i
Volume 4 Nomor 1 April 2012
ISSN : 2085-384X
Jurnal Sosial Ekonomi PEKERJAAN UMUM Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum adalah wadah informasi bidang sosial dan ekonomi bidang pekerjaan umum dan permukiman berupa hasil penelitian, studi kepustakaan maupun tulisan ilmiah yang memuat aspek sosial, ekonomi bidang infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman. Jurnal ini terbit sejak tahun 2009 dengan frekuensi terbit tiga kali dalam setahun yaitu pada bulan April, Juli, dan November.
Penanggung Jawab Ir. Lolly Martina Martief, MT Dewan Editor Ketua : Dr. Ir. R. Pamekas, M.Eng. Anggota : Dr. Ir. Achmad Helmi, M.Sc, M.Si Dr. Dody Prayogo, MPSt Dr.-Ing Andreas Wibowo, ST,MT Ir. Joyce Martha Widjaya, M.Sc Drs. FX Hermawan K, M.Si Mitra Bestari Prof. Dr. Ir. Effendi Pasandaran Prof. Dr. Paulus Wirutomo, M.Sc Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Ir. Hastu Prabatmodjo, MS, Ph.D Prof. Dr. Sunyoto Usman, MA Redaksi Pelaksana Ketua : Ir. Masruri Anggota : Dra. Retno Sinarwati, MT Rahaju Sutjipta, S.Sos. Nurida Oktavi, S.Sos. Aldina Rani Lestari, SIP Masmian Mahida, S. Kom Dwi Rini Hartati, ST
Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum diterbitkan oleh Puslitbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum. Alamat Redaksi/Penerbit: Puslitbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Sapta Taruna Raya no. 26 Komplek PU Pasar Jumat, Lebak Bulus, Jakarta Selatan 12310, Telp. (021) 7511081, 7511844, Fax. (021) 7511843, Email:
[email protected]
ii
Volume 4 Nomor 1 April 2012
ISSN : 2085-384X
Jurnal Sosial Ekonomi PEKERJAAN UMUM DAFTAR ISI
Kearifan Lokal Pranata Teknologi dan Kelembagaan pada Beberapa Rumah Tradisional di Indonesia Timur Aris Prihandono
1-13
Keberterimaan Masyarakat terhadap Inovasi Teknologi Bambu Laminasi sebagai Alternatif Pengganti Kayu Konstruksi Ratih Putri R
15-22
Kesejahteraan Ekonomi Kelompok Masyarakat Pengguna Teknologi Mikrohidro Bastin Yungga Angguniko dan Masmi’an Mahida
23-32
Pemetaan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Wilayah Kawasan Kaki Jembatan Suramadu (KKJS) dengan Model Indeks Indikator Non-Income Dwi Rini Hartati dan Arvian Zanuardi
33-43
Dampak Kebijakan Pembangunan Jalan Tol terhadap Kemandirian Masyarakat Retta Ida Lumongga dan Bambang Sudjatmiko
45-53
Pengaruh Keberadaan Pedagang Kaki Lima pada Fungsi Ruang Manfaat Jalan Kawasan Kaki Jembatan Suramadu Arvian Zanuardi dan Ahsan Asjhari
55-63
INDEKS
65
iii
PENGANTAR REDAKSI Puji Syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum Volume 4 Nomor 1 April 2012 ini.
Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum adalah jurnal yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum, terbit sejak tahun 2009 dengan frekuensi terbit tiga kali dalam setahun yaitu pada bulan April, Juli dan November.
Jurnal ini merupakan publikasi ilmiah tentang tulisan yang memuat hasil-hasil penelitian, studi kepustakaan maupun tulisan ilmiah yang memuat aspek sosial, ekonomi serta lingkungan bidang infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman. Sebagai upaya lanjutan peningkatan mutu jurnal, pada edisi kali ini pengelola juga melakukan penyempurnaan keanggotaan redaktur. Selain itu, judul dan abstrak tulisan menggunakan dwi bahasa baik Bahasa Indonesia juga Bahasa Inggris. Pada edisi kali ini, Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum menampilkan 6 (enam) buah tulisan ilmiah yaitu: Kearifan Lokal Pranata Teknologi dan Kelembagaan pada beberapa Rumah Tradisional di Indonesia Timur, Keberterimaan Masyarakat terhadap Inovasi Teknologi Bambu Laminasi sebagai Alternatif Pengganti Kayu Konstruksi, Kesejahteraan Ekonomi Kelompok Masyarakat Pengguna Teknologi Mikrohidro, Pemetaan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Wilayah Kawasan Kaki Jembatan Suramadu (KKJS) dengan Model Indeks Indikator Non-Income, Dampak Kebijakan Pembangunan Jalan Tol terhadap Kemandirian Masyarakat, dan Pengaruh Keberadaan Pedagang Kaki Lima pada Fungsi Ruang Manfaat Jalan Kawasan Kaki Jembatan Suramadu. Dengan diterbitkannya jurnal ini diharapkan memberikan motivasi para peneliti di lingkungan Pusat Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum maupun peneliti di instansi lain untuk melakukan penelitian–penelitian sosial ekonomi dan lingkungan bidang Pekerjaan Umum dan Permukiman yang berkualitas. Akhirnya, kepada semua pihak yang terlibat dalam penerbitan Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum ini, kami sampaikan ucapan terimakasih. Semoga penerbitan Jurnal ini bermanfaat bagi semua pihak. Selamat membaca! Jakarta, April 2012
Redaksi Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum
iv
UCAPAN TERIMAKASIH Redaksi Pelaksana Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum mengucapkan terimakasih kepada para mitra bestari (peer-reviewer) Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum Volume 4 Nomor 1 April 2012 Prof. Dr. Effendi Pasandaran
Prof Dr. Paulus Wirutomo, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc
Ir. Hastu Prabatmodjo, MS, Ph.D
v
KEARIFAN LOKAL PRANATA TEKNOLOGI DAN KELEMBAGAAN PADA BEBERAPA RUMAH TRADISIONAL DI INDONESIA TIMUR Local Wisdom Assessment of Technological and Institutional Regulation in Traditional Houses in East Indonesia Aris Prihandono Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Makassar Pusat Litbang Permukiman, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum Alamat: Jl Urip Sumohardjo No. 22 Komplek PDAM Makassar 90213 Email:
[email protected]
ABSTRACT
Tanggal diterima: 16 Januari 2012, Tanggal disetujui: 12 Februari 2012
Assessment of traditional housing as local wisdom is done towards the Bajo ethnic of Central Sulawesi, Toraja in South Sulawesi, and Tobadij in Papua. The main problem faced by the local wisdoms are in South Sulawesi and Tobadij in Papua where the housing tradition that is proven adaptive towards the environment tends to be abandoned by the society. Thus, this research intends to develop technological and institutional regulation that is based on local wisdom as a means to formulate a solution to the housing problem. Review results show that institutionally the local community already have standards to set the layout, and choose the technology and construction method. With the current regulation, the community is capable of choosing locations that are naturally protected from oceanic waves and wind. They chose endemic building material that is categorized as first class timber strength that is resistant towards destructive organisms. Procedures of using lightweight hygroscopic wall and roof material are in harmony with nature. The tradition of using dynamic structural system is also part of the local wisdom that does not only provide safety and comfort, but also efficiency. Even from the viewpoint of “green building”, the structures have significant points. Learning from the scientific values of technological and institutional regulation of local wisdom, the development of structure system, building materials, design, and comfort of building should be based upon the readily available local wisdom. Keywords: traditional, local wisdom, institution, institutional, technology, harmony
ABSTRAK Kajian tentang kearifan lokal rumah tradisional dilakukan pada etnis Bajo di Sulawesi Tengah, Toraja di Sulawesi Selatan dan Tobadij di Papua, dimana masalah utama yang dihadapi adalah kearifan lokal yang penuh dengan pranata perumahan yang terbukti adaptif terhadap lingkungan cenderung ditinggalkan masyarakat. Oleh karena itu, kajian ini dimaksudkan untuk mengembangkan pranata teknologi dan kelembagaan berbasiskan kearifan lokal dalam rangka merumuskan solusi masalah perumahan saat ini. Hasil tinjauan menunjukkan bahwa secara institutional masyarakat lokal sudah memiliki pakem-pakem untuk mengatur tata ruang, memilih teknologi dan metode pembangunan. Dengan pranata yang ada, masyarakat mampu menentukan lokasi permukiman yang secara natural terlindung dari gelombang laut dan angin. Mereka memilih bahan bangunan endemik yang termasuk dalam kategori kekuatan kayu kelas satu dan tahan terhadap serangan organisme perusak. Tata cara pemanfaatan bahan dinding dan atap yang ringan dan higroskopis merupakan tindakan yang harmonis dengan perilaku alam. Kebiasaan penggunaan sistem struktur yang dinamis adalah kearifan lokal yang tidak hanya aman dan nyaman tetapi juga efisien. Desain rumah panggung yang ditemukan di semua etnis ternyata mempunyai nilai kesehatan, keamanan, kenyamanan, bahkan dari kaca mata “green building”, mempunyai “point” yang signifikan. Belajar dari nilai ilmiah pranata teknologi dan kelembagaan kearifan lokal tersebut, maka pengembangan sistem struktur, bahan bangunan, desain bangunan, serta kenyamanan bangunan seharusnya berangkat dari karifan lokal yang ada. Kata Kunci: tradisional, kearifan lokal, institusi, kelembagaan, teknologi, harmoni
1
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
PENDAHULUAN Indonesia termasuk salah satu negara yang mempunyai keragaman etnis terbesar di dunia. Mendatu (2011) misalnya menyebutkan jumlah etnis negara kita lebih dari 500 rumpun dan bahasa daerah yang digunakan sekitar 250. Masyarakat Indonesia terdiri atas 931 suku bangsa, 600 bahasa daerah dan ribuan aspirasi kultural. Kekayaan etnis tersebut tentunya disertai dengan kekayaan budaya lokal yang kental dengan situasi “tradisional”.
Budaya lokal tercipta melalui proses yang panjang, bersifat evolutif, diwariskan secara turun temurun dan proses transfer ilmunya melalui bahasa tutur/lisan dan praktek langsung secara trans generasi. Dengan demikian tidak ada hak cipta, tidak diketahui penemunya, namun dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, dan bahkan menjadi nilai budaya yang mengikat perilaku masyarakat. Itulah yang disebut “tradisional” sebagai ungkapan yang berlawanan dengan “modern” yang selalu diketahui penemunya. Penciptaan atau temuan yang bermakna bagi keberlangsungan hidup masyarakat setempat itulah yang lebih sering disebut kearifan lokal (local wisdom). Dalam konteks rumah tradisional, kearifan lokal yang menyertai proses pembangunan rumah sudah mengatur harmonisasi antara kebutuhan teknologi, bahan bangunan, desain, tata letak, dengan kemampuan alam. Oleh karena itu, dalam proses pembangunannya banyak diatur oleh tata cara adat yang sudah menjadi “pakem”/pranata bagi masyarakat yang menganutnya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai aspek, antara lain penamaan rumah tradisional seperti Rumah Gadang, Tongkonan, Joglo, Honai, Bola Soba, Saoraja, Laikas, dan lainlain (Organisasi 2011); serta penamaan komponenkomponen bangunannya, metode kerja, serta para ahlinya. Harmonisasi di atas dicapai oleh masyarakat tradisional dengan terlebih dahulu mengenal dan memahami dengan baik kondisi lingkungannya. Masyarakat tradisional sangat menguasai konsep ekologi dimana mereka hidup. Mereka mengetahui dengan baik interaksi antara makhuk hidup dengan lingkungan biotik dan abiotiknya, sehingga tercipta kehidupan yang seimbang, serasi dan selaras (Frick dan Suskiyatno 1998). Komponen ekosistem terdiri atas lingkungan abiotik, organisme produsen, organisme konsumen, dan organisme perombak. Masyarakat tradisional telah menyelaraskan diri terhadap keberadaan komponen ekosistem tersebut sehingga terciptalah rumah tradisional sebagaimana banyak kita lihat dengan seperangkat kearifan lokal yang berupa
2
pranata teknologi, kelembagaan, agama, dan lainlain. Inilah yang dimaksudkan dengan adaptasi ekologis perumahan tradisional. Organisme yang beradaptasi terhadap lingkungannya mampu untuk (Forumsains 2011): -
Memperoleh air, udara dan nutrisi (makanan),
-
Mempertahankan hidup dari musuh alaminya,
- - -
Mengatasi kondisi fisik lingkungan seperti temperatur, cahaya dan panas, Bereproduksi,
Merespon perubahan yang terjadi di sekitarnya.
Adaptasi ekologis tersebut jika berlangsung secara evolutif, akan menghasilkan sebuah kehidupan yang harmoni dengan alam. Menurut Yudono (2008), gambaran harmonisasi pembangunan rumah adat Tongkonan di Toraja ditandai dengan penguasaan pengetahuan pola tata guna tanah, kepemilikan properti, struktur ruang, gubahan massa, orientasi arah, dan lain-lain oleh para pemuka adat. Pada masyarakat Bajo, harmonisasi dapat digambarkan dengan mudahnya mereka mencari sumber-sumber penghidupan di sekitar rumah mereka antara lain mengail ikan di teras rumah, memelihara ikan dalam karamba di kolong rumah, mencari kerang, dan lain-lain. Meskipun demikian, aktivitas domestik dan sosial tetap berjalan. Dengan kata lain, fungsi rumah sebagai wadah aktivitas sosial, ekonomi, fisik tetap terlaksana dengan baik meskipun lahan mereka berupa air. Pada masyarakat Ternate yang terletak di perkotaan, fungsi-fungsi rumah sebagaimana digambarkan di atas tidak seimbang karena hampir seluruh fungsi ekonomi dilakukan di tempat yang terpisah, sementara fungsional juga terbatas karena sempitnya rumah dan lahan terbuka. Fungsi yang menonjol adalah fungsi domestik/ aktivitas rumah tangga. Perubahan fungsi rumah dan juga “fisik” rumah menjadi kecenderungan saat ini pada rumahrumah tradisional baik masyarakat Bajo, Ternate, maupun Tobadij. Masalah utama yang dihadapi adalah bahwa pembangunan perumahan berbasiskan kearifan lokal yang terbukti adaptif terhadap lingkungan hidup tersebut cenderung banyak ditinggalkan oleh generasi muda. Hal ini juga berhimpitan dengan kecenderungan musnahnya bahasa lokal/etnis. Menurut Laporan dari UNESCO (2009) saat ini telah puluhan bahasa lokal menghilang dan diperkirakan pada tahun 2020 bahasa lokal yang memiliki pengguna kurang dari 10.000 orang benar-benar akan menghilang.
Kearifan Lokal Pranata Teknologi dan Kelembagaan pada beberapa Rumah Tradisional di Indonesia Timur Aris Prihandono Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Kementerian Pekerjaan Umum (Balai PTPT) Makassar berupaya mengkaji kearifan lokal sebagaimana disebutkan di atas, dan mengembangkannya dalam konteks permasalahan dan kebutuhan saat ini sehingga kearifan lokal dapat diterima masyarakat dan lestari secara fungsional.
Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk mengungkap kearifan lokal dan fungsi-fungsinya yang terdapat pada beberapa perumahan tradisional, yang merupakan hasil penelitian di kawasan Indonesia Timur, khususnya di Papua, Ternate, Tana Toraja, Kabupaten Touna (Sulawesi Tengah), serta beberapa kasus pembanding di Jawa Barat. Selanjutnya kearifan lokal yang teridentifikasi dipertemukan dengan upaya pengembangannya saat ini dan fenomena penerapannya dalam program pembangunan perumahan, baik dalam rangka konservasi kekayaan budaya nusantara maupun pengembangan perumahan skala besar dalam rangka memenuhi backlog kebutuhan rumah secara nasional.
KAJIAN PUSTAKA
“Tradisional” mengandung makna pelimpahan nilai-nilai kepada generasi berikutnya. Nilai-nilai yang sudah diakui manfaatnya oleh sebagian besar masyarakat lokal dan sudah terinternalisasi pada sistem budaya masyarakat yang bersangkutan disebut kearifan lokal. Lebih jauh Sartini (2004) mengartikan bahwa kearifan lokal/setempat dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terusmenerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal (Gobyah 2003).
Bentuk-bentuk kearifan lokal sangatlah luas sebagaimana aspek kehidupan yang ditopangnya, yakni: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Bentuk kearifan lokal sebagaimana disebutkan di atas dinamakan pranata atau institusi. Kusdiansah (2008) mendefinisikan bahwa pranata (lembaga sosial) adalah sistem nilai dan norma (seperangkat aturan kompleks) yang mengatur tindakan dan perilaku masyarakat dalam memenuhi kebutuhan tertentu. Dengan demikian, banyak sekali pranata yang ada disekitar kehidupan kita, sesuai dengan aspek kehidupan yang diaturnya.
Pranata dapat berupa aturan tertulis misalnya undang-undang dasar, peraturan-peraturan yang berlaku, memiliki sanksi resmi sesuai hukum yang berlaku. Pranata juga dapat berupa aturan yang tidak tertulis meliputi hukum adat, tradisi lokal yang masih hidup, namun tetap mempunyai sanksinya yakni sanksi sosial/moral misalnya dijauhi masyarakat, digunjingkan oleh masyarakat, dan sebagainya. Pranata bersifat mengikat dan relatif lama serta memiliki ciri-ciri tertentu yaitu simbol, nilai, aturan main, tujuan, kelengkapan, dan umur (Wikipedia 2011)
Pada masyarakat Bali, pranata tersebut menyusup pada berbagai fungsi kehidupan masyarakat Bali yang hingga saat ini masih berjalan dengan baik, mulai dari yang bersifat teologis hingga bersifat teknis antara lain berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam; berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia; berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan; berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan; bermakna sosial; bermakna etika dan moral; bermakna politik, misalnya upacara “ngangkuk merana“ dan kekuasaan patron client (Sirtha 2003).
Pranata inilah yang mengarahkan orientasi rumah Tongkonan dan lingkungannya pada arah timur dan barat karena timur melambangkan tempat bersemayam para dewa (dewata), sedangkan barat melambangkan tempat bersemayam para arwah leluhur. Pranata sosial di Toraja mengarahkan bahwa dalam kawasan perumahan selalu mempunyai tiga komponen perumahan, yakni deretan rumah tinggal Tongkonan, alang atau lumbung beras, halaman dan kuburan. Halaman ini memiliki simbol interaksi sosial karena berfungsi sebagai tempat bermain, bekerja, upacara keagamaan maupun upacara adat dan ritual, sedangkan lumbung melambangkan kemakmuran (Sumalyo 2008). Pembagian bangunan rumah secara vertikal mempunyai makna bahwa rumah mempunyai ruang dunia atas, tengah dan bawah, yang mempunyai makna suci, netral, tidak suci. Pembagian ruang secara horisontal membuahkan dikotomi timurbarat dan utara-selatan yang bermakna dikotomi juga yaitu kesucian-kekotoran, kebaikan - keburukan, kehidupan-kematian. Posisi permukiman yang terletak di daerah tropis yang mempunyai kelembaban tinggi, temperatur tinggi, serta silauan sinar matahari yang tinggi pula, maka pranata sosial mewujud dalam pengaturan orientasi bangunan, pembagian ruang, tata letak, sistem struktur dan konstruksi, penggunaan bahan, sistem penetrasi.
3
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
Sistem kekerabatan yang tercermin pada etnis, status sosial serta orientasi hubungan kekerabatan, termanifetasikan dalam bentuk pranata yang mengatur skala ukuran rumah dan bentuk bangunan seperti “balla lompoa” atau balai untuk rumah tradisional Makassar dan variasi ketinggian lantai untuk rumah Tongkonan Layuk dan Tongkonan Parengge (Wikantari 2008).
Kondisi geografis yang terdiri dari kepulauan, gunung berapi, yang penuh dengan bencana gempa bumi mengarahkan pranata teknologi dominan menggunakan sistem konstruksi yang bersifat tektonis, menggunakan sambung rakit dengan ikatan ataupun pasak yang tidak kaku sehingga dapat menahan getaran gempa dan terpaan angin. Penggunaan tanaman keras endemis pada kawasan permukiman pesisir dengan metode pengawetan sederhana yang khas merupakan pranata teknologi yang hingga saat ini masih berlaku. Dalam konteks rumah tradisional, fungsi-fungsi pranata di atas berpengaruh secara simultan dan saling berinteraksi. Oleh karena itu, tidak ada fungsi pranata yang berpengaruh dominan melainkan bersama-sama. Tindakan yang “bijaksana” dalam pengembangan rumah dan permukiman berarti memahami terlebih dahulu rona awal lingkungan, kearifan lokal berupa pranata yang terdapat di suatu kawasan serta fungsi-fungsinya, baru kemudian mengembangkannya sesuai dengan permasalahan, kebutuhan dan azas pengembangan perumahan baik yang formal dan non formal. Tentu saja keterkaitan pranata satu dengan yang lain tetap dimaknai sebagai kodrat alam yang harus dijalankan. Penelitian terkait yang membahas kearifan lokal antara lain penelitian yang dilakukan oleh Rusmin Tumanggor (2007) dan Marcus J Pattinama (2009) dimana mereka lebih menekankan bahasan kearifan lokal dari aspek sosial berbasis komunitas. Selain itu, kearifan lokal juga dilihat dari aspek budaya (Mufid 2010) dan juga dari sisi lingkungan (Suhartini 2009).
Pemikiran tersebut yang menjadi landasan pijak pelaksanaan penelitian ini khususnya terkait dengan pengembangan bahan konstruksi. Pendekatan analogi antara pranata sosial pada masyarakat lokal dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam pembangunan perumahan merupakan salah satu aspek yang dikaji. Pengungkapan dan pemahaman pranata teknologi secara akademis merupakan langkah awal yang telah dilakukan, baru kemudian mengembangkannya dalam konteks permasalahan dan kebutuhan saat ini. Hasilnya berupa inovasi teknologi sebagai penguatan kinerja teknologi lokal, yang tentu dibarengi
4
dengan paranata sosial yang mengatur penggunaan teknologi tersebut.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat multi disiplin, mengkaji permasalahan dari beberapa aspek, yaitu sosial kelembagaan, tata ruang, arsitektural, struktur dan konstruksi, lingkungan, serta desain bangunan. Metode penelitian yang diterapkan adalah metode penelitian ganda (mixed method) atau disebut juga penelitian meta (meta method) (Bungin 2008). Pada prinsipnya metode ganda merupakan penggabungan dua metode kualitatif dan kuantitatif/ positivisme.
Metode kuantitatif diterapkan untuk mendapatkan data rasional dan interval seperti pengukuran frekuensi natural, tes kuat tarik dan kuat tekan kayu, sifat properti kayu, pengukuran kedalaman dasar laut, dimensi bangunan dan komponen bangunan, pengukuran thermal, kelembaban udara, serta pencahayaan. Metode kualitatif diterapkan untuk pengukuran data nominal dan ordinal, seperti data demografi, karakteristik masyarakat, informasi kelembagaan, serta informasi dan pendapat para tokoh masyarakat. Di samping itu diterapkan juga metode triangulasi yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan beberapa metode untuk sebuah data. Penggunaan metode ini dimaksudkan untuk mencari reliabilitas dan validitas data. Data yang diambil pada kasus ini antara lain data kedalaman laut dicocokkan antara data hasil wawancara penduduk setempat dengan hasil pengukuran altimeter. Data yang lain adalah dimensi bangunan, infrastruktur, dan jenis bahan bangunan.
Lokasi penelitian meliputi tiga daerah yang berbeda, yaitu Desa Kabalutan, Kabupaten Touna, Sulawesi Tengah untuk etnis Bajo, Kelurahan Kota Makale, Kabupaten Tana Toraja untuk etnis Toraja, serta Kelurahan Pesisir, Kota Jayapura, untuk etnis Tobadij. Penentuan lokasi ini dilakukan secara purposif dengan alasan eksistensi obyek dan permasalahan penelitian, keterjangkauan lokasi, kendala sumber daya manusia, anggaran dan waktu.
Teknik sampling bervariasi sesuai dengan prinsip masing-masing disiplin ilmu. Namun demikian, semua aktivitas penelitian dibatasi oleh ketersediaan waktu dan tenaga, oleh karena itu sampling banyak dilakukan secara purposif. Teknik pengambilan data dilakukan dengan beberapa cara sesuai dengan keperluan disiplin ilmu, antara lain: wawancara terstruktur dengan kuesioner dan data check list; wawancana non struktur; observasi; pengukuran teresterial untuk luas rumah, kedalam-
Kearifan Lokal Pranata Teknologi dan Kelembagaan pada beberapa Rumah Tradisional di Indonesia Timur Aris Prihandono an dasar laut, temperatur dan kelembaban udara. Instrumen pengukuran yang digunakan antara lain HOBO versi 5+ untuk pengukuran komponen iklim yang meliputi temperatur udara, kelembaban udara, dan intensitas pencahayaan. Untuk pengukuran kecepatan angin digunakan anemometer, sedangkan pengukuran elemen bangunan digunakan alat ukur “laser meter”, untuk pengukuran frekuensi natural digunakan “accelerometer”, serta alat laboratorium uji kayu untuk mendapatkan data properti kayu. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif, dengan menggunakan analogi, penafsiran, perbandingan dan interpretasi. Tahap-tahap analisis yang diterapkan meliputi strukturisasi data, kategorisasi, penyederhanaan, manipulasi, interpretasi, pemaknaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Di Pulau Sulawesi terdapat 25.000 jiwa etnis Bajo yang tinggal di kawasan pesisir dan tersebar di lebih dari 64 desa, 26 kecamatan, dan 8 kabupaten. Pola persebaran permukiman terpencar dalam kelompok kecil dan menempati garis pantai, sehingga sepintas berpola linier. Secara ekologis, mereka tinggal di tiga jenis bentang lahan yakni, zona darat, zona peralihan antara pasang surut atas dan bawah (up and low tide zone), dan zona atas air.
Konsentrasi terbesar Suku Bajo yang menempati zona atas air adalah Desa Kabalutan, Kecamatan Walea, Kabupaten Tojo Una-Una (Touna). Luas lahan permukiman perairan di desa ini mencapai lebih dari 15,15 hektar. Secara fisiografi, wilayah Kabalutan dicirikan oleh keberadaan lahan air yang mencapai 90% dan sisanya berupa lahan darat. Lahan darat atau disebut juga lahan kering daerah tersebut didominasi oleh bukit-bukit karang yang sebenarnya merupakan gundukan terumbu karang yang sudah mati dan bermetamorfosa sebagai batu kapur. Lahan air pada kawasan tersebut didominasi oleh terumbu karang yang masih hidup dengan segala bentuk ekosistem yang menyertainya (Bappeda 2010) Kepadatan bangunan di kawasan permukiman cukup tinggi khususnya yang dekat dengan garis pantai atau bangunan yang menempati zona atas air. Menurut hasil observasi, jarak bangunan satu dengan yang lain kurang lebih dua meter. Jumlah total bangunan rumah pada kawasan tersebut 417 unit, menempati area seluas 132.605,1 meter persegi. Luas rata-rata bangunan rumah adalah 50 meter persegi dan dihuni oleh 2 – 3 keluarga.
Pranata sosial yang menyertai proses pembangunan rumah sudah mengatur harmonisasi
antara kebutuhan teknologi, bahan bangunan, desain, tata letak, dengan kemampuan alam. Oleh karena itu dalam proses pembangunannya banyak diatur oleh tata cara adat yang sudah menjadi pakem/pranata bagi masyarakat yang menganutnya. Fenomena ini dapat diindikasikan dari berbagai aspek, antara lain penamaan rumah tradisional seperti rumah Gadang, Tongkonan, Joglo, Honey, Bola Soba, Saoraja, Laikas, dan lain-lain.
Penamaan rumah di atas selanjutnya diikuti oleh penamaan bagian-bagian yang lebih kecil atau komponen bangunan seperti “timpa’ laja” untuk tutup bubungan rumah tradisional Bugis (Amin 2008), “watulanie” untuk batu penyangga tiang rumah Minahasa (Abidah 2008), atau “umpak” untuk batu penyangga soko guru rumah Joglo, batu “parandangan” untuk penyangga tiang rumah Tongkonan (Balai PTPT Makassar 2011). Kemudian juga penamaan orang-orang atau tokoh masyarakat yang “mumpuni” memimpin atau mengerjakan pekerjaan terkait dengan pembangunan rumah tradisional mempunyai “nomenklatur” tradisional tersendiri.
Pada beberapa lokasi pengamatan masih dijumpai adanya tokoh adat yang dipercaya dapat memberikan nasehat dan izin untuk mengambil bahan bangunan yang diperlukan, memimpin konstruksi bangunan, memimpin prosesi adat atau keagamaan dalam pembangunan rumah. Pada masyarakat suku Tobadij, Jayapura, tokoh tersebut dinamakan “ondoafi” (Balai PTPT Makassar 2011). Ahli arsitektur lokal masyarakat Buton disebut “saraginti”, sedangkan ahli bahan bangunannya dinamakan “pande”. Di Minahasa juga dikenal “tonaas” sebagai orang pintar di bidang pembangunan rumah minahasa, pada masyarakat Bugis dikenal “panrito bola” dan di Bali juga dikenal “pedande” untuk hal yang sama (Yudono 2008). Jika dianalisa secara institusional saat ini, dalam pembangunan rumah tradisional sebenarnya sudah terinternalisasi beberapa kaidah pranata penataan kawasan, tatanan teknologi dan metode kerja serta pemilihan bahan bangunan yang ekologis, antara lain: • Peraturan Bangunan dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
Peraturan dan izin mendirikan bangunan ini secara tradisional diindikasikan dengan adanya pakem/pranata proses konstruksi yang harus ditaati oleh masyarakat. Pada permukiman Suku Bajo, tiang konstruksi harus dibuat dari kayu “pingsan” (nama lokal) yang diambil dari daerah setempat. Pada masyarakat Suku Tobadij yang tinggal di Teluk
5
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
Yotefa, Jayapura, tiang utama bangunan juga harus dibuat dari kayu setempat yang dinamakan kayu “swan”. Pada masyarakat Toraja, Sulawesi Selatan, kayu dengan fungsi yang sama juga harus terbuat dari kayu endemik yang disebut kayu “kumea”. Fungsi struktur yang sama untuk masyarakat Ternate harus terbuat dari kayu “gulam”. Hasil penelitian di laboratorium Biomaterial LIPI dan Fakultas Teknik Universitas Hasannudin menunjukkan bahwa kayu “pingsan”, “kumea” dan “swan” termasuk dalam kategori kekuatan klas I. Kayu “pingsan” teridentifikasi dengan klasisfikasi famili Verbenacea, spesies Teysmanniodendron sp. Dari aspek kelangkaannya, kayu pingsan termasuk dalam kayu endemik “lesser known”, yakni kayu langka yang hanya tumbuh pada kawasan tertentu. Kayu-kayu yang lain masih dalam proses identifikasi nama latinnya. Secara tidak berlebihan, adat di Tana Toraja juga mengatur jenis-jenis kayu dan bambu untuk digunakan pada komponen bangunan. Untuk atap rumah Tongkonan (rumah tradisional Toraja), diperlukan sekitar lima (5) spesies bambu yang berbeda, di mana dibedakan peruntukan fungsi kekuatan dan estetika. Demikian juga jenis kayu untuk fungsi struktur juga dibedakan dengan fungsi yang lain, seperti kusen, partisi, papan lantai, dan lain-lain. Hal ini berarti bahwa secara alamiah masyarakat lokal sudah mempelajari secara persis kebutuhan kayu dengan berbagai jenis peruntukannya sesuai dengan spesifikasi teknis yang diperlukan. Hanya saja mereka tidak dapat menjelaskan alasanalasannya secara ilmiah melainkan berdasarkan pengalaman dan cerita lisan yang diwariskan oleh leluhurnya.
Keahlian memilih bahan bangunan pada masyarakat tertentu seperti suku Tobadij dan Toraja terletak pada tangan pimpinan adat, seperti Ondoafi dan Tonaas. Mereka ini tidak hanya menguasai teknik pemilihan bahan bangunan, prosesi pengambilan bahan bangunan, tetapi juga menyimpan informasi teknologi setempat dan potensi bahan bangunan setempat. Khususnya Ondoafi, mereka ini mempunyai prosedur khusus untuk dapat memberikan informasi yang akan diberikan kepada pihak-pihak di luar kelompok mereka. Pemberian kewenangan kepada tokohtokoh adat untuk melakukan proses pembangunan rumah tradisional tersebut sebenarnya merupakan pengendalian langsung secara kelembagaan dalam mengatur pembangunan perumahan sehingga keseimbangan alam tetap terjaga. • Penataan Ruang Permukiman
Penataan ruang secara tradisional merupakan kearifan lokal yang pada awalnya sangat dipatuhi
6
oleh masyarakat. Di daerah Bali dan Lombok, masih banyak kawasan-kawasan lindung yang menurut kepercayaan lokal disebut sebagai kawasan yang “keramat”. Secara akademis sebenarnya daerahdaerah tersebut merupakan kawasan lindung yang memang berfungsi sebagai daerah tangkapan air. Kawasan tersebut pada umumnya dicirikan dengan keberadaan tanaman yang besar dan disekitarnya terdapat mata air. Pada masyarakat Sunda yang tinggal di kaki gunung, zonasi kawasan di sekitar kaki gunung tersebut juga terjadi, bahkan diatur pula tata cara pemanfaatan lahan menurut periode masa tanam yang disebut dengan “kala mangsa”, atau pada masyarakat Jawa disebut “titi mongso”. Penataan kawasan secara tradisional pada masyarakat Sunda didasarkan pada empat elemen, yakni “lemah-cai“ (tanah-air), “luhur handap” (atas-bawah), “wadaheusi” (wadah-isi), serta “kaca-kaca” (perbatasan). Konsep “lemah-cai” mempunyai dua pemahaman yakni, pertama tempat kelahiran atau disebut juga kampung halaman, kedua komponen kehidupan yang komplementer yaitu tanah yang layak untuk memberikan penghidupan seperti permukiman dan huma/ladang, dan air untuk menghidupi tanah dan manusia secara memadai dan berkesinambungan.
