BAB 1 PENDAHULUAN Hétérosexualité, c‟est aussi naturel que l‟enclos électrique dans lequel on parque les vaches. (Heteroseksualitas, sama halnya dengan kandang listrik di mana kita mengandangkan lembu) (Despentes, 2010: 300)
1.1
Latar Belakang Masalah Pada masa sekarang ini, isu mengenai kesetaraan gender di Eropa semakin
berkembang. Hal ini ditandai dengan munculnya banyak kajian mengenai gender di dunia akademik, politik, maupun sosial. Beberapa komunitas pun muncul dengan mengusung misi kesetaraan. Di Prancis, asosiasi SOS Homophobie hadir untuk memperjuangkan kesetaraan hak dan perlakuan bagi para lesbian, gay, biseksual, dan transgender di tengah-tengah masyarakat homophobia. Istilah homophobia sendiri muncul pada tahun 1970-an yang berasal dari kata « homo » yang merupakan kepanjangan dari homoseksual dan « phobia » dari bahasa Yunani yang berarti ketakutan. Istilah tersebut mengandung arti penolakan, penghinaan dan kebencian terhadap orang-orang, praktik maupun representasi homoseksual. Homophobia juga mengarah pada arti penolakan terhadap perbedaan yang ada di masyarakat karena mereka yakin bahwa satu-satunya norma yang benar adalah menjadi heteroseksual. Keadaan tersebut kemudian melahirkan istilah lesbophobia yang menggambarkan bentuk penolakan yang lebih spesifik terhadap para lesbian.
1
2
Seperti diketahui, negara Prancis menjunjung tinggi semboyan liberté (kebebasan), égalité (kesetaraan), dan fraternité (persaudaraan). Semboyan tersebut diharapkan dapat membawa Prancis menjadi negara yang tidak menerapkan diskriminasi feodal yang bersekongkol dengan gereja untuk menindas kepentingan rakyat (Udasmoro, 2010:2). Namun, pada kenyataannya beberapa praktik kekuasaan pun masih memperlihatkan adanya homophobia yang kemudian menimbulkan diskriminasi terhadap para lesbian, gay, biseksual, dan transgender dalam kehidupan sosial. Sebagai contoh, adanya kasus penolakan terhadap para gay dan lesbian yang ingin mendonorkan darah dan tidak adanya politik melawan homophobia yang diajarkan di sekolah (Roszéwitch, 2015:8). Meskipun hukum pernikahan dan adopsi anak oleh pasangan sejenis sudah dilegalkan di Prancis, tetapi hal tersebut tidak berarti bahwa kehadiran kaum homoseksual dapat diterima secara penuh di masyarakat. Pada tahun 2014, tercatat 328 kasus lesbophobia yang diadukan kepada asosiasi SOS Homophobie (Roszéwitch, 2015:26) berupa penolakan, hinaan dan pelecehan fisik yang sering terjadi di dalam keluarga maupun di ranah sosial. Bahkan seorang gadis remaja disiram air oleh sopir bus di Nancy, salah satu kota di Prancis ketika baru saja memeluk teman perempuannya. Kemudian di sebuah taman di Paris, sepasang perempuan dilempari batu dan dihina secara kasar oleh sekelompok anak-anak dan remaja. Kekerasan tersebut membuat beberapa orang di antara para lesbian takut untuk menunjukkan identitas secara terang-terangan dan cenderung menutup diri agar tetap dianggap normal dan tidak menerima pelecehan, meskipun di pihak lain ada juga yang bereaksi untuk memperjuangkan perempuan yang menjadi
3
korban kekerasan. Tindakan lesbophobia ini juga dialami oleh perempuan heteroseksual hanya karena berpegangan tangan dengan sesama perempuan atau berpakaian yang tidak sesuai dengan norma masyarakat heteroseksual (Roszéwitch, 2015:27). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kekuasaan publik melegitimasi hierarki seseorang
berdasarkan orientasi seksual atau
identitas gender yang diperlihatkan. Demonstrasi besar-besaran di Prancis yang menolak pengesahan undangundang pernikahan sesama jenis pada awal tahun 2013 juga menjadi contoh bentuk penolakan terhadap kaum yang dianggap menyimpang. Pihak kontra terdiri dari sisi konservatif dengan prinsip pernikahan kristiani yang berpedoman pada Code de Civil des Français yang dikeluarkan oleh Napoleon Bonaparte tahun 1804 bahwa sebuah pernikahan adalah antara seorang laki-laki dan perempuan dengan tujuan menghasilkan keturunan serta memberikan warisan pada anak mereka.1 Demonstrasi tersebut menjadi sebuah usaha untuk mempertahankan rezim kebenaran dari gereja untuk mengatur identitas seseorang yang ditakutkan dapat merusak masa depan. Hal ini memperlihatkan adanya diskriminasi terhadap kepentingan masyarakat yang tidak sesuai dengan semboyan kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan yang dijunjung oleh negara. Diskriminasi tersebut muncul karena dikaitkan dengan persoalan identitas gender seseorang.
1
Data diunduh di website http://www.leparisien.fr/reactions/reactions/societe/les-associationsanti-mariage-gay-seront-recues-a-l-elysee-21-01-2013-2499459.php pada 21 Mei 2014
4
Persoalan identitas tidak bisa lepas dari seksualitas. Dalam kehidupan sehari-hari pun hampir tidak mungkin membicarakan seseorang tanpa menentukan hal tersebut mengenai laki-laki atau perempuan. Bahkan formulasi Pacs (pacte – civil de solidarité), hukum di Prancis yang mengatur hak dan kewajiban pasangan baik yang menikah maupun yang tidak menikah, juga menentukan otoritas seseorang berdasarkan seksualitas pasangannya. Kemudian yang menjadi persoalan adalah munculnya identitas gender homoseksual dalam kehidupan sosial yang dianggap tidak sesuai dengan konstruksi identitas laki-laki dan perempuan normal, yaitu heteroseksual. Menurut Rambach (2003:13) identitas homoseksual terbangun karena adanya sejarah homoseksual dan ruang yang diberikan kepada homoseksual dalam masyarakat, di mana ruang tersebut dapat bergerak dan menurut beberapa kelompok sosial, tidak akan berubah. Artinya identitas bukan sesuatu yang kaku dan perbedaan antara homoseksual dan heteroseksual akan selalu ada dalam norma sosial. Rambach (2003:17) juga menambahkan bahwa identitas, dalam kerangka yang sempit maupun yang lebih luas, selalu berkaitan dengan pilihan kata yang mencerminkan posisi di masyarakat. Posisi tersebut bukan sesuatu yang univocal, melainkan sesuatu yang dapat bervariasi dari waktu ke waktu karena kita tidak dapat hidup dengan cara yang sama di kehidupan sosial. Identitas secara terus-menerus dievaluasi, dianalis, dan diinterpretasikan. Selalu ada permainan di dalam konsep identitas seseorang, begitu juga dalam identitas lesbian. Menurut Caroline Gonda (2009:193) terdapat tiga hal yang menjadi sentral dalam teori lesbian, yaitu identitas, seksualitas, dan komunitas. Secara terpisah
5
ataupun bersama-sama, ketiga pokok perhatian tersebut berpengaruh pada sejumlah ragam tulisan mengenai lesbian yang melintasi berbagai disiplin ilmu, termasuk kritik sastra yang menggunakan karya sastra sebagai objek materialnya. Maka dari itu, cerita mengenai gay dan lesbian pun muncul dalam karya sastra Prancis dari beberapa pengarang dengan berbagai macam strategi yang berbeda dalam menempatkan tema homoseksual, misalnya Un été pourri karya Maud Tabachnick (1994), Passerelles karya Julie Lezzie (2006), La Meilleure Part des Hommes karya Tristan Garcia (2008), dan Apocalypse Bébe karya Virginie Despentes (2010). Maud Tabachnick, seorang penulis perempuan Prancis yang secara terbuka mendeklarasikan dirinya sebagai lesbian, melalui Un été pourri berpendapat bahwa penampakan identitas homoseksual secara tenang merupakan senjata yang paling baik. Novel ini bercerita tentang kerja sama tim Letnan Sam Goodman dari brigade kriminal di Boston dengan seorang wartawati homoseksual yang bernama Sandra Khan. Keduanya merupakan keturunan Yahudi dan bekerja untuk menyelidiki serangkaian pembunuhan dan pengebirian. Kemudian Passerelles ditulis oleh Julie Lezzie, seorang penulis yang lahir di Prancis pada tahun 1975 dan besar di Skandinavia. Novel ini memiliki tema tentang toleransi dan berisi dialog yang penuh perbedaan. Perbedaan tidak hanya datang dari latar belakang keluarga, tetapi juga perbedaan fisik karena salah satu tokoh yang bernama Sarah menderita tuli. Cerita yang diangkat dalam novel ini mempunyai latar
sekolah
lingkungannya.
