JENIS KUPU-KUPU (PAPILIONOIDEA) POTENSIAL SEBAGAI BIOINDIKATOR KONDISI LINGKUNGAN HUTAN KOTA
SIVA DEVI AZAHRA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Jenis Kupu-Kupu (Papilionoidea) Potensial sebagai Bioindikator Kondisi Lingkungan Hutan Kota adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2016 Siva Devi Azahra NIM 351124031
RINGKASAN SIVA DEVI AZAHRA. Jenis Kupu-Kupu (Papilionoidea) Potensial sebagai Biondikator Kondisi Lingkungan Hutan Kota. Dibimbing oleh BURHANUDDIN MASY’UD dan NOOR FARIKHAH HANEDA. Kupu-kupu (Papilionoidea) merupakan serangga yang memiliki berbagai peran ekologis dalam menjaga keseimbangan ekosistem serta dapat ditemukan di berbagai macam tipe habitat mulai dari kawasan hutan hingga perkotaan. Kawasan perkotaan menunjukkan berbagai gejala penurunan kondisi lingkungan yang diindikasi dapat mengancam keberadaan komunitas biotik pada kawasan tersebut. Kupu-kupu memiliki sensitifitas dan spesifisitas terhadap kondisi lingkungan tertentu sehingga berpotensi sebagai biondikator kondisi lingkungan.Ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan, khususnya hutan kota, berpotensi sebagai habitat kupu-kupu namun kondisinya mengalami berbagai tekanan lingkungan sehingga menunjukkan urgensi untuk dilakukannya pengkajian mengenai hubungan antara kondisi ekologis hutan kota dengan keberadaan kupu-kupu sebagai organisme indikator. Tujuan penelitian ini antara lain: (1) menganalisis variabilitas parameter lingkungan dan komunitas kupu-kupu di berbagai tipe, karakteristik habitat, dan gangguan lingkungan hutan kota, (2) menganalisis hubungan antara karakteristik lingkungan hutan kota dengan komunitas kupu-kupu, (3) menentukan jenis kupukupu yang berpotensi sebagai biondikator kondisi lingkungan hutan kota. Pengambilan data dilakukan pada bulan Oktober 2014 hingga Januari 2015 pada tiga periode (musim hujan, peralihan musim kemarau ke hujan, dan musim hujan) di empat hutan kota di Kotamadya Jakarta Timur yang dipilih berdasarkan kesesuaiannya dengan berbagai tipe hutan kota dan potensi gangguan lingkungan. Pengamatan komunitas kupu-kupu dilakukan dengan metode Pollard Transect sedangkan parameter lingkungan yang diukur terdiri atas suhu udara, kelembapan udara, intensitas cahaya, kecepatan angin, kekayaan jenis tumbuhan pakan, leaf area index, konsentrasi Timbal (Pb), kadar Total Suspended Particulate (TSP), jarak dari jalan raya, serta jarak dari area sumber gangguan. Penelitian ini mengidentifikasi sebanyak 22 jenis kupu-kupu yang terbagi ke dalam 4 famili dengan Eurema hecabe sebagai jenis dengan kelimpahan relatif tertinggi dan ditemukan pada keseluruhan hutan kota dan periode pengamatan. Hutan kota pada kawasan permukiman serta periode pengamatan peralihan memiliki nilai rata-rata parameter komunitas tertinggi. Keanekaragaman jenis kupu-kupu meningkat seiring dengan meningkatnya kekayaan jenis tumbuhan pakan, leaf area index, dan jarak dari area sumber gangguan. Di sisi lain, keanekaragaman jenis menurun seiring dengan meningkatnya intensitas cahaya dan kecepatan angin. Hutan kota dengan potensi gangguan rendah memiliki kekayaan dan keanekaragaman jenis lebih tinggi. Ypthima horsfieldii dan Polyura hebe merupakan jenis spesialis dengan persyaratan parameter lingkungan paling banyak yang mempengaruhinya sehingga keberadaannya menandakan habitat dengan gangguan rendah sedangkan Papilio demoleus merupakan jenis habitat spesifik yang dapat beradaptasi serta menandakan habitat terganggu. Kata kunci: bioindikator, hutan kota, kondisi lingkungan, kupu-kupu.
SUMMARY SIVA DEVI AZAHRA. Potential Bio-indicator Butterfly (Papilionoidea) Species for Urban Forest Environmental Condition. Supervised byBURHANUDDIN MASY’UDandNOOR FARIKHAH HANEDA. Butterfly (Papilionoidea) has many ecological rolesin maintaining ecosystem stability and can be found in a wide variety of habitats from forest to urban areas. Butterfly has sensitivity to and specificity of certain environmental condition, so it can be used as bio-indicator for environmental condition. Urban area shows various environmental degradation that poses threat toward the existence of biotic communities. Urban forest has potential role as butterfly habitat. However, it is facing various environmental problems, whichindicates the urgency of an assessment of relationship between urban forest environmental conditions and the existence of butterflies as bio-indicator. This research was designed to: (1) analyzethe variability of environmental parameters and butterfly communities in a variety of urban forest types, habitat characteristic, and environmental disturbance, (2) analyze the correlation between urban forest environmental characteristic and butterfly communities, (3) determine the potential bio-indicator butterfly species for urban forest environmental condition.The surveys were carried out at four study sites of urban forest in East Jakarta Municipality from October 2014 to January 2015 duringthree different seasons (dry, dry-wet transitional, and wet seasons). The urban forest of this study varied in types and environmental disturbance potency. Butterflies were counted using Pollard transect method, and at each sites, air temperature, humidity, light intensity, wind velocity, food plant species richness, leaf area index, lead (Pb) concentration, total suspended particulate (TSP) level, distance from the highway, and distance from disturbed area were also measured. There were 22 species of butterflies from four families collected from the study sites. Eurema hecabe had the highest relative abundance and can be observed consistently at all habitat types and observation periods. The highest ecological index was found in transitional period and residential neighborhood. Butterfly diversity was increasing with theincreasing degree of food plant species richness, leaf area index, and distance from disturbed area. Meanwhile, butterfly diversity was decreasing with the increasing degree of light intensity and wind velocity. Habitat with low level of disturbance had higher species richness and diversity. Ypthima horsfieldii and Polyura hebe as habitat specialist were indicators species of habitat with low disturbance level, while in contrast, Papilio demoleus was indicator species of habitat with high level of disturbance. Keywords: bio-indicator, butterfly, environmental condition, urban forest.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
JENIS KUPU-KUPU (PAPILIONOIDEA) POTENSIAL SEBAGAI BIOINDIKATOR KONDISI LINGKUNGAN HUTAN KOTA
SIVA DEVI AZAHRA Tesis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Rachmad Hermawan, MScF
PRAKATA Segala puji dan syukur bagi Allah SWT atas segala rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat selesai dengan baik. Tesis ini merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan penulis sejak Oktober 2014 hingga Januari 2015 yang berjudul Jenis Kupu-Kupu (Papilionoidea) Potensial sebagai Bioindikator Kondisi Lingkungan Hutan Kota. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS dan Ibu Dr.Ir. Noor Farikhah Haneda, M.Si selaku komisi pembimbing,beserta Bapak Dr. Ir. Rachmad Hermawan, MScF selaku penguji luar komisi, dan Bapak Dr.Ir Agus Hikmat, MScF selaku ketua sidang. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan Jakarta Timur yang telah memberikan perijinan sehingga penelitian dapat dilaksanakan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tuaku Bapak Ir. Dusanto Kristihono, M.Si dan Ibu Dr. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si, adikku Fadhel Haidar Arrafi, suamiku Catur Wiradityo, S.Hut beserta kedua putriku Amira Sylva Zahraditya dan Sofia Fayza Zahraditya yang telah mencurahkan kasih sayang, doa, motivasi, serta dukungan baik moril maupun materil. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh staf dan pengajar Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika dan Fakultas Kehutanan IPB, rekan-rekan KVT yang telah memberikan banyak bantuan dan dukungan, serta rekan-rekan Kelompok Pemerhati Kupu-kupu “Sarpedon” HIMAKOVA yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian. Akhir kata semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, serta membalas kebaikan dari semua pihak yang telah memberikan doa, bantuan dan dukungannya kepada penulis. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkannya.
Bogor, Desember 2016
Siva Devi Azahra
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 METODE Waktu dan Lokasi Alat dan Bahan Metode Pengambilan Data Metode Analisis Data 3 HASIL Karakteristik Lingkungan Hutan Kota Variabilitias Komunitas Kupu-Kupu pada Lokasi dan Periode Pengamatan yang Berbeda Hubungan antara Karakteristik Lingkungan dengan Komunitas KupuKupu Potensi Kupu-Kupu sebagai Bioindikator Kondisi Lingkungan Hutan Kota 4 PEMBAHASAN Komunitas Kupu-Kupu di Berbagai Tipe, Karakteristik Habitat, dan Gangguan Lingkungan Hutan Kota Hubungan antara Karakteristik Lingkungan dengan Komunitas KupuKupu Jenis Kupu-Kupu Potensial sebagai Bioindikator Kondisi Lingkungan Hutan Kota Implikasi Hasil Penelitian terhadap Upaya Konservasi Kupu-Kupu di Kawasan Perkotaan 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
vi vi vii 1 1 3 4 4 5 5 7 7 9 15 15 22 27 29 35 35 38 44 50 53 53 53 54 62 76
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8
Hutan kota (HK) yang dijadikan lokasi penelitian Kriteria-kriteria jenis indikator Karakteristik lingkungan keempat hutan kota penelitian Korelasi Pearson variabel-variabel lingkungan terhadap komunitas kupukupu Jenis kupu-kupu beserta faktor lingkungan pencirinya Variabel lingkungan dan tingkatan pengaruhnya terhadap keberadaan jenis kupu-kupu Distribusi jenis kupu-kupu di tiap tipe habitat dan potensi gangguan lingkungan Jenis kupu-kupu potensial sebagai bioindikator kondisi lingkungan berdasarkan kesesuaian terhadap kriteria sifat umum dan respon terhadap kondisi lingkungan
6 13 16 28 31 31 32
33
DAFTAR GAMBAR 1 Lokasi penelitian di Kotamadya Jakarta Timur. 2 Hutan kota sebagai lokasi pengamatan: (a) HK Rawa Dongkal, (b) HK PT JIEP, (c) HK Kopassus Cijantung, dan (d) HK UKI Cawang 3 Ilustrasi penggunaan metode Pollard Transect 4 Langkah-langkah prosedur penentuan komunitas indikator 5 Komposisi dan kekayaan jenis tumbuhan di keempat hutan kota penelitian 6 Variasi (a) Leaf Area Index (LAI) dan (b) intensitas cahaya di keempat hutan kota penelitian 7 Variasi (a) suhu udara, (b) kelembapan udara, dan (c) kecepatan angin pada keseluruhan hutan kota dan periode pengamatan 8 Variasi (a) kadar Total Suspended Particulate (TSP) dan (b) konsentrasi timbal (Pb) beserta nilai baku mutunya di keempat hutan kota pengamatan 9 Variasi (a) jarak dari jalan raya dan (b) jarak dari area gangguan di keempat hutan kota pengamatan 10 Variasi (a) jumlah jenis dan (b) kelimpahan individu di keempat hutan kotapengamatan 11 Kurva akumulasi jenis kupu-kupu di keempat tipe hutan kota pada (a) periode musim kemarau, (b) periode peralihan musim kemarau ke musim hujan, dan (c) periode musim hujan 12 Variasi (a) indeks keanekaragaman jenis dan (b) indeks kekayaan jenis di keempat hutan kota pengamatan 13 Variasi (a) indeks kemerataan jenis dan (b) indeks dominansi jenis di keempat hutan kota pengamatan 14 Dendrogam kesamaan komunitas kupu-kupu antar hutan kota pada tiaptiap periode pengamatan 15 Ordinasi triplot Redundancy Analysis (RDA) distribusi jenis kupukupu( ) dengan faktor-faktor lingkungan ( ) di keempat lokasi hutan kota (Ox) pengamatan 16 Kelimpahan relatif keempat jenis kupu-kupu generalis pada gangguan lingkungan rendah hingga tinggi
5 6 8 14 17 19 20 21 27 27
24 25 26 27
30 32
DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta lokasi hutan kota pengamatan berdasarkan sebaran polutan timbal (Pb) 2 Komposisi jenis dan kelimpahan individu kupu-kupu pada keseluruhan hutan kota dan periode pengamatan 3 Frekuensi kehadiran dan kelimpahan relatif kupu-kupu di keempat hutan kota 4 Frekuensi kehadiran dan kelimpahan relatif kupu-kupu pada ketiga periode pengamatan 5 Jenis-jenis tumbuhan pakan yang ditemukan di keempat hutan kota pengamatan 6 Fungsi ekologis tumbuhan pakan yang ditemukan di keemat hutan kota pengamatan 7 Uji normalitas Kolmogorov-Smirnov parameter komunitas kupu-kupu dan parameter lingkungan 8 Analisis varians one ways Anova dan uji lanjut Tukey perbedaan parameter lingkungan dan komunitas kupu-kupu antar hutan kota dan periode pengamatan 9 Analisis Euclidean Distance komunitas kupu-kupu
62 63 64 65 66 68 69
70 75
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kupu-kupu (Lepidoptera: Papilionoidea) merupakan serangga yang memiliki berbagai peran ekologis, diantaranya sebagai bagian dari rantai makanan serta sebagai penyerbuk (pollinator) sehingga keberadaannya turut menentukan keberlangsungan regenerasi tumbuhan serta keseimbangan ekologis suatu ekosistem(Borror et al. 1992; Boonvanno et al. 2000).Kupu-kupu memiliki penyebaran yang luas di seluruh dunia dan sekitar 90 persen diantaranya tersebar di kawasan tropis (Bonebrake et al. 2010). Indonesiamemiliki keanekaragaman jenis kupu-kupu tertinggi kedua setelah Brazil yakni sebanyak 2500 jenis sedangkan Brazil memiliki 3000 jenis kupu-kupu (Peggie 2011). Kupu-kupu memilikisifat kosmopolit sehingga dapat ditemukan mulai dari dataran rendah hingga tinggi serta dari kawasan hutan hingga perkotaan (Braby 2004; Koh dan Sodhi 2004). Berdasarkan sifat-sifat ekologis serta penyebarannya yang luas, kupu-kupu dapat ditemukan di berbagai tipe habitat, termasuk di kawasan perkotaan, diantaranya di hutan kota (Brown dan Freitas 2002). Hutan kota merupakan salah satu jenis ruang terbuka hijau (RTH) di kawasan perkotaan yang berpotensi sebagai sarana konservasi keanekaragaman hayati dengan menyediakan habitat bagi tumbuhan dan satwa (Dwiyer et al. 1992; Sundari 2007). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hutan kota memiliki nilai konservasi yang lebih tinggi dibandingkan kawasan hijau perkotaan lainnya serta merupakan salah satu habitat komunitas kupu-kupu di kawasan perkotaan (Samsoedin dan Waryono 2010; Rahayu dan Basukriadi 2012).Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 Pasal 14 mengkategorikan tipe hutan kota menjadi tipe kawasan permukiman, kawasan industri, tipe rekreasi, pelestarian plasma nutfah, perlindungan, dan pengaman jalan raya.Beragamnya tipe hutan kota serta kondisi lingkungan di sekitarnya membentuk karakteristik habitat hutan kota yang berbeda-beda. Kondisi hutan kota yang berbeda-beda diduga kuat berdampak pada kemungkinan perbedaan keanekaragaman jenis ataupun komunitas kupukupu yang menjadikan setiap tipe habitat hutan kota tersebut sebagai habitatnya. Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan kota dengan populasi penduduk tertinggi di Asia Tenggara, kota terbesar, serta pusat pemerintahan dan kegiatan ekonomi di Indonesia (Silver 2008). Kotamadya Jakarta Timur merupakan salah satu kota administrasi dengan area permukiman terluas serta jumlah penduduk tertinggi di DKI Jakarta (BPS DKI Jakarta 2014). Di sisi lain, data BPLHD tahun 2014 menunjukkan bahwa kotamadya ini memiliki jumlah hutan kota terbanyak yaitu 20 unit hutan kota dengan luas total 147.44 Ha dibandingkan dengan jumlah keseluruhan hutan kota di DKI Jakarta sebanyak 59 unit dengan luas total 674.74 Ha. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa Kotamadya Jakarta Timur memiliki tekanan lingkungan yang tinggi namun memiliki sumberdaya berupa hutan kota yang berperan sebagai sarana konservasi keanekaragaman hayati, khususnya satwaliar pada kawasan perkotaan. Hal tersebut mendasari pentingnya diketahui bagaimana gambaran keanekaragaman komunitas kupu-kupu di berbagai hutan kota di wilayah Kotamadya Jakarta Timur. Tingginya arus urbanisasi dan kegiatan transportasi serta pesatnya pembangunan di bidang industri dan permukiman menyebabkan berbagai
2
permasalahan lingkungan, diantaranya menurunnya luasan ruang terbuka hijau akibat dikonversi menjadi area terbangun serta meningkatnya tekanan lingkungan akibat emisi atau limbah antropogenik, yang berdampak padaterjadinya berbagai gejala penurunan kondisi lingkungan (Joga dan Ismaun 2011).Kondisi tersebut diindikasi dapat menyebabkan perubahan pada komponen-komponen lingkungan pembentuk habitat sehingga mempengaruhiketidakseimbangan ekosistem dan komunitas biotik di dalamnya (Connor et al. 2003). Kualitas udara merupakan komponen habitat yang penting dan dibutuhkan oleh makhluk hidup sehingga penurunan kualitasnyaakibat meningkatnya konsentrasi zat pencemar dapat berdampak langsung dan membahayakan makhluk hidup. Soedomo (2001) mengklasifikasikan sumber pencemar udara menjadi sumber alami dan antropogenik. Sumber pencemar udara DKI Jakarta sebagian besar berasal dari kegiatan antropogenik dan diklasifikasikan menjadi sumber pencemar dinamis (kegiatan transportasi) dan stasioner (kegiatan industri, domestik, dan lain-lain) (BPLHD DKI Jakarta 2014). Partikulat merupakan zat pencemar udara dengan kemampuan meracuni (toksisitas) tertinggi sedangkan timbal (Pb) merupakan salah satu partikel logam berat di dalamnya (Soedomo 2001; Fowler 2002). Timbal (Pb) diemisikan dari asap buangan (dari kendaraan bermotor, industri, maupun rumah tangga), dapat terakumulasi, serta dapat menyebabkan kerusakan jaringan tubuh makhluk hidup (Darmono 2001). Fuhrer (1985) menunjukkan bahwa gradien konsentrasi kontaminan udara menyebabkan perbedaan struktur komunitas dan komposisi jenis serangga, kondisi ini memperkuat dugaan bahwa hal tersebut memberikan pengaruh serupa terhadap komunitas kupu-kupu. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengetahui kondisi lingkungan serta menanggulangi terjadinya penurunan kualitas lingkungan adalah dengan mengevaluasi hubungan antara faktor penyebab gangguan lingkungan terhadap bioindikator. Bioindikator adalah organisme/bagian dari organisme atau komunitas organisme yang dapat merefleksikan kondisi maupun perubahan lingkungan yang menjadi habitatnya (McGeoch 1998; Markert et al. 2003). Penggunaan bioindikator dinilai efektif karena tidak membutuhkan banyak biaya, dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan lingkungan dan efeknya terhadap biota, dapat memberikan peringatan dini sebelum terjadinya perubahan lingkungan, serta dapat digunakan untuk menduga keanekaragaman pada suatu habitat (Colwell dan Coddington 1994). McGeoch (1998) mengkategorikan kupu-kupu sebagai serangga yang dapat berperan sebagai bioindikator.Kupu-kupu dapat berperan sebagai organisme indikator karena mudah ditemukan serta dapat merefleksikan kondisi habitatnya(Blair danLauner 1997; Layberry et al. 1998;Van Swaay et al. 2012).Kupu-kupu memiliki sensitifitas dan spesifisitas terhadap kondisi lingkungan tertentu serta menyukai lingkungan yang tidak terpolusi sehingga berpotensi sebagai bioindikator kondisi lingkungan (Brown Jr dan Freitas 2002; Tabadepu et al. 2008; Rahayu dan Tuarita 2014).Penelitian Thomas et al. (2004) juga menunjukkan bahwa perubahan kondisi lingkungan lebih cepat direspon dan memberikan dampak yang lebih besar pada kupu-kupu dibandingkan dengan burung maupun tumbuhan. Tiap-tiap jenis kupu-kupu menunjukkan respon serta kemampuan adaptasi yang berbeda-beda terhadap kondisi maupun gangguan lingkungan tertentu
3
sehingga memicu terbentuknya jenis spesialis dan generalis (Kitahara dan Fujii 1994). Jenis generalis adalah jenis yang tidak memiliki keterkaitan yang kuat terhadap faktor-faktor lingkungan tertentu sehingga dapat ditemukan di berbagai tipe habitat, sedangkan jenis spesialis adalah jenis yang memiliki keterkaitan kuat dan membutuhkan faktor-faktor lingkungan yang spesifik sehingga keberadaannya hanya terbatas di habitat-habitat tertentu sesuai dengan karakter habitat yang dibutuhkannya (Hogsden dan Hutchinson 2004).Keberadaan serangga spesialis dan generalis berkaitan juga dengan ketersediaan sumberdaya, yang manajenis generalis dapat hidup dengan sumber daya terbatas sedangkan jenis spesialis membutuhkan sumberdaya yang optimal (Jonsen dan Fahrig 1997).Lebih lanjut, Kitahara et al. (2000) mengemukakan bahwa meningkatnya gangguan lingkungan berkorelasi negatif dengan keberadaan jenis spesialis, namun tidak berkorelasi dengan keberadaan jenis generalis. Vu (2009) mengemukakan bahwa karakteristik dan kondisi habitat yang berbeda akan menghasilkan perbedaan komunitas kupu-kupu.Penelitian DeVries et al. (2012) menunjukkan bahwa pengkajian komunitas kupu-kupu secara spasial (berdasarkan perbedaan lokasi) serta temporal (berdasarkan perbedaan periode) memberikan informasi komunitas kupu-kupu yang lebih komprehensif, karena populasi berbagai jenis serangga pada kawasan tropis memiliki dinamika berdasarkan tipe habitat maupun musim sehingga dapat mempengaruhi keanekaragaman jenisnya.Teori tersebut mengindikasikan bahwa perbedaan karakteristik habitat hutan kota, berdasarkan tipehutan kota maupun periode pengamatan, dihadapkan dengan lokasinya yang terasosiasi dengan berbagai potensi gangguan lingkungan diduga kuatmenghasilkan komunitas kupu-kupu yang berbeda. Hal-hal yang diuraikan di atas, menjadi dasar pemikiran tentang pentingnya dilakukan pengkajian mengenai keragaman komunitas kupu-kupu beserta faktor biotik dan abiotik habitatnya berdasarkan perbedaan tipe, karakteristik habitat, serta gangguan lingkungan hutan kota sehingga dapat diketahui hubungan antara komunitas kupu-kupu terhadap kondisi lingkungannya serta jenis-jenis kupu-kupu tertentu yang berpotensi sebagai bioindikator kondisi lingkungan hutan kota. Perumusan Masalah Penelitian mengenai biodiversitasdikawasan perkotaan, khususnya kupukupu, masih jarang dilakukan. Sebagian besar penelitian yang telah dilakukan difokuskan di kawasan hutan maupun kawasan lindung, akibatnyadata mengenai komunitas kupu-kupudi kawasan perkotaan masih terbatas (Tabadepu et al. 2008; Koneri dan Saroyo 2012).Fakta di lapang menunjukkan bahwa secara umum kawasanperkotaanberpotensi sebagai habitat dari beragam jenis satwa liar, termasuk kupu-kupu, meskipun kawasan perkotaan terus mengalami tekanan lingkungan yang lebih besar dibandingkan kawasan dilindungi seperti halnya hutan lindung atau kawasan konservasi.Hutan kotasebagaibagian dari ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan selain memiliki berbagai peran ekologis dalam memperbaiki kondisi lingkungan, juga berperan penting sebagai habitat yang masih tersisa serta berpotensi sebagaisarana konservasi biodiversitasdi kawasan perkotaan.Keragaman kondisi lingkungan hutan kota dengan gangguan lingkungan yang berbeda-beda diduga kuat akan berpengaruh terhadap
4
kemungkinan perbedaan komunitas kupu-kupu yang hidup di habitat tersebut, sehingga menimbulkan pertanyaan yang mendasari penelitian ini yaitu bagaimana gambaran dan apakah terdapat perbedaan komunitas kupu-kupu di berbagai tipe habitat hutan kota di lingkungan perkotaan, seperti permukiman, kawasan industri, kawasan perkantoran, pinggir jalan protokol dan lain-lain. Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya, diketahui faktor-faktor yang berpengaruh negatif terhadap komunitas kupu-kupuantara lainperubahan penggunaan lahan (Blairdan Launer 1997; Hogsden danHutchinson 2004; Posa dan Sodhi 2006), keberadaan spesies invasif (Keeler et al. 2006), kompetisi antar spesies (Shapiro dan Carde 1970), serta perubahan iklim (Kerr 2001). Di sisi lain, informasi mengenai hubungan antara faktor gangguan lingkungan terhadap komunitas kupu-kupu di kawasan perkotaan masih sangat terbatas sehingga penelitian ini penting dilakukan agar menghasilkan temuan mengenai kondisi komunitas kupu-kupu di kawasan perkotaan beserta faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah ada perbedaan kondisi habitat dan komunitas kupu-kupu di berbagai tipe, karakteristik habitat, dan gangguan lingkungan hutan kota? 2. Apakah adahubunganantara karakteristik lingkungan hutan kotadengan komunitas kupu-kupu? 3. Jenis-jenis kupu-kupu apa saja yang potensial digunakan sebagai bioindikator kondisi lingkungan hutan kota? Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan penelitian dan rumusan pertanyaan penelitian yang diuraikan sebelumnya, dirumuskan tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Menganalisis variabilitas parameter lingkungan dan komunitas kupu-kupu di berbagai tipe, karakteristik habitat, dan gangguan lingkungan hutan kota. 2. Menganalisis hubungan antara karakteristik lingkungan hutan kota dengan komunitas kupu-kupu. 3. Menentukan jenis kupu-kupu yang berpotensisebagai bioindikator kondisi lingkungan hutan kota. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, yakni: (1) manfaat ilmu pengetahuan, yaituinformasi keilmuantentang keragamankomunitas kupu-kupu di beberapa tipe habitat dalam kawasan perkotaan, hubungan antara kondisi dan potensi gangguan lingkungan dengan keanekaragaman kupu-kupu, dan informasi tentang jenis-jenis kupu-kupu yang potensial berfungsi sebagai bioindikator kondisi lingkungan perkotaan; dan (2) manfaat praktis terkait kepentingan pengelolaan dan/atau pembangunan kawasan hutan kota sebagai salah satu kawasan konservasi kupu-kupu. Secara spesifik, informasi tentang komunitas kupu-kupu dan jenis kupu-kupu yang potensial sebagai bioindikator kondisi lingkungan perkotaan dapat dijadikan sebagai data dasar dan masukkandalam upaya pemantauan danperumusan strategi konservasi.