Konsep “luhur-handap” merupakan filosofi tata cara penempatan suatu kegiatan, bahwa yang di atas “luhur” selalu mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan yang di bawah. Sebagai contoh bahwa kepala, mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan kaki, karenanya hirarki demikian harus selalu dijaga agar masyarakat terhindar dari bala. Konsep wadah-isi meyakini bahwa suatu tempat atau wadah selalu mempunyai isi yaitu kekuatan supranatural (Salura 2007) .
Pengaturan peruntukan lahan seperti lokasi perumahan, ladang, kegiatan ekonomi, dan lain-lain mengacu pada konsep ini. Kekuatan supranatural yang merupakan isi dari wadah/wilayah tertentu ditandai, antara lain oleh adanya batu keramat, hutan keramat, pohon atau telaga yang keramat pula. Kaca-kaca merupakan batas yang diartikan secara luas dan fungsional, misalkan batas ketinggian tempat yang berati pula batas peruntukan lahan, atau batas antara kampung yang mempunyai material dan kewenangan yang berbeda. Keempat konsep di atas selalu menegaskan bahwa setiap kawasan mempunyai peruntukan tertentu yang sudah sesuai dengan kemampuan ekologisnya atau daya dukungnya. Kawasan yang menjadi urat nadi penghidupan masyarakat mendapatkan pengawalan dan penjagaan dari kekuatan supranatural. Studi arsitektural permukiman masyarakat Sunda di Kampung Tonggoh oleh Salura (2007) menemukan
Kearifan Lokal Pranata Teknologi dan Kelembagaan pada beberapa Rumah Tradisional di Indonesia Timur Aris Prihandono Area berkebun daratan pulau besar tempat berkebun.
Akses ke darat Akses ke darat
Pulau Area pemukiman
Kumpulan Pulau-pulau Kecil hall
Area pemukiman
hall Akses ke laut
Akses ke laut
Gambar 1. Tata Ruang Permukiman Suku Bajo Sumber: Balai PTPT Puskim, 2010
bahwa terdapat lahan seluas 4 ha dari 16 ha luas kampung yang menjadi lahan “karomah” (keramat), yaitu makam cikal-bakal/ pendiri kampung tersebut, hutan larangan, serta tempat “cai-nyusu“ (mata air). Jadi, dalam pemahaman konstektual, bahwa pembagian fungsi-fungsi kawasan terutama fungsi hidrologi/ kawasan lindung beserta pengawas penegakan hukumnya sudah terdapat pada masyarakat lokal sejak dulu. Pada masyarakat Bajo yang hidup di kawasan pesisir, mereka selalu memilih kawasan pesisir yang mempunyai terumbu karang (coral reef) dan secara geografis berada pada kawasan teluk yang mereka sebut “hal” (bahasa setempat) (lihat gambar 1). Dalam klasifikasi bentuk lahan, terdapat tiga tipe bukit karang yaitu terumbu karang cincin (atol), terumbu karang penghalang (barrier reefs), dan terumbu karang tepi (fringing reefs).
Terumbu karang tepi merupakan tipe yang paling banyak dijumpai di Indonesia, di mana terumbu karang tipe ini berada di tepi pantai yang jaraknya kurang dari 100 meter ke arah laut. Terumbu karang cincin (atol) biasanya terdapat di pulau-pulau kecil yang terpisah jauh dari daratan. Semua tipe pulau karang tersebut bersifat meredam atau menahan laju gelombang laut, oleh karena itu permukiman mereka terhindar dari gangguan gelombang laut. Permukiman mereka selanjutnya berpola linier mengikuti garis pantai, namun sebagian besar berada di atas air.
Di samping masalah keamanan, ekosistem terumbu karang secara alamiah mempunyai kekayaan alam bernilai ekonomis sangat tinggi. Menurut McAllister yang dikutip Sukmara (2001), terumbu karang tidak hanya mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, tetapi juga nilai ekologi yang sangat signifikan, yaitu sebagai tempat wisata, tempat budidaya atau penangkapan ikan, perlindungan pantai secara alamiah, habitat suatu biodiversitas. Terumbu karang pada daerah ini merupakan bagian dari “segitiga” terumbu karang dunia yang persentasenya mencapai lebih dari 30%
luas terumbu karang dunia. Jadi pengetahuan lokal mereka tentang ekologi terumbu karang sangat fungsional untuk menopang kehidupan masyarakat Bajo. Pemilihan kawasan permukiman pada masyarakat Toraja menurut Yudono (2008) bahwa mereka memilih lokasi perumahan berdasarkan: kemudahan mendapatkan air, kemungkinan pengembangan lahan untuk bertani, menggembalakan ternak, mudah mendapatkan bahan bangunan terutama kayu dan bambu. Mereka memilih bentang alam dataran menyerupai bukit agar aman dari banjir dan mudah mengontrol wilayah sekelilingnya, kemungkinan dibangunnya common plaza di antara deretan tongkonan dengan deretan alang-alang sebagai wadah interaksi sosial sehari-hari, serta lapangan untuk penyelenggaraan upacara keagamaan, kematian, dan upacara lainnya. (lihat gambar 2). • Teknologi Struktur dan Konstruksi
Tana Toraja merupakan kawasan pegunungan kompleks karena terdiri dari pegunungan kapur
Gambar 2. Perkampungan Rumah Tradisional Tongkonan di Tana Toraja Sumber: Yudono 2008
7
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
(topografi karst) dan pegunungan vulkanik yang sudah tua. Oleh karena itu batuan induk daerah tersebut dicirikan oleh adanya batuan vulkanik dan batuan kapur yang berselang seling. Ketinggian daerah ini yang mencapai 600 – 2800 meter dari permukaan laut menyebabkan temperatur udara cukup sejuk (150–300C). Bencana alam yang menjadi ancaman papan bangunan gedung adalah angin kencang atau penduduk setempat menyebutnya sebagai “angin hisap”, karena memang sering menerjang atap bangunan rumah adat Tongkonan, sehingga angin tersebut seolah-olah menyedot atap. Struktur rumah tongkonan sangat kompleks dan unik walaupun tradisional. Secara umum struktur bangunan terdiri dari tiga tingkatan yaitu struktur atap yang disebut “rattiang banua”, struktur badan yang dinamakan “kale banua”, serta struktur bawah yang dinamakan “sulluk banua” (lihat gambar 3).
Pondasi setempat/umpak yang dinamakan batu “parandangan” terbuat dari batuan beku magmatis, untuk lebih jelasnya lihat gambar di bawah. Konstruksi Tongkonan merupakan satu kesatuan yang utuh, kokoh, oleh karena itu tahan terhadap bencana gempa. Tongkonan tidak mengenal pemakaian paku pada sambungan kayunya. Keseimbangan hubungan antara kayu menjadi kekuatan utama dalam konstruksi tongkonan. Hal ini dipahami betul oleh tokoh-tokoh setempat yang mempunyai keahlian membuat tongkonan, karena secara ekologis dan tidak sadar sudah terinternalisasi pada alam pikiran mereka sehingga sangat harmonis dengan keberadaan ancaman bencana alam maupun keberadaan cara-cara penanggulangannya yang berbasis pada potensi setempat.
Rattiang Banua/Atap
Kale Banua/ Badan
Sulluk Banua/ Bawah Gambar 3. Struktur Rumah Tongkonan Sumber : Patandianan, 2008
8
Hal yang unik pada rumah Tongkonan adalah konstruksi atapnya yang membesar ke atas seperti bentuk perahu. Penonjolan atap bagian depan dan belakang rumah (anjungan) yang disebut “longa“ mengakibatkan konstruksi kuda-kuda yang sulit. Kedua anjungan atap “longa“ dibentuk oleh 4 balok yang menjulang ke depan dan ke belakang dengan bentang mencapai 8 meter. “Longa“ ditopang oleh 2 tiang panjang yang disebut “Tulak Somba” (tiang yang menyangga ujung atap hingga ke tanah) tiap komponen struktur, sistem sambungannya serta bagian-bagian yang kecil mempunyai terminologi lokal masing-masing. Untuk sambungan antara balok dan kolom misalnya, disebut “silongko“ (artinya berkaitan) dan “siamma” (artinya saling makan) memakai alur, pen dan pengikat rotan. Untuk menghubungkan tiang utama dengan tanah agar terhindar dari kelembaban tanah dan serangan serangga digunakan umpak yang terbuat dari batuan beku yang masif. Hal ini mengindikasikan bahwa teknologi setempat yang tercipta sudah sangat mapan (established), sehingga tidak diragukan lagi kehandalannya dalam menghadapi perilaku alam yang ada di lingkungannya.
Pada rumah Suku Bajo, hal demikian juga ditemukan walaupun tidak sekompleks rumah Tongkonan. Namun demikian kesamaan yang bisa dilihat di antara sistem struktur kedua rumah tradisional tersebut adalah bahwa teknologi struktur yang ada sudah teradaptasi dengan perilaku alam pada lingkungan masing-masing. Jika ancaman utama rumah tradisional Tongkonan adalah badai angin, ancaman utama rumah Bajo adalah badai gelombang laut, gempa bumi serta angin mengingat letak permukiman Bajo berada di atas laut dan pada zona gempa yang cukup intensif (Kem PU 2010).
Rumah tradisional Bajo yang berupa konstruksi rumah panggung memiliki karakteristik unik yakni sistem strukturnya ditunjang oleh pondasi tiang kayu sampai setinggi 9 meter di atas taraf penjepitan lateral tanah dasar laut. Kondisi lingkungan sedemikian sangat potensial menerima pembebanan dinamis dan ekstrim, baik akibat angin ataupun oleh gelombang. Keunikan lainnya terdapat pada sambungan antara struktur atas (badan rumah) dengan struktur bawah (tiang penyokong) yang memungkinkan terjadinya pergeseran lateral pada satu arah serta sambungan antar elemen struktur dengan kekangan yang terbatas. Gambar 4 memperlihatkan bahwa struktur rumah panggung memiliki tiga bagian yakni struktur atap, badan bangunan, dan pondasi. Hubungan ketiga substruktur tersebut mempunyai
Kearifan Lokal Pranata Teknologi dan Kelembagaan pada beberapa Rumah Tradisional di Indonesia Timur Aris Prihandono keandalan terhadap pembebanan dinamis seperti gempa ataupun angin. Verifikasi teknis sistem struktur tersebut saat ini sedang dilakukan oleh Tim Peneliti Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Makassar. Pada gambar 5 terlihat hubungan antara tiang struktur bawah dengan badan rumah yang bersifat dinamis dapat bergesar secara lateral. Kondisi ini memungkinkan sambungan dapat membebaskan gaya-gaya lateral yang membebani mereka. Prinsip ini sebenarnya tidak berbeda dengan tiang struktur yang bertumpu pada umpak yang dapat dijumpai pada hampir keseluruhan rumah panggung. • Bahan Bangunan
Aktifitas geologi Pulau Sulawesi menyebabkan pulau ini secara biogeografi terisolasi dari pulaupulau di sebelah barat (Asiatis), maupun di sebelah timur (Australis). Isolasi geografi Pulau Sulawesi dan kondisi lingkungannya, seperti variasi topografi, gradien elevasi, dan variasi jenis tanah menyebabkan flora dan fauna di bioregion ini berkembang secara khas. Struktur dan komposisi biota pulau ini sangat unik, walaupun jumlah jenisnya relatif sedikit, di mana jumlah jenis tumbuhan tinggi diperkirakan hanya 5000 spesies, termasuk 2100 tumbuhan berkayu (Van Balgooy 2008). Walaupun menurut para ahli botani dikatakan sedikit, namun masyarakat lokal memahami dengan baik karakteristik spesies vegetasi yang ada dan memanfaatkan sebaik mungkin untuk kepentingan mereka dengan tidak mengganggu keseimbangan ekologinya.
Hasil penelitian pada tahun 2009 tentang penggunaan bahan bangunan pada rumah Suku Bajo, Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa terdapat respon termal yang lebih baik untuk rumah-rumah
Gambar 5. Sistem Sambungan antar Sub Struktur Sumber: Balai PTPT Puskim, 2010
yang menggunakan bahan lokal dibandingkan dengan bangunan yang menggunakan bahan lokal yang dipadu dengan bahan modern.
Hasil pengukuran temperatur dalam bangunan membuktikan bahwa bangunan yang berdinding dari daun silar (bahan selulosa), beratap rumbia, dan berlantai kayu memilki temperature sekitar 210-270C, sedang bangunan dengan atap seng (metal), lantai keramik, dan dinding papan memiliki temperatur yang lebih tinggi berkisar 280-350C. Menurut hasil kajian tentang kinerja termal, bahan lokal memiliki spesifikasi tertentu seperti berporous, ringan, dan mengandung bahan selullosa yang tinggi, sehingga karakter termalnya memiliki sifat mudah/cepat melepaskan panas/dingin yang diterima dari sekitarnya. Karena material tersebut berporous, maka akan menyimpan uap air didalam pori-porinya sehingga sangat membantu proses pendinginan udara dalam bangunan. Namun demikian hal tersebut harus ditunjang oleh pergerakan udara/angin untuk membantu terjadinya pertukaran udara dalam ruang sehingga tidak terjadi kegerahan. Tentu saja kondisi tersebut sangat ditunjang oleh desain bukaan bangunan.
Gambar 4. Pembagian Struktur Rumah Suku Bajo Sumber: Balai PTPT Puskim, 2010
9
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
Pada rumah suku Bajo yang berbahan lokal kondisi di atas dapat terjadi dengan baik karena ditunjang oleh bukaan (terbuka 24 jam) dan banyak celah yang terbuka disetiap komponen bangunan seperti pada lantai, dinding dan atap. Atap rumbia memiliki celah disetiap susunan anyaman daun, dinding disusun tidak rapat, demikian pula dengan lantai bangunan tersebut. Akan tetapi bahan bangunan lokal ini seperti “rumbia” dan “silar” juga memiliki kelemahan yaitu mudah lapuk sehingga perlu dilakukan inovasi terhadap bahan bangunan.
Pemilihan kayu “pingsan” sebagai tiang struktural untuk menopang rumah bagian lantai ke atas menunjukkan sisi kecerdasan lainnya. Dari semua elemen struktur, tianglah yang paling krusial karena selain memikul beban rumah, juga menahan efek beban dari gelombang dan arus serta bersentuhan langsung dengan air laut dan tanah dasar yang mengandung senyawa kimia, yang dapat menyebabkan degradasi kualitas dan kekuatan struktur. Berdasarkan pengamatan lapangan, kinerja tiang secara visual sangat baik. Masyarakat Tobadij yang mendiami perairan Teluk Youtefa, Jayapura, memanfaatkan kayu lokal (endemis) yang dinamakan kayu “swan” sebagai tiang konstruksi yang ditanamkan di dasar laut dengan kedalaman air pasang 2,50 meter hingga 3,00 meter, Sedangkan material bangunan untuk struktur atas, mulai dari balok gelagar lantai, balok lantai, lantai, dinding, dan rangka kuda-kuda, digunakan material kayu lokal dengan klasifikasi campuran.
Fenomena yang menarik adalah walaupun kayu “swan” tertanam kedalam dasar laut, dan tenggelam dalam air laut sepanjang usia penggunaannya, namun kayu terebut mampu bertahan hingga mencapai umur pakai 60 tahun, serta tetap kokoh diterjang arus laut, baik arus pasang surut maupun pergerakan arus musiman yang sering menerpa permukiman Suku Tobadij. Keunikan lainnya adalah bahwa kayu ini sangat sesuai dengan kondisi tanah yang dapat dikategorikan bersifat lembek. Hal ini terbukti dari peristiwa amblasnya bangunan yang menggunakan tiang struktur dari beton saat terjadi gelombang tsunami di Jepang yang merembet di perairan Teluk Yotepa. Beberapa gedung dengan tiang beton amblas bahkan hilang terkena terjangan gelombang stunami yang hanya berketinggian 0,5 – 1 meter, sementara bangunan penduduk dengan struktur sederhana berbahan kayu “swan” masih tetap utuh. Hasil analisa sementara menunjukkan bahwa berat jenis tanah lempung seimbang dengan berat jenis kayu “swan”, sehingga beban berat tiang-
10
tiang bangunan rumah penduduk masih dapat ditopang tanah lempung yang ada di kawasan tersebut. Sementara tiang-tiang yang terbuat dari beton mempunyai berat jenis yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kayu “swan”. Kearifan Lokal sebagai Referensi Bertindak Bijak dalam Pembangunan Perumahan
Pertumbuhan penduduk nasional secara absolut hingga saat ini masih tetap tinggi (1,4%) walaupun secara persentase mengalami penurunan dari 1,98% per tahun (1980-1990) menjadi 1,4% per tahun (1990-2000). Dengan pertumbuhan setinggi itu, kebutuhan rumah baru diperkirakan mencapai 800.000 unit per tahun. Jika masih harus ditambah dengan backlog rumah sebesar 5,8 juta unit, penanganan kawasan kumuh seluas 54.000 ha dan perbaikan rumah tidak layak huni sebesar 13 juta unit rumah, maka sampai dengan tahun 2020 diperkirakan rata-rata kebutuhan rumah pertahunnya mencapai 1,2 juta unit. Dengan pertimbangan kebutuhan rumah per tahun sekitar satu juta unit, maka diluncurkanlah program pembangunan selama 17 tahun (20042020) dinamakan Program Satu Juta Rumah oleh Menteri Negara Perumahan Rakyat. Mengingat daya beli masyarakat yang masih rendah, maka Pemerintah banyak menangani rumah murah untuk golongan menengah ke bawah. Untuk kepentingan tersebut, Pemerintah membuat klasifikasi pendapatan masyarakat, yakni kelompok berpenghasilan tinggi, menengah, dan rendah. Harga rumah yang dipersiapkan adalah Rp. 5.000.000,- s.d Rp. 10.000.000,- Rp. 20.000.000,- s.d Rp. 25.000.000,Meskipun semangat pemerintah untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah cukup tinggi, namun banyak aspek yang harus dipertimbangkan, khususnya dalam tindakan operasional di lapangan. Belajar dari kearifan lokal sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya akan banyak mengurangi permasalahan teknis dan sosial di lapangan.
Jika target pembangunan perumahan mencapai daerah-daerah pinggiran yang masyarakatnya masih banyak menghuni perumahan tradisional, maka sebaiknya nilai-nilai budaya, teknologi setempat, potensi lokal, sumber daya manusia setempat, lembaga lokal dapat digunakan atau dikembangkan dalam skala yang ekonomis. Diharapkan pelaksana di lapangan tidak gegabah menerapkan teknologi dan desain yang tidak berakar dari daerah setempat. Untuk rumah masyarakat Bajo, harus tetap berbasis pada laut yakni berdiri di atas air atau di daratan pesisir. Bentuk rumah panggung juga
Kearifan Lokal Pranata Teknologi dan Kelembagaan pada beberapa Rumah Tradisional di Indonesia Timur Aris Prihandono
Jalur transpotasi perahu
Gambar 6. Konsep Permukiman Suku Bajo yang Mempertahankan Rumah Panggung Sumber: Balai PTPT Puskim, 2010
harus dipertahankan karena kolong-kolongnya yang kosong merupakan ruang sirkulasi udara dan air laut yang sangat penting untuk aerasi air, akses radiasi matahari ke dasar laut, sirkulasi arus air laut yang membawa nutrien, di samping suplai oksigen untuk dekomposisi aerob oleh mikroorganisme. Semua proses tersebut sangat diperlukan bagi tumbuhnya terumbu karang dan biota laut yang lain (lihat gambar 6).
Kasus penimbunan jalan dengan batu karang yang seharusnya dibangun dengan desain jembatan titian pada kawasan permukiman mengakibatkan terganggunya sirkulasi air laut. Akibat yang dirasakan masyarakat adalah air laut di kawasan tersebut sering keruh jika terjadi hujan dalam waktu yang cukup lama. Padahal, ketika belum dibangun jalan timbungan tersebut, kekeruhan akibat hujan hanya berlangsung beberapa jam saja. Kasus tersebut seharusnya tidak perlu terjadi jika pelaksana lapangan mau memperhatikan kondisi eksisting permukiman dan mendengar masukan penduduk setempat.
Aspek yang lain seperti pemakaian bahan bangunan juga harus mengacu kepada bahan-bahan yang tersedia di daerah setempat dengan segala kelemahan dan keunggulannya. Bahan bangunan berupa kayu “pingsan”, dinding yang terbuat dari daun silar dan atap yang terbuat dari daun rumbia perlu dipertahankan, namun perlu dikembangkan bentuknya dalam model kekinian, sehingga dapat diterima oleh masyarakat yang juga mengalami modernisasi. Pertimbangan yang sama juga harus dilakukan pada pembangunan perumahan di kawasan Teluk Yotepa, Jayapura di sekitar kawasan permukiman Suku Tobadij. Daya dukung tanah yang rendah dan penggunaan kayu “swan” yang sudah seimbang dengan daya dukung tanah tersebut perlu diperhatikan. Penerapan teknologi beton pada kawasan tersebut ternyata berakibat fatal (lihat gambar 7).
Untuk rumah tradisional Tongkonan, penggantian komponen bangunan harus dipertimbangkan secara teliti, karena penamaan bahan, sistem struktur, ornamen, sudah mempunyai aturan adat yang
Gambar 7. Bangunan Umum Yang Amblas Akibat Tsunami Sumber: Balai PTPT Puskim, 2010
11
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
pakem. Penggantian atap yang semula terbuat dari bambu kemudian beralih ke seng (zinc) berakibat berubahnya keseimbangan beban vertikal. Oleh karena itu perubahan keseimbangan beban tersebut juga harus diimbangi dengan inovasi teknologi yang akan diterapkan. Introduksi teknologi pengawetan bambu seperti metode Buchery, dapat dilakukan dan kenyataannya bisa diterima masyarakat. Namun penggunaan bahan kimia yang saat ini relatif sulit didapatkan, perlu disubtitusi dengan bahan-bahan yang mereka kenal sehari-hari, seperti asap cair yang bisa dibuat dengan bahan-bahan organik setempat atau pengawet makanan (boraks) yang mudah didapatkan di lingkungan mereka.
Jika dikaitkan dengan isu internasional terkait dengan masalah lingkungan seperti bangunan hijau (green building), kemungkinan rumah-rumah tradisional mempunyai rating yang tinggi karena dalam proses pembuatan bahan bangunan, proses pembangunan, dan proses pengangkutan bahan bangunan tidak banyak mengeluarkan energi. Kriteria green building yang dikeluarkan oleh The Leadership in Energy and Environment Design (LEED) meliputi enam kriteria, yaitu: “location and sitting, water efficiency, energy and atmosphere, material and resources, indor environment quality, innovation and design” (Fletcher 2009).
Tanpa mengukur secara empirik, proses konstruksi rumah tradisional akan mempunyai rating yang tinggi pada kriteria lokasi dan tapak, efisiensi air, energi dan atmosfer, material dan sumber daya, karena kita ketahui semua, bahwa material yang digunakan pada umumnya material organik, diambil dari daerah setempat, tanpa menggunakan alat transportasi bermesin, tidak banyak menggunakan listik karena pelayanan listrik terbatas. Beberapa contoh kasus di atas hanya merupakan cara pandang bagaimana kita berpikir kembali memanfaatkan kekayaan budaya kita yang di dalamnya ternyata terkandung muatan teknologi yang sudah berwawasan ekologis. Rumah tradisional mestinya dipandang sebagai saksi bahwa kearifan lokal yang berupa teknologi, nilai budaya, metode, seni, dan lain-lain sudah teruji ketangguhannya dari proses waktu dan perilaku ekologi setempat. Oleh karena itu, kekayaan tersebut patut di kembangkan dan digunakan.
KESIMPULAN
Indonesia yang kaya akan budaya seharusnya mengembangkan kearifan lokal yang terkandung
12
dalam budaya lokal tersebut, termasuk kekayaan teknologinya dalam pembangunan perumahan.
Secara cerdas masyarakat lokal memilih lokasi yang terlindung dari gelombang laut, badai angin dan gempa bumi. Mereka juga memilih bahan bangunan endemik yang menurut hasil uji lab termasuk dalam kategori kayu kelas satu. Mereka juga mampu menghindarkan material dari gangguan organisme perusak. Pemanfaatan bahan dinding dan atap yang ringan dan higroskopis merupakan sikap harmoni dengan perilaku alam. Pemilihan sistem struktur yang dinamis adalah kearifan lokal yang tidak hanya aman dan nyaman tetapi juga efisien. Desain rumah panggung yang ditemukan di semua etnis juga mempunyai nilai kesehatan, keamanan, kenyamanan, bahkan dari kaca mata “green building”, mempunyai kredit yang signifikan.
Belajar dari keilmiahan kearifan lokal tersebut, pihak-pihak yang berkompeten dengan pembangunan perumahan seharusnya mengembangkan nilai-nilai kearifan lokal dengan metode yang mudah dipahami, sehingga dapat diterima oleh masyarakat saat ini. Pengembangan teknologi ini harus dikaitkan dengan permasalahan perumahan nasional saat ini sehingga teknologi yang dihasilkan dapat lestari secara fungsional. Rumah tradisional dengan segala kearifan lokalnya mestinya dipandang sebagai saksi bahwa teknologi lokal, nilai budaya, metode, seni, dan lain-lain sudah teruji ketangguhannya dari proses waktu dan perilaku ekologi setempat. Oleh karena itu kekayaan tersebut patut di kembangkan dan digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Abidah, Andi. 2008. Nilai-Nilai Budaya Suku Minahasa Dalam Mendirikan Rumah Tinggal. Makassar: Seminar dan Pameran Regional Arsitektur Rumah dan Permukiman Tradisional, Arsitektur FT Unhas-Balai PTPT Puslitbang Permukiman Kementerian PU.
Amin, Samsudin. 2008. Nilai-Nilai Kearifan Lokal Arsitektur Rumah Tradisional Bugis Soppeng. Seminar dan Pameran Regional Arsitektur Rumah dan Permukiman Tradisional, Arsitektur FT Unhas-Balai PTPT Puslitbang Permukiman Kementerian PU.
[Balai PTPT Makassar]. Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional. 2011. Pengembangan Perumahan Permukiman Suku Bajo di Sulawesi Tengah. Makassar. [Balai PTPT Makassar]. Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional. 2011.
Kearifan Lokal Pranata Teknologi dan Kelembagaan pada beberapa Rumah Tradisional di Indonesia Timur Aris Prihandono Pengembangan Model Penataan Permukiman Lingkungan Zona Atas Air di Kawasan Pesisir Kota Ternate. Makassar. [Balai PTPT Makassar]. Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional. 2011. Pengembangan Teknologi Struktur dan Bahan Bangunan Rumah Tradisional Tobadij. Makassar. [Bappeda]. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal Kabupaten Tojo Una-una. 2010. http://bappeda.tojounaunakab. go.id/index.php/produk-statistik/kecamatandalam-angka
Fletcher, Leigh Kellet. 2009. Green Construction Cost and Benefits: Is National Regulation Warranted?. Jurnal Natural Resources and Environment 24. Frick, Heinz dan FX Bambang Suskiyanto. 1998. DasarDasar Eko-Arsitektur. Yogyakarta-Semarang: Penerbit Kanisius-Soegijapranata University Press.
Forumsains. 2011. Indonesia Science Forum http:// www.forumsains.com/biologi-smu/pengertianadaptasi/ (diakses 17 Oktober 2011)
Gobyah, I Ketut. 2003. Berpijak pada Kearifan Lokal. http://www.balipos.co.id (diakses 17 September 2003). [Kem PU]. Kementerian Pekerjaan Umum. 2010. Peta Hazard Gempa Indonesia 2010 Sebagai Acuan Dasar Perencanaan dan Perancangan Infrastruktur Tahan Gempa. Jakarta. Kusdiansayah, Deni. 2008. http://denikusdiansyah. wordpress.com/2008/07/23/pranata-sosial/ (diakses 20 Desember 2011). Mendatu, Achmanto. 2011. Pluralitas etnik di Indonesia. http://smartpsikologi.blogspot. com/2007/08/ (diakses 4 Oktober 2011)
Mufid, A Syafi’i. 2010. Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Pemberdayaan Masyarakat. HARMONI Jurnal Multikultural dan Multireligius 9(34):8392.
Organisasi. 2011. http://organisasi.org/ nama_ rumah_adat_atau_bangunan_adat_tradisional_ khas_daerah_budaya_nasional_kebudayaan_ nusantara_indonesia (diakses 20 desember 2011). Patandianan, Marly V. 2008. Proses Pembangunan Rumah Tradisional Toraja (Tongkonan) di Lembang Pangli dan Palawa, Kecamatan Sesean, Kabupaten Tana Toraja. Seminar dan Pameran Regional Arsitektur Rumah dan Permukiman Tradisional, Arsitektur FT Unhas-Balai PTPT Puslitbang Permukiman Kementerian PU.
Pattinama, Marcus J. 2009. Pengentasan Kemiskinan dengan Kearifan Lokal (Studi Kasus di Pulau Buru-Maluku dan Surade-Jawa Barat). Makara, Sosial Humaniora 13(1):1-12. Salura, Purnama. 2007. Menelusuri Arsitektur Masyarakat Sunda. Bandung: PT. Cipta Sastra Salura.
Sartini. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/ index.php/jf/article/viewFile/45/41 diakses 11 November 2011. Sirtha, Nyoman. 2003. Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali. http://www.balipos.co.id.
Suhartini. 2009. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 16 Mei 2009. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Sukmara, A, AJ Siahainenia and C. Rotinsulu Siahainenia. 2001. Guide Coral Reef Monitoring for Community-Based Method Manta Tow CRMP. Narragansett: University of Rhode Island, Coastal Resources Center. Sumalyo, Yulianto. 2008. Kajian Perbandingan Arsitektur Tradisional Toraja, Bali, Jawa. Makassar: Seminar Nasional Jelajah Arsitektur Tradisional Nusantara dalam Menemukenali Teknologi Berbasis Kearifan Lokal. Tumanggor, Rusmin. 2007. Pemberdayaan Kearifan Lokal Memacu Kesetaraan Komunitas Adat Terpencil. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial 12(1):1-17.
UNESCO. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. 2009. http://portal. unesco.org/ci/en/ev.php-URL_ID=28377&URL_ DO=DO_TOPIC&URL_SECTION=201.html (diakses 20 Desember 2011). Van Balgooy, Max MJ. 2008. Pengenalan Jenis-Jenis Pohon Yang Umum di Sulawesi. Palu: Untad Press. Wikipedia. 2011. http://id.wikipedia.org/wiki/ Pranata (diakses 20 Desember 2011).
Wukantari, Ria. 2008. Kearifan Arsitektur Lokal Kawasan Timur Indonesia: Tinjauan Ragam Lintas-Etnik. Seminar dan Pameran Regional Arsitektur Rumah dan Permukiman Tradisional, Arsitektur FT Unhas-Balai PTPT Puslitbang Permukiman Kementerian PU. Yudono, Ananto. 2008. Kearifan Arsitektur Tradisional Rumah Panggung Dalam Hunian Modern. Seminar dan Pameran Regional Arsitektur Rumah dan Permukiman Tradisional, Arsitektur FT Unhas-Balai PTPT Puslitbang Permukiman Kementerian PU.
