Jurnal MEDTEK, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2009
KAJIAN TERHADAP POLA PENDIDIKAN BERORIENTASI KOMPETENSI DUNIA INDUSTRI DALAM PENYIAPAN TENAGA KERJA Riana T. Mangesa Dosen Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik UNM Abstrak Keberhasilan pendidikan tidak sekedar menghasilkan output lulusan yang terukur melalui angka-angka pada ijazah kelulusan, namun lebih daripada itu mampu memberikan dampak positif pada lingkungan yang menerima hasil pendidikan, seperti dalam masyarakat dan dunia kerja. Dengan dibukanya pasar global maka lulusan harus menguasai bidangnya secara mendalam dan trampil dalam bidang keahliannya, menantang konsep pendidikan melalui proses pembelajaran konvensional yang telah diimplementasikan bertahun-tahun yang ternyata kurang mampu menjawab permasalahan kebutuhan tenaga kerja. Alternatif solusinya adalah Pendidikan Berbasis Kompetensi (PBK) diterapkan untuk melengkapi kekurangan tersebut, diharapkan dapat tercapai melalui Proses Pembelajaran PBK yang menitikberatkan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan spesifik dan sikap sesuai dengan yang harus dilakukan dan diterapkan di dunia kerja. PBK yang menekan terhadap hasil/outcomes berupa kompetensi-kompetensi standar yang dibutuhkan dalam dunia kerja, di Indonesia ditetapkan dengan Keputusan Mendiknas RI No. 232/U/2000 dan No. 045/U/2002. Penulisan artikel ini dimaksudkan untuk memaparkan hakekat kompetensi, konsep PBK yang dilanjutkan dengan fokus kajian yang berorientasi pada Dunia Kerja dan beberapa usulan gagasan.
Kata kunci: Dunia Kerja,PBK, Kompetensi
Dunia industri masa depan membutuhkan banyak kompetensi yang sifatnya sangat bervariasi dalam melakukan tugas-tugas atau pekerjaan baik yang rutin dilakukan maupun non rutin. Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kompetensi dapat dikenali melalui sejumlah hasil belajar, dan dapat dicapai melalui pengalaman belajar yang dikaitkan dengan bahan kajian dan bahan pembelajaran secara kontekstual. Konsep pembelajaran berbasis kompetensi mensyaratkan dirumuskannya secara jelas kompetensi yang harus dimiliki atau ditampilkan peserta didik setelah
mengikuti kegiatan pembelajaran. Dengan tolok ukur pencapaian kompetensi, maka dalam kegiatan pembelajaran peserta didik akan terhindar dari mempelajari materi yang tidak menunjang tercapainya penguasaan kompetensi. Pencapaian setiap kompetensi tersebut terkait erat dengan sistem pembelajaran. Dengan demikian komponen minimal pembelajaran berbasis kompetensi adalah; (a) Pemilihan dan perumusan kompetensi yang tepat, (b) spesifikasi indikator penilaian untuk menentukan pencapaian kompetensi, (c) pengembangan sistem penyampaian yang fungsional dan relevan dengan kompetensi dan sistem penilaian. Kurikulum 2004 atau lebih dikenal
Riana TM, Pola Pendidikan Berorientasi Kompetensi Dunia Industri Dalam Penyiapan Tenaga Kerja
dengan kurikulum berbasis kompetensi menghendaki proses pembelajaran yang memberdayakan semua peserta didik untuk menguasai kompetensi yang diharapkan dengan menerapkan berbagai strategi dan metode pembelajaran yang menyenangkan, berpusat pada peserta didik, mengembangkan kreativitas, nilai, etika, logika, efektif, efisien bermakna dan menyediakan pengalaman belajar yang beragam. Sehubungan dengan kegiatan pembelajaran yang diharapkan mampu mengembangkan dan meningkatkan kompetensi, kemandirian, kerjasama, dan kecakapan hidup guna membentuk watak serta meningkatkan peradaban dan martabat bangsa, maka model pembelajaran berbasis kompetensi perlu ditentukan standar minimum kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik. Dalam pencapaian Pendidikan Berbasis Kompetensi (PBK) perlu dilakukan pengembangan dan formulasi terhadap pendidikan kejuruan, di samping memperhatikan tuntutan globalisasi dan tren perkembangan teknologi serta kebutuhan pasar kerja baik lokal, nasional maupun internasional, perlu penerapan pola pendidikan berbasis kompetensi secara konsisten dengan memperhatikan potensi wilayah. Berawal dari aliran filosofi yang dominan dipakai sebagai landasan pendidikan kejuruan dalam kaitannya dengan education-for-work yaitu aliran eksistensialisme, esensialisme dan pragmatisme. Eksistensialisme berpandangan bahwa pendidikan kejuruan harus mengembangkan eksistensi manusia, bukan merampasnya. Esensialisme berpandangan bahwa pendidikan kejuruan harus mengkaitkan dirinya dengan sistemsistem yang lain (ekonomi, ketenagakerjaan, politik, sosial, religi dan moral) di dalam birokrasi pemerintah. Sedangkan pragmatisme, memandang bahwa pendidik dan pelajar keduanya penting bagi proses pembelajaran; menggaris-bawahi situasisituasi faktual atau dunia nyata ; konteks dan
