kecil agar proses pengkomunikasian visi dan misi dapat berjalan dengan lancar12. Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa harus ada pengkomunikasian visi dan misi? Mungkin anggota-anggota gereja di Indonesia juga akan sedikit heran 12
Arbuckle A. Gerald, Refounding The Church, Dissent for leadership, London, Geoffrey Chapman, 1993, p. 101-102.
6
dengan hal ini sebab sebahagian besar anggota gereja di Indonesia sesungguhnya tidak tahu apa visi dan misi gerejanya dan merasa tidak perlu tahu. Mungkin mereka mengira bahwa urusan visi dan misi adalah urusan para pejabat ataupun pelayan tahbisan di gereja. Dengan demikian mereka juga mungkin mengira bahwa urusan pelayanan juga adalah urusan para pengurus di gereja. Tugas mereka sebagai jemaat yang baik adalah hanya akan mengikuti secara sambil lalu saja program-program pelayanan yang sudah mereka rencanakan. Pandangan inilah yang mau ditentang oleh Arbuckle. Dia mengatakan bahwa tugas pelayanan harus diambil alih oleh seluruh anggota jemaat. Beliau mengutip cerita Alkitab mengenai Musa yang merasa putus asa dengan orang Israel. Kemudian mertuanya, Jethro menasehatinya dengan berkata bahwa Musa hanya akan kelelahan dengan pekerjaan berat yang dia tanggung. Bukan hanya Musa yang kelelahan, melainkan umat Israel yang bersama dengan dia juga akan kelelahan (Kel. 18:18). Jethro kemudian menyarankan Musa untuk tidak bekerja sendiri dan mencoba mengangkat orang-orang yang akan membantunya bekerja. Dengan demikian, Arbuckle menekankan bahwa pekerjaan pelayanan bukan lagi milik satu dua orang saja. Sebab jemaat justru akan merasa kelelahan bila hanya mengikuti pelayan mereka yang kelelahan karena bekerja sendiri. Agar jemaat juga merasa bahagia, mereka harus dilibatkan untuk melakukan diakonia. Tugas pejabat gereja adalah memampukan jemaat untuk itu. Sehingga tugas pelayanan pejabat gereja pada masa global ini tidak lagi hanya mengawasi dan menggembalakan, melainkan yang lebih utama adalah memimpin dengan kepemimpinan (leadership) yang tepat (memiliki visi dan misi, strategi dan kemampuan yang sesuai dengan tugasnya)13.
13
Arbuckle A. Gerald, Op. Cit, p. 101-104
7
Penyusun beranggapan, mungkin ini jugalah ide dasar yang mengawali tindakan-tindakan pembentukan kelompok-kelompok kecil oleh gereja di berbagai belahan bumi ini. Kita tahu bahwa di Brazil muncul komunitas-komunitas basis yang akrab disebut dengan Basic Christian Communities (BCC). Sedangkan di Afrika bermunculan komunitas yang disebut Small Christian Communities (SCC). Dalam konteks Asia dan juga Indonesia juga muncul seruan-seruan untuk menghidupkan komunitas-komunitas kecil ini. Tentunya dengan kesadaran akan konteks Asia dan Indonesia, komunitas itu tidak sepenuhnya sama dengan yang ada di Afrika dan di Amerika Latin. Banawiratma misalnya mengusulkan 3 jenis komunitas basis yang harus dilakoni oleh warga gereja di Indonesia yaitu : komunitas basis gerejawi (dari dan di dalam gereja tertentu), komunitas basis Kristiani yang ekumenis yang berdasarkan Kristus dan komunitas basis antar-iman. Hal ini terutama didasari oleh kesadaran bahwa orang-orang Kristen di Indonesia merupakan golongan minoritas dan dengan demikian harus berinteraksi dengan umat beragama lain dalam upaya menjawab masalah-masalah sosialnya.14 Gerrit Singgih juga mengusulkan dibentuknya komunitas yang setara dengan BCC dan SCC di Asia. Usulan beliau hampir senada dengan usulan Banawiratma yang memperhatikan konteks pluralitas beragama. Singgih mengatakan bahwa orang-orang Kristen di Asia Tenggara harus bekerja sama dengan saudara-saudara dari agama yang berbeda untuk membangun Komunitas Basis Manusiawi atau Basic Human Communities (BHC)15.
14 15
Banawiratma, 2002, Op Cit, hal. 11 Singgih E. Gerrit, 2003, Op. Cit, p. 133.
