Jurnal Geografi Media Informasi Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian STATUS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI DESA SIDODADI KECAMATAN PADANG CERMIN KABUPATEN PESAWARAN PROVINSI LAMPUNG Mukhlisi¹, I.B. Hendrarto², Hartuti Purnaweni³ ¹Mahasiswa Program Magister Ilmu Lingkungan UNDIP, Semarang ²Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDIP, Semarang ³Mahasiswa Program Studi Ilmu Lingkungan UNDIP, Semarang Info Artikel ________________ Sejarah Artikel: Diterima November 2013 Disetujui Desember 2013 Dipublikasikan Januari 2014
________________ Keywords: Mangrove, sustainability index and status, multidimensional scaling (MDS), sidodadi ___________________
Abstract This research was aimed to analyze sustainability of mangrove forest management at Sidodadi village. Sustainability analysis was conducted by the method of multidimensional scaling (MDS) approach with Rap-Simaforest techniques (rapid appraisal index sustainable for the Sidodadi mangrove forest). The result of study showed that multidimensions management sustainability was in moderate sustainable status or it sustainability index was 55,63%. Meanwhile, that ecological and economics dimension has low sustainable status. Both social and legal-institutional dimensions have moderate sustainable status. The results of leverage analysis indicated that 15 out of 33 indicators were categorized as sensitivity indicators affected sustainability of mangrove management at Sidodadi village. These sensitive indicators should be involved in increasing sustainability index in the future. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menentukan status keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove di Desa Sidodadi. Metode penelitian dengan menggunakan multidimensional scaling (MDS) dengan pendekatan Rap-Simaforest (rapid appraisal index sustainable for the Sidodadi mangrove forest). Hasil penelitian menunjukkan bahwa status keberlanjutan multidimensi pengelolaan hutan mangrove di Desa Sidodadi adalah cukup berkelanjutan dengan nilai indeks 55,63%. Sementara itu, status keberlanjutan masing-masing dimensi menunjukkan jika pada dimensi ekologi dan ekonomi berada pada kategori status kurang berkelanjutan. Sementara itu, pada dimensi sosial serta hukum dan kelembagaan berada pada kategori status cukup berkelanjutan. Hasil analisis leverage (sensitivitas) menunjukkan bahwa dari 33 indikator pengelolaan terdapat 15 indikator termasuk sensitif dalam mempengaruhi status keberlanjutannya. Untuk meningkatkan status keberlanjutan di masa depan maka setiap indikator yang sensitif perlu dilakukan intervensi dengan cara memperbaiki kinerja indikator yang kurang baik.
© 2014 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung C1 Lantai 1 FIS Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
58
Jurnal Geografi Volume 11 No. 1 Januari 2014: 58-70
lokal, terjadinya reformasi dan berlakunya
PENDAHULUAN
sistem Pembangunan
yang
berkelanjutan
desentralisasi
menyebabkan
kekuasaan
paradigma
pertumbuhan
merupakan sebuah konsep yang lahir dari
ekonomi semakin menguat di daerah
keprihatinan masyarakat dunia terhadap
sehingga
kerusakan
pembangunan berkelanjutan.
lingkungan
akibat
ekstraksi
sumberdaya alam berlebih. Konsep ini
kerap
mengabaikan
prinsip
Sidodadi merupakan salah satu desa
menghendaki pembangunan jangka panjang
di
untuk memenuhi kebutuhan generasi saat
ekstraksi sumberdaya mangrove cukup
ini tanpa mengurangi kemampuan generasi
tinggi. Menurut Pemkab Pesawaran (2011)
mendatang untuk memenuhinya (WCED,
hal tersebut terutama disebabkan oleh alih
1987). Sejak deklarasi Stockholm tahun
fungsi hutan mangrove untuk kegiatan
1972 dalam UN Conference on Human
budidaya tambak serta pariwisata. Saat ini
Environment sampai Konferensi Rio+20
luas hutan mangrove yang masih tersisa
konsep pembangunan berkelanjutan telah
adalah 27,38 ha atau 46,3% dari 60 ha luas
berusaha untuk diimplementasikan oleh
total
berbagai
dilaporkan sebelumnya (Rahmayanti, 2009;
negara
di
dunia
termasuk
Indonesia.