pengalaman adalah penting; pendidik harus progresif, dan dituntut dapat membuka ideide baru, karena guru perlu berfungsi sebagai inspirator. Salah satu pendidikan kejuruan yaitu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah pendidikan kejuruan yang berupaya membentuk peserta didik menjadi manusia berkualitas dan produktif. Misi utama penyelenggaraan SMK adalah penyiapan tenaga trampil tingkat menengah yang memiliki jiwa kemandirian guna mengisi kebutuhan dunia kerja, karena itu tujuan khusus pendidikan di SMK adalah : (1) menyiapkan peserta didik agar dapat bekerja, baik secara mandiri atau mengisi lapangan pekerjaan di dunia usaha dan industri (DU/DI) sebagai tenaga kerja tingkat menengah, (2) membekali peserta didik agar mampu memilih karir, ulet dan gigih dalam berkompetensi dan (3) membekali peserta didik dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) agar mampu mengembangkan diri pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, (Wardiman D, 1998 : 31-37) dan (Zahrial Fakhri, 2007 : http://www.acehforum.or.id/pendidikankej uruan). PBK akan menuntun proses pembelajaran yang berorientasi pada kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia kerja, melalui beberapa pendekatan seperti pendekatan dengan mengunakan mastery learning, learning by doing, dan individualized learning. Karena PBK diterapkan untuk melengkapi kekurangan pada pembelajaran konvensional, maka PBK menitikberatkan strategi pembelajaran pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan spesifik dan sikap sesuai dengan yang harus dilakukan dan diterapkan di dunia kerja. Pengetahuan dan keterampilan tersebut harus dapat didemonstrasikan dengan standar kompetensi yang berlaku. Dalam Puskur (2004: 13) dinyatakan bahwa kegiatan pembelajaran adalah kegiatan mengembangkan kemampuan untuk mengetahui, memahami, melakukan sesuatu, hidup dalam kebersamaan dan mengaktualisasikan diri, yang didukung
Jurnal MEDTEK, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2009
dalam Renstra 2005-2009, bahwa dengan kegiatan desentralisasi pendidikan di Indonesia yang diarahkan untuk memberdayakan semua potensi peserta didik, menguasai kompetensi bidang masing-masing, maka salah satu strategi pengembangan SMK dalam mengembangkan mutu dan relevansi SMK adalah dengan membina sejumlah SMK dalam meningkatkan peran serta dunia kerja melalui PBK. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran perlu; 1) berpusat pada peserta didik 2) pengembangan kreatifitas peserta didik 3) menciptakan kondisi yang menyenangkan dan menantang 4) bermuatan, nilai, etika, estetika, logika, dan kinestetika 5) menyediakan pengalaman belajar yang beragam. Karena itu permasalahan yang perlu di perhatikan adalah bahwa; Pengembangan pembelajaran kompetensi SMK masih banyak menghadapi permasalahan, konsep kompetensi belum diterapkan secara benar dan belum terintegrasi dalam perencanaan pembelajaran pendidikan, bahkan dalam praktek, konsep kompetensi masih dipahami secara parsial dengan tanpa mempertimbangkan karakteristik dan potensi daerah. Didukung Abdul Majid (2008: 23) yang menyatakan bahwa salah satu manfaat dari prinsip pembelajaran berbasis kompetensi adalah meningkatkan akuntabilitas publik, dengan kompetensi yang telah disusun, divalidasikan, dan dikomunikasikan kepada publik, sehingga digunakan untuk mempertanggungjawabkan kegiatan pembelajaran. Konsep PBK pada hakikatnya berfokus pada apa yang dapat dilakukan oleh seseorang (kompeten) sebagai hasil atau akibat (output) dari pembelajaran. Seseorang dikatakan punya kompeten apabila mampu melaksanakan tugas-tugas yang ada di dunia kerja, artinya harus mampu mentransfer keterampilan dan pengetahuan pada kondisi dunia kerja, merencanakan dan mengorganisasikan pekerjaan serta mengatasi permasalahan yang timbul dalam pekerjaan.
