Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
KAJIAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN PENYAKIT AVIAN INFLUENZA DI LAPANG ENY MARTINDAH, ATIEN PRIYANTI dan IMAS SRI NURHAYATI Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jl. Raya Pajajaran Kav. E-59, Bogor
ABSTRAK Merebaknya kasus penyakit Avian Influenza (AI) sejak tiga tahun yang lalu di berbagai wilayah Indonesia mempunyai dampak yang cukup serius mengingat dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkannya. Berbagai upaya pemerintah untuk mencegah penyebaran virus dan mengendalikan penyakit AI telah dilakukan, diantaranya dengan membentuk Komite Nasional pengendalian flu burung. Dasar hukum berupa aturan telah dilaksanakan melalui kebijakan strategis yang terdiri dari 9 (sembilan) tindakan yang harus dilakukan secara simultan melalui Surat Keputusan Dirjen Bina Produksi Peternakan No. 17/Kpts/PD.640/F/02/04 tentang Pedoman Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular AI pada unggas. Meskipun strategi nasional yang disesuaikan dengan standar WHO, FAO dan Organisasi Kesehatan Hewan Internasional (OIE) sudah dimiliki Indonesia, namun kenyataannya penyakit AI belum dapat dikendalikan secara optimal, dan masih banyak kendala dalam mengimplementasikan strategi tersebut. Kajian dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan 9 strategi pengendalian AI di lapang menunjukkan bahwa kendala utama adalah keterbatasan peternak dan petugas kesehatan hewan dalam melakukan 3E: Early detection, Early reporting dan Early respons, yang berpengaruh pada penyebaran kasus AI. Ini akibat penyuluhan dan sosialisasi tentang penanganan dan pencegahan penyakit AI yang belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga tingkat pengetahuan peternak tentang AI kurang memadai. Lemahnya koordinasi antar instansi terkait dan seluruh lapisan masyarakat menjadi faktor utama penyebab hal ini. Oleh karena itu sosialisasi dan penyuluhan yang tepat, seimbang dan komprehensif kepada masyarakat, peternak dan petugas lapang perlu dilakukan secara berkelanjutan tidak hanya saat terjadi wabah. Kata kunci: Avian influenza (AI), kajian, pengendalian
PENDAHULUAN Penyakit Avian Influenza (AI) atau lebih populer dengan flu burung yang mewabah di Indonesia sejak bulan September tahun 2003 telah menimbulkan kerugian bagi banyak pihak. Penyakit ini menjadi perhatian dunia karena telah menular ke manusia pada tahun 1997 di Hongkong. Setelah itu flu burung ditemukan di sejumlah negara Asia, yaitu Korea Selatan, China, Jepang, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Penularan dari hewan ke manusia yang menyebabkan kematian menimbulkan kekhawatiran terjadinya pandemi (wabah penyakit infeksi yang menyebar ke seluruh dunia atau dalam wilayah yang luas) seperti pandemi yang terjadi pada tahun 1918-1919 di kenal sebagai Spanish Flu (Influenza Spanyol), dan dianggap sebagai wabah terbesar (SOEHADJI et al., 2006). Penyakit AI disebabkan oleh virus Influenza Tipe A, dan berdasarkan
168
patogenitasnya dibedakan menjadi dua bentuk yaitu Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) dan High Pathogenic Avian Influenza (HPAI). Selain menyerang ayam ras, penyakit AI juga menyerang berbagai jenis unggas termasuk unggas eksotik yang dipelihara di kebun binatang. Banyak pakar melaporkan bahwa unggas air seperti entog, angsa dan itik bertindak sebagai carrier virus AI, sehingga dapat berperan sebagai ’inkubator’ virus, sementara ternak babi dapat bertindak sebagai intermediate host dan diduga burung-burung liar dapat menyebarkan virus. Realitas ini memungkinkan terjadinya penyebaran penyakit lebih luas termasuk penularan pada manusia, karena AI merupakan salah satu penyakit zoonosis. Sejauh ini belum dilaporkan terjadinya penularan langsung dari manusia ke manusia. Namun bagi para ahli influenza di organisasi kesehatan dunia – WHO, kondisi di Asia cukup mengkhawatirkan, karena kultur kehidupan di Asia, dimana manusia, ayam dan
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