8
HKBP Sebagai Bagian Dari Konteks HKBP (Huria Kristen Batak Protestan, selanjutnya peny. akan memakai singkatan untuk menyebut gereja ini) sebagai salah satu gereja arus utama di Indonesia, sudah sejak awalnya memiliki kelompok-kelompok kecil yang menjadi basis terkecil dari gereja. Kelompok kecil tersebut sering dinamakan wijk atau kring16. Wijk dalam konteks HKBP adalah bagian terkecil dari persekutuan jemaat yang terdiri dari beberapa keluarga yang dikelompokkan berdasarkan teritorial tempat tinggal mereka. Sehingga wijk adalah persekutuan beberapa keluarga HKBP dalam satu teritorial tertentu yang dipimpin oleh satu atau lebih sintua. Sehingga pelayanan sintua di HKBP sesungguhnya lebih terkait pada pelayanan di wijk daripada pelayanan administrasi dan pelayanan altar di gereja. Apabila dikaitkan dengan penjelasan atas konteks global dan konteks Indonesia di atas, maka wijklah yang akan menjadi tulang punggung HKBP dalam upaya menghadirkan kerajaan Allah di dunia ini sebab wijklah yang memenuhi syarat sebagai kelompok yang paling efisien dan efektif untuk tujuan tersebut17. Dengan demikian, seorang sintua di HKBP memiliki tugas tambahan tetapi sangat urgen yaitu tugas kepemimpinan. Sintua HKBP dituntut untuk memampukan jemaatnya (yang terdiri dari beberapa KK) untuk melakukan diakonia. Seorang sintua yang 16
HKBP adalah gereja yang berpusat di Pearaja, Tarutung yang mayoritas pemeluknya adalah suku Batak Toba. Wilayah pelayanan terbesar HKBP adalah sinode HKBP itu sendiri yang terdiri dari sekitar 27 distrik. Sedangkan berturut-turut kemudian ke yang paling kecil adalah distrik yang diketuai oleh praeses. Distrik terdiri dari beberapa resort yang diketuai oleh pendeta resort. Resort terdiri dari beberapa jemaat lokal yang dipimpin oleh seorang pendeta atau guru jemaat. Sedangkan jemaat lokal terdiri dari beberapa wijk (gabungan dari beberapa rumahtangga di satu teritori yang relatif kecil di mana seluruh anggotanya dimungkinkan untuk saling mengenal dan saling mengunjungi) yang dipimpin oleh satu atau lebih sintua. 17 Menurut A. Margana, ada beberapa kondisi yang membuat komunitas basis menjadi sangat kondusif. Kondisi tersebut adalah persekutuan umat yang relatif kecil, saling mengenal, tinggal berdekatan atau memiliki kepentingan bersama dan secara berkala mengadakan pertemuan untuk berdoa, membaca dan mengadakan sharing Alkitab. Band. Margana A., Komunitas Basis, Gerak Menggereja Kontekstual, Jogjakarta, Kanisius, 2004, hal. 12. Kondisi ini sangat pas dengan konsep wijk yang ada di HKBP. Mungkin hanya satu kondisi yang penyusun ragukan ada di wijk yaitu kesadaran anggota tentang kepentingan bersama atau kesadaran tentang hakekat keberadaan mereka sebagai satu wijk.
9
notabenenya adalah pelayan dari kaum awam ternyata memiliki tugas yang sangat berat sekaligus mulia yaitu : tugas kepemimpinan. Apakah sintua di HKBP menyadari dan melaksanakannya? Inilah keprihatinan yang akan penyusun jadikan sebagai bahasan dalam tulisan ini. Secara detail tugas sintua yang ada di tata ibadah pengangkatan mereka yang dibacakan saat menahbiskan sintua adalah : 1. Mengamat-amati anggota jemaat yang dipercayakan kepada mereka dan meneliti perilakunya. Apabila mengetahui seseorang tidak berperangai yang baik, dia harus ditegor dan diberitahukan kepada pendeta untuk dinasehati. 2. Mengajak anggota jemaat untuk datang beribadah dan meneliti alasan-alasan orang-orang yang tidak mengikutinya. 3. Mengajak para anak remaja untuk rajin bersekolah. 4. Mengunjungi
orang
sakit
dan
memberi
bantuan
sesuai
dengan
kemampuannya, namun yang terpenting adalah mengingatkan mereka akan Firman Allah dan mendoakannya. 5. Menghibur orang yang berdukacita, merawat orang yang susah dan orang miskin. 6. Membimbing penyembah berhala, orang sesat, supaya turut serta memperoleh hidup dalam Yesus Kristus. 7. Membantu pengumpulan dana dan tugas pelayanan Kerajaan Allah. 8. Sebagai imam dalam ibadah minggu dan ibadah persekutuan rumahtangga di HKBP. 9. Sebagai pengambil keputusan di tingkat jemaat bersama dengan para pelayan tahbisan lainnya18.
18
Berdasarkan Tata Ibadah HKBP untuk penahbisan Sintua.