Tenaga kerja yang dihasilkan oleh SMK dianggap belum memiliki kompetensi yang memadai, sehingga banyak menciptakan pengangguran. Sementara di sisi lain banyak peluang kerja yang masih belum terisi. Hal itu menunjukkan rendahnya kualitas tenaga kerja yang dihasilkan melalui pendekatan pembelajaran konvensional. Selanjutnya dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) perlu dilihat hubungannya mengenai tahap-tahap perkembangan kejuruan, maupun yang berkaitan dengan tahapan proses pembelajaran. Hal ini sangat penting, sebab dalam proses belajar mengajar perlu juga memperhatikan berbagai aspek seperti teori psikologi yaitu, teori perkembangan peserta didik, teori belajar, teori mengajar dan teori motivasi. Tahap-tahap perkembangan SDM hubungannya dengan karir seseorang, dimulai pada usia yang sangat dini dengan persepsi dan identifikasi pekerjaan orang tua serta orang-orang lain di lingkungan dirinya secara terbatas. Tahapan dimaksud berlanjut hingga seseorang akan merenung dan merefleksikan makna kehidupan melalui kontribusinya, sebagai manusia produktif di lingkungan masyarakatnya. Sehubungan dengan misi SMK dalam mempersiapkan peserta didiknya untuk trampil dalam bidangnya maka masalah tenaga kerja yang dihasilkan oleh SMK yang dianggap belum memiliki kompetensi yang memadai, sehingga banyak menciptakan pengangguran, sementara di sisi lain banyak peluang kerja yang masih belum terisi. Hal itu menunjukkan rendahnya kualitas tenaga kerja yang dihasilkan melalui pendekatan pembelajaran konvensional. Berdasarkan data (BPS 2006) Sekolah kejuruan (SMK) dinyatakan menyumbang bobot tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) adalah sebesar 80,52% dari lulusannya, serta menyumbang bobot pengangguran dari total seluruh angkatan kerja dalam struktur pengangguran terbuka di Indonesia adalah sebesar 7,20 %.
Riana TM, Pola Pendidikan Berorientasi Kompetensi Dunia Industri Dalam Penyiapan Tenaga Kerja
PENGERTIAN KOMPETENSI DALAM PENDIDIKAN Kompetensi merupakan kata kunci dari proses pendidikan terutama untuk sekolah kejuruan. Karena itu mendefenisikan kompetensi menjadi sangat penting. Depdiknas (2004:16) mengartikan kompetensi sebagai kemampuan seseorang yang disyaratkan untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu pada dunia kerja dan ada pengakuan resmi atas kemampuan tersebut. Kompetensi dalam konteks praktik kejuruan terdiri atas pengetahuan praktik, keterampilan praktik dan sikap kerja. Pendidikan Kejuruan sebagai bagian dari sistem Pendidikan Nasional mempunyai peranan yang sangat strategis bagi terwujudnya angkatan kerja nasional sebagai keunggulan kompetetif (Competitive Advantage) yang akan memasuki persaingan pasar tenaga kerja. Secara individual, kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan seseorang yang dapat menghasilkan unjuk kerja, dengan aspek pembelajaran, kompetensi dapat diartikan sebagai unjuk kerja seseorang untuk mencapai standar yang diperlukan, dan oleh Spencer and Spencer (1993: 11) mendefinisikan kompetensi sebagai karakteristik yang mendasari seseorang dan berkaitan dengan efektifitas kinerja individu dalam pekerjaannnya (an underlying characteristic’s of an individual which is causally related to criterion-referenced effective and or superior performance in a job or situasion). Selanjutnya menurut Watson Wyatt dalam Ruky (2003: 106) competency merupakan kombinasi dari keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), dan perilaku (attitude),(http://www.bkn.go.id/penelitian /buku%20penelitian%202004/buku%20Peny .%20Ped.%20Peng.%20Kompetensi%20PNS/ bab%20ii.htm), diakses 24/8/29. Jadi kompetensi difokuskan pada kemampuan yang diharapkan dari seseorang di tempat kerja, yang mencakup kemampuan untuk mentransfer serta menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya pada situasi dan lingkungan baru.