babi dapat hidup bersama-sama dalam satu habitat. Hal ini merupakan lahan ideal untuk terjadinya mutasi silang. Di Indonesia, virus LPAI sudah diisolasi dari itik dan burung Pelikan pada tahun 1983 dan diidentifikasi sebagai H4N6 dan H4N2 (RONOHARDJO, 1983; RONOHARDJO et al., 1985 dan 1986). Penyebab wabah peyakit AI yang terjadi di Indonesia pada tahun 2003 telah dapat diisolasi, dan selanjutnya dikarakterisasi sebagai virus AI dengan subtipe H5N1 yang sangat patogen (DAMAYANTI et al., 2004; DHARMAYANTI et al., 2004; WIYONO et al., 2004). Beberapa strain virus LPAI mampu bermutasi pada kondisi lapang menjadi virus HPAI. Virus HPAI bersifat sangat infeksius dan dapat menyebabkan kematian hingga 100% dalam waktu yang cepat pada unggas dengan atau tanpa gejala klinis, dan dapat menyebar dengan cepat antar flock. Penularan ke unggas lain terjadi melalui kontak langsung dengan sumber penularan sekresi hidung, mata dan feses dari unggas terinfeksi, udara di daerah tercemar, peralatan kandang tercemar atau secara tidak langsung melalui pekerja kandang, kendaraan pengangkut, pakan, dan lain-lain yang berasal dari daerah tercemar. Feses yang terkontaminasi virus AI dapat tahan sampai waktu yang sangat lama terutama dalam keadaan sejuk dan lembab (CIDRAP, 2004). Wilayah Indonesia yang terjangkit AI pada tahun 2003 adalah 9 propinsi, meliputi 51 kabupaten. Pada akhir tahun 2004 tercatat 16 propinsi yang mencakup 100 kabupaten/kota dan pada Desember 2005 HPAI telah endemis di 25 dari 33 propinsi di Indonesia (ANONIMMUS, 2005). Sampai bulan Juli 2006 penyakit AI telah menyebar di 27 propinsi, dan sekitar 20 juta unggas mati atau dimusnahkan, belum termasuk kematian di peternakan rakyat (sektor 4) karena tidak ada data dukung yang akurat (NAIPOSPOS, 2006). Kekhawatiran akan terjadinya pandemi flu burung tidak hanya berlaku di Indonesia dan Asia, namun telah menjadi kekhawatiran global, karena kasus yang sama juga telah dilaporkan terjadi di Afrika dan beberapa negara di Eropa (HADIYANTO, 2006). Merebaknya kasus penyakit AI di berbagai wilayah Indonesia diduga mempunyai dampak yang cukup serius secara lintas sektoral,
mengingat dampak sosial ekonomi yang ditimbulkannya. Hal ini meliputi: (a) Keterpurukan industri perunggasan dan sarana pendukungnya; (b) Meningkatnya impor produk peternakan; (c) Kepanikan masyarakat, yang berakibat sebagian menghindari konsumsi telur dan daging ayam. HERNOMO (dalam POULTRY INDONESIA, edisi Mei 2006), menyatakan bahwa kepanikan yang terjadi di masyarakat bukan karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan media, akan tetapi karena materi dan pelaksanaan sosialisasi keliru. Sebagai contoh, sebelum merebaknya AI, jika ada kasus pneumonia diarahkan ke Tuberkolosis, tetapi sekarang hal tersebut diarahkan menuju kasus penyakit AI. Pemberitaan yang berlebihan tentang flu burung ternyata memiliki ekses bagi perunggasan nasional. Kerugian yang dialami oleh masyarakat perunggasan bukan disebabkan dampak langsung dari wabah flu burung, melainkan akibat pemberitaan yang berlebihan, tidak proporsional, dan informasi yang parsial. STRATEGI PENCEGAHAN, PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT AI Sejak awal tahun 2004, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang bersifat strategis dalam rangka pencegahan penyebaran virus, terdiri dari 9 (sembilan) tindakan yang harus dilakukan secara simultan. Kebijakan tersebut ditetapkan melalui Surat Keputusan Dirjen Bina Produksi Peternakan No. 17/Kpts/PD.640 /F/02/04 tentang Pedoman Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular Avian Influenza (AI) pada unggas. Inti dari program tersebut adalah pelaksanaan sembilan tindakan strategis yang mencakup (1) Peningkatan biosekuriti; (2) Vaksinasi; (3) Depopulasi (pemusnahan terbatas) di daerah tertular; (4) Pengendalian lalu lintas unggas, produk unggas dan limbah peternakan unggas; (5) Surveilans dan Penelusuran; (6) Pengisian kandang kembali (restocking); (7) Stamping out (pemusnahan menyeluruh) di daerah tertular baru; (8) Peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness); dan (9) Monitoring dan evaluasi.