bagi Sarah
anak-anak yang
yang
tuna
susah
rungu
menyesuaikan
kemudian
diri
menjalin
dengan
hubungan
6
homoseksual dengan Justine. Melalui cerita ini, Julie Lezzie berpendapat bahwa tantangan bagi pasangan homoseksual justru bukan berasal dari kekurangan yang ada pada diri mereka, melainkan pada lingkungan yang menganut homophobia, terutama lingkungan keluarga. Selanjutnya La Meilleure Part des Hommes karya Tristan Garcia merupakan novel Prancis yang mengangkat kehidupan pasangan gay di akhir abad 20-an. Epidemik AIDS menjadi isu utama dalam novel ini dan menjadi medan polemik antara kedua tokoh saat membahas mengenai penggunaan kondom. Perbedaan pendapat mengenai penggunaan kondom tersebut digunakan Tristan Garcia sebagai arena untuk menunjukkan posisi masing-masing tokoh homoseksual dalam menentukan identitas gendernya. Pada tahun 2010, novel Apocalypse Bébé muncul dan mencoba menggambarkan dinamika identitas gender dalam masyarakat Prancis terkait dengan fakta sosial yang telah dipaparkan sebelumnya. Hadirnya novel ini cukup menarik perhatian baik bagi masyarakat, para peneliti maupun bagi para kritikus sastra karena keberanian penulisnya dalam mengangkat realita sosial Prancis di masa kontemporer dengan cara yang brutal. Artinya, penulis berani mengkritisi realita tersebut dengan sindiran yang sangat kasar dalam narasi dan dialog yang ada di dalam novel ini. Melalui tokoh detektif perempuan dalam Apocalypse Bébé, Despentes menempatkan kaum lesbian ke dalam posisi yang kuat sebagai agensi berkaitan dengan politik dan sosial. Menurutnya, menulis adalah salah satu cara untuk berkontribusi pada arena politik sosial untuk mengungkapkan keadaan utopia yang selama ini selalu berkaitan dengan Negara yang mengatur identitas
7
seseorang.2 Selalu ada politik yang mengatur identitas seseorang sehingga diperlukan perlawanan agar dapat keluar dari keterkungkungan. S‟il est évident que les femmes deviennent exactement aussi corruptibles et dégueulasses que les hommes au contact du pouvoir, il est indéniable que certaines considérations sont spécifiquement féminines. Délaisser le terrain politique comme nous l‟avons fait marque nos propres réticences à l‟émancipation. Il est vrai que pour se battre et réussir en politique, il faut être prête à sacrifier sa féminité, puisqu‟il faut être prête à combattre, triompher, faire montre de puissance. Il faut oublier d‟être douce, agréable, serviable, il faut s‟autoriser à dominer l‟autre, publiquement. (Despentes, 2006: 25) (Meskipun jelas bahwa perempuan menjadi lemah dan menjijikkan sama halnya dengan laki-laki jika berkaitan dengan kekuasaan, tetapi tidak dapat disangkal bahwa beberapa anggapan secara khusus diperuntukkan bagi perempuan. Meninggalkan bidang politik sama halnya dengan menandakan keengganan kita terhadap emansipasi. Memang benar bahwa untuk bertarung dan berhasil dalam politik, harus siap mengorbankan feminitasnya, karena harus siap untuk melawan, menipu, untuk menunjukkan kekuasaan. Harus melupakan untuk bersikap lembut, menyenangkan, membantu, harus memungkinan untuk mendominasi yang lain, secara umum). Menurut Despentes (2006:25) laki-laki dan perempuan sama-sama berada di bawah kendali kekuasaan negara. Namun, pada beberapa hal perempuan tetap berada pada posisi lebih rendah jika dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini terlihat dari bagaimana perempuan dikonstruksi dan diawasi sedemikian rupa sehingga menjadi individu yang feminin yang lekat dengan karakteristik baik dan halus. Sebaliknya, hanya laki-laki yang berhak untuk maskulin, bersikap kasar dan mendominasi. Despentes mencurigai adanya politik kekuasaan yang membentuk laki-laki yang maskulin dan perempuan yang feminine. Maka dari itu, untuk melawan politik kekuasaan yang berkontribusi untuk membentuk identitas seseorang, maka harus melupakan atau lepas dari kategori bentukan tersebut.
2
Wawancara dengan Virginie Despentes di Radio France Inter yang bertajuk La vie est un je melalui website http://www.franceinter.fr/player/reecouter?play=1205269 pada 12 Desember 2015
8
Virginie Despentes adalah seorang penulis Prancis yang lahir di Nancy pada 13 Juni 1969. Selain itu, ia juga seorang sutradara dan penerjemah yang gemar menulis lirik. Setelah mendapatkan baccalauréat di usia 17 tahun, Despentes meninggalkan orang tuanya dan pergi ke Lyon untuk melanjutkan ke sekolah perfilman. Namun, hal ini tidak berjalan dengan lancar, karena studinya berhenti di tengah jalan dan memilih bekerja sambilan sebagai pembantu di toko dan panti pijat. Selain itu, dia juga menjadi penulis lepas di majalah musik dan kritikus film pornografi. Kemudian dia bekerja sebagai penjual di Virgin Megastore di Paris ketika novel pertamanya, Baise-moi (1993) ditolak oleh banyak penerbit. Dalam karyanya yang lain dengan judul King Kong Théorie (2006) yang merupakan autobiografi berbentuk essai, Despentes mengungkapkan bahwa dirinya pernah menjadi korban pemerkosaan di usia remaja, sehingga menjadi sosok yang kontroversial dan provokatif di kesusastraan Prancis kontemporer. Virginie Despentes menjadi seorang lesbian di usia 35 tahun. Dalam wawancaranya dengan surat kabar Le Monde pada tahun 2010, Despentes menuturkan bahwa menjadi lesbian merupakan hal yang menyenangkan. Dengan gaya tulisan yang brutal, ironik, mengangkat realitas sebenarnya, karya-karya Despentes disimbolkan sebagai littérature “trash” atau sastra “sampah”. Karya Despentes mencerminkan bahwa dunia dengan kecepatan berbeda dapat menimbulkan kesenjangan sosial yang dapat menyebabkan adanya diskriminasi (Savigneau: 2010). Artinya, regulasi yang dibuat tanpa memperhatikan fenomena terkini akan mengakibatkan adanya ketidakadilan bagi kelompok tertentu. Dengan kata lain, regulasi konvensional yang merujuk pada norma heteroseksual tidak
9
mampu lagi mengakomodasi fenomena-fenomena baru terkait dengan munculnya kaum homoseksual yang keberadaannya mulai terlihat dalam kehidupan sosial. Despentes mengatakan bahwa apa yang ditulisnya berasal dari orangorang atau sesuatu yang dia amati. Begitu juga dengan karyanya yang berjudul Apocalypse Bébé yang ditulis berdasarkan fenomena kehidupan remaja. Novel ini berisi cerita detektif perempuan yang bertugas untuk menemukan seorang gadis bernama Valentine yang melarikan diri. Novel Apocalypse Bébé mendapatkan penghargaan Prix Trop Virilo pada 2 November 2010 dan Prix Renaudot pada 8 November 2010, selain itu juga menjadi salah satu nominasi penghargaan yang lainnya seperti Prix Goncourt dan Prix des Lectures 2012. Penghargaanpenghargaan ini menjadi bukti bahwa karya Despentes termasuk karya yang diperhitungkan dalam dunia kesusastraan Prancis kontemporer. Dalam novel ini, Despentes menggambarkan posisi identitas lesbian melalui cerita detektif dalam mencari remaja gadis yang hilang. Dalam wawancaranya dengan majalah Le Monde, dia juga mengatakan bahwa cerita detektif bukan merupakan isu utama yang ingin diangkat olehnya, melainkan cerita mengenai kehidupan keluarga dan remaja Prancis serta evolusi tokoh-tokoh di dalamnya. Cerita novel ini berlatar waktu tahun 1980-an sampai awal tahun 2000-an di mana isu mengenai identitas homoseksual di Paris berada pada kondisi utopia, sehingga terus-menerus diperjuangkan demi mendapatkan posisi yang setara dengan kaum heteroseksual. Tokoh utama dalam novel ini bernama Lucie Toledo, seorang detektif yang kurang berbakat. Lucie merupakan perempuan heteroseksual yang juga
10
menjadi representasi dari komunitas yang lesbophobia. Pada awalnya, Lucie menilai identitas gender seseorang berdasarkan orientasi seksualnya dan sering menaruh anggapan negatif terhadap kaum homoseksual, terutama kaum lesbian. Namun, Lucie yang terhegemoni dengan budaya heteronormativitas Prancis justru kemudian melakukan coming out - menyatakan dirinya sebagai lesbian. Yang menjadi menarik untuk dicermati adalah bagaimana norma heteronormativitas yang mempercayai heteroseksual sebagai satu-satunya identitas gender yang paling benar di kalangan komunitas yang homophobia dapat ditembus oleh seseorang untuk mendapatkan identitas gender yang sebenarnya. Sebaliknya, La Hyène seorang lesbian diceritakan sebagai detektif yang cerdas, cekatan, kuat, supel, menyenangkan dan mudah diterima di lingkungan sekitarnya. Melalui tokoh La Hyène, Despentes berusaha membalikkan posisi lesbian di tengah fenomena lesbophobia yang selama ini dianggap sebagai sosok perempuan yang tidak baik dan sulit diterima oleh masyarakat karena penampilan yang jauh dari konsep feminin, yaitu konsep perempuan normal – heteroseksual. Kemudian istilah gouine yang selama ini digunakan untuk menyebut perempuan homoseksual dan berkonotasi vulgar serta nakal justru digunakan oleh Despentes sebagai strategi positioning identitas lesbian dari sudut pandang para lesbian untuk menunjukkan kebanggaan. Namun, Despentes mengakhiri cerita La Hyène dengan meninggalkan beberapa pertanyaan tentang keberadaan tokoh lesbian tersebut. Dinamika identitas gender yang digambarkan dalam novel Apocalypse Bébé di satu sisi mencoba menempatkan lesbian sebagai identitas yang dapat
11
diterima dan diakui di masyarakat.