2 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2014 hingga Januari 2015,meliputi pengamatan di lapangan, identifikasi, serta analisis konsentrasi polutan di laboratorium SEAMEO Biotrop. Pengamatan dilakukan pada tiga periode yang berbeda yaitu periode musim kemarau (Oktober 2014), periode peralihan antara musim kemarau ke musim hujan (November 2014), serta periode musim hujan (Desember 2014-Januari 2015). Penelitian dilakukan di empat hutan kota yang berada di empat kecamatan yang berbeda dalam wilayah Kotamadya Jakarta Timur Provinsi DKI Jakarta. Secara geografis, lokasi penelitian ini terletak di106049’35” BT-6010’37” LS (Gambar 1).
Gambar 1 Lokasi hutan kota penelitian di Kotamadya Jakarta Timur Penentuan periode pengamatan didasarkan pada hasil analisis data suhu udara, curah hujan, dan jumlah hari hujan dari Laporan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Meteorologi Kemayoran tahun 2009 hingga 2013. Bulan Oktober (periode pengamatan ke-1) merupakan bulan dengan nilai rataan suhu tertinggi yakni 29.1 ± 0.6 0C, curah hujan kurang dari 100 mm/bulan, dan jumlah hari hujan kurang dari 30% per-bulansehingga dikategorikan sebagai puncak musim kemarau. Nilai rataan suhu tersebut kemudian menurun pada bulan-bulan berikutnya diiringi dengan meningkatnya curah hujan dan jumlah hari hujan,sehingga bulan November (periode pengamatan ke-2) dikategorikan sebagai masa peralihan/transisi musim kemarau ke musim hujan. Bulan Desember 2014 hingga Januari 2015 (periode pengamatan ke-3) memiliki rataan suhu udara
6
kurang dari 28 0C, curah hujan 250-350 mm/bulan, dan jumlah hari hujan lebih dari 65%sehingga menunjukkan kecenderungan dimulainya musim hujan. Pemilihan lokasi hutan kota dilakukan berdasarkan hasil overlay peta sebaran polutan udaradari data kualitas udara BPLHD DKI Jakarta tahun 2013 dengan peta penutupan lahan Kotamadya Jakarta Timur.Hutan kota yang dijadikan lokasi penelitian dipilih berdasarkanperbedaan tingkatan konsentrasi polutan udara, perbedaan tipe hutan kota menurut PP Nomor 63 Tahun 2002 Pasal 14 ayat 2, danmempertimbangkan keterwakilan lingkungannya dengan berbagai potensigangguan lingkungan yang berbeda (kegiatan transportasi, industri, dan domestik/rumah tangga)(Tabel 1 dan Gambar 2)
No 1 2 3 4
Tabel 1 Hutan kota (HK) yang dijadikan lokasi penelitian Tipe hutan kota Luas Lokasi Tipe kawasan (PP No 63 tahun 2002 (Ha) Pasal 14 Ayat 2) HK Rawa Dongkal HK PT. JIEP HK Kopassus Cijantung HK UKI Cawang
a
3.28 8.9
Permukiman Industri
Kawasan permukiman Kawasan industri
1.75
Rekreasi
Kawasan perkantoran
3
Pengaman jalan raya Kawasan jalan raya
b
c d Gambar 2Hutan kota sebagai lokasi pengamatan: (a) HK Rawa Dongkal, (b) HK PT JIEP, (c) HK Kopassus Cijantung, dan (d) HK UKI Cawang
7
Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi: 1.
2. 3.
4. 5.
Alat dan bahan untuk analisis spasial, meliputi data kualitas udara BPLHD DKI Jakarta tahun 2013, data iklim BMKG DKI Jakarta tahun 2009-2013, peta rupa bumi Kotamadya Jakarta Timur, peta administrasi DKI Jakarta, software ArcGis 10.1, software Mapsource Global Mapper 10. Peralatan eksplorasi dan pengambilan sampel kupu-kupu, yaitu:tally sheet, pita ukur, fly net, kertas papilot, buku identifikasikupu-kupu, plastik, kamera. Perlengkapan pengukuran komponen lingkungan fisik, seperti: Global Positioning System (GPS), thermometer, akuades,anemometer, luxmeter,hemispherical lens,High Volume Air Sampler, kertas saring, genset, Software Hemiview 2.1 Canopy Analysis. Alat dan bahan analisis kandungan polutan udara yaitu: Atomic Absorption Spectrophotometer(AAS), gelas ukur, desikator, timbangan, oven. Program yang digunakan untuk analisis komunitas diantaranya software SPSS 16, Minitab 16, XLSAT 2014, dan Canoco for Windows 4.5. Metode Pengambilan Data
Data Komunitas Kupu-Kupu Metode yang digunakan dalam pengamatan kupu-kupu adalah metode monitoring komunitas kupu-kupu secara berkala yang memberikan data akurat, yaitu metode Pollard Transect (Thomas 1983; Pollard dan Yates 1993). Pengamatan dilakukan dengan membuat satu jalur transek sepanjang 500 meter ditiap-tiap hutan kota, transek tersebut dibagi menjadi10 sections berupa kotak imajiner dengan lebar 5 meter di setiap sisi dan di atas pengamat dengan jarak 10 meter antar section sehingga total terdapat 40 sections pada keseluruhan lokasi hutan kota, pada tiap periode pengamatan(Van Swaay et al. 2012) (Gambar 3). Penentuan lokasi transek dilakukan berdasarkan area yang representatif sebagai habitat kupu-kupu yang ditandai dengan kehadiran kupu-kupu pada pengamatan pendahuluan. Identifikasi jenis kupu-kupu dilakukan secara langsung saat pengamatan lapang berdasarkan ciri pada sayap kupu-kupu, atau dilakukan penangkapan terlebih dahulu dengan jaring lalu diidentifikasi dan setelah itu kupu-kupu tersebut dilepaskan kembali.Identifikasi dilakukandengan mengacu pada buku Identification Guide for Butterflies of West Java (Schulze 2012) serta Practical Guide to The Butterflies of Bogor Botanic Garden (Peggie dan Amir 2006). Datakupu-kupu yang dicatat meliputinama jenis, waktu perjumpaan, kelimpahan individu, dan aktivitas kupu-kupu. Pengamatan dilakukan pada kondisi cuaca cerah serta pada waktu aktif kupu-kupu yaitu pada pukul 09.00 sampai dengan 12.00.Penentuan waktu pengamatan ini didasarkanpada sifat atau karakter ekologis kupu-kupu sebagai satwa diurnal, danmerupakan waktu puncak aktivitas kupu-kupu mengunjungi bunga untuk menghisap nektar, serta termasuk ke dalam rentang waktu sebagian besar bunga mekar (Amir et al. 2003; Duara dan Kalita 2014).
8
Gambar 3 Ilustrasi penggunaan metode Pollard Transect Data Karakteristik Lingkungan Data karakteristik lingkungan yang diambil di setiap lokasi hutan kota meliputi data lingkungan fisik dan biotik. Data lingkungan fisik yang dikumpulkan meliputisuhu udara, kelembapan udara, intensitas cahaya, kecepatan angin, jumlah jenis tumbuhan pakan, dan leaf area index (LAI), serta parameter gangguan lingkungan meliputi konsentrasi timbal (Pb), kadar Total Suspended Particulate (TSP), jarak dari jalan raya, dan jarak dari area sumber gangguan.Pengukuran iklim mikro di setiap lokasi pengamatandilakukan sebanyak empat kali dengan interval waktu satu jam, yaitu pukul 09.00, 10.00, 11.00, dan 12.00 WIB. Pengukuran iklim mikro dilakukan pada jarak 1.5 meter dari permukaan tanah,kemudian nilai hasil pengukurannya dirata-ratakan. Data sampel udara diambil menggunakan alat High Volume Air Sampler merek Staplex Air Sampler dengan kecepatan aliran udara 5 meter3/menit dan ketinggian alat 1.5 meter dari permukaan tanah, dengan mempertimbangkan jarak dengan sumber gangguan dan arah angin dominan. Pengambilan sampel udara dilakukan pada hari kerja pada pukul 08.00-17.00 saat kondisi cuaca cerah dengan durasi pengambilan sampel udara selama satu jam. Kadar TSP serta konsentrasi Pb sampel diukur dengan metode gravimetri dan ekstraktif pengabuan menggunakan AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer). Jarak dengan jalan raya serta area sumber gangguan diukur menggunakan GPS di tiap titik pengamatan berdasarkan jarak datarnya. Data komponen lingkungan biotik yang diambil terutama adalah tumbuhan pakan.Identifikasi tumbuhan pakan dilakukan di setiap jalur transek dengan mengamati interaksi antara kupu-kupu dengan tumbuhan pakan. Data yang dicatat meliputi jenis tumbuhan, jenis kupu-kupu, serta aktivitas kupu-kupu yang mengunjunginya. Selain itu diukur kerapatan tajuk pohonmenggunakan Hemispherical View dengan melakukan pemotretan beberapa kali di area-area yang dipandang representatif mewakili kondisi habitat, kemudian data tersebut diolah dengan menggunakan HemiView 2.1 Canopy Analysis Software. Keluaran dari hasil pengolahan data ini berupa indeks luas daun/Leaf Area Index (LAI). Hasil nilai LAI tersebut dirata-ratakan sehingga dapat dihitung nilai kerapatan tajuk dari masing-masing lokasi pengamatan.
9
Metode Analisis Data Komunitas Kupu-Kupu Terdapat beberapa analisis yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang komunitas kupu-kupu, sebagaimana diuraikan di bawah ini: 1. Frekuensi Kehadiran (FK),dihitung untuk mengetahui tingkat kehadiran jenis kupu-kupu dalam suatukomunitas (Krebs 1999).Frekuensi kehadiran pada penelitian ini dihitung berdasarkan lokasi hutan kota dan periode pengamatan dengan rumus: FK =
Jumlah lokasi atau periode ditemukan kupu − kupu jenis i 𝑥 100 % Jumlah keseluruhan lokasi atau periode pengamatan
2. Kelimpahan Relatif (KR), dihitung untukmenunjukkan perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan jumlah individu seluruh jenis (Krebs 1999). Nilai kelimpahan relatif digolongkan menjadi tiga kategori yaitu tinggi (>20%), sedang (15%-20%), dan rendah (<15%). Kelimpahan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: KR =
Jumlah individu jenis i 𝑥 100 % Jumlah total seluruh individu
3. Indeks Keanekaragaman Jenis(diversity), dihitung untuk menggambarkan keanekaragaman jenis kupu-kupu dengan menggunakan Indeks Shannon (Shannon 1948dalamMagurran 1988). Indeks keragaman Shannon Wiener dihitung dengan rumus sebagai berikut: H’ = - Σ pi ln pi;pi = ni / N Keterangan: H’ : indeks keanekaragaman jenis N : jumlah total individu ni : jumlah individu jenis ke-i 4. Indeks Kekayaan Jenis(species richness) dihitung untuk menunjukkan banyaknya jenis di suatu tie habitat dengan menggunakan indeks Margalef (Margalef 1958 dalamMagurran 1988), dengan rumus sebagai berikut: Dmg= Keterangan : Dmg : indeks kekayaan jenis S : jumlah jenis N : jumlah total individu
S-1 ln N
Indikator indeks : Dmg < 2.5 : kekayaan jenis rendah 2.5 < Dmg < 4.0 : kekayaan jenis sedang Dmg > 4.0 : kekayaan jenis tinggi
5. Indeks Kemerataan Jenis (eveness), dihitung untuk menunjukkan derajat kemerataan kelimpahan individu antar setiap jenis kupu-kupu serta sebagai indikator adanya gejala dominansi jenis di tiap-tiap habitat. Indeks ini dihitung menggunakan indeks kemerataanjenis (Brillouin 1962dalam Magurran 1988),
10
dengannilai indeks berkisar antara 0 sampai 1. Rumus untuk menghitung indeks kemerataan jenis adalah sebagai berikut: E= Keterangan : E : indeks kemerataan jenis H’ : Indeks keanekaragaman jenis S : jumlah jenis
H' ln S Indikator indeks (Krebs 1999): 0.00< E < 0.50 : komunitas tertekan 0.50 < E < 0.75 : komunitas labil 0.75 < E < 1.0 : komunitas stabil
6. Dominansi Jenis, dihitung dengan indeks dominansi Simpson untuk mengetahui tingkat dominansi jenis-jenis kupu-kupu tertentu pada suatu komunitas (Simpson 1949 dalamMagurran 1988). Rumus yang digunakan untuk menghitung dominansi yaitu: D = Σ (ni/N)2 Keterangan : D : indeks dominansi ni : jumlah individu jenis ke-i N : jumlah total individu
Indikator indeks : 0.00 < D< 0.50 : dominansi rendah 0.50 < D< 0.75 : dominansi sedang 0.75 < D< 1.0 : dominansi tinggi
7. Kesamaan Komunitas Kupu-Kupu, dianalisis dengan menggunakan koefisien jarak Euclidean Distance (Ludwig dan Reynolds 1988). Koefisien jarak tersebut dihitung dengan rumus sebagai berikut:
p d ( x, y) | xi yi i 1
|
1/ 2
2
Keterangan : d (x,y) : jarak euclidean habitat x ke habitat y xi : jumlah individu jenis ke-i pada habitat x yi : jumlah individu jenis ke-i pada habitat y 8. Perbedaan parameter lingkungan dan parameter komunitas kupu-kupu, dihitung untuk mendapatkan gambaran tentang ada tidaknya perbedaan parameter lingkungan maupun parameter komunitas kupu-kupu antar lokasi hutan kota dan periode pengamatan. Metode analisis yang dilakukan adalah analisis variansone ways Anovapada tingkat kepercayaan 95%. Pada data yang menyebar normal, sebelum dilakukan uji Anova, terlebih dahulu dilakukan uji homogenitas varian untuk mengetahui apakah beberapa varian populasi sama atau tidak. Apabila kesimpulan dari uji homogenitas menunjukkan bahwa varianya sama maka dapat dilanjutkan dengan uji Anova. Apabila nilai Pvalue kurang dari 0.05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan. Untuk mengetahui perbedaannya maka dilakukan uji lanjut Tukey pada taraf kepercayaan 95% (Budi 2005).
11
Kadar Total Suspended Particulate (TSP) dan Konsentrasi Timbal (Pb) Analisis konsentrasi polutan udara dilakukan dengan menggunakan metode gravimetri dan ekstraktif pengabuan. Gravimetri merupakan metode untuk mengukur suatu komponen dengan terlebih dahulu melalui proses pemisahan atau isolasi sehingga didapatkan komponen dalam keadaan murni (Khopkar 1990). Metode ekstraktif pengabuan dilakukan dengan terlebih dahulu memanaskan kertas saring sampel dan kertas saring kontroldengandilakukan pengovenan pada suhu 105 0C untuk menghilangkan kadar airnya kemudian ditimbang untuk dihitung kadar TSP dengan rumus sebagai berikut: C=
W1-W0 Vr
P
298
denganVr =V 760 T+273
Keterangan : C : konsentrasi debu (µg/m3) W0 : berat kertas saring sebelum pengambilan sampel udara W1 : berat kertas saring sesudah pengambilan sampel udara Vr : volume contoh udara yang sudah dikoreksi (m3) V : volume contoh udara P : tekanan atmosfer (mm/Hg) saat pengambilan contoh udara t : suhu udara (0C) saat pengambilan sampel udara Kertas saring yang terdapat sampel udara direndam dengan 5 mL akuades dan 10 mL asam nitrat (HNO3) selama 3x24 jam. Setelah itu, kertas saring tersebut dipanaskan kembali dengan dioven pada suhu 105 0C kemudian disaring. Sebelum dilakukan pengukuran konsentrasi pada sampel, terlebih dahulu dibuat kurva kalibrasi dengan mengukur larutan standar Pb (0.5, 1, 2, dan 5 ppm) menggunakan AAS dengan panjang gelombang 283.3 nm sehingga diperoleh kurva hubungan antara konsentrasi dengan absorbansi. Setelah diperoleh kurva kalibrasi, maka selanjutnya dilakukan pengukuran konsentrasi Pb dari tiap-tiap sampel yang kemudian hasilnya diplotkan ke kurva tersebut. Hasil pengukuran tersebut kemudian dihitung dengan menggunakan rumus dengan mempertimbangkan suhu dan tekanan udara pada saat pengukuran sehingga diperoleh nilai konsentrasi Pb yang sebenarnya. Hubungan antara Komunitas Kupu-Kupu dengan Karakteristik Lingkungan Kaitan antara variabel-variabellingkungandengan komunitas kupukupudianalisis menggunakan uji korelasi Pearson untuk mengetahui kekuatan hubungan antara dua variabel peubah tersebut dengan taraf kepercayaan 95% (Krebs 1999). Perhitungan korelasi Pearson menghasilkan nilai koefisien korelasi (rs) yang memiliki selang -1≤ r ≤1. Rumus korelasi Pearson sebagai berikut : rxy
N XY - X Y
N X
2
X N Y 2 Y 2
Keterangan : rxy : koefisien korelasi Y: nilai variabel y N : banyaknya data X: nilai variabel x
2
12
Setelah didapatkan nilai r, selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh dari variabel x terhadap variabel y. Hipotesis yang diuji adalah H0: P = 0 dan H1: P ≠ 0 dengan taraf uji 5% kemudian dibuat kesimpulan apabila P-value ≥ α maka terima H0 sedangkan apabila Pvalue< α maka tolak H0. Penentuan Jenis Kupu-Kupu Potensial sebagai Bioindikator Analisis untuk menentukan jenis kupu-kupu sebagai bioindikator dilakukan melalui beberapa tahapan, sebagai berikut: 1. Penentuan Distribusi Jenis Kupu-Kupu terhadap Karakteristik Lingkungan.Distribusi jenis kupu-kupu terhadap karakteristik lingkungan dianalisis dengan menggunakan Redundancy Analysis (RDA) (Ter Braak 1986). Redundancy analysis merupakan analisis multivariat yang dapat menggambarkan respon dari tiap jenis kupu-kupu terhadap faktor-faktor lingkungannya sehingga dapat diketahui distribusinya berdasarkan gradien lingkungan serta faktor lingkungan utama yang mempengaruhinya. Analisis dilakukan dengan menggunakan software CANOCO 4.5. Untuk menentukan faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap spesies maka dilakukan pemeringkatan dengan metode stepforward dengan monte carlo permutation 499 permutasi acak. 2. PenentuanJenis Kupu-kupu Potensial sebagai Bioindikator.Setelah mengetahui distribusi jenis kupu-kupu di setiap karakteristik lingkungannya, maka langkah selanjutnya adalah menentukan jenis kupu-kupu yang berpotensi sebagai bioindikator kondisi lingkungan hutan kota. Penentuan jenis kupu-kupu dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan pengkajian dengan mengacu pada beberapa kriteria, meliputi: (1) kriteria sifat umum jenis kupu-kupu berdasarkan hasil studi pustaka penelitian-penelitian mengenai mengenai kupukupu,serta (2) kriteria respon jenis kupu-kupu terhadap kondisi atau gangguan lingkungan. Penentuan kriteria-kriteria tersebut berdasarkan pengkajian terhadap berbagai jenis taxa lainnya, khususnya kelas insekta. Kriteria-kriteria tersebut ditampilkan pada Tabel 2. 3. Penyeleksian dan Pengkajian Potensi Komunitas Kupu-kupu sebagai Bioindikator. Langkah ini dilakukan untuk memilih dan menentukan komunitas kupu-kupu sebagai bioindikator kondisi lingkungan hutan kota yang dipengaruhi oleh berbagai faktor gangguan lingkungan khususnya gangguan antropogenik (gangguan yang berasal dari kegiatan manusia). Prosedur penyeleksian dan pengkajian potensi komunitas kupu-kupu dilakukan mengikuti prosedur dan langkah seperti ditunjukkan pada Gambar 4, yang dimodifikasi dari McGeoch (1998).
13
No 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Tabel 2 Kriteria-kriteriajenis indikator Kriteria Sitasi A. Sifat Umum Kupu-kupu Taxonomi serta sifat biologis diketahui-Sebagai Hodkinson dan Jackson informasi dasar dalampenentuan desain penelitian, (2005) pengkajian perbandingan jenis tersebut pada lokasi maupun waktu yang berbeda, serta menunjukkan terpenuhi atau tidaknya persyaratan jenis tersebut untukdilakukan pengujian laboratorium. Memiliki peran penting dalam ekosistem Edwards et al (1996) (produsen, konsumen, detrivor, atau dekomposer)-Menunjukkan peran ekologis dalam keberlangsungan suatu ekosistem serta dampak yang terjadi apabila terjadi gangguan pada populasi tersebut. Mudah diidentifikasi dan diamati (memiliki ciri Brown dan Freitas khusus, ditemukan pada berbagai habitat)-Dapat (2000) diamati oleh ahli maupun non ahli secara efektif dan efisien. Voltinismeataujumlah generasi per-tahun Sommaggio dan Burgio (univoltin: satu generasi, bivoltin: dua generasi, (2014) atau multivoltin: beberapa generasi)Menunjukkan kehadiran jenis selama setahun. Keberagaman sumber pakan (monofagus: satu Kitahara et al. (2000) jenis pakan, polifagus: beragam jenis pakan)Menunjukkan kisaran tumbuhan inang serta daya dukung habitat berkaitan dengan ketersediaan sumber pakan. Endemisitas (berdasarkan pulau, niche, negara, Foord et al. (2002) atau zona ekologi)-Kekhasan jenis serta area penyebarannya sebagai wilayah geografi dengan nilai konservasi yang penting. Status kerentanan-Menunjukkan adanya tekanan Thomas (2005) ekologis maupun biologis terhadap suatu jenis. B. Respon terhadap kondisi atau gangguan lingkungan Kehadiran/ketidakhadiran jenis pada suatu Oostermeijer dan Van habitat serta perbandingan ukuran populasi Swaay (1998) antar habitat-Menunjukkan preferensi serta sensitifitas terhadap faktor-faktor lingkungan pembentuk habitat. Parameter demografi (keanekaragaman jenis, Van Swaay dan Strien kekayaan jenis, kelimpahan individu, dll)- (2005) Menunjukkan kestabilan populasi/komunitas. Hubungan dengan faktor-faktor lingkungan- McGeoch (1998) Memprediksi kecenderungan hubungan antara jenis dengan lingkungan dalam jangka panjang. Respon terhadap faktor gangguan atau kondisi Spitzer et al. (1997) lingkungan-Menunjukkan sensitifitas yang dapat merepresentasikan kondisi habitatnya.
14
Menentukan tujuan: mengidentifikasi dan memprediksi hubungan antara kondisi lingkungan dengan komunitas kupu-kupu Menentukan kriteria tingkatan organisasi makhluk hidup yang potensial memberikan bioindikasi: berdasarkan komunitas Mengakumulasi data: menentukan variabilitas komunitas kupu-kupu dan variabelvariabel lingkungan
Mengkuantifikasi data: pemeringkatan gangguan lingkungan
Menganalisis data secara statistik: menentukan korelasi antara parameter lingkungan terhadap parameter komunitas kupu-kupu Penyeleksian: melakukan pengujian apakah terdapat korelasi yang signifikan antara kondisi lingkungan dengan bioindikasi yang direfleksikan oleh komunitas kupu-kupu Menentukan kesimpulan: hubungan kondisi dan gangguan lingkungan dengan bioindikasi yang ditunjukkan komunitas kupu-kupu
Menentukan rekomendasi penggunaan komunitas kupu-kupu sebagai bioindikator kondisi lingkungan
Gambar 4 Langkah-langkah prosedur penentuan komunitas indikator
3 HASIL Karakteristik Lingkungan Hutan Kota Gambaran Umum Hutan Kota Keempat lokasi penelitian merupakan ruang terbuka hijau (RTH)yang dikategorikan sebagai hutan kota (HK). Tigalokasi, yaitu HK Rawa Dongkal, HK Kopassus Cijantung, dan HK PT. JIEP merupakan hutan kotayang telah dikukuhkan oleh pihak yang berwenang mengacu pada PP Nomor 63 Tahun 2002sedangkan HK UKI Cawang masih merupakan hutan kota potensi. Hutan kota Rawa Dongkal merupakan hutan kota tipe kawasan permukiman. Hutan kota ini memilikiluas 3.28 Ha dan terletak mengelilingi Situ Rawa Dongkal yang berfungsi sebagai area resapan dan penampungan air dengan luas 12.02 Ha. Secara administratif, hutan kota ini terletak di Kecamatan Ciracas, Kelurahan Cibubur.Hutan kota Rawa Dongkal dikukuhkan berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 207 Tahun 2005 dan berada dibawah pengelolaan Pemda DKI Jakarta. Hutan kota PT JIEP merupakan hutan kota tipe penyangga kawasan industri. Hutan kota ini berada pada Kawasan Industri Pulogadung (KIP) dimana pada sekitarnya terdapat pabrik, gudang, maupun gedung perkantoran. Fungsi ekologis dari hutan kota ini adalah untuk mengurangi terjadinya pencemaran air maupun udara yang berasal dari kegiatan transportasi dan industri. Penetapan hutan kota ini berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 870 Tahun 2004 dan Surat Direksi Teknik PT. JIEP Nomor 997 Tanggal 23 April 2003 dengan luas 8.9 Ha dan status kepemilikan oleh PT. JIEP. Secara administratif,hutan kota ini terletak diKelurahan Jatinegara dan Kecamatan Cakung yang merupakan kecamatan dengan persentase penggunaan lahan untuk industri terbesar yaitu 24.33% dari luas total wilayahnya (BPLHD DKI Jakarta 2014). Hutan kota Kopassus Cijantung merupakan hutan kota tipe rekreasi. Hutan kota ini memiliki luas area 1.75 Ha.Secaraadministratif, hutan kota ini terletak di Kecamatan Pasar Rebo dan Kelurahan Cijantung. Hutan kota ini berada di dalam kawasan komplek perkantoran Kopassus Cijantung. Penetapan status hutan kota ini berdasarkan pada SK Gubernur Nomor 868 Tahun 2004 dengan pengelolaan dan pemeliharaan di bawah Kopassus khususnya Grup 3 Kopassus Batalyon 31. Pengamanan hutan kota ini dilakukan dengan ketat dan dibuka hanya pada hari Sabtu-Minggu.Hutan kota ini berfungsi sebagai sarana edukasi sehingga di dalamnya sudah tersedia jalan setapak yang dilapisi beton sebagai track untuk mengitari lokasi ini, serta sarana prasarana berupa toilet, bangku, dan tempat sampah. Hutan kotaUKI Cawang merupakan hutan kota tipe pengaman jalan raya, terletak berbatasan langsung dengan jalan raya, serta berada pada area simpang susun cawang yang menghubungkan antara Jagorawi, Jakarta-Cikampek, Cawang-Tomang, dan dilalui oleh jalan arteri Mayjen Sutoyo yang merupakan daerah dengan aktifitas transportasi yang tinggi. Hutan kota ini terletak di Kecamatan Makasar, Kelurahan Kebon Pala. Luas hutan kota ini adalah3 Ha dan berada di bawah pengelolaan Pemda DKI Jakarta.