13
14
KEBERTERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP INOVASI TEKNOLOGI BAMBU LAMINASI SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI KAYU KONSTRUKSI Societal Acceptance towards the Innovation of Laminated Bamboo Technology as an Alternative to Timber Ratih Putri R Balai Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Permukiman Pusat Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Adisucipto no. 165 Yogyakarta, 55281 Email:
[email protected] Tanggal diterima: 01 Desember 2011 ; Tanggal disetujui 13 Februari 2012
ABSTRACT Five of the largest islands that have experienced the most severe deforestation in recent times were Sulawesi, Sumatera, and Borneo with more than 20% loss of forest area. The need of timber as construction material is one of the factors that threaten the existence of forestland in those islands. Thus, an alternative to timber becomes a vital necessity. The PTPT Office, Puskim Denpasar, Bali has developed the laminated bamboo technology that can be utilized as structural beams for construction. Bali, NTB, and NTT have highly potential forestry; this also applies in respect to bamboo forests. This research aims to measure the society’s acceptance rate towards the usage of laminated bamboo as a replacement for timber. The research method applied is survey using questionnaires and in-depth discussions with respondents. Data is analysed using descriptive statistics, qualitative, and quantitative. Looking at the environmental aspect, this research shows that all three regions accept laminated bamboo as a substitute of construction timber. The acceptance of Bali towards the technology’s aesthetics and architectural design achieves a 2.10 while NTB and NTT rates the bamboo’s physical rigidity as 2.40 and 1.90 respectively. Keywords: construction timber, acceptance, technology, laminated bamboo, conversion, environment
ABSTRAK Lima pulau besar yang mengalami deforestasi terberat selama kurun waktu belakangan adalah Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan yang secara keseluruhan kehilangan lebih dari 20% tutupan hutannya. Kebutuhan kayu sebagai bahan bangunan salah satunya, menjadikan keberadaan hutan terancam. Oleh karena itu, alternatif pengganti kayu menjadi sebuah kebutuhan. Balai PTPT, Puskim Denpasar, Bali telah mengembangkan teknologi bambu laminasi yang dapat digunakan sebagai balok struktur bangunan. Pulau Bali, NTB, dan NTT memiliki potensi hutan yang besar, begitu pula dengan hutan bambu. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur keberterimaan masyarakat terhadap penggunaan bambu laminasi sebagai pengganti kayu. Metode penelitian adalah metode survei dengan menggunakan instrumen kuesioner dan diskusi mendalam dengan responden. Analisisnya menggunakan teknik statistik deskriptif, kualitatif, dan kuantitatif. Ditinjau dari aspek lingkungan, penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga wilayah studi dapat menerima teknologi Bambu Laminasi sebagai pengganti kayu konstruksi. Keberterimaan masyarakat Bali (nilai 2,10) bercirikan estetika dan desain arsitektur, sedangkan NTB (nilai 2,40) dan NTT (1,90) aspek kekuatan bambu secara fisik. Kata kunci : bahan kayu konstruksi, keberterimaan, teknologi, bambu laminasi, konversi, lingkungan hidup
15
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
PENDAHULUAN Hutan Indonesia pada tahun 1990 seluas 1.185 juta km2 berkurang menjadi 944,32 juta km2 tahun 2010 (World Bank 2011). Indonesia secara keseluruhan telah kehilangan lebih 20 juta Ha tutupan hutannya antara tahun 1985 dan 1997 atau sekitar 17 persen dari kawasan hutan yang ada pada tahun 1985 (Kem-Hut 2010). Berdasarkan PP 24/2010 tentang penggunaan kawasan hutan, disebutkan fungsi hutan sebagai hutan produksi dan hutan lindung. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Sedangkan hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Namun, kenyataannya penggunaan hutan untuk memproduksi hasil hutan sering melewati batas sehingga terjadi deforestasi. Sebagai gambaran, pada tahun 1985–1997 hutan Indonesia seluas 95.628.800 ha mengalami deforestasi seluas 21.562.750 ha atau penghilangan 18% wilayahnya. Hasil hutan yang sering ditengarai sebagai penyebab utama adalah kayu. Salah satu penggunaan kayu adalah sebagai bahan bangunan. Penduduk Indonesia meningkat dari 184,346 juta jiwa tahun 1990 menjadi 239,871 juta jiwa tahun 2010 (World Bank 2011). Oleh karena itu, pembangunan perumahan yang merupakan pemenuhan salah satu kebutuhan pokok papan akan meningkat pula. Krisis perumahan yang terjadi di Indonesia saat ini tidak dapat dicermati dengan baik karena minimnya basis data perumahan dan permukiman di Indonesia. Krisis perumahan di Indonesia, sebenarnya dipicu oleh baby boom yang terjadi sekitar 1974. Basis data juga bisa mendukung percepatan pemenuhan kebutuhan perumahan di Indonesia, tetapi dengan tetap mengutamakan efisiensi dan efektivitas wilayah. Salah satu basis data yang diperlukan dalam bidang perumahan dan permukiman adalah persediaan dan kebutuhan perumahan di masyarakat, luas lahan yang tersedia, kondisi wilayah yang pantas dikembangkan sebagai perumahan serta kemampuan masyarakat untuk membeli rumah (Kompas, Mei 2009). Pemanfaatan hutan sebagai penghasil produksi kayu untuk bahan bangunan perlu dibatasi. Oleh karena itu, dibutuhkan alternatif pengganti kayu sebagai bahan bangunan. Pembangunan yang semata-mata hanya mengekspoitasi sumber daya alam untuk kepentingan ekonomi akan menyisakan dampak negatif pada tatanan kehidupan manusia yang akhirnya akan menjadi bencana untuk kita semua. Pembangunan
16
permukiman dan aktivitas bermukim ditengarai sebagai salah satu kontributor yang signifikan terhadap terjadinya degradasi lingkungan. Oleh karena itu, dalam segenap stakeholder harus mengembangkan dan menerapkan konsep permukiman berwawasan ekologis dengan teknologi hijau untuk prasarana (green infrastructure) dan bangunan gedung (green building) yang ramah lingkungan, rendah emisi CO2, hemat bahan baku, dan hemat energi (PuslitbangKim 2011).
Balai PTPT, Puslitbang Permukiman Denpasar, Bali telah mengembangkan teknologi bambu laminasi yang dapat digunakan sebagai balok struktur bangunan untuk menjawab tantangan ini. Proses teknologi ini terdiri dari penyiapan bahan, penyiapan alat pengolahan, alat pengawetan bahan baku alat yang dipergunakan untuk membuat bambu laminasi. Bambu laminasi dibuat dengan merekatkan bilah-bilah bambu dengan sistem kempa menjadi balok-balok kayu yang ukuran dan dimensinya dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan. Dari hasil pengujian mekanika yang pernah dilakukan, bambu laminasi ini layak secara fisik. Berdasarkan hasil perbandingan sifat mekanika bambu laminasi dengan nilai kuat acun sifat mekanis kayu kadar air 15 %, bambu laminasi dengan perekat polymer isocyanate memiliki nilai karakteristik mekanika untuk MOE, Ft, Fc sejajar dan Fv di atas kode mutu E26, yang mana kode mutu E26 termasuk ke dalam kelas kuat kayu I. Sedangkan Fb masuk dalam kode mutu E25, dan Fc tegak lurus masuk dalam kode mutu E22 (Balai PTPT Denpasar 2010). Persoalannya adalah apakah inovasi tersebut dapat diterima oleh masyarakat Bali, NTB, dan NTT? Sementara itu di Pulau Bali, NTB, dan NTT memiliki potensi hutan yang besar, begitu pula dengan potensi budidaya hutan bambu. Alih teknologi tentang penerapan inovasi teknologi tersebut juga telah dilakukan pada tahun 2010 oleh Balai PTPT Denpasar. Bahkan telah dihasilkan 1 kelompok usaha UKM pembuatan bambu laminasi di Kabupaten Bangli dengan nama kelompok usaha Surya Bali Bambu. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, telah dilakukan penelitian untuk menilai kelayakan inovasi teknologi Bambu Laminasi di Propinsi Bali, NTB, dan NTT. Makalah ini bertujuan untuk membahas sebagian hasil penelitian tersebut, khususnya aspek keberterimaan masyarakat terhadap penggunaan bambu laminasi sebagai pengganti kayu, khususnya ditinjau dari aspek-aspek lingkungan. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei melalui
Keberterimaan Masyarakat terhadap Inovasi Teknologi Bambu Laminasi sebagai Alternatif Pengganti Kayu Konstruksi Ratih Putri R penggunaan kuesioner dan diskusi mendalam dengan responden. Analisis dilakukan secara kuantitatif. Hasil yang diperoleh menunjukkan pola keberterimaan di lokasi penelitian Bali, NTB, dan NTT.
KAJIAN PUSTAKA
Keberterimaan teknologi (Technology Acceptance Model-TAM) adalah teori sistem informasi yang memodelkan bagaimana pengguna (user) menerima dan menggunakan teknologi. Model ini menunjukkan bahwa jika pengguna diberi suatu teknologi, beberapa faktor yang mempengaruhi keputusan mereka untuk menerima dan menggunakannya adalah perceived usefulness (PU) dan perceived easeof-use (PEOU) (Davis 1989).
Unsur-unsur yang mempengaruhi keberterimaan teknologi adalah proses pengaruh sosial dan instrumen kognitif. Proses pengaruh sosial terdiri dari norma subjektif, sukarela, dan gambaran. Sedangkan instrumen kognitif terdiri dari keterkaitan pekerjaan, kualitas output, hasil yang dapat diaplikasikan, dan kemudahan penggunaan (Venkatesh dan Davis 2000). Proses pengaruh sosial merupakan hal internal yang ada pada individu, sedangkan instrumen kognitif merupakan unsur eksternal yang berasal dari teknologi yang menjadi objek. Gambar 1 menunjukkan unsur-unsur yang mempengaruhi keberterimaan teknologi. Kegagalan penerapan teknologi dapat terjadi jika faktor-faktor yang mempengaruhi tidak dipenuhi. Kegagalan Pengembangan Lahan Gambut (PLG) disebabkan oleh kurangnya perhatian terhadap aspek teknis, lingkungan, sosial, ekonomi, dan budaya (Suriadikarta 2009). Secara bahasa, konversi adalah perubahan dari satu sistem pengetahuan ke sistem yang lain atau perubahan dari satu bentuk ke bentuk yang lain.
Konversi dilakukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Penelitian tentang konversi teknologi telah banyak dilakukan. Efisiensi proses adalah hasil akhir yang diharapkan dari konversi sehingga dihasilkan output yang lebih baik. Konversi teknologi densifikasi (membuat dalam bentuk briket/pellet) dan thermolisis/pirolisis hasil densifikasi dengan suhu pemanasan 300o C dapat meningkatkan nilai kalor biomassa kotoran kuda (Susana 2010).
Konversi penggunaan bambu laminasi dari kayu untuk konstruksi adalah upaya green infrastructure. Teknologi bambu laminasi dengan bahan baku bambu, tidak boleh mengesampingkan pelestarian hutan. Pengelolaan sumber daya alam hutan tidak hanya melibatkan aspek biofisik saja, melainkan harus memperhatikan pula aspek sosial, ekonomi, dan kelembagaan. Green infrastructure (infrastruktur hijau) adalah interkoneksi jaringan ruang hijau yang melestarikan nilai-nilai dan fungsi ekosistem alami dan memberikan manfaat terkait dengan populasi manusia. Infrastruktur hijau adalah kerangka ekologi yang dibutuhkan untuk lingkungan, sosial, dan keberlanjutan ekonomi. Perencanaan berbasis infrastruktur hijau dengan perencanaan ruang terbuka secara konvensional belum mempertimbangkan nilai-nilai konservasi lahan, manajemen pertumbuhan, dan perencanaan pembangunan infrastruktur. Aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan diperhatikan dalam pembangunan berkelanjutan. Terdapat tujuh prinsip dalam pelaksanaan infrastruktur hijau adalah (1) Berfungsi dalam kerangka konservasi dan pembangunan, (2) Membuat desain dan rencana infrastruktur hijau sebelum melaksanakan pembangunan, (3) Jaringan adalah kunci, (4) Infrastruktur hijau berfungsi lintas yuridiksi dan skala yang berbeda, (5) Dilandasi ilmu pekerjaan
norma subjektif
sukarela
proses pengaruh sosial
instrumen kognitif
output
hasil aplikasi gambaran mudah penggunaan Keberterimaan Teknologi
Gambar 1. Unsur-unsur Keberterimaan Teknologi Sumber: Venkatesh dan Davis, 2000
17
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
pengetahuan dan peta guna lahan, (6) Infrastruktur hijau adalah investasi publik yang paling kritis, (7) Melibatkan peran swasta dan melibatkan berbagai stakeholders (Benedict and T. McMahon 2002). Konversi penggunaan kayu ke bambu laminasi sebagai kayu konstruksi diharapkan dapat mendukung keberlangsungan ekosistem hutan. Dalam upaya menelusuri berbagai faktor yang terkait dan berpengaruh dalam pengelolaan sumberdaya alam setempat, maka patut dicermati faktor-faktor ekonomi-politik-hukum yang mempengaruhi terciptanya situasi-situasi pengambilan keputusan tertentu. Perlu pula disimak minat-minat dan kepentingan ekonomi berbagai pihak, termasuk penduduk setempat itu sendiri yang belum tentu sejalan dengan ‘harapan’ untuk ‘melestarikan’ kondisi relung mereka, atau dengan ‘harapan pihak pendamping’ dan stakeholder yang lain (Mawardi dan Sudaryono 2006). Konversi penggunaan kayu ke bambu laminasi sebagai kayu konstruksi, diharapkan dapat mendukung keberlangsungan ekosistem hutan. Hasil penelitian yang dibahas pada tulisan ini menitikberatkan pada distribusi, dan rasio kesetujuan dan ketidaksetujuan masyarakat terhadap bambu sebagai bahan pengganti kayu konstruksi. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan, dijelaskan bahwa hutan kemasyarakatan (social forestry) dimaksudkan untuk mewujudkan kelestarian sumber daya hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat setempat. Di dalam Pasal 51 tentang ‘Pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar
hutan’ disebutkan pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat dalam pemanfaatan hutan. Untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan difasilitasi oleh Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian survei yang dilakukan melalui mekanisme penyebaran kuesioner dalam forum rapat diskusi terbatas. Kuesioner terdiri dari 10 pertanyaan, kemudian didiskusikan untuk klarifikasi kepada responden. Responden adalah masyarakat dan aparat pemda/dinas terkait dari Bali, NTB, dan NTB yang hadir pada rapat. Pemilihan lokasi dilakukan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Balai PTPT, Puskim, Denpasar selama kurun waktu 2009 – 2010.
Pengisian kuesioner oleh peserta rapat menggunakan Skala Likert 1–5 (skala 1 menunjukkan sangat tidak setuju dan skala 5 menunjukkan sangat setuju sekali). Data yang digunakan untuk analisis keberterimaan masyarakat terhadap inovasi teknologi bambu laminasi dirangkum pada Tabel 1. Data tersebut menunjukkan jumlah responden yang menjawab untuk masing-masing pertanyaan. Pertanyaan nomor 6 dan 7 pada lokasi NTB berjumlah tidak sama dengan total responden. Begitu pula pada lokasi NTT, terjadi ketidakseragaman antara jumlah jawaban dengan jumlah responden. Oleh karena itu, jumlah responden dirata-ratakan untuk masing-masing lokasi sehingga diperoleh jumlah responden Bali, NTB, dan NTT yang masing-masing adalah 32, 20, dan 38.
Tabel 1. Data Untuk Analisis Keberterimaan Inovasi Bambu Laminasi di Bali, NTB, NTT
Uraian Distribusi Jawaban Responden BALI
Distribusi Jawaban Responden NTB
Distribusi Jawaban Responden NTT
Skala 1 2 3 4 5 ∑ 1 2 3 4 5 ∑ 1 2 3 4 5 ∑
1 7 6 4 9 6 32 2 7 2 4 6 21 4 5 2 6 25 42
2 2 4 2 14 10 32 2 6 2 6 5 21 8 11 5 9 8 41
Sumber: Balai Sosekling Kim, 2011 (diolah)
18
3 1 1 5 7 18 32 0 1 3 6 11 21 7 5 2 7 21 42
4 0 7 8 13 4 32 0 0 6 12 3 21 0 0 4 5 12 21
Nomor Pertanyaan 5 6 7 4 0 0 4 4 2 6 9 11 11 10 14 7 9 5 32 32 32 2 0 0 1 1 1 4 1 1 9 5 7 5 7 8 21 14 17 8 0 0 9 6 3 4 5 0 8 2 15 12 10 23 41 23 41
8 6 7 11 6 2 32 0 3 8 10 0 21 3 7 9 13 9 41
9 0 0 3 14 15 32 1 1 4 10 5 21 1 1 6 12 22 42
10 1 6 5 12 8 32 0 6 6 7 2 21 4 7 12 8 11 42
Ratarata 2.00 3.91 6.09 10.36 8.09 32.00 0.73 2.64 3.64 7.27 5.18 19.90 3.27 5.09 4.73 8.09 14.36 37.60
% Total 6,6% 12,8% 20,0% 34,4% 26,3% 100,0% 3,5% 13,6% 18,6% 38,2% 26,1% 100,0% 9,3% 14,4% 13,0% 22,6% 40,7% 100,0%
Keberterimaan Masyarakat terhadap Inovasi Teknologi Bambu Laminasi sebagai Alternatif Pengganti Kayu Konstruksi Ratih Putri R
Analisis dilakukan setelah pertanyaan kuesioner dinyatakan valid dan hasil analisis dapat diterima oleh respondennya. Metode analisis menggunakan rasio perbandingan nilai kesetujuan terhadap ketidaksetujuan responden. Nilai lebih besar dari 1,00 menunjukkan keberterimaan responden. Nilai ini menunjukkan jumlah responden yang setuju lebih banyak dibandingkan yang tidak setuju. Selain itu, batas nilai ini menunjukkan 50% responden menerima dan sisanya tidak menerima. Semakin besar nilai rasio lebih dari 1,00 maka keberterimaan masyarakat semakin positif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 2 menunjukkan distribusi jawaban responden di Bali. Lingkaran berwarna biru muda, ungu, dan hijau muda menunjukkan skala 5, 4, dan 3 pada kuesioner. Selanjutnya warna merah dan biru tua menunjukkan skala 2 dan 1. Sumbu “x” menunjukkan nomor pernyataan, yang terdiri dari 10 pernyataan. Sedangkan sumbu “y” menunjukkan jumlah responden yang menjawab.
jumlah responden
20 15 10 5 0 0
2
4
6
8
10
pertanyaan Gambar 2. Distribusi Responden Bali 16
jumlah responden
14 12 10 8 6 4 2 0 -2 0
2
4
6
8
10
pertanyaan Gambar 3. Distribusi Responden NTB
30
jumlah responden
Validasi instrumen kuesioner dilakukan dengan cara menyampaikan hasil isian kuesioner kepada responden melalui forum diskusi terbuka. Bagianbagian jawaban yang mendapat respon berbeda dengan yang diharapkan mengindikasikan bahwa terdapat bias pada jawaban responden. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pertanyaan yang tertera pada kuesioner belum valid, sehingga harus diulang.
25
25 20 15 10 5 0 0
2
4
6
8
10
pertanyaan Gambar 4. Distribusi Responden NTT 30 25
25
jumlah responden
Pertanyaan yang diajukan pada kuesioner adalah (1) Kayu adalah bahan wajib yang digunakan dalam setiap bangunan. (2) Kayu boleh tidak digunakan sebagai bahan wajib yang digunakan dalam setiap bangunan. (3) Jika terus menerus terjadi eksploitasi kayu yang berlebih, maka di masa mendatang kayu akan habis. (4) Dengan adanya butir nomer 2, maka jika inovasi bambu laminasi ini adalah bahan pengganti dari kayu maka saya tetap akan menggunakannya. (5) Jika saya menggunakan bambu laminasi ini, saya tidak akan mempermasalahkan nilai-nilai budaya/adat yang ada di dalam bambu laminasi ini sebagai pengganti kayu. (6) Saya tidak akan segan menggunakan bambu laminasi sebagai pengganti dari kayu. (7) Menurut saya bambu laminasi memiliki keunggulan kuat secara fisik. 8) Menurut saya bambu laminasi memiliki keunggulan murah dalam produksi. (9) Menurut saya bambu laminasi memiliki keunggulan di bidang estetika dan desain yang menarik. (10) Menurut saya bambu laminasi memiliki komponenkomponen komposisi bahan dimana komponen tersebut mudah didapatkan di pasaran.
23 20
20
18 16
15 10
18 19
13
14
14
15
18
17
14 12
8
8
9 6
6
5 0
Respon negatif
Respon positif
Gambar 5. Perbandingan Respon Negatif-Positif Gambar 5. Perbandingan Respon Negatif – Positif
19
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
Respon positif dari responden besar karena didominasi oleh lingkaran biru muda dan ungu di bagian atas grafik, artinya masyarakat menyetujui pernyataan-pernyataan dalam kuesioner. Respon negatif dari responden yang berupa lingkaran warna merah dan biru terdapat di bagian bawah grafik menunjukkan jumlah responden sedikit. Gambar 4 memiliki sebaran respon positif yang lebih kentara dibanding Gambar 2 dan Gambar 3. Gambar 5 menunjukkan grafik batang perbandingan antara kesetujuan dan ketidaksetujuan masyarakat di masing-masing daerah. Rata-rata nilai kesetujuan di masing-masing daerah lebih tinggi dibandingkan nilai ketidaksetujuan. Nilai ekstrim ketidaksetujuan didapat dari pernyataan 1, 2, 5, dan 8.
Pernyataan tersebut adalah bahwa kayu adalah bahan wajib yang digunakan dalam setiap bangunan, responden Bali tidak setuju dengan pernyataan ini, artinya bahan bangunan kayu dapat dikonversi. Namun, pada pernyataan kedua bahwa kayu boleh tidak digunakan sebagai bahan wajib yang digunakan dalam setiap bangunan, responden NTT menyatakan ketidaksetujuan.
kesetujuan–ketidaksetujuan, seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Nilai ketidaksetujuan diperoleh dengan menjumlahkan jawaban skala 1–3, sedangkan kesetujuan menjumlahkan skala 3–5. Nilai ini kemudian dibagi dengan jumlah responden agar angka yang diperoleh homogen. Angka rasio > 1 menunjukkan keberterimaan positif. Nilai rasio seperti yang ditunjukkan Tabel 2 menunjukkan sebagian besar melampaui batas minimum, rasio > 1. Hanya 3 item dari 30 yang menunjukkan nilai 1,00. Sesuai dengan teori keberterimaan, unsur yang berpengaruh dari dalam diri responden atau pengaruh sosial adalah norma subjektif, sukarela, dan gambaran. Norma dalam hal ini adalah tradisi yang diturunkan dalam pembangunan rumah. Di Bali dan NTB, unsur ini tidak bertentangan namun berkebalikan dengan NTT. Hal ini ditunjukkan dengan rasio 1,04 dan 1,00 untuk pernyataan nomor 2 dan 5. Setelah dilakukan diskusi mendalam, hal ini bersumber dari tradisi membangun rumah yang mewajibkan penggunaan kayu tertentu.
Unsur sukarela, terkait erat dengan tingkat pendidikan responden. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan nomor 3 yaitu jika terus menerus terjadi eksploitasi kayu yang berlebih, maka di masa mendatang kayu akan habis. Nilai rasio terendah ditunjukkan oleh NTT, sedangkan untuk Bali dan NTB masing-masing 1,85 dan 2,5. Hal ini menunjukkan tingkat kepedulian pelestarian alam responden Bali, NTB, dan NTT secara tradisi turun menurun telah hidup berdampingan dengan alam. Oleh karena itu, mereka memiliki kepekaan lingkungan hidup yang tinggi. Unsur ini terkait erat dengan norma subjektif responden.
Pernyataan kelima bahwa jika bambu laminasi digunakan responden tidak akan mempermasalahkan nilai-nilai budaya/adat yang ada, memperoleh ketidaksetujuan yang signifikan dari NTT. Hal ini sejalan dengan pernyataan kedua. Pernyataan kedelapan bahwa bambu laminasi memiliki keunggulan murah dalam produksi, memperoleh nilai ketidaksetujuan yang besar dari ketiga daerah. Hal ini wajar karena saat ini harga jual per balok bambu laminasi lebih mahal dari kayu sejenis. Keberterimaan diukur menggunakan rasio Tabel 2. Rasio Kesetujuan – Ketidaksetujuan Nomor Pertanyaan. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nilai Ketidaksetujuan Bali 0,5 0,3 0,2 0,5 0,4 0,4 0,4 0,8 0,1 0,4
NTB 0,6 0,5 0,2 0,3 0,4 0,1 0,1 0,6 0,3 0,6
Sumber: Balai Sosekling Kim, 2011 (diolah)
20
Nilai Kesetujuan NTT 0,3 0,6 0,4 0,1 0,6 0,3 0,1 0,5 0,2 0,6
Bali 0,6 0,6 0,4 0,9 0,7 0,7 0,8 0,8 0,5 0,7
NTB 0,7 0,7 0,5 0,9 0,7 0,4 0,5 1,1 0,8 1
NTT 0,3 0,7 0,4 0,2 0,6 0,3 0,5 0,8 0,5 0,7 Rata-rata
Rasio Kesetujuan dengan Ketidaksetujuan BALI NTB NTT 1,12 1,18 1,18 2,50 1,40 1,04 1,86 2,50 1,00 1,87 3,00 2,25 1,50 2,00 1,00 1,77 3,50 1,18 2,08 4,50 6,00 1,00 1,91 1,53 5,67 2,50 2,38 1,92 1,58 1,17 2,10 2,40 1,90
Keberterimaan Masyarakat terhadap Inovasi Teknologi Bambu Laminasi sebagai Alternatif Pengganti Kayu Konstruksi Ratih Putri R Pemahaman isu lingkungan responden dapat mendukung pelaksanaan infrastruktur hijau. Oleh karena itu, pelibatan masyarakat dalam budidaya hutan bambu dalam hutan kemasyarakatan adalah hal penting. Menurut Benedict dan T. McMahon (2000), dalam pelaksanaan infrastruktur hijau harus melibatkan peran swasta dan berbagai stakeholder. Hutan bambu ini akan berfungsi baik dalam kerangka konservasi, maupun pembangunan.
Unsur gambaran dapat diartikan sebagai kemampuan responden untuk menyukai kondisi fisik. Kuesioner nomor 9 bahwa menurut responden bambu laminasi memiliki keunggulan di bidang estetika dan desain yang menarik, bernilai 5,67; 2,5; dan 2,38. Unsur ini bernilai tinggi karena contoh yang ditunjukkan oleh Balai PTPT, Denpasar sesuai dengan ekspektasi responden. Sedangkan dari segi instrumen kognitif, unsur-unsur yang dikaji adalah keterkaitan pekerjaan, kualitas output, hasil yang dapat diaplikasikan, dan kemudahan penggunaan. Unsur kualitas output dapat diketahui dari rasio keberterimaan yang positif 2,08; 4,50; dan 6,00 untuk masing-masing Bali, NTB, dan NTT. Pertanyaan ini adalah menurut responden bambu laminasi memiliki keunggulan kuat secara fisik, artinya responden yakin dengan kekuatan fisik bambu laminasi.
Unsur hasil yang dapat diaplikasikan dan kemudahan penggunaan terkait dengan harga bambu laminasi. Jika harga terjangkau, bahkan dapat lebih murah dari kayu sejenis, maka penggunaan teknologi ini dapat terlaksana. Dari pernyataan nomor 8 bahwa menurut responden bambu laminasi memiliki keunggulan murah dalam produksi, memiliki nilai 1,00; 1,91; dan 1,53 untuk masing-masing lokasi. Nilai ini cukup rendah jika dibandingkan dengan unsur sebelumnya.
Karakteristik keberterimaan masyarakat Bali dicirikan dengan pernyataan ke-2, (nilai 2,5), dan pernyataan ke-9 (nilai 5,67) yang nilai keduanya diatas total rata-rata seluruh indikator keberterimaan, yaitu 2,10). Masyarakat Bali menegaskan bahwa bambu laminasi memang memiliki keunggulan estetika dan desain menarik (nilai 5,67). Selain itu ditegaskan pula bahwa kayu tidak digunakan sebagai bahan wajib untuk konstruksi. Tersirat dari kedua pernyataan tersebut bahwa masyarakat Bali sangat sadar lingkungan. Disisi lain, estetika dan desain bambu laminasi mendapat perhatian yang lebih baik dari masyarakat NTB dan NTT. Hal tersebut mengindikasikan bahwa apabila kayu menjadi wajib sebagai bahan konstruksi, maka konsekuensinya adalah kelangkaan
kayu dan kerusakan hutan. Oleh karena itu, bambu laminasi yang desainnya mempertimbangkan nilainilai arsitektur tradisional akan mendapat peluang lebih besar untuk dikembangkan di Bali.
Karakteristik keberterimaan masyarakat NTB terhadap bambu laminasi dicirikan dari 5 (lima) pernyataan yang nilainya lebih besar dari rata rata 2,4; yaitu pernyataan ke-3 (nilai 2,5), pernyataan ke-4 (nilai 3,0), pernyataan ke-6 (nilai 3,5), pernyataan ke-7 (nilai 4,5), dan pernyataan ke-9 (2,5). Karakteristik tersebut mencerminkan bahwa masyarakat NTB mengakui bahwa bambu laminasi memiliki keunggulan kuat secara fisik (nilai 4,5), dan tidak segan menggunakan bambu laminasi sebagai pengganti kayu (nilai 3,5). Mereka sadar bahwa eksploitasi kayu secara terus menerus akan menghabiskan cadangan sumber daya kayu (nilai 3,0). Masyarakat NTB juga mengakui bahwa bambu laminasi memiliki esetika dan desain yang baik (nilai 2,5). Dari kelima pernyataan tersebut tersirat bahwa masyarakat NTB lebih memberi perhatian pada kekuatan fisik dari bambu laminasi. Aspek kekuatan fisik tersebut merupakan motivator masyarakat NTB untuk beralih dari menggunakan kayu menjadi bambu laminasi sebagai bahan konstruksi.
Karakteristik keberterimaan masyarakat NTT terhadap bambu laminasi dicirikan dari 3 (tiga) pernyataan, yaitu pernyataan ke-6, pernyataan ke-9, dan pernyataan ke-4 yang nilainya lebih besar dari 1,9 (nilai total rata-rata seluruh indikator keberterimaan yang digunakan). Masyarakat NTT menegaskan bahwa bambu laminasi memiliki keunggulan kuat secara fisik (nilai 6,0) tetapi juga memiliki nilai estetika dan desain yang menarik (nilai 2,38). Namun, kayu konstruksi masih tetap digunakan (nilai 2,50). Ketiga masyarakat wilayah penelitian, pada dasarnya dapat menerima bambu laminasi sebagai bahan konstruksi pengganti kayu. Namun, karakteristik keberterimaannya sedikit berbeda. Masyarakat Bali lebih memberi perhatian pada estetika dan desain bambu laminasi, sedangkan masyarakat NTB dan NTT lebih pada aspek kekuatan bambu secara fisik. Ditinjau dari aspek konservasi, masyarakat Bali dan NTB termotivasi untuk tidak menggunakan kayu untuk bahan konstruksi, sedangkan masyarakat NTT masih akan menggunakan kayu.
KESIMPULAN
Secara umum, keberterimaan masyarakat wilayah penelitian terhadap inovasi teknologi bambu laminasi sebagai alternatif pengganti kayu konstruksi adalah positif. Masyarakat di ketiga
21
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
wilayah penelitian dapat menerima bahwa aspek konservasi sumber daya kayu menjadi landasan keberterimaan teknologi bambu laminasi. Namun, masyarakat Bali dan NTB akan sepenuhnya menggunakan bambu laminasi, sedangkan masyarakat NTT masih menggunakan sebagian kayu sebagai bahan konstruksi. Masyarakat Bali lebih memperhatikan aspek estetika dan desain arsitektur, sedangkan masyarakat NTB dan NTT lebih memperhatikan aspek kekuatan bambu secara fisik. Penerapan teknologi bambu laminasi sebagai infrastruktur hijau harus dilaksanakan dengan pelibatan masyarakat dalam hutan kemasyarakatan. Masyarakat selain dapat berperan serta dalam pengadaan bahan bangunan bambu laminasi, juga memiliki andil dalam pelestarian hutan. Peran aktif Pemerintah dan Pemerintah Daerah setempat untuk mengaktifkan kelembagaan masyarakat perlu disoroti lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
[Balai Sosekling Kim]. Balai Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan bidang Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum. 2011. Kajian Kelayakan Sosekling dalam Penerapan Teknologi Bahan Bangunan untuk Perumahan Tradisional. Yogyakarta. [Balai PTPT Denpasar]. Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Kementerian Pekerjaan Umum. 2010. Laporan Studi Bambu Laminasi. Denpasar.
Benedict, Mark A., T. McMahon, Edward. 2002. Green Infrastructure: Smart Conservation for the 21st Century. Renewable Resources Journal 20(3):1217.
Davis, F.D. 1989. Perceived Usefulness, Perceived Ease of Use, and Acceptance of Information System Technology. MIS Quarterly 13(3):319339. [Kem Hut]. Kementerian Kehutanan. 2010. Kondisi dan Perubahan Tutupan Hutan. http://www. pdf.wri.org/indoforest_chap2_id.pdf (diakses 22 Desember 2011). Kompas. 2009. Basis Data Perumahan Belum Akurat. http://properti.kompas.com/ read/2009/05/12/18054972/Basis.Data. Perumahan.Belum.Akurat (diakses 22 Desember 2011). Mawardi, I dan Sudaryono. 2006. Konservasi Hutan dan Lahan melalui Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan. Jurnal Teknik Lingkungan 7(3): 317-324.
22
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan.
[Puslitbang Kim]. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum. 2011. Pidato Menteri PU pada pembukaan kolokium Puslitbang Permukiman PU dengan tema Meningkatkan Kemanfaatan Hasil Litbang Perumahan dan Permukiman untuk Mendukung Percepatan Pembangunan Ekonomi, Kesejahteraan Masyarakat dan Peningkatan Kualitas Lingkungan. Bandung.
Suriadikarta, Didi Ardi. Pembelajaran dari Kegagalan Penanganan Kawasan PLG Sejuta Hektar Menuju Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. 2009. Majalah Ilmiah Pengembangan Inovasi Pertanian 2(4): 229-242. Susana, I. 2010. Peningkatan Nilai Kalor Biomassa Kotoran Kuda dengan Metode Densifikasi dan Thermolisis. Jurnal Teknik Mesin 11(2).
Venkatesh, Viswanath. Davis, Fred D. A. 2000. Theoretical Extension of the Technology Acceptance Model: Four Longitudinal Field Studies. Management Science 46(2):186-204.
World Bank. 2011. World Development Indicators. Last updated: Nov 2, 2011, http://www.google. co.in/publicdata/home (diakses 23 Desember 2011).
