KAJIAN BEBERAPA JENIS HASIL HUTAN NON KAYU POTENSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) DI PROVINSI NTT Oleh: Eko Pujiono Balai Penelitian Kehutanan Kupang 1. Keterkaitan Kebijakan Hkm dan Kegiatan Penelitian Di BPK Kupang Kebijakan Hutan Kemasyarakatan pertama kali dikeluarkan pada tahun 1995 melalui penerbitan Kepmenhut No.622/Kpts-II/1995. Tindaklanjutnya, Dirjen Pemanfaatan Hutan, didukung oleh para LSM, universitas, dan lembaga internasional, merancang proyek-proyek uji-coba di berbagai tempat dalam pengelolaan konsesi hutan yang melibatkan masyarakat setempat. Hingga tahun 1997, bentuk pengakuan HKm masih sangat kecil. Lalu Menhut mengeluarkan Keputusan No. 677/Kpts-II/1997, mengubah Keputusan No.622/Kpts-II/1995. Regulasi ini memberi ruang pemberian hak pemanfaatan hutan bagi masyarakat yang dikenal dengan Hak Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKM) yang terbatas pada pemanfaatan hutan non kayu. Menhut juga merancang pelayanan kredit agar masyarakat yang berminat dapat memulai unit-unit usaha berbasis hasil hutan. Promosi bentuk HKm ini merupakan suatu pendekatan yang dapat meminimalisir degradasi hutan dan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat. Kemudian Kepmenhut tersebut di rubah dengan mengeluarkan Kepmenhut No. 31/Kpts-II/2001. Dengan adanya keputusan ini, masyarakat diberi keleluasaan lebih besar sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan. Namun lagi-lagi tidak membuahkan hasil yang maksimal karena adanya kerancuan kebijakan dan tidak terakomodasikannya hak-hak masyarakat setempat. Keputusan-keputusan terhadap KM di atas juga pada intinya digunakan oleh pemerintah untuk melindungi kawasan hutan khususnya hutan produksi yang tidak tercakup dalam kawasan HPH skala besar. Kebijakan itu kemudian disempurnakan lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan dan kemudian diikuti dengan perubahan-perubahannyanya (Permenhut No.P.18/Menhut-II/2009, Permenhut No. P.13/Menhut-II/2010, hingga Permenhut No.P52/Menhut-II/2011). Dalam peraturan tersebut, pemerintah menjelaskan petunjuk teknis berkaitan dengan prosedur untuk memperoleh hak-hak kelola HKm, termasuk rincian proses perijinan dan pemberian ijin usaha pemanfaatan pengelolaan hutan kemasyarakatan (IUPHKm). Dalam peraturan itu disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. HKm diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat sehingga mereka mendapatkan manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. HKm hanya diberlakukan di kawasan hutan lindung (HL) dan hutan produksi (HP). Ketentuannya, hutannya tidak dibebani hak atau ijin dalam pemanfaatan hasil hutan dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Ijin Usaha Pemanfaatan
Pengelolaan HKm (IUPHKm) diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan diperpanjang sesuai dengan hasil evaluasi setiap 5 tahun. HKm diperuntukkan bagi masyarakat miskin setempat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan serta menggantungkan penghidupannya dari memanfaatkan sumberdaya hutan. Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2007 pasal 15 disebutkan bahwa beberapa kegiatan yang dapat dilakukan oleh pemegang IUPHKm adalah: kegiatan pemungutan HHBK (pada HL&HP), penanaman tanaman berkayu (pada HP) dan pemanfataan HHBK (pada HP). Pada pasal 16, pemafataan kawasan di HL dan HP dijelaskan secara lebih detail dengan menyebutkan beberapa kegiatan usaha, antara lain: budidaya tanaman obat, budidaya lebah madu. Lebih lanjut dinyatakan pemanfaatan HHBK dalam hutan alam dan hutan tanaman diantaranya dapat berupa pemanfaatan kulit kayu, daun dan gaharu. Bagaimana keterkaitan kebijakan tentang HKm tersebut dengan kegiatan-kegiatan di Balai Penelitian Kehutanan Kupang? BPK Kupang mengemban tugas melaksanakan penelitian di bidang konservasi dan rehabilitasi, peningkatan produktivitas hutan, keteknikan dan pengolahan hasil hutan, serta perubahan iklim dan kehutanan. Mengingat potensi kayu yang terbatas di NTT, mayoritas kegiatan penelitian difokuskan ke komoditas HHBK. Jenis HHBK potensial yang ada di propinsi NTT antara lain kayu putih (Melaleuca cajuputi), gaharu (Girinops vertegii), dan budidaya kutu lak (Laccifera lacca). Selain HHBK Potensial tersebut, BPK Kupang juga melakukan kegiatan penelitian tanaman hutan yang berkhasiat sebagai obat serta jenis tanawan yang bisa digunakan sebagai pewarna alami. Jenis tanaman obat yang diteliti dalam beberapa tahun terakhir ini adalah Faloak (Sterqulia quadrifida) sedangkan jenis tanaman penghasil pewarna alami adalah Loba (Symplocos sp). Jenis-jenis yang menjadi objek penelitian BPK Kupang ini sesuai dengan beberapa kegiatan usaha dan pemanfaatan HHBK yang dimanatkan oleh Permenhut tentang HKm. Dalam kajian ini akan diuraikan hasil-hasil penelitian tentang HHBK tersebut di atas secara umum baik dari segi aspek teknis maupun ekonomi. Kajian ini diharapkan bisa dijadikan sebagai pertimbangan oleh para pemegang IUPHKm dalam penyusunan Rencana Kerja (RK), Rencana Umum (RU) dan Rencana Operasional (RO) sesuai yang diamanatkan oleh Permenhut No. P.37/Menhut-II/2007, Pasal 27,28 dan 29. 2. Hasil-hasil Penelitian BPK Kupang yang Potensial Dikembangkan dalam Kegiatan Pembangunan HKm a. Kayu Putih Kayu Putih merupakan tanaman yang dapat tumbuh optimal pada kondisi iklim dengan curah hujan antara 1.300-1.400 mm namun demikian tidak jarang tumbuh pada kondisi iklim dengan curah hujan antara 540-4.000. Sebagian besar wilayah NTT yang memiliki CH rata-rata per tahun 850 mm sesuai dengan kondisi iklim yang disyaratkan oleh tanaman kayu putih. Dilihat dari aspek ekonomi, Industri minyak kayu putih bersumber dari tegakan alam kayu putih di Kepulauan maluku dan sekitarnya dan tanaman kayu putih di Jawa. Luas tanaman kayu putih di Jawa sekitar 18000 ha dengan produksi tahunan mencapai 300 ton. Sementara tegakan alam kayu putih di Kep. Maluku memiliki produksi tahunan 90 ton. Menurut informasi, industri pengepakan minyak kayu putih/ industri farmasi kebutuhan Makalah BPK Kupang dalam Rapat Fasilitasi Pengelolaan HKm Provinsi NTT tahun 2014
2
minyak kayu putih dalam negeri mencapai 1500 ton per tahun. sementara itu suplai tahunannya hanya sebesar 400 ton. Kekurangan sebesar lebih dari 1000 ton diperoleh dari import minyak ekaliptus dari China. Kesenjangan antar persediaan dan permintaan sebesar Jebih dari 1000 ton merupakan peluang untuk mengembangkan industri minyak kayu putih di dalam negeri. Usaha penanaman dan penyulingan minyak kayu putih Skala rakyat dengan pola tumpangsari secara ekonomi dapat memberikan keuntungan yang layak kepada petani. oengan asumsi luas tanaman satu hektar, harga daun Rp 700 per kg dan suku bunga 12% per tahun, diperoleh nilai NPV sebesar Rp 4.403.727, B/C rasio sebesar 1, 18 dan nilai IRR sebesar 18%, petani dapat memperoleh laba hingga Rp 6.768.470 (jika biaya sewa lahan dan tenaga kerja sendiri tidak diperhitungkan). Kegiatan penelitian tentang kayu putih sudah dilakukan sejak tahun 2005-2009. Beberapa hasil penelitian yang didapatkan adalah : -