16
Keempat lokasi hutan kota memiliki perbedaan tipe, fungsi, maupun lokasi sehingga membentuk karakteristik lingkungan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut diklasifikasikan berdasarkan perbedaan karakteristik vegetasi, aksesibilitas, serta aktivitas manusia pada hutan kota tersebut (Tabel 3). Tabel 3 Karakteristik lingkungan keempat hutan kota penelitian Potensi gangguan Rendah
Hutan kota S1
S3
S2
Tinggi
S4
Karakteristik vegetasi Leaf area index 0.66-3.89 Jarak antar tumbuhan 1.5-4 m Tumbuhan bawah rapat dan tinggi Sinar matahari tembus Leaf area index 2.3-3.92 Jarak antar tumbuhan 1-4 m Tumbuhan bawah rapat dan tinggi Sinar matahari tembus hanya pada beberapa area yang terdapat celah antar tajuk Leaf area index 0.46-3.80 Jarak antar tumbuhan 5-10 m Tumbuhan bawah hanya terdapat pada beberapa bagian area Sinar matahari sampai lantai hutan kota Leaf area index 0.6-3.2 Jarak antar tumbuhan 3-7 m Sebagian besar area tidak ditumbuhi tumbuhan bawah Sinar matahari sampai lantai hutan kota
Aksesibilitas
Aktivitas manusia
Jalan raya kawasan permukiman Lalu lintas tidak padat
Pengunjung jarang
Jalan raya kawasan perkantoran Lalu lintas tidak padat
Dibuka hanya pada hari libur Sarana rekreasi dan olahraga
Jalan raya kawasan industri Lalu lintas kendaraan operasional industri padat Area bertemunya empat ruas jalan tol Lalu lintas sangat padat
Penanaman holtikultura Penggembalaan kambing Pasar tumpah pada hari libur Beberapa area menjadi tempat pembuangan sampah Area berdagang kaki lima
S1: HK Rawa Dongkal, S2: HK PT.JIEP, S3: HK Kopassus Cijantung, S4: HK UKI Cawang.
Komposisi Vegetasi Keempat hutan kota memiliki komposisi vegetasi yang terdiri dari pohon, perdu/semak, dan terna/herba. Berbagai jenis tersebut pada dasarnya merupakanjenis-jenis tumbuhan penghijauan yang ditanam untuk pengembangan hutan kota oleh Suku Dinas Kehutanan Kotamadya Jakarta Timur. Tumbuhan yang ditanam merupakan jenis-jenis yang memiliki fungsi serapan air, peredam polusi, serta tumbuhan produktif.Salah satu tanda pengelolaan yang dilakukan adalah pemasangan label di setiap tumbuhan yang mencantumkan nomor registrasi serta nama jenisnya.Komposisi dan kekayaan jenis tumbuhan pakan kupu-kupu dan non-tumbuhan pakan kupu-kupu antar lokasi hutan kota disajikan pada Gambar 5.
17
Gambar 5 Komposisi dan kekayaan jenis tumbuhan di keempat hutan kotapenelitian Hasil identifikasi tumbuhan di keempat lokasi hutan kota menunjukkan bahwa HK Rawa Dongkal memiliki kekayaan jenis tumbuhan tertinggi yaitu sebanyak total 35 jenis. Selain itu, HK Rawa Dongkal memiliki kekayaan jenis tumbuhan pakan kupu-kupu tertinggi, yaitu sebanyak 22 jenis tumbuhan. Dilihat dari kategori tingkat pertumbuhan, maka dari hasil pengamatan di seluruh lokasi hutan kota contoh didapatkan bahwa sebagian besar tumbuhan pakan kupu-kupu yang ditemukan berupa pohon atau herba,dengan famili Fabaceae sebagaifamili tumbuhan pakan yang paling banyak ditemukan. Pengamatan di HKRawa Dongkalberhasil mengidentifikasi sebanyak 35 jenistumbuhan yang terdiri dari 23jenis pohon, 2 jenis perdu, dan 10 jenisherba yang secara keseluruhan digolongkan ke dalam 18famili. Famili Fabaceae memiliki kekayaan jenis tertinggi yaitusebanyak10 jenis tumbuhan.Tumbuhan yang mendominasi antara lainangsana (Pterocarpus indicus), glodokan tiang (Polyalthia longifolia), dan akasia (Acacia mangium). Hasil pengamatan diketahui di HKPT. JIEP sebagian besar ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan penyangga kawasan industri yang ditanam secara mengelompok dan berfungsi sebagai penyerap dan pereduksi polutan hasil dari kegiatan industri. Total terdapat 25jenis tumbuhan yang terbagi menjadi 18jenis pohon dan 7jenisherba yang digolongkan ke dalam 16 famili. Sampai saat penelitian ini dilakukan, masih ditemukan bibit-bibit tanaman yang baru ditanam. Famili Fabaceae merupakan famili yang paling banyak ditemukan di HK PT JIEP, yakni sebanyak 7 jenis tumbuhan.Tumbuhan bawah yang mendominasi berupa ilalang (Imperata cylindrica) dan rumput teki (Cyperus rotundus). Beberapa jenis tumbuhan ditanam secara mengelompok antara lain lamtoro (Leucaena leucocephala), dadap merah (Erythrina cristagalli), glodogan tiang (Polyalthia longifolia), bungur (Lagerstroemia speciosa), dan mahoni (Swietenia mahagoni). Di dalam kawasan ini juga terdapat sebagian area yang ditanami tanaman sayur mayur oleh masyarakat sekitar.
18
Hutan kota Kopassus Cijantung ditumbuhi oleh pohon-pohon yang tinggi dan berdiameter besar.Pohon tertinggi dan terbesar yaitu pohon beringin (Ficus benjamina) yang mencapai tinggi lebih dari20 meter. Tumbuhan yang terdapat pada area ini diantaranya adalah angsana (Pterocarpus indicus), bintaro (Cerbera manghas), dan tanjung (Mimusops elengi). Tumbuhan pada HK Kopassus Cijantung terdiri dari 28 jenis yang terbagi menjadi 17 jenis pohon, 1 jenis perdu, dan 10 jenis herba yang digolongkan ke dalam 18 famili. Famili dengan anggota terbesar ialah Fabaceae dengan ditemukan sebanyak 6 jenis tumbuhan. Hutan kota UKI Cawang sebagian besar terdiri dari tegakan pohon dan memiliki jarak tanam yang lebar dengan hanya sebagian kecil area ditumbuhi tumbuhan bawah. Semak belukar yang tumbuh pada lantai hutan didominasi oleh rumput teki (Cyperus rotundus).Jumlah jenis tumbuhan yang diidentifikasi sebanyak 23 jenis tumbuhan yang terbagi menjadi 14 jenis pohon, 1 jenis perdu, dan 8 jenis terna, dan tergolong ke dalam 15 famili. Leaf Area Index (LAI) dan Iklim Mikro Indeks luas daun atau leaf area index(LAI) merupakan variabel yang digunakan untuk mengetahui keraatan tajuk dan karakteristikpenutupan kanopi. Nilainya menunjukkan perbandingan antara total luas penampang daun dengan luas tanah yang ditutupinya. Nilai hasil pengukuran LAI di keempat lokasi pengamatan ditunjukkan pada Gambar 6a. Pengukuran LAI di tiap-tiap lokasi pengamatan menunjukkan kisaran nilai antara 0.66 hingga 3.89. Nilai rata-rata tertinggi terdapat di HK Kopassus Cijantung dan terendah di HK UKI Cawang. Hasil analisis varians one ways Anova menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai LAI yang signifikan adalah antara HK Rawa Dongkal dengan HK UKI Cawang, HK PT. JIEP dengan HK Kopassus Cijantung, serta antara HK Kopassus Cijantung dengan HK UKI Cawang.Karakteristik tutupan tajuk di keempat lokasi berbeda-beda.Hutan kota Rawa Dongkal dan HK Kopassus Cijantung memiliki tajuk pohon saling tumpang tindih satu dengan lainnya, sehingga penutupan kanopinya relatif lebih rapat serta memiliki strata vegetasi lebih kompleks. Adapun kondisidi HK PT JIEP dan HK UKI Cawang memiliki tajuk pohon yang berjauhan dan tidak saling tumpang tindih sehingga penutupan kanopinya lebih renggang. Hasil penghitungan intensitas cahaya disetiap titik pengukuran di keempat lokasi dan tiga kali periode pengamatan menunjukkan kisaran nilai antara 900 hingga 5892.5 lux (Gambar 6b). Nilai intensitas cahaya terendah ditemukan di HK Kopassus Cijantung pada periode musim hujan (900 lux) sedangkan nilai tertingginya pada HK UKI Cawang pada periode musim kemarau (5892.5 lux). Hutan kota UKI Cawang memiliki rata-rata intensitas cahaya tertinggi, sedangkan HK Kopassus Cijantung memiliki rata-rata intensitas cahaya terendah. Analisis varian one ways Anova menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat perbedaan intensitas cahaya yang signifikan antara HK Rawa Dongkal dengan HK PT JIEP dan HK UKI Cawang, HK PT JIEP dengan HK Kopassus Cijantung, serta antara HK Kopassus Cijantung dengan HK UKI Cawang. Berdasarkan periode pengamatan, nilai rata-rata intensitas cahaya tertinggi adalah pada periode musim kemarau yaitu 4156.3 ±1693.1 lux kemudian diikuti dengan periode peralihan dengan 3375 ±1775.4 lux, dan terendah pada periode musim hujan yaitu 2511.9
19
±1704.5 lux. Di sisi lain, berdasarkan analisis varians antar periode pengamatan tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (F=0.91,P=0.437). LAI 4.0 3.5
Intensitas cahaya (lux) a
6000 5000
3.45
ab
F= 1.43, P = 0.003, R-sq = 81.08 4950.8 4642.5
4000
3.0 2.71
a
bc
2.5
a 3000
2.32 c
2.0
2254.2
2000
1542.3
1.71 1.5 F = 11.17, P = 0.001, R-sq = 73.62% S1
a
S2
1000 S3
b S1
S4
S2
b S3
S4
b
S1: HK Rawa Dongkal, S2: HK PT. JIEP, S3: HK Kopassus Cijantung, S4: HK UKI Cawang. Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan uji Tukey pada taraf uji 5%.
Gambar 6 Variasi(a) Leaf Area Index (LAI) dan (b) intensitas cahaya di keempat hutan kotapenelitian Pengukuransuhu selama penelitian menunjukkan kisarannilai antara 28.40C hingga 33.1 0C. Suhu pada HK Rawa Dongkal relatiflebih stabil dibandingkan dengan lokasi lainnya, ditandai dengan rentang nilai suhu minimum dan maksimum yang tidak terlalu jauh,yaitu 28.8-320C. Adapun rentang suhu pada HK PT JIEP adalah 29-32.90C, HK Kopassus Cijantung 28.4-32.40C, sedangkanHK UKI Cawang memiliki rentangsuhu terjauh yaitu 28.7-33.1 0 C.Analisis varians one ways Anova menunjukkan bahwanilai rata-rata suhu tidak ada perbedaan yang signifikan antar lokasi pengamatan (F=0.43,P=0.737) namun terdapat perbedaan yang signifikan antar periode pengamatan(Gambar 7a). Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwanilai rataan suhu pada musim hujan berbeda signifikan dengan suhu padaperiode musim kemarau dan pada periode peralihan.Berdasarkan lokasi, didapatkan nilai rata-rata suhu terendah adalah di HK Rawa Dongkal yaitu 30.4± 1.1 0C, dansuhu tertinggi di HK UKI Cawang yaitu 31.6±1.60C. Adapun berdasarkan periode pengamatan, rata-rata suhu terendah terdapat pada musim hujan yaitu 29.3±0.30C dan rata-rata suhu tertinggi terdapat pada musim kemarau yaitu 32±0.70C. Kelembapan udara yang terukur selama penelitian di keempat lokasi tersebut adalah 55-75%. Rentang nilai kelembapan terdekat adalah HK Rawa Dongkal sebesar 62-69%, sedangkan rentang nilai terjauh adalah HK UKI Cawang yaitu 55-71%. Hutan kotaPT JIEP memiliki rentang kelembapan antara 59-68%, sedangkan HK Kopassus Cijantung adalah 62-71%. Hasil analisis variansone ways Anovadidapatkan nilai rata-rata kelembapan udaramenunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar lokasi pengamatan (F=0.44,P=0.73), namun terdapat perbedaan signifikan antar periode pengamatan.Hasiluji lanjut Tukey diketahui bahwa kelembapanudara berbeda signifikan antara periode musim kemaraudengan periode peralihan dan periode musim hujan. Berdasarkan lokasi pengamatan, rata-rata kelembapan udara terendah terdapatdi HK UKI Cawang yaitu 62±6% dan tertinggi di HK Kopassus Cijantung yaitu 67± 5%. Rata-rata kelembapan udara terendah selama periode
20
pengamatan adalah pada musim kemarau yaitu 61± 3%, dan tertinggipada musim hujan yaitu 70±1% (Gambar 7b). Hasil pengukuran kecepatan angin di keempat lokasi hutan kota menunjukkan nilai kecepatan angin sebesar 0.35-2.21 m/s. Nilai rata-rata pengukuran tertinggi terdapat di HK UKI Cawangyaitu 1.29±0.31 m/s dan terendah di HK Kopassus Cijantung yaitu 0.62±0.2 m/s (Gambar 7c). Hasil analisis varians one ways Anova menunjukkan perbedaan signifikan kecepatan angin antara HK Kopassus Cijantung dengan HK UKI Cawang. Berdasarkan periode pengamatan, didapatkan bahwa periode musim kemarau terukur rata-rata kecepatan angin tertinggi yaitu 1.14±0.35 m/s, diikuti periode peralihan dengan nilai 0.84±0.3 m/s, dan terendah pada musim kemarau dengan nilai 0.71±0.28 m/s. Hasil analisis varians menunjukkan tidak ada perbedaan (F=2.08, P=181) kecepatan angin antar periode pengamatan. Kelembaban udara (%)
Suhu udara (C)
b
72 F= 22.03, P = 0.001, R-sq = 83.05%
33
70 69
32
32
66
31.4 31
b
a
a a
63
62
30
61
60 F = 20.83, P = 0.001, R-sq = 82.24%
29.3
29 P1
b P3
P2
a
P1
P2
P3
b Kecepatan angin (m/s) 1.75
F= 5.263, P = 0.027, R-sq = 66.33%
a
1.50
1.00
1.29
ab
1.25 ab
0.985 b
0.75 0.695
0.618
0.50 S1
S2
S3
S4
c P1: periode musim kemarau P2: periode peralihan musim kemarau ke musim hujan, P3: periode musim hujan; S1: HK Rawa Dongkal, S2: HK PT. JIEP, S3: HK Kopassus Cijantung, S4:HK UKI Cawang. Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan uji Tukey pada taraf uji 5%.
Gambar 7 Variasi (a) suhu udara, (b) kelembapan udara, dan (c) kecepatan angin pada keseluruhan hutan kota dan periode pengamatan Kondisi iklim Kotamadya Jakarta Timur berdasarkan laporan Sub Seksi Meteorologi Halim Perdana Kusuma sepanjang tahun 2014 menunjukkan bahwa
21
pada bulan Oktober, yaitu bulan saat dilakukannya pengamatan periode pertama (periode pengamatan musim kemarau), terukur rata-rata suhu udara maksimun sepanjang tahun sebesar 34.20C. Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Achmad Zakir pada www.bmkg.go.id, hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu posisi matahari yang tepat diatas pulau Jawa, puncak musim kemarau, kelembaban udara rendah, dan adanya monsoon Australia yang kering dan panas. Parameter Gangguan Lingkungan Hasil pengukuran kadar Total Suspended Particulate (TSP)dan konsentrasi timbal (Pb)di keempat lokasi hutan kota menunjukkan nilai yang bervariasi. Hutan kota PT JIEP sebagai representasi hutan kota tipe kawasan industri memiliki nilai kadar TSP tertinggi dan nilainya berada pada batas baku mutu (baku mutu TSP= 230 ug/m3). Adapun kadar TSP terendah terdapat di HK Rawa Dongkal yaitu hutan kota tipe kawasan permukiman (Gambar 8a). Konsentrasi timbal (Pb) tertinggi juga didapatkan diHK PT. JIEP dibandingkan dengan lokasi hutan kota lainnya, walaupun masih di bawah baku mutu (baku mutu Pb= 2 ug/m3). Adapun konsentrasi Pbterendah terdapat di HK Kopassus Cijantung yakni hutan kota tipe rekreasi yang terletak pada kawasan perkantoran(Gambar 8b). 250
Baku mutu
ug/m3
ug/m3
200 150 100
Baku mutu
2 1.5 1 0.5
50
0
0 HK Rawa Dongkal
HK PT JIEP
HK HK UKI Kopassus Cawang Cijantung
Lokasi
HK Rawa Dongkal
HK PT JIEP
HK Kopassus Cijantung
HK UKI Cawang
Lokasi
a
b Gambar 8 Variasi(a) kadar Total Suspended Particulate(TSP) dan (b) konsentrasi timbal (Pb)beserta nilai baku mutunya di keempat hutan kota pengamatan Hasil pengukuran variabelgangguan jarak dari jalan rayamenunjukkan bahwa HK Kopassus Cijantung memiliki jarak terjauh dari jalan raya (28.3±2.9 m) sedangkan HK UKI Cawang memiliki jarak terdekat dengan jalan raya (16.7±11.5 m). Hasil analisis varians one ways Anovamenunjukkanbahwa gangguan jarak dari jalan raya tidak berbeda signifikan (F=1.98, P=0.195) antar lokasi hutan kota (Gambar 9a). Nilai rata-rata jarak dari area sumber gangguan menunjukkan bahwa nilai rata-rata jarak terjauh di HK Rawa Dongkal (108.3±14.4 m) dan terdekat di HK UKI Cawang (48.3±23.6 m). Hasil analisis varians one ways Anova menunjukkan adaperbedaan signifikan nilai rata-rata jarak dari area sumber gangguandiantara hutan kota. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa perbedaan tersebut terjadi antara HK Rawa Dongkal dengan HK PT. JIEP dan HK UKI Cawang (Gambar 9b).
22
Jarak dari area gangguan (meter)
Jarak dari jalan raya (meter)
30
120
28.3
108.3 100
25 23.3
a
80 20
76.7
20
ab 61.7
60 16.7
15
48.3
b
40
F = 7,73, P = 0.009, R-sq = 74.35
10
b
20 S1
S2
S3
a
S4
S1
S2
S3
S4
b
S1: HK Rawa Dongkal, S2: HK PT. JIEP, S3: HK Kopassus Cijantung, S4: HK UKI Cawang. Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan uji Tukey pada taraf uji 5%.
Gambar 9 Variasi (a)jarak dari jalan raya dan (b) jarak dari area sumber gangguan di keempat hutan kota pengamatan Variabilitas Komunitas Kupu-Kupu pada Lokasi dan Periode Pengamatan yang Berbeda Komunitas Kupu-Kupu Berdasarkan hasil pengamatan komunitas kupu-kupu di empat lokasi hutan kota di wilayah Kotamadya Jakarta Timur, diketahui bahwa keseluruhan hutan kota tersebut teridentifikasi sebagai habitat kupu-kupu.Hasil identifikasi jenis kupu-kupu di keempat lokasi hutan kotatersebut ditemukansebanyak 22 jenis kupu-kupu yang tergolong ke dalam 4 famili, masing-masing Famili Papilionidae (6 jenis), Nymphalidae (8 jenis), Pieridae (6 jenis), Lycaenidae (2 jenis). Dilihat dari kekayaan jenis kupu-kupu, diketahui bahwa HK Rawa Dongkal adalah hutan kota dengan kekayaan jenis tertinggi yakni 18 jenis (81.82%), diikuti oleh HK Kopassus Cijantung 15 jenis (68.18%), HK PT JIEP 11 jenis (50%), dan terendah HK UKI Cawang hanya 7 jenis (31.82%).Adapun dilihat dari periode pengamatan, maka periode musim kemarau dan peralihan antara musim kemarau ke musim hujan ditemukan total sebanyak 20 jenis (90.9%) sedangkan pada periode musim hujan ditemukan total sebanyak 17 jenis (77.27%)di seluruh lokasi hutan kota. Berdasarkan jumlah jenis kupu-kupu yang ditemukan di lokasi pengamatan, terdapat empat jenis kupu-kupu yang secara umum ditemukan di keseluruhan lokasi hutan kota dan periode pengamatan, yaitu Graphium agamemnon, Delias hyparete, Eurema hecabe, dan Leptosianina.Selain itu, juga teridentifikasi beberapa jenis kupu-kupu yang secara spesifik hanya ditemukan di satu lokasi hutan kota, yakni jenis kupu-kupu Ideopsis juventa dan Neptis hylasdi HK Rawa Dongkal, Papilio demoleusdi HK PT. JIEP, dan Flos annielladi HK UKI Cawang. Hasil identifikasi juga menunjukkan bahwa terdapat dua jenis kupu-kupu yang hanya ditemukan di satu lokasi dan periode pengamatan tertentu, yaitu Polyura hebe hanya ditemukan di HK Rawa Dongkal pada musim kemarau dan jenis Ypthima horsfieldii hanya ditemukan di HK Kopassus Cijantung pada musim kemarau.
23
Dilihat dari kelimpahan relatif (KR), diketahui bahwa Eurema hecabe merupakan jenis kupu-kupu yang memiliki nilai kelimpahan relatif (KR) tertinggi diHK Rawa Dongkal, HK PT. JIEP, dan HK UKI Cawang (Lampiran 2) dengan nilai 15.23%, 23.91%, dan 40.85%. Adapun untuk kawasan HK Kopassus Cijantung diketahui jenis kupu-kupuDelias hypareteyang memiliki nilai KR tertinggi, yakni 18.64%. Jenis Delias hyparetejuga memiliki nilai total KR tertinggi pada ketiga periode pengamatan (Lampiran 3) masing-masing sebesar 20.33% pada musim kemarau, 17.24% pada musim peralihan, dan 27.87% pada musim hujan. Jumlah jenis kupu-kupu yang tercatat di setiap lokasi pengamatan berkisar 5-17 jenis. Hasil analisis variansone ways Anovamenunjukkan ada perbedaan jumlah jenis yang signifikan antara HK Rawa Dongkal dengan HK PT. JIEP, HK Kopassus Cijantung dan HK UKI Cawang, juga antara HK PT JIEP dengan HK UKI Cawang, dan antara HK Kopassus Cijantung dengan HK UKI Cawang. Ratarata jumlah jenis tertinggi ditemukan di HK Rawa Dongkal (16±1 jenis/pengamatan) dan terendah pada HK UKI Cawang (6±1 jenis/pengamatan). Hasil uji menurut periode pengamatan juga menunjukkan jumlah jenis tidak berbeda signifikan antar periode pengamatan (F=0.23,P=0.796) (Gambar 10a), yakni tertinggi ditemukan padamusim peralihan(12±5jenis/pengamatan), diikuti musim kemarau (11±5 jenis/pengamatan), dan terendah pada musim hujan (10±4jenis/pengamatan). Kelimpahan individu kupu-kupu yang ditemukan selama pengamatan sebanyak 17-62 individu. Kelimpahan individu tertinggi di HK Rawa Dongkal (50±11 individu/pengamatan) dan terendah di HK UKI Cawang (24±7 individu/pengamatan). Hasil analisis variansone ways Anovamenunjukkan kelimpahan individu berbeda signifikan antar lokasi hutan kota,yakni antara HK Rawa Dongkal dengan HK UKI Cawang (Gambar 10b), namun berdasarkanperiode pengamatan tidak berbeda signifikan (F=1.68,P=0.24). Ratarata kelimpahan individu tertinggi pada musim kemarau yaitu 46±16 individu/pengamatan, diikuti musim peralihan yaitu 44±10 individu/pengamatan, dan terendah pada musim hujan yaitu 31±10 individu/pengamatan. Jumlah jenis kupu-kupu
Kelimpahan individu kupu-kupu
17.5 16.33 15.0
60
a
12.5
b b
46 40
10.0
50.33
50
11.67
39.33
a
9.33 ab
30
7.5 5.0
b ab
c F = 37.81, P = 0.001, R-sq = 93.41% S1
S2
S3
a
23.67
5.67 S4
20
F = 4.54, P = 0.039, R-sq = 63.01% S1
S2
S3
S4
b
S1: HK Rawa Dongkal, S2: HK PT. JIEP, S3: HK Kopassus Cijantung, S4: HK UKI Cawang. Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan uji Tukey pada taraf uji 5%.
Gambar 10 Variasi (a) jumlah jenisdan (b) kelimpahan individu di keempat hutan kotapengamatan
24
Peningkatan jumlah jenis yang ditemukan per-section dianalisis dengan kurva akumulasi jenis. Jumlah jenis yang ditemukan di tiap sectionmenunjukkan perbandingan peningkatan jumlah jenis per-section yang berbeda antar lokasi hutan kota. Kurva akumulasi jenis pada keempat hutan kota dan ketiga periode pengamatanditunjukkan pada Gambar 11. Jumlah Jenis 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
a
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
b
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
c
1 2 3 HK Rawa Dongkal
Section 4
HK Kopassus Cijantung
5
6
7
8
9 10 HK PT JIEP HK UKI Cawang
Gambar 11 Kurva akumulasi jenis kupu-kupu di keempat tipe hutan kota pada (a) periode musim kemarau, (b) periode peralihan musim kemarau ke musim hujan, dan (c) periode musim hujan Berdasarkan kurva tersebut diketahui bahwa HK Rawa Dongkal memiliki kurva dengan peningkatan jumlah jenis kupu-kupu yang lebih tinggi dibandingkan dengan kurva hutan kota lainnya, begitu pula dengan kurva HK Kopassus Cijantung yang menunjukkan gejala peningkatan jenis yang tinggi namun nilainya masih berada di bawah kurva HK Rawa Dongkal. Keseluruhan kurva relatif melandai pada bagian-bagian akhir section, yang menunjukkan bahwa jenis kupukupu yang terdapat pada lokasi tersebut diperkirakan hampir seluruhnya telah
25
ditemukan.Kurva akumulasi jenis di HK PT JIEP dan HK UKI Cawang memiliki kurva yang relatif mendatar dari awal hingga akhir section, yang menunjukkan sedikitnya penambahan jenis yang ditemukan pada setiap section bahkan kadang tidak terdapat penambahan jenis. Indeks Keanekaragaman Jenis Indeks keanekaragaman jenis di keempat lokasi hutan kotasebesar1.23-2.72. Rataan nilai indeks keanekaragaman tertinggi (2.65±0.08) ditemukan di HK Rawa Dongkal, dan nilai terendah (1.52±0.25) di HK UKI Cawang(Gambar 12a). Hasil analisis variansone ways Anova menunjukkan ada perbedaan signifikan nilai indeks keanekaragaman jenisantara HK Rawa Dongkal dengan HKKopassus Cijantung dan HK UKI Cawang, serta antara HKPT.JIEP dengan HK UKI Cawang. Adapun berdasarkan periode pengamatan, nilai indeks keanekaragaman tertinggi ditemukan pada periode peralihan (2.23±0.43), diikuti musim kemarau (2.12±0.5), dan terendah pada musim hujan (1.88±0.56). Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan nilai keanekaragaman jenis antar periode pengamatan. Indeks Kekayaan Jenis Indeks kekayaan jenis (Dmg) kupu-kupudikeempat lokasi penelitian berkisar 1.41-4.13. Bedasarkan lokasi hutan kota, rataan nilai kekayaan jenis tertinggi terdapat di HK Rawa Dongkal (3.93±0.19) dan terendah terdapat diHK UKI Cawang (1.49±0.1) (Gambar 12b). Adapun berdasarkan periode pengamatan, nilai rataan indeks kekayaan jenis tertinggi ditemukan pada musim peralihan (2.77±1.11), diikuti musim kemarau (2.66±1.03), dan terendah pada musim hujan (2.45±1.01). Hasil analisis varian one ways Anova menunjukkan ada perbedaan signifikan nilai indeks kekayaan jenis antar lokasi penelitian sedangkan pada tiaptiap periode pengamatan tidak berbeda signifikan (F=0.09,P=0.912). Nilai indeks tersebut menunjukkan bahwa kekayaan jenis kupu-kupu termasuk kategori sedang (2.5
Kekayaan jenis (Dmg)
2.8
4.5 a
2.65
2.6
3.93
4.0
a 2.4 2.28
2.2
c
2.0 1.87
1.8
3.0
bc
2.97 b
2.5
2.18
ab
1.6 1.4
3.5
1.52
2.0 d
F = 17.44, = 0.001, R-sq = 86.73% c
1.2 S1
S2
S3
a
S4
1.5
F = 70.83, P = 0.001, R = 96.37% S1
S2
1.49 S3
S4
b
S1: HK Rawa Dongkal, S2: HK PT. JIEP, S3: HK Kopassus Cijantung, S4: HK UKI Cawang. Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan uji Tukey pada taraf uji 5%.