KESEJAHTERAAN EKONOMI KELOMPOK MASYARAKAT PENGGUNA TEKNOLOGI MIKROHIDRO Economic Welfare of Communities Using Micro-Hydro Technology Bastin Yungga Angguniko1 dan Masmi’an Mahida2 Pusat Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Sapta Taruna Raya No. 26 Komplek PU Pasar Jumat – Jaksel Email:
[email protected] 1
Pusat Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Sapta Taruna Raya No. 26 Komplek PU Pasar Jumat – Jaksel Email:
[email protected] 2
Tanggal diterima: 29 November 2011; Tanggal disetujui 14 Februari 2012 ABSTRACT The research raises the topic of community involvement in managing fresh water resources, micro-hydro maintenance, and welfare of the micro-hydro users in Talang Beringin Village, Lampung. This paper aims to identify economic welfare issues of micro-hydro technology users from three aspects, which are capital, land, work, and access. The welfare issues of micro-hydro-using communities demands attention because it is directly connected to the sustainability of the micro-hydro system and the conservation of fresh water resources that becomes the activator of the system. The research method used is survey with questionnaires and field observation. The paper concludes that the education of micro-hydro users are relatively low with most of them being farmers. Additionally, the gender inequality proves to be another deciding factor of welfare of the microhydro communities. As the managers of micro-hydro technology, the welfare level of the community in subject is included in the second quadrant (II) where two variabels are fulfilled (i.e. capital at 93.33% and access at 55.00%). These welfare variabels, aside from being affected by the poverty factor, are also impacted by the local authority and perception towards the tools, development of institutional economics, and the presence and benefit of the community demographically. Keywords: micro-hydro, welfare, poverty, community-based, sustainability ABSTRAK Penelitian ini mengangkat keterlibatan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumber daya air, operasi pemeliharaan mikrohidro dan kesejahteraan masyarakat pengguna mikrohidro Desa Talang Beringin, Lampung. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor kesejahteraan ekonomi kelompok masyarakat pengguna teknologi mikrohidro, ditinjau dari aspek modal (capital), lahan (land), pekerjaan (work), dan akses (access). Masalah kesejahteraan kelompok pengguna teknologi mikrohidro menjadi penting karena berhubungan dengan keberlanjutan operasional sistem mikrohidro dan pelestarian sumber-sumber air penggerak sistem mikrohidro. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan kuesioner dan observasi lapangan. Tulisan ini menyimpulkan bahwa faktor pendidikan pengguna teknologi yang relatif rendah, sebagian besar petani, dan belum setaranya gender menjadi faktor penentu kesejahteraan kelompok masyarakat pengguna teknologi mikrohidro. Sebagai pengelola teknologi mikrohidro, kesejahteraan kelompok masyarakat wilayah penelitian termasuk di kwadran II di mana terpenuhi 2 (dua) variabel yaitu capital (93,33%) dan access (55,00%). Kategorial tingkat sejahtera kelompok masyarakat pengguna mikrohidro selain dipengaruhi oleh faktor kemiskinan, juga dipengaruhi oleh otoritas lokal dan persepsi terhadap instrumen keberadaan alat, pengembangan ekonomi kelembagaan, keberadaan dan manfaat kelompok yang ditinjau dari aspek demografi. Kata kunci: mikrohidro, kesejahteraan, kemiskinan , berbasis masyarakat, keberlanjutan
23
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
PENDAHULUAN Penggunaan teknologi mikrohidro sebagai energi alternatif yang cost friendly, user friendly, environment friendly, and material friendly diharapkan dapat lebih besar lagi. Kurangnya aksesibilitas masyarakat pedesaan terhadap sumber energi listrik dapat diselesaikan melalui pemanfaatan energi terbarukan dari sumber air saluran irigasi. Pemanfaatan energi untuk penerangan rumah tangga, industri rumah tangga/ pengolahan produksi, dan memompa air irigasi (di beberapa daerah) dapat membawa perubahan sosial dan kondisi ekonomi, perubahan pola tingkah laku dan pola interaksi penduduk setempat. Sumber daya air merupakan salah satu energi primer pembangkit energi listrik yang mempunyai potensi sangat besar, yaitu 75.000 mW. Sebesar 500 MW dari tenaga listrik yang tersedia tersebut dapat dimanfaatkan untuk PLT-Mikrohidro. Sesuai dengan Keputusan Menteri ESDM No. 1122 K/30/MEM/2002, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berukuran lebih kecil dari pada 1000 kW, digolongkan tenaga mikrohidro. Dengan semakin berkurangnya jumlah baku sawah yang diairi, maka potensi sumber air irigasi yang tersisa inilah yang dijadikan sumber energi. Apabila sistem pemasangan turbin di saluran irigasi sedemikian rupa sehingga air penggerak turbin dapat dialirkan kembali ke salurannya, maka efisiensi menjadi lebih besar, karena dengan demikian air irigasi dapat ditingkatkan daya gunanya. Dari segi lingkungan, teknologi mikrohidro juga dapat menurunkan laju emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Pemanasan global inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim berikut dampak ikutannya seperti kegagalan panen, kelangkaan air, tenggelamnya daerah pesisir, banjir, dan kekeringan. Mikrohidro berkapasitas 100kW, secara tidak langsung akan mereduksi sekitar 560 ton gas karbondioksida per tahun karena pembangkit tidak menggunakan bahan bakar fosil. Penunjang mikrohidro adalah debit air. Karena itu keberlangsungan vegetasi hutan di sekitar aliran sungai harus dijaga. Pengerusakan dan pembabatan hutan akan menyebabkan daerah setempat menjadi tandus, dan pada akhirnya akan menyebabkan menurunnya debit air sungai. Biasanya, aliran air yang ada disungai dibelokkan untuk diterjunkan setinggi kira-kira 20 meter dan dijatuhkan untuk memutar turbin (Musthofa 2008).
Dibandingkan dengan sumber-sumber energi lain, pembangkit listrik mikrohidro merupakan sumber energi yang secara ekonomis sangat efisien,
24
selain juga mudah perawatannya. Nilai investasi pembuatan pembangkit listrik tenaga mikrohidro, untuk rata-rata penerangan sebuah desa selama 24 jam, diperlukan biaya sebesar Rp 20 juta sampai Rp 30 juta per 1.000 watt (Kompas, 2009).
Selama 15 tahun terakhir telah ditempuh upaya pemberdayaan masyarakat di berbagai lokasi di Indonesia untuk membuat pembangkit listrik mikrohidro secara mandiri. Namun, pemerintah yang belum mampu menyebarluaskan potensi ini jangkauan komunitas basis secara lebih luas. Hingga saat ini, lebih dari 50 lokasi yang sudah dipelopori untuk mengembangkan teknologi mikrohidro secara mandiri oleh masyarakat setempat. Kualitas dan keberlanjutan itu menjadi titik tolak pengembangan pembangkit listrik. Pelaksanaan proyek mikrohidro sebaiknya dijadikan proyek masyarakat setempat dengan melibatkan para ahli sesuai bidang masingmasing. Pengembangan mikrohidro mencakup aspek lingkungan, sosial dan ekonomi yang harus berjalan secara komprehensif. Seperti pada aspek lingkungan, setidaknya dibutuhkan penetapan kawasan hutan dengan vegetasi yang baik seluas 30 kilometer persegi. Penjagaan dan pemeliharaan lingkungan seperti itu membutuhkan kemampuan khusus dari ahli di Indonesia (Mumpuni 2010).
Permasalahannya adalah bagaimana memastikan bahwa air penggerak mikrohidro dapat selalu tersedia sepanjang tahun? Bagaimana melibatkan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumbersumber air? Bagaimana masyarakat dapat dilibatkan dalam kegiatan operasi dan pemeliharaan teknologi mikrohidro? Bagaimana kesejahteraan masyarakat di kawasan yang memiliki dan mengoperasikan teknologi mikrohidro? Untuk menjawab permasalahan-permasalaan tersebut Pusat Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, khususnya Balai Sumber Daya Air, telah melakukan serangkaian penelitian dan pengembangan penerapan teknologi mikrohidro berbasis masyarakat. Hipotesis penelitian adalah persepsi pengguna melalui variabel sosial-kelembagaan, ekonomi, dan lingkungan ditinjau dari aspek gender, usia, lama tinggal, dan pendidikan berpengaruh terhadap kesejahteraan pengguna.
Tulisan ini ditujukan untuk membahas sebagian hasil penelitian tersebut, khususnya yang berhubungan dengan kesejahteraan kelompok pengguna mikrohidro Pekon Talang Beringin, Kecamatan Pulau Panggung, Kabupaten Tanggamus, Lampung. Pembahasan diawali dengan menampilkan peta sosial, ekonomi, dan lingkungan kelompok pengguna mikrohidro berbasis masyarakat, dilanjutkan dengan menilai besarnya persepsi
Kesejahteraan Ekonomi Kelompok Masyarakat Pengguna Teknologi Mikrohidro Bastin Yungga Angguniko dan Masmi’an Mahida pengguna terhadap variabel-variabel sosialkelembagaan, ekonomi dan lingkungan ditinjau dari aspek gender, usia, lama tinggal, dan pendidikan.
KAJIAN PUSTAKA
Midgley, et al (2000) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai “…a condition or state of human well-being.” Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya. Todaro (2003:235) mengemukakan bahwa peningkatan pendapatan orang kaya (golongan menengah ke atas), seperti tuan tanah, politisi, pimpinan perusahaan, dan kaum elit lainnya akan digunakan untuk dibelanjakan pada barang-barang mewah, emas, perhiasan, rumah yang mahal, berpergian ke luar negeri, dan atau menyimpan kekayaannya di luar negeri dalam bentuk pelarian modal (capital flight). Sementara golongan menengah ke bawah yang memiliki karakteristik miskin, kesehatan, gizi, dan pendidikan yang rendah, peningkatan pendapatan dapat meningkatkan dan memperbaiki kesejahteraan mereka.
Peningkatan pendapatan ini juga dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan seluruh perekonomian (Todaro, 2003:252). Todaro ingin menyampaikan bahwa kesejahteraan masyarakat menengah ke bawah dapat direpresentasikan dari tingkat hidup masyarakat. Tingkat hidup masyarakat ditandai oleh terentaskannya kemiskinan, tingkat kesehatan yang lebih baik, perolehan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan peningkatan produktivitas masyarakat. Kesemuanya itu merupakan cerminan dari peningkatan tingkat pendapatan masyarakat golongan menengah ke bawah.
Menurut penelitian Abu Bakar Lubis (2007) Energi Terbarukan Dalam Pembangunan Berkelanjutan bahwa energi mikrohidro (PLTMH) yang mempunyai kapasitas 200-5.000 kW potensinya adalah 458,75 MW, sangat layak dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik di daerah pedesaan di pedalaman yang terpencil ataupun pedesaan di pulau-pulau kecil dengan daerah aliran sungai yang sempit. Dalam penelitian Fauzi, dkk (2011) Analisis Nilai Ekonomi Sumberdaya Hutan Gayo Lues bahwa sumber daya air yang dihasilkan dari sumber daya hutan Gayo Lues dilakukan kegiatan penilaian terhadap tiga aspek pemanfaatan, yaitu penggunaan
air untuk kebutuhan rumah tangga, penggunaan air untuk kegiatan pertanian, dan penggunaan air sebagai sumber energi pembangkit listrik (PLTMH). Dari ketiga aspek pemanfaatan air tersebut, kontribusi nilai ekonomi tertinggi disumbangkan oleh nilai ekonomi air untuk pembangkit listrik sebesar 18,66 milyar/tahun. Secara tidak langsung potensi tersebut dapat berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
Dalam report World Bank (2006) tercatat ada lima faktor yang dianggap berkolerasi dengan kemiskinan, yaitu pendidikan, jenis pekerjaan, gender, akses terhadap pelayanan dasar dan infrastruktur, dan lokasi geografis. Mikrohidro hanya merupakan “alat/ sarana” untuk mencapai kesejahteraan. Kesejahteraan memegang peranan penting dalam menilai pengelolaan teknologi dirasakan layak secara sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kriteria orang sejahtera adalah: Capital, Land, Work, dan Access (Nugroho, 2011). Sementara itu menurut Badan Pusat Statistik, terdapat 14 kriteria yang dipergunakan untuk menentukan keluarga/rumah tangga dikategorikan miskin yaitu: 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang. 2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/ bambu/kayu murahan.
3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/ rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester. 4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah tangga lain. 5.
Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan. 7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah. 8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun. 10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000,- per bulan
25
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
Pemetaan Puslitbang Sosekling CAPITAL: Tabungan, Barang yang mudah dijual
LAND:
Luas lantai dan Jenis dinding bangunan tempat tinggal serta fasilitas tempat BAB
WORK: Pekerjaan Tetap
Ya
ACCESS: -Listrik, Air Minum, Bahan bakar
Melebihi Standar Kemiskinan
Sejahtera
Tidak Miskin
Gambar 1. Kerangka Konseptual Analisis Kesejahteraan
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD. 14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan minimal Rp. 500.000,- seperti sepeda motor kredit/non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
Atas dasar hal hal tersebut, apabila kriteria BPS dikombinasikan dengan kriteria Nugroho, maka dapat diturunkan indikator-indikator kemiskinan, sehingga kerangka konseptual penilaian kesejahteraan masyarakat disajikan pada gambar 1.
METODE PENELITIAN
Penelitian kesejahteraan masyarakat pengguna teknologi Mikrohidro ini, dilaksanakan di Pekon Talang Beringin, Kecamatan Pulau Panggung,
Kabupaten Tanggamus, Lampung. Waktu pelaksanaan penelitian Bulan Maret–November 2011 (10 bulan). Alasan memilih lokasi ini adalah karena sudah tersedia sistem jaringan irigasi primer, sumber daya energi dengan perbedaan tinggi (H) yang besar, kondisi kesiapan masyarakat di lokasi pengelolaan, dan kondisi alat.
Penelitian dilakukan melalui indepth interview dan survei. Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini menerapkan kaidah-kaidah dalam penelitian kualitatif, yaitu dengan cara mengumpulkan data, mengklasifikasikan data, kemudian menafsirkan data, dan yang terakhir membuat kesimpulan dari data tersebut. Adapun langkah-langkah pelaksanaan penelitian penerapan teknologi Mikrohidro oleh masyarakat, disajikan pada gambar 2.
Melakukan Kajian Pustaka
Penemuan Teknologi (Aspek Teknis)
Penerapan Teknologi (Aspek Puslitbang Sosekling)
Pengumpulan Data & Kajian Lapangan
Tidak
Teknologi Mikrohidro (Pusair dan lainnya)
Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Teknologi Mikrohidro Berbasis Masyarakat
-Pemetaan Puslitbang Sosekling -Kesejahteraan Ekonomi Kelompok Masyarakat Pengguna Teknologi Mikrohidro
Kriteria kesejahteraan Terpenuhi
Ya Kesejahteraan Ekonomi Kelompok Masyarakat
Analisis, Sintesis dan Perumusan Kesimpulan
3. Bagan Pelaksanaan Penelitian GambarGambar 2. Bagan AlirAlir Pelaksanaan Penelitian
26
-Participatory Rural Appraisal(PRA) Method -Uji tabulasi silang -Uji skala likert
Naskah Ilmiah Kelayakan Aspek Puslitbang Sosekling Pengelolaan Teknologi Mikrohidro Berbasis Masyarakat
Kesejahteraan Ekonomi Kelompok Masyarakat Pengguna Teknologi Mikrohidro Bastin Yungga Angguniko dan Masmi’an Mahida Analisis data menggunakan statistik deskriptif, uji tabulasi silang, dan uji skala likert. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode mini survei/ kuesioner dengan purposive sampling dengan jumlah 30 responden untuk mengukur pengelolaan mikrohidro dari aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan melalui penilaian warga anggota kelompok pengguna. Dilakukan triangulasi data untuk menghindari adanya key informan bias, yaitu kecenderungan peneliti untuk menggantungkan sebagian besar informasi dari sejumlah kecil informan yang tidak mencerminkan unit analisis keseluruhan termasuk juga untuk menghindari adanya leading question dalam proses wawancara yang dilakukan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pembangkit listrik Waymarhabung terletak di Pekon Talang Beringin, Kecamatan Pulau Panggung, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung (lihat gambar 3). Jumlah KK di wilayah penelitian adalah sebesar ± 500 KK, jumlah pelanggan yang mampu terfasilitasi listrik pembangkit mikrohidro hanya 55 KK. Bentuk kelembagaan pengelola mikrohidro adalah kelompok pengguna mikrohidro. Untuk dana operasional dipenuhi melaui iuran pengguna mikrohidro sendiri dengan besaran Rp 15.000/bulan dengan cara pemungutan menggunakan modal sosial yang telah ada di Pekon Talang Bringin, yaitu melalui pertemuan pengajian tiap malam jumat oleh Pengurus Kelompok Pengguna Mikrohidro. Iuran tersebut biasanya digunakan untuk pemeliharaan
komponen van-belt, oli, las-las bagian yg rusak/ cacat. Tingkat pendapatan keluarga rata-rata
Keadaan lokasi yang terdapat jauh di dalam kebun-kebun berbukit dan akses jalan tanah makadam dan aspal yang sempit membuat lokasi penelitian sulit dijangkau dengan berjalan kaki. Pembangkit mikrohidro di wilayah penelitian ini memanfaatkan kondisi SDA saluran irigasi primer. Kondisi jaringan listrik PLN telah masuk pada awal tahun 2011, tapi karena biaya pemasangan masih mahal (Rp 5 juta/sambungan) maka masyarakat belum mampu memasang. Sementara kondisi lingkungan permukiman padat permukiman. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan
Keberadaan alat, keberadaan kelompok, peran kelompok, kinerja kelompok, manfaat kelompok, penambahan penghasilan, dan pengembangan ekonomi kelembagaan serta iuran digunakan sebagai instrumen untuk mengidentifikasi faktorfaktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan kelompok masyarakat pengguna mikrohidro diolah dengan uji chi-square (tabulasi silang) ditampilkan pada tabel 1, 2, dan 3.
Kolerasi kemiskinan dan pendidikan juga terlihat pada jumlah siswa yang melanjutkan sekolah dari SD ke SMP lalu ke SMA yang relatif semakin kecil di tabel. Dari tabel diketahui, 66,67 persen (20orang/30 orang x 100%) menamatkan SD,
Gambar 3. Denah Lokasi Penelitian Kabupaten Tanggamus
27
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
Tabel 1. Unsur Kesejahteraan dan Faktor Pendidikan Unsur Kesejahteraan Keberadaan Alat
Peran Kelompok
Manfaat Kelompok
Pengembangan Ekonomi Kelembagaan Keberadaan Kelompok
Kinerja Kelompok
Penambahan Penghasilan
Sarana Iuran
STS S SS Total STS TS R S SS Total TS R S SS Total TS S SS Total STS TS S SS Total TS S SS Total STS TS R S SS Total STS TS R S SS Total
SD 1 1 18 20 3 3 1 5 8 20 1 1 6 12 20 1 5 14 20 2 3 3 12 20 6 5 9 20 3 3 1 2 11 20 0 4 0 5 11 20
Tingkat Pendidikan Total SMP SMA 0 0 1 0 0 1 4 6 28 4 6 30 0 0 3 0 0 3 0 1 2 3 0 8 1 5 14 4 6 30 0 0 1 0 0 1 2 0 8 2 6 20 4 6 30 0 0 1 1 0 6 3 6 23 4 6 30 0 0 2 0 0 3 0 0 3 4 6 22 4 6 30 1 0 7 2 2 9 1 4 14 4 6 30 0 1 4 1 0 4 1 1 3 1 0 3 1 4 16 4 6 30 0 1 1 0 0 4 1 0 1 1 1 7 2 4 17 4 6 30
Keterangan: STS=sangat tidak setuju, TS=tidak setuju, R=ragu-ragu, S=setuju, SS=sangat setuju Sumber: Balai Puslitbang Sosekling SDA, 2011 (diolah)
hanya 20,00 persen (4 orang/ 30 orang x 100 %) yang menamatkan SMP dan 13,33 persen (6 orang/ 30 orang x 100%) yang menamatkan SMA. Dapat diketahui, responden kelompok pengguna dengan tingkat pendidikan SMP dan SMA, 100,00 persen setuju terhadap keberadaan alat, keberadaan kelompok, peran kelompok, kinerja kelompok, manfaat kelompok, dan pengembangan ekonomi kelembagaan, sementara responden dengan tingkat pendidikan SD hanya sekitar 65,00 – 95,00 persen terhadap keseluruhan variabel. Dari tabel diketahui tingkat pendapatan (ekonomi) yang diwakili oleh besaran penghasilan per bulan, yaitu 2 orang (50 persen) di tingkat SMA, 1 orang (16,67 persen) di tingkat SMP, 2 orang (10 persen). Dari data tersebut juga dapat dikatakan bahwa semakin baik tingkat pendidikan seseorang,
28
Tabel 2. Unsur Kesejahteraan dan Faktor Jenis Pekerjaan Unsur Kesejahteraan Keberadaan Alat
Peran Kelompok
Manfaat Kelompok
Pengembang an Ekonomi Kelembagaan Keberadaan Kelompok
Kinerja Kelompok
Penambahan Penghasilan
STS S SS Total STS TS R S SS Total TS R S SS Total TS S SS Total STS TS S SS Total TS S SS Total STS TS R S SS Total
Perangkat Desa 0 0 2 2 0 0 1 0 1 2 0 0 0 2 2 0 0 2 2 0 0 0 2 2 0 1 1 2 0 0 1 0 1 2
PEKERJAAN Wira Petani swas ta 1 0 1 0 25 1 27 1 3 0 3 0 3 0 8 0 12 1 27 1 1 0 1 0 8 0 17 1 27 1 1 0 6 0 20 1 27 1 2 0 3 0 3 0 19 1 27 1 7 0 8 0 12 1 27 1 4 0 4 0 2 0 3 0 14 1 27 1
Total
1 1 28 30 3 3 2 8 14 30 1 1 8 20 30 1 6 23 30 2 3 3 22 30 7 9 14 30 4 4 3 3 16 30
Keterangan: STS=sangat tidak setuju, TS=tidak setuju, R=ragu-ragu, S=setuju, SS=sangat setuju Sumber: Balai Puslitbang Sosekling SDA, 2011 (diolah)
maka semakin baik pula tingkat persetujuan terhadap indikator persepsi tingkat persetujuan tertinggi (sangat setuju) responden berturut-turut di atas 50 persen adalah penerimaan keberadaan alat (18 orang).
Dari tabel 2 diketahui bahwa 90 persen kelompok pengguna adalah petani, 6.67 persen (2 Orang/30 orang x 100 %) kelompok pengguna adalah perangkat desa, dan 3.33 persen (1 Orang/30 orang x 100 %) kelompok pengguna adalah wiraswasta. Kemiskinan juga selalu dihubungkan dengan jenis pekerjaan tertentu. Petani menggunakan mikrohidro untuk sumber penerangan listrik di jalan dan rumah. Sedangkan wiraswasta menggunakan mikrohidro untuk usaha warung dan bengkel kayu gergajian. Di Indonesia kemiskinan selalu terkait dengan sektor pekerjaan di bidang pertanian untuk daerah pedesaan dan perkotaan. Pada tahun 2004, 68,7 persen dari 36,10 juta orang miskin tinggal di pedesaan dan 60 persen diantaranya memiliki kegiatan utama di sektor pertanian (Sudaryanto dan Rusastra 2006). Hal ini diperkuat oleh studi dari Suryahadi et.al
Kesejahteraan Ekonomi Kelompok Masyarakat Pengguna Teknologi Mikrohidro Bastin Yungga Angguniko dan Masmi’an Mahida (2006), yang menemukan bahwa selama periode 1984 dan 2002, baik di wilayah desa maupun kota, sektor pertanian merupakan penyebabkan utama kemiskinan. Lebih lanjut studi ini juga menemukan bahwa sektor pertanian menyumbang lebih dari 50 persen terhadap total kemiskinan dan sangat kontras jika dibandingkan dengan sektor jasa dan industri. Chayanov (1989) dalam Wiradi ( 1993) bahwa ciri khas ekonomi rumah tangga petani adalah penggunaan tenaga kerja keluarga dalam usaha tani bukan untuk mengejar produksi (ekonomi kapitalis) namun semata hanya untuk mencapai kesejahteraan bagi anggota rumah tangga.
Tingginya tingkat kemiskinan di sektor pertanian menyebabkan kemiskinan diantara kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian menjadi lebih tinggi dibandingkan mereka yang bekerja di sektor lain. Dapat dilihat dari tabel 1 bahwa responden yang memiliki pendapatan di atas Rp 600.000,00 per bulan hanya 4 orang (13,33 persen). Persepsi tingkat Tabel 3. Unsur Kesejahteraan dan Faktor Gender Unsur Kesejahteraan P Keberadaan Alat
Peran Kelompok
Manfaat Kelompok
Pengembangan Ekonomi Kelembagaan Keberadaan Kelompok
Kinerja Kelompok
Penambahan Penghasilan
Sarana Iuran
STS S SS Total STS TS R S SS Total TS R S SS Total TS S SS Total STS TS S SS Total TS S SS Total STS TS R S SS Total STS TS R S SS Total
1 1 25 27 3 3 2 8 11 27 1 1 8 17 27 1 6 20 27 2 3 3 19 27 7 9 11 27 4 4 4 4 13 27 1 4 1 7 14 27
Gender Total W 0 1 0 1 3 28 3 30 0 3 0 3 0 2 0 8 3 14 3 30 0 1 0 1 0 8 3 20 3 30 0 1 0 6 3 23 3 30 0 2 0 3 0 3 3 22 3 30 0 7 0 9 3 14 3 30 0 4 0 4 0 3 0 3 3 16 3 30 0 1 0 4 0 1 0 7 3 17 3 30
Keterangan : STS=sangat tidak setuju, TS=tidak setuju, R=ragu-ragu, S=setuju, SS=sangat setuju Sumber: Balai Puslitbang Sosekling SDA, 2011 (diolah)
persetujuan tertinggi (Sangat Setuju) responden berturut-turut di atas 50 persen adalah penerimaan keberadaan alat (25 orang), pengembangan ekonomi kelembagaan (20 orang), keberadaan kelompok (19 orang), manfaat kelompok (17 orang).
Korelasi ketiga dari kemiskinan adalah gender. Dari tabel 3 dapat diketahui bahwa hanya 10 (sepuluh) persen perempuan yang hadir dalam pengisian kuesioner Participatory Rural Appraisal (PRA). Kegiatan PRA itu sendiri baru dapat terlaksana setelah para pria pulang dari pekerjaannya pada sore hari. Laporan Pembangunan Manusia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka Human Development index (HDI) lebih tinggi dari angka Gender-related Development Index (GDI) dan angka Gender Empowerment Measurement (GEM) (MDGs Report 2005). Besarnya HDI dibandingkan dengan dua indikator kesetaraan gender menunjukkan bahwa secara umum masih terdapat kesenjangan gender yang diikuti oleh rendahnya partisipasi dan kesempatan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan pengambilan keputusan. Laporan MDGs ini juga menulis bahwa dalam perolehan angka GDI Indonesia menepati posisi ke-90 dan masih sangat tertinggal jika dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya. Walaupun hanya sepuluh persen, tapi pihak wanita tetap masih mempunyai akses terhadap partisipasi dan kesempatan di bidang pengambilan keputusan dalam pengelolaan pengoperasian teknologi mikrohidro. Persepsi tingkat persetujuan tertinggi (sangat setuju) responden berturut-turut di atas 50 persen adalah penerimaan keberadaan alat (25 orang), pengembangan ekonomi kelembagaan (20 orang), keberadaan kelompok (19 orang), manfaat kelompok (17 orang). Hasil analisis statistik deskriptif menyangkut mean dan standar deviasi disajikan pada tabel 4 di bawah sebagai berikut. Dari hasil analisis kuesioner terhadap 30 (tiga puluh) orang pengguna mikrohidro didapatkan informasi tentang variabel-variabel yang mempengaruhi kesejahteraan ekonomi (tabel 4). Kemudian salah satu penjelasan dari konsep kemiskinan adalah kurangnya akses terhadap Tabel 4. Uji Statistik Unsur Kesejahteraan -Keberadaan Alat -Keberadaan Kelompok -Peran Kelompok -Kinerja Kelompok -Manfaat Kelompok -Penambahan Penghasilan -Sarana Iuran -Pengembangan Ekonomi Kelembagaan Valid N (listwise)
N
Mean
30 30 30 30 30 30
4.8333 4.3333 3.9000 4.0000 4.5667 3.7667
Std. Deviation .74664 1.29544 1.37339 1.20344 .72793 1.54659
30 30
4.1667 4.7000
1.20583 .65126
30
Sumber: Balai Puslitbang Sosekling SDA, 2011 (diolah)
29
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
Tabel 5. Kesejahteraan Ekonomi Jumlah responden (orang)
Variabel Capital Memiliki tabungan / barang yang mudah dijual dengan minimal Rp. 500.000,seperti sepeda motor kredit / non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya. -memiliki TV -memiliki motor Land Luas lantai ≥ 8m2/org Jenis dinding tempat tinggal dari tembok diplester Memiliki fasilitas buang air besar / tidak bersama-sama dengan rumah tangga lain Work Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah : petani dengan luas lahan 500 m2 Pendapatan diatas Rp. 600.000,- per bulan Access Sumber penerangan rumah tangga menggunakan listrik Sumber air minum tidak berasal dari sumur / mata air tidak terlindung/ sungai /air hujan Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah bukan kayu bakar / arang / minyak tanah Membeli lebih dari satu stel pakaian baru dalam setahun Sanggup makan sebanyak > satu / dua kali dalam sehari Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga : di atas SD
Persentase (%)
27 1
93,33
5 10 15
16,67 33,33 50,00
15 4
50,00 13,33
30 25 17 6 8 13
100,00 83,33 56,67 20,00 26,67 43,33
Persentas e Rerata (%)
93,33
33,33
31,67
55,00
Sumber: Balai Puslitbang Sosekling SDA, 2011 (diolah)
berbagai pelayanan dasar dan infrastuktur dan ini merupakan kolerasi kemiskinan yang keempat. Sistem infrastuktur yang baik akan meningkatkan pendapatan orang miskin secara langsung dan tidak langsung melalui penyediaan layanan kesehatan, pendidikan, transportasi, telekomunikasi, akses energi, air, dan kondisi sanitasi yang lebih baik (Sida 1996). Studi yang dilakukan oleh World Bank (2006) mengindikasikan bahwa perbaikan infrastuktur di desa, khususnya pembangunan jalan. Studi ini juga menegaskan bahwa infrastuktur di daerah pedesaan memerlukan lebih banyak perhatian karena hanya 48 persen orang miskin di desa yang memiliki akses terhadap air bersih sementara akses orang miskin di kota mencapai 78 persen. Kolerasi yang terakhir adalah lokasi geografis. Dilihat dari aspek geografis, daerah Way Marhabung, Pekon Talang Beringin berjarak 20 km dari Kecamatan Pulau Panggung dengan kondisi berbukit-bukit dan jalan akses yang rusak dan daerah hutan. Dengan demikian, daerah tersebut menjadi cukup terisolir sehingga biaya pemasangan instalasi listrik dari PLN dan air bersih dari PDAM menjadi mahal.
Dari hasil wawancara mendalam dengan Kepala Pekon Talang Bringin, Bapak Herman (2011) diketahui bahwa setelah sumber penerangan rumah tangga menggunakan listrik mikrohidro beroperasi (100%), maka mereka mempunyai keberanian membeli barang-barang elektronik seperti pompa air, televisi, radio, dan DVD baik secara kredit/ nonkredit (93,33%). Akses terhadap air bersih pun telah tersedia oleh jaringan pipa baik dibangun secara swadaya, PNPM mandiri ataupun dari Dinas
30
PU (83,33%). Selain lampu minyak yang berganti ke bohlam dan neon, alat memasak pun mulai beralih dari semula kayu bakar/ arang/ minyak tanah menjadi penanak nasi elektrik (56,67%) seperti yang disajikan pada tabel 5. Seorang responden menyatakan bahwa adanya kenaikan penghasilan sebesar 15 % karena dapat berbisnis toko/warung makan.
Kesimpulan analisis matriks kuadran, terpenuhi 2 (dua) variabel, yaitu capital (93,33%) dan access (55,00%), maka pengelolaan teknologi mikrohidro berbasis masyarakat di Waymarhabung, Pekon Talang Bringin, Kecamatan Pulau Panggung, Kabupaten Tanggamus sehingga termasuk kategori kwadran II (termasuk tingkat kesejahteraan menengah). Tabel 6. Matriks Kwadran
I. Hanya 1 variabel kesejahteraan terpenuhi
II. Ada 2 variabel kesejahteraan terpenuhi
III. Ada 3 variabel kesejahteraan terpenuhi
IV. Semua variabel kesejahteraan terpenuhi
KESIMPULAN a. Otoritas lokal yang mampu menjadi rujukan sosial dan bisa diajak bekerja sama untuk meningkatkan partisipasi masyarakat sebagai instansi pembina adalah Bappeda dan pendamping adalah Dinas ESDM.
Kesejahteraan Ekonomi Kelompok Masyarakat Pengguna Teknologi Mikrohidro Bastin Yungga Angguniko dan Masmi’an Mahida b. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan (hasil dari uji tabulasi silang) adalah pendidikan, pekerjaan, dan jenis kelamin (gender). Dapat disimpulkan bahwa banyaknya anggota kelompok yang berpendidikan SD, juga mata pencahariannya adalah petani, dan dominasi pria masih besar. c. Kesejahteraan kelompok masyarakat di dominasi oleh aspek modal (capital ), kemudian akses (access), tanah (land), dan kemudian pekerjaan (work).
d. Menurut analisis kuadran, dimana terpenuhi 2 (dua) variabel, yaitu capital (93,33%) dan access (55,00%), maka pengelolaan teknologi mikrohidro berbasis masyarakat di Waymarhabung, Pekon Talang Bringin, Kecamatan Pulau Panggung, Kabupaten Tanggamus termasuk kategori kwadran II (kesejahteraan menengah).
e. Dapat disimpulkan menurut hasil perhitungan analisis kesejahteraan maka pengoperasian mikrohidro dikategorikan tingkat sejahtera menengah dengan faktor-faktor demografi yang berpengaruh adalah: - pendidikan, dengan sub indikator persepsi tingkat persetujuan tertinggi (sangat setuju) responden berturut-turut di atas 50 persen adalah penerimaan keberadaan alat. - pekerjaan, dengan sub indikator persepsi tingkat persetujuan tertinggi (sangat setuju) responden berturut-turut di atas 50 persen adalah penerimaan keberadaan alat, pengembangan ekonomi kelembagaan, keberadaan kelompok, dan manfaat kelompok. - jenis kelamin, dengan sub indikator persepsi tingkat persetujuan tertinggi (sangat setuju) responden berturut-turut di atas 50 persen adalah penerimaan keberadaan alat, pengembangan ekonomi kelembagaan, keberadaan kelompok, dan manfaat kelompok. - kesejateraan kelompok dipengaruhi berturut-turut oleh aspek modal (capital), kemudian akses (access), tanah (land), dan kemudian pekerjaan (work). f. Karena faktor-faktor demografi, kapital, akses, dan otoritas lokal berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat pengguna mikrohidro, maka perlu ditingkatkan/ dikembangkan oleh pemerintah sistem pendampingan, pengawasan, dan monitoring serta pengelolaan oleh kelompok sendiri yang efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanggamus. 2010. Tanggamus Dalam Angka 2010. [Balai Sosekling SDA]. Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Lingkungan bidang Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum. 2011. Laporan Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mikrohidro Berbasis Masyarakat. Jakarta.