Akan tetapi, di sisi lain ketika identitas
tersebut mulai diterima, justru sosok lesbian lebih memilih untuk meninggalkan lingkungannya. Maka dari itu, konsep dan argumen Judith Butler mengenai performativitas digunakan untuk menjawab permasalahan identitas lesbian dalam novel Apocalypse Bébé.
1.2
Rumusan Masalah Dalam konteks lesbophobia, lesbian dipandang sebagai identitas yang
tidak normal karena jauh dari konsep feminin yang dipercayai sebagai satusatunya identitas yang benar bagi seorang perempuan. Kemudian melalui Apocalypse Bébé, Virginie Despentes menunjukkan bahwa lesbian
sebagai
identitas tidak lagi mengikuti konstruksi sosial dan dapat diterima di masyarakat serta memiliki kekuatan yang sama, bahkan lebih dari seorang perempuan heteroseksual. Namun, ketika identitas lesbian dimunculkan sebagai posisi yang kuat kemudian dapat diterima oleh masyarakat, justru tokoh tersebut digambarkan tanpa akhir yang jelas dan memilih meninggalkan lingkungannya. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka pertanyaan yang menjadi dasar dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimana identitas perempuan dinarasikan terkait konteks lesbophobia di Prancis dalam novel Apocalypse Bébé? b. Bagaimana identitas lesbian diposisikan dari sudut pandang seorang lesbian dalam novel Apocalypse Bébé ?
12
c. Mengapa strategi „menghilang‟ justru dimunculkan oleh pengarang dalam novel Apocalypse Bébé?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
untuk melihat secara kritis pemosisian identitas lesbian dan benturan-benturan yang terjadi dalam konstruksi identitas tersebut terkait dengan konteks lesbophobia dan pandangan dari dalam diri seorang lesbian. Pengelaborasian terhadap pemosisian ini penting untuk menunjukkan adanya dinamika identitas terkait dengan gender, kelas, dan ras sehingga dapat melihat dinamika hubungan sosial yang terjadi dalam masyarakat Prancis masa kini dengan segala transformasi dan resistensi melalui novel Apocalypse Bébé.
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis.
Secara teoritis, penelitian terhadap novel Apocalypse Bébé ini diharapakan dapat menjadi salah satu sumbangsih ilmu pengetahuan dalam dunia sastra, akademik, maupun sosial. Selain itu juga dapat menjadi rujukan kepustakaan baru terkait dengan karya sastra Prancis kontemporer sebagai cerminan kehidupan masyarakat melalui pendekatan gender serta menjadi referensi tambahan untuk penelitian yang selanjutnya. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu menunjukkan keberadaan karya sastra, terutama sastra kontemporer sebagai media untuk
13
menyampaikan isu sosial terkait identitas dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, pembaca dapat menyikapi isu-isu tersebut dengan bijaksana.
1.5
Tinjauan Pustaka Beberapa penelitian yang menggunakan pendekatan teori performativitas
Judith Butler mulai muncul dalam penelitian karya sastra. Namun, sejauh ini penulis belum menemukan
penelitian yang menerapkan teori tersebut dalam
novel yang berjudul Apocalypse Bébé karya Virginie Despentes untuk melihat lebih jauh hate speech sebagai salah satu politik performatif. Di bawah ini akan dipaparkan mengenai penelitian dan teori yang digunakan dalam kasus yang hampir serupa dengan penelitian penulis. Berdasarkan data yang telah didapatkan, belum ditemukan penelitian yang membahas pemosisian identitas lesbian melalui politik performatif yang menekankan hate speech sebagai salah satu strateginya. Artikel yang berjudul Apocalypse Bébe de Virginie Despentes: le polar comme nouvelle littérature engagée? Karya Michèle A. Schaal (2010) ini berbicara tentang novel yang mengambil tema detektif sebagai gaya baru Despentes dalam menciptakan karya sastra, terutama karya sastra kontemporer sekaligus sebagai refleksi kehidupan masyarakat di sekitarnya. Artikel ini hanya mendeskripsikan pencarian yang dilakukan setiap tokoh di dalam novel Apocalypse Bébé. Sebuah tesis disusun oleh mahasiswa Universität Wien, Austria yang bernama Emilie Sénéchal (2013), Une lecture queer du lesbianisme dans Baisemoi et Apocalypse bébé de Virginie Despentes membahas mengenai lesbianisme
14
yang ada dalam dua karya Despentes, yaitu Baise-moi dan Apocalypse Bébé yang menjadi objek material dalam penelitian ini. Tesis tersebut berusaha menunjukkan bahwa tokoh-tokoh anti-heroin yang diciptakan oleh Despentes adalah queer atau lesbian yang tertindas dan mencoba melakukan resistensi terhadap norma heteroseksual yang memandang bahwa perempuan sebagai gender yang lemah dan sebaliknya, laki-laki sebagai gender yang kuat. Dengan menghadirkan tokoh lesbian dalam cerita kedua novel tersebut, Despentes mencoba menunjukkan bahwa tokoh lesbian yang dibangunnya berusaha keluar dari segala bentuk ketentuan yang mengaturnya karena perempuan selalu diposisikan sebagai korban jika dikaitkan dengan laki-laki. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tokoh lesbian yang dibangun mengaburkan konsep gender yang selama ini beroposisi biner dan menunjukkan bahwa lesbianisme tidak hanya terkait dengan kebebasan, tetapi juga membuktikan bahwa identitas seseorang tidak hanya didasarkan pada jenis kelamin biologis, tetapi sesuatu yang selalu dapat berubah. Penekanan analisis pada tesis tersebut terletak pada kekerasan yang terjadi dalam industri pornografi yang selama ini identik dengan dominasi maskulin yang kemudian didefinisi ulang oleh Despentes melalui karnaval tubuh dan tampilan feminin. Definisi ulang itulah yang kemudian mengaburkan kode gender dan membalikkan anggapan para feminis Prancis yang selama ini menempatkan perempuan sebagai korban. Tesis ini sama-sama membahas mengenai identitas lesbian yang ada dalam novel Virginie Despentes. Akan tetapi, yang menjadi penekanan dalam tesis tersebut dan penelitian penulis memiliki perbedaan. Selain salah satu objek materialnya berbeda, tesis tersebut tidak membahas lebih lanjut mengenai
15
penggunaan hatespeech sebagai strategi pemosisian identitas lesbian yang dibangun oleh Despentes yang menjadi fokus penelitian penulis. Penelitian dengan judul Virginie Despentes et les récits de la violence sexuelle : une déconstruction littéraire et féministe des rhétoriques de la racialisation yang dilakukan oleh Virginie Sauzon (2012) mencoba mengungkap dekonstruksi yang dilakukan oleh Despentes terhadap hubungan antara kekerasan seksual terkait dengan isu rasial yang menjadi topik dalam kajian karya sastra dan feminis. Penelitian ini menggunakan tiga karya sastra Virginie Despentes, yaitu Baise-moi (1993), King Kong théorie (2006) dan Apocalypse Bébé (2010) sebagai objek materialnya untuk memperlihatkan bahwa Despentes selalu memunculkan kata viol (pemerkosaan) dan violence (kekerasan) dalam karyanya untuk membongkar norma sosial yang selama ini berkembang dan dianggap tabu. Katakata tersebut sering dikaitkan dengan kaum maghrebain – warga Prancis keturunan dari negara jajahan Prancis, seperti Aljazair, Maroko, dan Tunisia. Dengan memberikan „suara‟ kepada korban rasial dalam setiap karya sastranya, menjadi strategi Despentes untuk membuka stereotip imaginer, yaitu yang selalu dikaitkan dengan pelaku kekerasan dan diposisikan sebagai „yang lain‟. Tesis yang berjudul Performativitas dalam Novel „The Female Man‟ karya Joanna Russ yang ditulis oleh Wilujeng Asih Purwani (2013) mengkaji proses pembentukan identitas lesbian di Amerika. Pada tahun 1969, masyarakat Amerika adalah masyarakat yang diatur oleh sejumlah norma yang sangat dipatuhi oleh masyarakat dan mengikat kebebasan perempuan. Konsep yang digunakan juga konsep identitas dan performativitas dari Judith Butler. Hasil tesis ini
16
memaparkan bahwa perempuan yang mengakui bahwa lesbian adalah keputusan terbaik, kemudian mengakui dengan bangga orientasi gendernya, maka perempuan tersebut telah memasuki fase pengakuan terhadap identitas gendernya. Perempuan yang sadar akan bergeraknya sistem gender kemudian meninggalkan norma yang telah mengikatnya, itulah yang disebut performativitas. Dengan teori ini,
Purwani
mencoba
menguak
bagaimana
seseorang
mendeklarasikan
identitasnya. Namun, penelitian ini tidak menekankan secara spesifik pada strategi performatif yang digunakan untuk mendeklarasikan identitasnya. Ari Setyorini (2011) mahasiswa Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana UGM menulis tesis yang berjudul Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia. Kajiannya ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana identitas gender dan seksualitas ditampilkan dalam weblog lesbian Indonesia dan sejauh mana praktik resistensi atas subordinasi terhadap lesbian yang ditampilkan. Penulis mengambil dua weblog sebagai korpusnya, yaitu Fried Durian dan Rahasia Bulan. Penelitian ini merupakan penelitian multidisiplin kualitatif dengan metode Analisis Wacana Kritis Fairclough dengan tiga tahap analisis. Pertama, tahap deksripsi menggunakan teori performativitas yang digunakan untuk mengungkapkan Bahasa memperformativitaskan identitas gender dan seksualitas. Kedua, tahap interpelasi yang mengaitkan teks dengan konteks sosial. Ketiga, tahap eksplanasi dengan menggunakan teori Foucault dan teknologi diri untuk mempertajam analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa identifikasi gender dan seksualitas lesbian cenderung merupakan kombinasi terhadap feminitas dan maskulinitas melalui dandanan, pakaian, dan gestur tubuh.