10
Dari tugas di atas, kita tidak melihat fungsi kepemimpinan dalam tugas sintua (yaitu memampukan jemaat untuk berdiakonia). Tugas tersebut diwarnai oleh tugastugas yang bersifat pengawasan dan penggembalaan. Padahal di sisi lain, dengan tugas yang demikian sajapun seorang sintua di HKBP sudah sangat berat. Walaupun sintua bukan pelayan fulltime, namun kualitas tugas yang diemban oleh seorang sintua menuntut mereka untuk bekerja seperti halnya seorang pelayan fulltime. Di zaman sekarang ini, di mana pengaruh modernitas begitu kuatnya melanda setiap individu terutama di daerah perkotaan, sangat jarang seseorang memiliki waktu untuk melakukan tugas-tugas pelayanan yang tentunya tidak mendatangkan keuntungan material. Secara khusus pada diri seorang sintua Batak yang nilai hidup ke-Batak-an nya sangat dekat dengan budaya modernitas, maka seakan-akan ada dua nilai yang bertentangan yang tidak mungkin didamaikan yang berpotensi menghambat pelayanannya. Untuk itu penyusun akan membahas sekilas tentang nilai hidup orang Batak.
Penjelasan Singkat Mengenai Nilai Hidup Orang Batak Toba. Bebicara tentang orang Batak tidak pernah lepas dari dua hal, yaitu : adat dan agamanya. Mayoritas orang Batak Toba identik sebagai penganut dan pelaksana adat Batak yang kuat tetapi juga sekaligus sebagai penganut agama Kristen yang taat. Dalam pembahasannya mengenai teori Richard Niebuhr (Christ and Culture), Gerrit Singgih mengkategorikan HKBP (sebagai gereja yang anggotanya adalah orang Batak Toba) sebagai gereja yang dualistik. Artinya, orang Kristen Batak adalah warga masyarakat sekaligus warga kerajaan Allah. Tetapi di antara kerajaan Allah dan masyarakat tidak ada sangkutpaut apapun. Menurut Gerrit lagi, nilai-nilai yang berhubungan dengan wilayah-wilayah ini masing-masing tidak pernah dapat
11
dibayangkan berhubungan satu dengan yang lain19. Untuk itu, dalam pembahasan mengenai sintua sangat penting bagi kita untuk melihat nilai adat yang hidup dalam diri para sintua di HKBP. Nilai hidup orang Batak yang paling menonjol ada tiga yaitu : Hagabeon (memiliki anak laki-laki dan perempuan dan memiliki cucu dari anak laki-laki dan perempuan), Hamoraon (kaya raya) dan Hasangapon (kekuasaan)20.
Ketiga nilai
inilah yang menjadi tujuan hidup setiap orang Batak. Ketiganya dianggap sebagai yang bernilai, luhur, berharga dan mulia sehingga pantas untuk diperjuangkan dan digapai. Itu sebabnya ketiga nilai ini sudah sangat berakar dalam diri setiap orang Batak, baik yang masih tinggal di kampung halaman maupun bagi mereka yang sudah hidup di perantauan. Menurut Pdt. Dr. Andar Lumbantobing, pada prinsipnya ketiga nilai hidup ini memiliki tujuan yang sangat positif yaitu untuk kepentingan hidup bersosialisasi. Orang Batak adalah suku yang suka besosialisasi karena orang Batak percaya mereka berasal dari satu nenek moyang yaitu : Si Raja Batak21. Oleh sebab itu orang Batak sangat suka menerima tamu karena tamu adalah saudara dan tamu yang banyak akan menaikkan sahala22 orang Batak. Gelar yang diberikan kepada orang yang suka menerima tamu adalah paramak na so balunon (orang yang tikarnya tidak pernah digulung karena selalu menerima tamu) dan partataring na so mahiang (orang yang
19
Singgih, Emanuel Gerrit Pdt. Ph.D., Membangun Sebuah Teologi Budaya Pasca Niebuhr Di Dalam Era Reformasi, dalam Jurnal Teologi Gema Duta Wacana, Edisi 54 tahun 1998, hal. 42-43 20 Harahap, Basyral H. dan Siahaan, Hotman, Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak Toba, Suatu Pendekatan Terhadap Perilaku Batak Toba dan Mandailing, Sanggar Willem Iskandar, Jakarta, 1987, hal. 181 21 Lumbantobing, Andar Pdt. Dr., Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996, hal. 29 22 Menurut Lance Castles, sahala adalah kualitas tertentu dari tondi (jiwa) seseorang. Lihat: Castles, Lance Tapanuli, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera (1915-1940), Kepustakaan Populer Gramedia, 2001, hal. 10. Andar Lumbantobing memberikan contoh konkret dari sahala. Menurut beliau sahala mencakup : kewibawaan, kekayaan harta bendadan keturunan, keberanian, kegagahan, kecerdasan, kecerdikan, kemahiran berbicara, keluhuran budi, rasa keadilan, kesaktian dalam ilmu gaib, wawasan yang luas dan lain sebagainya. Lih. Andar Lumbantobing, Op Cit, hal. 21
12
periuknya tidak pernah kering karena selalu dipakai memasak untuk tamu)23. Setiap orang Batak sangat senang menerima gelar tersebut. Namun dalam pandangan Bungaran Anthonius Simanjuntak, tidak semua nilai ideal berlaku sejalan dengan apa yang dipraktekkan di kenyataan. Mengutip pandangan Ogburn (1950) tentang teori Cultural lag, Simanjuntak menjelaskan bahwa secara ideal nilai-nilai yang terkandung di dalam kebudayaan tampak indah mengesankan
dan
mengandung
pengharapan.