Uji keturunan dari berbagai benih unggul yang berasal dari Gunung Kidul, Yogyakarta Demplot di Stasiun Penelitian Banamlaat, Kefa Peta digital kesesuaian lahan untuk tanaman kayu putih
b. Budidaya Kutu Lak Lak merupakan komoditas hasil hutan non kayu yang berasal dari hasil sekresi kutu lak
(Laccifer lacca Kern) pada tanaman kesambi (Schleichera oleosa). Keistimewaan dari lak terletak pada manfaatnya yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti industri elektonika, komestik, obat-obatan, dan makanan. Nilai lebih lak yang lain terletak pada aspek lokasi dimana lak hanya dapat diproduksi terbatas pada daerah-daerah tertentu. Di Indonesia sampai saat ini pengusahaan lak hanya terdapat di Probolinggo (Jawa Timur) dan NTT. Dengan berbagai kelebihan yang dimiliki dapat dikatakan bahwa lak merupakan komoditi yang potensial untuk dikembangkan. Perkembangan pengusahaan lak di NTT mengalami pasang surut dalam produksinya, kendatipun permintaan pasar domestik dan internasional untuk lak NTT sangat tinggi. Lak asal NTT secara domestik dipasarkan ke Surabaya dan Sukabumi, sendangkan pasar luar negeri adalah Jepang, Amerika dan India. Hasil Lak dari Indonesia, yaitu dari Propinsi NTT 90% diekspor ke India. Jumlah ekspor lak ke India oleh PT. Kusambi Mas, tercatat sebanyak 2.160 ton pada tahun 2004 dan 3.000 ton pada Tahun 2005, setelah itu produksi per tahun semakin menurun. Berbeda dengan produksi yang mengalami pasang surut, harga lak asal NTT di tingkat petani hingga saat ini mengalami kenaikan. Pada tahun 1992 - 1998 harga lak di tingkat petani dalam bentuk lak butiran sebesar Rp 1.500,- s/d Rp 3.000,-, kemudian pada tahun 1999 - 2003 berkisar Rp 3.000,- s/d 5.000,- dan tahun 2004 sampai sekarang berkisar Rp 10.000,- s/d Rp 15.000,-. Permintaan pasar dunia akan produk lak, dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 1998 sebanyak 20 ton lak butiran diekspor dari NTT ke Amerika Serikat dan itu hanya memenuhi 4% dari permintaan impor Amerika Serikat yaitu sebanyak 500 ton lak butiran. Hasil Penelitian BPK Kupang tahun 2008 menyatakan bahwa, dalam skala kecil, hasil analis usaha budidaya Kutu Lak untuk 1 Ha atau 50 pohon kesambi per tahun di tingkat
Makalah BPK Kupang dalam Rapat Fasilitasi Pengelolaan HKm Provinsi NTT tahun 2014
3
petani dengan 2 kali periode panen petani akan memperoleh keuntungan sebesar Rp. 62.410.000,- dari 6000 kg lak yang dihasilkan atau setara dengan Rp. 10.402,- per kg. Beberapa hasil penelitaian terkait budidaya kutu lak yang dilaksanakan oleh BPK Kupang: c.
Teknik penanganan pasca panen lak (2008) Teknik budidaya tanaman inang kutu lak (2009) Tanaman Pewarna Kain
Hasil penelitian terkait bahan pewarna alami difokuskan pada kegiatan eksplorasi, analisis vegetasi dan teknik konservasi. Berdasarkan hasil eksplorasi, dapat diketahui jenisjenis tumbuhan sebagai bahan baku pewarna kain antara lain Nila/taum (Indigofera sp), Mengkudu (Morinda citrifolia Linnaeus), Anggrek (Vanda vumila), asam (Tamarindus indica L), Loba (Symplocos sp), Kayu Kuning (Cudrania conchinchinensis), Mangga (Mangifera indica),Kunyit (Curcuma longa L), Jambu mete (Anacardium occidentale L.), Pepaya (Carica papaya L), Dadap (Erythtrina variegata), kesambi (Schleichera oleosa), Nitas (Sterculia foetida ), Duri laut/kaktus (Opuntia cochientilifera), Talik baum (Saprosma arboreum BL), dan segon laut (Paraserianthes falcataria). Hasi studi etnobotani pada beberapa kabupaten di NTT disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Beberapa jenis pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan pewarna alami hasil eksplorasi dan studi etnobotani di Kab. Rote Ndao, Sabu, Flores Timur dan Sikka (2009) Jenis Nila Mengkudu Asam Anggrek Kunyit Nitas Kesambi Jambu mete Mangga Duri Laut Kayu kuning Turi Mangga Sengon laut Pepaya Dadap Loba