Berdasar pada berbagai referensi yang berkaitan dengan standar kompetensi, maka disimpulkan bahwa standar kompetensi adalah pernyataan keterampilan dan pengetahuan serta sikap yang harus dimiliki oleh seseorang untuk mengerjakan suatu pekerjaan sesuai dengan unjuk kerja yang dipersyaratkan. Karena itu kompetensi dapat dilihat dari dua aspek yaitu; (1) sebagai atribut perorangan, yaitu kompetensi individual yang terdiri dari pengetahuan, keterampilan dan kemampuan seseorang yang dapat menghasilkan unjuk kerja dan (2) sebagai hasil pembelajaran yaitu, kompetensi yang diartikan sebagai pencapaian unjuk kerja seseorang sesuai standar yang diperlukan. Kompetensi dalam perspektif modern diartikan sebagai kemampuan seseorang ketika ia mengerjakan suatu tugas yang dihadapi sekarang, bukan kemampuan seseorang mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Dari berbagai uraian tentang arti dan makna kompetensi, maka dalam konteks pendidikan kejuruan, kompetensi mencakup tiga aspek yakni aspek pengetahuan, keterampilan (motorik) dan sikap. Untuk mengetahui sejauhmana kompetensi yang dicapai peserta didik sebagai hasil pendidikan yang diperolehnya, ketiga aspek ini menjadi objek pengukuran dalam penelitian Muh Akyart (2008 : ii), sebagai hasil model penilaian kompetensi kejuruan yang terdiri dari tiga komponen yakni personalitas, gaya belajar, dan kompetensi. Berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2008 dan keputusan Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) Nomor 1513/BSNP /XII /2008 tentang Penilaian dan Prosedur Operasi Standar (POS), maka secara fungsional kebutuhan kompetensi dalam pendidikan kejuruan teknologi merupakan suatu struktur yang telah terwujud dalam kurikulum SMK 2004 yang mencakup aspek kognitif dan psikomotorik yang meliputi aspek afektif, dan dirancang untuk diujikan dalam bentuk teori dan praktek kejuruan (Individual Task), di harapkan dapat
Jurnal MEDTEK, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2009
menjamin terselenggaranya sistem penilaian berbasis kompetensi ( competency - based asesment ) yang lebih taat asas, dan pada gilirannya dapat mendorong terjadinya proses pembelajaran yang berbasis kompetensi /produksi (Sutrisno J, 2009 : i).
PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPETENSI (PBK) Pembelajaran berbasis kompetensi adalah pembelajaran yang dilakukan dengan orientasi pencapaian kompetensi peserta didik. Hasil akhir pembelajaran adalah meningkatnya kompetensi peserta didik yang dapat diukur dalam pola sikap, pengetahuan, dan keterampilannya, Abdul Majid ( 2008: 131-132). Menurut Richard & Rodgers dalam Weddel (2006: 1) bahwa pendidikan berbasis kompetensi berfokus pada hasil pembelajaran yang lebih mengarah pada apa yang diharapkan dilakukan peserta didik dari yang sudah dipelajari (Competency Based Education focuses on outcomes of learning, addresses what the learners are expected to do rather than on what they are expected to learn about). Lebih lanjut dinyatakan Schenck dalam Weddel (2006: 1) bahwa pendidikan berbasis kompetensi adalah instruksi yang berbasis hasil dan adaptif terhadap perubahan kebutuhan peserta didik , guru dan komunitas (competency Based Education is outcome based instruction and is adaptive to the changing needs of students, teachers, and the community). Beberapa pendapat seperti, Stephen P. Becker & Jack G dalam Munthe B (2009 :29) Wina Sanjaya (2009: 130-136) menyatakan bahwa terdapat beberapa aspek dalam setiap kompetensi sebagai tujuan yang ingin dicapai, yaitu: (1)Pengetahuan (Knowwledge), yaitu kemampuan dalam bidang kognitif, mengetahui teknik-teknik mengidentifikasi kebutuhan dan menentukan strategi pembelajaran untuk peserta didik,(2) pemahaman (Understanding), yaitu kedalaman pengetahuan yang dimiliki setiap individu, misalnya guru sekolah dasar bukan hanya sekedar tahu tentang teknik mengidentifikasi peserta didik, akan tetapi