Lampung
hutan
yang
mangrove
mengalami
yang
pernah
Idram, 1999). Padahal, untuk mencapai
Implementasi konsep pembangunan berkelanjutan
Teluk
hutan
diperlukan proporsi luas hutan mangrove
mangrove memiliki tantangan tersendiri.
minimal 70% dibandingkan luas total
Interaksi antara aktivitas sosial ekonomi,
pemanfaatan
tata
seluruhnya (Nur, 2002). Alih fungsi hutan
ruang,
menyebabkan
pada
pengelolaan
daya dukung lingkungan secara alami
dan
kependudukan
permasalahan
lingkungan
mangrove
kawasan
di
Desa
mangrove
Sidodadi
pada kawasan pesisir menjadi semakin
menimbulkan
meningkat (Damai, 2012). Samekto (2005)
lingkungan
menguraikan bahwa perubahan tatanan
terjadinya intrusi air laut dan kejadian
sosial baik dalam skala global maupun
malaria karena keberadaan bekas tambak
lokal
daya
yang tidak beroperasi menjadi tempat
implementasi dari konsep pembangunan
perindukan nyamuk Anopheles sp. (Idram,
berkelanjutan itu sendiri. Dalam konteks
1999). Dalam upaya mewujudkan konsep
telah
mempengaruhi
penurunan
telah
seperti
ditandai
kualitas dengan
59
Jurnal Geografi Volume 11 No. 1 Januari 2014: 58-70
pembangunan
berkelanjutan
pada
Penelitian
ini
status
bertujuan
untuk
pengelolaan hutan mangrove di Desa
menentukan
Sidodadi maka perlu dilakukan analisis
indikator-indikator
terhadap status keberlanjutannya. Hal ini
berpengaruh
dan
penting dilakukan agar dapat dijadikan
mangrove di Desa Sidodadi Kecamatan
sebagai dasar dalam merumuskan strategi
Padang
kebijakan yang akan diimplementasikan
Provinsi Lampung.
sensitif
dalam
Cermin
keberlanjutan
yang
pengelolaan
Kabupaten
hutan
Pesawaran
dalam pengelolaan ke depannya. Lebih lanjut,
pengetahuan
mengenai
status
METODE PENELITIAN
keberlanjutan akan lebih mempermudah dalam
upaya
memperbaiki
kinerja
Penelitian ini dilaksanakan di Desa
indikator-indikator yang sensitif dalam
Sidodadi,
mendukung pengelolaan hutan mangrove
Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung
secara lebih berkelanjutan.
pada bulan Mei tahun 2013. Peta lokasi
Penelitian
mengenai
status
Kecamatan
Padang
Cermin,
penelitian disajikan pada Gambar 1.
keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove
Studi
ini
menggunakan
empat
di Desa Sidodadi sampai saat ini belum
dimensi pengelolaan hutan mangrove, yaitu
pernah dilaporkan sebelumnya. Berkaitan
ekologi
dengan hal tersebut, Kavanagh dan Pitcher
indikator), sosial (8 indikator), serta hukum
(2004) serta Fauzi dan Anna (2005)
dan kelembagaan (7 indikator). Penentuan
menjelaskan
status
indikator mengacu kepada modifikasi dari
sumberdaya
LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia) dan
alam dapat dilakukan secara cepat (rapid
peneliti terdahulu (Pattimahu et al., 2010;
appraisal)
Marhayudi,
keberlanjutan
bahwa
penilaian
pengelolaan
berdasarkan
analisis
(10
indikator),
2006),
ekonomi
serta
(8
berdasarkan
multidimensional scaling (MDS). Metode
pertimbangan setelah dilakukan observasi
ini juga pernah dilaporkan untuk menilai
kondisi di lapangan. Data dikumpulkan
keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove
dengan beberapa metoda , yaitu: (1)
di Seram Barat (Pattimahu et al, 2010),
penelusuran dokumen/kajian pustaka, (2)
hutan
observasi terhadap kondisi biofisik serta
perbatasan
Kalimantan
Barat
(Marhayudi, 2006), dan Daerah Aliran
sosial
ekonomi
Sungai Ciliwung Hulu (Suwarno, 2011).