169
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
Perhatian pemerintah dalam menangani flu burung ditunjukkan dengan dibentuknya Komite Nasional Pengendalian Flu Burung melalui Peraturan Presiden (PP) No. 7/2006, setelah beberapa waktu sebelumnya Presiden memanggil enam gubernur, yang kemudian ditindaklanjuti dengan sweeping unggas oleh Pemda di wilayah Jabotabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Hal ini dilakukan mengingat komunitas kesehatan manusia dan hewan di luar maupun di dalam negeri, termasuk WHO, FAO juga PBB berkeyakinan bahwa dunia akan menghadapi pandemi flu burung. Pemerintah Indonesia juga serius dalam menghadapi pandemi, antara lain
dengan membentuk kelembagaan di tingkat Menko Kesra ”Task Force Flu Burung”, serta menyiapkan perangkat hukum dan meningkatkan sistem deteksi dini. Rapat koordinasi di Bappenas awal Desember 2005, telah menghasilkan ”Rencana strategis pengendalian flu burung dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza”. Strategi nasional ini terbagi 2 (dua) yaitu 10 strategi di hulu dan 5 strategi di hilir (Tabel 1). Sepuluh strategi pengendalian AI di hulu menjadi tanggung jawab Departemen Pertanian, dan lima strategi kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza di hilir di tangani Departemen Kesehatan.
Tabel 1. Rencana strategi nasional pengendalian flu burung dan kesiapsiagaan menghadapi pendemi influenza No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Departemen pertanian (hulu) Pengendalian penyakit pada hewan Penatalaksanaan kasus pada hewan Perlindungan kelompok resiko tinggi Surveilans epidemiologi pada hewan Restrukturisasi sistem industri perunggasan Komunikasi, informasi dan edukasi Penguatan dukungan peraturan Peningkatan kapasitas Penelitian kaji tindak Monitoring dan evaluasi
Departemen kesehatan (hilir) Penguatan manajemen berkelanjutan Penguatan surveilans pada manusia Pencegahan dan pengendalian Penguatan kapasitas respon pelayanan kesehatan Komunikasi, informasi dan edukasi
Sumber: Trobos, edisi Januari 2006
HADIYANTO (2006) mengungkapkan bahwa, momentum ini penting bagi bangsa Indonesia untuk mencoba belajar mengimplementasikan health communication, yang tidak hanya melakukan penyadaran kepada masyarakat, tetapi sekaligus berupaya agar masyarakat secara sadar dan bertanggungjawab untuk mengubah kebiasaan hidup sehari-hari menuju masyarakat yang peduli kesehatan diri dan lingkungannya. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, suatu studi untuk melakukan pengkajian penanganan dalam pengendalian penyakit AI di lapang telah dilakukan.