memahami langkah-langkah yang harus dilaksanakan dalam proses mengidentifikasi tersebut,(3) kemahiran (Skill), yaitu kemampuan individu untuk melaksanakan secara praktik tentang tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Misalnya, kemahiran guru dalam menggunakan media dan sumber pembelajaran dalam proses belajar mengajar di dalam kelas; kemahiran guru dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran,(4) nilai (Value), yaitu normanorma yang dianggap baik oleh setiap individu. Nilai inilah yang selanjutnya, akan menuntun setiap individu dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Misalnya nilai kejujuran, nilai kesederhanaan, nilai keterbukaan, dan lain sebagainya,(5) sikap (Attitude), yaitu pandangan individu terhadap sesuatu. Misalnya, senang-tidak senang; suka-tidak suka, dan lain sebagainya. Sikap, erat kaitannya dengan nilai yang dimiliki individu, artinya mengapa individu bersikap demikian? Itu disebabkan nilai yang dimilikinya. (6) minat (Interest), yaitu kecenderungan individu untuk melakukan sesuatu perbuatan, atau minat adalah aspek yang dapat menentukan motivasi seseorang melakukan aktivitas tertentu. Lebih lanjut Munthe B (2009 :53) menyatakan bahwa desain strategi pembelajaran mutlak dikontekstualisaikan dengan desain kompetensi, desain materi dan desain evaluasi. Karena itu harus sesuai dengan, desain materi (content design), desain kompetensi/tujuan hasil pembelajaran (competency lerning objectives design) dan desain evaluasi (evaluation design). Secara prinsip tujuan pembelajaran adalah agar peserta didik berhasil menguasai bahan pelajaran sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan. Karena dalam setiap kelas berkumpul peserta didik dengan kemampuan yang berbeda-beda (kreativitas, kecerdasan, bakat dan kecepatan belajar) maka perlu diadakan pengorganisasian materi, sehingga semua peserta didik dapat mencapai dan menguasai materi pelajaran sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam waktu yang disediakan, misalnya satu semester.
Riana TM, Pola Pendidikan Berorientasi Kompetensi Dunia Industri Dalam Penyiapan Tenaga Kerja
PEMBELAJARAN BERBASIS DUDI (DUNIA USAHA DAN DUNIA INDUSTRI) Pendidikan merupakan upaya merekonstruksi suatu peradaban yang dibutuhkan oleh setiap manusia dan kewajiban yang harus diemban oleh negara agar dapat membentuk masyarakat yang memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan selaras dengan fitrahnya serta mampu mengembangkan kehidupan menjadi lebih baik dari setiap masa ke masa berikutnya. Dalam undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3 disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan definisi ini, terdapat beberapa kecakapan hidup yang diharapkan dapat dimiliki oleh peserta didik setelah menempuh suatu proses pendidikan, dan dapat difahami bahwa secara formal sistem pendidikan di Indonesia diarahkan pada tercapainya cita-cita pendidikan yang ideal dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat. Dengan demikian makna desentralisasi pendidikan yang merupakan bagian dari proses reformasi pendidikan secara keseluruhan dalam proses otonomi daerah, merupakan pemberian kewenangan yang lebih luas di bidang kebijakan pendidikan dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal dan pada saat yang bersamaan kewenangan yang lebih besar juga diberikan pada tingkat sekolah. Secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi pendidikan, yaitu: (1) desentralisasi kewenangan dalam hal kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten), (2) desentralisasi pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah. Konsep desentralisasi pendidikan yang pertama terutama berkaitan dengan otonomi daerah dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah, sedangkan konsep desentralisasi pendidikan yang kedua memfokuskan pada pemberian kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Permasalahan yang timbul dalam desentralisasi pendidikan mencakup landasan filosofis dan pelaksanaannya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa filosofi desentralisasi pendidikan di Indonesia adalah Pancasila, UUD 1945, dan UU nomor 22 dan 25 tahun 1999. Agar pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia dapat efektif, diperlukan perangkat desentralisasi pendidikan yang meliputi; kurikulum, tenaga kependidikan, PBM, sarana prasarana. Dari pengalaman negara-negara maju yang tergabung dalam OECD dan beberapa negara Amerika Latin yang