penelitian,
(3)
masyarakat inventarisasi
di
lokasi kondisi
60
Jurnal Geografi Volume 11 No. 1 Januari 2014: 58-70
vegetasi mangrove, serta (4) wawancara
Kabupaten Pesawaran, 2 orang aparat Desa
terstruktur. Responden dipilih secara acak
Sidodadi, 2 orang pengurus aktif Papeling
terpilih terdiri dari 45 orang masyarakat
(Paguyuban Pecinta Lingkungan) Desa
Desa Sidodadi, 2 orang pegawai Dinas
Sidodadi, 1 orang pembudidaya KJA
Kehutanan Kabupaten Pesawaran, 2 orang
(Keramba Jaring Apung), dan 1 orang
pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan
pembudidaya tambak udang.
Gambar 1. Peta Administrasi Lokasi Penelitian Data
kemudian
dianalisis
analisis
dengan
teknik
ordinasi
menggunakan MDS Dengan pendekatan
multidimensional scaling (MDS). Pada
Rap-Simaforest
merupakan
tahap ini, skor setiap indikator digunakan
modifikasi dari analisis Rapfish (Kavanagh
untuk menentukan status keberlanjutan
dan Pitcher, 2004). Proses analisis dimulai
pengelolaan hutan mangrove di Desa
dengan melakukan identifikasi dan skoring
Sidodadi terhadap dua titik acuan, yaitu
setiap indikator pada seluruh dimensi
baik dan buruk. Untuk memudahkan proses
pengelolaan
ordinasi
hutan
yang
mangrove.
Setiap
digunakan
perangkat
lunak
indikator diberikan nilai skor dalam skala
Rapfish. Kategori status keberlanjutan,
mulai dari 1-4 yang diartikan dari keadaan
selanjutnya ditetapkan berdasarkan nilai
buruk sampai baik. Selanjutnya, dilakukan
indeks yang dihasilkan, yaitu x < 25 (tidak
61
Jurnal Geografi Volume 11 No. 1 Januari 2014: 58-70
berkelanjutan); 25≤ x ≤ berkelanjutan); 50 ≤
50 (kurang
x ≤
HASIL PENELITIAN
75 (cukup
berkelanjutan); dan 75 ≤
x ≤
100
Status Keberlanjutan Pengelolaan
(berkelanjutan).
Berdasarkan
Untuk menentukan indikator yang sensitif
atau
memberikan
pengaruh
hasil
analisis
MDS
didapatkan bahwa status keberlanjutan multidimensi pengelolaan hutan mangrove
terhadap keberlanjutan maka dilakukan
di
analisis
berkelanjutan dengan nilai indeks 55,63%.
sensitivitas
(leverage).
Pada
Desa
Sidodadi
Namun
ditunjukkan dengan nilai root mean square
keberlanjutan dari masing-masing dimensi
(RMS) yang tinggi yaitu dengan nilai di
maka dapat dinyatakan bahwa dimensi
atas
skala
ditinjau
RMS.
Setiap
ekologi dan ekonomi masuk ke dalam
sensitif
akan
status kurang berkelanjutan. Sementara itu,
mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan.
dimensi sosial beserta dimensi hukum dan
Selanjutnya,
kelembagaan kedua-duanya memiliki status
perubahan
pada
jika
cukup
analisis tersebut indikator-indikator sensitif
50%
demikian,
adalah
indikator
tahap
terakhir
dilakukan
analisis Monte Carlo untuk mengevaluasi pengaruh
kesalahan
atas
proses
ordinasi MDS yang dilakukan (Kavanagh
cukup berkelanjutan. Posisi nilai indeks keberlanjutan
masing-masing
dimensi
dapat dilihat pada Gambar 2.
dan Pitcher, 2004).