Gambar12
Variasi (a) indeks keanekaragaman jenis dan (b) indeks kekayaan jenis di keempat hutan kotapengamatan
26
Indeks Kemerataan Jenis Hasil perhitungan indeks kemerataan jenis kupu-kupudi keempat lokasi hutan kota sebesar 0.77-0.96. Berdasarkan lokasi, nilai rata-rata indeks kemerataan jenis tertinggi ditemukan di HK Rawa Dongkal (0.95±0.01) dan terendah pada HK PT. JIEP (0.84±0.04) (Gambar 13a), sedangkan berdasarkan periode pengamatan, nilai tertinggi ditemukan pada musim peralihan (0.94±0.03), diikuti musim kemarau (0.9±0.06), dan terendah pada musim hujan (0.85±0.08). Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antar lokasi (F=2.42, P=0.142) maupun periode pengamatan (F=1.97, P=0.195).Indeks kemerataanjenis di keempat lokasi pengamatan menunjukkan bahwa komunitas tersebut dalam kondisi stabil tanpa ada jenis-jenis tertentu yang mendominasi(0.75<E<1). Indeks Dominansi Jenis Hasil perhitungan nilai indeks dominansijenis kupu-kupu di keempat lokasi hutan kotasebesar 0.07-0.39 (Gambar 13b). Nilai tertinggi ditemukan di HKUKI Cawang (0.28±0.1) dan terendahdi HK Rawa Dongkal (0.08±0.01). Berdasarkan periode pengamatan, nilai tertinggipada musim hujan (0.21±1.34), diikuti musim kemarau (0.15±0.07), dan terendah pada musim peralihan (0.13±0.06). Hasil analisis varians menunjukkan ada perbedaan signifikan antara HK UKI Cawang dengan HK Rawa Dongkal dan HK Kopassus Cijantung, namun tidak berbeda nyata berdasarkan periode pengamatan (F=0.94, P=0.424). Nilai indeks dominansi di seluruh lokasi hutan kota dan periode pengamatan menunjukkan bahwa tidak terdapat jenis yang mendominasi karena bernilai kurang dari 0.5. Kemerataan jenis (E)
Dominansi jenis (D) 0.40
0.95
0.95
F = 6.43, P = 0.016, P = 70.69%
0.35
0.93
0.30
0.90
0.28 0.87
0.85
0.84
0.25 0.20
b S1
S2
S3
S4
a
0.11
ab
0.10 0.75
a
0.17
0.15
0.80
S1
b
0.08 S2
S3
S4
b
S1: HK Rawa Dongkal, S2: HK PT. JIEP, S3: HK Kopassus Cijantung, S4: HK UKI Cawang. Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan uji Tukey pada taraf uji 5%.
Gambar 13 Variasi(a) indeks kemerataan jenis dan (b)indeks dominansi jenis di keempat hutan kotapengamatan Kesamaan Komunitas Kupu-Kupu Kesamaan komunitas kupu-kupu dianalisis menggunakan Euclidean Distancedan disajikan dalam dendogram. Dendogram analisiscluster di semualokasi hutan kota dan periode pengamatan membentuk tiga cluster komunitas (Gambar 14). Berdasarkan analisis similaritas, diketahui kesamaan komunitas tertinggi pada ketiga periode pengamatan adalah antara HK Rawa
27
Dongkal yang merupakan hutan kota kawasan permukiman dengan HK Kopassus Cijantung yang merupakan hutan kota kawasan perkantoran dengan nilai indeks kesamaan tertinggi pada tiap-tiap periode pengamatan. Nilai kesamaan tertinggi kedua adalah antara cluster pertama tersebut dengan HK UKI Cawang yang merupakan hutan kota di kawasan jalan raya. Di sisi lain, HK PT. JIEP yang berada di kawasan industri selalu berada pada grup terluar dan memiliki nilai kesamaan terendah. Analisis tersebut menunjukkan bahwa HK Rawa Dongkal dan HK Kopassus Cijantung sebagian besar disusun oleh komposisi jenis kupu-kupu yang relatif sama, sedangkan HK PT JIEP memiliki kesamaan komunitas kupukupu yang rendah atau komposisi yang paling tidak mirip dengan hutan kota lainnya. Periode musim kemarau
6.60
14.925
6.6008
36.0398
37.1426
35.0942
Similarity
Similarity
14.92
Peralihan musim kemarau-musim hujan
37.73
43.28
53.8734
68.87
71.64
100.00
100.00 1
Sites
3
4
2
1
3
Sites
4
2
Periode musim hujan
Similarity
Keterangan : Sites1 :HK Rawa Dongkal Sites 2 :HK PT. JIEP Sites3 :HK Kopassus Cijantung Sites 4 :HK UKI Cawang
26.6764
26.68 36.078
36.078
4
Sites
51.12
75.56
100.00 1
3
2
Gambar 14 Dendogram kesamaan komunitas kupu-kupu antar hutan kota pada tiap-tiap periode pengamatan
Hubungan antara Karakteristik Lingkungan dengan Komunitas Kupu-Kupu Analisis korelasi Pearson antara parameter komunitas kupu-kupu sebagai variabel dependen dengan parameter lingkungan sebagai variabel independen ditampilkan pada Tabel 4.Analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa semakin beragamnya jenis tumbuhan pakan, rapatnya tutupan tajuk yang ditandai dengan tingginya nilaiLeaf Area Index(LAI), serta semakin jauh jarak lokasi pengamatan dengan area dari sumber gangguan berkorelasi positif dengan jumlah jenis yang ditemukan (rpakan=0.955, P= 0.001; rLAI= 0.627, P= 0.029; rjarak dari area ganguan=
28
0.792, P= 0.002), nilai indeks keanekaragaman jenis (r pakan= 0.897, P= 0.001; rLAI= 0.685, P= 0.014; rjarak dari area ganguan= 0.809, P= 0.001), dan nilai indeks kekayaan jenis kupu-kupu pada suatu habitat (rpakan= 0.966, P= 0.001; rLAI= 0.656, P= 0.02; rjarak dari area ganguan= 0.815, P= 0.001). Di sisi lain, semakin tingginya kecepatan angin dan intensitas cahayaberkorelasi negatif dengan jumlah jenis yang ditemukan (rkecepatan angin= -0.785, P= 0.002; rintensitas cahaya= -0.592, P= 0.042), nilai indeks keanekaragaman jenis (rkecepatan angin= -0.849, P= 0.001; rintensitas cahaya= 0.625, P= 0.03), dan nilai indeks kekayaan jenis kupu-kupu pada suatu habitat (rkecepatan angin= -0.755, P= 0.005; rintensitas cahaya= -0.667, P= 0.018). Tabel 4
Korelasi Pearsonvariabel-variabel lingkungan terhadap komunitas kupu-kupu
Parameter lingkungan Satuan Variabel Suhu udara
0
S
N
Parameter komunitas H’ Dmg
E
D
C
-0.164
0.182
-0,081
-0.242
0.254
-0.70
Kelembapan udara Intensitas cahaya
%
0.072
-0.317
0.021
0.165
-0.219
0.119
lux
-0.592*
-0.145
-0.625*
-0.667*
-0.430
0.526
Kecepatan angin
m/s
-0.785** -0.744**
-0.849**
-0.686*
0.893**
0.627*
0.417
0.685*
0.656*
0.435
-0.699*
jenis
0.955**
0.648*
0.897**
0.966**
0.529
-0.751**
ug/m3
-0.441
0.010
-0.523
-0.513
-0.600*
0.416
ug/m3
-0.461
0.060
-0.496
-0.513
-0.628*
0.299
meter
0.382
0.172
0.315
-0.531
-0.096
-0.126
meter
0.792**
0.473
0.809**
0.815**
0.652*
-0.725**
Leaf area index Kekayaan jenis tumbuhan pakan Konsentrasi Pb Kadar TSP Jarak dari jalan raya Jarak dari area sumber gangguan
-0.755**
S: jumlah jenis, N: kelimpahan individu, H’: indeks keanekaragaman jenis, Dmg: indeks kekayaan jenis, E: indeks kemerataan jenis, D: indeks dominansi jenis. *signifikan pada taraf kepercayaan 95%, **signifikan pada taraf kepercayaan 99%.
Meningkatnya kelimpahan individu pada suatu habitat berkorelasi positif dengan kekayaan jenis tumbuhan pakan (rtumbuhan pakan= 0.648, P= 0.023) namun berkorelasi negatif dengan tingginya intensitas cahaya (r kecepatan angin= -0.744, P= 0.006). Kemerataan jenis komunitas kupu-kupu pada suatu habitat berkorelasi positif dengan semakin jauh habitat tersebut dari area sumber gangguan (r jarak dari area gangguan= 0.652, P= 0.021) dan berkorelasi negatif dengan meningkatnya kecepatan angin (rkecepatan angin= -0.686, P= 0.014). Dominansi jenis komunitas kupu-kupu pada suatu habitat berkorelasi positif dengan meningkatnya kecepatan angin (rkecepatan angin= 0.893, P= 0.001) namun berkorelasi negatif dengan kekayaan jenis tumbuhan pakan (rtumbuhan pakan= -0.751, P= 0.005), meningkatnya tutupan tajuk (rtumbuhan pakan= -0.699, P= 0.011), dan semakin jauhnya habitat tersebut dari area sumber gangguan (rjarak dari area gangguan= -0.725, P= 0.008). Kadar total suspended particulate (TSP) dan timbal (Pb) sebagai polutan udara diketahui memiliki korelasi negatif yang signifikan terhadap kemerataan
29
jenis komunitas kupu-kupu pada suatu habitat (rTSP= -0.628, P= 029; rPb= -0.600, P= 0.039). Berdasarkan hasil analisis tersebut, diketahui bahwa jumlah jenis tumbuhan pakan merupakan variabel dominan dengan nilai korelasi tertinggi terhadap kekayaan dan keanekaragaman jenis kupu-kupu karena semakin banyak jenis tumbuhan pakan yang tersedia maka akan semakin banyak jenis yang dapat memanfaatkannya sehingga lokasi tersebut lebih banyak ditemukan kupu-kupu. Potensi Kupu-Kupu sebagai Bioindikator Kondisi Lingkungan Hutan Kota Respon Kupu-Kupu terhadap Variabel-Variabel Lingkungan Kecenderungan distribusi jenis kupu-kupu berdasarkan variabel-variabel lingkungan yang mempengaruhinya dianalisis dengan analisis multivariat. Analisis dilakukan dengan terlebih dahulu mengkonversi data jenis kupu-kupu menjadi √x sedangkan untuk data variabel lingkungan ditransformasi ke dalam bentuk log 10 (x+1).Hasil analisis data Detrended Correspondence Analysis (DCA) menunjukkan Length of Gradient sebesar 1.626 (kurang dari 3) sehingga analisis yang digunakkan adalah analisis linier (RDA). Redundancy analysis (RDA) merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui distribusi spesies berdasarkan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Hasil analisis data RDA divisualisasikan dengan CanoDraw sehingga menghasilkan tampilan triplot (Gambar 15). Hasil analisis RDA menunjukkan bahwa antar variabel lingkungan berupa kekayaan jenis tumbuhan pakan, leaf area index, jarak dari jalan raya, dan jarak dari area gangguan memiliki korelasi positif dan kuat, begitu pula dengan kelembapan udara namun dengan nilai korelasi yang lebih rendah, serta dengan kecepatan angin dengan nilai korelasi negatif yang kuat. Di sisi lain, antara konsentrasi Pb, kadar TSP, suhu udara, intensitas cahaya, dan kecepatan angin juga membentuk korelasi positif namun dengan nilai korelasi yang rendah. Ordinasi RDA menunjukkan adanya kesamaan karakteristik lingkungan antara HK Rawa Dongkal yang berada di kawasan permukiman dengan HK Kopassus Cijantung yang berada di kawasan perkantoran dimana karakteristik lingkungan yang mendominasi diantaranya kekayaan jenis tumbuhan pakan, nilai LAI, jarak dari jalan raya, serta jarak dari area sumber gangguanyang tinggi. Ordinasi dari keseluruhan jenis juga menunjukkan bahwa sebagian besar jenis kupu-kupu terordinasi pada asosiasi kedua lokasi hutan kota tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua lokasi tersebut merupakan lokasi dimana ditemukan sebagian besar jenis kupu-kupu. Hasil ordinasi menunjukkan bahwa jenis kupu-kupuG. agamemnon dan D. hyparete tidak memiliki keterkaitan yang kuat terhadap faktor-faktor lingkungan tertentu, sehingga diindikasi dapat hidup pada habitat dengan sumber daya yang terbatas hingga optimal, serta dari tingkat gangguan rendah hingga tinggi. Hal tersebut didukung dengan hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa jenis kupukupu tersebut ditemukan disemua lokasi hutan kota contoh. Jenis kupu-kupu tersebut memiliki sifat yang dapat beradaptasi di berbagai tipe habitat serta tidak dibatasi persyaratan faktor-faktor lingkungan tertentu. Adapun jenis kupu-kupu L. nina diketahui memiliki keterkaitan dengan kecepatan angin, karena kupu-kupu
30
jenis tersebut memiliki ukuran tubuh yang kecil sehingga membutuhkan kondisi kecepatan angin rendah.
Keterangan: G.agamemnon G. doson P. demoleus P. demolion P. memnon P. polytes D. bisaltide E. eunice H. bolina I. juventa J. hedonia N. hylas P. hebe Y. horsfieldii A. olferna C. pyranthe D. hyparete E. blanda
: Gag : Gdo : Pds : Pdn : Pme : Ppo : Dbi : EEu : Hbo : Iju : Jhe : Nhy : Phe : Yho : Aol : Cpy : Dhy : Ebl
E. hecabe L. nina F. aniella P. gracilis Tem Hum Lin Wve Fpl Lai Tsp Pb Dhi Dar O1, O5, O9 O2, O6, O10 O3, O7, O11 O4, O8, O12
: Ehe : Lni : Fan : Pgr : suhu udara : kelembapan udara : intensitas cahaya : kecepatan angin : tumbuhan pakan : leaf area index : kadar TSP : konsentrasi Pb : jarak dari jalan raya : jarak dari area gangguan : HK Rawa Dongkal : HK PT JIEP : HK Kopassus Cijantung : HK UKI Cawang
Gambar 15 Ordinasi triplot Redundancy Analysis (RDA) distribusi jenis kupukupu ( ) dengan faktor-faktor lingkungan ( ) di keempat lokasi hutan kota (Ox) pengamatan Hasil analisis menunjukkan terdapat beberapa jenis yang memiliki kecenderungan distribusi serta keterkaitan kuat dengan faktor-faktor lingkungan tertentu. Jenis-jenis kupu-kupu tersebut beserta faktor lingkungan pencirinya ditampilkan pada Tabel 5.Kupu-kupu jenis Y. horsfieldii dan P. hebe merupakan jenis yang memiliki keterkaitan tertinggi serta dipengaruhi oleh paling banyak faktor-faktor lingkungan yang mencirikan habitat dengan potensi gangguan rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa kedua jenis tersebut memiliki kerentanan lebih tinggi apabila terjadi perubahan lingkungan karena memiliki preferensi lingkungan dengan gangguan yang rendah serta persyaratan kondisi lingkungan yang lebih kompleks dibandingan jenis lainnya. Di sisi lain, jenis P. demoleus dan E. hecabe menunjukkanketerkaitan yang erat dengan beberapa variabel lingkungan yang mencirikan habitat terganggu.
31
Tabel 5 Jenis kupu-kupu beserta faktor lingkungan pencirinya Faktor lingkungan penciri Jenis kupu-kupu Korelasi positif Korelasi negatif Polyura hebe Kekayaan jenis tumbuhan pakan, Kecepatan angin Ypthima horsfieldii Leaf area index, jarak dari jalan raya, jarak dari area gangguan Papilio demoleus Konsentrasi Pb, kadar TSP, Kelembapan relatif Eurema hecabe intensitas cahaya, suhu udara TingkatanPengaruh Variabel-Variabel Lingkungan terhadap Keberadaan Jenis Kupu-Kupu Pemeringkatan pengaruh variabel-variabel lingkungan terhadap keberadaan jeniskupu-kupu menunjukkan bahwa kekayaan jenis tumbuhan pakan dan konsentrasi Pb merupakan variabel lingkungan utama yang mempengaruhi keberadaan kupu-kupu, diikuti oleh leaf area index(LAI), dan intensitas cahaya sebagai faktor lingkungan ketiga(Tabel 6). Tabel 6
Variabel lingkungan dan tingkatan pengaruhnya terhadap keberadaaan jenis kupu-kupu
Variabel lingkungan Kekayaan jenis tumbuhan pakan Konsentrasi Pb Leaf area index Intensitas cahaya Suhu udara Kelembaban udara Jarak dari area gangguan Kecepatan angin Jarak dari jalan raya
Var.N 7 6 5 3 1 2 10 4 9
λ 0.33 0.23 0.2 0.06 0.03 0.03 0.03 0.02 0.01
P 0.002* 0.002* 0.004* 0.01* 0.262 0.244 0.466 0.592 0.636
F 4.98 4.77 6.5 2.51 1.24 1.31 1.02 0.77 0.66
λ:eigenvalue, *: signifikan (P<0.05).
Distribusi Jenis Kupu-Kupu berdasarkan Tipe Habitat dan Potensi Gangguan Lingkungan Perbedaan distribusitiap-tiap jenis kupu-kupu menghasilkan perbedaan komposisi jenis kupu-kupu disetiap lokasi hutan kota (Tabel 7). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat jenis kupu-kupu yang ditemukan di seluruh habitat contoh, menempati dua atau lebih tipe habitat, atau hanya ditemukan di satu habitat tertentu.Secara umum distribusi jenis kupu-kupu sebagian besar ditemukan di habitat dengan potensi gangguan rendah. Jenis-jenis yang ditemukan semakin menurun jumlahnya seiring dengan meningkatnya potensi gangguan lingkungan. Terdapat empat jenis kupu-kupu yang ditemukan di keseluruhan habitat, yakniE. hecabe, L. nina, D. hyparete, dan G agamemnon. Keempat jenis kupu-kupu tersebut merupakan jenis generalis dengan jumlah individu yang melimpah serta kelimpahan relatif yang tinggi di keseluruhan habitat hutan kota. Di sisi lain, terdapat enam jenis kupu-kupu yang hanya ditemukan di suatu tipe habitat tertentu (site spesific), empat jenis diantaranya hanya ditemukan di habitat dengan potensi
32
gangguan lingkungan rendah (I. juventa, N. hylas, P. hebe, Y. horsfieldii), dan dua jenis kupu-kupu (P. demoleus, F. aniella) hanya ditemukan pada habitat dengan potensi gangguan lingkungan tinggi. Konsistensi penemuan jenis-jenis tersebut hanya di habitat tertentu pada tiap periode pengamatan menunjukkan bahwa jenisjenis tersebut memiliki ketergantungan pada komponen-komponen habitat yang spesifik pada hutan kota tersebut sehingga dapat dikategorikan sebagai jenis spesialis.
Jenis kupu-kupu
Tabel 7
Distribusi jenis kupu-kupu di tiap tipe habitat dan potensi gangguan lingkungan HK Kopassus HK UKI HK Rawa Dongkal HK PT JIEP Cijantung Cawang Potensi gangguan rendah Tinggi G.agamemnon, D. hyparete, L. nina, E. hecabe D. bisaltide, J. hedonia, A. olferna G. doson, P. Memnon, P. polytes, E.eunice, C. pyranthe, P.gracilis P.demolion P.demoleus Y. horsfieldii I. juventa, N. hylas, P. hebe F. aniella E. blanda E. blanda H. bolina H.bolina
Kelompok jenis generalis tidak menunjukkan keterkaitan yang kuat terhadap komponen-komponen lingkungan tertentu, namun jenis-jenis tersebut menunjukkan keterkaitan dengan perubahan potensi gangguan lingkungan (Gambar 16). 40
E. hecabe
12
Kelimpahan relatif (%)
L. nina
10
30 20 10 0
Potensi gangguan Tinggi
Rendah
Kelimpahan relatif (%)
16 14
8 6 4 2 0
16
D. hyparete
14 12
12
G. agamemnon
10
10 8 6 4 2 0
Rendah
Potensi gangguan Tinggi
Rendah kelimpahan relatif (%)
Kelimpahan relatif (%)
50
8 6 4 2 0
Potensi gangguan
Tinggi
Rendah
Potensi gangguan
Tinggi
Gambar 16 Kelimpahan relatif keempat jenis kupu-kupu generalis pada gangguan lingkungan rendah hingga tinggi
33
Grafik tersebut menunjukkan bahwa kecenderungan kelimpahan relatif keempatnya meningkat seiring dengan meningkatnya potensi gangguan.Grafik pada jenis kupu-kupuL nina dan G. agamemnon menunjukkan kecenderungan sedikit berbeda dengan menunjukkan penurunan di habitat dengan potensi gangguan sedang, yaitu di HK PT JIEP namun tetap menunjukkan nilai kelimpahan relatif tertinggi pada habitat dengan potensi gangguan lingkungan tertinggi. Potensi Komunitas Kupu-Kupu serta Jenis Kupu-kupu Tertentu sebagai Bioindikator Kondisi Lingkungan Berdasarkan hasil identifikasi, keseluruhan jenis kupu-kupu yang ditemukandalam penelitian ini telah diketahui sifat-sifat ekologis, kedudukan dan klasifikasi taksonominya,serta merupakan konsumen primer yang memanfaatkan tumbuhan sebagai sumber pakannya. Jenis-jenis kupu-kupu tersebut juga diketahui bersifat kosmopolit sehingga dapat ditemukan di berbagai tipe habitat, memiliki perbedaan warna dan pola pada sayap yang dapat dilihat secara langsung untuk membedakan antar jenisnya. Dilihat dari status konservasinya, semua jenis yang ditemukan tidak termasuk jenis yang dilindungi berdasarkan IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources), CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), maupun PP No. 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Hasil penelitian menunjukkan terdapat beberapa jenis kupu-kupu yang teridentifikasi potensial sebagai bioindikator, jenis-jenis tersebut ditampilkan pada Tabel 8. Tabel 8
Jenis kupu-kupu potensial sebagai bioindikator kondisi lingkunganberdasarkan kesesuaian terhadapkriteria sifat umum dan respon terhadap kondisi lingkungan
Kriteria
E. hecabe Kehadiran pada Keseluruhan habitat HK Kelimpahan relatif Tinggi (>20%) Korelasi dengan Ciri habitat faktor lingkungan gangguan rendah maupun tinggi Voltinisme Multivoltin@ Keberagaman sumber pakan* Penyebaran pakan Preferensi habitat
Jenis kupu-kupu Y. horsfieldii P. hebe HK Kopassus HK Rawa Cijantung Dongkal Rendah Rendah (<15%) (<15%) Ciri habitat Ciri habitat gangguan gangguan rendah rendah
P. demoleus HK PT JIEP Tinggi (>20%) Ciri habitat terganggu
Belum diketahui Polifagus
Multivoltin+
Polifagus
Belum diketahui Polifagus
Pada seluruh habitat HK Dapat beradaptasi dengan habitat dengan suhu tinggi
Pada seluruh habitat HK Habitat yang masih baik dengan ekosistem terjaga#
Pada seluruh habitat HK Habitat ternaungi dengan kanopi rapat0
Pada seluruh habitat HK Kawasan pertanian atau urbanisasi tinggi^
Polifagus
34
^Corbet dan Pandlebury (1992), 0Houlihan et al. (2012), @Kato dan Sano (1987),),#Mohammed (2013), *Peggie dan Amir (2006), + Reuther (1989).
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa terdapat empat jenis kupukupu generalis, yakni E. hecabe, L. nina, D. hyparete, dan G agamemnon. dari keempat jenis kupu-kupu generalis tersebut, jenis E. hecabe menunjukkan potensi sebagai jenis indikator keadaan lingkungannya, karena berdasarkan kecenderungan meningkatnya kelimpahan relatifnya seiring dengan meningkatnya gangguan lingkungan. Selain itu, dari jenis-jenis kupu-kupu spesialis yang ditemukan yaitu Y. horsfieldii, P. hebe, dan P. demoleus, juga diketahui memenuhi kriteria sebagai jenis indikator dibandingkan dengan jenis spesialis lainnya berkaitan dengan korelasinya terhadap faktor-faktor lingkungan tertentu.