telah melakukan desentralisasi pendidikan dapat ditarik suatu benang merah yang memberikan kesimpulan bahwa kewenangan-kewenangan yang diberikan dalam hal; penentuan buku pelajaran, pelaksanaan PBM, rencana pengembangan sekolah cenderung berlaku di tingkat sekolah saja dan tidak tergantung pada tingkat desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan di negara-negara Amerika Latin menyimpulkan bahwa kewenangan dalam menentukan kurikulum inti tetap berada pada pemerintah pusat, demikian pula dengan kewenangan dalam melaksanakan ujian-ujian yang diberlakukan secara nasional. Kecakapan atau keterampilan hidup (life-skill) yang diperlukan tidak lagi cukup hanya dalam bentuk keterampilan tradisional atau kecakapan menghasilkan teknologi tepat guna, tetapi juga kecakapan memanfaatkan informasi seoptimal mungkin yang berguna bagi pembentukan jati dirinya. Oleh karena itu, berbagai
Jurnal MEDTEK, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2009
keterampilan yang diberikan dalam rangka pemerolehan multi life skilled harus dilandasi oleh keterampilan belajar (learning skill). Belajar adalah berubah merupakan definisi klasik yang masih dapat dipertahankan, karena paling relevan dengan keberadaan sekolah sebagai agen perubahan. Definisi yang inklusive ini mengakomodasi semua tujuan belajar, dari tujuan terendah yakni mengetahui fakta sampai ke tujuan tertinggi yakni kemampuan memecahkan masalah. Sekolah sebagai agen perubahan dan tempat berkembagnya aspek intelektual (head-on), moral (heart-on) dan keterampilan (hand-on) tidak dapat direduksi hanya untuk salah satu tujuan belajar saja. Sekolah akan kehilangan makna jika menekankan pada salah satunya dengan mengabaikan yang lain, karena tujuan awal diadakannya sekolah ialah untuk membekali peserta didik dengan berbagai aspek intelektual dan emosional yang fundamental sehingga ia cerdas, bermoral dan terampil. (Harefa, 2000: 56). Jadi secara umum keterampilan belajar meliputi mengingat fakta, mengingat konsep, mengingat prosedur, mengingat prinsip, menggunakan konsep, menggunakan prosedur, menggunakan prinsip, mengembangkan konsep, mengembangkan prosedur, dan mengembangkan prinsip. Selanjutnya arti belajar dalam konteks belajar keterampilan adalah proses pembentukan jati dirinya yang mengarah kepada keterampilan pengembangan potensi dan kreativitas peserta didik dalam totalitasnya. Dalam keterampilan belajar terakomodasi berbagai kemampuan, termasuk belajar keterampilan yang searah dengan pemberian multi-life skilled. Pembelajaran berbasis keterampilan hidup (life-skilled based education) merupakan salah satu wacana yang dapat diangkat menjadi kebijakan pemerintah untuk menghasilkan tenaga terampil dalam waktu yang singkat. Akan tetapi, dalam implementasinya harus dalam kerangka pendidikan semesta yang menghasilkan keterampilan belajar (learning to learn) terus menerus. Keterampilan belajar lebih inklusif karena mencakup berbagai
aspek perkembangan kepribadian manusia, yang terdiri dari aspek intelektual, moral, dan keterampilan. Lomba Keterampilan Peserta didik (LKS) adalah salah satu pelaksanaan program sistem ganda, dalam kegiatan pemasyarakatan peningkatan dunia industri yang ikut serta mengintensifkan pelaksanaan program sistem ganda (PSG). Gambaran kegiatan kerjasama antara sekolah dan masyarakat luas dalam keberterimaan (acceptability) melalui salah satu kegiatan promosi sekolah yang menjadi wawasan bagi para pelaku dan penanggung jawab program SMK. LKS diselenggarakan untuk memacu peserta didik dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran, karena itu buku “Skill To Ward 2020” yang mengadung makna lebih terfokus pada policy recommendation dalam pengembangan program pendidikan dan pelatihan kejuruan dengan kebijakan “link and match”sangat strategis dalam pembaharuan pendidikan dan pelatihan kejuruan. Penyelenggaraan LKS, dimulai dari lomba tingkat sekolah, tingkat kabupaten/kota, tingkat propinsi, hingga tingkat nasional. Lomba ini dijadikan sebagai media persaingan bagi peserta didik SMK dan untuk menghadapi persaingan memerlukan mutu dan keunggulan (Wardiman Djojonegoro, 1988 : 109). Lebih lanjut Suyanto (2009) menyatakan bahwa