Gambar 2. Diagram Layang-layang Indeks Keberlanjutan Multidimensi
62
Jurnal Geografi Volume 11 No. 1 Januari 2014: 58-70
Bila dibandingkan dengan lokasi lain
saja
(BPMP
Desa
Sidodadi,
2012).
maka indeks dan status keberlanjutan
Rendahnya indeks dan status keberlanjutan
multidimensi pengelolaan hutan mangrove
pada dimensi ekonomi ini sama dengan
di Desa Sidodadi terlihat lebih tinggi. Hasil
dengan hasil penelitian Pattimahu et al.
penelitian Pattimahu et al. (2010) di hutan
(2010). Namun demikian, hal tersebut
mangrove Seram Barat mendapatkan nilai
bukan disebabkan oleh rendahnya populasi
indeks
kurang
masyarakat yang memanfaatkan namun
berkelanjutan sedangkan penelitan Bohari
lebih disebabkan keterlibatan berbagai
et al. (2008) di pesisir Kota Makassar
stakeholder yang minim dan ketiadaan
mendapatkan nilai indeks 41,09%
zonasi. Di lain pihak, ekstraksi sumberdaya
status
36,08%
kurang
atau
status
berkelanjutan
atau juga.
mangrove
di
Seram
Barat
tidak
Perbedaan ini diantaranya dapat disebabkan
menyebabkan tekanan terhadap dimensi
oleh pilihan penggunaan dimensi dan
ekologi di mana hal ini ditunjukkan dengan
indikator yang disesuaikan dengan kondisi
nilai indeks keberlanjutan yang cenderung
permasalahan eksisting setempat sehingga
tetap tinggi
menghasilkan nilai indeks yang berbeda.
dimensi
Menurut Susilo (2003) dalam penilaian
memiliki nilai indeks 41,55% atau kurang
status keberlanjutan bukan hanya pada
berkelanjutan.
yaitu 79,95%, sementara
ekologi
di
Sidodadi
hanya
pengelompokan dimensi pengelolaan tetapi bagaimana setiap dimensi dapat mencakup
Indikator Sensitif pada Dimensi Ekologi
indikator seluas mungkin. Berdasarkan
Berdasarkan
analisis
leverage
pada Gambar 2 terlihat jika dimensi
(sensitivitas) seperti terlihat pada Gambar 3
ekonomi merupakan satu-satunya dimensi
terdapat tiga indikator termasuk kategori
dengan nilai indeks keberlanjutan terendah.
sensitif
Hal ini mengindikasikan bahwa kontribusi
keberlanjutan pada dimensi ekologi yaitu:
manfaat ekonomi langsung yang dihasilkan
(1) keberhasilan rehabilitasi, (2) proporsi
juga rendah. Secara tidak langsung hal ini
luas
berkaitan erat dengan rendahnya populasi
kawasan budidaya, serta (3) komposisi
masyarakat sekitar yang memanfaatkan
jenis mangrove. Hal tersebut ditunjukkan
mangrove seperti ditandai dengan kecilnya
dengan nilai pada skala RMS > 50% atau
populasi masyarakat nelayan yaitu 49 orang
memiliki nilai > 4. Setiap perubahan yang
dalam
hutan
mempengaruhi
mangrove
status
dibandingkan
63
Jurnal Geografi Volume 11 No. 1 Januari 2014: 58-70
terjadi pada indikator-indikator kategori
mempengaruhi status keberlanjutan pada
sensitif
dimensi ekologi.
secara
langsung
dapat
Gambar 3. Hasil Analisis Leverage (Sensitivitas) Indikator pada Dimensi Ekologi Munculnya
indikator
sensitif
disebabkan pada pemahaman dan prinsip
keberhasilan rehabilitasi mangrove dan
ekologi
proporsi
luas
yang
kurang.