17
Lesbian dalam konteks sosial masih menanggung beban tubuh sosial sebagai perempuan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa lesbian menempati posisi yang lebih rendah terkait hubungannya dengan sesama perempuan. Denise Kolta (2006), mahasiswa Université du Quebec à Montrèal menulis tesis yang berjudul Les Performance de L‟identité: Transtextualité et Transgenre dans “Talon Aiguilles” et “Tout sur Ma mere” de Pedro Almodovar. Dalam tesis ini, Kolta mencoba menjawab pertanyaan mengenai identitas gender yang diangkat dalam kedua film. Konsep habitus Pierre Bourdieu dan teori Judith Butler mengenai performativitas gender digunakan untuk menunjukkan bahwa gender merupakan kategori yang dibentuk dan tidak memiliki ontologi sama sekali. Dari hasil analisis ditemukan bahwa tokoh-tokoh yang diilustrasikan dalam kedua film tersebut berusaha untuk membongkar jeratan identitas umum yang normatif dan mengikuti identitas mereka sendiri. Selain itu, tesis ini juga mengungkapkan bahwa realita dan fiksi selalu berkaitan satu sama lain dalam pembentukan identitas gender seseorang. Karya sastra dan film diangkat berdasarkan kenyataan dan juga sebaliknya, kenyataan juga meniru apa yang ada di dalam karya sastra dan film. Hal ini menunjukkan bahwa identitas gender merupakan proses peniruan yang diulang-ulang. Dari semua tinjauan pustaka yang ditemukan peneliti, terdapat tiga penelitian yang juga menggunakan objek material Apocalypse Bébé, tetapi pokok permasalahan yang menjadi perhatian dan metode yang digunakan sangat berbeda. Penggunaan objek formal mengenai lesbian dan performativitas juga ditemukan dalam berbagai tesis, tetapi memiliki perbedaan rumusan masalah
18
dengan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Penelitian ini lebih menekankan pada dinamika identitas lesbian terkait dengan konteks lesbophobia dan pemosisiannya melalui politik performatif hate speech sebagai salah satu strategi.
1.6
Landasan Teori Untuk menjawab permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini
digunakan pemikiran Judith Butler mengenai performativitas yang mencoba menandai arti penting makna gender dan seks yang dipandang berdasarkan budaya. Meskipun teori feminisme telah menantang pandangan bahwa feminitas dan maskulinitas merupakan kategori atau variabel yang dikotomis, tetapi aspek ini masih menerima perhatian dari teoritisi feminis yang mempertanyakan norma dasar heteroseksualitas. Butler mencoba mereformulasi teori feminisme yang selama ini dianggap telah mewakili aspirasi perempuan, tetapi kenyataannya tidak dapat mewakili perempuan transgender, begitu juga dengan lesbian. Bahkan, dengan semakin bertambahnya teori dan kajian feminis, studi gay dan lesbian berkoalisi dalam satu kerja yang dikenal dengan teori homoseksual (queer) yang menyerang budaya heteroseksual secara teortis maupun secara politis (Agger, 2003:210). Maka dari itu, konsep performativitas dalam teori queer Judith Butler ini menunjukkan bahwa identitas dikotomis yang diciptakan oleh heteroseksual bukan merupakan satu-satunya identitas yang benar. 1.6.1
Gender dan Seksualitas Gender dan seksualitas merupakan konsep utama feminisme, tetapi tidak
ada kesepakatan tentang bagaimana mendefinisikan atau menteorikan hubungan
19
antara keduanya. Istilah gender telah digunakan sejak awal tahun 1970-an, terutama oleh para antropolog Amerika untuk menunjukkan bahwa feminitas dan maskulinitas yang dibentuk oleh budaya sebagai sesuatu yang berlawanan berdasarkan
perbedaan
jenis
kelamin.
Kemudian
seksualitas
seringkali
dirumuskan sebagai sesuatu yang berbeda dengan gender, tetapi keduanya saling terkait. Seksulitas dan gender selalu dikaitkan dengan oposisi nature dan culture yang kemudian menghasilkan konstruksi sosial terhadap identitas biologi. Artinya konstruksi identitas perempuan harus sesuai dengan konsep gender feminin dengan segala atribut yang melengkapinya, seperti berpakaian selayaknya perempuan „normal‟, berperilaku lemah lembut dan harus menyukai
jenis
kelamin yang berbeda dengannya, yaitu laki-laki. Begitu juga sebaliknya, konstruksi identitas laki-laki harus sesuai dengan konsep gender maskulin, yang dipercayai sebagai oposisi dari segala atribut perempuan. Penalaran yang deterministik
ini
kemudian
secara
tidak
langsung
mendefinisikan
heteroseksualitas sebagai satu-satunya bentuk seksualitas yang benar-benar „alamiah‟ dan sah (Jackson, 2009:226) Kemudian Christine Delphy (dalam Jackson dan Jones, 2009:234) muncul dengan pendapat yang membalikkan logika umum mengenai pembedaan jenis kelamin dan gender. Menurutnya, bukan gender yang dibangun di atas dasar perbedaan jenis kelamin, melainkan seks yang telah menjadi kenyataan langgeng, sehingga menjadikannya sebagai kategori yang terlihat , justru disebabkan oleh eksistensi gender. Gender menciptakan jenis kelamin anatomis dalam arti bahwa pembagian hierarkis manusia menjadi dua mengubah perbedaan anatomis (yang
20
sama sekali tidak memiliki implikasi sosial) menjadi sebuah pembedaan yang relevan bagi berbagai praktik sosial. Artinya, identitas laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis kelamin muncul karena konsep gender yang hadir lebih dulu dipercayai sebagai pembentuk identitas yang dianggap paling benar dan kemudian digunakan dalam kehidupan sosial. Padahal, jenis kelamin laki-laki dan perempuan juga merupakan bentukan sosial. Berkaitan dengan hubungan sosial, Joan W. Scott (1986:1067) menawarkan sebuah analisis yang lebih komprehensif mengenai gender. Menurutnya gender memiliki dua konsep yang berbeda tetapi masih saling berhubungan. Pertama, gender dipandang sebagai elemen pokok dalam hubunganhubungan sosial yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin. Kedua, gender merupakan sebuah cara utama untuk menandai hubungan dengan kekuasaan yang terjadi di dalam kehidupan sosial. Begitu juga dengan Butler yang menyatakan bahwa seksualitas selalu berhubungan dengan gender, karena norma gender juga berkaitan dengan seksualitas. Namun, seksualitas bukan merupakan konfirmasi dari gender dan juga tidak menentukan gender. Dua hal tersebut bukanlah hasil kombinasi, juga bukan evolusi, tetapi
ketika keduanya saling bersinggungan, sehingga melahirkan
masalah dalam kajian gender.3 Dalam bukunya yang berjudul Gender Trouble, Butler (1999:9) menunjukkan bahwa gender tidak otomatis berasal dari jenis kelamin. Menurutnya gender bukanlah hasil sebab akibat dari jenis kelamin dan tidak pula 3
Fassin, Eric. 2005. Trouble-genre. Paris : La découverte. Hal. 13 (pengantar untuk terjemahan buku Judith Butler yang berjudul Gender Trouble dalam bahasa bahasa Prancis, Trouble dans le genre)
21
ditentukan sebagai jenis kelamin yang nampak. Jika gender diartikan secara kultural sedangkan jenis kelamin selalu berkaitan dengan tubuh, maka gender tidak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang mengikuti jenis kelamin. Butler (1999: 10) menambahkan, jika hubungan antara gender dan alat kelamin dipertanyakan dalam kaitannya dengan sistem gender biner, yang secara implisit mempertahankan kepercayaan terhadap hubungan mimetik antara gender terhadap jenis kelamin, maka kekekalan jenis kelamin pun dapat dipertanyakan. Sependapat dengan Delphy, Butler (1999:10) mengungkapkan bahwa bentukan yang disebut dengan „jenis kelamin‟ tersebut juga dibentuk oleh budaya seperti halnya gender. Bagi Butler (1999:11) baik gender maupun jenis kelamin adalah fiktif dalam arti bahwa keduanya dibentuk melalui berbagai praktik diskursif maupun nondiskursif. Jika jenis kelamin, seperti halnya gender, merupakan sebuah bentukan maka kesimpulannya adalah tubuh tidak memiliki jenis kelamin esensial yang telah ada sebelumnya. Sebaliknya, tubuh dimengerti melalui gender dan tidak dapat dikatakan memiliki eksistensi sebelum ditentukan oleh gendernya. Artinya, identitas laki-laki dan perempuan yang ditarik dari jenis kelamin sebenarnya juga merupakan bentukan yang dimapankan melalui berbagai macam praktek sosial. Maka dari itu, gender maskulin dan feminin yang dilekatkan pada keduanya tidak memiliki esensi. Dengan kata lain, laki-laki tidak mutlak maskulin dan perempuan tidak harus selalu feminin. Butler (1999:xxii) menambahkan jika seseorang berfikir bahwa melihat laki-laki memakai pakaian perempuan atau perempuan berpakaian layaknya laki-