kegiatan LKS SMK diselenggarakan sebagai upaya memacu dan memotivasi kreativitas peserta didik SMK pada masing-masing bidang keterampilan, (http://lks.ditpsmk.net/?p=93 diakses 26/08/29). Dijelaskan bahwa pada kegiatan LKS membuktikan peserta didik berhasil menunjukan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki setara dengan tenaga yang dibutuhkan oleh dunia industri dalam jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang merupakan tahapan penting untuk memasuki dunia kerja. Penyelenggaraan LKS SMK tingkat Nasional bertujuan: (1) meningkatkan citra SMK dan mempromosikan perkembangan kualitas performansi kerja yang dimiliki peserta didik, (2) memacu setiap SMK meningkatkan
Riana TM, Pola Pendidikan Berorientasi Kompetensi Dunia Industri Dalam Penyiapan Tenaga Kerja
kualitas proses dan hasil pembelajarannya sesuai dengan tuntutan kebutuhan dunia kerja, (3) meningkatkan kerjasama yang lebih erat antara lembaga pendidikan SMK, dunia usaha/dunia industri dan asosiasi profesi, (4) memupuk persahabatan dan kerjasama secara nasional dalam membangun pendidikan menengah kejuruan, (5) menyediakan wahana pengembangan dan pengakuan keunggulan kerja bagi peserta didik SMK yang memiliki keterampilan sesuai dengan tuntutan dunia kerja, (6) menyiapkan calon delegasi indonesia pada kompetisi tingkat internasional baik melalui Asean Skill Competition (ASC) maupun World Skills Competition (WSC). (http://www.docstoc.com/docs/9710359/ CompetencyStandard_SKKNILISTRIK_INST ALASI_1 diakses tgl 9/9/2009). Hasil pembelajaran dicermati dari indikator intensitas dunia usaha dan dunia industri, pada awal LKS standar penilaian yang digunakan lebih bersifat normatif, namun sejak tahun 2006 acuan itu berubah mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), standar Asean Skills Competition (ASC), dan standar World Skills Competition (WSC). Menurut Harefa (2000: 136) tujuan akhir dari terampil belajar ialah dimilikinya kemampuan memecahkan masalah secara bertanggung jawab. Tanggung jawab ini memiliki makna yang sangat dalam, melampaui kemampuankemampuan lain yang diperoleh dari belajar. Untuk mencapai tujuan akhir tersebut, harus melalui dua tujuan yakni: (1) mampu mengenali hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya, dan (2) dapat berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasikan segenap potensinya, mengekspresikan dan menyatakan dirinya sepenuhnya-seutuhnya dengan cara menjadi diri sendiri. Dengan berbagai pengalaman ini maka potensi kerja seseorang akan mampu membentuk kemampuan mengerjakan sesuatu pekerjaan (kompetensi) bagi orang tersebut. Dengan demikian sistem pendidikan dan pelatihan kejuruan harus mampu memberikan pengakuan dan
penghargaan terhadap kompetensi yang dimiliki oleh seseorang dimanapun dan dengan cara apapun diperoleh. Hal ini akan memotivasi seseorang yang telah mempunyai kompetensi tertentu (dari pengalaman kerja) berusaha untuk mendapatkan pengakuan sebagai bekal untuk mengikuti pendidikan dan latihan lanjutan. Beberapa pakar manajemen berpendapat bahwa SDM yang berkualitas adalah SDM yang minimal memiliki empat karakteristik yaitu (1) memiliki compe-tency (knowledge, skill, abilities dan experience) yang memadai; (2) commitment pada organisasi; (3) selalu bertindak cost - effectiveness dalam setiap aktivitasnya, dan (4) congruence of goals yaitu bertindak selaras antara tujuan pribadinya dengan tujuan organisasi (Komariah, 2002 : 65) . Konsep pendekatan SDM dengan model siklus multi dimension SDM yang oleh Hamalik Oemar (2007 : 3-4) menyatakan bahwa pendekatan integratif SDM dengan cara tersebut adalah;(1) SDM dilihat dari 4 dimensi; (a) hubungan dengan sesamanya,(b) hubungan dengan masyarakat (c) hubungan dengan lingkungan, (d) hubungan manusia dengan Tuhan dan (2) karakteristik kualitas SDM mencakup delapan aspek; (a) kesehatan (b) ekonomi (c) pendidikan (d) keagamaan (e) mental (f) sosial budaya (g) lingkungan alamiah (h) ketahanan dan keamanan . Karena SDM merupakan salah satu faktor kunci dalam reformasi ekonomi, maka perlu keseriusan dalam menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki ketrampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global.