Untuk
itu,
hutan
mangrove
rehabilitasi tidak harus selalu dengan
kawasan
budidaya
penanaman, namun dapat juga dengan
disebabkan indikator-indikator tersebut
menilai peluang pemulihan secara alami
tidak berada pada kondisi yang baik.
serta
Berdasarkan keterangan ketua Papeling
lingkungan mendukung untuk terjadi
(Paguyuban Pencinta Lingkungan, 2013)
suksesi secara alami.
dibandingkan
disebutkan
bahwa
persentase
memfasilitasi
agar
kondisi
Indikator sensitif lain yaitu proporsi
pertumbuhan tanaman rehabilitasi dalam
luas
kurun waktu tiga tahun terakhir hanya <
kawasan
50%.
perbandingan 46,3%:54,7% dan masih
Penyebab
ketidakberhasilan
hutan
mangrove
budidaya
dimana
dianggap
penguasaan teknologi rehabilitasi yang
menjelaskan bahwa proporsi ideal luas
kurang, serta tidak adanya monitoring
hutan
dan perawatan secara berkala terhadap
budidaya tambak paling tidak adalah
bibit yang telah ditanam. Bosire et al.
70%:30% untuk memenuhi daya dukung
(2008)
mangrove
ideal.
Nur
memiliki
rehabilitasi ini kemungkinan besar akibat
rehabilitasi
belum
dibandingkan
dengan
(2002)
kawasan
menyebutkan
kegagalan
lingkungan secara alami. Selanjutnya,
mangrove
umumnya
untuk
indikator
komposisi
jenis
64
Jurnal Geografi Volume 11 No. 1 Januari 2014: 58-70
mangrove telah berada pada kondisi baik
sumberdaya mangrove dan perikanan
ditandai dengan teridentifikasinya 22
hanya memiliki kontribusi sebesar 13%
jenis mangrove di lokasi penelitian. Bila
dari total keseluruhan pendapatan bruto
dibandingkan dengan hasil penelitian
desa. Kontribusi ini jauh lebih rendah
Soeroyo dan Suyarso (2000) jenis ini
bila
lebih banyak karena sebelumnya hanya
dibandingkan dengan sektor lain
teridentifikasi 3 jenis pada lokasi yang
terutama perkebunan yang mencapai
sama.
secara
68,29% (BPMP Desa Sidodadi, 2012).
keseluruhan pada wilayah pesisir Teluk
Hal ini berkaitan erat dengan preferensi
Lampung
memiliki
profesi masyarakat setempat yang lebih
keanekaragaman jenis mencapai 27 jenis.
memilih sebagai petani dibandingkan
Namun
demikian,
setidaknya
nelayan. Indikator
Sensitif
pada
Industri
Dimensi
pengolahan
dan
penampungan tidak dijumpai di kawasan
Ekonomi Hasil analisis sensitivitas (Gambar
ini
sehingga
komoditas
perikanan
4) menunjukkan jika indikator-indikator
tangkap atau budidaya cenderung tidak
yang
memiliki nilai tambah secara ekonomi.
sensitif
keberlanjutan
mempengaruhi
pengelolaan
hutan
Selanjutnya,
indikator
zonasi
mangrove di Desa Sidodadi meliputi a)
pemanfaatan mangrove belum tersedia.
kontribusi terhadap pendapatan bruto
Menurut Damai et al. (2011) salah satu
desa,
penyebab kerusakan lingkungan pesisir
b)
populasi
penduduk
yang
memanfaatakan sumberdaya mangrove
Teluk
sebagai
c)
disebabkan tidak adanya zonasi. Oleh
d)
sebab itu, indikator-indikator di atas
mata
ketersediaan
pencaharian,
industri
pengolahan,
Lampung
harga produk komoditas sumberdaya
perlu
mangrove,
meningkatkan
dan e) ketersediaan zonasi
pemanfaatan.
terhadap antaranya
indikator
sumberdaya pendapatan disebabkan
sensitif mangrove
bruto
desa
perbaikan
indeks
keberlanjutannya.