Bagian yang Dimanfaatkan Daun Akar Akar dan biji Batang dan daun Rumpang Tempurung Kulit/pepagan Kulit/pepagan Daun Buah Akar Daun Daun kulit Daun Kulit Kulit dan Daun
Warna yang Dihasilkan dan fungsi Hitam, hijau Merah Merah tua/coklat Perekat dan pembersih Kuning Bahan mordan wara hitam kuning Coklat Hijau Merah Kuning Hijau Hijau Coklat Bahan mordan Bahan mordan Bahan mordan
Hasil analisis vegetasi yang dilakukan menunjukkan bahwa diluar kawasan hutan Nila/tauk/taum/tom memeiliki kerapatan yang cukup tinggi akan tetapi frekuensi dimana jenis tersebut ditemukan tertinggi di Kab. Sikka. Mengkudu dengan potensi kerapatan di dalam kawasan tertinggi ditemukan di Kab. Sikka dan Sabu Raijua. Sedangkan kayu kuning Makalah BPK Kupang dalam Rapat Fasilitasi Pengelolaan HKm Provinsi NTT tahun 2014
4
yang semakin jarang digunakan sebagai bahan pewarna alami masih dapat ditemukan di dalam kawasan hutan Ile Mandiri Kab. Flotim dengan kerapatan yang cukup tinggi yakni 20.624 btg/ha. Jenis yang lain, Loba, berdasarkan hasil penelitian tahun 2011 memiliki potensi pada tingkat pohon, tiang, pancang dan semai berturut – turut adalah 3,33 pohon/ha, 33,33 btang/ha, 10 batang / ha dan 13.500 semai / ha. Survey aspek sosial ekonomi Loba menunjukkan bahwa pengetahun masyarakat tentang Loba sudah ada sejak turun temurun, baik itu mengenai jenis pohonnya, bagian yang digunakan sampai dengan pemanfaatannya. Nilai jual Loba yang ada di masyarakat saat ini masih tergantung pada permintaan pasar. d. Gaharu Kondisi ekologis tempat tumbuh inang gaharu sebagai berikut, suhu udara 24C – 32C. kelembaban udara 80-90 % dan curah hujan 1500-2500 mm per tahun pada ketinggian yang bervariasi untuk setiap jenis berkisar 10-1600 m dpl. Khusus untuk jenis Gyrinops versteegii (Gig) Domke di daerah Nusa Tenggara yang beriklim kering tumbuh pada ketinggian 10 – 900 m dpl, topografi dataran rendah sampai pegunungan, pada jenis tanah bervasiasi dengan sifat struktur tanah lempung atau liat, berpasir, pada tanah marginal. jenis tanah regosol cokklat kelabu, mediteran haplik, dan kambisol eutrik dan pada curah hujan 1500-2000 mm per tahun atau pada tipe iklim C . Species inang penghasil gaharu yang ditemukan di NTT yang paling banyak dieksploitasi adalah Gyrinops versteegii Domke karena memiliki kualitas kadar minyak, nilai ekonomi cukup tinggi dan sangat diminati dan laku di pasaran dunia di Asia Timur terutama Taiwan, Cina, Hongkong, Korea dan Jepang. Jenis ini tumbuhnya menyebar di Pulau Flores, Timor dan Sumba yang mempunyai nama lokal yang berbeda-beda setiap daerah sesuai dengan lokasi penyebarannya di Flores dikenal dengan nama nuko (Ngada), cue (Manggarai), kua (Flores Timur), kayu garu (Ende), hauma (Sumba), akusu (Amfoang, Kabupaten Kupang). Jenis ini menyebar tumbuh di daerah perbukitan- pegunungan dan masyarakat lokal sering menyebut dengan nama gaharu gunung. Harga Gaharu dari terendah Rp 500.000,- hingga tertinggi Rp 15.000.000/kg. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah populasi tanaman inang gaharu di NTT berturut-turut dari yang tertinggiterendah ada di pulau Flores dengan variasi jumlah pohon 2,04-20,5 pohon/ha, disusul pulau Timor dengan jumlah pohon 0,22-0,43 pohon/ha dan Sumba jumlah pohon 0,01-0,02 pohon/ha. Dalam hal teknis, BPK Kupang telah melakukan kegiatan penelitian gaharu dengan fokus penelitian pada: teknik penanaman, pemeliharaan dan teknik produksi. Terkait teknik produksi hal-hal yang ditekankan adalah bagaimana pembentukan gaharu, teknik penularan dan teknik pemanenan. Proses pembentukan gaharu disebabkan batang pohon jenis penghasil terbentuk damar yang berwarna coklat-hitam akibat infeksi jamur. Infeksi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, oleh karena itu untuk mempercepat dan meningkatkan pembentukan gaharu diperlukan teknik penularan dengan jenis jamur/bakteri yang sudah tumbuh dan beradaptrasi di daerah tersebut. Penularan dapat dilakukan secara alami dan buatan. Penularan atau infeksi gaharu terjadi secara alami lewat ranting kering yang patah karena terjadi pemangksan batang secara lami, patah karena angin atau terluka akibat gangguan hewan. Disamping itu penularan secara alami terjadi karena perlukaan Makalah BPK Kupang dalam Rapat Fasilitasi Pengelolaan HKm Provinsi NTT tahun 2014
5
secara sengaja oleh para pencari gaharu dengan cara menakik batang pohon, selanjutnya terjadi infeksi secara alami oleh jamur atau bakteri dari lingkungan sekitarnya. Umumnya pembentukan gaharu mulai terjadi pada umur 1 tahun. Penularan secara buatan dilakukan dengan memasukkan inolulan jamur (padat atau cair) ke dalam batang pohon, untuk mempercepat pembentukan gaharu. Secara sederhana pemanenan total gaharu di alam yang dilakukan oleh para petani gaharu yaitu dengan cara menebang pohon dan menggali akar pohon yang telah menghasilkan gaharu. e.
Faloak Faloak (Sterqulia quadrifida) pada umumnya memiliki ketinggian 5-12 m atau lebih, memiliki kanopi daun menyebar. Kulit berwarna abu-abu terang dan daun hijau gelap. Daun terdiri dari daun tunggal, berbentuk bulat telur atau berbentuk hati di pangkalnya, berwarna hijau cerah mengkilap di kedua sisinya dengan ukuran panjang 5-12 cm. Daun dan tangkai daun muda berbulu. Kegiatan penelitian pemanfaatan faloak sebagai tumbuhan obat diawali dengan kajian etnobotani, lalu kegiatan eksplorasi, kemudian pengujian kandungan kandungan senyawa aktif. Hasil studi etnobotani menyebutkan bahwa di Pulau Timor belum pernah ada masyarakat yang melakukan penanaman faloak, dan selama ini masyarakat menggambil kilit faloak dari alam. Sejauh ini masyarakat menggunkan faloak untuk menyembuhkan penyakit liver, sakit pinggang, reumatik dan ginjal. Sedangkan untuk mendapatkan ekstak faloak, masyarakat memperolehnya dengan cara merebus kulit faloak menggunakan air biasa dan memakai kuali dari tanah. Hasil eksplorasi menunjukkan bahwa Kabupaten TTS memiliki potensi tanaman faloak tertinggi sedang yang terendah di Kabupaten TTU (Tabel 2). Tabel 2. Hasil eksplorasi dan analisis vegetasi faloak di Pulau Timor Lokasi Kabupaten
Topografi
Elevasi (mdpl)
Belu
Kerapatan (pohon/ha) 6,25
berbukit- curam
0-350
TTU
1,4
Landai
50-390
TTS
14,16
berbukit
100- 176
Kab. Kupang
7,95
Perbukitan
0-420
Kota Kupang
4,84
Datar- landai
0-300
Tabel 11. Hasil pengujian fitokimia faloak No Parameter Uji Ekstrak Aseton 1 2 3 4 5
Alkaloid Flavonoid Saponin Senyawa Fenolik Terpenoid
Negatif Positif Negatif Positif Positif
Hasil Kualitatif Ekastrak eter Ekstrak Etil Asetat Positif Positif Negatif Positif Positif
Positif Positif Negatif Positif Positif
Eksrak Heksan Positif Positif Negatif Negatif Positif
Sumber : Hasil uji laboratorium di LPPT UGM Tahun 2012 Makalah BPK Kupang dalam Rapat Fasilitasi Pengelolaan HKm Provinsi NTT tahun 2014
6