Bermanfaat Tetapi Program Mikrohidro Masih Minim. 2008. http://cetak.kompas.com/read/ xml/2008/05/09/0055375/ (diakses pada 23 Februari 2009) Chayanov, A. V. 1989. The Peasant Economy: Collected Works. Moscow.
Fauzi, Dudung Darusman, Nurheni Wijayanto dan Cecep Kusmana. 2011. Analisis Nilai Ekonomi Sumber Daya Hutan Gayo Lues. Jurnal Hutan dan Masyarakat 4(1):13-20.
Herman. 2011. Wawancara dengan Kepala Desa Pekon Talang Bringin, Kecamatan Pulau Panggung, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Lubis, Abu Bakar. 2007. Energi Terbarukan dalam Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Teknik Lingkungan 8 (2): 158. Midgley, James, Martin B. Tracy dan Michelle Livermore. 2000. Introduction: Social Policy and Social Welfare dalam James Midgley, Martin B. Tracy dan Michelle Livermore (ed), The Handbook of Social Policy. London: Sage, hal 9-15.
Mumpuni, Tri. Kumpulan Artikel, http://www. alpensteel.com/article/53-101-energi- terbarukan--renewable-energy/248--programenergi-mikrohidro-masih-minim.html (diakses 15 Desember 2010) Nugroho, Sapto. 14 Febuari 2012. Wawancara dengan praktisi IBEKA (Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan). Subang.
Sida. 1996. Promoting Sustainable Livelihoods. Stockholm: Swedish International Co-operation Development Agency. Sudaryanto, T. dan Rusastra, I.W. 2006. Kebijakan Strategis Usaha Pertanian dalam Rangka Peningkatan Produksi dan Pengentasan Kemiskinan. Jurnal Litbang Pertanian 25(4).
31
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
Todaro, Michael P. 1994. Economic Development. New York: Longman.
United Nation. 2005. The Millenium Development Goal’s Report. New York: United Nation Department of Public Information. Wiradi, G. 1993. Karya Chayanov Ditinjau Kembali. Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI). Bogor: IPB.
World Bank. 2006. Making the New Indonesia Work for The Poor. The World Bank.
Musthofa, Zainal Aliyy. 2008. Selamatkan Hutan dari Energi Mikrohidro, http://www. kabarindonesia.com (diakses 29 September 2008.
32
PEMETAAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT WILAYAH KAWASAN KAKI JEMBATAN SURAMADU (KKJS) DENGAN MODEL INDEKS INDIKATOR NON-INCOME Social Welfare Mapping of the Community in the Access Road of Surabaya Madura Bridge Areas Using a Non-Income Indicator Model Dwi Rini Hartati1 dan Arvian Zanuardi2 Pusat Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl .Sapta Taruna Raya no.26 Komplek PU, Pasar Jumat, Jakarta 12310 Email :
[email protected] 1
2 Balai Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Jalan dan Jembatan, Pusat Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Gayung Kebonsari no.50 Surabaya, Jawa Timur Email :
[email protected]
ABSTRACT
Tanggal diterima: 20 Januari 2012, Tanggal disetujui: 15 Februari 2012
The presence of infrastructure construction in an area will affect, both directly and indirectly, the economic and social lives of the community surrounding it. Moreover, it will also affect the environmental condition of its surroundings. In accordance with the purpose of national development which is to increase social welfare of the people, so it is perceived that there is a need to map the level of welfare of communities post-construction. One of the forms of achievement of national development is the erection of Surabaya Madura Bridge which, in it, carries the mission of improving economical growth in East Java (especially Madura). The Surabaya Madura bridge is also supplemented by the development plans of “Access Road of the Surabaya Madura Bridge” (KKJS) areas. After approximately three years of operation, the paper attempts to map the welfare condition of communities around the Ends of the Surabaya Madura Bridge area. This investigation uses a non-income indicator approach to map welfare levels in villages of the KKJS region. Data analysis utilizes the distancemeasuring tool Euclidean distance and data clustering. Samples of the research consist of eight villages in the KKJS area. Result of the research is a mapping of welfare condition of communities measured from the social-economical aspect. That map delineates the fact that the relatifly prosperous villages are those closest to the Surabaya Madura Bridge with its supporting infrastructure (access road of KKJS). However, there are still villages with low socio economic welfare even though it is located along the access road of Surabaya Madura Bridge. Keywords: mapping, social welfare, non-income indikator, clustering, distance, Suramadu bridge ABSTRAK Tujuan pembangunan nasional yang utama adalah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, begitu juga dengan pembangunan infrastruktur. Maka perlu adanya pemetaan tingkat kesejahteraan masyarakat pra dan pasca pembangunan. Penelitian ini dilakukan untuk memetakan tingkat kesejahteraan Kawasan Kaki Jembatan Suramadu (KKJS) dengan indikator non-income. Indikator non-income digunakan karena mampu menggambarkan tingkat kesejahteraan dengan data yang relatif lebih mudah didapatkan. Interpretasi kesejahteraan dirumuskan dari kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Analisis data menggunakan alat analisis jarak Euclidean distance dan data clustering. Sample penelitian adalah 8 desa di wilayah KKJS. Hasil penelitian ini adalah pemetaan kondisi kesejahteraan masyarakat yang diukur dari aspek sosial-ekonomi. Peta tersebut menunjukkan fakta bahwa desa-desa yang relatif lebih sejahtera adalah desa yang paling dekat dengan Jembatan Suramadu dan infrastruktur pendukungnya (jalan akses KKJS). Namun masih ada desa yang tingkat kesejahteraanya rendah walaupun berada di sepanjang jalan akses Jembatan Suramadu. Kata Kunci: pemetaan, kesejahteraan masyarakat, indikator non-income, data clustering, distance, Jembatan Suramadu
33
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
PENDAHULUAN Menurut pemetaan yang dilakukan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada tahun 2011, kabupaten-kabupaten di pulau Madura memiliki masalah kemiskinan dan merupakan wilayah dengan prioritas 1 dan 2 dalam penanganan kerentanan pangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesejahteraan di Pulau Madura masih sangat tertinggal dibandingkan dengan wilayah Jawa Timur lainnya. Pembangunan Jembatan Suramadu dilakukan salah satunya untuk mengatasi permasalahan tersebut, pembangunan jembatan ini dilatarbelakangi oleh misi untuk mendorong percepatan pengembangan sosial, ekonomi dan tata ruang wilayah-wilayah tertinggal yang ada di Pulau Madura (BPWS 2011). Keberadaan Jembatan Suramadu sebagai jalur transportasi terpadu diharapkan mampu menjadi roda penggerak perkembangan industri dan perdagangan di wilayah Surabaya dan Madura.
Badan Pengelola Wilayah Suramadu (BPWS), selaku stakeholder yang ditunjuk pemerintah telah merumuskan rencana pengembangan wilayah yang terpadu. Perencanaan pembangunan tersebut diarahkan dalam konteks ruang kewilayahan yang disebut sebagai Kawasan Kaki Jembatan Suramadu (KKJS). Dalam rencana itu disebutkan bahwa setelah Jembatan Suramadu dibangun akan dilanjutkan dengan adanya pembangunan-pembangunan infrastruktur pendukung di KKJS yang bertujuan untuk peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat setempat. Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia No 27 Tahun 2008, Kawasan Kaki Jembatan Suramadu meliputi : a. wilayah di sisi Surabaya + 600 ha (enam ratus hektar); dan b. wilayah di sisi Madura + 600 ha (enam ratus hektar).
Untuk wilayah Madura, 600 ha tersebut mencakup 8 desa diantaranya adalah Desa Pangpong, Sukolilo Barat, Baengas, Morkepek, Labang, Sendang Laok, Sendang Daya, dan Petaman yang kesemuanya merupakan wilayah Kecamatan Labang di Kabupaten Bangkalan.
Setelah Jembatan Suramadu berhasil direalisasikan dan diikuti dengan pembangunan jalan akses di kedua sisinya. Muncul pertanyaan seperti apakah pola kondisi kesejahteraan masyarakat di Kawasan Kaki Jembatan Suramadu tersebut. Terlebih saat ini menginjak tahun ke-4
34
(empat) operasional dari jembatan dan jalan aksesnya tersebut.
Dalam pembangunan infrastruktur, perlu adanya pemetaan baseline sebelum dan sesudah adanya pembangunan guna menilai keberhasilan pembangunan infrastruktur tersebut. Tulisan ini ditujukan untuk membahas hasil pemetaan tingkat kesejahteraan masyarakat. Pemetaan dilakukan di KKJS untuk melihat kondisi kesejahteraan masyarakat lokal di sekitar jembatan yang nantinya dapat menjadi lokasi pembangunan infrastruktur pendukung Jembatan Suramadu.
Pengukuran terhadap tingkat kesejahteraan tersebut tidak diukur dari unsur pendapatan semata yang umumnya digunakan pendapatan per-kapita atau dengan indikator pendapatan daerah. Pendekatan yang dipilih adalah pengukuran kesejahteraan dengan indikator non-income (bukan pendapatan), sehingga interpretasi kesejahteraan dirumuskan dari kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Hasil pengukuran tersebut kemudian diindekskan dan divisualisasikan dengan bantuan peta spasial KKJS. Diharapkan instrumen yang digunakan untuk pemetaan nantinya dapat diaplikasikan ke wilayah yang lebih luas lagi guna melihat dampak pembangunan Jembatan Suramadu terhadap kesejahteraan masyarakat Madura.
KAJIAN PUSTAKA
Pengertian Kesejahteraan Kondisi sejahtera (well-being) biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non material (Suharto 2006). Menurut Midgley (2000), kesejahteraan sosial ini diartikan sebagai “..a condition or state of human well-being.” Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat terpenuhi, serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resikoresiko utama yang mengancam kehidupannya. Berdasarkan teori kesejahteraan di atas, maka pengukuran terhadap kesejahteraan masyarakat dianggap dapat diukur dari seberapa besar masyarakat mampu mengakses dan mendapatkan pelayanan dari fasilitas-fasilitas sosial yang ada di sekitarnya guna menunjang kehidupannya. Indikator-indikator kesejahteraan yang didasarkan pada aspek sosial-ekonomi yang demikian tersebut disebut sebagai indikator non-income.
Pemetaan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Wilayah Kawasan Kaki Jembatan Suramadu (KKJS) Dengan Model Indeks Indikator Non-Income Dwi Rini Hartati dan Arvian Zanuardi
Sebagian ekonom tidak sependapat untuk menggunakan pendapatan (income) sebagai parameter utama dalam menentukan tingkat kesejahteraan, mengukur, dan memperbaiki dimensi lain dari kemiskinan, seperti kesehatan, gizi, permukiman, dan pendidikan. Memang tidak diragukan bahwa pendapatan adalah penting dalam mendapatkan dimensi kesejahteraan tersebut. Bagaimanapun juga banyak faktor non-moneter ikut berperan dalam menentukan kesejahteraan, yang paling jelas adalah keberadaan bermacam barang non-pasar dan umum (Sahn 1999).
Beberapa tulisan kesejahteraan sejenis telah dilakukan oleh beberapa penulis, baik dengan metode kualitatif maupun kuantitatif. Penelitian kesejahteraan dengan metode kuantitatif dilakukan oleh Edward Anderson (2008). Dalam penelitian ini dilakukan analisis pertumbuhan dengan menggunakan indikator kesejahteraan non-income. Indikator yang digunakan diantaranya adalah pendidikan, kesehatan, fasilitas rumah tangga, dan aset rumah tangga. Metode yang digunakan oleh Anderson adalah metode growth-incidence curve atau GIC. Dalam penelitian Anderson, dihasilkan perbedaan signifikan antara perhitungan dengan indikator income dan non-income. Dalam penelitian ini disarankan perlu adanya pertimbangan perhitungan indikator kesejahteraan dengan income dan non-income untuk pengambilan keputusan. Dalam tulisan mengenai Teori Kesejahteraan Sosial, Ekonomi dan Pengukurannya (Sugiarto 2007) dijelaskan tentang pengukuran kesejahteraan sosial dan kesejahteraan ekonomi menggunakan indeks tingkat hidup menyeluruh masyarakat. Indikator yang digunakan oleh Sugiarto kondisi perumahan, pendidikan, kesehatan, leisure, dan partisipasi politik masyarakat. Perhitungan tingkat hidup dilakukan dengan pengukuran perkembangan kesejahteraan antar daerah.
Sri Rum Giarsih (2000) menggunakan teknik standarisasi dan klasifikasi variabel penelitian, analisis korelasi regresi untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan penduduk dan analisis varian untuk menguji persamaan atau perbedaan tingkat kesejahteraan penduduk antar wilayah. Variabel yang digunakan oleh Giarsih adalah penduduk, ketenagakerjaan, sosial keagamaan, kesehatan, pendidikan, perumahan, kepemilikan barang, kemampuan swadaya masyarakat, dan produktifitas pertanian. Penelitian tentang kesejahteraan yang dilakukan oleh Sariffuddin dan Retno Susanti (2011), mencoba memahami kesejahteraan masyarakat, memahami preferensi masyarakat terhadap kesejahteraan, dan memahami seberapa besar kemampuan
kesejahteraan masyarakat untuk mendukung permukiman yang berkelanjutan dengan indikator man, society, shells, nature, dan network. Data Clustering
Clustering bermanfaat untuk melakukan analisis pola-pola yang ada, mengelompokkan, membuat keputusan dan machine learning, termasuk data mining, document retrieval, segmentasi citra, dan klasifikasi pola. Metodologi clustering cocok digunakan untuk mengeksplorasi hubungan antar data untuk membuat suatu penilaian terhadap strukturnya. Pola pengelompokkan/clustering langkah-langkah berikut (Jain 1999):
melibatkan
1) Representasi pola (optional termasuk ekstraksi fitur dan atau seleksi), yaitu jumlah kelas atau jumlah pola. 2) Definisi ukuran kedekatan pola yang sesuai dengan domain data. Biasanya dihitung dari nilai jarak dari dua pasang pola. Pengukuran jarak sederhana seperti : - Euclidean distance, Minkowski, Hamming distance, sering digunakan untuk menyatakan ketidaksamaan antara dua pola - Sedangkan pengukuran kesamaan lain, seperti Simple Matching Coefficient, Jaccard Coefficient, dan Cosine Similarity, dapat digunakan untuk menunjukkan kesamaan karakter antar pola-pola 3) Abstraksi data (jika dibutuhkan)
4) Penilaian output (jika dibutuhkan)
Dengan cara ini, pengelompokkan data dapat dilakukan dengan lebih mudah karena data yang jumlahnya sangat banyak dapat disederhanakan ke dalam beberapa indeks yang kita buat dengan interval/range nilai yang tertentu. Dalam penelitian ini metode ini digunakan untuk melakukan pemetaan kondisi kesejahteraan. Pemetaan Sosial/Profiling
Pemetaan sosial ekonomi dan lingkungan dalam hal ini adalah suatu proses penggambaran secara sistematis mengenai data sosial, ekonomi, dan lingkungan di lokasi tertentu (Puslitbang Sosekling 2011). Dalam tulisan ini, digambarkan kondisi kesejahteraan masyarakat di kawasan KKJS. Ahsan Asjhari (2011) dalam penelitian Pemetaan Sosial Ekonomi Pengembangan Jaringan Jalan Pulau Madura melakukan pemetaan dengan penggambaran aspek sosial ekonomi di wilayah Madura sehubungan dengan optimalisasi pemanfaatan Jembatan Suramadu, pemetaan lebih
35
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
ditekankan pada kepemimpinan lokal atau kultur masyarakat, potensi konflik, dan potensi ekonomi wilayah dengan metode kualitatif.
Penelitian yang sama dilakukan juga oleh Setianto (2011). Dalam penelitian ini dilakukan pemetaan terhadap kondisi sosial, ekonomi, lingkungan dan kelembagaan pengelola infrastruktur Pekerjaan Umum (PU) yang ada di wilayah penelitian. Penelitian yang berhubungan dengan kegiatan wahana kesejahteraan sosial berbasis masyarakat (WKSBM) dilakukan oleh Suyanto dan Bambang (2007). Kegiatan kelompok WKSBM tersebut ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota kelompok secara sistematis dan berkesinambungan. Sedangkan pemetaan yang menggunakan metode kuantitatif dilakukan oleh Retno Sinarwati dan R. Pamekas (2011) dan Nugraha (2011). Dalam penelitian Sinarwati dan R. Pamekas dilakukan pemetaan dengan metode deskriptif dan evaluatif menggunakan metode pemodelan kuantitatif. Dalam penelitian ini pemetaan status pelayanan infrastruktur digunakan untuk melihat adanya gap dalam status pelayanan infrastruktur pemukiman sebagai bahan masukan dalam pengembangan pelayanan infrastruktur permukiman. Sedangkan Nugraha (2011) melakukan pemetaan kualitas lingkungan permukiman dengan menggunakan jarak ideal Euclidean distance. Indikator yang digunakan oleh Nugraha adalah penduduk pendatang, kepadatan, PBR, dan PDDR.
Pemetaan dalam pembangunan infrastruktur dilakukan guna mengetahui kondisi sosial, ekonomi wilayah yang dicakup oleh pelayanan infrastruktur yang terbangun tersebut. Peta tersebut kemudian menjadi data baseline guna melihat sejauh mana dampak pembangunan infrastruktur tersebut terhadap wilayah cakupannya atau evaluasi terhadap dampak pembangunan infrastruktur. Penelitian ini dilakukan guna melihat kondisi kesejahteraan sosial ekonomi wilayah KKJS pasca dibangunnya Jembatan Suramadu, dilakukan dengan perhitungan indeks berdasarkan nilai Euclidean distance dan dengan indikator kesejahteraan non-income. Berdasarkan hasil kajian-kajian lain, disusun kerangka pemetaan yang dapat dilihat dalam gambar 1.
36
METODE PENELITIAN Pendekatan dan Metode Pengukuran Pendekatan yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat adalah dengan melihat kemampuan masyarakat dalam mengakses fasilitas/lembaga pelayanan publik dan kegiatan usaha di wilayahnya. Indikator yang diambil untuk mewakili kesejahteraan tersebut dikategorikan dalam dua aspek yang tersedia dalam sumber data sekunder yang digunakan, yaitu aspek sosial dan ekonomi. Studi Pustaka
Penentuan indikator
Pengumpulan data sekunder
Memadai Ya Kompilasi variabel data
Standarisasi data
Perhitungan matrix jarak ideal
Perhitungan indeks kesejahteraan dan klasifikasi
Geocoding
Peta tingkat kesejahteraan
Gambar 1. Kerangka Pemetaan
Tidak
Pemetaan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Wilayah Kawasan Kaki Jembatan Suramadu (KKJS) Dengan Model Indeks Indikator Non-Income Dwi Rini Hartati dan Arvian Zanuardi
Indikator-indikator tersebut dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Indikator pemetaan Kode
Satuan
Kategori
Akses RT ke listrik
RT/100 RT
input
2
Akses RT ke bahan bakar Gas
RT/100 RT
Input
3
Akses masyarakat ke Penduduk/1000 Input sarana pendidikan penduduk
4
Akses masyarakat ke Penduduk/1000 Input sarana kesehatan penduduk
5
Persentase RT pra sejahtera
6
Persentase % bangunan permanen
Sosial
1
7 Ekonomi
Indikator/Variabel
8
Produktifitas pertanian Banyaknya Industri Kecil
%
Outcome Input
Ton/Ha
Input
Jumlah
Input
9
Akses Fasilitas komunikasi
Penduduk/1000 Input penduduk
10
Prosentase jalan diperkeras
%
Input
Sumber: Balai Sosekling Jatan, 2011 (data diolah)
Untuk mendapatkan nilai kemampuan akses masyarakat terhadap pelayanan sosial-ekonomi tersebut digunakan pembandingan antara ketersediaan infrastruktur, fasilitas sosial/fasilitas umum, kepemilikan bangunan tempat tinggal, dan unsur-unsur ekonomi terhadap jumlah penduduk secara keseluruhan di wilayah terkait. Tahap Penarikan Sampel
Sampel dalam pengukuran ini adalah 8 (delapan) desa yang wilayahnya masuk dalam Kawasan Kaki Jembatan Suramadu (KKJS), yakni Desa Pangpong, Sukolilo Barat, Baengas, Morkepek, Labang, Sendang Laok, Sendang Daya, dan Petaman. Kesemuanya berada di wilayah Kecamatan Labang, Kabupaten Bangkalan, Provinsi Jawa Timur. Pengumpulan data dilakukan dengan cara koleksi data sekunder yang bersumber dari dokumen Kecamatan Labang dalam Angka tahun 2010 oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Analisis Data Kuantitatif
Proses analisis data kuantitatif dimulai dengan merumuskan nilai-nilai indikator yang didapatkan dengan cara olah data sekunder dari data Kecamatan Labang dalam angka. Data akses didapatkan dengan merasiokan jumlah rumah tangga pengguna listrik dan gas terhadap 100 rumah tangga, jumlah sarana
kesehatan, pendidikan, dan sarana komunikasi terhadap 1000 jumlah penduduk. Sedangkan untuk data persentase, dilakukan perhitungan persentase rumah tangga pra sejahtera dan bangunan permanen terhadap jumah rumah tangga, kemudian panjang jalan beraspal terhadap seluruh total panjang jalan Hasil olah data sekunder yang dihasilkan masih memiliki satuan yang tidak seragam, seperti yang tertulis dalam tabel 1. Dilakukan standarisasi data untuk menyikapi ketidakseragaman satuan agar data yang ada dapat dikonversikan kedalam indeks. Standarisasi data dilakukan dengan formula sebagai berikut: keterangan: x1 : NIlai data ke i pada suatu indikator x : Rata-rata data pada satu indikator Stdev : Standar deviasi
Nilai data yang telah distandarisasi kemudian dikonversikan menjadi indeks dengan formula Euclidean distance. Euclidean distance adalah pengukuran jarak yang dapat dilakukan dengan menggunakan alat ukur jarak untuk mengukur jarak antara dua titik (Mc Pherson 2001). Dalam penelitian ini, formula tersebut digunakan untuk mengukur jarak antara satu titik pengamatan dengan titik pada kondisi ideal. Formula yang digunakan adalah sebagai berikut :
d(s,t) : Jarak antara titik s dan titik t
Proses clustering kemudian diteruskan dengan mengkonversikan nilai-nilai hasil pengukuran jarak Euclidean distance tersebut ke dalam bentuk indeks. Cara ini dimaksudkan agar data bersifat homogen, lebih sederhana, dan mudah untuk diklasifikasikan. Penginterpretasian terhadap nilai indeks ini dilakukan dengan membuat interval range index tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti, seperti “kesejahteraan paling rendah”, “sedang”, atau “paling tinggi”.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Indikator kesejahteraan non-income dalam penelitian ini dipakai karena data relatif mudah untuk didapatkan, digunakan indikator yang menjadi alat ukur yang sifatnya tidak langsung atau menggunakan keterwakilan, selain itu analisis data
37
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
dapat dilakukan dalam software Microsoft Excel sehingga memungkinkan untuk dilakukan oleh pejabat pemerintah daerah (pemda) setempat. Namun dalam analisis, masih diperlukan tenaga ahli dalam menentukan nilai ideal setiap indikator yang dipakai.
4.4% dan maksimum 59.7%. Hal tersebut sepola dengan persentase bangunan permanen, variasi data yang besar juga ditunjukkan dengan standar deviasi 13.9, nilai minimum 28.4%, dan nilai maksimum 74.3%. Pada data ekonomi, produktivitas pertanian relatif sama antara satu desa dengan desa yang lain karena wilayah Kabupaten Bangkalan pada umumnya merupakan daerah pertanian, ditunjukkan dengan jumlah mata pencaharian terbanyak di setiap kecamatannya adalah pertanian. Industri hanya terdapat pada beberapa desa, yaitu paling banyak di Desa Sukolilo Barat, Pangpong, dan Sendang Daya, sedangkan desa lain jumlahnya tidak signifikan. Hal tersebut yang mengakibatkan distribusi data untuk indikator ini tidak normal ditunjukkan dengan nilai standar deviasi yang besar 11.8.
Hasil pemetaan dapat digunakan oleh pemda setempat dalam mengambil kebijakan dan melakukan pengendalian perubahan tingkat kesejahteraan pra dan pasca pembangunan infrastruktur. Perhitungan Indikator Sosial-Ekonomi
Indikator-indikator sosial dan ekonomi yang telah dipilih sebagai representasi dari tingkat kesejahteraan masyarakat di Kawasan Kaki Jembatan Suramadu telah dihitung dan diwujudkan dalam model tabulasi data seperti dalam tabel 2.
Data akses rumah tangga ke listrik menunjukkan sebagian besar rumah tangga telah memiliki akses ke listrik, ditunjukkan dengan jumlah akses rumah tangga per 100 keluarga bernilai antara 93 rumah tangga sampai dengan 99 rumah tangga. Jika hanya dilihat dari indikator ini saja, penduduk di KKJS telah dapat dianggap sejahtera, namun untuk akses ke sarana lain, masih cukup rendah. Hal tersebut dilihat dari akses rumah tangga ke bahan bakar gas yang hanya berkisar antara 1 sampai dengan 2 rumah tangga saja diantara 100 rumah tangga yang memiliki akses ke bahan bakar gas, sedangkan akses ke pendidikan dan kesehatan, setiap 1000 penduduk hanya dapat dilayani oleh rata-rata 3 sekolah dan 0.5 sarana kesehatan.
Data akses ke fasilitas komunikasi dan panjang jalan diperkeras pun juga sangat bervariasi, ditunjukkan dengan nilai standar deviasi 34.2 dan 15.5. Agar data dapat dikonversikan ke dalam indeks, dilakukan proses standarisasi data dengan cara mengurangi setiap nilai data kemudian dibagi dengan nilai standar deviasinya. Hasil dari proses standarisasi data dapat dilihat dalam tabel 3. Hasil tabulasi data dikonversikan dalam nilai jarak. Jarak terhitung adalah jarak satu titik terhadap kondisi ideal dari setiap indikator. Nilai ideal satu indikator diambil dari nilai maksimum atau nilai minimumnya. Untuk data yang bersifat positif, seperti data akses rumah tangga ke listrik, ke bahan bakar gas, sarana pendidikan, dan kesehatan digunakan nilai maksimum nilai yang merepresentasikan kondisi ideal diantara seluruh titik dalam populasi 8 desa tersebut, sedangkan
Persentase keluarga dibawah sejahtera atau pra sejahtera di wilayah KKJS sangat beragam, hal tersebut ditunjukkan dengan nilai standar deviasi yang cukup besar, yaitu 19.63, dengan nilai minimum
Tabel 2. Matriks Tabulasi Data Sekunder, Labang Dalam Angka 2010
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Pangpong
Desa
99.09
1.30
3.87
0.43
4.41
58.75
2.81
20.00
100.00
Sukolilo Barat
98.21
2.20
3.73
0.25
13.36
72.35
2.13
34.00
Baengas
97.13
2.51
5.34
0.27
59.76
60.00
3.35
6.00
132.9 6 127.5 5 83.38
Morkepek
97.87
2.60
2.55
0.64
8.27
57.40
4.05
1.00
63.69
60.00
Labang
98.40
2.33
2.54
0.85
8.89
28.41
3.33
2.00
70.64
77.78
Sendang Laok
96.23
2.20
2.71
0.68
37.42
61.25
2.85
4.00
56.95
66.67
Sendang Daya Petapan
93.27
2.13
4.40
0.63
24.79
74.28
3.77
15.00
40.89
100.00
97.06
2.59
3.23
0.54
40.41
61.94
4.01
1.00
53.28
81.82
Rata-rata
97.16
2.23
3.55
0.53
24.67
59.30
3.29
10.38
78.67
84.00
Standar deviasi
1.81
0.42
0.99
0.21
19.63
13.96
0.67
11.82
34.21
15.54
Keterangan: Lihat table 1 Sumber : Balai Sosekling Jatan, 2011 (diolah)
38
85.71 100.00
Pemetaan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Wilayah Kawasan Kaki Jembatan Suramadu (KKJS) Dengan Model Indeks Indikator Non-Income Dwi Rini Hartati dan Arvian Zanuardi
untuk data yang bersifat negatif seperti jumlah keluarga pra sejahtera dipakai nilai minimum untuk kondisi idealnya. Kemudian diukur jarak setiap nilai terhadap kondisi idealnya, selanjutnya dihasilkan nilai jarak seperti dalam tabel 4.
dengan seluruh populasi penelitian, yaitu 8 desa yang termasuk dalam wilayah KKJS. Hasil indeks menunjukkan kondisi aspek sosial dan ekonomi wilayah Kawasan Kaki Jembatan Suramadu (KKJS). Sesuai dengan teori kesejahteraan yang telah dibahas sebelumnya, maka nilai indeks ini dapat dianggap sebagai interpretasi tingkat kesejahteraan desa-desa yang diukur. Perhitungan indeks dibagi dalam 3 (tiga) kategori, yaitu aspek sosial, ekonomi, dan aspek sosial-ekonomi. Indeks aspek sosial dihitung dengan menggunakan indikator sosial, begitu juga aspek ekonomi. Perhitungan aspek sosial-ekonomi dilakukan dengan perhitungan indeks menggunakan seluruh indikator sosial dan ekonomi. Nilai indeks yang dihasilkan adalah sebagai berikut: (lihat tabel 5).
Nilai nol (0.00) menunjukkan bahwa pada titik tersebut adalah titik ideal. Nilai jarak semakin kecil menunjukkan bahwa jarak titik tersebut terhadap kondisi ideal semakin kecil, dengan arti titik tersebut semakin baik kondisinya. Nilai jarak tersebut, kemudian dikonversikan ke dalam nilai indeks kesejahteraan dengan menggunakan rumus Euclidean distance. Indeks Kesejahteraan Wilayah KKJS
Hasil dari perhitungan indeks menghasilkan nilai ukuran kesejahteraan setiap desa dibandingkan
Tabel 3. Hasil standarisasi data
Nama Desa Pangpong Sukolilo Barat Baengas Morkepek Labang Sendang Laok Sendang Daya Petapan
1 0.00 -0.49 -1.09 -0.67 -0.38 -1.58 -3.22 -1.12
2 -3.10 -0.95 -0.20 0.00 -0.64 -0.95 -1.11 -0.02
3 -1.48 -1.62 0.00 -2.81 -2.82 -2.65 -0.95 -2.13
4 -2.00 -2.88 -2.79 -1.01 0.00 -0.81 -1.05 -1.48
5 0.00 0.46 2.82 0.20 0.23 1.68 1.04 1.83
6 -1.11 -0.14 -1.02 -1.21 -3.29 -0.93 0.00 -0.88
7 -1.87 -2.89 -1.05 0.00 -1.08 -1.80 -0.43 -0.07
8 -1.18 0.00 -2.37 -2.79 -2.71 -2.54 -1.61 -2.79
9 0.00 -0.16 -1.45 -2.02 -1.82 -2.22 -2.69 -2.33
10 0.00 -0.92 0.00 -2.57 -1.43 -2.14 0.00 -1.17
Sumber : Balai Sosekling Jatan, 2011 (data diolah)
Tabel 4. Jarak Titik Terhadap Kondisi Ideal Nama Desa Pangpong Sukolilo Barat Baengas Morkepek Labang Sendang Laok Sendang Daya Petapan
1 0.00 -0.49 -1.09 -0.67 -0.38 -1.58 -3.22 -1.12
2 -3.10 -0.95 -0.20 0.00 -0.64 -0.95 -1.11 -0.02
3 -1.48 -1.62 0.00 -2.81 -2.82 -2.65 -0.95 -2.13
4 -2.00 -2.88 -2.79 -1.01 0.00 -0.81 -1.05 -1.48
5 0.00 0.46 2.82 0.20 0.23 1.68 1.04 1.83
6 -1.11 -0.14 -1.02 -1.21 -3.29 -0.93 0.00 -0.88
7 -1.87 -2.89 -1.05 0.00 -1.08 -1.80 -0.43 -0.07
8 -1.18 0.00 -2.37 -2.79 -2.71 -2.54 -1.61 -2.79
9 0.00 -0.16 -1.45 -2.02 -1.82 -2.22 -2.69 -2.33
10 0.00 -0.92 0.00 -2.57 -1.43 -2.14 0.00 -1.17
Sumber : Balai Sosekling Jatan, 2011 (Diolah)
Tabel 5. Indeks Kesejahteraan Sosial, Ekonomi dan Sosial-Ekonomi Nama Desa Pangpong Sukolilo Barat Baengas Morkepek Labang Sendang Laok Sendang Daya Petapan
Indeks Kesejahteraan Sosial-Ekonomi 0.77 0.77 0.86 0.90 0.95 0.96 0.82 0.86
Indeks Kesejahteraan Sosial 0.68 0.58 0.70 0.55 0.73 0.64 0.63 0.58
Indeks Kesejahteraan Ekonomi 0.37 0.50 0.49 0.71 0.62 0.73 0.52 0.63
Sumber : Balai Sosekling Jatan, 2011 (diolah)
39
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
Indeks yang lebih kecil, dalam tabel di atas, menunjukkan bahwa kondisi desa tersebut semakin baik, karena menggambarkan jaraknya dengan kondisi ideal semakin kecil. Sebagai contoh, untuk aspek sosial-ekonomi, Desa Pangpong dan Sukolilo Barat merupakan desa yang paling sejahtera diantara desa lainnya di KKJS karena nilai indeksnya adalah paling kecil. Sedangkan untuk aspek sosial, Desa Morkepek memiliki nilai kesejahteraan paling tinggi diantara desa lainnya di KKJS, dan untuk aspek ekonomi, Desa Pangpong adalah desa yang paling sejahtera diantara desa lainnya.