Munculnya kontribusi
dilakukan
diantaranya
dan
Sementara
adalah
untuk status itu,
indikator harga komoditas merupakan satu-satunya
indikator
pada
dimensi
di
ekonomi yang berada pada kategori
pemanfaatan
cukup baik sehingga perlu dipertahankan.
65
Jurnal Geografi Volume 11 No. 1 Januari 2014: 58-70
Menurut keterangan masyarakat nelayan,
Dengan arti lain, harga yang terbentuk
harga komoditas yang dihasilkan dari
sesuai mekanisme pasar yang berlaku
sumberdaya
atas dasar permintaan dan penawaran
mangrove
terutama
perikanan berada pada kategori normal.
tanpa ada monopoli.
Gambar 4. Hasil Analisis Leverage (Sensitivitas) pada Dimensi Ekonomi pengetahuan masyarakat tentang fungsi
Indikator Sensitif pada Dimensi Sosial Berdasarkan hasil analisis sensitivitas
hutan mangrove, (2) persepsi terhadap
(Gambar 5) diketahui 3 indikator termasuk
keberadaan hutan mangrove, serta (3)
kategori sensitif (berpengaruh). Indikator-
tingkat pendidikan masyarakat. Indikator
indikator yang termasuk sensitif dalam
sensitif terdiri dari pengetahuan
mempengaruhi
keberlanjutan
persepsi
sosial
sebagai
adalah
dimensi
berikut:
dan
masyarakat.
(1)
Gambar 5. Hasil Analisis Leverage (Sensitivitas) pada Dimensi Sosial
66
Jurnal Geografi Volume 11 No. 1 Januari 2014: 58-70
Indikator sensitif berupa pengetahuan masyarakat terhadap
dan hutan
persepsi mangrove
Rendahnya tingkat pendidikan ini secara
masyarakat
tidak langsung dapat berimplikasi terhadap
memiliki
keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove
pengaruh positif dan hasil skoring telah
di
berada pada posisi baik sehingga perlu
peningkatan taraf pendidikan formal masih
dipertahankan
ke
diperlukan. Dengan kualitas SDM yang
depannya. Pengetahuan masyarakat tentang
memadai diharapkan akan memberikan
fungsi
mangrove
kontribusi positif terhadap pembangunan
umumnya diperoleh melalui pengalaman
berkelanjutan, khususnya pada pengelolaan
dan informasi dari kegiatan penyuluhan
lingkungan hutan mangrove.
dan
atau
ditingkatkan
manfaat
hutan
Desa
Sidodadi.
Untuk
itu,
perlu
yang dilakukan oleh berbagai pihak seperti perguruan tinggi, LSM maupun petugas
Indikator Sensitif pada Dimensi Hukum
penyuluh
dan Kelembagaan
lapangan
(PPL).
Kejadian
bencana tsunami di Aceh tahun 2004
Berdasarkan
analisis
sensitivitas
merupakan salah satu alasan yang paling
(Gambar 6) diperoleh 4 indikator yang
banyak
masyarakat
sensitif dalam mempengaruhi keberlanjutan
setempat mengenai pentingnya fungsi fisik
dimensi hukum dan kelembagaan yang
dari keberadaan hutan mangrove. Hal ini
meliputi (1) konsistensi penegakan hukum,
sejalan
persepsi
(2) peraturan pengelolaan hutan mangrove
masyarakat terhadap hutan mangrove di
(3) koordinasi antar lembaga, serta (4)
mana
frekuensi konflik.
diungkapkan
dengan
berdasarkan
menunjukkan
jika
oleh
indikator
hasil
wawancara
86,67%
responden
Indikator sensitif berupa konsistensi
menginginkan keberadaan hutan mangrove
penegakan
perlu dilestarikan sebagai sabuk hijau
kinerjanya. Berdasarkan hasil wawancara
(green belt).