170
STUDI KASUS DI WILAYAH OUTBREAK DAN PRODUSEN UNGGAS Survei lapang menggunakan metode RRA (Rapid Rural Appraisal) dilakukan pada bulan Desember 2005, di 7 (tujuh) propinsi yang memiliki kasus potensial, yaitu Propinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Jambi, Riau dan Sulawesi Selatan. Survei ini bertujuan untuk mendapatkan informasi lapang maupun persepsi dari lembaga dan instansi terkait di lokasi contoh dalam menyikapi kasus penyakit AI melalui pendekatan “sembilan langkah” pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit AI dengan terbitnya SK Ditjennak Nomor 17/Kpts/PD.640/F/02.04. Pengumpulan data dilakukan dengan alat bantu kuesioner yang terdiri dari kuesioner untuk peternak dan untuk Dinas Peternakan atau yang terkait dengan
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
fungsi kesehatan hewan. Sejumlah 266 peternak (sebagai responden) yang terdiri dari peternak/pemelihara ayam ras (pedaging dan petelur), itik, ayam lokal, dan burung puyuh dari 13 kabupaten/kota dan mencakup 53 kecamatan telah diwawancara (Tabel 2) dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Jumlah responden yang diwawancara berdasarkan jenis unggas yang dipelihara disajikan pada Tabel 3. Kegiatan ini
dilaksanakan atas kerjasama dengan instansi terkait di daerah seperti Dinas Peternakan Propinsi atau BB Veteriner, dan dibantu oleh staf Dinas Peternakan di Kabupaten atau Kota dimana kegiatan dilakukan. Data dan informasi lapang yang terkumpul di analisis secara deskriptif. Informasi dan masukan dari nara sumber dan lembaga terkait juga dijaring melalui kegiatan lokakarya serta diskusi internal dan eksternal.
Tabel 2. Lokasi dan jumlah responden yang diwawancara No
Kabupaten/Kota (Provinsi)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Jumlah
Kota Tangerang (Banten) Kota Sukabumi (Jawa Barat) Kabupaten Sukabumi (Jawa Barat) Kabupaten Kediri (Jawa Timur) Kabupaten Blitar (Jawa Timur) Kota Jambi (Jambi) Kabupaten Batanghari Kota Binjai (Sumatera Utara) Kota Medan (Sumatera Utara) Kota Pekanbaru (Riau) Kabupaten Kampar (Riau) Kabupaten Pinrang (Sulawesi Selatan) Kabupaten Wajo (Sulawesi Selatan) 13
Jumlah Kecamatan
Jumlah responden
5 6 5 2 3 3 2 5 2 3 4 8 5 53
10 12 13 34 16 14 25 27 28 16 21 22 28 266
Tabel 3. Jumlah responden berdasarkan jenis unggas yang dipelihara
No
Kabupaten/Kota
Ayam buras
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Kota Tangerang Kota Sukabumi Kabupaten Sukabumi Kabupaten Kediri Kabupaten Blitar Kota Jambi Kota Batanghari Kota Binjai Kota Medan Kota Pekanbaru Kabupaten Kampar Kabupaten Pinrang Kabupaten Wajo Jumlah (%)
3 10 4 9 10 12 24 25 28 2 6 4 2 122; (46%)
Jumlah peternak (responden) Unggas air Broiler Layer (petelur) (Itik/entog) 2 1 4 2 7 1 34 15 7 1 2 1 2 13 1 15 3 3 16 25 1 66; 25%) 63 (24%) 12 (4%)
Burung puyuh 1 1 1 3 (1%)
171
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
Sebagian besar responden menyatakan bahwa beternak unggas yang mereka usahakan sebagai sumber utama mata pencaharian mereka dengan skala usaha yang bervariasi tergantung dari ketersediaan sumberdaya (lahan, tenaga kerja dan modal) yang dimiliki. Namun, bagi pemelihara ayam buras (backyard farm), memelihara ayam hanya merupakan sampingan dan mereka tidak menyediakan sumberdaya (input) secara khusus. Hasil kajian dan evaluasi menunjukkan bahwa kendala utama dalam penerapan 9 (sembilan) strategi pengendalian AI di lapang adalah keterbatasan peternak dan petugas kesehatan hewan melakukan 3E: Early Detection (ED), Early Reporting (ERp) dan Early Respons (ERs). Kelemahan dalam melakukan 3E ini sangat berpengaruh pada penyebaran kasus AI ke daerah lain. Untuk itu beberapa hal penting yang harus dilakukan adalah: segera melaporkan kasus diduga AI, segera melakukan deteksi dini (ED): Klinis, PA, laboratoris, melaporkan segera hasil diagnosis positif (ERp), segera