SIMPULAN DAN SARAN Berangkat dari pengertian kompetensi peserta didik yang merupakan sesuatu yang melekat dalam dirinya yang dapat digunakan untuk memprediksi tingkat kinerjanya, sesuatu itu bisa menyangkut motif, konsep diri, sifat, pengetahuan maupun keahlian. Kompetensi individu yang berupa kemampuan dan pengetahuan bisa
Jurnal MEDTEK, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2009
dikembangkan melalui pendidikan dan pelatihan. Sedangkan motif kompentensi dapat diperoleh pada saat proses seleksi. Berhasil tidaknya lembaga pendidikan mencapai visi dan misinya sangat tergantung pada kualitas lulusan yang berujung pada keuletan SDM. Kualitas pendidikan SMK akan dipengaruhi oleh sejauh mana lembaga mampu mengelola seluruh potensi secara optimal mulai dari tenaga kependidikan, peserta didik, proses pembelajaran, sarana pendidikan, termasuk hubungannya dengan masyarakat untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia berdiri sejajar dengan bangsa lain di dunia, karena Insan Indonesia cerdas dan kompetitif.Selanjutnya, kompetensi utama yang diinginkan dunia kerja adalah kompetensi yang mungkin tidak tersirat pada kurikulum namun menjiwai pada kurikulum. Sudah saatnya kompetensi tersebut diarahkan menjadi kultur pada sekolah sehingga kompetensi tersebut yaitu softskill terbentuk atas dasar kerelaan dari peserta didik karena ingin menjadi sumberdaya manusia yang lebih baik, tanpa harus terukur melalui angka-angka kelulusan. Seandainya saja,komunikasi efektif antara dunia kerja dan sekolah terbentuk maka efektivitas penyelenggaraan pendidikan kejuruan akan menghasilkan tenaga kerja yang terserap di dunia kerja. Semoga kajian ini dapat memberikan sedikit pencerahan harapan bahwa pendidikan kejuruan masih dan selalu diperlukan oleh dunia kerja. Semoga.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Majid. (2008). Perencanaan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset. Baharuddin. (2009). Psikologi Pendidikan.Yogyakarta : Ar-Ruzz Media Benny, A.P. (2009). Model Desain Pembelajaran. Jakarta : Dian Rakyat anggota IKAPI Bush & Coleman. (2006). Leadership and Strategic Management in Education. A
SAGE Publications Company: SAGE Publications Inc Dedi Supriadi. (2002). Sejarah pendidikan teknik dan kejuruan di Indonesia: membangun manusia produktif. Jakarta: Depdikbud.Wardiman, D. (1998). Pengembangan sumber daya manusia melalui Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta: PT.Jayakarta Agung Offset. Gay, L. R. (1987). Education research, Competencies for analysis and application. Third edition. Columbus: Merrill Publishing Company. Harefa, Andreas. (2000). Menjadi Manusia Pembelajar. Jakarta: Kompas. Munthe Bermawi. (2009). Pembelajaran.Yogyakarta : Insan Madani.
Desain Pustaka
Komariah, A. & Triatna, C. (2008). Visionary Leadership. Jakarta: Bumi Aksara. Seifert Kelvin. (2007). Pembelajaran & Instruksi Pendidikan. Yogyakarta : IRCiSoD Sinambela, L. P,dkk. (2000). Reformasi Pelayanan Publik. Jakarta: Bumi Aksara. Spencer & Spencer, (1993). Competence At Work. NewYork: John Wiley & Sons. Inc. Mulyasa, E. (2007). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Weddel, K.S. (2006). Competency Based Education and Content Standards. Northern Colorado Literacy Resource Centre:
[email protected] /diakses 6/8/29. Watson Wyatt dalam Ruky. (2003). Specific Job Competencies. http://www.nipissingu.c a/oar/PDFS/V832E.pdf/ diakses 24/8/29 Wibowo J.A, dkk. (2002). Pendidikan Berbasis Kompetensi. Yogyakarta: Andi Offset Wina Sanjaya. (2009). Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.