64,44%
Tingkat pendidikan masyarakat Desa
hukum
responden
konsistensi
pelu
diperbaiki
menganggap
penegakan
hukum
jika terkait
Sidodadi saat ini belum berada pada posisi
pengelolaan hutan mangrove masih buruk.
yang baik. Setidaknya sebanyak 56,33%
Hal ini diantaranya disebabkan pengalaman
masyarakat Desa Sidodadi dengan umur >
kegiatan
18 tahun hanya mampu menamatkan
penebangan
maksimal sampai pendidikan dasar saja.
dilakukan baik oleh pengusaha tambak
pelanggaran mangrove
hukum
berupa
yang
pernah
67
Jurnal Geografi Volume 11 No. 1 Januari 2014: 58-70
maupun masyarakat lain terutama pada
juga
masa lampau. Selanjutnya, saat ini terdapat
frekuensi konflik dimana sampai saat ini
aktivitas pencarian cacing merah oleh
suasana kondusif tetap berlangsung karena
warga luar desa untuk dijual sebagai pakan
tidak ada konflik terkait pemanfaatan hutan
tambahan pada tambak udang. Teknik
mangrove seperti pada kawasan lainnya.
pencarian
Pemda
dilakukan
terutama
dengan
perlu
dilakukan
Provinsi
pada
Lampung
indikator
(2000)
penebangan sehingga merusak lingkungan
melaporkan jika kawasan pesisir Teluk
mangrove namun belum ada tindakan
Lampung sebenarnya merupakan kawasan
tegas. Sementara itu,
yang menyimpan potensi konflik terkait
indikator
bila dilihat dari
ketersediaan
peraturan
penggunaan bom ikan dan pemakaian trawl
pengelolaan hutan mangrove telah berada
illegal.
pada posisi skor yang baik. Saat ini
memunculkan persaingan antar nelayan
peraturan
terkait
dalam memperebutkan daerah penangkapan
mangrove
telah
lengkap.
Hanya
pengelolaan banyak
dan
saja
hutan tersedia
Kondisi
tersebut
dapat
akibat degradasi lingkungan.
implementasi
kebijakan peraturan tersebut yang kurang
KESIMPULAN
maksimal. Indikator koordinasi
sensitif
antar
lainnya
lembaga
juga
berupa telah
Status
keberlanjutan
multidimensi
pengelolaan hutan mangrove di Desa
memiliki skor yang baik. Menurut ketua
Sidodadi
Papeling (Paguyuban Pecinta Lingkungan,
Sementara itu, status keberlanjutan masing-
2013) bahwa saat ini kegiatan koordinasi
masing dimensi menunjukkan jika pada
antar lembaga telah berjalan dengan baik,
dimensi ekologi dan ekonomi berada pada
seperti dengan Dinas Kehutanan, Dinas
kategori
Kelautan dan Perikanan, BPDAS Way
Selanjutnya, pada dimensi sosial serta
Seputih
Balai
hukum dan kelembagaan berada pada
Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM)-II,
kategori status cukup berkelanjutan. Hasil
serta dengan LSM dan perusahaan BUMN
analisis leverage (sensitivitas) terdapat 15
seperti PTPN VII dalam kegiatan bina
indikator yang termasuk sensitif dalam
lingkungan. Dengan demikian, indikator ini
mempengaruhi keberlanjutannya.