melakukan tindakan/gerak cepat (ERs), dan penyakit AI wajib dilaporkan. Sehubungan dengan adanya gejala klinis dan perubahan patologik yang bervariasi, maka diagnosis definitif AI hanya didasarkan atas isolasi dan identifikasi virus. Diagnosis sangkaan dapat didasarkan atas riwayat kasus, gejala klinik, perubahan patologik, dan tidak adanya penyakit pernafasan lain, khususnya Newcastle disease (ND) dan kolera unggas. Dari 9 strategi pengendalian, hanya 6 (enam) strategi yang dapat dilaksanakan oleh Dinas Peternakan atau Dinas terkait yang membidangi fungsi kesehatan hewan. Aksi yang telah dilakukan untuk pengendalian dan pencegahan penyakit AI antara lain vaksinasi, biosekuriti dengan penyemprotan di kandangkandang peternak, sosialisasi (public awareness) kepada masyarakat melalui penyuluhan, brosur, maupun membentuk posko pengendalian penyakit AI, pengendalian lalulintas ternak termasuk unggas, surveilans, monitoring dan pelaporan. Sementara depopulasi, restocking dan stamping out hanya dilakukan pada kasus tertentu, misalnya di Kota Tangerang pada tahun 2004, dan Kota Dumai yang melakukan stamping out pada bulan Desember 2005. Pada kenyataannya pelaksanaan depopulasi (pemusnahan selektif)
172
di daerah endemis tidak mudah dilakukan karena terkait dengan kompensasi yang belum jelas. Kalau dicermati, terdapat kelemahan mendasar dari penerapan kebijakan pemerintah dalam penanggulangan AI, sehingga kebijakan tersebut berjalan kurang optimal. Menurut para ahli hal ini disebabkan lemahnya koordinasi dari pusat hingga ke daerah, serta prioritas penanganan yang tidak tepat, yaitu penekanan pada kesehatan manusia daripada hewan sumber penyakit. Dalam kesempatan diskusi yang diprakarsai oleh Harian Kompas bekerjasama dengan Food and Agribusiness Center (FAC) 12 Juni 2006 di Jakarta, Komnas penanggulangan flu burung mengakui bahwa meskipun Indonesia sudah memiliki strategi nasional yang disesuaikan dengan standar WHO, FAO dan Organisasi Kesehatan Hewan Internasional (OIE), namun persoalan terbesar adalah pada implementasi strategi tersebut. Dalam diskusi terungkap: (i) tidak ada riset terpadu dan terarah mengenai dinamika virus AI di Indonesia, padahal virus AI termasuk labil secara genetik dan mudah beradaptasi untuk menghindari pertahanan tubuh inang, (ii) tingkat pengetahuan masyarakat peternak sektor 3 dan 4 mengenai AI masih rendah, (iii) titik kritis lain adalah keterbatasan pengetahuan tenaga kesehatan hewan yang menjadi ujung tombak penanggulangan AI. Secara umum masyarakat belum memperoleh informasi yang utuh tentang upaya penanganan dan pencegahan penyakit AI dari petugas maupun dari media baik elektronik atau cetak. Meskipun sebenarnya dari pihak pemerintah daerah setempat (Petugas Dinas Peternakan) telah melaksanakan upaya penanganan penyakit AI (vaksinasi dan penyemprotan), namun upaya tersebut kadang tidak disertai penjelasan tentang maksud dan tujuannya, akibatnya pada saat ada kasus AI pada ternak unggas, masyarakat belum dapat melakukan pelaporan secara dini kepada petugas yang berwenang. Kegiatan sweeping dari rumah ke rumah sebaiknya dilakukan secara bijaksana dengan didahului kegiatan komunikasi, informasi, edukasi (KIE) tidak dilakukan secara gegabah agar tidak menimbulkan kecemasan/ kekhawatiran yang semakin memuncak. Seharusnya kegiatan komunikasi, informasi, edukasi (KIE) tentang flu burung direncanakan
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