22
laki, maka orang tersebut akan memiliki persepsi terhadap apa yang dilihatnya sebagai “realitas” gender, yaitu gender yang diperkenalkan melalui “realitas” kiasan dan membentuk penampilan ilusi. Persepsi tersebut terbentuk dari realitas nyata yang digabungkan dengan yang tidak nyata. Dengan kata lain, orang tersebut menganggap bahwa ada gender yang benar-benar asli dan yang ditampilkan oleh gender tersebut hanyalah tiruan, dusta, dan ilusi belaka. Pengetahuan tersebut diperoleh dari pakaian apa yang dipakai dan bagaimana pakaian tersebut dikenakan. Meskipun pengetahuan ini berdasarkan rangkaian kesimpulan kultural, tetapi Butler menganggap hal tersebut sebagai kesalahan yang besar. Sebagai contoh, jika contoh drag diganti dengan transeksual, maka tidak mungkin memperoleh pendapat mengenai anatomi yang stabil hanya dari pakaian yang menutup tubuh. Persepsi kultural tersebut gagal ketika seseorang tidak yakin apakah tubuh yang dihadapi adalah seorang laki-laki atau perempuan. Menurut Butler (1999:xxiii) realitas gender yang sulit dibedakan antara yang nyata dari yang tidak nyata justru menjadi kesempatan untuk yang dianggap "nyata" dilihat sebagai pengetahuan naturalisasi gender. Meskipun, kenyataannya realitas tersebut dapat berubah dan diperbaiki. Pergeseran gender ini menunjukkan bahwa keberadaan gender tidak stabil. Pada beberapa catatan, gagasan bahwa gender sebagai sesuatu yang dikonstruksi mengakibatkan determinisme tertentu mengenai makna gender. Artinya gender terlihat secara anatomis melalui tubuh yang berbeda, di mana tubuh dipahami sebagai penerima pasif dari hukum budaya yang tak terhindarkan (Butler, 1999:12). Selama ini identitas gender mengalami definisi yang salah
23
bahwa seseorang dikatakan mudah dimengerti hanya jika memenuhi standar gender. Menurut Wittig yang juga dijadikan rujukan oleh Butler (2005:87), keinginan heteroseksual adalah memproduksi oposisi biner antara “feminin” dan “maskulin” yang dipahami sebagai atribut “laki-laki‟ dan “perempuan”. Regulasi tersebut membuat seseorang yang tidak berada pada jalurnya, misalnya lesbian dianggap sebagai „gender ketiga‟ yang sangat rentan dianggap sebagai abnormal. Menurutnya, lesbian adalah satu-satunya konsep yang dia ketahui yang melampaui kategori seks.4 Maka dari itu, untuk mendekonstruksi oposisi biner tersebut, Wittig (1981:53) membedakan „lesbian‟ dari „perempuan‟ sebagai sosok yang bebas dari kategori gender. Butler (1999:22) menambahkan bahwa gender merupakan sebuah fenomena kompleks sebagai totalitas yang secara permanen selalu ditangguhkan, suatu bentuk ideal yang tidak mungkin untuk direalisasikan sampai kapan pun. Akibatnya, akan muncul sebuah koalisi terbuka yang akan menetapkan identitas sebelumnya secara bergantian dilembagakan atau dilepaskan dari sisi tertentu bergantung pada tujuan dan waktu tertentu. Maka dari itu, anggapan bahwa identitas laki-laki yang maskulin dan perempuan yang feminin sebagai kondisi yang sudah mapan merupakan anggapan yang salah. Kondisi tersebut tidak akan pernah tercapai karena kedua elemen itu sebenarnya adalah sebuah bentukan, sehingga memungkinkan munculnya bentukan yang lain. “it would be wrong to think that the discussion of "identity" ought to proceed prior to a discussion of gender identity for the simple reason that "person" only become intelligible through becoming gendered in 4
Monique Wittig, One is Not Born a Woman, Feminist Issues, Vol. 1, No. 2, Winter 1981 p. 53
24
conformity with recognizable standards of gender intelligibility (Butler, 1999: 22)” Gender dan seks adalah “kerangka inteligibilitas” kehidupan sosial manusia. Kemudian, akan muncul permasalahan matriks gender dan seks itu bersifat univokal dan dimapankan. Ketika jenis kelamin tertentu harus berperan gender dan seksualitas tertentu, maka yang berada di luarnya akan didefinisikan sebagai abnormal. Gerak kehidupan selalu mengarah ke pluralitas dan univokalitas apa pun bentuknya akan bertabrakan dengan gerak pluralitas ini. Oleh karena itu, kelekatan antara gender dengan seks dan kemanusiaan menjadikan keduanya definisi sekaligus pembatas bagi kemanusiaan, yang telah memungkinkan kemanusiaan ini berlangsung, juga telah menjadi sumber penderitaan atau ketidakadilan pada manusia. 1.6.2
Performativitas: (Re) konstruksi Identitas Gender Performativitas atau performativity berasal dari kata performance yang
berarti pertunjukan. Istilah ini menjadi kata kunci pemikiran Judith Butler untuk merumuskan identitas gender seseorang. Butler mencoba mengurai kekusutan hubungan antara gender dan seksualitas yang selama ini dipercayai sebagai sebuah hubungan kausal antara nature dan culture yang kemudian memunculkan ketidakadilan bagi kelompok-kelompok tertentu, seperti kaum lesbian, dengan menghadirkan ide bahwa identitas gender adalah hasil dari sebuah pertunjukan yang dilakukan oleh seseorang. Untuk mendestabilisasi hubungan oposisi biner yang selama ini dipercayai melekat pada gender dan seksualitas, Butler merujuk pada konsep normalisasi
25
Foucault terkait dengan konstruksi identitas. Proses normalisasi adalah proses yang secara sosial dan kultural dan bahkan politik dibuat oleh rezim-rezim hegemonis dan dominan untuk mengatur yang dianggap tidak sesuai dengan norma-norma serta akidah-akidah yang dianggap „biasa‟ atau „umum‟ yang diterapkan (Foucault, 1976). Dengan kata lain, identitas seseorang dibentuk oleh rezim eksternal yang berada di luar kendali diri seseorang. Proses normalisasi oleh hukum dari rezim yang berkuasa memunculkan proses internalisasi yang dilakukan oleh individu untuk mendapatkan identitas yang sebenarnya. Dalam konsep Foucault yang dirujuk oleh Butler (1999: 171) hukum dari rezim yang berkuasa tidak diinternalisasi secara harfiah oleh individu, tetapi bersama-sama menunjukkan bahwa tubuh yang diproduksi menandakan adanya hukum dan melalui tubuh itulah hukum tersebut dibuat. Hukum terwujud sebagai esensi, jiwa, kesadaran, dan keinginan yang ada pada tubuh. Oleh karena itu, melalui tubuh, hukum menjadi sesuatu yang tidak benar-benar nampak sekaligus sesuatu yang tidak benar-benar terpendam karena tidak pernah terlihat di luar tubuh sebagai subjek dan yang disubjektivikasi. “That law is not literally internalized, but incorporated, with the consequence that bodies are produced which signify that law on and through the body; there the law is manifest as the essence of their desire. In effect, the law is not once fully manifest and fully latent, for it never appears as external tho the bodies its subjects and subjectivicates” (Butler, 1999: 171) Maka dari itu, Butler (1999: 172) kemudian mempertanyakan siapakah aktor yang menentukan gagasan politik tubuh sebagai yang terlihat dan yang tersembunyi. Menurutnya, jika yang terjadi adalah larangan hukum yang membentuk stilisasi tubuh gender, maka tabu – yang selama ini berkembang dan
26
ada sebelum gender itu muncul – pada kasus homoseksual, justru sebagai pembentuk identitas gender. Dengan kata lain, laranganlah yang menciptakan identitas berdasarkan pedoman yang secara budaya jelas berasal dari heteroseksual yang ideal dan wajib. Produksi identitas gender yang semacam itu bertujuan untuk melanggengkan gender yang artifisial, yang dilakukan oleh kepentingan heteroseksual dan regulasi seksualitas produktif. Butler (1999: 173) juga menambahkan bahwa konstruksi yang demikian mengembangkan diskontinuitas gender yang terjadi pada konteks lesbian. Artinya, ketika tubuh gagal mengikuti fiksi regulasi heteroseksual, maka akan memperlihatkan bahwa model „ekspresif‟ yang terjadi pada kaum lesbian akan kehilangan kekuatan diskriptifnya. Artinya, mereka merupakan entitas yang tidak mempunyai deskripsi karena berada di luar kategori, sehingga membuat mereka dianggap entitas yang anomali. Berangkat dari konsep tersebut, Butler (1999: 173) memunculkan gagasan mengenai performatif yang berarti bahwa esensi atau identitas individu adalah tindakan yang ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dimaksudkan untuk mengungkapkan bahwa pembentukan identitas sebenarnya direkayasa dan dipertahankan melalui tubuh dan sarana diskursif lainnya. Tubuh gender yang performatif artinya adalah tidak ada status ontologi yang terpisah dari berbagai tindakan yang membangun realitasnya. Menurutnya, jika realitas tersebut diciptakan layaknya esensi yang ada sebelumnya, hal itu menyiratkan bahwa interiorisasi merupakan efek dari wacana sosial dan regulasi politik yang dikendalikan dalam kerangka wajib heteroseksual produktif. Jika kebenaran