Hasil pengujian kandungan senyawa aktif menunjukkan bahwa terdapat beberapa senyawa aktif dalam tanaman faloak, yaitu: alkaloid, flavonoid, saponin, senyawa fenolik dan terpenoid. Alkoloid dalam dunia farmakologi ditemukan fungsinya sebagai penghambat sel kanker, memiliki fungsi sebagai efek antimikroba efek anti diare. Flavonoid mampu bertindak sebagai antioksidan dan berfungsi menetralisir radikal bebas dan dengan demikian meminimalkan efek kerusakan pada sel dan jaringan sehat tubuh. flavonoid memberikan perlindungan terhadap sejumlah penyakit termasuk kanker, penyakit jantung, diabetes, tumor, dll. Asam fenolik merupakan molekul sederhana yang mudah diserap dalam sistem manusia dan menawarkan berbagai manfaat anti-penuaan. Terpenoid berfungsi sebagai pengatur pertumbuhan, menyembuhkan penyakit diabetes, gangguan menstruasi, patukan ular, gangguan kulit, kerusakan hati dan malaria. Bagaimana dengan prospek pengembangan faloak sebagai tanaman obat? Pemanfaatan tumbuhan sebagai obat herbal atau herbal medicine dan food supplement tumbuh dengan pesatnya pada akhir-akhir ini. Melonjaknya harga obat sintetis dan efek sampingnya bagi kesehatan meningkatkan kembali penggunaaan obat tradisiona! oleh masyarakat dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Isu global "back to nature" semakin meningkatkan pemakaian obat tradisional di tingkat nasional maupun global. Tahun 1992 jumlah Industri Obat Tradisional Indonesia berjumlah 449 buah yang terdiri dari 429 buah Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) dan 20 buah Industri Obat Tradisional (lOT). Pada tahun 1999 jumlah Industri Obat Tradisional Indonesia telah meningkat menjadi 810 yang terdiri atas 833 buah IKOT dan 87 buah lOT (diperkirakan pada tahun 2002 ini sudah mencapai sekitar 1000 industri). Industri sebanyak ini mampu menghasilkan perputaran dana sekitar Rp. 1.5 trilyun per tahun. Bagaimana dengan nilai ekonomi faloak? Berdasarkan survei pasar, potongan kulit batang faloak tersebut dijual dengan harga Rp. 10.000,- per 6 potong dengan dimensi/ukuran rata-rata potongan kulit batang faloak yang dijual di pasaran memiliki panjang 20 cm, lebar 9 cm dan ketebalan kulit 0,6 cm. Hasil survei kemampuan panen pohon faloak yang dilakukan pada 11 pohon pada tiga kelas diameter (0-15 cm, 15-30 cm, 30 cm up) menyebutkan bahwa rata-rata setiap pohon mampu menghasilkan 202 potongan kulit batang faloak (sesuai dengan ukuran potongan kulit batang yang dijual di pasar). Dengan asumsi bagian kulit batang pohon yang dipanen adalah 50% dari seluruh bagian kulit batang faloak, nilai ekonomi yang dihasilkan dengan sistem penjualan murni adalah Rp. 168.025 per pohon. f.
Jenis-jenis lain Selain kelima jenis HHBK tersebut di atas, BPK Kupang juga telah melakukan kajian pada beberapa komoditi HHBK lainnya seperti : lebah madu, rotan, lontar dan gewang. Terkait dengan madu, dalam rangka meningkatkan produksi BPK Kupang pernah melakukan kajian tentang penerapan teknologi budidaya madu dengan sistem kerek dan status pengusahaan madu. Selain itu, pernah dilakukan juga kajian tentang budidaya rotan dan uji kecocokan Rotan di Pulau Timor. Untuk lontar dan gewang, terdapat beberapa penelitian yang mengkaji tentang potensi dan prospek tanaman lontar dan Gewang. Sumber :
Makalah BPK Kupang dalam Rapat Fasilitasi Pengelolaan HKm Provinsi NTT tahun 2014
7
-
Laporan Tahunan Kegiatan tahun 2008 s/d 2013 (Buku II), Balai Penelitian Kehutanan Kupang.
Makalah BPK Kupang dalam Rapat Fasilitasi Pengelolaan HKm Provinsi NTT tahun 2014
8