secara matang dan komprehensif agar memberikan dampak jangka panjang dan berkesinambungan (HADIYANTO, 2005). Dari pengamatan dan wawancara langsung menunjukkan bahwa penyuluhan dan sosialisasi tersebut belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Sehingga tingkat pengetahuan peternak tentang AI masih kurang memadai. Hal ini juga terjadi di lokasi lain di Pulau Sumatera dan Kalimantan seperti yang dilaporkan oleh Tim Kajian AI FKH IPB (2005). Hal ini menyebabkan peran aktif masyarakat umum dalam program pengendalian AI masih sangat rendah dan sistem pelaporan penyakit/kematian unggas masih lemah. Selain tidak ada kejelasan program kompensasi bagi peternak yang memusnahkan unggasnya yang terinfeksi, ternyata banyak peternak yang diam-diam menjual unggasnya yang sakit ke pasar dan bukan memusnahkannya. Walaupun demikian, sebagian besar responden menyatakan kekhawatirannya dengan penyebaran penyakit AI (flu burung), karena disamping akan merugikan usaha mereka, hal ini juga terkait dengan penularan kepada manusia. Mereka masih awam tentang penyebaran penyakit flu burung ini baik pada ternak maupun manusia. Masyarakat tidak tahu apa yang harus dilakukan dan berusaha menebak-nebak sendiri sehingga yang muncul kepanikan. Untuk itu diperlukan penyuluhan yang komprehensif, tepat dan seimbang dalam memberikan informasi-informasi yang relevan tentang penyakit AI. Seperti telah diketahui bahwa tindakan vaksinasi merupakan salah satu pilihan untuk mencegah dan mengurangi penyebarluasan penyakit AI terutama pada daerah-daerah tertular dan terancam. Deptan lebih memilih vaksinasi massal, karena jika stamping out yang dipilih, berarti pemerintah harus memusnahkan seluruh ayam yang ada di Jawa karena flu burung telah menyebar di seluruh wilayah ini. Pulau Jawa menyumbang 60% dari populasi ternak unggas Indonesia sehingga kalau stamping out dilakukan akan memukul industri unggas nasional (KOMPAS, 1 Oktober 2005). Vaksinasi AI harus dilaksanakan secara terpadu dengan aspek penanggulangan yang lain, artinya vaksinasi AI pada unggas bukan merupakan strategi yang berdiri sendiri (NAIPOSPOS, 2006). Cakupan vaksinasi lebih
dari 70% terhadap unggas di sektor 4 di lokasi survei sulit dilakukan, demikian pula monitoring hasil vaksinasi, sehingga daya perlindungan vaksin belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli berpendapat bahwa vaksinasi AI pada unggas pada satu sisi dapat menekan kejadian/kerugian akibat AI, tetapi pada sisi lain mempunyai efek yang merugikan pada kesehatan unggas dan manusia (TABBU, 2005). Vaksinasi AI tidak dapat menghilangkan infeksi virus, namun penggunaan vaksin berkualitas yang didukung oleh biosekuriti ketat diharapkan dapat menekan pencemaran dan tantangan virus AI di lapang, sehingga viral shedding (penyebaran virus) dan pencemaran virus pada lingkungan dapat dicegah (NAIPOSPOS, 2006; TABBU, 2005). Akan tetapi jika pelaksanaannya tidak benar bisa menimbulkan epidemik (CAPUA dan MARANGON, 2004). OIE dan FAO dalam pertemuan di Roma 2004 merekomendasi program vaksinasi AI pada unggas untuk mengendalikan penyebaran AI di negara-negara tertular dengan wabah yang berat dan telah meluas. Sektor 4 merupakan tempat hidup berbagai jenis unggas dengan kepekaan yang berbeda terhadap virus AI, sehingga cenderung sebagai carrier virus. Karena antibodi AI/virus AI ditemukan pada kelompok unggas di sektor 4 yang tidak divaksinasi, maka diduga unggas di sektor 4 mempunyai peran sebagai sumber penularan berbagai kasus flu burung (TABBU, 2005). Program pengendalian akan semakin sulit apabila vaksinasi tidak dilaksanakan serentak, bersamaan dan massal yang mencakup seluruh populasi terancam di daerah tertular, terutama unggas rakyat. WIBAWAN dan MAHARDIKA (2005) menyarankan, vaksinasi hendaknya disertai dengan strategi untuk memantau virus ganas yang mungkin masih beredar di kandang dan sekitarnya. Dengan demikian, kebijakan vaksinasi hendaknya disertai penyediaan dan pelaksanaan prosedur pemantauan virus yang pathogen pada ternak yang divaksin. Sarana untuk menyimpan vaksin sebelum didistribusikan juga menjadi kendala, misalnya kulkas terlalu kecil sehingga tidak cukup untuk menyimpan vaksin, jumlah spuit otomatis sangat terbatas, sarana kendaraan untuk mobilitas ke lapangan belum terpenuhi sehingga jangkauan sangat terbatas, selain itu