27
gender yang ada sebelumnya merupakan penciptaan dan ide bahwa hanya ada satu gender yang benar yang secara fantasi terbentuk dan tertulis pada permukaan tubuh, maka gender tidak dapat dikatakan benar atau salah, tetapi sebagai produk karena efek dari kenyataan wacana identitas yang pertama dan stabil (Butler, 1999: 174). Butler (2005: 96) mengatakan bahwa gender bukanlah sebuah kata benda yang bermakna pasif, bukan pula kesatuan atribut yang mengambang tanpa kejelasan, melainkan sebagai perbuatan yang selalu dilakukan, tetapi bukan dari „perbuatan seseorang‟ yang mendahului perbuatan tersebut. Artinya, tidak ada aktor yang bermain dan membentuk identitas di belakang identitas individu. Identitas dibangun di atas performatif melalui ekspresi tersebut yang kemudian menghasilkan identitas gender. Bagi Butler, yang merumuskan tulisannya berdasarkan pemikiran Christine Delphy dan juga Monique Wittig, gender mapun seksualitas adalah hasil dari sebuah pertunjukan atau performance, bukan sebuah esensi ataupun ekspansi seks yang ada pada tubuh. Hal yang menginspirasi Butler untuk merumuskan konsep performativitas adalah drag, yaitu kontes kecantikan para banci atau waria untuk menunjukkan mana yang paling berhasil menjadi “perempuan” yang sesungguhnya. Dengan mengasosiasikan antara gender dengan drag, Butler ingin mengatakan bahwa semua gender adalah „jadi-jadian‟ yang menipu kita dengan menampakkan dirinya seolah dia adalah yang asli (Alimi, 2013: 66). “As much as drag creates a unified picture of “women” (what its critics often oppose), it also reveals the distinctness of those aspects of gendered experience which are falsely naturalized as a unity through the regulatory fiction of heterosexual coherence. In imitating gender, drag implicitly
28
reveals the imitative structure of gender itself – as well as its contingency” (Butler, 1999: 175). Imitasi yang dilakukan oleh drag secara implisit mengungkapakan struktur imitatif gender itu sendiri. Imitasi itulah yang telah menghasilkan apa yang dianggap asli. Hal ini seperti yang ditulis oleh Butler, “Gender is a kind of imitation for which there is no original; in fact, it is a kind of imitation that produces the very notion of the original as an effect and consequence of the imitation itself”5
Dengan demikian, tidak ada esensi gender di balik ekspresi gender, tetapi performativitas itulah yang membentuk apa yang dianggap sebagai esensi. “There is no gender identity behind the expressions of gender; that identity is performatively constituted by the very “expressions” that are said to be its results” (Butler, 1999: 33). Performativitas dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk bahasa, tepatnya bahasa tindakan yang melengkapi elemen lainnya, yaitu bahasa verbal (teks) dan visual (image) di mana tubuh menjadi krusial sebagai media utama dalam operasi performativitas ini. Butler (1999: xiv) menambahkan bahwa sangat sulit untuk mendefinisikan performativitas secara jelas karena menurutnya, performativitas ini dapat berubah suatu waktu sesuai dengan respon kritis.
Dalam konsep
performativitas, Butler mengembangkan idenya lebih jauh mengenai materialisasi seks. Materialisasi dalam pengertian ini adalah pembentukan menjadi material. Bagi Butler, saraf, darah, kontur, dan gerakannya termaterialkan oleh
5
Judith Butler, “Imitation and Gender Insubordination” dalam Inside/Out: Lesbian Theories, Gay Theories, ed., Diana Fuss (New York dan London: Routledge, 1991), 21.
29
performativitas, oleh pertunjukan. Konsep „materialisasi‟ digunakan oleh Butler untuk membedakannya dari konsep „konstruksi‟ yang melekat pada konsep yang dikembangkan oleh Foucault. Menurut Butler, seks adalah an ideal construct that is forcibly materialized through time, sebuah bentuk ideal yang dengan terpaksa dimaterialisasikan melalui waktu (Alimi, 2013: 74). Meskipun demikian, teori performativitas seringkali dipahami sebagai sebuah pengumuman gender dan sebagai daily choice (Butler, 1993: 20). Artinya, gender bukan merupakan sesuatu yang dikenakan di pagi hari dan dapat dilepaskan sekehendak hati. Maka dari itu, Butler menekankan pada proses repitisi atau pengulangan dalam konsep performativitas, dengan menggunakan teori Derrida mengenai iterabilitas, sebuah bentuk sitasionalitas, yaitu sebuah proses di luar pilihan-pilihan sadar dan sengaja. (Alimi, 2013: 75). “Performativity cannot be understood outside of a process of iterability, a regularized and constrained repetition of norms. And this repetition is not performed by a subject; this repetition is what enables a subject and constitutes the temporal condition for the subject. This iterability implies that “performance” is not a singular “act” or event, but a ritualized production, a ritual reiterated under and through constraint, under and through the force of prohibition and taboo, with the threat of ostracism and even death controlling and compelling the shape of the production, but not, I will insist, determining it fully in advance” (Butler, 1993: 95). Performativitas bukanlah sebuah tindakan tunggal, melainkan sebuah pengulangan dan ritual, yang mencapai efeknya melalui naturalisasi dalam konteks tubuh, yang dipahami sebagian dorongan kultural sementara waktu. Pengulangan yang dilakukan dalam performativitas untuk mendapatkan identitas gender
secara
bersamaan
merupakan
usaha
menciptakan
kembali
mengamalkan kembali makna yang selama ini sudah mapan secara sosial.
dan
30
“As in other ritual social drama, the action of gender requires a performance that is repeated. This repetition is at once a reenactment and reexperiencing of a set of meanings already socially established; and it is the mundane and ritualized form of their legitimation” (Butler, 1999:178).
Oleh sebab itu, gender tidak dapat ditafsirkan sebagai identitas yang stabil atau ruang agensi dengan berbagai macam tindakan yang mengikuti, tetapi gender justru merupakan identitas yang dianyam berdasarkan waktu dan dilembagakan di ruang luar melalui tindakan imitasi yang diulang-ulang (stylized repetition of acts) (Butler, 1999: 179). Selanjutnya, Butler menambahkan bahwa gender juga merupakan sebuah norma yang tidak bisa secara penuh diinternalisasi, karena kata „internal‟ mengandung makna permukaan dan norma gender adalah fantasi, tidak mungkin untuk diwujudkan. Dengan kata lain, dalam performativitas terdapat performance yang terus dilakukan secara berulang-ulang tanpa mencapai kondisi final. Perspektif Butler mengenai seks dan gender melihat “perempuan” sebagai sebuah bentukan tanpa kenyataan atau kesatuan yang mendahului wacana. Denise Riley juga ikut mencirikan “perempuan” sebagai sesuatu yang tidak menentu, berubah-ubah, dan tidak stabil; sebagai “identitas yang selalu berfluktuasi” dan “kolektivitas yang cair dan mudah berubah” (1988, 1-2). Posisi ini tidak hanya diperkuat dengan gagasan bahwa “perempuan” adalah sebuah bentukan wacana, tetapi juga dengan mengajukan berbagai perbedaan di antara kaum perempuan sendiri. Dengan demikian, identitas gender merupakan suatu pertunjukan yang ditampilkan oleh seseorang secara berulang-ulang berdasarkan tiruan yang tidak
31
mempunyai bentuk original. Bahkan seks biologis pun dibentuk secara sosial melalui pertunjukan atau performativitas yang berulang-ulang, mulai dari momen awal yang mendasar berupa ucapan “ia seorang perempuan” dan seterusnya. Begitu juga dengan identitas perempuan lesbian, yang terbentuk melalui pertunjukan atau performativitas yang diulang-ulang tanpa ada bentuk asli yang jelas.