Untuk memudahkan interpretasi data, digunakan pelabelan nilai yang mudah dimengerti. Dari hasil indeks di atas, label nilai diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) tingkatan yang menentukan kondisinya, yakni kondisi sejahtera paling rendah, kondisi sedang, dan kondisi paling sejahtera diantara ke-8 populasi desa. Pembagian dilakukan dengan memberikan nilai range seragam untuk setiap aspek.
Untuk aspek sosial-ekonomi, kategori kondisi sejahtera paling rendah berada pada indeks <0.83, kondisi sedang ada pada range indeks 0.83-0.90, dan kondisi paling sejahtera ada pada range indeks >0.90. Untuk aspek sosial, kategori kondisi sejahtera paling rendah berada pada indeks <0.61, kondisi sedang ada pada kisaran indeks 0.61-0.67 dan kondisi paling sejahtera ada pada kisaran indeks >0.67. Untuk aspek ekonomi, kategori kondisi sejahtera paling rendah berada pada indeks <0.49, kondisi sedang ada pada kisaran indeks 0.49-0.61, dan kondisi paling sejahtera ada pada kisaran indeks >0.61 Hasil pengklasifikasian nilai kesejahteraan dapat dilihat dalam tabel 6. Kondisi Sosial Ekonomi Wilayah KKJS
Hasil perhitungan yang terikat pada ketersediaan data menunjukkan bahwa kondisi kesejahteraan wilayah masing-masing desa dibandingkan dengan
desa-desa lain dalam sampel penelitian terlihat pada gambar berikut :
Gambar1. Jumlah Desa Berdasarkan Kondisi Kesejahteraannya Untuk aspek kesejahteraan sosial-ekonomi ada 3 (tiga) desa yang berada dalam kondisi paling sejahtera, untuk ekonomi hanya ada 1 (satu) desa dan untuk aspek kesejahteraan sosial ada 3 (tiga) desa yang paling sejahtera. Jika dilihat masing-masing desa, yaitu Sendang Daya, Sukolilo Barat, dan Pangpong merupakan desa dengan kesejahteraan sosial-ekonomi paling tinggi. Namun jika dilihat dari aspek kesejahteraan ekonomi, hanya Desa Pangpong saja yang berada pada kondisi kesejahteraan ekonomi paling tinggi.
Jika dilihat dari besaran indeks, untuk aspek sosial-ekonomi, Desa Sukolilo Barat adalah desa yang paling sejahtera, dilihat dari aspek sosial saja desa ini masuk dalam kategori paling sejahtera dan untuk aspek ekonomi desa ini berada pada kategori sedang.
Data sosial yang mempengaruhi hasil tersebut adalah akses rumah tangga atau RT ke listrik di desa ini termasuk dalam 3 desa tertinggi, yaitu 98.2 RT per 100 RT, akses RT ke bahan bakar gas juga relatif
Tabel 6. Hasil pengklasifikasian kesejahteraan wilayah KKJS
Nama Desa Pangpong Sukolilo Barat Baengas Morkepek Labang Sendang Laok Sendang Daya Petapan
Kesejahteraan SosialEkonomi kesejahteraan paling tinggi kesejahteraan paling tinggi sedang sedang kesejahteraan paling rendah kesejahteraan paling rendah kesejahteraan paling tinggi sedang
Sumber : Balai Sosekling Jatan, 2011 (diolah)
40
Kesejahteraan Sosial
Kesejahteraan Ekonomi
kesejahteraan paling rendah kesejahteraan paling tinggi kesejahteraan paling rendah kesejahteraan paling tinggi kesejahteraan paling rendah sedang sedang kesejahteraan paling tinggi
kesejahteraan paling tinggi sedang sedang kesejahteraan paling rendah kesejahteraan paling rendah kesejahteraan paling rendah sedang kesejahteraan paling rendah
Pemetaan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Wilayah Kawasan Kaki Jembatan Suramadu (KKJS) Dengan Model Indeks Indikator Non-Income Dwi Rini Hartati dan Arvian Zanuardi
tinggi diantara desa lainnya, yaitu dengan nilai 2.2 RT per 100 RT. Persentase keluarga sejahtera relatif rendah dengan nilai 13.4% dan persentase bangunan permanen tinggi, yaitu 72.3% bangunan permanen. Data ekonomi yang paling mempengaruhi adalah jumlah industri kecil yang mana Desa Sukolilo Barat merupakan satu-satunya desa yang memiliki industri lebih dari 30 unit, dibandingkan dengan desa lain yang rata-rata hanya 1 sampai dengan 20 unit saja.
Sedangkan kondisi kesejahteraan sosialekonomi paling rendah ada di Desa Sendang Laok, senada dengan jika dilihat dari aspek sosial dan ekonominya saja, Desa Sendang Laok berada pada kondisi kesejahteraan rendah. Data yang mempengaruhi adalah persentase rumah tangga pra sejahtera yang tinggi, yaitu 37.4%, produktivitas pertanian rendah, yaitu 2.85 ton/ha, akses fasilitas komunikasi relatif rendah dibandingkan dengan desa lain, yaitu 56.9 orang/1000 penduduk dan persentase jalan diperkeras yang juga termasuk rendah, yaitu 66.7% Pemetaan Spasial Tingkat Kesejahteraan
Berdasarkan pada hasil pengukuran indeks dan kategorisasinya, maka data yang diperoleh dapat diinterpretasikan ke dalam wujud peta atau gambar spasial. Dengan cara ini kita dapat melakukan pendalaman analisis terkait dengan pengaruh keberadaan infrastruktur Jembatan Suramadu dan jalan aksesnya terhadap hasil pemetaan kondisi sosial ekonomi desa-desa di wilayah Kawasan Kaki Jembatan Suramadu (KKJS).
Nilai indeks yang telah dihasilkan kemudian ditampilkan dalam peta administrasi level desa wilayah KKJS sehingga dapat dilihat posisi desa-desa serta kondisi kesejahteraanya di wilayah KKJS.
Gambar 2. Peta Kondisi Kesejahteraan SosialEkonomi Desa Wilayah KKJS Hal yang perlu diperhatikan, tingkat kesejahteraan di penelitian ini tidak dibandingkan dengan wilayah lain di luar wilayah KKJS. Jadi, nilai tingkat kesejahteraan tinggi dalam peta ini adalah hasil perbandingan antar desa dalam wilayah KKJS.
Pola sebaran tingkat kesejahteraan sosial di KKJS menunjukkan bahwa desa-desa yang memiliki tingkat kesejahteraan tinggi adalah desa-desa yang wilayahnya dilalui oleh kaki Jembatan Suramadu. Ada kemungkinan bahwa desa-desa yang terlewati oleh jalan akses Jembatan Suramadu memiliki akses ke infrastruktur lebih baik daripada desa-desa lainnya, yaitu infrastruktur pendidikan, kesehatan, listrik, dan bahan bakar gas. (lihat gambar 3) Namun Desa Baengas dan Pangpong adalah desa-desa yang dilalui oleh jalan akses Jembatan
Berdasarkan peta kondisi kesejahteraan sosialekonomi desa wilayah KKJS, dapat terlihat pola yang menunjukkan bahwa desa-desa yang berada pada kondisi kesejahteraan relatif lebih baik berada pada sekitar jalan akses Suramadu dan di kaki Jembatan Suramadu. (lihat gambar 2)
Sedangkan desa yang jauh dari jalan akses Jembatan Suramadu, yaitu Desa Sendang Laok dan Labang berada pada tingkat kesejahteraan rendah. Ini memperlihatkan bahwa keberadaan infrastruktur jalan tersebut mampu memberikan peningkatan keterjangkauan masyarakat terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan sosial, seperti kesehatan, pendidikan, fasilitas publik, dan lain sebagainya.
Gambar 3. Peta Kondisi Kesejahteraan Sosial Desa Wilayah KKJS
41
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
Suramadu, namun kondisi kesejahteraan sosialnya tergolong rendah.
Rendahnya kesejahteraan di kedua desa dipengaruhi oleh tingginya jumlah keluarga pra sejahtera di Desa Baengas dan rendahnya akses ke infrastruktur di Desa Pangpong. Dengan demikian keberadaan jalan akses Jembatan Suramadu tidak sepenuhnya berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan sosial di wilayah KKJS. Jika dilihat hanya dari kesejahteraan ekonomi saja, pola yang sama ditunjukkan, yaitu kesejahteraan ekonomi yang relatif lebih baik dan sedang ada
Gambar 4. Peta Kondisi Kesejahteraan Ekonomi Desa Wilayah KKJS di sekitar kaki jembatan dan jalan akses Jembatan Suramadu. (lihat gambar 4)
Berbeda dengan pola persebaran kondisi sosial, pemetaan kondisi kesejahteraan ekonomi memperlihatkan bahwa pengaruh keberadaan jalan akses tidak begitu signifikan terhadap peningkatan kondisi ekonomi. Desa dengan kesejahteraan ekonomi tertinggi hanya ada di Desa Pangpong dimana PKL yang menjadi bangkitan ekonomi keberadaan jalan akses Jembatan Suramadu berada. Dari sini dapat muncul hipotesa bahwa peluang usaha kerakyatan, dalam hal ini PKL yang muncul di sekitar kaki jembatan mampu menjadi model peningkatan ekonomi yang cukup menjanjikan, terutama dengan kemunculan hegemoni berwisata di Jembatan Suramadu. Desa Morkepek dan Petapan, walaupun berada di sepanjang jalan akses Jembatan Suramadu namun kondisi kesejahteraan ekonominya masih rendah, hal tersebut dipengaruhi oleh minimnya jumlah industri di kedua desa tersebut. Namun demikian, perlu dilakukan pembuktian pada penelitian lain, dengan melihat adanya korelasi antara kesejahteraan ekonomi desa di KKJS terhadap keberadaan PKL di kaki Jembatan Suramadu.
42
Untuk melihat indikator apa yang perlu ditingkatkan untuk meningkatkan kondisi kesejahteraan Desa Sendang Laok (sebagai sampel) dilakukan simulasi sederhana. Dalam simulasi data akses desa ke pendidikan dan kesehatan dinaikkan dari nilai 2.71 sarana pendidikan setiap 1000 penduduk menjadi 3.5, 0.68 sarana kesehatan untuk 1000 penduduk menjadi 1.0 dan kondisi jalan di desa disimulasikan mejadi beraspal seluruhnya. Dengan simulasi perubahan pada ketiga indikator, mampu meningkatkan kondisi tingkat kesejahteraan sosialekonomi Desa Sendang Laok mejadi berada pada klasifikasi tingkat kesejahteraan paling tinggi Namun simulasi perubahan data tidak mampu mendongkrak kondisi kesejahteraan ekonomi, hal tersebut menunjukkan bahwa perlu adanya peningkatan produktivitas pertanian sebagai mata pencaharian utama penduduk utama di wilayah tersebut guna meningkatkan kondisi kesejahteraannya.
Dari hasil simulasi dapat disimpulkan, jika keberadaan Jembatan Suramadu dan jalan akses Jembatan Suramadu dapat meningkatkan akses mayarakat ke sarana kesehatan dan pendidikan, maka tingkat kesejahteraan sosial penduduk di sekitarnya akan meningkat. Sedangkan untuk kondisi ekonomi lokal, peningkatan komoditas pertanian memegang peranan penting dalam peningkatan kesejahteraan, namun jika dalam analisis dimasukkan indikator keberadaan PKL menjadi salah satu indikator perhitungan tingkat kesejahteraan, maka akan sangat mungkin tingkat kesejahteraan desa dimana pelaku PKL berasal menjadi desa yang paling sejahtera.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pemetaan tingkat kesejahteraan masyarakat dengan metode non-income, di wilayah Kawasan Kaki Jembatan Suramadu (KKJS) diperoleh gambaran bahwa wilayah yang berdekatan dengan lokasi dibangunnya Jembatan Suramadu secara umum memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif lebih baik dibandingkan dengan wilayah lain yang lebih jauh. Namun demikian, keberadaan jalan akses Jembatan Suramadu tidak sepenuhnya berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan di setiap desa dan setiap aspek, masih terlihat adanya desa-desa dengan tingkat kesejahteraan sosial atau ekonomi rendah walaupun letaknya dilalui oleh jalan akses Jembatan Suramadu. Peta menunjukkan bahwa Desa Sukolilo Barat merupakan desa yang paling sejahtera dibandingkan dengan desa lain di KKJS, desa ini merupakan desa
Pemetaan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Wilayah Kawasan Kaki Jembatan Suramadu (KKJS) Dengan Model Indeks Indikator Non-Income Dwi Rini Hartati dan Arvian Zanuardi
dimana kaki Jembatan Suramadu berada. Sedangkan desa yang paling tidak sejahtera adalah Desa Labang dan Sendang Laok. Desa Labang berada pada tingkat kesejahteraan rendah untuk aspek sosial, ekonomi, dan sosial-ekonomi, sedangkan Desa Sendang Laok, hanya kesejahteraan ekonomi dan sosial-ekonominya yang berada pada tingkatan rendah, sedangkan kesejahteraan sosialnya masih dalam taraf sedang. Pada penelitian lebih lanjut, perlu dilakukan analisis lebih mendalam dengan sampel data primer dan dengan perbandingan data pra dan pasca pembangunan jembatan guna membuktikan dengan jelas adanya pengaruh Jembatan Suramadu dan jalan aksesnya terhadap perubahan kondisi kesejahteraan di wilayah KKJS dari sebelum dan setelah dibangunnya jembatan.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Edward. 2008. Growth incidence analysis for non-income welfare indikators: evidence from Ghana and Uganda. Chronic Poverty Research Centre: Background Paper for the Chronic Poverty Report 2008-09. Asjhari, Ahsan. 2011. Pemetaan Sosial Ekonomi Pengembangan Jaringan Jalan Pulau Madura. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum 3(1).
[BPWS]. Badan Pengembangan Wilayah Suramadu, http://www.bpws.go.id/?page_id=84 (diakses 30 Januari 2012) [Balai Sosekling Jatan]. Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan bidang Jalan dan Jembatan Kementerian Pekerjaan Umum. 2011. Laporan Akhir: Penelitian Pengkajian Dampak Sosial-Ekonomi Akibat Pembangunan Jembatan Suramadu. Surabaya.
[BPS Kab. Bangkalan]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangkalan. 2011. Kecamatan Labang dalam Angka 2010. Katalog BPS: 1403.3526.020. Madura. Giarsih, Sri Rum. 2000. Studi Pola Keruangan Tingkat Kesejahteraan Penduduk Daerah Perdesaan di Kabupaten Kulonprogo Propinsi DIY. Majalah Geografi Indonesia 14(2).
Nugraha, Dimas Hastama. 2011. Model Kualitas Lingkungan Perumahan untuk Peremajaan Kawasan Permukiman Perkotaan. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum 3(3).
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2008 tentang Badan Pengembangan Wilayah Suramadu. [Puslitbang Sosekling]. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan. 2011. Pedoman Pemetaan Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Bidang Pekerjaan Umum. Jakarta.
Sahn, David E. 1999. None-Income Dimensions of Poverty. Washington DC: WDR on Poverty and Development 2000/01.
Setianto, Suryawan. 2011. Tantangan Kelembagaan Dalam Pengelolaan Situ Berkelanjutan. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum 3(3).
Sinarwati, Retno And Pamekas, R. 2011. Pemetaan Status Pelayanan Infrastruktur Kawasan Permukiman Kota Batam. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum 3(1). Sugiarto, Eddy. 2007. Teori Kesejahteraan Sosial Ekonomi dan Pengukurannya. Jurnal Executive 2(2).
Suharto, Edi. 2006. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama. Suyanto, dan Bambang Pujianto. 2007. Profil Wahana Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial 12(1):18-31.
Syariffuddin dan Susanti, Retno. 2011. Penilaian Kesejahteraan Masyarakat Untuk Mendukung Permukiman Berkelanjutan Di Kelurahan Terboyo Wetan, Semarang. Jurnal Makara, Sosial Humaniora 15(1):29-42 [TNP2K] Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. 2011. Indikator Kesejahteraan Daerah Propinsi Jawa Timur. Jakarta
Jain, A.K, Murty M.N. and P.J. Flynn. 1999. Data Clustering: A Review. ACM Computing Surveys 31(3). McPherson, Glen. 2001. Applying And Interpreting Statistics: A Comprehensive Guide Second Edition. New York: Springer. Midgley, J. 2000. Globalization, Capitalism and Sosial Welfare: A Sosial Development Perspective. Canadian Sosial Work, Special Issue: Sosial Work and Globalization, 2(1):13-28.
43
44
DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN JALAN TOL TERHADAP KEMANDIRIAN MASYARAKAT The Impact of Toll Road Construction Policy toward the Community’s Independence
Retta Ida Lumongga1 dan Bambang Sudjatmiko2 Sekretariat Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum, Jl. Pattimura No. 20, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Email:
[email protected] 2 Puslitbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Sapta Taruna Raya no. 26 Komplek PU Pasar Jumat, Jakarta 12310 Email:
[email protected] 1
Tanggal diterima: 23 September 2011, Tanggal disetujui: 23 Februari 2012 ABSTRACT The construction of the toll road aims to increase the community’s welfare. However, the construction also carries with it the consequences of land clearing−the adverse impact it deals to the societies around the construction site and the progress of the construction itself. The level of independence of the community becomes a determinant of success of the toll road construction. This survey research aims to identify the level of independence of groups inhabiting the area around Kanci-Pejagan and Semarang-Bawen toll roads. Qualitative approaches are used to analyse the data gathered through literature review, field observation, group discussion, and interviews with key informants. Independence is improved through deficit-based and strength-based approaches. The research concludes that the level of independence of communities around Kanci-Pejagan toll road is higher in comparison to those living around Semarang-Bawen toll road. Involvement of landowner groups and skill training for farmers and tillers to prepare them for a change of profession are examples of methods to increase self-reliance that can be developed. Keywords: impact of policy, construction of toll roads, independence, community, perception
ABSTRAK Pembangunan jalan tol ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, pembangunan membawa konsekuensi pembebasan lahan yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat di sekitar jalan tol. Kemandirian masyarakat mengambil keputusan menjadi penentu tercapainya tujuan pembangunan. Tulisan ini ditujukan untuk mengidentifikasi tingkat kemandirian kelompok masyarakat di sekitar ruas jalan Tol Kanci-Pejagan dan ruas jalan Tol Semarang-Bawen. Pendekatan kualitatif digunakan untuk analisis data yang dikumpulkan melalui studi literatur, observasi lapangan, diskusi kelompok, dan wawancara dengan informan kunci. Perbaikan kemandirian menggunakan pendekatan deficit-based dan strenght-based. Penelitian ini menyimpulkan bahwa tingkat kemandirian kelompok masyarakat di sekitar ruas jalan Tol Kanci Pejagan lebih tinggi dari kelompok masyarakat ruas Tol Semarang Bawen. Pelibatan kelompok pemilik lahan pada proyek dan pelatihan ketrampilan untuk alih profesi petani penggarap dan peladang merupakan contoh peningkatan kemandirian yang dapat dikembangkan. Kata Kunci : dampak kebijakan, pembangunan jalan tol, kemandirian, kelompok masyarakat, persepsi
45
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
PENDAHULUAN Dalam upaya pengembangan daerah dan tentunya meningkatkan kesejahteraan penduduk, pemerintah berusaha meningkatkan kelancaran dan kemudahan pengangkutan barang niaga maupun penumpang darat melalui kebijakan penyediaan jaringan jalan tol, yang diantaranya diterapkan di daerah Pantai Utara Jawa. Pembangunan jalan tol tentunya untuk kepentingan masyarakat, namun dalam kenyataannya, bukan hanya berakibat positif sebagaimana yang diinginkan. Sementara itu, pada program pembangunan jalan ke depan dituntut peningkatan outcome dan benefit penyelenggaraan jalan menuju 60% kondisi mantap. Kondisi tersebut diukur dari tingkat fasilitasi (Kem-PU 2010). Hal itu berarti pembangunan jalan baru termasuk jalan arteri dan jalan tol serta penggunaan jalan tersebut secara nasional harus ditingkatkan. Namun di luar perencanaan, juga timbul hal yang tidak diinginkan, yaitu adanya akibat negatif dari pembangunan tersebut. Proyek pembangunan jalan tol seringkali dengan terpaksa mengorbankan hutan dan lahan perladangan/persawahan milik masyarakat di sekitar lokasi pembangunan jalan tol tersebut. Situasi ini berpotensi menimbulkan kesulitan bagi masyarakat di sekitar area pembangunan jalan tol terutama bagi para petani yang terkena kebijakan pembebasan lahan. Masyarakat di sekitar lokasi justru kehilangan sumber mata pencaharian mereka sebagai petani. Selain itu, persawahan yang masih tersisa pun mengalami kesulitan pengairan sehingga dimungkinkan terjadinya penurunan produksi. Alihalih meningkatkan kesejahteraan, situasi seperti ini dapat memperburuk kondisi kesejahteraan masyarakat di sekitar pembangunan jalan tol, khususnya masyarakat yang menggantungkan kehidupannya pada lahan. Masyarakat yang sejahtera umumnya memiliki kemampuan melakukan sesuatu terkait dengan kehidupannya. Artinya tingkat kemandiriannya cukup baik. Bagi pemrakarsa proyek kemandirian masyarakat dalam pengambilan keputusan menjadi penting karena berpengaruh pada jadwal waktu penyelesaian proyek. Permasalahannya adalah bagaimana memahami persepsi masyarakat terhadap kebijakan pembangunan jalan tol? Adakah kesamaan persepsi di setiap ruas jalan tol yang dibangun? Bagaimana hubungan persepsi masyarakat dengan unsur-unsur kemandirian? Bagaimana mekanisme peningkatan kemandirian masyarakat agar berdampak positif pada rencana pembangunan jalan tol?. Tulisan ini membahas hasil penelitian yang dilakukan untuk memahami dampak kebijakan pembangunan jalan tol terhadap kesejahteraan
46
masyarakat akibat pembebasan lahan, khususnya aspek kemandirian. Aspek persepsi masyarakat dibahas pada awal pembahasan. Pembahasan dilanjutkan dengan keterkaitan antara persepsi dengan unsur-unsur kemandirian. Akhirnya, strategi untuk memperbaiki kemandirian dirumuskan dan dibahas.
KAJIAN PUSTAKA
Dalam membahas peran dan keandalan sosial masyarakat, adanya interaksi sosial merupakan persyarat terjadinya aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan kunci semua kehidupan, karena tanpa adanya interaksi tersebut, maka tidak mungkin ada kehidupan bersama. Bertemunya orang per orang tanpa adanya pergaulan juga tidak akan membentuk kehidupan bersama. Oleh karena itu, berlangsungnya interaksi dipengaruhi oleh simpati (Soyamukti 2010). Manusia sebagai makhluk sosial mempunyai strata tertentu yang dapat berbeda menurut terjadinya, fungsinya maupun sifatnya, dibentuk oleh unsur kedudukan (status), peranan atau tanggung jawab, hak istimewa, dan kehormatan. Halhal tersebut akan menimbulkan perbedaan peran yang terhubung dengan posisi seseorang dalam masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, serangkaian peraturan internal disinyalir dapat membimbing masyarakat.
Dari sisi peraturan yang menguatkan kebijakan, pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol menggunakan acuan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2006. Dalam Perpres tersebut pada pasal 1 ayat 3, tertera bahwa “pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan dengan cara memberikan ganti rugi kepada masyarakat yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.” Bentuk ganti rugi dapat berupa : (a) uang; dan/atau (b) tanah pengganti; dan/atau (c) pemukiman kembali; dan/atau (d) gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c; (e) bentuk lain yang disetujui oleh pihakpihak yang bersangkutan.” Dalam pelaksanaan Perpres tersebut sering ditemukan hambatan (Iskandarsyah 2007), yaitu ada tuntutan pemilik tanah yang tinggi dan adanya spekulan atau makelar tanah serta keterlibatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik yang legal maupun ilegal. Selain hal tersebut, keterlibatan emosi dan fenomena psikologis juga tidak dapat dihindari terutama dari pemilik tanah. Menurut Pruitt dan Jeffrey (2009), sikap dan persepsi
Dampak Kebijakan Pembangunan Jalan Tol Terhadap Kemandirian Masyarakat Retta Ida Lumongga dan Bambang Sudjatmiko negatif cenderung menetap karena bersifat saling mendukung.
Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi di mana masyarakat dapat mengurus dan mengorganisasikan dirinya mengatasi berbagai masalah yang dihadapi, baik yang bersumber dari dalam maupun dari masyarakat sendiri. Kemandirian mencerminkan kemampuan individu menunjukkan kebebasan dalam berpikir dan berbuat serta tanggungjawab (Sukmadinata 2008). Kemandirian memerlukan energi sosial. Menurut Uphoff sebagaimana dikutip Sayogyo (2009), energi sosial sendiri bersumber dari tiga unsur yaitu gagasan, idaman, dan persaudaraan. Dalam meningkatkan kemandirian diperlukan pendekatan, yang lazim digunakan adalah pendekatan dengan deficit-based maupun strenghtbased. Jika melakukan penelusuran menggunakan internet, maka pendekatan ini merupakan pendekatan yang sering digunakan untuk mengatasi berbagai kasus dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia. Pendekatan deficit-based terpusat pada berbagai macam permasalahan dan cara penyelesaiannya. Dengan demikian, keberhasilan tergantung pada adanya identifikasi dan diagnosis yang jelas pada masalah, cara pemecahan yang tepat serta penerapannya. Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini bisa menghasilkan sesuatu yang baik, tetapi tidak tertutup kemungkinan terjadinya situasi yang saling menyalahkan atas masalah yang terjadi. Sedangkan pada pendekatan berbasis kekuatan atau strenght-based adalah dengan sebuah produk metode appreciative inquiry yang terpusat pada Lahan untuk Konstruksi Jalan Tol
Konsekuensinya harus menyediakan lahan
potensi-potensi atau kemampuan yang dimiliki individu atau organisasi untuk menjadikan hidup yang lebih baik. Pada dasarnya, ini merupakan sebuah metode yang mentransformasikan kapasitas sistem manusia untuk perubahan yang positif dengan memfokuskan pada pengalaman positif dan masa depan yang penuh harapan.
Selanjutnya, menurut Bell Michael Mayer feeld (1998), gagasan menjelaskan bagaimana konsumsi, teknologi, pembangunan, penduduk, dan sumber daya biofisik lainnya membentuk situasi. Harapan menjelaskan bagaimana budaya, ideologi, nilai moral, dan pengalaman sosial mempengaruhi cara berpikir dan cara bertindak dalam mengatasi suatu masalah. Gagasan didorong oleh unsur-unsur kebutuhan hayati, harapan didorong oleh unsurunsur kebutuhan manusiawi. Selain gagasan dan harapan yang juga penting adalah solidaritas karena didorong oleh kebutuhan untuk memilih. Secara tidak langsung, keberadaan infrastruktur jalan akan mendukung produktivitas sektor ekonomi lainnya sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kondisi sosial-budaya kehidupan masyarakat melalui efek berganda. Sedangkan secara langsung terkait sektor konstruksi, infrastruktur jalan juga akan menciptakan kesempatan kerja dan usaha. Oleh karena itu, keberadaan infrastruktur jalan yang baik akan dapat mendorong terciptanya stabilitas berbagai aspek dalam masyarakat guna menunjang laju pembangunan nasional. Berdasarkan telaahan tersebut, kerangka penelitian dampak kebijakan pembangunan jalan tol terhadap kemandirian masyarakat disajikan pada gambar 1. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN JALAN TOL
menjadi bahan pertimbangan untuk umpan balik
dapat berupa
Lahan Hutan
Lahan Pekarangan, sawah, ladang
KEMANDIRIAN Sumber kehidupan, dan keamanan bagi masyarakat dan mencerminkan tingkat
MASYARAKAT Yang meliputi :
Pemilik Lahan
Gagasan
Penggarap
Peladang
Harapan
Solidaritas
Yang unsur-unsurnya meliputi: KONDISI SOSIAL, PERSEPSI
Pedagang
Hasilnya dipasarkan oleh pedagang
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
47
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
Penelitian terdahulu, umumnya lebih fokus pada dampak suatu program pembangunan terhadap lingkungan. Penelitian tentang dampak pembangunan jalan tol terhadap jaringan jalan lokal dilakukan oleh Ali Huda (2010). Penelitian dampak pembangunan jalan tol terhadap ekonomi wilayah dilakukan oleh Sudaryadi (2007). Penelitian dampak pada tahap pra program kebijakan seperti ditulis oleh Pamekas (2011), namun ruang lingkupnya regional dan multi sektor. Penelitian ini memusatkan perhatian pada kondisi terkait adanya pembebasan lahan yang menjadi konsekuensi pembangunan tol dan fokusnya di sekitar jalan tol itu sendiri. Selain pemetaan kondisi sosial berdasarkan kondisi keadaan juga dikumpulkan persepsi masyarakat sekitar untuk menangkap gambaran persepsi masyarakat. Hasilnya digambarkan dalam bentuk kemandirian masyarakat dari sisi sosial masyarakat dengan mengingat bahwa energi sosial adalah terdiri dari tiga unsur. Oleh karena itu, model kemandirian sosial masyarakat adalah berdasarkan gagasan, harapan, dan solidaritas (persaudaraan). Selanjutnya dari model kemadirian ini, dilakukan pendekatan menggunakan deficit-based dan strenght-based. Kemandirian umumnya dikaitkan dengan suatu kebutuhan untuk melakukan tindakan tertentu. Dengan demikian, diketahui kondisi kemandirian masyarakat di sekitar pembangunan jalan tol. Hal ini menjadi dasar perencanaan yang sistematis dan berkelanjutan dalam meningkatkan elemen yang dianggap masih lemah. Diharapkan dengan membaiknya elemen, kondisi sosial masyarakat untuk masa yang akan datang pun akan meningkat. Dari keseluruhan kerangka pikir, isu kemandirian menjadi penting terkait pembangunan infrastruktur jalan tol, dimana bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini kemandirian masyarakat mencerminkan kemampuan masyarakat dalam mensejahterakan dirinya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini, dilakukan di ruas jalan Tol KanciPejagan di Kabupaten Cirebon dan ruas jalan Tol Semarang-Bawen di Kabupaten Semarang. Alasan dipilihnya kedua lokasi penelitian ini adalah dikarenakan kedua ruas jalan tol tersebut mengorbankan lahan persawahan milik rakyat dan membuka hutan milik pemerintah yang berakibat pada kehidupan masyarakat di sekitarnya. Hal ini diketahui dari informasi awal yang ada sebelum penelitian dilakukan. Menilik dari situasi tersebut, maka kedua ruas jalan tol ini dianggap dalam pembangunannya adalah berimbas merugikan masyarakat sekitar sehingga perlu dilakukan
48
penelitian untuk melihat dampak dari adanya pembangunan ruas kedua jalan tol tersebut pada masyarakat.
Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif. Data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Pengumpulan data sekunder melalui studi literatur dan pencarian di internet. Untuk pengumpulan data primer, dilakukan dengan melalui observasi lapangan, diskusi kelompok secara terarah dan wawancara mendalam. Wawancara mendalam dilakukan terhadap sumber informasi kunci, yaitu pengelola jalan tol, aparat pemerintah daerah, aparat desa serta warga sekitar yang berprofesi sebagai petani/ peladang baik si pemilik lahan maupun buruh penggarap. Wawancara dilakukan pada waktu pembangunan masih berlangsung, tetapi sudah mendekati tahap percobaan operasional yaitu pada tahun 2010. Analisis data dilakukan melalui proses identifikasi, kategorisasi, dan interpretasi yang dilanjutkan dengan penarikan kesimpulan. Pendekatan deficit-based dan strenght-based digunakan pula dalam analisis. Gambaran kondisi sosial masyarakat dan persepsi kelompok digunakan untuk melihat kondisi dan tingkat pengetahuan masyarakat terkena dampak terhadap situasi yang dihadapinya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Sosial Ekonomi Wilayah Penelitian Pembangunan jalan Tol Kanci-Pejagan, secara keseluruhan memerlukan lahan seluas 295 ha. Ditinjau dari aspek proporsi peruntukan lahan, ternyata proporsi penggunaan tanah persawahan adalah yang terbesar, diikuti kemudian pemukiman dan tegalan atau ladang. Ruas jalan tol ini melintasi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Brebes, dan menggunakan lahan persawahan hingga sekitar 91,14%. Salah satu desa, yaitu Desa Karangsembung Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon, harus merelakan lahan persawahan sebanyak 39 lahan milik petani dengan total luas 53.803m2. Sebagian besar lahan yang terkena itu memiliki luas kurang dari 500m2, yang artinya banyak pemilik lahan yang dikorbankan tersebut adalah petani kecil. Dengan dialihfungsikannya lahan tersebut menyebabkan produksi padi yang hilang akibat pembangunan jalan tol dikatakan mencapai 26,05 ton per panen. Pengurangan produksi ini tentunya mengganggu pendapatan yang berimbas pada keseimbangan kemapanan kehidupan masyarakat. Sebagai ilustrasi, berdasarkan data, jumlah lahan persawahan secara keseluruhan pada ruas KanciPejagan yang meliputi Kabupaten Cirebon dan
Dampak Kebijakan Pembangunan Jalan Tol Terhadap Kemandirian Masyarakat Retta Ida Lumongga dan Bambang Sudjatmiko Kabupaten Brebes mencapai 266,10 ha, dengan rata-rata produksi padi untuk dua masa tanam (I dan II) maka dampak hilangnya lahan pertanian terhadap produktivitas sawah akibat pembangunan jalan tol ruas Kanji-Pejagan adalah mencapai 212 ton. Kondisi ini pada akhirnya berpengaruh pada kondisi kemandirian pangan Provinsi Jawa Tengah. Kemandirian pangan terpengaruh, diakibatkan menyusutnya lahan yang dapat dipergunakan untuk bercocok tanam sehingga banyak petani yang terpaksa beralih profesi dan merantau ke kota lain. Untuk ruas jalan Tol Semarang-Bawen pada Kabupaten Semarang, dampak pembangunan jalan tol memiliki kondisi beragam. Pada salah satu lokasi, yaitu di Desa Jatirungo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang, wilayahnya tidak terkena trase jalan tol akan tetapi merupakan lokasi tempat penggantian lahan kawasan hutan pada salah satu titik di ruas Semarang–Bawen. Berbeda dari ruas Kanci-Pejagan yang petani sekitar lahan desanya dilintasi jalan tol, pada ruas SemarangBawen lokasi pembangunan jalan tol jauh dari Desa Jatirungo. Namun, dikarenakan desa ini dijadikan lokasi penggantian lahan kawasan hutan yang terkena pembangunan ruas Semarang-Bawen, maka masyarakat juga terkena dampak pembebasan lahan yang umumnya perkebunan. Penduduk Desa Jatirunggo berjumlah 7571 jiwa (2.112 KK) dan sebagian mata pencaharian penduduk adalah petani dan buruh tani. Lahan di Desa Jatirungo sebagian besar adalah tegalan dan sawah tadah hujan yang biasanya ditanami palawija berupa sayur mayur dan kacang-kacangan. Sebelum terkena pembebasan lahan untuk lokasi pengganti lahan kawasan hutan yang terkena pembangunan ruas Tol Semarang-
Bawen, petani sekitar pada sawah tadah hujan dapat memperoleh dua kali panen padi dan sekali palawija. Namun akibat adanya pembebasan lahan petani kehilangan penghasilannya. Dalam proses ganti rugi lahan, timbul sikap protes dari masyarakat yang merasa perlakukan tidak adil. Hal ini menimbulkan gejolak di wilayah Jatirunggo yang membuat suasana tidak tentram.
Dari kondisi ini, ditemukan adanya indikasi perubahan pola hidup masyarakat. Dimana terdapat penurunan produksi yang berimbas pada menurunnya penghasilan bahkan kehilangan pendapatan. Akibatnya kemapanan akan terganggu yang berarti ada penyesuaian dalam kemapanan status sosial kehidupan masyarakat dari kondisi memiliki penghasilan banyak menjadi kondisi penghasilan sedikit. Ini juga dapat mengganggu kehormatan. Perubahan pola hidup dari pola hidup petani pemilik lahan kemudian beralih ke profesi lain yang tentunya menimbulkan perubahan pada peran. Dengan demikian, terjadi perubahan posisi seseorang dalam masyarakat. Selain itu, juga ditemukan bahwa adanya gejolak pada masyarakat desa yang sebelumnya terbiasa tentram menunjukkan adanya akibat pada emosi dalam psikologis sosial. Persepsi Kelompok Masyarakat Dampak Pembangunan Tol
Terkena
Berdasarkan data lapangan, kelompok masyarakat terkena dampak dikelompokan menjadi 5 (lima) kelompok, yaitu (a) kelompok petani pemilik lahan, (b) kelompok petani penggarap, (c) kelompok peladang, (d) kelompok pedagang, dan (e) masyarakat sekitar jalan tol (lihat tabel 1).
Tabel 1. Perbandingan Persepsi Masyarakat Terkena Dampak Pembangunan Jalan Tol
Kelompok Masyarakat Petani Pemilik Lahan
Persepsi Kelompok Kanci-Pejagan (Potensi Dampak pembangunan) Sebagian nilai ganti rugi tidak sebanding dengan kerugian masyarakat untuk dapat membeli lahan baru Petani merasa dipaksa oleh panitia pengadan tanah untuk menyetujui lokasi desa lain yang berdekatan Kepemilikan lahan cenderung dimiliki tuan tanah sejak zaman Belanda Masyarakat dominan sebagai penggarap dengan menyewa tanah milik tuan tanah Negosiasi bersifat memaksa tidak menampung aspirasi masyarakat, nilai ganti rugi cenderung ditetapkan. (Jadwal pembangunan berpotensi terlambat)
Penggarap
Mencari alternatif pekerjaan lain dan melakukan alih profesi Mencari garapan di lokasi lain (berpotensi menambah penduduk pendatang di kota terdekat) Pendapatan peladang semakin menyempit tempat berladang (Berpotensi meningkatkan kemiskinan) Pada tahap awal mengalami kesulitan mencari lokasi yang banyak pelanggan Tergantung jenis usaha yang dilakukan namun dapat menyesuaikan diri dengan cepat (pengaruhnya kecil pada perekonomian setempat) Kesulitan dalam penyeberangan jalan tol Sisi selatan jalan tol sebagian besar kebanjiran sehingga harga tanah petani menjadi turun Di sisi utara jalan tol merasakan pasokan irigasi semakin berkurang dan sulit didapat karena jaringan air irigasi terputus Produksi pertanian menurun menurut masyarakat Nilai tanah menurun (Lingkungan hunian yang semakin tidak nyaman)
Peladang Pedagang
Masyarakat sekitar Jalan Tol
Sumber: Puslitbang Sosekling, 2010 (Diolah)
Persepsi Kelompok Semarang-Ungaran (Potensi Dampak pembangunan) Sebagian nilai ganti rugi tidak sesuai kesepakatan Petani menolak kesepakatan yang tidak dituntaskan Memanfaatkan LSM setempat Cenderung meminta langsung ditangani P2T Nilai harga tanah di lokasi yang sama berbeda Adanya campur tangan pihak ketiga Proses pengadilan (Jadwal pembangunan berpotensi terlambat) Mencari alternatif pekerjaan lain merantau ke kota besar Menjadi penggarap dikota lain (Berpotensi menambah penduduk pendatang di kota terdekat) Kehilangan pendapatan (berpotensi menambah pengangguran dan kemiskinan) Tergantung jenis usaha apa yang dilakukan, namun dapat menyesuaikan diri dengan cepat (pengaruhnya kecil pada kegiatan perekonomian setempat)
49
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
Menilik dari persepsi kelompok masyarakat di dua ruas tol tersebut, persamaan yang ada adalah perihal ganti rugi lahan yang dirasakan kurang memadai. Adanya campur tangan pihak ketiga membuat negosiasi harga berat sepihak dan merugikan pemilik lahan. Perbedaannya, untuk kelompok masyarakat di sekitar Semarang, yaitu Jatirunggo, pemilik tanah berperilaku lebih agresif dengan melakukan perlawanan atas bantuan LSM setempat hingga ke pengadilan. Untuk penggarap lahan yang berada di kedua ruas tol tersebut, terpaksa mencari alternatif pekerjaan ke kota besar atau tanah garapan di kota lain yang tidak terkena pembebasan lahan. Bagi peladang, otomatis kehilangan pendapatan dikarenakan lahannya hilang. Pedagang dikatakan lebih fleksibel sehingga tidak terlalu terpengaruh karena dapat menyesuaikan dengan cepat dengan situasi yang baru. Namun hal ini tergantung dari barang dagangannya. Sedangkan untuk masyarakat di sekitar tol, khusus untuk KanciPejagan, pembangunan tol ternyata mengakibatkan permasalahan irigasi. Kurang lancarnya sistem pengaliran air ini akibat beberapa saluran irigasi yang terpotong oleh jalan tol. Dari masyarakat di kedua ruas tol tersebut, persamaan yang ditemukan adalah adanya interaksi yang kurang baik antara petani pemilik lahan dengan pihak yang mengambil alih lahan, yaitu adanya ketidakpuasan soal ganti rugi tanah akibat negosiasi yang buruk sehingga merusak rasa simpati masyarakat.
Petani penggarap terpaksa mencari lokasi garapan di tempat lain maupun beralih profesi. Peladang juga mengeluhkan berkurang hingga hilangnya pendapatan dari berladang akibat alih fungsi lahan.
Pedagang tampaknya lebih fleksibel dan cukup mampu bertahan. Namun demikian, alih fungsi sebagian lahan pertanian membuat pedagang juga harus menyesuaikan dagangan dengan kondisi. Menilik persepsi masyarakat dari sisi kemandirian masyarakat, jelas terindikasi adanya gangguan, yaitu masyarakat yang sebelumnya merasa dapat mengolah lahan miliknya dengan tentram termasuk memenuhi kebutuhan pangan dengan berproduksi, kini harus kehilangan lahan dan tidak dapat berproduksi. Terdapat senggang waktu negosiasi yang alot dalam ganti rugi lahan, sementara produksi juga tidak dapat berjalan lagi. Dengan demikian, dapat diasumsikan masyarakat yang kehilangan pendapatan terpaksa meminjam atau berhutang untuk bertahan hidup. Masyarakat yang sebelumnya dapat menggarap desanya sendiri, kini terpaksa mencari garapan di lokasi lain.
50
Persepsi masyarakat, pada dasarnya mencerminkan tingkat pengetahuan terhadap dampak pembangunan. Pemahaman petani pemilik lahan terhadap ketidaksesuaian nilai ganti rugi, berpotensi memperlambat jadwal pelaksanaan pembangunan. Pemilik lahan akan berupaya mendapatkan hak-haknya sesuai peraturan yang berlaku. Mereka juga memiliki potensi atau kekuatan untuk mendapatkan hak-haknya. Petani penggarap yang cenderung alih profesi berpotensi menjadi penduduk pendatang di kota terdekat. Hal ini akan berakibat pada penambahan masalah-masalah kepadatan penduduk perkotaan, akses ke fasilitas perkotaan, dan konflik sosial lainnya. Ketidaknyamanan hunian diperkirakan terjadi pada masyarakat di sekitar jalan tol yang topografinya datar. Kemandirian Kelompok Masyarakat Terkena Dampak
Untuk melihat kondisi kemandirian kelompok masyarakat akibat dampak digunakan tiga unsur yaitu gagasan, harapan, dan solidaritas (lihat tabel 2). Gagasan merupakan potensi yang dimiliki masyarakat sebagai buah pikiran bersama dalam menyelesaikan masalah. Gagasan menjelaskan bagaimana konsumsi, teknologi, pembangunan, penduduk, dan sumber daya biofisik lainnya membentuk situasi. Harapan, menjelaskan bagaimana budaya, ideologi, nilai moral, dan pengalaman sosial mempengaruhi cara berpikir Tabel 2. Kemandirian Kelompok Masyarakat Terkena Dampak Unsur Kemandirian Gagasan Harapan Solidaritas
Kelompok Masyarakat Petani Pemilik
Penolakan kesepakatan ganti rugi
-
Petani Penggarap
Pencarian pekerjaan baru di lokasi lain/alih profesi
-
Peladang
-
Pedagang
Penyesuaian dengan peluang usaha baru
Mata Pemilik Pencaharian tanah masih seperti dulu ada yang sewakan ke penggarap -
Masyarakat Sekitar
-
Petani Pemilik
Pemanfaatkan LSM menuntut ganti rugi
Petani Penggarap
Pencarian alternatif lokasi lain
-
Peladang
Pencarian lokasi baru
-
-
Pedagang
Pencarian alternatif lokasi lain
-
-
-
Akses penyeberan gan jalan -
Sumber: Puslitbang Sosekling 2010 (Diolah)
Dampak Kebijakan Pembangunan Jalan Tol Terhadap Kemandirian Masyarakat Retta Ida Lumongga dan Bambang Sudjatmiko dan cara bertindak dalam mengatasi suatu masalah. Gagasan didorong oleh unsur-unsur kebutuhan hayati, harapan didorong oleh unsur-unsur kebutuhan manusiawi. Selain gagasan dan harapan yang juga penting adalah solidaritas, yang didorong oleh kebutuhan untuk memilih. Isian informasi pada tabel 2 mencerminkan kecondongan kemandirian pada unsur tertentu. Apabila hanya satu isian pada ketiga unsur kemandirian, artinya pada kelompok masyarakat tersebut kecondongan lebih berat ke salah satu unsur. Dalam gagasan, adanya alih fungsi lahan pertanian menimbulkan situasi emosional. Hal ini akibat terbentuknya persepsi tidak simpati terkait nilai ganti rugi tanah. Masyarakat merasa harga tidak sesuai dengan kondisi tanah serta penggantian lahan baru dirasa tidak cocok untuk bertani.
Dikarenakan telah memiliki persepsi negatif, masyarakat secara bersama memiliki gagasan negatif dengan mengambil gagasan melawan dengan menciptakan situasi penolakan. Pencarian alternatif lokasi lain dilatarbelakangi oleh keinginan masyarakat untuk tetap bertani. Gagasan menunjukkan masyarakat tetap ingin bertani (dengan menolak ganti rugi dan mencari alternatif lokasi lain untuk bertani). Hal ini dimungkinkan karena sebelumnya penduduk hanya paham bertani, sehingga bereaksi negatif terhadap perubahan. Kelompok masyarakat dilihat pada dua ruas, yaitu Kanci-Pejagan dan Semarang-Bawen, masing-masing petani pemilik, petani penggarap, peladang, dan pedagang serta untuk ruas KanciPejagan ada masyarakat sekitar. Pada ruas Kanci-Pejagan, banyak petani pemilik awalnya menolak untuk melakukan kesepakatan ganti rugi karena pihak panitia pengadaan tanah telah menentukan besaran ganti rugi. Meski akhirnya dengan terpaksa menerima, mereka tetap merasa tidak puas. Akibatnya, muncul pandangan bahwa negosiasi yang dilakukan tidak menampung aspirasi masyarakat sebagaimana diperoleh dari persepsi masyarakat. Petani penggarap yang kehilangan mata pencaharian sebagai petani penggarap akibat alih guna lahan dengan terpaksa mencari tanah sewa lain. Bahkan akibat kesulitan mendapatkan tanah sewa akhirnya dengan terpaksa beralih profesi. Para pedagang lebih fleksibel bila dibandingkan petani dalam kaitan dengan kondisi kehilangan lahan. Mereka masih dapat menyesuaikan diri dengan mencari usaha baru. Pada harapan, budaya masyarakat desa yang terbiasa melakukan interaksi sosial menjadikan
adanya kesulitan untuk berhubungan setelah dibangunnya jalan tol yang membelah desa. Hal ini menjadi sebuah gangguan dalam keseimbangan kehidupan keseharian masyarakat desa. Demikian juga dengan persepsi ideal masyarakat dimana bertani merupakan sesuatu yang telah diketahui sejak dulu. Harapan hanya seputar kelanjutan kemudahan interaksi sosial maupun kelanjutan dapat berprofesi sebagai petani. Penyebabnya mungkin karena kondisi budaya masyarakat desa yang terbiasa dengan interaksi sosial tinggi dengan kekerabatan yang erat serta secara sosial terbiasa dengan kenyamanan dengan kondisi statis. Kebutuhan akan jembatan penyeberangan pada sejumlah titik untuk memudahkan bagi masyarakat menyeberang ke sisi sebelah lain setelah dibangunnya jalan tol penting untuk diperhatikan. Hal ini terkait keluhan masyarakat terutama soal biaya dan waktu yang harus terbuang untuk mencapai beberapa lokasi. Pada solidaritas, pemilik tanah lain yang tidak terkena pengalihan tanah akibat pembangunan jalan tol masih ada yang menyewakan tanahnya. Hal ini menunjukkan adanya solidaritas atas dasar rasa sepenanggungan dengan penduduk lain yang terkena.
Pemilik lahan cenderung memiliki gagasan yang bersifat negatif. Oleh karena itu, kemandirian pemilik tanah berpotensi memperlambat jalannya pembangunan. Kondisi ini lebih diperparah dengan hadirnya spekulan tanah yang cenderung memperlemah kemandirian petani pemilik tanah. Disisi lain, kemandirian petani penggarap dan peladang lebih baik karena bersifat positif terhadap pembangunan. Mereka langsung berinisiatif alih profesi dan beradaptasi dengan situasi yang dihadapinya. Peningkatan Kemandirian Masyarakat Terkena Dampak
Kelompok
Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki tingkat kemandirian masyarakat terkena dampak pembebasan lahan untuk jalan tol, yaitu pertama dengan deficit-based dan kedua adalah dengan strenght-based. Pada pendekatan pertama melihat permasalahan warga yang terkena dampak pembangunan jalan tol. Pada gagasan, ditinjau dari sosial maka yang membentuk situasi adalah pengaruh penduduk. Permasalahan pada situasi akibat pengaruh penduduk adalah munculnya masyarakat yang menolak ganti rugi dan situasi kebingungan masyarakat mencari alternatif pekerjaan (dikarenakan keahlian hanya bertani). Pada harapan, nilai kekeluargaan masyarakat desa yang terbiasa bercengkerama dengan tetangga menjadi terpisah akibat jalan tol. Selain itu, adanya
51
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
perasaan insecure akibat kehilangan lahan yang dapat berarti kehilangan mata pencaharian bertani.
Dengan demikian, jika secara pendekatan deficitbased, maka masalah adalah pada penduduk, pembangunan (masih kurang terjamah), budaya dan nilai moral serta keterbatasan pengalaman sosial pada masyarakat di sekitar ruas pembangunan jalan tol. Berdasarkan pendekatan ini, maka alternatif solusi yang dapat dilakukan adalah dengan mendukung untuk mencari alternatif lokasi sawah atau ladang baru melalui program ekstensifikasi pertanian. Kemudian, membantu mencari mata pencaharian baru dilakukan dengan cara sistem magang di beberapa tempat usaha atau memberi bantuan usaha kecil supaya dapat menjadi pengusaha yang mandiri, termasuk pelatihan keterampilan baru dan bantuan pemodalan untuk usaha. Sedangkan untuk memperbaiki persepsi negatif penduduk dalam persoalan ganti rugi agar dapat memperoleh nilai ganti rugi yang layak, dengan melakukan mediasi antara pihak yang membutuhkan tanah termasuk upaya mengatasi persoalan dengan makelar tanah. Dimungkinkan perlunya pihak luar yang dapat menempatkan diri sebagai fasilitator sekaligus mediator untuk mempertemukan pihak-pihak yang berkepentingan dalam rangka menemukan solusi yang terbaik. Selain itu, juga perlu memfasilitasi warga yang kesulitan mengakses penyeberangan jalan. Pendekatan kedua, yaitu strenght-based, menggunakan berbagai potensi yang ada dalam kelompok masyarakat yang terkena dampak, baik petani pemilik, petani penggarap, peladang, pedagang maupun masyarakat sekitar. Solidaritas yang berpotensi tumbuh dalam masyarakat dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah yang ada. Selain itu, perlu dukungan potensi dari luar kelompok baik dari pemilik sawah maupun bantuan LSM agar lebih efektif dan lebih cepat. Dengan menggunakan strategi ini, maka solusi yang didapat adalah pemilik sawah yang relatif luas dapat membagi sawah mereka kepada beberapa orang penggarap. Dukungan LSM yang membantu para pemilik tanah memperoleh uang ganti rugi yang digunakan oleh makelar tanah dapat diarahkan agar secara konsisten membantu pemilik tanah. Dengan demikian uang ganti rugi seluruhnya dapat diterima oleh pemilik tanah sehingga dapat mencari lahan di lokasi yang lain untuk menopang kebutuhan hidup rumah tangganya. Dalam rangka peningkatan kemandirian masyarakat akibat pembangunan jalan tol maka dapat dilakukan dengan menyelesaikan permasalahan dan mengoptimalkan kekuatan. Selain internal masyarakat, solidaritas berupa
52
simpati dari luar juga perlu senantiasa dipupuk, seperti dengan LSM dalam rangka mengatasi permasalahan makelar tanah. Program ekstensifikasi pertanian dengan cara pembukaan lahan persawahan dan perkebunan baru sebagai ganti lahan yang hilang akibat pembangunan jalan tol juga perlu digalakkan. Bantuan pada pengadaan pelatihan untuk meningkatkan keahlian bagi petani yang hendak alih profesi dan bantuan modal usaha juga perlu dilakukan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Sebagaimana dijelaskan pada bab pendahuluan, tulisan ini ditujukan untuk membahas dampak kebijakan pembangunan jalan tol terhadap kesejahteraan masyarakat akibat pembebasan lahan. Pembahasan meliputi persepsi masyarakat dihubungkan dengan klasifikasi tindakan berdasarkan ketiga unsur kemandirian.
Tulisan ini menyimpulkan bahwa tingkat kemandirian kelompok masyarakat di sekitar ruas jalan Tol Kanci-Pejagan lebih tinggi bila dibanding-kan dengan kelompok masyarakat disekitar ruas jalan Tol Semarang-Bawen. Persepsi dan kemandirian kelompok petani pemilik lahan bersifat negatif terhadap jadwal pembangunan. Kelompok petani penggarap dan peladang lebih adaptif terhadap situasi yang tercipta akibat pengadaan lahan untuk pembangunan jalan tol. Upaya peningkatan kemandirian yang bersifat negatif terhadap pembangunan antara lain dengan melibatkan pemilik lahan pada proses pembangunan. Upaya meningkatkan kemandirian kelompok masyarakat yang bersifat adaptif terhadap dampak pembangunan adalah dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan serta menciptakan peluang usaha baru.
DAFTAR PUSTAKA
Huda, Ali. 2010. Analisis Perubahan Pergerakan akibat Perubahan Infrastruktur Jalan Lokal sebagai Dampak Pembangunan Jalan Tol SemarangSolo: Studi Kasus Kecamatan Banyumanik Kota Semarang. Semarang: Tesis Program Magister Teknik Sipil Universitas Diponegoro. Iskandarsyah, Mudakir. 2007. Dasar-dasar Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Umum. Jakarta: PT Jala Permata. [Kem-PU]. Kementerian Pekerjaan Umum. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum 2010-2014, Lampiran Peraturan Menteri No.23/ PRT/M/2010 . Jakarta.
Dampak Kebijakan Pembangunan Jalan Tol Terhadap Kemandirian Masyarakat Retta Ida Lumongga dan Bambang Sudjatmiko Mayerfeeld, Bell Michael. 1998. An Invitation to Environmental Sociology for a New Century. California: Pine Forge Press.
Pamekas, R. 2011. Kajian Lingkungan Hidup Strategis Berbasis Konsultasi Publik dan Rekonstruksi Permukiman Pasca Bencana. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum 3(2):91103. Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 65 tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Pruitt, Dean G dan Jeffrey Z Rubin. 2009. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. [Puslitbang Sosekling]. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum. 2010. Laporan Akhir Peningkatan Sosial, Ekonomi Masyarakat. Jakarta.
Sayogyo. 2009. Energi Sosial budaya dan Lokalitas: Titik Fokus Konsep Pemberdayaan. http:// www.pemberdayaan.com/etcetera/energisosial-budaya-dan-lokalitas-titik-fokus-konseppemberdayaan.html Soyomukti, Nurani. 2010. Pengantar Sosiologi: Dasar Analisis, Teori & Pendekatan Menuju Analisis Masalah-Masalah Sosial, Perubahan Sosial dan Kajian Strategis. Yogyakarta: Arruz Media. Sukmadinata, Nana Syaodih. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Sudaryadi. 2007. Dampak Pembangunan Jalur Jalan Lintas Selatan terhadap Output Sektor Produksi dan Pendapatan Rumah Tangga Jawa Tengah (Simulasi SNSE Jawa Tengah 2004). Semarang: Tesis Program Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Diponegoro
53
54
PENGARUH KEBERADAAN PEDAGANG KAKI LIMA PADA FUNGSI RUANG MANFAAT JALAN KAWASAN KAKI JEMBATAN SURAMADU The Impact of Street Vendor Presence to the Functionality of Road Free Space at the Access Road of Suramadu Bridge Arvian Zanuardi1 dan Ahsan Asjhari2 Balai Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Jalan dan Jembatan, Pusat Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Gayung Kebonsari no.50 Surabaya, Jawa Timur Email :
[email protected] 1
Balai Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Jalan dan Jembatan, Pusat Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Gayung Kebonsari no.50 Surabaya, Jawa Timur Email :
[email protected] 2
ABSTRACT
Tanggal diterima: 9 Januari 2012, Tanggal disetujui: 29 Februari 2012
Traffic service is one of the indicators of success of the construction of Surabaya Madura Bridge. Using the road space in accordance to its function guarantees such success. However, after three years of operation, street vendors have emerged occupying the functional space of the bridge. This may affects the functional space of the road as well as traffic service of the bridge. This research aims to evaluate the impact of street vendors towards traffic in the Madura bridge access area. Using survey as the method, this paper offers a descriptive account of the impact of street vendors to the functionality of road free space at access points of the bridge. Results of the survey is analysed using the simple regression as well as multiple regression method. The research concludes that the impact of street vendors towards traffic service can be categorized as moderate. Despite the results, in five years time, the impact category is predicted to increase to severe. Keywords: Road Free Space, Surabaya Madura Bridge, environment, traffic, street vendors
ABSTRAK Pelayanan lalu lintas merupakan salah satu ukuran keberhasilan pembangunan Jembatan Surabaya Madura. Pemanfaatan jalan dan kelengkapannya sesuai dengan fungsinya tentunya menjamin keberhasilan tersebut. Namun, setelah tiga tahun jembatan dioperasikan pada ruang manfaat jalan akses KKJS (Kawasan Kaki Jembatan Suramadu) telah muncul pedagang kaki lima yang diduga dapat berpengaruh pada fungsi jalan maupun pelayanan jembatan. Penelitian ini ditujukan untuk menilai pengaruh pedagang kaki lima tersebut terhadap kinerja lalu lintas pada ruas jalan akses sisi Madura. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode survei. Survei dilakukan dengan pengukuran terhadap kinerja jalan, penentuan kelas hambatan samping, dan melihat korelasi antara keberadaan pedagang kaki lima terhadap akumulasi parkir kendaraan di ruang manfaat jalan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kinerja jalan akses sisi Madura saat ini masih tergolong baik, bahkan sampai dengan proyeksi lima tahun mendatang. Namun demikian, pada kondisi tertentu dapat terjadi kelas hambatan samping sangat tinggi di rumaja jalan akses KKJS akibat akumulasi parkir kendaraan. Oleh karena itu, perlu lebih diperhatikan masalah pengaturan dan pengelolaan parkir kendaraan di rumaja jalan akses KKJS agar tidak membahayakan keselamatan pengguna jalan dan dapat meminimalisir peluang kejadian kecelakaan. Kata kunci: Ruang Manfaat Jalan, Jembatan Surabaya Madura, Jalan Akses KKJS (Kawasan Kaki Jembatan Suramadu), kinerja jalan, pedagang kaki lima
55
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
PENDAHULUAN Jembatan Suramadu yang menghubungkan Pulau Jawa di Surabaya dan Pulau Madura di Bangkalan sudah mulai dioperasikan sejak tahun 2009 lalu. Pembangunan Jembatan Suramadu ini dilatarbelakangi oleh misi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Timur, khususnya Pulau Madura yang dirasakan masih tertinggal dibandingkan daerah-daerah lain di Jawa Timur. Keberadaan Jembatan Suramadu sebagai jalur transportasi terpadu di wilayah Indonesia Timur diharapkan dapat menjadi roda penggerak dalam perkembangan industri dan perdagangan di Indonesia. Bagi Pulau Madura sendiri, adanya jalur transportasi cepat dan efektif ini akan mampu melejitkan pembangunan sektoral dan mereduksi ketimpangan sosial yang ada. Adanya bentuk fisik Jembatan Suramadu dengan jalur darat merupakan alternatif baru yang dinilai cukup tepat (Dewi 2008). Namun, pada ruang manfaat jalan akses ke jembatan di sisi Madura, telah muncul pedagang kaki lima yang jumlahnya meningkat secara tajam dari 170 pedagang pada tahun 2009 menjadi 841 pedagang pada tahun 2010 atau peningkatan sebesar 79,79% dalam 1 (satu) tahun (Balai Sosekling Jatan 2010). Keberadaan pedagang kaki lima yang memanfaatkan rumaja jalan akses KKJS ini dianggap akan mengganggu kinerja jalan dan menyebabkan terganggunya lalu lintas di jalan akses tersebut. Permasalahan yang kemudian ingin dipecahkan dalam pengkajian ini adalah bagaimana pengaruh pedagang tersebut terhadap pelayanan Jembatan Suramadu? Seberapa besar pengaruhnya terhadap fungsi ruang manfaat jalan dan pelayanan jalan akses tersebut? Bagaimanakah hubungan antara jumlah pedagang kaki lima terhadap akumulasi kendaraan parkir di rumaja? Tulisan ini membahas hasil penelitian yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut.
KAJIAN PUSTAKA
Lalu lintas tergantung kepada kapasitas jalan dan banyaknya lalu lintas yang ingin bergerak. Jika kapasitas jalan tidak dapat menampung, maka lalulintas yang ada akan terhambat dan akan mengalir sesuai dengan kapasitas jaringan jalan maksimum (Setijadji 2006). Hambatan karena kapasitas jalan yang mencapai maksimum ini akan berpengaruh terhadap kecepatan kendaraan yang melalui ruas jalan tersebut. Kecepatan merupakan parameter yang penting khususnya dalam desain jalan, sebagai informasi mengenai kondisi perjalanan, tingkat pelayanan, dan
56
kualitas arus lalu lintas (kemacetan dan unjuk kerja lalu lintas). Sedangkan kelambanan merupakan waktu yang hilang pada saat kendaraan berhenti, atau tidak dapat berjalan sesuai dengan kecepatan lalu lintas (Dewanto 2003). Kelambanan biasanya dikaitkan dengan keberadaan hambatan dalam sebuah ruas jalan.
Hambatan samping selalu berkait dan berhubungan erat dengan komponen lain dalam kemacetan lalu lintas. Hambatan samping ada karena adanya aktivitas, aktivitas terjadi karena bangkitan lalu lintas, bangkitan lalu lintas menimbulkan aliran lalu lintas kendaraan. Karena tidak seimbang maka timbul permasalahan berupa kemacetan lalu lintas (Setijadji 2006). Hambatan samping merupakan aktivitas samping jalan yang sering menimbulkan konflik dan kadang-kadang besar pengaruhnya terhadap lalu lintas. Hambatan samping yang terutama berpengaruh pada kapasitas dan kinerja jalan perkotaan adalah pejalan kaki, angkutan umum dan kendaraan lain berhenti, kendaraan lambat (becak, gerobak, sepeda, kereta kuda) dan kendaraan yang keluar masuk dari lahan samping jalan (Marpaung 2005). Selain itu, kemacetan lalu lintas juga disebabkan oleh perilaku manusia yang tidak disiplin dalam berlalu lintas dan kegiatan lain yang mempengaruhi kelancaran arus lalu-lintas seperti PKL dan pengemis. Aktivitas penduduk sehari-hari seperti bekerja, ke sekolah, berbelanja, dan berekreasi tidak lepas dari kegiatan transportasi, dalam artian selalu mempergunakan sarana dan prasarana lalulintas. Aktivitas tersebut secara rutin dilakukan setiap hari dengan pola yang selalu sama baik jamjam tertentu atau pada tempat-tempat tertentu, sehingga aktivitas memberikan kontribusi pada kemacetan lalu lintas (Putro 2009). Aktivitas yang memungkinkan munculnya hambatan lalu lintas adalah dengan dimanfaatkannya bagian jalan tidak sesuai fungsinya, seperti penjamuran lapak PKL di rumaja atau on street parking. Pedagang Kaki Lima (PKL) bisa dikatakan juga merupakan salah satu alternatif mata pencaharian bagi sebagian warga kota yang tidak dapat memasuki sektor formal karena mempunyai ciri-ciri mudah dimasuki, tidak membutuhkan pendidikan tinggi, tidak membutuhkan modal yang besar, namun dapat menghasilkan pendapatan yang kadang melebihi sektor formal (Budi 2006). PKL cenderung mengelompok dengan pekerjaan yang sejenisnya. Jenis usaha yang paling banyak diminati adalah makanan dan minuman. Kegiatan PKL sebagai salah satu sektor informal belum terantisipasi dalam perencanaan tata ruang kota sehingga sarana dan prasarana yang ada biasanya kurang mendukung
Pengaruh Keberadaan Pedagang Kaki Lima pada Fungsi Ruang Manfaat Jalan Kawasan Kaki Jembatan Suramadu Arvian Zanuardi dan Ahsan Asjhari kegiatan PKL (Dewi 2008). Oleh sebab itulah, banyak PKL yang memanfaatkan rumaja sebagai lokasi mereka.
Tidak berbeda rumaja di jalan akses Jembatan Suramadu juga menjadi lahan bagi para PKL sebagai lokasi usaha. Keberadaan PKL di rumaja KKJS merupakan salah satu bangkitan ekonomi dari keberadaan Jembatan Suramadu yang menjadi satu-satunya jalur darat penghubung Pulau Madura dengan Surabaya, selain jalur penghubung JawaMadura yang sebelum dibangunnya Jembatan Suramadu menggunakan jalur laut dengan kapal ferry. Perencanaan sebuah Jembatan Suramadu dengan jalur darat merupakan alternatif baru dalam pergerakan menuju Pulau Madura. Dengan kata lain, akan menimbulkan kompetisi yang membuat pengguna jalan dapat memilih moda mana yang paling tepat digunakan dengan memilih antara tetap menggunakan moda laut (kapal ferry) atau menggunakan moda darat (melewati Jembatan Suramadu). Sebelum pembangunan Jembatan Suramadu, kondisi penyeberangan Surabaya– Madura dengan menggunakan kapal Ferry PerakKamal sangat padat. Jumlah ferry dan penyeberang yang tak berimbang menyebabkan waktu antri yang panjang. (Chomaedhi 2007).