Way
Sekampung,
perlu dipertahankan kinerjanya. Hal serupa
adalah
status
Kajian
cukup
kurang
terhadap
berkelanjutan.
berkelanjutan.
daya
dukung
68
Jurnal Geografi Volume 11 No. 1 Januari 2014: 58-70
lingkungan hutan mangrove untuk berbagai bentuk pemanfaatan perlu dilakukan untuk menentukan zonasi pemanfaatan ruang dimana batas-batasnya disepakati bersama sehingga
pola
pemanfaatan
hutan
mangrove dapat bersinergis antar dimensi pembangunan berkelanjutan. Selanjutnya, untuk
meningkatkan
keberlanjutan
pengelolaan hutan mangrove di Desa Sidodadi perlu dilakukan intervensi berupa perbaikan
kinerja
secara
Damai, A.A., M. Boer, Marimin, A. Damar, dan E. Rustiadi. 2011. Analisis Prospektif Partisipatif dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Teluk Lampung. Forum Pascasarjana 34 (4): 281-296.
multidimensi
terutama pada indikator-indikator sensitif yang memiliki pengaruh tinggi terhadap pengelolaan hutan mangrove di Desa Sidodadi.
DAFTAR PUSTAKA Aji, A. 2013. Daya Dukung Kesuburan Tanah Pucuk Sebagai Material Reklamasi Di Tanjung Baru Desa Bakong Kecamatan Singkep Barat Kabupaten Lingga. Jurnal Geografi 9 (2): 1-12. Bosire, J.O., F. Dahdouh-Guebas, M. Walton, B.I. Crona, R.R. Lewis III, C. Field, J.G. Kairo and N. Koedam. 2008. Functionality of Restored Mangroves: A review. Aquatic Botany 89 (2008): 251–259. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa Sidodadi. 2012. Profil Desa Tingkat Desa. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa. Kabupaten Pesawaran. Gedong Tataan.
Fauzi A. dan Anna, 2005. Permodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Fatahilah, M. 2013. Kajian Keterpaduan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Garang Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Geografi 9 (2): 64-81. Idram, N.S.I., M. Sudomo dan Sujitno. 1999. Fauna Anopheles di Daerah Pantai Bekas Hutan Mangrove Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Lampung Selatan. Buletin Penelitian Kesehatan 26 (1): 1-14. Kavanagh, P. and T.J. Pitcher. 2004. Implementing Microsoft Excel Software for Rapfish : A Technique for The Rapid Appraisal of Fisheries Status. University of British Columbia. Fisheries Centre Research Reports 12 (2) ISSN : 1198-672. Canada. Marhayudi, P. 2006. Model Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat. Disertasi. Bogor: IPB. Nur, S.H. 2002. Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove Secara Lestari untuk Tambak Tumpang Sari di Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Disertasi. Bogor: IPB. Pattimahu, D.V., C. Kusmana, H. Hardjomidjojo, dan D. Darusman. 2010. Analisis Keberlanjutan 69
Jurnal Geografi Volume 11 No. 1 Januari 2014: 58-70
Pangelolaan Ekosistem Hutan Mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku. Forum Pascasarjana 33 (4): 239-249. Pemda Provinsi Lampung. Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir Lampung. Kerjasama Pemerintah Daerah Provinsi Lampung dengan Proyek Pesisir Lampung dan PKSPL - IPB. Bandar Lampung. Indonesia.
Ciliwung Hulu Kabupaten Bogor. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 8 (2): 115-131. World Commision on Environmment and Development (WECD). 1987. Our Common Future. United Nations World Commission on Environment and Development. London: Oxford University Press.
Pemkab Pesawaran. 2011. Potensi Kehutanan. http://pesawarankab. go.id. Diakses: 21 Oktober 2012. Rahmayanti, R.A. 2009. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Tesis. Yogyakarta: UGM. Samekto, A. FX. 2005. Pembangunan Berkelanjutan dalam Tatanan Sosial yang Berubah. Jurnal Hukum Progresif 1 (2): 15-30. Soeroyo dan Suyarso. 2000. Kondisi dan Inventarisasi Hutan Mangrove di Kawasan Teluk Lampung. Pesisir dan Pantai V. Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta. Susilo, S.B. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari Kepulauan Seribu DKI Jakarta. Disertasi. Bogor: IPB. Suwarno, J., H. Kartodihardjo, B. Pramudya, dan S. Rachman. 2011. Pengembangan Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan DAS 70