Namun
dalam
pengoperasionalisasiannya, ada kesan bahwa pendukung kebudayaan kurang dan tidak setia pada nilai luhur tersebut. Kesetiaan hanya terungkap pada pengakuan oral, tetapi dalam perwujudannya cenderung terjadi pengingkaran, sehingga terjadi perbedaan antara perbuatan dan keinginan, kenyataan dan idealisme (das Sein dan das Sollen)24. Dalam penelitiannya tentang praktek adat Batak dalam kehidupan orang Batak Toba sehari-hari, Simanjuntak berpendapat bahwa telah terjadi pergeseran pelaksanaan nilai hidup (hamoraon, hagabeon dan hasangapon) dari yang positif tradisional berubah ke arah modern. Nilai hidup tersebut tetap diperjuangkan (dan kecenderungannya semakin kuat diperjuangkan) tetapi tujuannya adalah untuk kepentingan individu. Hal ini dibuktikan oleh Simanjuntak dengan menunjukkan sifat tradisional yang sesungguhnya sangat menonjol dalam diri orang Batak bahkan sebelum datangnya agama Kristen yaitu : late (cemburu), elat (dengki). Sifat late dan elat diejawantahkan ke dalam bentuk toal (suka bersaing) dan teal (suka pamer). Bahkan, menurut Simanjuntak, orang Batak telah terbiasa menjalani ketegangan antara status dan role (peranan) dalam diri mereka. Dari segi status, orang
23
Andar Lumbantobing, Op Cit hal. 29. Simanjuntak, B. Anthonius, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, Yogyakarta, Jendela, 2002, hal. 157. 24
13
Batak dikenal sebagai orang Kristen dan orang Batak yang berjiwa sosial, namun peranan yang sesungguhnya dimainkan adalah orang Batak yang memuja kekayaan dan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri25. Ketegangan ini semakin menjadi-jadi akibat pengaruh modernisasi. Kesan yang penyusun dapatkan setelah membaca kesimpulan Simanjuntak adalah, orang Batak di HKBP tidak lagi bersifat dualistik seperti yang diperkirakan Gerrit di awal tadi. Penyusun berpendapat bahwa HKBP jadi cenderung bersikap sintetik (seperti halnya orang Katolik). Namun kebalikan dari penjelasan Gerrit, dalam HKBP bukan iman yang mengatasi adat tetapi adat yang mengatasi iman. Iman akan dijalankan sepanjang hal itu tidak menghambat pada usaha mencapai kekayaan dan kekuasaan. Kesimpulan
sementara
ini
penyusun
ambil
berdasarkan
penelitian
Simanjuntak tentang pengaruh hamoraon, hasangapon dan hagabeon dalam praktek bergereja di HKBP yang sarat dengan warna teal, elat, toal dan late. Nilai hidup tersebut telah berperan kuat dalam melahirkan konflik-konflik dan perpecahanperpecahan yang terjadi di HKBP selama ini26. Sehubungan dengan nilai hamoraon, para pelayan di HKBP telah cenderung lebih mengutamakan unsur kekayaan daripada unsur pelayanan. Dan dalam hubungannya dengan hasangapon, pelayanan di HKBP (dari mulai tingkat paling atas sampai pada sintua) lebih dipahami sebagai jabatan daripada fungsi pelayanan. Dari penjelasan di atas, maka tidak heran apabila muncul kesan terhadap para pelayan di HKBP yang cenderung bersifat sebagai penguasa daripada pelayan dan cenderung mengekang daripada mengarahkan/menggairahkan jemaat. Apabila berhubungan dengan jabatan (juga dalam pelayanan) di gereja, para pelayan bisa 25 26
Simanjuntak, B.A. Op Cit hal. 158 Simanjuntak, B.A. Ibid hal. 429-438
14
menjadi sangat tradisional dalam arti kaku terhadap gagasan-gagasan baru dan lebih suka mempertahankan nilai-nilai lama demi menegaskan kekuasaannya27.
1.2.