Ruang manfaat jalan (rumaja) meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya. Rumaja merupakan wilayah/ruang yang terbentuk di sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi, dan kedalaman tertentu yang ditetapkan oleh penyelenggara jalan (dalam hal ini Pemerintah) yang berpedoman dengan peraturan yang berlaku. Rumaja digunakan untuk menempatkan median, perkerasan jalan, jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman, timbunan dan galian, gorong-gorong (box culvert), perlengkapan jalan, dan bangunan pelengkap
lainnya. Rumaja dilengkapi dengan trotoar bagi lalu lintas pejalan kaki, konstruksi jalan, badan jalan, dan ruang bebas (PP No 34 Tahun 2006). Ruang bebas ditentukan oleh lebar, tinggi, dan kedalaman tertentu sesuai dengan lebar dan luas permukaan jalan. Oleh karena itu, setiap orang yang merupakan Warga Negara Indonesia dilarang memanfaatkan ruang manfaat jalan yang dapat mengganggu fungsi jalan sebagai sarana fasilitas umum kecuali dengan perijinan pemanfaatan yang dikeluarkan oleh pemegang kewenangan status jalan terkait.
Pada rumaja dapat ditempatkan bangunan utilitas dengan syarat tidak menimbulkan hambatan samping bagi pemakai jalan; atau tidak mengganggu keamanan konstruksi jalan. Pada jaringan jalan di luar kota, bangunan utilitas dapat ditempatkan di dalam ruang milik jalan pada sisi terluar. Ruang manfaat jalan adalah bagian jalan yang tidak semua orang/badan/lembaga dapat memanfaatkannya secara langsung tanpa adanya perijinan pemanfaatan khusus yang perlu dipenuhi karena ruang manfaat jalan memiliki fungsi yang penting sebagai ruang pelengkap jalan untuk penempatan utilitasutilitas jalan. Izin pemanfaatan ruang manfaat jalan dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing setelah mendapat rekomendasi dari penyelenggara jalan sesuai kewenangannya. Kenyataan di lapangan banyak ditemukan pelanggaran terhadap pemanfaatan ruang manfaat jalan, salah satunya adalah masalah durasi parkir, keberadaan bangunan tanpa ijin, dan penggunaannya untuk usaha, yang menjadi fokus tulisan ini.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di kawasan kaki Jembatan Surabaya Madura (Suramadu), khususnya ruas jalan akses sisi Madura (lihat gambar 1).
Gambar 1. Lokasi Penelitian di Jalan Akses Kawasan Kaki Jembatan Suramadu sisi Madura
57
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
Data yang digunakan dalam pemetaan kondisi rumaja di jalan akses adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder dapat berupa peta dan data/informasi mengenai kondisi fisik dan non-fisik yang terkait dengan ruang manfaat jalan akses KKJS. Sedangkan pengambilan data primer digunakan untuk menunjukkan kondisi PKL KKJS yang berada di rumaja jalan akses KKJS yang diambil dengan cara observasi langsung dan pencatatan lapaklapak yang beraktivitas di rumaja jalan akses KKJS. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi langsung ke lapangan baik melalui pencacahan lalu lintas (traffic counting), dan survei karakteristik parkir, serta wawancana kepada responden yang dipilih dengan judgment sampling (Snowball), sehingga terpilih responden yang dianggap memiliki pengetahuan/informasi yang dibutuhkan.
Pencacahan Lalu Lintas (Traffic Counting) dilakukan untuk mengetahui jumlah kendaraan yang lewat pada suatu segmen jalan pada interval waktu tertentu. Pencatatan jumlah kendaraan ini dibagi menjadi 5 (lima) golongan, yakni: kendaraan ringan (light vehicle), kendaraan berat menengah (medium heavy vehicle), Truk besar (large truck), Bis besar (large bus) dan sepeda motor (motorcycle) (MKJI 1997). Selain data primer tersebut dikumpulkan pula data sekunder di Jembatan Tol Suramadu dan Jalan Tol Surabaya-Gempol sebagai pembanding. Survei karakteristik parkir dilakukan untuk mengukur tingkat akumulatif parkir dan durasinya di sepanjang ruang manfaat jalan akses KKJS. Nilai karakteristik parkir ini akan menentukan besarnya kelas hambatan samping yang terjadi. Survei parkir dilakukan antara pukul 06.00 s/d 18.00 pada hari Kamis (weekday), yakni mewakili hari-hari biasa dimana lalu lintas berada pada kondisi normal/ pada umumnya dan hari Minggu (weekend) yang mewakili kondisi dengan adanya peningkatan lalu lintas karena liburan/wisata. Survei parkir dilakukan pada ruas jalan akses KKJS sisi Madura arah Surabaya–Madura dan Madura–Surabaya dengan cara membagi ruas jalan akses ke Jembatan Suramadu menjadi beberapa segmen dimana tiap segmennya mempunyai panjang 200 meter. Untuk jalur lalu lintas arah Madura-Surabaya terbagi menjadi 9 (sembilan segmen). Sedangkan untuk arah sebaliknya terbagi menjadi 6 (enam) segmen.
Data hasil pencacahan lalu lintas tersebut dianalisis dengan menggunakan rumus empiris yang tertera pada Manual Kapasitas Jalan (MKJI) dengan variabel volume lalu lintas dan kapasitas jalan. Hasil analisis mencerminkan derajat kejenuhan jalannya atau kinerja jalan.
58
Kegiatan parkir di sepanjang sisi jalan akses merupakan salah satu variabel yang berhubungan dengan hambatan samping atau kualitas pelayanan jalan. Besarnya hambatan samping diukur dengan kriteria pada Tabel 1. Tabel 1. Kelas Hambatan Samping
Kelas Hambatan Samping
Kode
Sangat rendah (Very Light)
VL
Frekuensi Berbobot dari Kejadian < 50
Rendah (Low)
L
50 - 150
Sedang (Medium)
M
150 – 250
Tinggi (Height)
H
250 – 350
Sangat tinggi (Very Height)
VH
> 350
Sumber: MKJI 1997
Data parkir yang diperoleh dari pencatatan adalah jumlah kendaraan yang melakukan parkir di rumaja dan durasi melakukan parkir. Data ini selanjutnya diolah dan dianalisis untuk mendapatkan akumulasi parkir dan persentase jumlah kendaraan parkir terhadap volume lalu lintas kendaraan di ruas jalan akses Jembatan Suramadu sisi Madura. Kegiatan parkir merupakan salah satu dampak dari kegiatan bangunan liar PKL dan pedagang asongan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam pembahasan ini, pengaruh keberadaan PKL KKJS di rumaja jalan akses KKJS dikaitkan dengan fungsi rumaja sebagai pelengkap jalan. Pembahasan meliputi (i) kinerja ruas jalan akses KKJS yang ada saat ini yang dihitung berdasarkan data Lalu lintas Harian Rata-rata (LHR), (ii) durasi parkir kendaraan di rumaja jalan akses KKJS yang terjadi karena keberadaan PKL KKJS di rumaja, (iii) pengukuran pengaruh kegiatan parkir di rumaja terhadap kinerja ruas jalan akses, dan (v) proyeksi kinerja ruas jalan akses KKJS 5 (lima) tahun mendatang. Kondisi Kinerja Ruas Jalan Akses KKJS
Kinerja ruas jalan yang dinilai adalah derajat kejenuhan (degree of saturation, DS) dari jalan akses ke Jembatan Suramadu sisi Madura dan kecepatan rata-rata kendaraan pada ruas jalan tersebut. Derajat kejenuhan (degree of saturation, DS) adalah perbandingan atau rasio antara volume lalu lintas kendaraan dengan kapasitas ruas jalan. Sedangkan kecepatan rata-rata kendaraan diperoleh dari grafik
Pengaruh Keberadaan Pedagang Kaki Lima pada Fungsi Ruang Manfaat Jalan Kawasan Kaki Jembatan Suramadu Arvian Zanuardi dan Ahsan Asjhari
Berdasarkan hasil perhitungan kinerja ruas jalan pada tabel 2 terlihat bahwa kinerja ruas jalan akses ke Jembatan Suramadu sisi Madura masih relatif bagus baik pada saat weekday maupun saat weekend, karena nilai DS terbesarnya hanya 0,39 dan masih berada dibawah batas kritis DS (0,75). Selain itu, pengguna jalan akses KKJS juga masih dapat berkendara dengan kecepatan rata-rata mobil penumpang lebih dari 60km/jam. Durasi Parkir di Rumaja Jalan Akses KKJS
Untuk mengetahui lama (durasi) parkir kendaraan di Jalan Akses ke Jembatan Suramadu saat weekdays dan weekend, dilakukan pencocokan plat nomor kendaraan yang dicatat antara 15 menit pertama, 15 menit kedua, dan seterusnya. Jika pada 15 menit pertama terdapat nomor polisi (nopol) kendaraan misalnya “x”, tapi ternyata pada 15 menit ke dua
Hari Kamis, Surabaya - Madura
Jumlah Kendaraan Parkir
180
irk ra P n aa ra d n e K h al m Ju
Kamis, 16 Juni 2011
Minggu, 19 Juni 2011
Arah Ke Madura Ke Surabaya Ke Madura Ke Surabaya
LV
MH
280
LB LT MC V 37 11 13 792
162
3
9
1
1021
DS 0,229
73,28
0,220
73,46
402
17
25
22
1459
0,399
69,36
414
13
16
4
1547
0,377
69,90
120 100 80 60 40 20 < 15
15-30
30-45
45-60
60-90
90-120
120-180
>180
83
47
21
14
9
1
2
3
Bus
1
3
1
1
4
0
0
Truk
7
4
2
1
0
0
0
0
153
58
14
10
13
11
7
41
Sepeda Motor
0
Durasi Parkir (menit)
Hari Minggu, Surabaya - Madura 140
r kir a P n aa ra d n e K h al m Ju
120 100 80 60 40 20 0
< 15
15-30
30-45
45-60
60-90
90-120
120-180
>180
LV
110
76
70
27
29
9
2
1
Bus
2
9
4
3
4
1
0
1
Truk
0
5
3
1
2
0
0
0
123
46
32
23
27
6
9
30
Sepeda Motor
Durasi Parkir (menit)
Hari Minggu, Madura-Surabaya 900
irk r aP n aa ra d n e K ah l m u J
800 700 600 500 400 300 200 100 0
< 15
15-30
30-45
45-60
60-90
90-120
120-180
>180
LV
179
122
67
26
10
3
1
1
Bus
13
16
19
13
10
1
1
Truk
16
25
2
5
2
0
0
0
Sepeda Motor
768
274
105
54
24
6
10
16
1
Durasi Parkir (meni t)
Hari Kamis, Madura-Surabaya 600
Jumlah Kendaraan Parkir
Jam Sibuk
V rata-rata LV (km/jam)
140
0
Tabel 2. Kinerja Ruas Jalan Akses Ke Madura dan Ke Surabaya Volume Kendaraan
160
LV
Jumlah Kendaraan Parkir
Berdasarkan hasil pengumpulan data, volume lalu lintas saat jam sibuk hari Kamis terjadi pada jam 06.45-07.45 WIB dengan volume kendaraan total 791 satuan mobil penumpang per jam (smp/jam). Sedangkan untuk volume lalu lintas saat jam sibuk hari Minggu terjadi pada jam 17.0018.00 WIB, dengan volume kendaraan total 1384 smp/jam. Untuk kapasitas ruas jalan dan kecepatan arus bebas dipengaruhi oleh lebar penampang melintang jalan. Berdasarkan data volume lalu lintas kendaraan di atas dan penampang melintang jalan akses ke Jembatan Suramadu sisi Madura memiliki nilai derajat kejenuhan (degree of saturation, DS) dan kecepatan rata-rata kendaraan pada ruas jalan akses ke Jembatan Suramadu sisi Madura (lihat pada tabel 2).
nopol “x” tidak ada, maka kendaraan tersebut hanya parkir maksimal 15 menit. Namun apabila pada 15 menit ke dua nopol “x” ada, maka ada kemungkinan kendaraan nopol “x” ini parkir selama lebih dari 15 menit (bisa 30 menit, 45 menit atau 60 menit tergantung apakah kendaraan dengan nopol “x”
Jumlah Kendaraan Parkir
hubungan antara nilai derajat kejenuhan (degree of saturation, DS) dengan kecepatan arus bebas kendaraan (Free flow speed, FV). Untuk volume lalu lintas yang dimasukkan dalam perhitungan nilai derajat kejenuhan (degree of saturation, DS) adalah volume lalu lintas saat jam sibuk (peak hour).
irk ra P n a raa d n e K h al m u J
500 400 300 200 100 0
< 15
15-30
30-45
45-60
60-90
90-120
120-180
>180
LV
117
58
30
12
7
0
0
1
Bus
21
13
13
8
3
0
0
0
Truk
32
15
7
5
2
1
1
1
Sepeda Motor
525
164
89
26
25
5
4
24
Durasi Parkir (me nit)
Sumber: Balai Sosekling Jatan, 2011
Gambar 2. Jumlah Kendaraan Parkir di Rumaja Jalan Akses KKJS
59
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
ada pada pengamatan 15 menit ke-3 atau ke-4 (lihat gambar 2)
Dari hasil analisis durasi parkir di sepanjang jalan akses ke Jembatan Suramadu sisi Madura terlihat bahwa persentase terbesar durasi parkir kendaraan adalah tidak lebih dari 15 menit, baik pada hari Kamis maupun pada hari Minggu untuk masing-masing arah. Rekapitulasi persentase durasi parkir kendaraan di sepanjang jalan akses ke Jembatan Suramadu sisi Madura terlihat pada tabel 3. Visualisasi data primer dari tabel 2 dan tabel 3 dapat dilihat pada gambar 2. Pengaruh Kegiatan Parkir terhadap Kinerja Ruas Jalan Akses KKJS
Kegiatan parkir di sepanjang jalan akses ke Jembatan Suramadu sisi Madura saat ini memanfaatkan bahu jalan sebagai ruang parkir. Namun demikian, kegiatan parkir ini tidak mengganggu kelancaran lalu lintas di jalan akses KKJS. Selain dikarenakan kinerja jalan yang dari hasil pengukuran sebelumnya didapatkan masih dalam kondisi baik, lebar bahu jalan yang ada juga relatif lebar, sehingga tidak terjadi penurunan kapasitas ruas jalan. Namun demikian manuver kendaraan yang akan melakukan parkir atau berangkat meneruskan perjalanan sering kali menyebabkan hambatan samping pada ruas jalan tersebut. Dalam Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), kegiatan kendaraan keluar dan masuk lahan di sisi jalan termasuk ikut menentukan besarnya kelas hambatan
samping dari suatu ruas jalan, dimana dibanding dengan faktor penyebab tingginya kelas hambatan samping suatu ruas jalan (pejalan kaki, penghentian kendaraan umum, dan kendaraan lambat). Untuk bobot aktivitas kendaraan keluar dan masuk lahan di sisi jalan dalam MKJI adalah 1,0; dimana angka ini tertinggi dibanding aktivitas yang lainnya yang bisa menimbulkan hambatan samping (pejalan kaki=0,6; penghentian kendaraan umum=0,8; dan kendaraan lambat=0,4). Pengamatan kelas hambatan samping dilakukan di tiap segmen ruas jalan. Yang diperhitungkan adalah jumlah kejadian manuver kendaraan keluar dan masuk di ruang parkir bahu jalan akses Jembatan Suramadu dalam satu jam pengamatan.
Berdasarkan perhitungan kelas hambatan samping pada hari Kamis arah Surabaya-Madura, dimana untuk jumlah kendaraan parkir rata-rata dan tertinggi adalah rata-rata sebesar ada 34 smp dan terbesar ada 117 smp. Sehingga total frekuensi berbobot dari kendaraan keluar dan masuk lahan di bahu jalan adalah dua kali jumlah kendaraan parkir rata-rata (untuk manuver saat akan parkir dan meninggalkan area parkir) dikalikan faktor bobot (1,0) adalah 68 dan yang terbesar dua kali jumlah kendaraan parkir yang terbesar (untuk manuver saat akan parkir dan meninggalkan area parkir) dikalikan faktor bobot (1,0) adalah 234. Melihat pada penentuan kelas hambatan samping berdasarkan MKJI, maka kelas hambatan samping pada ruas jalan akses Jembatan Suramadu sisi Madura rata-rata adalah rendah, namun pada lokasi dengan aktivitas
Tabel 3. Rekapitulasi durasi parkir kendaraan di Jalan Akses KKJS
Hari/tgl
Kamis, 16 Juni 2011
Arah
SurabayaMadura
MaduraSurabaya
Minggu, 19 Juni 2011
SurabayaMadura
MaduraSurabaya
Jenis Kend
Prosentase Durasi Parkir berdasarkan lama parkir(menit) 15-30 30-45 45-60 60-90 90-120 120-180 >180
LV
46%
26%
12%
8%
5%
1%
1%
2%
Bus
10%
30%
10%
10%
40%
0%
0%
0%
Truk
50%
29%
14%
7%
0%
0%
0%
0%
MC
50%
19%
5%
3%
4%
4%
2%
13%
LV
52%
26%
13%
5%
3%
0%
0%
0%
Bus
36%
22%
22%
14%
5%
0%
0%
0%
Truk
50%
23%
11%
8%
3%
2%
2%
2%
MC
61%
19%
10%
3%
3%
1%
0%
3%
LV
34%
23%
22%
8%
9%
3%
1%
0%
Bus
8%
38%
17%
13%
17%
4%
0%
4%
Truk
0%
45%
27%
9%
18%
0%
0%
0%
MC
42%
16%
11%
8%
9%
2%
3%
10%
LV
44%
30%
16%
6%
2%
1%
0%
0%
Bus
18%
22%
26%
18%
14%
1%
1%
1%
Truk
32%
50%
4%
10%
4%
0%
0%
0%
MC
61%
22%
8%
4%
2%
0%
1%
1%
Sumber: Balai Sosekling Jatan, 2011
60
< 15
Pengaruh Keberadaan Pedagang Kaki Lima pada Fungsi Ruang Manfaat Jalan Kawasan Kaki Jembatan Suramadu Arvian Zanuardi dan Ahsan Asjhari parkir terbesar kelas hambatan sampingnya dapat mencapai angka sangat tinggi. (lihat pada tabel 4)
Dari proporsi kendaraan yang parkir terhadap volume arus lalu lintas terlihat bahwa hanya antara 3% – 8% volume lalu lintas kendaraan yang melewati jalan akses Jembatan Suramadu sisi Madura yang berhenti parkir di sepanjang jalan akses. (lihat pada tabel 5).
Proyeksi Kinerja Ruas Jalan Akses KKJS 5 (Lima) Tahun Mendatang Selain analisis terhadap kinerja ruas jalan saat ini, ditinjau pula kinerja ruas jalan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun mendatang. Tujuannya adalah untuk menyiapkan kebijakan-kebijakan terkait dengan kondisi saat ini dan perubahan yang terjadi atas kinerja ruas jalan akses dalam 5 (lima) tahun mendatang. Untuk tingkat pertumbuhan lalu lintas kendaraan di ruas jalan akses Jembatan Suramadu digunakan volume lalu lintas kendaraan di Jalan Tol Surabaya-Gempol, karena dapat digunakan untuk memprediksi angka kunjungan kendaraan dengan Tabel 4. Rekapitulasi Hambatan samping di Jalan Akses KKJS
Hari Pengamatan
Situasi Parkir
Jumlah kendaran parkir
Frekuensi Berbobot Kejadian
Kelas Hambatan Samping
Parkir Terbesar
117
134
Rendah
Rata-rata
34
68
Rendah
Parkir Terbesar
54
108
Rendah
Rata-rata
31
62
Rendah
Parkir Terbesar
177
354
Sangat tinggi
Rata-rata
53
106
Rendah
Parkir Terbesar
119
138
Rendah
Rata-rata
51
102
Rendah
Arah
Surabaya - Madura
Kamis, 16 Juni 2011
MaduraSurabaya Surabaya - Madura
Minggu, 19 Juni 2011
MaduraSurabaya
Sumber: Balai Sosekling Jatan, 2011
Tabel 5. Presentase Kendaraan Parkir di Jalan Akses KKJS
data tahun 2007-2010 . Sedangkan untuk angka pertumbuhan kunjungan kerndaraan Tol Suramadu tidak digunakan, karena data yang ada tahun 20092010 (kurang dari 2 tahun) sehingga kurang valid.
Untuk faktor pertumbuhan volume lalu lintas sebagai dasar prediksi volume lalu lintas 5 (lima) tahun mendatang berdasarkan volume LHR Jasa Marga Surabaya-Gempol. Dari data sekunder pertumbuhan lalu lintas kendaraan di Jalan Tol Surabaya-Gempol antara Tahun 2007-2010, menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan lalu lintas kendaraan di Jalan Tol Surabaya-Gempol antara tahun 2007–2010 adalah sebesar antara 5–6%. Sehingga untuk analisis prediksi volume lalu lintas kendaraan 5 (lima) tahun mendatang menggunakan faktor pertumbuhan sebesar 5,5% per tahun.
Secara keseluruhan ada peningkatan terhadap nilai derajat kejenuhan (degree of saturation, DS) ruas jalan akses ke Jembatan Suramadu sisi Madura. Namun demikian, kenaikan yang terjadi masih di bawah batas kritis kinerja suatu ruas jalan, yakni nilai-nilai derajat kejenuhan (degree of saturation, DS) sebesar 0,75. Sedangkan peningkatan aktivitas parkir dengan tingkat pertumbuhan volume lalu lintas kendaraan berdasarkan volume lalu lintas kendaraan di Jembatan Tol Suramadu, berpengaruh terhadap kelas hambatan samping ruas jalan akses pada hari Minggu, dimana kelas hambatan samping naik menjadi sedang. Untuk peningkatan aktivitas parkir dengan tingkat pertumbuhan volume lalu lintas kendaraan berdasarkan volume lalu lintas kendaraan di Jalan Tol Surabaya-Gempol, tidak berpengaruh terhadap kelas hambatan samping ruas jalan akses, dimana sampai 5 (lima) tahun mendatang, masih tetap tergolong rendah. (lihat tabel 6) Dari hasil proyeksi tersebut terlihat bahwa sampai 5 (lima) tahun mendatang keberadaan PKL KKJS masih belum mengganggu kinerja jalan akses Tabel 6. Prediksi Kelas hambatan samping Jalan Akses KKJS 5 tahun mendatang
Kendaraan Parkir Hari Pengamatan
Kamis, 16 Juni 2011
Minggu, 19 Juni 2011
Arah
Volume Kendaraan (SMP)
Kinerja Ruas Jalan Hari Pengamatan
Volume dalam Sehari (SMP)
%
289
3.54%
Arah
Kelas Hambatan Samping
PHV
DS
Frekuensi Bobot Kejadian
Kelas
SurabayaMadura
1596
0.416
124
Rendah
SurabayaMadura
8154
MaduraSurabaya
8037
453
5.64%
MaduraSurabaya
1534
0.400
113
Rendah
SurabayaMadura
13478
641
4.76%
SurabayaMadura
2780
0.724
193
Sedang
MaduraSurabaya
2630
0.685
185
Sedang
MaduraSurabaya
Kamis
Minggu 11876
Sumber: Balai Sosekling Jatan, 2011
908
7.65%
Sumber: Balai Sosekling Jatan, 2011
61
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65
KKJS, karena nilai DS yang masih dibawah angka 0,75 (MKJI 1997). Proyeksi di atas menggunakan data pertumbuhan kunjungan kendaraan yang melewati Jembatan Suramadu dengan asumsi jumlah PKL tetap. Jumlah PKL dianggap tetap dalam hal ini dikarenakan ada kecenderungan jumlah PKL tidak lagi bertambah, bahkan aktivitasnya sudah mulai menurun (banyak lapak yang sudah mulai dikosongkan). Kemudian apabila pada kasus selanjutnya ditemukan fenomena kecenderungan kenaikan jumlah PKL, maka untuk menjawab pertanyaan kapan keberadaan PKL di ruang manfaat KKJS ini dianggap mengganggu kinerja jalan akses KKJS adalah dengan pemenuhan kriteria sebagai berikut (keberadaan PKL di rumaja jalan akses KKJS dianggap sudah menggangu kinerja jalan apabila (i) Derajat kejenuhan jalan akses KKJS sudah mencapai ≥ 0,75 (MKJI 1997). Ini berarti bahwa volume kendaraan yang melewati jalan akses KKJS sudah mendekati kapasitas jalan yang direncanakan. Dalam hal ini akan muncul kepadatan kendaraan yang cukup tinggi dan berdampak pada penurunan kecepatan rata-rata kendaraan atau dapat dikatakan lalu lintas dalam kondisi macet (ii) akumulasi parkir di rumaja memunculkan hambatan samping dengan kelas rata-rata tinggi. Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, saat ini hambatan samping dengan kelas rata-rata tinggi dapat terjadi di rumaja jalan akses KKJS hanya pada kondisi hari libur (weekend) di jam terpadat (peak hour) saja, (iii) tingkat kepadatan PKL di rumaja. (lihat tabel 7) Dalam pengkajian ini tidak dilakukan pengukuran terhadap tingkat kepadatan PKL di rumaja jalan akses KKJS, akan tetapi kepadatan PKL di rumaja Tabel 7. Prediksi Kelas hambatan samping Jalan Akses KKJS 5 tahun mendatang (II) Kinerja Ruas Jalan Hari Pengamatan
Arah
Kelas Hambatan Samping
PHV
DS
Frekuensi Bobot Kejadian
Kelas
SurabayaMadura
1148
0.299
90
Rendah
MaduraSurabaya
1103
0.287
81
Rendah
SurabayaMadura
2000
0.521
139
Rendah
MaduraSurabaya
1891
0.493
134
Rendah
Kamis
Minggu
Sumber: Balai Sosekling Jatan, 2011
62
tersebut dapat diukur dari luasan rumaja yang digunakan oleh PKL berbanding dengan luas rumaja secara keseluruhan. Semakin nilai kepadatan tersebut mendekati nilai 1 (satu) maka itu berarti kepadatan PKL semakin tinggi dan tentunya ruang bebas yang dapat digunakan oleh kendaraan untuk parkir akan semakin berkurang. Jika nilai kepadatan tersebut dikaitkan dengan akumulasi jumlah parkir, maka dapat dianalisis ketersediaan ruang bebas untuk kendaraan parkir di rumaja. Apabila dalam satu kondisi ketersediaan ruang bebas untuk parkir ini tidak ada/tidak memenuhi, maka keberadaan PKL di rumaja KKJS sudah dapat dikatakan mengganggu.
KESIMPULAN
Berdasarkan pada penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan PKL di Rumaja Jalan Akses KKJS dinilai belum menganggu kelancaran lalu lintas di jalan akses KKJS karena kinerja akses jalan belum mencapai titik kritis (DS maks = 0,399). Demikian pula apabila diproyeksikan sampai 5 (lima) tahun ke depan, hasil kinerja jalan akan tetap dalam kondisi baik, hal ini jika diasumsikan bahwa jumlah PKL tetap.
Namun demikian, berdasarkan pengukuran kelas hambatan samping yang terjadi karena parkir kendaraan di rumaja jalan akses KKJS, pada kondisi tertentu dapat muncul hambatan samping dengan kelas sangat tinggi. Pada hasil survei menunjukkan kelas hambatan sangat tinggi ini terjadi pada hari libur saat peak hour, sehingga apabila ditinjau dari aspek legal dan keselamatan jalan, hal tersebut dapat membahayakan pengguna jalan dan berpotensi menimbulkan kejadian kecelakaan. Oleh karena itu, perlu ada perhatian terhadap pengaturan dan pengelolaan parkir kendaraan yang dilakukan di rumaja jalan akses KKJS saat ini. Perlu pula dipikirkan penempatannya PKL di kemudian hari misalnya di rest area yang dirancang dengan mempertimbangkan kepentingan semua pihak termasuk para pelaku usaha kaki lima.
DAFTAR PUSTAKA
[Balai Sosekling Jatan]. Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan bidang Jalan dan Jembatan Kementerian Pekerjaan Umum. 2011. Laporan Akhir Pengkajian Dampak Sosial Lingkungan akibat Pembangunan Jembatan Suramadu. Surabaya.
Budi, Ari Sulistiyo. 2006. Kajian Lokasi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Preferensi PKL Serta Persepsi Masyarakat Sekitar Di Kota Pemalang.
Pengaruh Keberadaan Pedagang Kaki Lima pada Fungsi Ruang Manfaat Jalan Kawasan Kaki Jembatan Suramadu Arvian Zanuardi dan Ahsan Asjhari Semarang: Program Pasca Sarjana Magister Pembangunan Wilayah Dan Kota, Universitas Diponegoro.
Chomaedhi, M. Khoiri dan Machsus. 2007. Kajian Tanah Ekspansif, Jalan Akses Jembatan Suramadu Sisi Madura. Jurnal APLIKASI 3(1).
Dewanto, Bambang. 2003. Pengaruh Hambatan Samping Terhadap Kinerja Jalan Merdeka di Depan Terminal Cimone Kota Tangerang. Semarang: Program Pasca Sarjana Magister Teknik Pembangunan Kota, Universitas Diponegoro.
Dewi, Dina Pramita. 2008. Analisa Probabilitas Pengguna Jembatan Suramadu dan Kapal Ferry pada Rute Surabaya-Madura. Surabaya: Program Magister Bidang Keahlian Manajemen Dan Rekayasa Tranportasi, Institut Teknologi Sepuluh November.
Marpaung, Panahatan. 2005. Analisis Hambatan Samping Sebagai Akibat Penggunaan Lahan Sekitarnya terhadap Kinerja Jalan Juanda di Kota Bekasi. Semarang: Program Pasca Sarjana Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan.
Putro, Saptono. 2009. Pemodelan Tingkat Pelayanan (Level Of Service) Berbasis Sistem Informasi Geografis Untuk Mengurangi Kemacetan Lalu Lintas Kota Semarang. Jurnal Geografi 6(2).
Setijadji, Aries. 2006. Studi Kemacetan Lalu Lintas Jalan Kaligawe Kota Semarang. Semarang: Program Pasca Sarjana Magister Teknik Pembangunan Kota, Universitas Diponegoro.
Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia. 1997. Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI).
63
64
INDEKS INDEKS PENGARANG Ahsan Asjhari, 35, 55 Aris Prihandono, 1
Arvian Zanuardi, 33, 55
Bambang Sudjatmiko, 45
Bastin Yungga Angguniko, 23 Dwi Rini Hartati, 33 Ratih Putri R, 15
Retta Ida Lumongga, 45 INDEKS SUBJECT B
Bambu laminasi, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22 Berbasis masyarakat, 23, 24, 30, 31 C
Capital, 23, 25, 30, 31 Clustering, 33, 35, 37 D
Dampak kebijakan, 45, 46, 47, 52 Distance, 33, 35, 36, 37, 39 E
Etnis, 1, 2, 4, 5, 12 G
Green building, 1, 12, 16 H
Hambatan samping, 55, 56, 57, 58, 60, 61, 62 Harmoni, 1, 2, 12
Hutan, 6, 7, 15, 16, 18, 21, 22 I
Index, 29, 37
Indikator non-income, 33, 34 Indonesia timur, 1, 3, 56
Inovasi teknologi, 4,12,15,16,18,21 J
Jawa Barat, 3
Jembatan Suramadu, 33, 34, 35, 37, 38, 39, 41, 42, 43, 56, 57,58, 59, 60, 61, 62 K
Kabupaten Touna, 3,4
Kawasan Kaki Jembatan Suramadu, 33, 34, 37, 38, 39, 41, 42, 55 Kayu Konstruksi, 15, 18, 21
Kearifan lokal, 1, 2, 3, 4, 6, 10, 11 Keberlanjutan, 17, 23, 24
Keberterimaan, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22
Kelembagaan, 1, 2, 4, 6, 17, 18, 22, 23, 24, 25, 27, 28, 29, 31, 36
Kelompok masyarakat, 23, 27, 31, 45, 49, 50, 51, 52, Kemandirian, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52
Kemiskinan, 23, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 34, 35
Kesejahteraan masyarakat, 18, 22, 23, 24, 25, 26, 31, 33, 34, 35, 36, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 45, 46, 48, 52 Kinerja jalan, 55, 56, 58, 60, 61, 62 Kinerja ruas jalan, 58, 59, 60
Konversi, 15, 17, 18, 20, 37, 38, 39 L
lingkungan hidup, 2, 15, 20 M
Madura, 33, 34, 35, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61 Mikrohidro, 23, 24, 25, 27, 28, 29, 30, 31 MKJI, 58, 60, 62 Moneter, 35
Multi Sektor, 48 P
Papua, 1, 3
Pedagang Kaki Lima, 55, 56
Pembangunan jalan tol, 45, 46, 47, 48, 49, 51, 52 Pembebasan lahan, 45, 46, 48, 49, 50, 51 Pemetaan, 33, 34, 35, 36, 38, 41, 42 Permukiman, 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8,10
Persepsi, 23, 24, 28, 29, 31, 45, 46, 48, 49, 50, 51, 52, 53 Perumahan, 1, 2, 3, 4, 6, 7, 9, 10, 11, 12 R
Ruang Manfaat Jalan, 55, 56, 57 S
Sulawesi Tengah, 1, 3, 4, 9 T
Tana Toraja, 3, 4, 6, 7
Teknologi, 1, 2, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 15,16, 17, 18, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 29, 30, 31, 47, 50 Ternate, 2, 3, 6,
Tradisional, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12
65