173
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
insentif bagi petugas vaksinator di sektor 4 belum memadai. Lalulintas ternak antar daerah (kabupaten/kota) maupun propinsi susah dikontrol. Jumlah personil/petugas masih sangat terbatas. Di Kabupaten Kampar, misalnya banyak masyarakat memelihara ikan lele, mereka menggunakan limbah ayam seperti kulit, usus dsb sebagai pakan ikan yang didatangkan dari Sumatera Barat. Sementara di pos-pos pemeriksaan lalulintas ternak pada malam hari tidak ada penjaga. Hal ini perlu dicarikan solusi agar pengawasan lalulintas unggas dan produk unggas bisa optimal. Faktor lain yang mempersulit penanganan AI diantaranya adalah kurang terkoordinasi kerjasama yang harmonis antara beberapa instansi terkait. Lemahnya langkah-langkah biosekuriti (di sektor 3 masih kurang, sedangkan di sektor 4 tidak menerapkan biosekuriti), tingginya prevalensi di sektor 3 dan 4 di daerah padat penduduk, tidak adanya kepercayaan kalangan produsen terhadap kemampuan pemerintah untuk mengatasi masalah AI di lapangan, serta kepanikan masyarakat akibat kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya dipahami menjadi faktorfaktor penyebab kurang berhasilnya pengendalian penyakit AI (SOEHADJI et al., 2006). Menurut SUDIRMAN (dalam TROBOS, Oktober 2006), penerapan compartment base dalam penanggulangan AI di sektor perunggasan dapat dipertimbangkan, mengingat AI telah menyebar di hampir semua propinsi di Indonesia, oleh karena itu strategi penanggulangan sebaiknya dimulai dari yang kecil agar lebih fokus. Compartment adalah sebagai satu subpopulasi yang memiliki manajemen dan sistem biosekuriti yang sama (OIE dalam situs www.oie.int), ini berbeda dengan zona yang lebih berdasarkan pada status geografi suatu wilayah; cakupan compartment tidak ada batasan untuk setiap perusahaan/industri. Kelompok tani kecil bisa masuk dalam satu compartment jika memiliki sistem manajemen biosekuriti dan surveilans yang sama, dengan demikian pemberantasan AI bisa lebih sederhana dan terarah.
174
KESIMPULAN DAN SARAN Program ’9 (sembilan) tindak strategis’ yang telah dicanangkan oleh Pemerintah sudah sangat baik, namun dalam kenyataannya implementasi langkah tersebut masih perlu diperkuat dan dilaksanakan dengan penuh kebersamaan oleh berbagai pihak terkait. Oleh karena itu sosialisasi perlu terus dilakukan, terutama kepada masyarakat, peternak dan petugas lapang. Penyuluhan yang tepat, seimbang dan komprehensif perlu dilakukan secara berkelanjutan, tidak hanya saat terjadi wabah. Diperlukan koordinasi yang lebih baik antar instansi terkait (Departemen Pertanian, Kesehatan dan Pemerintah Daerah) dan seluruh lapisan masyarakat sangat diperlukan untuk mencapai sinergisme yang kondusif dalam menanggulangi penyakit AI. Demikian pula halnya dengan penataan ulang kebijakan bagi back yard farm (sektor 4), dan strategi untuk meningkatakan cakupan vaksinasi dan monitoring post vaksinasi. Dalam pengaturan lalu lintas unggas dan produknya harus dilakukan secara ketat, untuk itu perlu komitmen yang konsisten dari pelaku/pedagang unggas untuk mendapat surat keterangan kesehatan hewan (SKKH) secara legal. Kasus flu burung menjadi momentum untuk melakukan pembenahan banyak hal, termasuk mengubah perilaku masyarakat dan sistem peternakan ke arah yang lebih sehat. DAFTAR PUSTAKA ANONIMMUS. 2005. National Strategic Work Plan for the Progressive Control of Highly Pathogenic Avian Influenza in Animals. Avian Influenza Control Campaign 2006-2008. An Indicative Outline. Ministry of Agriculture, Jakarta, Indonesia. December 2005. CAPUA, I. and S. MARANGON. 2004. Vaccination for Avian Influenza in Asia. Vaccine. 22:41374138. CIDRAP (Center for Infectious Disease Reseacrh & Policy). 2004. Highly Patthogenic Avian Influenza (Fowl Plaque). Academic Health Center, University of Minnesota. pp 14.