Rumusan Permasalahan. Dari pembahasan di atas jelaslah bahwa di dalam diri tiap orang Batak ada
ketidaksinkronan yang cenderung mengarah ke pertentangan antara nilai budaya Batak (hamoraon, hasangapon dan hagabeon) yang begitu kuat dipengaruhi oleh elat, late, teal dan toal dengan nilai keKristenan yang dituntut pada zaman postmodernitas ini yaitu menjadi orang Kristen yang peka dengan kemiskinan dan aktif melakukan pelayanan kepada orang miskin. Ketidaksinkronan ini menjadi semakin hebat terjadi dalam diri pelayan HKBP yang dituntut untuk menjadi orang pertama yang mampu menjalankan tugas keKristenan tersebut dan juga bersedia memampukan orang lain untuk melakukannya. Dengan demikian, fokus permasalahan dalam tulisan ini melihat bagaimana kepemimpinan dan pelayanan sintua HKBP yang notabenenya bukan pelayan fulltime menjalankan tugas kepemimpinan dan kepelayanan tersebut di tengah jemaat. Dalam kepemimpinan dan pelayanan sintua HKBP terletak masa depan dari visi dan misi HKBP. Pertanyaan yang ingin dicari jawabannya oleh penulis adalah tugas pelayanan apakah yang sekarang harus menjadi prioritas sintua HKBP di Jakarta? Apakah tetap tugas tradisional yaitu tugas pengawasan dan penggembalaan ataukah justru harus bergeser
kepada
tugas
kepemimpinan?
Bagaimana
keterkaitan
tugas-tugas
pengawasan, penggembalaan dan kepemimpinan dalam pelayanan sintua di HKBP? Apakah dimungkinkan seorang pelayan awam untuk mengemban tugasnya sebagai 27
Hutauruk, J.R. Pdt. Dr., Huria Kristen Batak Protestan dan Tahun 2002 Sebagai Tahun Rancangan Damai Sejahtera Tuhan, Kantor Pusat HKBP Pearaja, Tarutung, 2002, hal. 6-7
15
gembala dan pemimpin sekaligus? Untuk itu, seluruh masalah ini akan disatukan dalam satu pertanyaan penelitian yaitu:
Peran28 apakah yang kontekstual untuk dijalankan oleh sintua HKBP selaku pelayan Batak-Kristen di kota Jakarta pada masa postmodern ini?
1.3.
Batasan Permasalahan. Walaupun berangkat dari pandangan Jan Hendriks tentang teori 5 faktor yang
saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, namun penyusun membatasi pembahasan tesis ini hanya kepada faktor kepemimpinan saja. Tentu dalam beberapa hal yang memang perlu, penulis akan melakukan pembahasan atas faktor kepemimpinan ini dalam hubungannya dengan keempat faktor yang lain. Teori kepemimpinan dari Jan Hendriks juga akan didiskusikan dengan teori-teori kepemimpinan dari teolog-teolog di Indonesia terutama E.Gerrit Singgih dan juga dengan sifat kepemimpinan dari budaya Batak Toba untuk menjadikan teori Jan Hendriks yang berlatar Eropa menjadi lebih membumi di Indonesia ini, terutama dalam konteks Batak. Perbandingan antar teori kepemimpinan ini juga akan didialogkan dengan konteks global dan lokal yang dihadapi oleh masyarakat di kota Jakarta. Dengan demikian, bahasan ini diharapkan mampu menemukan bentuk kepemimpinan dari sintua yang pas untuk konteks HKBP di Jakarta saat ini.
28
Pdt. Prof. Dr. F.H.Sianipar, selaku mantan sekjend HKBP di era awal 80 an menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan sintua di HKBP adalah apa yang diartikan oleh kata presbuteros/oi dalam tradisi gereja mula-mula. Band. Sianipar F.H. Tohonan Sintua, Pematang Siantar, Yayasan STT HKBP, 1996, hal. 11. Sedangkan apabila kita meneliti makna atau peran dari presbuteros/oi dalam sejarah gereja mula-mula, kita tidak akan menemukan satu peran yang pasti. Bornkamm dalam The Dictionary Of The New Testament (TDNT) menyebutkan beberapa peran dari presbuteros/oi yaitu : sebagai kelompok pengawas pelaksana tradisi (seperti halnya kelompok saduki) dalam tradisi jemaat di Yerusalem dan sekitarnya. Di samping itu dalam tradisi jemaat Paulus, kata ini bisa mengacu kepada peran pengawas sekaligus gembala dan juga guru. Sedangkan pada tradisi kitab pastoral, kata ini bisa mengacu kepada peran gembala dan juga pemimpin. Lih. Bornkamm, TDNT, Kittel G. (ed), Michigan, Grand Rapids, p. 651-683.
16
2. Dasar Teori Seperti sudah disebutkan dalam latar permasalahan di atas bahwa dunia sekarang
sering
disebut
dengan
dunia
yang
global.