1.6.3
Hate Speech dan Politik Performatif dalam Pemosisian Identitas Gender Trouble yang menawarkan ide performativitas Judith Butler sering
kali dimaknai bahwa gender secara sederhana dipandang sebagai penemuan diri atau dengan kata lain bahwa makna fisik yang dipertunjukkan oleh gender dimaknai secara langsung dari permukaan. Artinya, secara sederhana apa yang diperlihatkan oleh gender dan dapat dilihat dengan mata dipandang sebagai penemuan identitas seseorang. Bahkan, teori Butler mengenai performativitas ini juga memberikan interpretasi yang kadang-kadang bersifat linguistik, tetapi juga kadang-kadang bersifat teatrikal. Butler menjawab persoalan tersebut dengan penjelasan bahwa keduanya adalah hal yang tidak terpisahkan dan saling bersinggungan. Maka dari itu, pertimbangan ulang bahwa tindak tutur (speech act/ l‟acte de parole) sebagai contoh kekuasaan selalu menarik perhatian dimensi linguistik dan teatrikal tersebut. Dalam bukunya yang berjudul Excitable Speech, Butler mencoba menguraikan bagaimana tindak tutur (speech act/ l‟acte de parole) adalah performance (yang mengandung unsur teatrikal, dipertunjukkan ke ruang publik
32
secara berulang-ulang) sekaligus linguistik, menginduksi seperangkat efek yang menyiratkan hubungan dengan konvensi linguistik. Jika di satu sisi dipertanyakan bagaimana bisa teori linguistik sebuah tindak tutur berhubungan dengan gestur tubuh, di sisi lain tuturan tersebut dianggap sebagai tindakan tubuh dengan efek linguistik tertentu. Dengan demikian, tuturan tidak hanya menjadi milik pertunjukan tubuh secara eksklusif tetapi juga milik bahasa, sehingga status tindak tutur sebagai kata dan perbuatan justru menimbulkan keambiguan. Sifat ambigu ini bukan berarti tanpa konsekuensi dalam praktik coming out – menyatakan identitas sebagai homoseksual – dalam kekuasaan tindak tutur yang memberontak, bahasa sebagai kondisi rayuan tubuh sekaligus sebagai ancaman pencelaan (Butler; 1999: xxv). Bahkan, salah satu latar belakang diterjamahkannya buku Excitable Speech dalam bahasa Prancis yang berjudul Les Pouvoir des mots adalah untuk menjawab permasalahan yang muncul di Prancis terkait dengan kondisi sosial homophobia maupun rasis yang sering mengakibatkan kekerasan verbal maupun fisik yang dialami oleh beberapa kelompok ataupun individu. Sebagai contoh adalah
kasus
Sébastien
Nouchet
yang
dibakar
hidup-hidup
karena
mendeklarasikan homoseksualitasnya pada tahun 2004 di Nœux-les-Mines (Pasde-Calais), Prancis. Selain itu, tujuan lain diterjemahkannya buku tersebut adalah untuk menyalurkan kemarahan dan kesakitan sebagai agensi.6 Hal ini menunjukkan bahwa dimensi linguistik dari performativitas beresiko menciptakan
6
Vidal & Nordmann. 2004. Une provocation. Paris : édition Amsterdam. Hal. 8 (pengantar untuk terjemahan buku Judith Butler yang berjudul Excitable Speech dalam bahasa bahasa Prancis, Le pouvoir des mots)
33
pencelaan, penghinaan maupun kekerasan yang terjadi pada pelakunya dan ini terjadi melalui perantara bahasa. Bahasa adalah elemen pokok dalam kehidupan manusia, bahkan kita sebagai manusia diciptakan dalam dan oleh bahasa. Manusia dinamai, digambarkan, diidentifikasi oleh bahasa atau kata-kata sejak kelahirannya, bahkan dihina, dicela, dan disakiti juga oleh bahasa. Maka dari itu, menurut Butler (2004: 9) untuk menetapkan batasan antara yang terkatakan dan yang tidak terkatakan serta „mengamankan‟ bahasa harus dilakukan perlawanan untuk meyakinkan Negara. Beberapa pihak meminta bantuan sensor dari Negara untuk menghindari kekuasaan kata-kata, untuk menetralisir kekerasan yang ditimbulkan olehnya. Akan tetapi, usaha tersebut pun tidak dapat mencegah „kejahatan‟ yang dilakukan melalui bahasa. Bahkan di Prancis, undang-undang 1 Juli 1972 dan tambahannya, yang menghukum segala bentuk tindakan yang berbau rasis, tidak dapat mencegah seorang menteri yang bernama Michel Rocard untuk berbicara hal yang mengandung unsur rasis - la France ne peut accueillir toute “la misère du monde” (Prancis tidak bisa menerima semua “kemiskinan dunia”) – ketika menjelaskan politik berkaitan dengan imigrasi. Frasa la misère du monde (kemiskinan dunia) mengacu pada negara-negara perbatasan yang sering dianggap menjadi imigran di Prancis.7 Butler menegaskan bahwa dalam kekuasaan individu terdapat kemampuan untuk mengalihkan kekuatan dan kekerasan kata-kata, untuk memutarbalikkannya agar dapat memaksimalkan kekuasaan individu sebagai agensi. Melalui analisis 7
Data diunduh di website http://www.liberation.fr/france/2015/04/22/rocard-et-la-misere-dumonde_1256930 pada 3 Desember 2015 pukul 10:09
34
yang didasarkan pada kisah nyata, Butler juga berupaya untuk membangun ambivalensi kekerasan verbal, hate speech, wacana homophobia, seksis maupun rasis: jika semua hal tersebut dapat menghancurkan orang-orang yang mengalaminya, seharusnya hal tersebut juga dapat diputarbalikkan dan membuka ruang untuk pertarungan politik dan sebagai subversi terhadap identitas yang ditetapkan (Vidal & Nordmann, 2004: 9). Kerangka pikir Judith Butler mengenai kekuasaan kata-kata yang diinduksi dari konsep performativitas, juga mengingatkan kembali bahwa “tindakan wacana” seperti representasi hal yang dianggap tidak sopan seperti yang ada pada fotografi karya Mapplethorpe, deklarasi publik yang dilakukan oleh para homoseksual terhadap heteroseksualitasnya, seperti praktik coming out, dan pendidikan seksual secara eksplisit yang secara efektif masih dianggap sebagai gerakan yang menyerang dan kasar terhadap masyarakat homophobia, rasis, dan seksis maupun terhadap Negara (Vidal & Nordmann, 2004: 11). Berkaitan dengan bahasa, Negara tidak lagi berdaulat, sehingga kekuasaan pun membaur. Kekuasaan kata-kata yang menciptakan manusia, kata-kata merupakan masa lalu sekaligus masa depan yang menantang setiap usaha untuk menggenggamnya
maupun
membekukannya.
Individu
diarahkan
kepada
pengulangan, tetapi sifat bahasa melarang untuk membayangkan penutupnya, setiap individu adalah penanggungjawab terhadap pengulangan tersebut. Artinya, individu dapat melakukan penyimpangan, membelokkan trajektori yang menyakitkan yang berasal dari kata-kata. Seperti yang dikatakan oleh Butler (1997 :163) bahwa kata-kata yang pada mulanya merupakan hinaan, yang di
35
dalamnya mengandung kekuatan untuk melukai yang disebut dengan “performatif kebencian” digunakan kembali oleh gerakan LGBT ataupun korban rasial untuk membalikkan arti yang menjadi bentuk penggambaran diri sendiri. Maka dari itu, kata “gay”, “queer”, “pédé”, “gouine”, “noir”, “rebeu” dan yang lainnya justru menjadi bagian integral dari kosakata pelaku LGBT dan korban rasial untuk menyatakan kebanggan mereka. “des mots au départ insultants, chargés de ce pouvoir de blesser reconnu aux performatifs haineux, ont été repris par les mouvements LGBT afin de les soumettre à un véritable renversement de sens, au point de devenir une forme d‟auto-désignation. Ainsi, des mots comme « queer », « gay » ou « pédé » sont devenus partie intégrante du vocabulaire des personnes LGBT, qui en ont même fait des porte-étendards de leur fierté” (Butler via Thirion, 2010: 111-112) (kata-kata yang mulanya merupakan hinaan, yang di dalamnya terdapat kekuatan untuk melukai yang disebut dengan “performatif kebencian” digunakan kembali oleh gerakan LGBT untuk membalikkan arti yang menjadi bentuk penggambaran diri sendiri. Kata “gay” “queer” “pédé” dan yang lainnya justru menjadi bagian integral dari kosakata pelaku LGBT untuk menyatakan kebanggan mereka) Berkaitan dengan wacana kebencian terhadap kelompok tertentu yang terjadi dalam masyarakat homophobia maupun rasis, bahasa dipercayai memiliki kekuatan untuk melukai atau menyakiti manusia, sedangkan manusia sendiri dipercayai sebagai objek dari trajektori yang menyakiti tersebut. Akan tetapi, menurut Butler (1997: 2) jika kita dibentuk dalam bahasa, kemudian kekuatan pembentukan tersebut mendahului dan mengkondisikan berbagai keputusan yang kita buat, maka pencelaan atau penghinaan terhadap kita, dari awal merupakan kekuatan itu sendiri.
36
Sependapat dengan hal tersebut, Rambach (2003: 19) berpendapat jika berkaitan dengan wacana atau sikap yang mengarah pada penghinaan, maka bahasa menjadi sesuatu yang sangat penting. Meskipun dalam kerangka tertentu kata gouine memiliki makna yang nakal, tetapi bagi para lesbian kata tersebut justru terasa lebih menggairahkan. Butler (1997: 12) menambahkan bahwa perkataan yang menyakitkan tersebut muncul untuk memperlihatkan hubungan kompleks yang tak terpisahkan antara tubuh dan tuturan, yang kemudian juga menimbulkan hubungan antara tuturan dan akibatnya. Artinya, jika seseorang mengarahkan gestur tubuhnya kepada orang lain, maka tidak hanya tubuh orang tersebut yang bermain, tetapi juga tubuh penerima sebagai respon tindakan tersebut. Begitu juga ketika seseorang berbicara kepada orang lain, maka lawan bicara pun tidak bisa dianggap sebagai tubuh yang rentan. Sebagai „instrumen‟ dari kekerasan retorik – tubuh penutur yang melebihi kata-kata yang diucapkan – membuka kesempatan bagi tubuh penerima sebagai tubuh yang tidak lagi dan tidak pernah secara penuh berada di bawah kontrol penutur. Menurut Eribon (via Thirion, 2010: 112) menambahkan bahwa dalam situasi di mana kategori yang dituju oleh istilah kasar, penghinaan atau celaan sering kali dianggap sebagai pokok subjektivikasi individu. Penghinaan atau celaan tersebut menciptakan subjek “orang hitam”, “homoseksual”, dan sebagainya. Namun, mereka yang dibuat oleh model subjektivikasi tersebut, justru menjaga batas manuver untuk melakukan kontestasi, membalikkan secara strategis, serta menghindari yang disebut dengan subjektivikasi.