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
DAMAYANTI, R., A. WIYONO, R. INDRIANI, N.L.P.I. DHARMAYANTI dan DARMINTO. 2004. Gambaran Klinis dan Patologis pada Ayam Terserang Flu Burung sangat Pathogenic (HPAI) di Beberapa Peternakan di Jawa Timur dan Jawa Barat. JITV 9 (1): 128-135. DHARMAYANTI, N.L.P.I., R. DAMAYANTI, A. WIYONO, R. INDRIANI dan DARMINTO. 2004. Identifikasi Virus Avian Influenza Isolat Indonesia dengan Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). JITV 9 (1): 136-143. HADIYANTO. 2006. Komnas Flu Burung dan Urgensi KIE. Poultry Indonesia, Edisi Mei 2006. KOMPAS. 2005. Pemberantasan Flu Burung Terganjal Koordinasi. Kompas, 1 Oktober 2005. NAIPOSPOS, T.S.P. 2006. Poultry Vaccination: A Key Tool in the Control of Avian Influenza. Paper Presented at International Symposium on the Challenge and Implication of Avian Influenza on Human Security: Sharing Problems, Sharing Solutions. Jakarta, 13-14 July 2006. POULTRY INDONESIA. 2006. FPUI Konsisten Peduli Unggas. Poultry Indonesia, Edisi Mei 2006. RONOHARDJO, P. 1983. Penyakit Cengesan atau Selesma pada Itik Tegal, Bali dan Alabio. Penyakit Hewan (25) Semester 1: 61-71 RONOHARDJO, P., S. HARDJOSWORO, S. PARTOATMOJO and M. PARTADIREDJA, 1985. The Identification and Distribution of Influenza a Virus in Indonesia. Penyakit Hewan XVII (29), Semester I : 249-257.
RONOHARDJO, P., S. PARTOUTOMO, S. HASTIONO, N. GINTING and S. POERNOMO. 1986. The Status of Duck Disease in Indonesia. Penyakit Hewan XVIII (31). Semester 1: 86-93. SOEHADJI, A. JAELANI, G.M.S. NOOR dan R.P.A. LELANA. 2006. Analisis Opini Publik: Perkembangan Wabah Flu Burung di Indonesia. Hemera Zoa 83(1): 1-6. TABBU, C.R. 2005. Vaksinasi sebagai Satu Paket Penanggulangan AI. Poultry Indonesia, Edisi Mei 2005. TIM KAJIAN AVIAN INFLUENZA FKH-IPB. 2005. Kajian Seroepidemiologi Penyakit Avian Influenza serta Strategi Penanggulangan dan Pencegahannya di Sumatera dan Kalimantan. Laporan akhir. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor bekerja sama dengan Departemen Pertanian 2005. TROBOS. 2006. Pergeseran Paradigma Penanganan AI. Trobos, Edisi Januari 2006, Tahun ke VII, No. 76. TROBOS. 2006. Compartment Base: Strategi Kendali AI. Trobos, Edisi Oktober 2006, Tahun ke VII, No. 85 WIBAWAN, I.W.T. dan G.N. MAHARDIKA. 2005. Mekanisme Kekebalan terhadap Avian Influenza. Hemera Zoa 83(1):7-17. WIYONO, A., R. INDRIANI, N. L. P. I. DHARMAYANTI, R. DAMAYANTI dan DARMINTO. 2004. Isolasi dan Karakterisasi Virus Highly Pahtogenic Avian Influenza Subtipe H5 dari Ayam Asal Wabah di Indonesia. JITV 9 (1): 61-71.
175