4 PEMBAHASAN Komunitas Kupu-Kupu diBerbagai Tipe, Karakteristik Habitat, dan Gangguan Lingkungan Hutan Kota Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode pollard transect merupakan metode yang efektif digunakan untuk mengidentifikasi keberadaan kupu-kupu pada suatu habitat. Hal tersebut sejalan dengan beberapa penelitian tentang komunitas kupu-kupu sebelumnya yang menyatakan bahwa metode ini dipandang efektif untuk memantau fluktuasi komunitas kupu-kupu dan kondisi ekologis kupu-kupu di suatu habitat (Pollard danYates 1993). Hasil penelitian komunitas kupu-kupu di empat kawasan hutan kota di wilayah Kotamadya Jakarta Timur dalam penelitian ini menunjukkan kekayaan jenis sebanyak 22 jenis kupukupu serta menunjukkan nilai lebih rendah dibandingkan dengan beberapa hasil penelitian komunitas kuu-kupu yang pernah dilakukan di wilayah DKI Jakarta. Sebagai contoh, pada hasil penelitian Utami (2012) di area Kampus UI Depok teridentifikasi sebanyak 46 jenis kupu-kupu, sedangkan hasil penelitian Rahmadetiassani (2013) mengidentifikasi 30 jenis di HK Srengseng, 26 jenis di Senayan, dan 24 jenis di Taman Margasatwa Ragunan. Perbedaan kekayaan jenis kupu-kupu yang ditemukan pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, hal tersebut diduga disebabkan adanya perbedaan desainpenelitian yang terkait dengan waktudan lokasi pengamatan. Penelitian komunitas kupu-kupu yang dilakukan Utami (2012) dan Rahmadetiassani (2013) lebih memfokuskan pada kajian dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran tentang kekayaan dan keanekaragaman jenis kupu-kupu di lokasi-lokasi pengamatan berupa tamantaman yang ditumbuhi oleh berbagai jenis tumbuhan berbungadan pada periode tertentuyang diprediksi mendukung keberadaan kupu-kupu. Sementara penelitian ini lebih memfokuskan pada kajian perbandingan komunitas kupu-kupu di habitat-habitat dengan berbagai potensi gangguan lingkungan, sehingga tidak selalu dilakukan di habitat dengan karakteristik lingkungan yang mendukung keberadaan kupu-kupu serta dilakukan pada beberapa periode musim dimana diantaranya merupakan musim saat kupu-kupu secara alami jarang ditemukan. Hal tersebut menunjukkan bahwa perbedaan lokasi dan periode waktu (musim) pengamatan diduga kuat akan berpengaruh terhadap kemungkinan adanya perbedaan komunitas kupu-kupu yang akan ditemukan. Selain itu, perbedaan gangguan lingkungan di suatu habitat juga diduga kuat memberikan pengaruh nyata terhadap perbedaan kekayaan jenis kupu-kupu di suatu habitat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keempat tipe hutan kota contoh sebagai lokasi pengamatan memiliki karakteristik lingkungan biotik dan abiotik serta tingkat gangguan yang berbeda, yang membentuk karakteristik habitat yang berbeda, dan sehingga berdampak pada perbedaan komposisi komunitas kupukupu yang ditemukan. Fenomena tersebut dapat terjadi karena pada dasarnya komposisi komunitas kupu-kupudisuatu tipe habitat sangat terkait dengan karakteristik habitatnya. Hal ini disebabkan tiap-tiap jenis kupu-kupu yang membentuk suatu komunitas kupu-kupu di suatu habitat memiliki preferensi dan persyaratan komponen-komponen habitat tertentu, akibatnya perbedaan sumberdaya yang tersedia di setiap tipe hutan kota menyebabkan variasi antar komunitas kupu-kupu di tiap-tiap hutan kota sebagai habitatnya. Fenomena ini
36
sejalan dengan pernyataan Koh dan Sodhi (2004) bahwa distribusi dan keberadaan kupu-kupu memiliki keterkaitan kuat dengan faktor-faktor lingkungannya. Faktor lain yang diduga kuat berpengaruh terhadap komunitas kupu-kupu di suatu tipe habitat adalah tingkat gangguan lingkungan. Semakin tinggi tingkat gangguan lingkungan di suatu tipe habitat, maka kekayaan dan keanekaragaman jenis kupu-kupu di habitat itu cenderung lebih rendah dibandingkan dengan habitat dengan tingkat gangguan yang lebih rendah. Hasil penelitian ini mengkonfirmasi hal tersebut karena menunjukkan bahwakekayaan dan keanekaragaman jeniskupu-kupu lebih tinggi di hutan kota kawasan permukimanmaupun perkantoran dengan potensi gangguan lingkungan relatif rendah, sementara hutan kota kawasan industri dan dekat jalan raya dengan tingkat gangguan relatif tinggi menunjukkan kekayaan dan keanekaragaman jenis kupu-kupu lebih rendah. Hasil pengukuran dan analisis hubungan parameter komunitas dengan potensi gangguan lingkungan menunjukkan bahwa secara umummeningkatnya potensi gangguan lingkungan di suatu habitat berkorelasi positif dengan rendahnya kekayaan dan keanekaragaman jenis serta meningkatkan kecenderungan terjadinya dominansi jenis kupu-kupu tertentu di suatu habitat.Hal ini sesuai dengan teori Kocher dan Williams (2000) yang menyatakan bahwa kekayaan jenis dan kelimpahan individu kupu-kupu memiliki nilai lebih rendah di habitat terganggu dibandingkan dengan habitat yang tidak terganggu.Kondisi tersebut terjadi karena semakin tinggi gangguan lingkungan di suatu habitat diduga akan berpengaruh terhadap menurunnya daya tahan kupu-kupu untuk dapat hidup di suatu habitat, sehingga hanya beberapa jenis kupu-kupu yang mampu bertahan hiduplah yang dapat ditemukan. Haddad dan Baum (1999) menyatakan bahwa keberadaan kupu-kupu di suatu habitat juga dipengaruhi oleh keberadaan komponen-komponen habitat di lingkungan sekitar hutan kota, hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai koridor pergerakan maupun penyedia sumber daya bagi kupu-kupu. Hasil penelitian inimempertegas pernyataan tersebut karena di hutan kota kawasan industri dan jalan raya, dimana sebagian besar area di sekitarnya merupakan area terbangun dengan sumber daya yang terbatas, hanya tersisa sedikit vegetasi, sertapolusi yang tinggi akibat kegiatan antropogenik, ternyata kurang mendukung keberadaan kupu-kupu.Kondisi tersebut mengakibatkan rendahnya nilai kekayaan dan keanekaragaman jenis kupu-kupu di kedua tipe habitat tersebut. Sebaliknya kondisi HKRawa Dongkal yang terletak di kawasan permukiman memiliki karakteristik lingkungan yang paling mendukung keberadaan kupu-kupu, hal ini ditandai dengan nilai kekayaan dan keanekaragaman jenis kupu-kupu yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan kota lainnya. Secara spesifik, komponen habitat yang dipandang paling mendukung sesuai ambang batas optimal yang dibutuhkan kupu-kupu, yakni: (1) memiliki keberagaman jenis tumbuhan pakan yang merupakanfaktor lingkungan dependen yang paling mempengaruhi keanekaragaman jenis kupu-kupu di suatu habitat, (2) penutupan kanopi vegetasi yang bervariasi, dan (3) memiliki jarak yang relatif jauh dari sumber gangguan atau relatif minim gangguannya. Selain faktor karakteristik habitat dan tingkat gangguan lingkungan, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa keberadaan komunitas kupu-kupu di suatu habitat juga sangat terkait dengan musim. Secara spesifik hasil penelitian ini menunjukkan bahwa periode peralihan antara musim kemarau ke musim hujan
37
merupakan periode yang paling mendukung keberadaan kupu-kupu, ditunjukkan dengan kekayaan dan keanekaragaman jenis kupu-kupu tertinggi dibandingkan dengan dua periode musim lainnya (musim hujan dan kemarau). Diduga kuat bahwa kondisi cuaca pada periode peralihantidak seekstrim kedua periode musim lainnya, sehingga lebih memungkinkan kupu-kupu untuk bereproduksi dan beraktivitas. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya mengenai dinamika komunitas kupu-kupu berdasarkan musim menunjukkan bahwa keanekaragaman kupu-kupu tertinggi terjadi pada akhir musim kemarau hingga awal musim hujan (Pozo et al. 2008), karena pada periode ini sebagaian besar tumbuhan penghasil nektar mulai berbunga (Rizal 2007), sehingga menyediakan kebutuhan pakan serta sangat mendukung hidup dan perkembangbiakan kupukupu. Adapun pada periode musim hujan, kekayaan jenis, kelimpahan, dan keanekaragaman jenis kupu-kupu memiliki nilai rata-rataterendah, karena pada musim hujan kondisi cuacanya cenderung sering tidak cerah serta curah hujannya tinggi sehingga dapat menghambat aktivitas kupu-kupudan mengakibatkan banyak larva atau pupa mati sehingga kupu-kupu jarang ditemukan.Kondisi tersebut disebabkan karena kupu-kupu merupakan hewan yang suhu tubuhnya sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungannya, sehingga hanya bisa hidup pada kisaran suhu tertentu, serta aktif pada kondisi cuaca yang cerah (Ramesh et al. 2010), sehingga apabila suhu lingkungannya berubah secara ekstrim (drastis) seperti yang terjadi pada musim hujan dan musim kemarau, maka dipastikan akan berdampak negatif terhadap keberadaan kupu-kupu. Hasil penelitian ini menunjukkan nilai similaritas kupu-kupu tertinggi pada semua periode pengamatan (musim) ditemukan di habitat-habitat yang memiliki karakteristik habitat menyerupai hutan alam yang ditandai dengan beberapa strata tumbuhan, penutupan kanopi yang rapat, serta gangguan lingkungan yang relatif rendah, baik yang berasal dari kegiatan domestik (rumah tangga) maupun kegiatan transportasi. Fenomena ini ditunjukkan oleh kesamaan nilai similaritas komunitas kupu-kupu tertinggi yaitu antara HKRawa Dongkal di kawasan permukiman dan HK Kopassus Cijantung di kawasan perkantoran dibandingkan dengan hutan kota lainnya. Kedua hutan kota ini secara umum memiliki kondisi lingkungan yang relatif hampir serupa, sehingga jenis kupu-kupu yang menempati kedua habitat tersebut memiliki kebutuhan, preferensi, dan membentuk interaksi yang juga hampir serupa. Adapun nilai similaritas hutan kota PT JIEP di kawasan industri, menunjukkan bahwa komposisi jenis kupu-kupunya relatif paling berbeda dengan hutan kota lainnya pada semua periode pengamatan, karena secara umum karakteristik habitatnya berbeda dan khas dengan potensi gangguan relatif tinggi.Selain itu, hutan kota tersebut merupakan satu-satunya hutan kota contoh yang memiliki potensi gangguan dari kegiatan industri, selain dari kegiatan domestik maupun transportasi. Kondisi tersebut diindikasi membentuk karakteristik habitat yang berbeda dan berpengaruh pada keberadaan jenis-jenis kupu-kupu tertentu pada lokasi hutan kota tersebut yang membedakannya dengan hutan kota lainnya. Secara ekologis, setiap jenis kupu-kupu memiliki kemampuan yang berbeda dalam merespon kondisi lingkungannya, sehingga terbagi menjadijenis-jenis spesialis dan generalis. Secara teoritis, jenis generalis adalah jenis kupu-kupu yang tidak memiliki preferensi khusus terhadap faktor-faktor lingkungan tertentu, sehingga dapat ditemukan di berbagai tipe habitat, sedangkan jenis spesialis
38
adalah jenis kupu-kupu yang memerlukan faktor-faktor lingkungan spesifik,sehingga keberadaannya hanya terbatas di habitat-habitat tertentu sesuai karakteristik habitat atau sumberdaya yang dibutuhkannya (Hogsden dan Hutchinson 2004). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di HK Rawa Dongkal dan HK Koppasus ditemukan beberapa jeniskupu-kupu spesialis, hal tersebutmenunjukkan bahwa kondisi habitat keduanya masih baik dengan komponen-komponen lingkungan yang mendukung keberadaan jenis-jenis yang memiliki kebutuhan yang spesifik terhadap kondisi lingkungan tertentu. Hubungan antara Karakteristik Lingkungan dengan Komunitas Kupu-Kupu Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu dan kelembapan udara di tiaptiap hutan kota, yang diukur antar periode pengamatan,memiliki perbedaan yang signifikan.Kondisi tersebut menunjukkan bahwa perbedaan musim dengan perubahan kondisi cuacanya mempengaruhi perbedaan suhu dan kelembapan udara antar periode pengamatan. Di sisi lain, perbedaan suhu dan kelembapan udara antar hutan kota pengamatan diketahui tidak berbeda signifikan, karena keempat hutan kota tersebutmasih berada dalam cakupan Kotamadya Jakarta Timur sehingga secara umummemiliki variasi suhu dan kelembapan udara antar lokasi pengamatan yangrelatif kecil. Hasil pengukuran suhu dan kelembapan udara menunjukkan nilai yang memenuhi persyaratan perkembangan kupu-kupu mulai dari fase telur, pupa, maupun imago, yaitu kelembaban udara 50-75% dan suhu udara 20-380C untuk perkembangan telur hingga pupa,dan kelembaban udara 45-75% dan suhu 20-40 0 C untuk perkembangan imago (Tresnawati 2010). Kondisi tersebut juga sesuai bagi kupu-kupu untuk dapat beraktifitas, sesuai pernyataan Kingsolver (1985) bahwa suhu optimum bagi kupu-kupu agar dapat beraktifitas adalah 28-42 0C. Meskipun hasil analisis korelasi suhu dan kelembaban udara menunjukkan bahwa kedua faktor tersebut tidak mempengaruhi komunitas kupu-kupu secara signifikan,namun hasil pengukuran memperlihatkan bahwa hutan kota dengan suhu udara yang tinggi dan kelembaban udara yang rendah ternyata memiliki keanekaragaman jenis yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena kupu-kupu merupakan hewan yangsuhu tubuhnya menyesuaikan dengan suhu lingkungannya (poikilothermic) sehinggaapabila suhu udara terlalu tinggi maka akan meningkatkan penguapan cairan tubuh kupu-kupu serta menurunkan sekresi nektar tumbuhan berbunga yang menjadi tumbuhan pakan kupu-kupu (Efendi 2009; Sulistyani dan Rahayuningsih 2014). Hal yang sama juga terjadi pada kelembaban udara, karena kupu-kupu membutuhkan kondisi kelembaban yang sesuai untuk menjaga keberlangsungan dan perkembangan telur kupu-kupu serta pupa (Ramesh et al. 2010). Kecepatan angin merupakan variabel yang menentukan kesesuaian kondisi lingkungan bagi kupu-kupu untuk terbang dan beraktifitas,serta mempengaruhi keberadaan dan kehadiran kupu-kupu di suatu habitat. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa hutan kota dengan rata-rata kecepatan angin yang tinggi merupakan hutan kota dengan struktur vegetasi yang relatif terbuka, sebaliknya, hutan kota dengan struktur vegetasi rapat memiliki rata-rata kecepatan angin yang rendah. Kecepatan angin berkorelasi negatif dan signifikan terhadap kekayaan dan keanekaragaman jenis kupu-kupu. Kecepatan angin mempengaruhi keberadaan
39
dan aktivitas kupu-kupu, karena ukuran tubuh kupu-kupu yang kecil membutuhkan kecepatan angin yang tidak terlalu tinggi agar dapat terbang. Hutan kota Rawa Dongkal dan HK Kopassus Cijantung diketahui sebagai hutan kota dengan kekayaan jenis kupu-kupu yang tinggi memiliki struktur vegetasi lebih rapat dibanding hutan kota lainnya, hal tersebut disebabkan karena vegetasi yang rapat berfungsi sebagai pemecah angin sehingga kecepatan anginnya lebih rendah dan sesuai bagi kupu-kupu. Hal ini sejalan dengan penelitian Sulistyani dan Rahayuningsih (2014) yang menunjukkan bahwa kecepatan angin memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah kupu-kupu yang ditemukan karena kecepatan angin yang tinggi dapat menghambat pergerakan terbang kupu-kupu. Intensitas cahaya juga merupakan variabel lingkungan yang memiliki hubungan penting dengan komunitas kupu-kupu di suatu tipe habitat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas cahaya disemua hutan kota contoh termasuk ke dalam ambang batas toleransi kupu-kupu, yaitu 500 hingga7500 lux (Nurjanah 2010). Intensitas cahaya yang berbeda antar habitat merupakan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi kekayaan jenis kupu-kupu (Kremen 1994; Matteson dan Langellotto 2010). Hasil analisis korelasi menunjukkan nilai negatif yang signifikan terkait hubungan antara tingginya intensitas cahaya dengan rendahnya kekayaan jenis maupun nilai indeks keanekaragaman jenis kupu-kupu di suatu habitat. Hal tersebut karena intensitas cahaya merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi peningkatan suhu udara, kemampuan melihat, perkembangan larva, mempengaruhi aktivitas terbang, aktivitas menghisap nektar, kawin, bertelur, serta metabolisme kupu-kupu (Nurjanah 2010). Hal inilah yang menyebabkan intensitas cahaya yang sesuai bagi kupu-kupu adalah intensitas cahaya yang tidak terlalu tinggi ataupun rendah (Koneri dan Saroyo 2012). Hasilanalisis ordinasi RDA menunjukkan bahwa intensitas cahaya di setiap lokasi hutan kota berkorelasi negatif dengan nilai Leaf Area Index (LAI) yang menggambarkan kondisi kerapatan tajuk. Tiap-tiap hutan kota memiliki variasi tutupan kanopi tersendiri, sehingga menyebabkan terjadinya variasi intensitas cahaya matahari yang sampai di bawah tajuk. Chen dan Black (1991) menyatakan bahwa nilai LAI dapat dijadikan gambaran dari kondisi hutan karena semakin tinggi nilainya menunjukkan kondisi hutan yang masih baik. Koh dan Sodhi (2004)juga menyatakan bahwa karakteristik kanopi hutan termasuk faktor yang mempengaruhi keberadaan dan jumlah jenis kupu-kupu. Hasil analisis korelasi menunjukkan nilai positif yang signifikan antara peningkatan nilai LAI terhadap kekayaan jenis dan keanekaragaman jenis kupukupu. Berbeda halnya dengan korelasi tersebut, HK Kopassus Cijantung yang merupakan hutan kota dengan penutupan tajuk tertinggi tidak menunjukkan keanekaragaman jenis yang tertinggi diantara keempat hutan kota. Kondisi tersebut disebabkan karena semakin tinggi rapat tutupan kanopi yang ditandai dengan sebagian besar tajuk saling overlapping serta nilai LAI yang tinggi maka semakin sedikit radiasi matahari yang sampai di bawah tajukkarena sebagian radiasi telah diintersepsi oleh tumbuhan. Hal ini menyebabkan rendahnya jumlah jenis maupun kelimpahan kupu-kupu yang ditemukan karena kupu-kupu membutuhkan cahaya matahari yang optimal untuk memanaskan suhu tubuhnya agar dapat beraktifitas. Kondisi tersebut sesuai dengan hasil penelitian SteffanDewenter dan Tscharntke (2000) serta Grundel et al. (1998) yang menunjukkan
40
bahwa tutupan tajuk yang semakin rapat akan menyebabkan keanekaragaman kupu-kupu yang semakin rendah. Hutan kota Rawa Dongkal sebagai habitat dengan tutupan kanopi yang bervariasi ternyata memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi dibandingkan hutan kota lainnya, karenatutupan kanopi yang berbedaakan menghasilkan variasi penerimaan radiasi matahari di bawah tajuk yang bervariasi pula. Hal ini berakibat terbentuknya kondisi mikrohabitat yang bervariasi dan kondisi iklim mikro yang stabil dengan kelembaban yang sesuai bagi kupu-kupu dan dapat dimanfaatkan oleh jenis kupu-kupu yang beragam sesuai dengan preferensinya terhadap intensitas cahaya tertentu serta menghindarkan dari terjadinya dehidrasi (Florida et al.2015). Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kupu-kupu membutuhkan heterogenitas tutupan kanopi karena terdapat beberapa jenis kupukupu yang lebih tinggi kelimpahannya di area yang relatif terbuka dan tidak terhalang tajuk pepohonan, namun juga terdapat beberapa jenis kupu-kupu yang intoleran dengan intensitas cahaya matahari yang tinggi sehingga membutuhkan habitat yang ternaungi (Grundel et al. 1998; Hamer et al. 2003; Wijaya et al. 2014). Preferensi kupu-kupu tersebut menyebabkan kekayaan jenis kupu-kupu lebih tinggi di lokasi dengan intensitas matahari yang tidak terlalu tinggi serta memiliki tutupan kanopi bervariasi (Saputro 2007; Sulistyani danRahayuningsih 2014). Koneri dan Saroyo (2012) yang meneliti keanekaragaman kupu-kupu di Gunung Manado Tua, Rahayu dan Basukriadi (2012) di hutan kota Muhammad Sabki, serta Spitzer et al. (1997) yang meneliti tentang perbedaan komposisi kupu-kupu di beberapa tipe kanopi yang berbeda menghasilkan kesimpulan bahwa hutan dengan kanopi sedikit terbuka lebih disukai kupu-kupu dibandingkan hutan alami yang berkanopi rapat. Lebih lanjut, Rusman (2015) yang meneliti keanekaragaman di Gunung Sago menyatakan bahwa kelimpahan individu lebih tinggi di area dengan tutupan kanopi yang tidak terlalu rapat. Beberapa jenis tumbuhan, baik tumbuhan pakan maupun non-tumbuhan pakan ditemukan di lebih dari satu atau bahkan pada keseluruhan tipe habitat hutan kota, artinya ada kesamaan (similaritas) komposisi tumbuhan antar lokasi hutan kota, namun ternyata ditemukan adanya perbedaan komunitas kupu-kupu diantara keempat tipe hutan kota yang diamati. Kondisi ini sejalan denganhasil penelitianKusch et al. (2005) bahwa habitat-habitat dengan jenis-jenis tumbuhan yang sama tidak mempengaruhi kesamaan jenis kupu-kupu antar komunitassecara signifikan, karena keberadaan jenis kupu-kupu juga dipengaruhi oleh karakteristik habitatnya. Kupu-kupu memiliki hubungan saling ketergantungan dengan tumbuhan, baik sebagai sumber pakan, lokasi reproduksi, dan perlindungan(Prokopy danOwens 1983). Hasil analisis korelasi menunjukkan adanya hubungan signifikan positif antara kekayaan jenis tumbuhan pakan dengankekayaandan keanekaragamanjenis kupu-kupu. Hal inimenguatkanteori yang menyatakan bahwa kekayaan jenis tumbuhan pakan dapat digunakan sebagai prediktor kekayaan jenis kupu-kupu dan merupakan faktor dependen yang paling berperan dalam mempengaruhi ukuran populasi dan keanekaragaman kupu-kupu (Smart 1989; Thomas et al.2004). Tiple et al. (2010) lebih menegaskan bahwa ukuran populasi kupu-kupu di lingkungan perkotaan berkaitan dengan ketersediaan berbagai jenistumbuhan pakan, bukan oleh kelimpahannya. Hal inilah yang menyebabkan HK Rawa Dongkal
41
memilikikeanekaragaman jenis kupu-kupu tertinggi, karena merupakan hutan kota dengan kekayaan jenis tumbuhan pakanyang paling beragam.Larva kupu-kupu memiliki spesifisitas terhadap tumbuhan pakan tertentu, sementara di sisi lain, kupu-kupu dewasa tidak memiliki spesifikasi terhadap tumbuhan pakannya. Berdasarkan pengamatan, selain tumbuhan bernektar, kupu-kupu dewasa juga sering ditemukan mengkonsumsi getah pohon, buah yang membusuk, kotoran hewan, atau bangkai hewan. Sepanjang penelitian, kupu-kupu sering dijumpai sedang hinggap di berbagai macam tumbuhan bawah. Sebagai contoh,adalah putri malu (Mimosa pudica)sebagai jenis tumbuhan bawah yang banyak ditemukan di keempat lokasi penelitian dan merupakan pakan dari Eurema hecabe (Vane-Wrightdan de Jong 2003), alang-alang (Imperatacylindrica)yang sering didatangi oleh famili Nymphalidae, serta tembelekan (Lantana camara) yang memiliki warna serta aroma menarik yang sering didatangi genus Graphium karena memiliki bentuk corolla pendek sehingga sesuai untuk genus tersebut (Fetwell 2001 dalam TatiSubahar et al.2007). Hasil pengamatan tersebut menguatkan teori bahwa kupukupu paling banyak ditemukan mendatangi tumbuhan pakan berupa herba (TatiSubahar et al. 2007; Koneri danSaroyo 2012). Berbagai jenis tumbuhan dari famili Fabaceae di keseluruhan hutan kota menyediakan sumber pakan yang beragam bagi larva karena berdasarkan penelitianTiple et al. (2010), Fabaceae merupakan famili tumbuhan yang paling banyak digunakan oleh larva kupu-kupu sebagai tumbuhan pakan. Terdapatnya perdu atau semakdi keseluruhan lokasi selain berfungsi sebagai tumbuhan pakan juga berfungsi sebagai pelindung (cover/shelter) sehingga keberadaannya mendukung keberadaan kupu-kupu, sesuai pernyataanKoneri dan Saroyo (2012) bahwa area dengan vegetasi semak akan mempengaruhi tingginya keanekaragaman kupu-kupu ada area tersebut. Varibel lingkungan lain yang diketahui berpengaruh terhadap keberadaan komunitas kupu-kupu adalah konsentrasi polutan. Fenomena ini ditunjukkan oleh perbandingan keberadaan komunitas kupu-kupu antara hutan kota dengan konsentrasi polutan tinggi dan hutan kota dengan konsentrasi polutan rendah. hutan kota PT JIEP dan HK UKI Cawang sebagai hutan kota di kawasan industri dan jalan raya memiliki konsentrasi polutan yang tinggi akibat lalu lintaskendaraanyang sangat padat dan dikelilingi oleh banyak pabrik yang menghasilkan emisi TSP dan Pb lebih tinggi. Sebaliknya, HK Rawa Dongkal dan HK Kopassus Cijantung memiliki konsentrasi polutan rendah karena dilalui jalan raya denganlalu lintas tidak padat dan berada di kawasan permukiman dan perkantoran yang relatif menghasilkan emisi polutan yang lebih rendah. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa konsentrasi polutan berkorelasi negatif terhadap kekayaan dan keanekaragamanjenis kupu-kupu, namun berkorelasi positif terhadap kelimpahan individu walaupun hubungannya tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa setiap jenis kupu-kupu memiliki daya tahan yang berbeda terhadap gangguan lingkungan khususnya polusi udara, akibatnyajenis kupu-kupu tertentu yang diketahui sebagai jenis intoleran terhadap polusi udara tidak ditemukan di hutan kota yang memiliki konsentrasi polutan lebih tinggi. Fenomena yang ditemukan dalam penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Zvereva dan Kozlov (2006) yang menyimpulkan bahwa komunitas serangga herbivora di area yang terpolusi,kelimpahannya lebih tinggi karena parasitoid yang menyebabkan kematian larva serangga tidak mampu untuk
42
beradaptasi dengan kondisi lingkungan tersebut, sehingga menciptakan kondisi enemy-free bagi jenis-jenis tertentu yang memiliki daya adaptasi yang lebih tinggiterhadap kondisi tersebut. Jenis-jenis yang dapat beradaptasi tersebut akan lebih berkembang dan melimpah karena tidak adanya musuh alami atau berkurangnya jenis-jenis serangga pesaing (kompetitor) yang memanfaatkan sumberdaya yang serupa dengannya, sehingga berimplikasi dengan meningkatnya kecenderungan dominansi jenis dan berkorelasi negatif terhadap kemerataan jenis. Meskipun hasil analisis konsentrasi polutan timbal (Pb) di keempat hutan kotapengamatan menunjukkan bahwa konsentrasi polutan tersebut masih berada di bawah baku mutu, namun hal tersebut tetap berbahaya karena apabila suatu organisme terpapar dalam jangka waktu yang lama, maka polutan tersebut akan terakumulasi dalam tubuhnya dan dapat berdampak negatif terhadap keberlanjutan hidup dan perkembangbiakannya. Hal ini juga telah ditunjukkan oleh hasil penelitian Mulder et al. (2005)bahwa tumbuhan sumber nektar kupu-kupu sensitif terhadap logam berat sehingga mempengaruhi vigoritas (kemampuan untuk tumbuh normal) dari tumbuhan tersebut dan berdampak negatif pada kupu-kupu yang memanfaatkan nektar tersebut sebagai sumber pakannya. Hasil analisis kadarTotal Suspended Particulate (TSP) di hutan kota kawasan industri menunjukkan nilai yang berada pada ambang batas baku mutu, sehingga secara umum memiliki resiko bagi keberlanjutan hidup organisme.Hasil penelitian Corke (1999) menunjukkan bahwa polutan udara berupa partikulat dapat mempengaruhi kupu-kupu, hal ini ditunjukkan denganmenurunnya jenis kupu-kupu yang ditemukannya selama periode saat suatukawasan industri yang diamati mengeluarkan emisi asapmaksimum karenamempengaruhi kualitas daun yang menjadi tumbuhan pakan kupu-kupu di habitat tersebut. Variabel lingkungan yang juga diketahui memiliki korelasi dengan komunitas kupu-kupu di suatu habitat hutan kota adalah jarak dari sumber gangguan.Pengukuran jarak dari sumber gangguan merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengetahui keterkaitan antara keberadaan manusia serta potensi gangguan yang disebabkan oleh kegiatan antropogenik maupuntransportasi. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa peningkatan jarak dari area sumber gangguan berkorelasi signifikan positif dengan meningkatnya kekayaan jenis dan keanekaragaman jeniskupu-kupu di suatu habitat hutan kota. Artinya semakin jauh letak suatu hutan kota sebagai habitat kupu-kupu dari area sumber gangguan, maka kekayaan dan keanekaragaman jenis kupu-kupu di hutan kota tersebut lebih tinggi dibandingkan hutan kota dengan jarak yang lebih dekat dengan area sumber gangguan.Fenomena ini juga sejalan dengan hasil penelitian Munguira dan Thomas (1992) serta White dan Kerr (2007) yang menganalisis hubungan antara letak suatu habitat kupu-kupu dengan jarak dari area yang berpotensi sebagai sumber gangguan berupa area permukiman, perkantoran, maupun industri, yang menunjukkan korelasi positif dan signifikan terhadap keanekaragaman jenis kupukupu.Meskipun demikian, keberadaan jalan raya sebagai salah satu sumber gangguan yangdidugadapat menghambat pergerakan kupu-kupu, padapenelitian ini tidak menunjukkan korelasiterhadapkomunitas kupu-kupu. Hasil penelitian ini juga diketahui sejalan dengan hasil penelitian Manguira dan Thomas (1992) yang menjelaskan bahwa keberadaan jalan raya serta padatnya lalu lintas tidak menjadi hambatan dalam pergerakan dan tidak mempengaruhi kekayaan jenis maupun keanekaragaman kupu-kupu di suatu habitat.