Istilah
globalisasi
mengindikasikan bahwa dunia bukan lagi berupa tempat-tempat terpisah yang bersifat partikular dan tidak kait-mengkait satu sama lain. Sebaliknya, dunia saat ini sudah bersifat universal dalam arti hal-hal yang terjadi di satu tempat bisa dengan cepat berpengaruh ke tempat lainnya dan nilai-nilai yang berasal dari tempat tertentu akan dapat dengan mudah dijalankan oleh orang di tempat lain yang jauh sekali jaraknya. Namun di sisi lain, globalisasi bukan berarti hilangnya nilai-nilai asli yang melekat di satu komunitas tertentu (walaupun kecenderungan ini ada). Sebaliknya menurut Gerrit Singgih, secara dialektis globalisasi adalah kontekstualisasi. Itu sebabnya, universalitas boleh saja terjadi tetapi universalitas tersebut idealnya harus dibentuk melalui partikularitas29. Hal ini mengakibatkan universalitas bukanlah menjadikan dunia homogen tetapi justru heterogen. Dengan demikian, Singgih mengusulkan dua hal penting
dalam era globalisasi yaitu : (1) selalu mencoba
melihat secara kritis asumsi-asumsi baru yang diterima dan (2) dalam upaya membangun komunitas kita harus memaknai kembali apa arti menjadi komunitas dalam sebuah budaya yang berbeda serta heterogen. Meminjam istilah Sindhunata, dengan demikian globalisasi juga berarti glokalisasi.30 Dalam hal ini, perlu digarisbawahi istilah dialektis atau dialogis. Pada bagian pendahuluan dalam buku Heitink31, Heselaars Hartono S.J. menjelaskan bahwa kontekstualisasi adalah upaya menghayati iman akan kabar baik mengenai Yesus Kristus dalam tata budaya atau situasi lingkungan yang konkret. Hubungan antara 29
Singgih, Emanuel Gerrit, 2004, Op Cit, hal. 417. Sindhunata, “Dilema Globalisasi” dalam Majalah Basis No. 01-02, Tahun ke-52, Januari – Februari 2003, hal. 8 31 Heitink, Gerben Dr., Teologi Praktis, Pastoral Dalam Era Modernitas-Postmodernitas, Kanisius, Yogyakarta, 1999, hal. 18-19. 30
17
keduanya adalah dialog. Tetapi berdasarkan penjelasan Singgih di atas, dialog tidak hanya terjadi antara Iman dan Budaya. Dialog juga terjadi di dalam budaya itu sendiri yaitu antara nilai modernitas dan nilai tradisional budaya. Sehingga upaya kontekstualisasi harus melibatkan dialog yang kreatif antara nilai Alkitab, nilai modernitas dan nilai budaya tradisional. Dengan demikian, terkait dengan pembahasan mengenai kepemimpinan dan pelayanan sintua di HKBP penyusun akan tetap melihat model kepemimpinan ideal menurut Jan Hendriks. Namun penulis sadar bahwa model kepemimpinan Hendriks ini harus didialogkan dengan model kepemimpinan ideal menurut nilai keKristenan dan model kepemimpinan ideal menurut adat Batak Toba.
Kepemimpinan Yang Menggairahkan32 Kata kunci dalam pembahasan Jan Hendriks mengenai jemaat yang vital dan menarik adalah ‘jemaat yang pastisipatif’. Hendriks memahami sebuah jemaat sebagai kumpulan subyek-subyek yang satu dengan lainnya memiliki posisi yang sejajar. Dengan demikian, komunikasi yang terjalin di antara mereka adalah komunikasi yang sejajar pula. Setiap orang diharapkan mau melakukan tugas dengan senang hati sesuai dengan potensi masing-masing. Sedangkan gereja akan menjadi fasilitator bagi tiap subyek untuk mengaktualisasikan diri dan potensinya. Terhadap jemaat yang demikian, Hendriks berpendapat bahwa model kepemimpinan yang baik adalah model kepemimpinan yang mendelegasikan. Kepemimpinan sebagai pelayan berarti membagi-bagikan kuasa terutama lewat
32
Hendriks Jan, Jemaat Vital dan Menarik, Membangun Jemaat Dengan Menggunakan Metode Lima Faktor, Yogyakarta, Kanisius, 2002, hal. 66-91.