37
Butler (1997: 159) menjelaskan bahwa performatif harus kembali dipahami tidak hanya sebagai sebuah tindakan yang resmi digunakan oleh pengguna bahasa agar dapat melakukan efek yang sudah disahkan, tetapi secara jelas juga sebagai ritual sosial, sebagai salah satu dari berbagai modalitas praktik yang sangat kuat dan sulit untuk dilawan karena modalitas tersebut diam dan tersembunyi, menarik perhatian, dan menyindir. Ketika kita mengatakan bahwa hinaan atau celaan seperti halnya pukulan atau tamparan, maka kita dapat mengatakan bahwa tubuh kita dilukai oleh ucapan atau ujaran tersebut. Menurut Butler (1997:160) performatif memiliki kekuatan konstruksif yang dapat membangun sebuah makna praktik bagi tubuh. Artinya, tindakan tubuh yang mulanya bertujuan untuk merendahkan dapat dibangun kembali sebagai bentuk kebanggaan melalui performativitas. Performatif bukan sebuah tindakan tunggal yang digunakan oleh subjek yang sudah mapan, melainkan salah satu cara yang kuat dan tersembunyi di mana subjek disebut sebagai makhluk sosial dari ruang sosial yang tersebar, diresmikan menjadi sosialitas oleh berbagai interpelasi kuat dan tersebar. Artinya, performatif sosial merupakan bagian penting tidak hanya dalam formation (pembentukan) subjek, tetapi juga dalam kontestasi politik dan reformulasi subjek yang berkelanjutan. Dengan kata lain, performatif tidak hanya sebuah praktik ritual, tetapi juga salah satu dari ritual yang berpengaruh dari subjek yang dibentuk dan direformulasikan (Butler, 1997: 160). Dengan demikian, berangkat dari gagasan bahwa hate speech menjadi permasalahan dalam kelangsungan linguistik dan bahwa celaan atau penghinaan
38
(being called a name) dapat menjadi situs pencideraan, dapat disimpulkan bahwa celaan atau penghinaan dapat menjadi momen yang menandai dimulainya sebuah counter-mobilization. Sebutan yang kita dapatkan (the name one is called) adalah sesuatu yang membuat kita menjadi subordinat sekaligus memberi kita kekuasaan (Butler, 1997: 163). 1.7
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua tahap,
kemudian diaplikasikan secara sistematis. Tahap pertama adalah proses pengumpulan data. Setelah data selesai dikumpulkan, kemudian melangkah ke tahap ke dua yaitu analisis data. Adapun objek dalam penelitian ini dibagi menjadi dua jenis yaitu objek material dan objek formal. Objek material penelitian ini adalah novel Apocalypse Bébé karya Virginie Despentes yang terbit tahun 2010, sedangkan objek formalnya yaitu politik performatif dalam kostruksi identitas lesbian.
1.7.1
Metode Pengumpulan Data
Metode pertama adalah pengumpulan data tekstual dengan menggunakan teknik “simak” (Sudaryanto dalam Faruk, 2012: 24), yaitu menyimak satuansatuan bahasa yang terdapat dalam novel Apocalypse Bébé yang merupakan sumber data primer. Selain itu, buku, artikel, jurnal, serta hasil penelitian yang relevan dengan permasalahan yang diteliti juga dikumpulkan dalam tahap ini untuk dijadikan sebagai kutipan pendukung dalam latar belakang, teori, analasis maupun pembahasan. Kemudian data-data yang diambil dari novel tersebut adalah
39
yang berkaitan dengan perempuan dalam masyarakat lesbophobia terutama di Prancis, posisi perempuan lesbian terkait dengan gender, ras, dan kelas, serta performativitas yang dilakukan untuk menetapkan identitasnya. Dalam proses pengumpulan data, yang dilakukan pertama kali adalah membaca secara kritis keseluruhan novel, setelah itu menentukan aspek apa saja yang akan menjadi fokus dalam penelitian dengan mempertimbangan sumber pendukung di luar novel. Fokus penelitian ini adalah hubungan antara identitas lesbian dan politik performatif hate speech, sehingga konsep teoretis dari Judith Butler mengenai performativitas digunakan untuk mendukung proses analisis. Kemudian data diidentifikasi dan diklasifikasikan sesuai dengan poin-poin yang akan dibahas, yaitu perempuan dalam kaca mata lesbophobia serta pemosisian dan performativitas identias perempuan lesbian. Kedua poin besar tersebut kemudian dijabarkan dalam beberapa subbab sebagai berikut: a. Perempuan sebagai istri, ibu dan melahirkan anak b. Perempuan, ghetto, dan negara c. Heteroseksualitas sebagai pembatas identitas d. Lesbian bukan „laki-laki‟ dan bukan „perempuan‟ e. Performativitas lesbian: antara kebebasan dan ketidakstabilan f. Hate speech sebagai strategi pemosisian
1.7.2
Metode Analisis Data
Hal yang dilakukan untuk menganalisis data yang sudah dikumpulkan adalah menganalisis sifat dan karakter para tokoh, interaksi antar tokoh, dan
40
dinamika yang terjadi dalam masyarakat Prancis yang dibangun pengarang dalam novel Apocalypse Bébé melalui dialog-dialog, serta narasi yang telah dikumpulkan sebelumnya. Kemudian, hasil analisis tersebut digunakan untuk menjabarkan politik performatif hate speech dalam konstruksi identitas perempuan
lesbian
dalam
novel
dengan
konsep-konsep
dalam
teori
performativitas Judith Butler sebagai acuannya. Data-data yang sudah diperoleh tersebut dihubungkan satu sama lain karena data tidak dapat dibaca secara tunggal. Satu data perlu dikaitkan dengan data yang lain untuk menemukan kesimpulan penelitian.
1.8
Sistematika Penyajian Penelitian mengenai politik performatif hate speech dalam novel
Apocalypse Bébé karya Virginie Despentes ini disajikan dalam empat bab. Secara garis besar penyajiannya terdiri dari bagian pendahuluan, pembahasan, dan kesimpulan. Secara lebih spesifik, akan dijelaskan sebagai berikut. Bab I merupakan bagian pendahuluan yang terdiri dari poin-poin sebagai berikut : 1). Latar Belakang, berisikan alasan yang mendasari penulis untuk mengambil kajian tentang politik performatif hate speech dalam novel Apocalypse Bébé; 2). Rumusan Masalah, yaitu tentang permasalahan-permasalahan yang akan dikaji dalam studi ini; 3). Tujuan Penelitian; 4). Manfaat Penelitian; 5). Tinjauan Pustaka; 6). Landasan Teori; 7). Metode Penelitian. Bab II merupakan pembahasan yang menjawab pertanyaan penelitian pertama yang ada di rumusan masalah. Bab II dibagi menjadi dua sub bab yaitu:
41
1). Tentang penggambaran perempuan yang diposisikan sebagai ibu yang melahirkan anak dalam masyarakat heteroseksual. Narasi ini menjelaskan tentang bagaimana Despentes memperlihatkan hierarki perempuan yang ada di masyarakat sehingga menimbulkan pemisahan-pemisahan antara yang benarbenar perempuan dan perempuan yang dianggap menyimpang; 2). Perempuan, Ghetto, Negara menjelaskan bagaimana kontribusi Negara sebagai pemegang kekuasaan terbesar melakukan intervensi dalam konstruksi identitas perempuan yang kemudian meluas pada fenomena ghetto atau pemisahan secara geografis. Bab III merupakan pembahasan yang menjawab rumusan masalah kedua dan ketiga. Bab ini dibagi menjadi empat sub poin; 1). Heteroseksualitas sebagai Pembatas Identitas. Bagian ini menjelaskan norma heteroseksual yang tidak mampu melihat diversitas dalam kehidupan yang semakin plural; 2). Mengenai lesbian bukan „laki-laki‟ dan bukan „perempuan‟ yang mengaburkan oposisi biner yang diciptakan oleh norma heteroseksual; 3). Performativitas lesbian : antara kebebasan dan ketidakstabilan memperlihatkan bagaimana identitas dibentuk oleh tindakan individu sebagai bentuk kebebasan dari pengawasan negara yang menakutkan sekaligus menunjukkan bahwa identitas yang dibentuk tidak akan pernah mencapai kondisi final; 4). Menunjukkan bagaimana hate speech yang awalnya ditujukan kepada kaum lesbian sebagai bentuk penghinaan justru digunakan oleh kaum lesbian untuk menentukan dan memposisikan identitasnya Bab IV merupakan bab terakhir dalam penelitian ini. Berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari kajian yang sudah dilakukan.