43
Berdasarkan gambaran hasil penelitian yang diuraikan sebelumnya, menunjukkan bahwa secara umum hutan kota dengan karakteristik habitat yang lebih bervariasi akan lebih mendukung keberadaan kupu-kupu yang ditunjukkan oleh komposisi komunitas kupu-kupu yang lebih bervariasi pula. Hasil temuan penelitian ini pada dasarnya kembali mempertegas tentang teori heterogenitas ruang yang dikemukakan oleh Price (1997), yang mengemukakan bahwa lingkungan yang lebih heterogen dan kompleks menghasilkan komunitas tumbuhan maupun satwa yang juga lebih kompleks dan beragam. Implikasi teknis dari hasil penelitian ini yang sejalan dengan teori heterogenitas ruang, menunjukkan bahwa kebijakan pengaturan dan pengelolaan hutan kota sebagai habitat kupu-kupu merupakan aspek yang penting karena sangat berpengaruh terhadap keberadaan keanekaragaman kupu-kupu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa HK Kopassus Cijantung dengan penjagaannya yang ketat dan HK Rawa Dongkal yang berada di kawasan dengan potensi gangguan rendah memiliki nilai keanekaragaman jenis yang lebih tinggi dibandingkan kedua lokasi hutan kota lainnya. Fakta ini menunjukkan bahwa keberadaan hutan kota sebagai habitat kupu-kupu yang dikelola, dijaga dan dilindungi serta mengalami gangguan antropogenik yang lebih rendah menyebabkan komponen-komponen habitatnya yang menyediakan sumberdaya yang dibutuhkan kupu-kupu lebih terjaga keberadaannya, sehingga lebih mendukung komunitas kupu-kupu untuk berkembang dengan baik dan memiliki keanekaragaman jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan habitat yang tidak dilindungi dan/atau dikelola, sebagaimana dinyatakan oleh Rahayu dan Basukriadi (2012).Kitahara et al. (2000) juga menyatakan bahwa daerah (habitat) dengan gangguan antropogenik rendah memiliki korelasi positif dengan kekayaan jenis, keanekaragaman jenis dan jumlah jenis spesialis. Di sisi lain, hasil penelitian Kocher dan Williams (2000) dan Sundufu dan Dumbuya (2008) menunjukkan bahwa kekayaan, kelimpahan, dan keanekaragaman jenis ternyata lebih rendah di habitat terganggu. Hal lain yang dipandang penting dari hasil penelitian ini dan perlu mendapat perhatian adalah terkait dengan fenomena bahwa semakin tinggi keanekaragaman kupu-kupu di suatu habitat maka menandakan bahwa habitat tersebut masih baik sebagaimana pernyataan Tambaru (2015). Hal ini juga telah ditunjukkan oleh beberapa hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa jumlah jenis ordo Lepidoptera lebih banyak ditemukan di area non industri dengan tingkat gangguan yang rendah dibandingkan dengan area industri (Jana et al. 2006). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa jumlah jenis kupu-kupu yang ditemukan di hutan kota kawasan industri (HK PT JIEP) ternyata hanya 11 jenis yang merupakan jumlah jenis yang lebih rendah dibandingkan dengan jumlah jenis yang ditemukan di tipe habitat lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan komponen-komponen habitat yang terbatas di suatu tipe hutan kota akan berpengaruh terhadap keberadaan jenis kupu-kupu di habitat tersebut, sehingga hanya jenis-jenis tertentu yang memiliki daya adaptasi tinggi yang mampu bertahan hidup di habitat tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Koneri dan Saroyo (2012). Artinya dengan terbatasnya jenis kupu-kupu yang dapat hidup di suatu area (habitat) yang terbatas maka akan berpengaruh pada rendahnya jumlah jenis dan kelimpahan individu kupu-kupu, sehingga akhirnya berpengaruh pada rendahnya keanekaragaman jenis di area tersebut.
44
Jenis Kupu-Kupu Potensial sebagai Biondikator Kondisi Lingkungan Hutan Kota Penentuan jenis kupu-kupu potensial sebagai bioindikator kondisi lingkungan hutan kota dapat didekati melalui identifikasi dan analisis keberadaan suatu jenis kupu-kupu di berbagai hutan kota dengan tingkat gangguan yang berbeda, karena pada prinsipnya setiap jenis kupu-kupu memiliki sensitifitas, daya toleransi, dan kemampuan adaptasi yang berbeda terhadap dinamika kondisi lingkungan dan tingkat gangguan di habitatnya. Berdasarkan tingkat sensitifitas, daya toleransi, dan kemampuan adaptasinya,spesies organisme dibagi menjadi spesies spesialis dan spesies generalis, yang memerlukan persyaratan dan kondisi habitat tertentu untuk hidup dan berkembangbiak.Pengkategorian jenis spesialis dan generalis inilah yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur untuk mengelompokkan suatu jenis kupu-kupu untuk dapat dijadikan sebagai bioindikator kondisi lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar jenis kupu-kupu ditemukan di habitat hutan kota yang memiliki tingkat gangguan rendah yang ditandai dengan tersedianya berbagai jenis tumbuhan pakan, tutupan kanopi yang bervariasi, jarak yang relatif lebih jauh dari sumber gangguan, serta habitat yang menyediakan sumberdaya yang sesuai dengan karakteristik ekologis yang dibutuhkan kupu-kupu. Di sisi lain, terdapat jenis kupu-kupu yang hanya dapat ditemukan pada habitat dengan karakteristik maupun sumberdaya tertentu, sehingga jenis ini termasuk jenis spesialis. Sementara itu, ada juga beberapa jenis kupu-kupu yang dapat ditemukan di semua tipe habitat hutan kota contoh. Jenisjenis kupu-kupu tersebut mampu hidup pada berbagai tipe dan tingkat gangguan lingkungan dari mulai gangguan rendah hingga tinggi,serta pada berbagai kondisi habitat dari mulai habitat dengan sumberdaya yang sesuai bagi kupu-kupu hingga habitat dengan sumberdaya yang terbatas, sehingga secara umum jenis-jenis tersebut dapat dikategorikan sebagai jenis generalis. Prinsip pendekatan dan hasil temuan di atas sejalan dengan pernyataan McGeoch (1998) yang mengemukakan bahwa pendekatan yang dapat dilakukan untuk menentukan jenis kupu-kupu yang berpotensi untuk dijadikan indikator kondisi lingkungan adalah dengan melakukan pengkajian terhadap sensitifitas, daya toleransi, maupun kemampuan adaptasi suatu jenis terhadap kondisi lingkungan tertentu. Selain itu, hasil temuan tersebut juga sesuai dengan teori kesesuaian habitat kupu-kupu yang dikemukakan oleh Price (1997) yang menunjukkan bahwa hutan kota dengan relatif minim gangguan lebih mendukung keberadaan kupu-kupu dan berkorelasi positif dengan keanekaragaman jenis dan keberadaan jenis-jenis spesialis pada suatu habitat. Mengacu pada prinsip pendekatan berdasarkansifat ekologis dari setiap jenis kupu-kupu yang tergolong spesialis ataupun generalis, maka dari hasil identifikasi dan analisis sebaran berbagai jenis kupu-kupu di empat tipe hutan kota contoh dengan tingkat gangguan berbeda menunjukkan bahwa Famili Nymphalidae memiliki jumlah jenis terbanyak yang ditemukan diseluruh hutan kota selama pengamatan, karena secara umum telah diketahui bahwa famili tersebut memiliki jumlah anggota terbanyak, penyebaran paling luas, dan memiliki tumbuhan pakan yang beragam (Koh dan Sodhi 2004; Rahayu dan Basukriadi 2012).Selain itu, diketahui bahwa sebagian besar jenis kupu-kupu yang berukuran tubuh relatif lebih besar, terutama jenis-jenis dari famili Papilionidae maupunNymphalidae,
45
ditemukan di habitat dengan potensi gangguan rendah. Hal tersebut dapat terjadi karena kupu-kupu dengan ukuran relatif besar diketahui menghasilkan telur dan larva yang besar, memerlukan waktu perkembangan larva yang lebih lama, membutuhkan tumbuhan inang dengan struktur yang lebih kompleks,serta lebih rentan terhadap predator (Garcia-Barros 2000; Berger et al. 2006). Kondisi ini menyebabkan jenis-jenis tersebutlebih dapat berkembang dengan baik di kondisi habitat yang stabil dari gangguan lingkungan,menyediakan banyak sumberdaya, serta sesuai dengan karakteristik ekologis yang dibutuhkan kupu-kupu. Fakta yang didapat dari penelitian ini menunjukkan bahwa jenis-jenis kupu-kupu berukuran besar tersebut sebagian besar terdistribusi pada habitat yang menyediakan komponen lingkungan lebih kompleks dan gangguan lingkungan yang rendah. Berdasarkan hasil analisis terhadap persebaran dan karakteristik ekologis berbagai jenis kupu-kupu yang ditemukan,diketahui terdapat empat jenis kupukupu yang ditemukan pada keseluruhan lokasi hutan kota dan periode pengamatan, yaitu G. agamemnon, D. hyparete, L. nina, dan E. hecabe. Jenisjenis tersebut memiliki kelimpahan individu maupun kelimpahan relatif yang tinggi, hal ini menunjukkan bahwa keempatnya memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi pada berbagai tipe habitat dan potensi gangguan lingkungan dari habitat dengan potensi gangguan rendah hingga paling terganggu sehingga dapat dikategorikan sebagai jenis generalis yang tidak dibatasidengan persyaratan faktor-faktor lingkungan tertentu (Kitahara et al. 2000). Kelimpahan keempat jenis generalis tersebut memperlihatkan peningkatan seiring dengan meningkatnya potensi gangguan, sejalan dengan teori yang dikemukakan Jonsen dan Fahrig (1997), bahwa pada habitat dengan potensi gangguan yang semakin tinggi maka semakin sedikit jenis yang dapat bertahan sehingga terjadi peningkatan kelimpahan jenis-jenis yang dapat bertahan karena berkorelasi dengan lebih tersedianya sumberdaya bagi jenis-jenis tersebutakibat makin rendahnya persaingan sehingga bagi jenis dengan daya adaptasi yang tinggi dapat berkembang dengan lebih optimal. Kecenderungan yang berbeda terjadi pada kupu-kupu jenis G. agamemnon dan L. nina yang mengalami penurunan kelimpahan relatif pada HK PT JIEP yang berada pada kawasan industri, diduga karenaG. agamemnondan L. ninamemiliki korelasi negatif dengan nilai yang lebih tinggi terhadap faktor-faktor lingkungan yang dominan pada habitat HK PT JIEP (suhu udara, intensitas cahaya, kadar polutan yang tinggi) dibandingkan kedua jenis generalis lainnya yakni D. hyparetedan E. Hecabe.Kupu-kupuL.nina juga memiliki korelasi negatif terhadap kecepatan angin yang merupakan salah satu faktor dominan pada habitat tersebut. Kondisi tersebut diduga sebagai penyebab rendahnya kelimpahan relatif kedua jenis generalis tersebutdi habitat HK PT JIEP, walaupun nilainya masih lebih tinggi dibandingkan jenis kupu-kupu lainnya. Gambaran singkat karateristik bioekologis dari keempat jenis kupu-kupu generalis tersebut, sebagai berikut: 1. Kupu-kupu G. agamemnon dapat ditemukan sepanjang tahun karena merupakan jenis multivoltin (terdapat beberapa generasi dalam satu tahun), merupakan jenis dengan kelimpahan yang tinggi di alam,serta sering ditemukan di kawasan perkotaan (Kunte 2000; Ramana et al. 2003).Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tumbuhan pakan dari jenis ini yaitu glodokan tiang (Polyalthia longifolia) merupakan tumbuhan yang ditemukan pada keseluruhan lokasi pengamatan (Peggie dan Amir 2006; Robinson et al. 2010)
46
2. Kupu-kupu D. hyparete merupakan jenis multivoltin, memiliki waktu aktif sepanjang hari, sering ditemukan pada kawasan perkotaan, serta memiliki tumbuhan pakanyaitu Dendropthoe pentandrayang merupakan jenis tumbuhan yang banyak ditemukan di kawasan perkotaan (Peggie dan Amir 2006; Wee dan Ng 2008). Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan dalam penelitian ini yang menunjukkan bahwa Dendropthoe pentandra merupakan jenis benalu yang banyak ditemukan di berbagai jenis tumbuhan dikeseluruhan hutan kotayang diamati. Matteson dan Langellotto (2010) juga menunjukkan bahwa G. agamemnon dan D. hyparete merupakan jenis yang mudah ditemukan, tersebar di berbagai tipe habitat, serta bersifat polifagus (memiliki lebih dari satu jenis tumbuhan pakan). 3. Kupu-kupu L. nina merupakan jenis kupu-kupu yang umum ditemukan pada hutan hujan dataran rendah, tersebar luas di region oriental dan memiliki lebih dari satu jenis tumbuhan pakan(Corbet dan Pandlebury 1992; Orr dan Haeuser 1996; Sharma dan Joshi 2009). Jenis ini juga banyak ditemukan di sekitar tumbuhan pakannya yaitu maman ungu (Cleome rutidosperma) yang merupakan terna yang ditemukan di keseluruhan hutan kota pengamatan (Robinson et al. 2010). 4. Kupu-kupuE. hecabe memiliki kelimpahan relatif yang tinggi di keseluruhan lokasi hutan kota, mulai dari hutan kota dengan gangguan rendah hingga tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tersebut merupakan jenis kupu-kupu yang memiliki daya adaptasi lebih baik dibandingkan ketiga jenis generalis lainnya, karena E. hecabe merupakan jenis kupu-kupu kosmopolit (memiliki penyebaran yang luas), polifagus, multivoltin, memiliki perkembangannya cepat, serta dapat beradaptasi ada suhu lingkungan yang tinggi (Kato dan Sano 1987; Kitching 1999). Kupu-kupu jenis ini memiliki beberapa jenis tumbuhan pakan yang terdapat di keseluruhan lokasi hutan kota antara lain akasia (Acacia auriculiformis), alang-alang(Imperata cylindrica), lamtoro (Leucaena leucochepala), putri malu (mimosa pudica), dan tembelekan (Lantana camara) (Braby 2004; Peggie dan Amir 2006; Robinson et al. 2010). Karakteristik bioekologiskeempat jenis kupu-kupu generalis tersebut membuat keempatnya mampu dan berhasil beradaptasi dengan baik di semua kondisi habitat hutan kota contoh. Hal ini secara jelas ditunjukkan dengan keberhasilan perkembangan populasi yang ditandai dengan keberadaan serta kelimpahan individu yang tinggidi setiap tipe habitatnya.Berdasarkan uraian sebelumnya, maka keempat jenis kupu-kupu generalis tersebut memenuhi persyaratan sifat-sifat umum yang dibutuhkan dalam menentukan potensi suatu jenis sebagai bioindikator berdasarkan kriteria sifat umum untuk menentukan spesies indikator yang telah disajikan pada bagian terdahulu (lihat: Tabel 2-2). Selain itu, keempat jenis kupu-kupu generalis tersebut juga memberikan respon terhadap perubahan kondisi habitatnya, diantaranya dapat dilihat dari kehadirannya di keseluruhan tipe habitat hutan kota dengan berbagai potensi gangguan lingkungan. Secara spesifik, dari keempat jenis kupu-kupu generalis tersebut, maka jenis kupu-kupu E. hecabemenunjukkan fenomena yang berbeda, yakni jenis tersebut memiliki nilai kelimpahan relatif yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis lainnya, serta merupakan satu-satunya jenis generalis yang
47
berdasarkan hasil ordinasi memiliki keterkaitan dengan tipe habitatyang menunjukkan faktor-faktor lingkungan yang mencirikan daerah terganggu.Hal ini menunjukkan bahwa jenis kupu-kupu ini merupakan jenis dengan kemampuan adaptasi yang lebih tinggi dibandingkan jenis-jenis lainnya.Beberapa penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa jenis kupu-kupu E. hecabeini memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi, yakni dapat beradaptasi diarea hutan bekas tebangan (Hill et al. 1995, Hamer et al. 2003), area hutan dengan gangguan antropogenik (Hamer et al. 1997), area hutan bekas kebakaran (Hirowatari dan Makihara 2007), dan habitat hutan kota yang terfragmentasi (Soga dan Koike 2012).Kemampuan adaptasi yang tinggi tersebut menunjukkan bahwa E. hecabe berpotensi sebagai jenis kupu-kupu generalis yang potensial sebagai bioindikator. Selain keempat jenis kupu-kupu generalis yang telah dibahas sebelumnya, terdapat dua jenis kupu-kupu spesialis yang menunjukkan karakteristik bioekologis yang berbeda, dan potensial untuk dijadikan sebagai bioindikator. Kedua jenis kupu-kupu ini secara spesifik hanya ditemukan di suatu tipe habitat dengan potensi gangguan lingkungan yang rendah. Kedua jenis kupu-kupu tersebut adalah kupu-kupu Y. horsfieldii dan P. hebe. Hasil temuan ini sejalan dengan pernyataan Kremen (1994), bahwa Y. horsfieldii dari subfamili Satyrinae merupakan subfamili yang sensitif terhadap perubahan lingkungan. Jenis ini memiliki tumbuhan pakan dari famili Poaceae diantaranya alang-alang (Imperata cylindrica) yang ditemukan di keseluruhan hutan kota yang diamati. Selain itu, Pusat Konservasi Sumberdaya Alam (PIKA) juga mengkategorikan jenis ini sebagai jenis endemik di Pulau Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi (Saputro 2006).Houlihan et al. (2012) dalam penelitiannya mengenai kupu-kupu P. hebe menunjukkan bahwa jenis tersebut sering ditemukan pada area dengan tajuk pohon tinggi dan menyukai area yang ternaungi, sehingga membutuhkan kondisi habitat yang relatif minim gangguan. Jenis ini merupakan jenis polifagusdengan beragam jenis tumbuhan pakan yang tersebar pada keseluruhan hutan kota pengamatan yaitu akasia (Acacia auriculiformis) dan bungur (Lagerstroemia speciosa) (Peggie dan Amir 2006; Robinson et al. 2010). Berdasarkan kriteria dan persyaratan sifat-sifat umum dalam penentuan jenis kupu-kupu tertentu sebagai bioindikator, maka kupu-kupu jenis Y. horsfieldii dan P. hebe memenuhi persyaratan sebagai jenis bioindikator (lihat: Tabel 2). Fakta hasil pengamatan lapang di berbagai tipe hutan kota contoh menunjukkan bahwa kedua jenis kupu-kupu ini memberikan respon berupa sensitifitas yang tinggi terhadap perubahan kondisi habitat maupun potensi gangguan lingkungannya, diantaranya ditunjukkan dengan frekuensi kehadiran yang rendah dan distribusi yang terbatas pada suatu habitat tertentu. Hasil analisis ordinasi RDA menunjukkan bahwa kedua jenis tersebut memiliki paling banyak keterkaitan yang kuat terhadap faktor-faktor lingkungan tertentu sehingga menunjukkan bahwa kedua jenis kupu-kupu ini termasuk dalam kategori jenis spesialis (Koneri dan Saroyo 2012)Artinya kedua jenis kupu-kupu ini hanya dapat hidup dan berkembangbiak secara optimal di habitat tertentu dengan tingkat gangguan lingkungan yang rendah. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keberadaanY. horsfieldii dan P. hebetidak ditentukan oleh keberadaan jenis tumbuhan pakan tertentu, karena keduanya merupakan kupu-kupu jenis polifagus dan memiliki tumbuhan pakan yang terdapat di keseluruhan hutan kota. Secara spesifik, kedua jenis kupu-kupu
48
spesialis tersebut hanya ditemukan di HK Kopassus Cijantung dan HK Rawa Dongkal yang memiliki karakteristik habitat menyerupai hutan alam dengan struktur pepohonan yang tinggi, penutupan kanopi yang rapat, serta tumbuhan bawah yang rapat dan tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa keberadaan kedua jenis kupu-kupu spesialis tersebutlebih ditentukan oleh kesesuaian karakteristik habitatnya, karena hutan kota dimana keduanya ditemukan menunjukkan kondisi lingkungan yang masih baik dengan potensi gangguan rendah serta menyediakan komponen-komponen lingkungan yang mendukung keberadaan dan perkembangbiakan kupu-kupu, khususnya untuk jenis yang membutuhkan kondisi lingkungan dengan gangguan rendah. Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa keberadaan jenis kupu-kupu spesialis di suatu habitat dapat dijadikan sebagai indikator kondisi kondisi habitat tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Clark et al. (2007) bahwa jenis spesialisakan mengalami penurunan populasi seiring meningkatnya urbanisasi dan lebih rentan (sensitif) terhadap gangguan lingkungannya. Mengacu pada kriteria dan sifat-sifat bioekologis tersebut, maka kupu-kupu Y. horsfieldii dan P. hebe dapat dikategorikan sebagai jenis indikator habitat dengan gangguan yang rendah. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat jenis kupu-kupu yang memiliki kemampuan adaptasi tinggi dan daya toleransi yang kuat terhadap kondisi habitat dengan tingkat gangguan yang tinggi namun juga menunjukkan kebutuhan terhadap karakteristik habitat tertentu atau site specific species. Jenis kupu-kupu yang hanya ditemukan di tipe hutan kota kawasan industri dengan potensi gangguan yang relatif tinggi, diindikasikan sebagai jenis site specific, dan ditemukan dalam jumlah melimpahadalah jenis kupu-kupu P. Demoleus. Beberapa penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa kupu-kupu ini merupakan jenis multivoltin dengan empat generasi dalam satu tahun (Reuther 1989), memiliki preferensi tumbuhan pakan dari genus Citrus maupun dari suku legume atau polong-polongan (Braby 2004), merupakan jenis asing pengganggu (invasif) yang biasa ditemukan di kawasan pertanian atau kawasan dengan urbanisasi tinggi (Corbet dan Pandlebury 1992), memiliki toleransi dan adaptasi tinggi terhadap berbagai kondisi lingkungan (Kunte 2000), serta ditemukan dengan kelimpahan yang tinggi di habitat dengan suhu yang tinggi (Chatterjee et al. 2000). Penyebaran jenis kupu-kupu ini menurut Abdallah (2015) berasal dari daerah Karibia yang kemudian menyebar ke daerah Jawa, Kalimantan, Filipina,dan Sumatera terutama di habitat yang terganggu, serta diduga mulai terjadi bersamaan dengan dimulainyaberbagai gejala deforestasi. Selain itu, jenis kupu-kupu P. Demoleusini juga diketahui sebagai jenis invasif dengan penyebaran yang luas di kawasan tropis karena memiliki kondisi iklimyang sesuai dengan kebutuhan perkembangannyadan menyerupai kondisi kawasan asal penyebarannya (Guererro et al. 2004). Berdasarkan sifat ekologisnya, P. demoleus dapat dikategorikan sebagai spesies dominan di habitat terganggu. Jenis ini juga banyak ditemukan berada di sekitar lamtoro (Leucaena leucochepala) maupun saga (Adenanthera pavonina) yang merupakan tumbuhan legume yang menjadi sumber pakannya. Jenis-jenis tumbuhan tersebut memiliki morfologi daun yang kecil dengan permukaan yang licin yang menyebabkan kemampuannya untuk menjerap polutan rendah sehingga diindikasi tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap larva yang
49
mengkonsumsinya. Hasil temuan ini sejalan dengan teori Heliovaara dan Vaisanen (1990) bahwa tumbuhan pakan yang terkontaminasi akan meningkatkan kematian pupa. Jenis ini juga memiliki parasitoid yaitu Ooencyrtus sp yang menyerang telur dari P. demoleus. Nechols (1995) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa stadium telur Ooencyrtus dapat berkembang dengan baik pada rentang suhu udara 21-29.40C. Rentangan suhu tersebut lebih rendah dibandingkan rentangan suhu udara di HK PT JIEP yaitu 29.1-32.40C, sehingga diduga kuat bahwa perkembangan parasitioid Ooencyrtusyang terdapatdi habitat tersebut tidak optimal.Hasil pengamatanjuga menunjukkan bahwa jenis-jenis kupu-kupu yang ditemukan di HK PT JIEP lebihrendah jumlahnya dibandingkan dengan hutan kota lainnya dengan potensi gangguan yang lebih rendah serta hanya terdapat jenis-jenis tertentu yang memiliki adaptasi tinggi yang dapat bertahan, diantaranya termasuk P. demoleus. Berbagai kondisi tersebut diindikasi mendukung keberadaan P. demoliusdan merupakan faktor penyebab melimpahnya jenis tersebut pada habitat hutan kota kawasan industri. Berdasarkan kriteria penentuan jenis indikator (lihat: Tabel 2), hasil penelitian menunjukkan bahwa P. demolius memenuhi kriteria sifat umum dan memberikan respon terhadap kondisi dan gangguan lingkungan. Hasil analisis ordinasi memperlihatkan adanya keterkaitan yang kuat antara jenis kupu-kupu P. demoliusdengan faktor-faktor lingkungan yang mencirikan potensi gangguan tinggi, sertamenunjukkan bahwajenis kupu-kupu tersebut memiliki daya tahan tinggi terhadap kondisi lingkungan dengan konsentrasi polutan yang tinggi.Secara ekologis, tingkat kelimpahan yang tinggi dari jenis kupu-kupu ini mengindikasikan bahwa jenis ini hanya memiliki sedikit pemangsa (predator) dan pesaing (kompetitor),sehingga memiliki kesempatan lebih besar untuk memanfaatkan sumberdaya yang terbatas di habitatnya untuk hidup dan berkembangbiaksecara optimal. Berdasarkan semua karakteristik bioekologis dan persyaratan umum penentuan jenis-jenis bioindikator, maka kupu-kupuP. demoleus dapat dikategorikan sebagai jenis bioindikator untuk habitat terganggu. Keseluruhan hasil penelitian menunjukkan bahwa kupu-kupu memperlihatkan bentuk-bentuk bioindikasiyang memperkuat dugaan fungsi kupukupu sebagai bioindikator. Pemanfaatan kupu-kupu sebagai bioindikator dalam penelitian ini ditunjukkan oleh gambaran keberadaannya di suatu tipe habitat dengan berbagai tingkat gangguan lingkungan yang berbeda (rendah, sedang, atau tinggi) yang antara lain ditunjukkan denganadanya perbedaan populasi, kehadiran atau ketidakhadiran di suatu habitat dengan kondisi lingkungan tertentu,serta sensitifitas respon kupu-kupu terhadap faktor-faktor lingkungan tertentu. Selain itu, informasi mengenai keberadaan komunitas kupu-kupu di suatu habitat berdasarkan kondisi lingkungannyajuga merupakan informasi yang penting dalam upaya penanggulangan penurunan kondisi lingkungan, karena setiap jenis kupukupu memiliki tingkat sensitifitas dan kemampuan untuk dapat hidup di berbagai tipe habitat, sehingga keberadaannya dapat menjadi indikator untuk mengungkap kondisi lingkungan maupun potensi perubahan aspek lingkungan yang tidak terlihat secara visual (Borror et al. 1992; Bismark 2011).