18
delegasi tugas dan kewenangan untuk menjalankan tugas tersebut33. Itu sebabnya, fungsi kepemimpinan yang partisipatif diwujudkan dalam empat hal yaitu : 1. Memberikan dukungan artinya pimpinan selalu menganggap bahwa seluruh anggotanya penting dan pemimpin harus peka terhadap pendapat, pandangan dan problem mereka. 2. Memberikan bantuan. Dalam upaya mendukung partisipasi anggotanya maka pemimpin harus siap untuk membantu terutama yang terkait dengan informasi-informasi. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu memberikan informasi yang dibutuhkan anggotanya. Dalam hal ini, penting sekali kompetensi pemimpin sehingga seorang pemimpin yang baik tidak hanya ingin memberikan dukungan namun juga mampu untuk membantu. 3. Menekankan pentingnya tujuan-tujuan. Pemimpin harus selalu mengingatkan anggotanya terhadap visi dan misi organisasi secara keseluruhan dan menaruh tuntutan tinggi kepada dirinya sendiri dan kepada anggota bahwa mereka mampu mencapai visi dan misi tersebut. 4. Meningkatkan kerjasama antara pemimpin dan anggota serta antara anggota dengan anggota. Sehingga stimulasi yang terbentuk adalah bersama-sama mencari jawaban atas permasalahan bersama dan saling menolong dalam upaya pencarian tersebut. Untuk menjalankan fungsi kepemimpinan tersebut, Hendriks menawarkan gaya ‘kepemimpinan yang melayani’. Gaya kepemimpinan yang melayani berbanding terbalik dengan gaya kepemimpinan yang otoriter. Sedangkan yang cocok dengan kepemimpinan yang melayani adalah kepemimpinan yang kooperatif. Dalam kepemimpinan otoriter diasumsikan bahwa status kepemimpinan merupakan jabatan.
33
Hendriks Jan, Op Cit, hal. 69
19
Dengan demikian, kepemimpinan otoriter sangat identik dengan jarak dan susunan hierarkis. Bagi kepemimpinan yang kooperatif justru rundingan bersama yang diutamakan sehingga kepemimpinan ini identik dengan kedekatan dan susunan yang datar. Hendriks menambahkan bahwa gaya kepemimpinan di gereja harus menyeimbangkan antara relasi dan usaha. Kepemimpinan yang memperhitungkan usaha tanpa memperhatikan relasi mudah menghasilkan proses konflik yang destruktif. Sebaliknya perhatian bagi relasi tanpa melibatkan usaha menghasilkan kegiatan dan pertemuan yang kurang inspiratif dan akhirnya membosankan. Akhirnya, Hendriks mengingatkan bahwa tugas pimpinan di gereja bukan hanya masalah administrasi (government). Mengacu kepada Yeh. 34:3-4, pemimpin gereja memiliki tugas untuk menggembalakan domba-domba, menguatkan yang lemah, mengobati yang sakit, membalut yang terluka, membawa pulang yang tersesat dan mencari yang terhilang.
3. Pemilihan Judul 3.1 Rumusan Judul Pembahasan terhadap masalah yang sudah dijabarkan di atas akan dilakukan di bawah sebuah judul :
KEPEMIMPINAN SINTUA DI HKBP PADA MASA POSTMODERNITAS (Suatu tinjauan pembangunan jemaat terhadap kepemimpinan sintua HKBP di Jakarta)
20
3.2. Alasan Pemilihan Judul Sebagaimana telah disebutkan di atas, sintua di HKBP adalah pelayan tahbisan di jemat lokal HKBP yang diangkat dari antara jemaat dan mereka bukanlah pelayan fulltime. Sintua adalah wakil pendeta untuk membimbing dan mengawasi jemaat-jemat HKBP yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Namun selain pembimbing dan pengawas, sintua juga merupakan pengambil keputusan dalam organisasi gereja lokal HKBP. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sintua adalah perwakilan jemaat dalam menyampaikan usulan-usulan mereka terhadap gereja secara keseluruhan. Sehingga seorang sintua sebenarnya adalah seorang pemimpin dari jemaat-jemaat yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Sebagai pemimpin Batak dan Kristen, seorang sintua diharapkan dapat mempraktekkan nilai-nilai ideal dari kedua unsur tersebut dalam pelayanannya. Namun terutama akibat pengaruh modernitas, sebagaimana orang Batak pada umumnya, sintua HKBP diasumsikan tidak mampu mempraktekkan nilai ideal Batak dan Kristen tersebut dalam kepemimpinannya. Justru kecenderungan yang terjadi adalah mereka juga terpengaruh untuk menjadikan tahbisan sintua sebagai jabatan dan alat kekuasaan untuk bersikap otoriter. Dengan demikian, seorang sintua HKBP terjebak dalam dua kondisi dalam dirinya yaitu keinginan untuk berkuasa dan tuntutan untuk melayani. Itu sebabnya, pembahasan dalam tesis ini akan difokuskan untuk melihat kinerja sintua HKBP yang berada di antara dua tuntutan yang berbeda yaitu tuntutan untuk berkuasa dan tuntutan untuk melayani. Dengan demikian penyusun menganggap judul di atas tepat untuk mengakomodir permasalahan dan pembahasan dalam tesis ini.
21
4 Metode Penelitian. Metode yang dipakai dalam penelitian mencakup : Penelitian Literatur Penelitian literatur akan dilakukan untuk mendapatkan teori-teori yang diperlukan terkait dengan topik Pembangunan Jemaat, baik itu teori pembangunan jemaat itu sendiri, konteks sosial jemaat HKBP perkotaan, budaya HKBP, konteks sosial Indonesia dan sebagainya. Penelitian literatur juga dipakai untuk memudahkan menjalankan penelitian lapangan dan proses penafsiran atas hasil-hasil penelitian lapangan tersebut. Penelitian Lapangan. Penelitian lapangan akan dilakukan dengan melakukan wawancara (model penelitian kualitatif) dan juga penyebaran angket (model penelitian kuantitatif). Penelitian kualitatif berupa wawancara akan dilakukan terhadap para sintua sendiri dan anggota jemaat yang ada di jemaat tempat penyusun meneliti. Tentunya jenis pertanyaan untuk sintua akan berbeda dengan pertanyaan yang penyusun ajukan kepada jemaat. Dalam menentukan sintua yang diwawancarai, penyusun akan menggunakan sistem acak. Sedangkan responden yang dipilih untuk pengisian angket akan mencakup seluruh kategori jemaat baik umur (orangtua dan pemuda), jenis kelamin (perempuan dan laki-laki), partisipasi (aktif dan tidak aktif), jabatan (pengurus dan non pengurus) dan juga sebisa mungkin ekonomi (kaya dan miskin). Hal ini bertujuan untuk mendapatkan pemetaan masalah yang konprehensif tentang pelayanan sintua di jemaat tersebut.
22
Pengolahan Data Data-data dari penelitian kuantitatif akan penyusun olah dengan memakai program SPSS (statistical Product and Service Solutions) versi 13 dan program excel34. Analisa Data Data-data dari penelitian kuantitatif akan penyusun analisis berdasarkan teori Jan Hendriks35 yaitu dengan memakai metode survey guided development di mana akan dihitung selisih kondisi kenyataan dan harapan yang diinginkan oleh responden terhadap satu rumusan pertanyaan tertentu. Sedangkan kriteria-kriteria jawaban responden akan penyusun urutkan dari kategori yang paling lemah, netral dan sampai yang paling kuat dengan pilihan jawaban kuesioner antara 0 sampai dengan 5. Sedangkan
untuk
data-data
kualitatif,
penyusun
akan
mengolahnya
berdasarkan kategori-kategori yang berasal dari perspektif penyusun sendiri berdasarkan pemahaman penyusun atas teori-teori kepemimpinan yang penyusun pakai dalam tesis ini dan juga berdasarkan pembagian tugas sintua yang ada dalam dokumen HKBP.
5 Tujuan Penulisan. Tesis ini berangkat dari keprihatinan tidak maksimalnya peran sintua dalam menjalankan kepemimpinan dan pelayanannya. Sintua diduga terjebak dalam tuntunan modernitas dan di sisi lain tuntutan pelayanan yang menuntut sintua mengorbankan kepentingan pribadi. Untuk itu, tesis ini bertujuan melihat masalah yang sesungguhnya terjadi dalam kepemimpinan sintua di perkotaan dan mencoba
34
Sarwono Jonathan, “Analisa Data Penelitian Menggunakan SPSS”, Jogjakarta, Penerbit Andi, 2006, hal. 71. 35 Hendriks Jan, Jemaat Vital dan Menarik, Op.Cit, hal. 218-240
23
menemukan penyebab utama masalah tersebut. Pada akhirnya tesis ini hendak mencoba menemukan bentuk kepemimpinan dan pelayanan sintua HKBP yang lebih aktual pada masa postmodern ini.
6 Sistematika Penulisan. BAB 1 : Pendahuluan. Bagian ini akan berisi tentang latar belakang permasalahan, rumusan permasalahan, dasar teori, pemilihan judul, metode penulisan dan sistematika penulisan. BAB 2 : Bagian ini akan berisi deskripsi tentang HKBP dan hakekat kepelayanan di dalamnya, termasuk pembahasan detail mengenai keberadaan dan tugas sintua. Pembahasan kemudian akan difokuskan pada konteks Jakarta dan jemaat-jemaat yang diteliti. BAB 3 : Bagian ini akan membahas laporan dan diagnosa empiris dari penelitian yang penyusun lakukan terhadap praktek pelayanan sintua di empat jemaat HKBP di kota Jakarta. BAB 4 : Bagian ini akan membahas dan menganalisa praktek kepemimpinan sintua dari sisi nilai-nilai Batak dan nilai-nilai kepemimpinan dalam Pembangunan Jemaat dan tentunya dihubungkan dengan konteks kota Jakarta. BAB 5 : Bagian ini akan berisi kesimpulan dan saran-saran terhadap kepemimpinan sintua HKBP dalam globalisasi dan postmodernisasi saat ini.
24