50
Implikasi Hasil Penelitian terhadap Upaya Konservasi Kupu-Kupu di Kawasan Perkotaan Penelitian ini menunjukkan bahwa kawasan perkotaan, khususnya direpresentasikan oleh keberadaan hutan kota, memiliki arti penting dan strategis sebagai salah satu habitat bagi keanekaragaman hayati flora dan fauna di perkotaan. Kupu-kupu merupakan salah satu jenis serangga yang diketahui memanfaatkan berbagai tipe hutan kota sebagai habitatnya, sehingga untuk menjamin kelestarian komunitas kupu-kupu sebagai keanekaragaman hayati sekaligus bioindikator maka langkah-langkah konservasi strategis dalam jangka panjang menjadi sesuatu yang penting untuk terus direalisasikan. Kawasan perkotaan menjadi perhatian khusus dalam upaya konservasi biodiversitas karena diindikasi mengalami berbagai gejala penurunan kondisi lingkungan yang disebabkan oleh perkembangan urbanisme yang sangat pesat sehingga memberikan dampak negatif terhadap penurunan kondisi lingkungan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Connor et al. (2003) bahwa berbagai tekanan lingkungan dapat berpengaruh negatif bagi ekosistem maupun komunitas biotik pada suatu habitat karena menyebabkan perubahan maupun hilangnya komponenkomponen habitat. Kota Jakarta mengalami perkembangan yang pesat disertai dengan aktivitas antropogenik yang tinggi, sehingga perlu dilakukan penanganan lebih serius dan tepat sasaran dalam merumuskan strategi konservasi, karena semakin besar dan maju suatu kawasan perkotaan maka akan semakin besar bahaya dan kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan. Upaya konservasi pada kawasan hutan kota dapat dijadikan sebagai salah satu upaya untuk melakukan konservasi satwa liar pada kawasan perkotaan karena hutan kota selain memiliki fungsi estetika dan rekreasi, juga memiliki fungsi proteksi biodiversitas dan jasa lingkungan (Irwan 2005; Sundari 2007). Analisis kehadiran dan distribusi jenis-jenis kupu-kupu menggambarkan adanya keterkaitan dengan faktor-faktor lingkungan tertentu. Hal tersebut menunjukkan bahwa kajian korelasi antara faktor-faktor lingkungan pembentuk habitat dengan komunitas kupu-kupu menjadi dasar yang penting dalam upaya pengelolaan habitat serta penentuan jenis-jenis yang terancam oleh berbagai gangguan lingkungan. Informasi tersebut menjadi data yang penting sebagai dasar dalam perumusan kebijakan konservasidan perumuskan langkah-langkah teknis operasional secara tepat sasaran dalam keseluruhan pengelolaan hutan kota sehingga dapat mengoptimalkan fungsi hutan kota baik sebagai habitat satwa liar maupun sebagai kawasan dengan fungsi sosial budaya yang tinggi. Berdasarkan hasil pengamatan, dapat disusun beberapa strategi konservasi kupu-kupu di hutan kota yang yang dapat dijadikan acuan dalam upaya pengembangannya. Diantara rumusan strategi dan upaya konservasi kupu-kupu yang perlu dikembangkan, sebagai berikut: 1. Pemantauan serta penelitian berkelanjutan mengenai komunitas kupukupu dan komponen-komponen habitatnya-Pemantauan komunitaskupukupu dengan pengkajian berbagai parameter demografinya serta pemantauan parameter lingkungan pembentuk habitat menghasilkan data dasar yang diperlukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya perubahan pada parameterkomunitas kupu-kupu maupun habitatnya sehingga dapat dilakukan
51
upaya penanggulangan lebih dini. Selain itu, informasi tersebut juga dapat dijadikan sebagai masukkan dalam merumuskan langkah-langkah konservasi yang sesuai dengan kondisi aktual dan tepat sasaran. Pemantauan sebaiknya dilakukan pada tiap periode musim sehingga diketahui fluktuasi populasi jangka pendek serta kondisi lingkungan yang mempengaruhinya. 2. Pengelolaan dan pembinaan habitat-Tujuan utama dari strategi konservasi ini adalah menentukan pengelolaan habitat yang sesuai agar dapat mempertahankan maupun meningkatkan populasi kupu-kupu namun dengan tetap mempertimbangkan keseimbangannya dengan kebutuhan masyarakat, mengikuti perkembangan area perkotaan, serta dengan tidak menurunkan fungsi ekologis dari hutan kota. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain: pengkayaan jenis-jenis tumbuhan lokal, terutama yang merupakan tumbuhan kunci yang dibutuhkan dalam perkembangan kupu-kupu (sebagai tumbuhan pakan maupun tumbuhan pelindung/shelter) serta memiliki fungsi ekologis untuk pengembangan hutan kota. Pembinaan habitat dilakukan dengan tetap mempertimbangkan keberadaan komponen-komponen habitat tertentu sesuaikebutuhan dan perkembangan kupu-kupu karena tiap-tiap jenis kupukupu memiliki kebutuhan dan preferensi habitat yang berbeda-beda. 3. Penguatan regulasi-Aktivitas manusia berdasarkan hasil kajian tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap komunitas kupu-kupu. Meskipun demikian, dinamika kehidupan perkotaan menunjukkan bahwa keberadaan lokasi hutan kota terasosiasi langsung dengan berbagai kawasan terbangun dengan aktivitas antropogenik yang tinggi menuntut dilakukannya penguatan regulasi untukmengatur dan/atau mengendalikan perilaku dan aktivitas manusia yang dapat menyebabkan perubahan habitat, terutama di area yang teridentifikasi menyediakan komponen habitat yang diperlukan bagi kupu-kupu. 4. Sinergitas program konservasi-Pertimbangan dari aspek sosial merupakan hal yang penting dalam menerapkan berbagai strategi konservasi karena sebagian besar dari permasalahan lingkungan berasal dari aktivitas antropogenik (manusia). Beberapa langkah sinergitas program antara pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) termasuk masyarakat, diantaranya: a. Penyuluhan serta pendidikan mengenai pentingnya kelestarian hutan kota serta biodiversitasnya sebagai langkah penting agar diperoleh persepsi yang sama antara pemerintah dan berbagai stakeholders termasuk masyarakat dalam pengelolaan hutan kota. b. Peningkatan peran serta masyarakat dan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan dalam pengelolaan hutan kota, antara lain dapat diwujudkan melalui bantuan teknis maupun insentif. c. Penetapan prioritas konservasi kupu-kupu yang dilakukan untuk jenis-jenis kupu-kupu dengan populasi yang kecil dan jenis-jenis yang sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa diantara jenis keseluruhan jenis kupu-kupu yang ditemukan, jenis kupu-kupu yang penting diperhatikan upaya konservasinya antara lainY. horsfieldii dan P. hebe. d. Pembuatan dan pemasangan papan interpretasi mengenai jenis-jenis kupukupu beserta sifat ekologisnya di beberapa area hutan kota yang menjadi
52
habitatnya sebagai bagian dari upaya penting untukmemberikan informasi serta pengenalanjenis kupu-kupu beserta karakteristik habitatnya serta potensinya sebagai bioindikator kualitas lingkungan perkotaan kepada masyarakat. e. Integrasi program dan kegiatan pembangunan hutan kota. Keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan baik hutan kota maupun jenis-jenis ruang terbuka hijau lainnya seperti taman kota, pekarangan, jalur hijau, dan lainlain, perlu dilakukan secara terpadu dan sinergis antara pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan serta mempertimbangkan perspektifnya sebagai suatu kesatuan yang saling berhubungan dan mempengaruhi. Selain itu, pengembangan kota-kota besar diharapkan juga menerapkan pengembangan hutan kota yang berwawasan lingkungan sehingga dapat menekan dampak gangguan lingkungan perkotaan yang terjadi. Rumusan beberapa strategi konservasi tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengelolaan dan pengembangan hutan kota di wilayah DKI Jakarta yang tepat sesuai kondisi dan permasalahan lingkungannya, serta dapat memberikan added valuedari keberadaan suatu hutan kota sebagai sarana educational tourismuntuk pengenalan komunitas kupu-kupu kepada masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan laporan Balai Pemantapan Wilayah XI Jawa-Madura dimana pengelolaan hutan kota di DKI Jakarta pada saat ini lebih dititikberatkan pada peningkatan kondisi kualitas lingkungan serta pelestarian keanekaragaman hayati dalam menghadapi berbagai tekanan lingkungan yang terjadi. Strategistrategi konservasi tersebut diharapkan dijadikan sebagai bagian dari upayapenerapan strategi konservasi keanekaragaman hayati khususnya kupu-kupu di wilayah DKI Jakarta, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu acuan yang dapat diikuti oleh berbagai pihak dalam pengelolaan kota-kota besar lainnya di Indonesia.
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Sebanyak 22 jenis kupu-kupu ditemukan diempat tipe hutan kota contoh dengan berbagai kondisi habitat dan tingkat gangguan lingkungannya. Jenis kupu-kupu Graphium agamemnon, Delias hyparete, Leptosia nina,danEurema hecabe ditemukan di seluruhan tipe hutan kota dan periode pengamatan. Jenis kupu-kupu Eurema hecabemerupakan jenis dengan kelimpahan relatif tertinggi. Parameter komunitas kupu-kupu (jumlah jenis, kelimpahan, indeks kekayaan, indeks keanekaragaman, dan indeks dominan jenis) berbeda signifikan antar tipe hutan kota dengan rata-rata nilai tertinggi pada hutan kota tipe permukiman. Tidak ada perbedaan signifikan parameter komunitas kupukupu antar periode pengamatan, namun secara faktual nilai rata-rata tertinggi dari parameter komunitas kupu-kupu ditemukan pada periode peralihan antara musim kemarau ke musim hujan. 2. Keanekaragaman jenis kupu-kupu meningkat seiring dengan meningkatnya kekayaan jenis tumbuhan pakan, leaf area index, dan jarak lokasi habitat kupukupu dari area sumber gangguan. Di sisi lain, keanekaragaman jenis kupu-kupu menurun seiring dengan meningkatnya intensitas cahaya dan kecepatan angin. 3. Komunitas kupu-kupu mempunyai potensi sebagai bioindikator kondisi lingkungan khususnya yang disebabkan oleh gangguan antropogenik. Hutan kotadenganpotensi gangguan rendah memiliki kekayaan serta keanekaragaman jenis yang lebih tinggi. Setidaknya ada tiga jenis kupu-kupu yang potensial dapat dijadikan sebagai bioindikator. Jenis kupu-kupuYpthima horsfieldii dan Polyura hebe merupakan jenis kupu-kupu spesialis dengan persyaratan parameter lingkungan paling banyak yang mempengaruhinya sehingga keberadaannya dapat dijadikan sebagai indikator kondisi habitat dengan gangguan rendah. Adapun jenis Papilio demoleus merupakan jenis kupu-kupu dengan habitat spesifik yang hanya dapat beradaptasi dan dapat dijadikan sebagai indikator kondisi lingkungan terganggu Saran Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan yang telah diuraikan, saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnyaantara lain : 1. Pengkajian lebih lanjut mengenai jenis-jenis tumbuhan yang memiliki peran ekologis dan berfungsi serta berfungsi sebagai tumbuhan pakan kupukupu,serta dampaknya terhadap kupu-kupu, khususnya bagi jenis-jenis tumbuhan yang juga memiliki fungsi ekologis sebagai penyerap atau penjerap polutan 2. Pengembangan penelitian pada berbagai jenis ruang terbuka hijau lainnya khususnya dengan karakteristik habitat dan tipe gangguan lingungan yang beragam. 3. Memperpanjang waktu penelitian sehingga mencakup periode-periode musim lainnya. 4. Pengkajian mengenai jenis-jenis kupu-kupu yang berpotensi sebagai jenis indikator kondisi lingkungan melalui analisis menggunakan instrumen statistik.
DAFTAR PUSTAKA Abdallah AMM. 2015. Some aspect of the biology of the lemon butterfly Papilio demodocus Esper (Lepidoptera: Papilionidae) and its preference to three citrus cultivar [dissertation]. Sudan (SD): University of Khartoum. Amir M, Noerdjito WA, Kahono S. 2003. Serangga Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Bagian Barat. Bogor (ID): BCP-JICA. [BPLHD Provinsi DKI Jakarta]. Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 2014. Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2014.Jakarta (ID): BPLHD DKI Jakarta. [BPS Provinsi DKI Jakarta]. Badan Pusat Statistik Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 2014. Jakarta dalam Angka 2014. Jakarta (ID): BPS DKI Jakarta. Berger D, Walters R, Gotthard K. 2006. What keeps insects small? Size dependent predation on two species of butterfly larvae. Evolutionary Ecology 20(6): 575-589. Bismark M. 2011. Prosedur Operasi Standar (SOP) untuk Survei Keragaman Jenis pada Kawasan Konservasi. Bogor(ID): Balitbang Kehutanan. Blair RB, Launer AE. 1997. Butterfly diversity and human land use: species assemblages along an urban gradient. Biological Conservation 80(1):113– 125. Bonebrake TC, Ponisio LC, Boggs CL, Ehrlich PR. 2010. More than just indicators: a review of tropical butterfly ecology and conservation. Biological Conservation 143(8): 1831-1841. Boonvanno K, Watanasit S, Permkam S. 2000. Butterfly diversity at Ton NgaChang Wildlife Sanctuary, Songkhla Province, Southern Thailand. Science Asia26: 105-110. Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga.Edisi ke-6. Partosoedjono S, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. Braby MF. 2004. The Complete Field Guide to Butterflies of Australia. Australia (AU): CSIRO Publishing. Brown KS, Freitas AVL. 2000. Atlantic forest butterflies: indicators for landscape conservation. Biotropica 32(4b): 934-956. Brown KS, Freitas AVL. 2002. Butterfly communities of urban forest fragments in Campinas Sao Paulo, Brazil: structure, instability, environmental correlates, and conservation.Journal of Insect Conservation 6(4): 217-231. Budi TP. 2005. SPSS 13.0 Terapan: Riset Statistik Parametrik. Yogyakarta (ID): Penerbit Andi. Chatterjee H, Ghosh J, Senapati SK. 2000. Influence of important weather parameters on population fluctuation on major insect pest of mandarin orange (Citrus reticulata Blanco) at Darjeeling district of West Bengal (India). Journal of Entomological Research 24(3): 229-233. Chen JM, Black TA. 1991. Measuring leaf area index of plant canopies with branch architecture. Agricultural and Forest Meteorology 57(1-3): 1-12. Clark PJ, Reed JM, Chew FS. 2007. Effects of urbanization on butterfly species richness, guild structure, and rarity. Urban Ecosystems 10(3): 321-337.
55
Colwell RK, Coddington JA. 1994. Estimating terrestrial biodiversity through extrapolation. Philosophical Transactions of the Royal Society of London B: Biological Sciences345(1311): 101-118. Connor EF, Hafernik J, Levy J, Moore VL, Rickman JK. 2003. Insect conservation in an urban biodiversity hotspot: the San Francisco Bay area. Journal of Insect Conservation 6(4): 247-259. Corbet AS, Pendlebury HM.1992.The Butterflies of the Malay Peninsula. 4th edition. Kuala Lumpur (MY): Malayan Nature Society. Corke D. 1999. Are honeydew/sap-feeding butterflies (Lepidoptera: Rhopalocera) affected by particulate air-pollution?. Journal of Insect Conservation 3(1): 5-14. Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran: Hubungannya dengan Toksikologi Senyawa Logam. Jakarta (ID): UI Press. DeVries PJ, Alexander LG, Chacon IA, Dordyce JA. 2012. Similarity and difference among rainforest fruit-feeding butterfly communities in Central and South America. Journal of Animal Ecology 81(2): 472-482. Duara P, Kalita J. 2014. Butterfly as pollinating insects of flowering plants. Global Journal of Science Frontierr Research 14(1): 1-5. Dwiyer F, McPherson EG, Schroeder HW, Rowntree RA. 1992. Assesing the benefits and costs of the urban forest. Journal of Arboriculture18(5): 227234. Edwards CA, Subler S, Chen SK Bogomolov DM. 1996. Essential criteria for selecting bioindicator species, processes, or systems to assess the environmental impact of chemicals on soil ecosystems. Straalen NM, Krivolutsky DA, editor. Bioindicator Systems for Soil Pollution. Netherlands (NL): Kluwer Academic Publishers. p 67-84. Efendi MA. 2009. Keragaman kupu-kupu (Lepidoptera: Ditrysia) di kawasan “Hutan Koridor” Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Jawa Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Florida M, Setyawati TR, Yanti AH. 2015. Inventarisasi jenis kupu-kupu pada hutan kerangas di kawasan Cagar Alam mandor Kabupaten Landak. Protobiont 4(1): 260-265. Foord SH, Ferguson JWH, Van Jaarsveld AS. 2002. Endemicity of Afromontane grasshopper assemblages: implications for grassland conservation. Arican Journal of Ecology 40(4): 318-327. Fowler D. 2002. Pollutant deposition and uptake by vegetation. Di dalam: Bell JNB, Treshow M, editor. Air Pollutant and Plant Life. England (GB): John Wiley and Sons. Fuhrer E. 1985. Air pollution and the incidence of forest insect problems. Zeitschrift fur angewandte Entomologie 99(1-5): 371-377. Garcia-Barros E. 2000. Body size, egg size, and their interspecific relationships with ecological and life history traits in butterflies (Lepidoptera: Papilionoidea, Hesperioidea). Biological Journal of the Linnean Society 70(2): 251-284. Grundel R, Pavlovic NB, Sulzman CL. 1998. Habitat use by the endangered Karner Blue butterfly in oak woodlands: the influence of canopy cover. Biological Conservation85(1): 47-53.
56
Guererro KA, Veloz D, Boyce SL, Farrell BD. 2004. First new world documentation of an Old World citrus pest, the lime swallowtail Papilio demoleus (Lepidoptera: Papilionidae), in the Dominican Republic (Hispaniola). American Entomologist 50(4): 227-229. Haddad NM, Baum KA. 1999. An experimental test of corridor effect on butterfly densities. Ecological application 9(2): 623-633. Hamer KC, Hill JK, Lace LA, Langan AM. 1997. Ecological and biogeographical effects of forest disturbance on tropical butterflies of Sumba, Indonesia. Journal of Biogeography 24(1): 67-75. Hamer KC, Hill JK, Benedick S, Mustaffa N, Sherratt TN, Maryati M, Chev VK. 2003. Ecology of butterflies in natural and selectively logged forests of northern Borneo: the importance of habitat heterogeneity.Journal of Applied Ecology40(1): 150-162. Heliovaara K, Vaisanen R. 1990. Air pollution levels and abundance of forest insect. Kauppi K, Anttila P, Kenttamies K, editor. Acidification in Finland. Berlin (DE): Spinger. p 447-467. Hill JK, Hamer KC, Lace LA, Banham WMT. 1995. Effects of selective logging on tropical forest butterflies on Buru, Indonesia.Journal of Applied Ecology32(4): 754-760. Hirowatari T, Makihara H. 2007. Effects of fires on butterfly assemblages in lowland dipterocarp forest in East Kalimantan. Entomological Science 10(2): 113-127. Hodkinson IA, Jackson JK. 2005. Terrestrial and aquatic invertebrates as bioindicators for environmental monitoring, with particular reference to mountain ecosystems. Environmental Management 35(5): 649-666. Hogsden KL, Hutchinson TC. 2004. Butterfly assemblages along a human disturbance gradient in Ontario, Canada. Canadian Journal of Zoology 82(5): 739-748. Houlihan PR, Marchant NC, Harrison ME. 2012. A Guide to the Butterflies of Sabangau. The Orangutan Tropical Peatland Project. Palangkaraya (ID): The Orang Utan Tropical Peatland Project. Irwan ZD. 2005. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Jana G, Misra KK, Bhattacharya T. 2006 Diversity of some insect fauna in industrial and non-industrial area of West Bengal, India. Journal of Insect Conservation 10(3): 249-260. Joga N, Ismaun I. 2011. RTH Tiga Puluh Persen! Resolusi Kota Hijau. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Jonsen ID, Fahrig L. 1997. Response of generalist specialist insect herbivores to landscape spatial structure. Landscape Ecology 14: 67-75. Kato Y, Sano M. 1987. Role of photoperiod and temperature in seasonal morph determination of the butterfly Eurema hecabe. Physiological Entomology 12(4): 417-423. Keeler MS, Chew FS, Goodale BC, Reed JM. 2006. Modelling the impacts of two exotic invasive species on a native butterfly: top-down vs. bottom-up effects. Journal of Animal Ecology 75 (3):777-788.
57
Kerr JT. 2001. Butterfly species richness pattern in Canada: energy, heterogeneity, and the potential consequences of climate change. Ecology and Society 5(1): 1-14. Khopkar SM. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press. Kingsolver JG. 1985. Thermoregulatory significance of wing melanization in Pieris butterflies (Lepidoptera: Pieridae): physics, posture, and patterns. Oecologia 66(4): 546-553. Kitahara M, Fujii K. 1994. Biodiversity and community structure of temperate butterfly species within a gradient of human disturbance: an analysis based on the concept of generalist vs specialist strategies. Research on Population Ecology 36(2): 187-199. Kitahara M, Sei K, Fujii K. 2000. Patterns in the structure of grassland butterfly communities along a gradient of human disturbance: further analysis based on the generalist/specialist concept. Population Ecology 42(2): 135-144. Kitching RL. 1999. Biology of Australian Butterflies.Volume 6. Australia (AU): CSIRO Publishing. Kocher SD, Williams EH. 2000. The diversity and abundance of North American butterflies vary with habitat disturbance and geography. Journal of Biogeography27(4): 785-794. Koh LP, Sodhi NS. 2004. Importance of reserves, fragments, and park for butterfly conservation in a tropical urban landscape. Ecological Applicaton 14 (6): 1695-1708. Koneri R, Saroyo. 2012. Distribusi dan keanekaragaman kupu-kupu (Lepidoptera) di Gunung Manado Tua, Kawasan Taman Nasional Laut Bunaken, Sulawesi Utara. Jurnal Bumi Lestari 12(2): 357-365. Krebs CJ. 1999. Ecological Methodology. Volume 620. California(US): Benjamin/Cummings. Kremen C. 1994. Biological inventory using target taxa: a case study of the butterflies of Madagascar. Ecological Applications 4(3): 407-422. Kunte K. 2000. India a Lifescape: Butterflies of Peninsular India. Gadgil M, editor. India (IN): Universities Press. Kusch J, Goedert C, Meyer M. 2005. Effect of patch type and food specializations on fine spatial scale community patterns of nocturnal forest associated Lepidoptera. Journal of Research on the Lepidoptera 38: 66-77. Layberry RA, Hall PW, Donald J. 1998. The Butterflies of Canada. London (GB): University of Toronto Press Incorporated. Ludwig JA, Reynolds JF. 1988.Statistical Ecology: a Primer on Methods and Computing. New York (US): John Wilwy and Sons. Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey (US): Princeton University Press. Markert BA, Breure AM, Zechmeister HG. 2003. Definition, strategies, and principles for bioindication/biomonitoring of the environment. Bioindicator and Biomonitors 6: 3-39. Matteson KC, Langellotto GA. 2010. Determinates of inner city butterfly and bee species richness. Urban Ecosystem 13(3): 333-347.
58
McGeoch MA. 1998. The selection, testing and application of terrestrial insects as bioindicators. Biological Reviews of the Cambridge Philosophical Society 73(2): 181-201. Mulder C, Aldenberg T, De Zwart D, Van Wijnen HJ, Breure AM.2005. Evaluating the impact of pollution on plant-Lepidoptera relationships. Environmetrics 16(4): 357-373. Munguira ML, Thomas JA. 1992. Use of road verges by butterfly and burnet populations, and the effect of roads on adult dispersal and mortality. Journal of Applied Ecology 29(2): 316-329. Nechols JR. 1995. Biological Control in the Western United States: Accomplishments and Benefit of Regional Research Project. Vol 3361. California(US): UCANR Publications. Nurjanah ST. 2010. Biologi Troides helena helena dan Troides helenahephaestus (Papilionidae) di penangkaran [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Oostermeijer JGB, Van Swaay CAM. 1998. The relationship between butterflies and environment indicator values: a tool for conservation in a changing landscape. Biological Conservation 86(3): 271-280. Orr AG, Haeuser CL. 1996. Temporal and spatial patterns of butterfly diversity in a lowland tropical rainforest. Tropical Rainforest Research-Current Issues 74: 125-138. Peggie D, Amir M. 2006. Panduan Praktis Kupu-Kupu di Kebun Raya Bogor. Cibinong (ID): Pusat Penelitian Bilogi LIPI. Peggie D. 2011. Precious and Protected Indonesian Butterflies: Kupu-Kupu Indonesia yang Bernilai dan Dilindungi. Jakarta (ID): PT. Binamitra Megawarna. Pollard E, Yates TJ. 1993. Monitoring Butterflies for Ecology and Conservation. London (GB): Chapman and Hall. Posa MRC, Sodhi NS. 2006. Effects of anthropogenic land use on forest birds and butterflies in Subic bay, Philippines. Biological Conservation 129(2): 256270. Pozo C, Luis-Martine A, Llorente-Bousquets J, Salas-Suarez N, Maya-Martine A, Vargas-Fernandez I, Warren AD. 2008. Seasonality and phenology of the butterflies (Lepidoptera: Papilionoidea and Hesperioidea) of Mexico's Calakmul Region.Florida Entomologist91(3): 407-422. Price PW. 1997. Insect Ecology. 3 rd edition. New York (US): John Wiley & Sons. Prokopy RJ, Owens ED. 1983. Visual detection of plants by herbivorous insects.Annual Review of Entomology28(1): 337-364. Rahayu SE, Basukriadi A. 2012. Kelimpahan dan keanekaragaman spesies kupukupu (Lepidotera: Rhopalocera) pada berbagai tipe habitat di Hutan Kota Muhammad Sabki Kota Jambi. Biospecies 5(2): 40-48. Rahayu SE, Tuarita H. 2014. Struktur komunitas kupu-kupu pada area Wana Wisata Air Terjun Coban Rais di Batu. Karyanto P, Ramli M, Sari DP, Widoretno S, Maridi, Suciati, Sugiharto B, Fatmawati U, editor. Prosiding Seminar Biologi. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret. p 460-464. Rahmadetiassani A. 2013. Komunitas kupu-kupu di ruang terbuka hijau (RTH) DKI Jakarta [skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Nasional Jakarta. Ramana SP, Atluri JB, Reddi CS. 2003. Autecology of the Tailed Jay Butterfly Graphium agamemnon (Lepidoptera: Rhopalocera: Papilionidae). Journal
59
of Environmental Biology/Academy of Environmental Biology24(3): 295303. Ramesh T, Hussain KJ, Selvanayagam M, Satpathy KK, Prasad MVR. 2010. Pattern of diversity, abundance, and habitat associations of butterflycommunities in heterogenous landscapes of the Department of Atomic Energy (DAE) Campus at Kalpakkam, South India. International Journal of Biodiversity and Conservation 2(4) : 75-85. Reuther W. 1989. The Citrus Industry Crop Protection, Postharvest Technology, and Early History of Citrus Research in California. Vol 3326. California(US): UCANR Publications. Rizal S. 2007. Populasi kupu-kupu di kawasan Cagar Alam Rimbo Panti dan kawasan wisata Lubuk Minturun Sumatera Barat.Mandiri9(3): 177-237. Robinson GS, Ackery PR, Kitching IJ, Beccaloni GW, Hernandez LM. 2010. HOSTS-A Database of the World’s Lepidopteran Hostplants [internet]. London (UK): Natural History Museum London. Tersedia pada: http://www.nhm.ac.uk/hosts. Rusman R. 2015. Kupu-kupu (Lepidoptera: Papilionoidea) di Gunung Sago, Sumatera Barat: keanekaragaman dan preferensi kunjungan pada bunga [tesis]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. Samsoedin I, Waryono T. 2010. Hutan Kota dan Keanekaragaman Jenis Pohon di Jabodetabek. Jakarta (ID): Yayasan KEHATI. Saputro NA. 2007. Keanekaragaman jenis kupu-kupu di Kampus IPB Darmaga [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. Schulze CH. 2012. Identification guide for butterflies of West Java [internet]. [diunduh 22 Oktober 2013]. Tersedia pada: http://www.scribd.com/ Shapiro AM, Carde RT. 1970. Habitat selection and competition among sibling species of satyrid butterflies. Evolution 24(1): 48-54. Sharma G, Joshi PC. 2009. Diversity of butterflies (Lepidoptera: Insecta) from Dholbaha dam (Distt. Hoshiarpur) in Punjab Shivalik India. Biological Forum1(2): 11-14. Silver C. 2008. Planning the Megacity: Jakarta in the Twentieth Century. New York (US): Routledge. Smart P. 1989. The Illustrated Encyclopedia of The Butterfly World. London (GB): Salamander Books Ltd. Soedomo M. 2001. Pencemaran Udara (Kumpulan Karya Ilmiah). Bandung (ID): Penerbit ITB. Soga M, Koike S. 2012. Life-history traits affect vulnerability of butterflies to habitat fragmentation in urban remnant forest. Ecoscience 19(1): 11-20. Sommaggio D, Burgio G. 2014. The use of Syrphidae as functional bioindicator to compare vineyard with different managements. Bulletin of Insectology 67(1): 147-156. Spitzer K, Jaros J, Havelka J, Leps J. 1997. Effect of smallscale disturbance on butterfly communities of an Indochinese montane rain forest. Biological Conservation80(1): 9-15. Steffan-Dewenter I, Tscharntke T. 2000. Butterfly community structure in fragmented habitats. Ecology Letters 3(5): 449-456. Subarudi, Samsoedin I, Sylviani, Syahadat E, Ariawan K, Suryandari EY, Panjaitan JH. 2014. Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Hutan
60
Kota pada Lanskap Perkotaan. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Sulistyani TH, Rahayuningsih M. 2014. Keanekaragaman jenis kupu-kupu (Lepidoptera: Rhopalocera) di Cagar Alam Ulolanang Kecubung Kabupaten Batang. Unnes Journal of Life Science 3 (1): 9-17. Sundari ES. 2007. Studi untuk menentukan fungsi hutan kota dalam masalah lingkungan perkotaan. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota UNISBA 7(2): 68-83. Sundufu AJ, Dumbuya R. 2008. Habitat preferences of butterflies in the Bumbuna forest, Northern Sierra Leone. Journal of Insect Science8(64): 1-17. Tabadepu H, Buchori D, Sahari B. 2008. Butterfly record from Salak Mountain, Indonesia. Jurnal Entomologi Indonesia 5(1): 10-16. Tambaru E. 2015. Pemanfaatan tumbuhan sebagai paka larva kupu-kupu di kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Maros. Jurnal Alam dan Lingkungan 6 (11): 22-27. Tati-Subahar SS, Amasya AF, Choesin DN. 2007. Butterfly (Lepidotera: Rhopalocera) distribution along an altitudinal gradient on mount Tangkuban Parahu, West Java, Indonesia. The Raffles Bulletin of Zoology 55(1): 175178. Ter Braak CJF. 1986. Canonical correspondence analysis: a new eigenvector technique for multivariaat technique for multivariate direct gradient analysis. Ecology 67(5): 1167-1179. Thomas JA. 1983. A quick method for estimating butterfly numbers during surveys. Biological Conservation 27 (3): 195-211. Thomas JA, Telfer MG, Roy DB, Preston CD, Greenwood JJD, Asher J, Fox R, Clarke RT, Lawton JH. 2004. Comparative losses of British butterflies, birds, and plants and the global extinction crisis. Science 303(5665): 18791881. Thomas JA. 2005. Monitoring change in the abundance and distribution of insect using butterflies and other indicator groups. Philosophical Transaction of the Royal Society B: Biological Science 360(1454): 339-357. Tiple AD, Padwad SV, Dapporto L, Dennis RLH. 2010. Male mate location behaviour and encounter sites in a community of tropical butterflies: the influence of taxonomy, biotopes, landscape structures, resources, morphology, and population variables.Journal of Biosciences35(4):629– 646. Tresnawati E. 2010. Siklus Hidup dan Pertumbuhan Kupu-Kupu Graphium agamemnon L. dan Graphium doson C (Papilionidae: Lepidoptera) dengan pakan daun cempaka dan daun sirsak [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Utami EN. 2012. Komunitas kupu-kupu (Ordo Lepidoptera: Papilionoidea) di kampus Universitas Indonesia Depok, Jawa Barat [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia. Vane-Wright RI, de Jong R. 2003. The butterflies of Sulawesi: annotated checklist for a critical island fauna. Zool Verh Leiden 343(11): 3-267. Van Swaay C, Brereton T, Kirkland P, Warren M. 2012. Manual for Butterfly Monitoring. Netherlands (NL): De Vlinderstichting.
61
Van Swaay C, Strien A. 2005. Using butterfly monitoring data to develop a European grassland butterfly indicator. Kuhn E, Feldmann R, Thomas J, Settele J, editor. Studies on the Ecology and Conservation in Europe Vol. 1: General Concepts and Case Studies. Bulgaria (BG): Pensoft Publisher. p 106-108 Vu LV. 2009. Diversity and similarity of butterfly communities in five different habitat types at Tam Dao National Park, Vietnam. Journal of Zoology 277 (1): 15-22. Warman T. 2015. Pemetaan Polutan Udara dan Suhu Permukaan sebagai Bahan Pertimbangan Pembangunan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta Timur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wee YC, Ng A. 2008. Life history of the Painted Jezebel, Delias hyparete Linnaeus, 1758 (Order Lepidoptera). Nature in Singapore 1 : 103-108. White PJT, Kerr JT. 2007. Human impacts on environment–diversity relationships: evidence for biotic homogenization from butterfly species richness patterns. Global Ecology and Biogeography16(3): 290-299. Wijaya RP, Diana P, Anggraeni S, Kusyaifah E, Amalia N. 2014. Respon perilaku kupu-kupu pada kanopi bercelah dan kanopi tertutup di Hutan PPKA Bodogol, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. BIOMA 10 (2): 18-22. Zvereva EL, Kozlov MV. 2006. Top-down effects on population dynamics of Eriocrania Miners (Lepidoptera) under pollution impact: does an enemy-free space exist?. Oikos 115(3): 413-426.
LAMPIRAN
62
LAMPIRAN Lampiran 1
Peta lokasi hutan kota pengamatan berdasarkan sebaran polutan timbal (Pb)*
*Berdasarkan data pemantauan timbal (Pb) BPLHD DKI Jakarta sepanjang tahun 2013 dan modifikasi dari peta sebaran polutan Pb oleh Warman (2015), dengan menggunakan metode interpolasi Inverse Distance Weighting (IDW) dan klasifikasi terbimbing (supervised).
63
Lampiran 2
Komposisi jenis dan kelimpahan individu kupu-kupu pada keseluruhan hutan kota dan periode pengamatan
Famili/Spesies Famili Papilionidae Graphium agamemnon Graphium doson Papilio demoleus Papilio demolion Papilio memnon Papilio polytes Famili Nymphalidae Doleschallia bisaltide Euploea eunice Hypolimnas bolina Ideopsis juventa Junonia hedonia Neptis hylas Polyura hebe Ypthima horsfieldii Famili Pieridae Appias olferna Catopsilia pyranthe Delias hyparete Eurema blanda Eurema hecabe Leptosia nina Famili Lycaenidae Flos anniella Prosotas gracilis -S N
P1 P2 P3 S1 S2 S3 S4 S1 S2 S3 S4 S1 S2 S3 S4 9 2 2 -
2 12 -
5 2 2 2 -
3 -
6 2 1 1
3 11 1 -
7 2 2 2
4 -
6 1 2
1 9 -
4 1 3 -
2 -
3 2 3 2 3 3 2 -
4 3 3 -
3 2 3 2
3 -
3 2 3 2 3 2 -
3 4 6 -
2 3 4 -
-
3 3 2 2 2 2 -
2 2 -
2 3 -
-
4 2 2 4 9 5 10 11 4 4
4 2 9 7 4
2 4 9 2
2 3 4 3 6 3
3 8 3 10 3
2 6 4 4
6 3 10 5
3 2 3 7 2
4 1 12 2
2 7 5 3
2 2 10 1
3 2 2 2 1 1 17 9 13 6 17 11 12 6 15 8 10 5 62 50 47 23 48 55 40 31 41 33 31 17
P1: periode musim kemarau, P2: periode peralihan musim kemarau ke musim hujan, P3: periode musim hujan; S1: HK Rawa Dongkal, S2: HK PT. JIEP, S3: HK Kopassus Cijantung, S4: HK UKI Cawang.
64
Lampiran 3
Frekuensi kehadirandan kelimpahan relatifkupu-kupu dikeempat hutan kota pengamatan
Nama jenis Famili Papilionidae Graphium agamemnon Graphium doson Papilio demoleus Papilio demolion Papilio Memnon Papilio polytes Famili Nymphalidae Doleschallia bisaltide Euploea eunice Hypolimnas bolina Ideopsis juventa Junonia hedonia Neptis hylas Polyura hebe Ypthima horsfieldii Famili Pieridae Appias olferna Catopsilia pyranthe Delias hyparete Eurema blanda Eurema hecabe Leptosia nina Famili Lycaenidae Flos anniella Prosotas gracilis
S1 FK KR
S2 FK
S3 KR
FK
S4 KR
1 13.91 1 4.35 1 13.56 0.66 2.65 0 1 4.24 0 1 23.19 0 0 0.33 0.72 0.33 1.69 1 2.65 0 1 5.93 0.66 1.99 0 0.33 1.69 1 1 1 1 1 1 0.33 0
5.96 4.64 5.30 3.97 5.30 4.64 1.32 -
1 0 1 0 0.66 0 0 0
6.52 6.52 6.52 -
0.66 1 0 0 1 0 0 0.33
4.24 5.93 8.47 1.69
1 5.96 0.66 3.62 1 6.78 0.66 3.31 0.33 1.69 1 6.62 1 15.22 1 18.64 1 7.28 0.66 2.90 0 1 15.23 1 23.91 1 13.56 1 5.96 1 6.52 1 9.32 0 1
3.31
0 0
-
0 0.66
2.54
FK
KR
1 0 0 0 0 0
12.68 -
0 0 0.33 0 0 0 0 0
4.23 -
0 0 1 1 1 1
14.08 12.68 40.85 11.27
0.33 0
4.23 -
FK: frekuensi kehadiran, KR: kelimpahan relatif; S1: HK Rawa Dongkal, S2: HK PT. JIEP, S3: HK Kopassus Cijantung, S4: HK UKI Cawang.
65
Lampiran 4
Frekuensi kehadiran dan kelimpahan relatif kupu-kupu pada ketiga periode pengamatan
Nama jenis Famili Papilionidae Graphium agamemnon Graphium doson Papilio demoleus Papilio demolion Papilio memnon Papilio polytes Famili Nymphalidae Doleschallia bisaltide Euploea eunice Hypolimnas bolina Ideopsis juventa Junonia hedonia Neptis hylas Polyura hebe Ypthima horsfieldii Famili Pieridae Appias olferna Catopsilia pyranthe Delias hyparete Eurema blanda Eurema hecabe Leptosia nina Famili Lycaenidae Flos anniella Prosotas gracilis
P1
P2
P3
FK
KR
FK
KR
FK
KR
1 0.50 0.25 0.25 0.50 -
10.44 2.10 6.59 1.10 2.20 -
1 0.50 0.25 0.25 0.50 0.50
11.49 2.30 6.32 0.57 1.72 1.72
1 0.25 0.25 0.50 0.25
10.66 0.82 7.38 3.28 1.64
0.75 0.50 0.75 0.25 0.75 0.25 0.25 0.25
5.49 2.20 4.95 1.10 4.95 1.65 1.10 1.10
0.75 0.50 0.50 0.25 0.75 0.25 -
4.60 2.87 4.02 1.15 7.47 1.15 -
0.50 0.50 0.50 0.25 0.50 0.25 -
4.10 4.10 3.28 1.64 4.10 1.64 -
0.75 0.50 1 0.5 1 1
5.49 2.20 13.19 4.95 20.33 7.69
0.75 0.25 1 0.75 1 1
4.02 1.72 13.79 5.17 17.24 8.62
0.5 1 0.75 1 1
4.10 12.30 4.92 27.87 6.56
0.25
1.10
0.25 0.5
1.72 2.3
0.50
1.64
FK: frekuensi kehadiran, KR: kelimpahan relatif; P1: periode musim kemarau, P2: periode peralihan musim kemarau- hujan, P3: periode musim hujan.
66
Lampiran 5 Jenis-jenis tumbuhan pakan yang ditemukandi keempat hutan kota pengamatan Sumber Jenis acuan No Nama ilmiah Nama lokal Habitus kupu-kupu a 1 2b 3c 1 Acacia auriculiformisA. Akasia P E. blanda * * E. hecabe * * * Prosotas sp * Polyura sp * 2 Imperata cylindrical AlangT Y. horsfieldii * (L.) Raeusch alang 3 Pterocarpus indicus Willd. Angsana P C. pyranthe * * E. hecabe * N. hylas * P. gracilis * 4 Pithecellobium dulce Roxb. Asam P P. hebe * Benth keranji E. blanda * E. hecabe * 5 Dendrophthoe pentandra Benalu T D. hyparete * * (L.)Miq. Delias sp * 6 Ficus benjamina L. Beringin P E.eunice * * H.bolina * * N. hylas * Euploea sp. * 7 Cerbera mangas L. Bintaro P E. eunice * 8 Bauhinia purpurea L. Bunga Pe C. pyranthe * kupu-kupu 9 Lagerstroemia speciosa Bungur P F. aniella * Auct. Polyura sp * 10 Erythrina cristagalli L. Dadap P D. bisaltide * merah 11 Delonix regia Flamboyan P E. blanda * (Boj. ex Hook) Raf. E. hecabe * Polyura sp * 12 Polyalthia longifolia Sonn. Glodokan P G. * * tiang agamemnon G. doson * * Graphium sp * Junonia sp * 13 Syzygium polycephalum Gowokan P Flos sp. * (Miq.) Merr & Perry 14 Tectona grandis Linn. Jati P E. hecabe * * 15 Cinnamomum burmannii Kayu P G. doson * (Nees &Th.Nees) manis G.agamemno * n
67
No
16
Nama ilmiah
Caesalpinia pulcherrima (L.)sw
Nama lokal Habitus
Kembang merak
Jenis kupu-kupu
Pe
Polyura sp E. blanda
Sumber acuan 1a 2b 3c * *
Leucaena leuocephala (Lamk.) de Wit Cleome rutidosperma D.C.
Lamtoro
P
E.hecabe Polyura sp E. hecabe
Maman ungu
T
L.nina
*
Nangka
P
Appias sp D. bisaltide
* *
20
Artocarpus heterophylus Lamk. Mimosa pudica L.
Putri malu
T
21
Nephelium lappaceum L.
Rambutan
P
22
Axonopus compressus(Sw)P. Beauv
Rumput gajah
T
23
Adenanthera pavonina L.
Saga
P
24
Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg Lantana camara L.
Sukun
P
Tembelek
T
17 18
19
25
* * *
E. hecabe Junonia sp Polyura sp D. hyparete Y. horsfieldii
* * *
Junonia sp P. hebe Eurema sp D. bisaltide
*
E. hecabe Junonia sp Graphium sp
*
* * *
*
*
* * *
* *
Sumber: Peggie & Amir (2006), bsumber: Robinson et al.(2010), csumber: Braby (2004); P: pohon, T: tema, Pe: perdu. a
68
Lampiran 6Fungsi ekologis tumbuhan pakan yang ditemukandi keempat hutan kota pengamatan Fungsi ekologis* No Nama ilmiah Nama lokal a b c d e 1 Delonix regia Flamboyan √ (Boj. ex Hook) Raf. 2 Pterocarpus indicus Willd Angsana √ √ 3 Polyalthia longifolia Sonn Glodokan tiang √ √ √ 4 Bauhinia purpurea L. Bunga kupu-kupu √ 5 Artocarpus heterophylus Nangka √ √ √ Lamk. 6 Ficus benjamina L. Beringin √ √ 7 Tectona grandis Linn. Jati √ Cinnamomum burmannii Kayu manis 8 √ √ (Nees &Th.Nees) Leucaena leuocephala Lamtoro 9 √ (Lamk.) de Wit Tembelek 10 Lantana camara L. √ √ Rumput gajah 11 Axonopus √ compressus(Sw)P. Beauv *sumber: Irwan (2005), Subarudi et al. (2014); a: penyerap/penjerap debu, b: penyerap/penjerap timbal, c: pengendali iklim mikro, d: pencegah erosi, e: pembatas fisik.
69
Lampiran 7 Uji normalitas Kolmogorov-Smirnov parameter komunitas kupukupu dan parameter lingkungan One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Jumlah jenis N 12 Normal Mean 10.7500 Parametersa Std. 4.18058 Deviation Most Absolute .122 Extreme Positive .122 Differences Negative -.099 Kolmogorov-Smirnov .423 Z Asymp. Sig. (2-tailed) .994 a. Test distribution is Normal.
Kelimpahan Keanekaragam Kekayaan Kemerataan Dominansi individu an jenis jenis jenis jenis 12 39.8333
12 12 2.079354 2.625507
13.32007
.4766217 .9610121
12 .897460
12 .161154
.0656046 .0917780
.121 .113 -.121
.151 .151 -.148
.144 .144 -.133
.250 .167 -.250
.207 .207 -.168
.421
.522
.498
.864
.718
.994
.948
.965
.444
.681
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Suhu udara N Normal Parametersa
Mean Std. Deviation Most Extreme Absolute Differences Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal.
Kelembaban udara
Intensitas cahaya
Kecepatan angin
12 30.8750
12 64.2500
12 3347.708333
12 .896642
1.31088
4.73142
1.7105045E3
.3394630
.151 .149 -.151 .525 .946
.188 .188 -.176 .650 .791
.144 .144 -.123 .499 .965
.122 .122 -.098 .422 .994
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
LAI
Jumlah jenis food plant
Pb
TSP
Jarak dari Jarak area dari jalan sumber raya gangguan
N 12 12 12 12 12 12 Normal Mean 2.545625E0 18.0000 .625000 1.419750E2 22.08333 73.7500 Parametersa Std. .6617291 2.66288 .2489797 5.5322905E1 6.894772 27.06264 Deviation Most Absolute .164 .250 .167 .312 .215 .185 Extreme Positive .150 .250 .163 .312 .127 .159 Differences Negative -.164 -.183 -.167 -.194 -.215 -.185 Kolmogorov-Smirnov .569 .866 .579 1.079 .743 .641 Z Asymp. Sig. (2-tailed) .903 .441 .891 .194 .638 .806
70
Lampiran 8
Analisis varians one waysAnova dan uji lanjut Tukey perbedaan parameter lingkungandan komunitas kupu-kupu antar hutan kotadan periode pengamatan
Anova satu arahparameter lingkungan Faktor Lokasi Lokasi Periode Lokasi Periode Lokasi Periode Lokasi Periode Lokasi Periode Lokasi Periode
Uji Anova F P Signifikansi Leaf area index (LAI) 11.171 0.001 S Intensitas Cahaya 11.426 0.003 S 0.91 0.437 TS Suhu Udara 0.431 0.737 TS 20.835 0.001 S Kelembaban Udara 0.441 0.73 TS 22.042 0.001 S Kecepatan Angin 5.253 0.027 S 2.079 0.181 TS Jarak dari jalan raya 1.981 0.195 TS 0.52 0.611 TS Jarak dari area sumber gangguan 7.728 0.009 S 0.137 0.874 TS
TS: tidak berbeda signifikan, S:berbeda signifikan menurut uji Tukey pada taraf kepercayaan 95%.
Uji lanjut Tukeyparameter lingkungan antar lokasi hutan kota Leaf area index (LAI) Tukey HSD Subset for alpha = 0.05 Lokasi
N
1
HK UKI Cawang 4 1.705000E0 HK PT. JIEP 4 2.315000E0 HK Rawa Dongkal 4 HK Kopassus Cijantung 4 Sig. .252 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
2
3
2.315000E0 2.712500E0 .589
2.712500E0 3.450000E0 .134
71
Intensitas cahaya Tukey HSD Subset for alpha = 0.05 Lokasi
N
HK Kopassus Cijantung 3 HK Rawa Dongkal 3 HK PT. JIEP 3 HK UKI Cawang 3 Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
1
2
1543.333 2254.167
.755
4642.500 4950.833 .971
Kecepatan angin Tukey HSD Subset for alpha = 0.05 Lokasi
N
1
HK Kopassus Cijantung 3 HK Rawa Dongkal 3 HK PT. JIEP 3 HK UKI Cawang 3 Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
2
.617500 .695000 .985267 .282
.695000 .985267 1.288900 .054
Jarak dari area sumber gangguan Tukey HSD Subset for alpha = 0.05 Lokasi
N
HK UKI Cawang HK PT. JIEP HK Kopassus Cijantung HK Rawa Dongkal Sig. Means for groups in homogeneous subsets
3 3 3 3
1
2 48.333 61.667 76.667 .214
are displayed.
76.667 108.333 .152
72
Uji lanjut Tukey parameter lingkungan antar periode pengamatan Suhu udara Tukey HSD Subset for alpha = 0.05 Ulangan
N
1
Musim hujan 4 Peralihan 4 Musim kemarau 4 Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
2 29.300 31.375 31.950 .414
1.000
Kelembaban udara Tukey HSD Subset for alpha = 0.05 Ulangan
N
Musim kemarau 4 Peralihan 4 Musim hujan 4 Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
1
2 60.50 62.25 .510
70.00 1.000
73
Anova satu arah parameter komunitas kupu-kupu Faktor
Uji Anova P Jumlah Jenis 0.001 0.796 Kelimpahan Individu 0.039 0.240 Keanekaragaman jenis 0.001 O.616 Kekayaan jenis 0.001 0.912 Kemerataan jenis 0.142 0.195 Dominansi jenis 0.016 0.424
F
Lokasi Periode
37.807 0.234
Lokasi Periode
4.542 1.681
Lokasi Periode
17.436 0.512
Lokasi Periode
70.826 0.093
Lokasi Periode
2.415 1.968
Lokasi Periode
6.431 0.944
Signifikansi S TS S TS S TS S TS TS TS S TS
TS: tidak berbeda signifikan, S: berbeda signifikan menurut uji Tukey pada taraf kepercayaan 95%.
Uji lanjut Tukey parameter komunitas kupu-kupu antar lokasi hutan kota Jumlah jenis Tukey HSD Subset for alpha = 0.05 Lokasi
N
1
HK UKI Cawang 3 5.67 HK PT. JIEP 3 HK Kopassus Cijantung 3 HK Rawa Dongkal 3 Sig. 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
2
3 9.33 11.67 .184
16.33 1.000
74
Kelimpahan jenis Tukey HSD Subset for alpha = 0.05 Lokasi
N
1
2
HK UKI Cawang 3 HK Kopassus Cijantung 3 HK PT. JIEP 3 HK Rawa Dongkal 3 Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
23.67 39.33 46.00
39.33 46.00 50.33 .523
.079
Keanekaragaman jenis Tukey HSD Subset for alpha = 0.05 Lokasi
N
1
2
3
HK UKI Cawang 3 1.51830433E0 HK PT. JIEP 3 1.87297333E0 1.87297333E0 HK Kopassus Cijantung 3 2.27516533E0 2.27516533E0 HK Rawa Dongkal 3 2.65097100E0 Sig. .221 .150 .187 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Kekayaan jenis Tukey HSD Subset for alpha = 0.05 Lokasi
N
1
2
3
HK UKI Cawang 3 1.48750067E0 HK PT. JIEP 3 2.18080033E0 HK Kopassus Cijantung 3 2.90651967E0 HK Rawa Dongkal 3 Sig. 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
4
3.92660700E0 1.000
75
Lampiran9Analisis Euclidean Distance komunitas kupu-kupu Periode musim kemarau Cluster Analysis of Observations: HK Rawa Dongkal; HK PT.JIEP; HK Kopassus Cijantung; HK UKI Cawang Euclidean Distance, Single Linkage Amalgamation Steps Number of obs. Number of Similarity Distance Clusters New in new Step clusters level level joined cluster cluster 1 3 37.1426 10.6301 1 3 1 2 2 2 36.0398 10.8167 1 4 1 3 3 1 14.9250 14.3875 1 2 1 4 Periode musim peralihan Cluster Analysis of Observations: HK Rawa Dongkal; HK PT.JIEP; HK Kopassus Cijantung; HK UKI Cawang Euclidean Distance, Single Linkage Amalgamation Steps Number of obs. Number of Similarity Distance Clusters Step clusters level level joined cluster 1 3 53.8734 7.0711 1 3 1 2 2 35.0942 9.9499 1 4 1 3 1 6.6008 14.3178 1 2 1
New in new cluster 2 3 4
Periode musim hujan Cluster Analysis of Observations: HK Rawa Dongkal; HK PT.JIEP; HK Kopassus Cijantung; HK UKI Cawang Euclidean Distance, Single Linkage Amalgamation Steps Number of obs. Number of Similarity Distance Clusters Step clusters level level joined cluster 1 3 36.0780 8.7178 1 4 1 2 2 36.0780 8.7178 1 3 1 3 1 26.6764 10.0000 1 2 1
New in new cluster 2 3 4
76
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukoharjo pada tanggal 5 Mei 1989 sebagaiputeri pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Ir. Dusanto Kristihono, M.Si dan Ibu Dr. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si. Penulis menikah dengan Catur Wiradityo, S. Hut dan memiliki dua orang putri yaitu Amira Sylva Zahraditya dan Sofia Fayza Zahraditya.Penulis memulai pendidikan formal di SD Bina Insani dan lulus pada tahun 2001,dilanjutkan diSMPN 1 Bogor dan lulus tahun 2004, kemudian penulis melanjutkan pendidikandiSMAN 5 Bogor dan lulus tahun 2007. Penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB dan lulus dengan memperoleh penghargaan sebagai lulusan terbaik untuk tingkat departemen pada tahun 2012. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan (HIMAKOVA) serta kegiatan Kelompok Pemerhati Kupu-Kupu (KPK) “Sarpedon” sebagai ketua pada periode 2009-2010. Penulis juga aktif dalam organisasi International Forestry Student Association (IFSA) dan pernah mewakili IPB sebagai presenter dalam simposium Association of Tropical Biology and Conservation (ATBC) di Bali pada tahun 2010. Pada tahun 2013 penulis mendapatkan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) untuk program Fresh Graduate di Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika.