JEJARING SOSIAL DAN KONFLIK MASYARAKAT PEDESAAN (Kasus Di Pulau Saparua Propinsi Maluku)
AUGUST ERNST PATTISELANNO
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
JEJARING SOSIAL DAN KONFLIK MASYARAKAT PEDESAAN (Kasus Di Pulau Saparua Propinsi Maluku)
AUGUST ERNST PATTISELANNO
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Disertasi Nama NIM
: Jejaring Sosial dan Konflik Masyarakat Pedesaan (Kasus di Pulau Saparua Propinsi Maluku) : August Ernst Pattiselanno : A1620124011
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Ketua
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Anggota
Prof. Dr. Hendrik B. Tetelepta Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan
Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA
Tanggal Lulus : 17 Januari 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro 2. Prof. Dr. Robert M.Z. Lawang
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Jejaring Sosial dan Konflik Masyarakat Pedesaan (Kasus di Pulau Saparua Propinsi Maluku) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, April 2008
August Ernst Pattiselanno NIM A 162024011
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Februari 2006 ini ialah konflik, dengan judul Jejaring Sosial dan Konflik Masyarakat Pedesaan (Kasus di Pulau Saparua Propinsi Maluku). Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS, Bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS dan Bapak Prof. Dr. Hendrik B. Tetelepta selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Rilus Kinseng, MA, Bapak Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro dan Bapak Prof. Dr. Robert M.Z. Lawang yang telah banyak memberikan saran sebagai penguji. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA dan Dr. Ir. Arya H. Dharmawan sebagai pimpinan Program Studi serta seluruh Dosen dan Pegawai Administrasi yang sangat membantu selama penulis mengikuti proses pendidikan di Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada pimpinan Universitas Pattimura dan Fakultas Pertanian yang memberikan kesempatan bagi penulis melanjutkan pendidikan jenjang Doktor, serrta pimpinan Institut Pertanian Bogor dan Sekolah Pasca Sarjana IPB yang telah menerima penulis melanjutkan studi program Doktor. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Kepala Kecamatan Saparua Kabupaten Maluku Tengah, Bapak Ketua Latupati Pulau Saparua dan seluruh anggota Latupati Pulau Saparua yang sangat membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2008
August Ernst Pattiselanno
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Manado pada tanggal 21 Agustus 1969 dari ayah J.J. Patiselanno dan ibu M.M. Apituley. bersaudara.
Penulis merupakan putra ketiga dari tiga
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Sosiologi Pedesaan
Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Unsrat Manado, lulus tahun 1992. Pada tahun 1998 penulis diterima pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Program Pascasarjana Unsrat Manado dan menamatkannya pada tahun 2001.
Kesempatan
untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2003.
Beasiswa pendidikan pascasarjana
diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai Lektor Kepala di Program Studi Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura Ambon sejak tahun 1993. Bidang ilmu yang menjadi tannggung jawab peneliti ialah Sosiologi Pedesaan. Selama mengikuti program S3, penulis menjadi anggota Ikatan Sosiologi Indonesia.
Beberapa artikel telah diterbitkan dalam Jurnal Mimbar Sosek, Jurnal
Sosiologi, Jurnal Citra Lekha, dan Jurnal Eugenia. Artikel lain berjudul Jejaring Sosial dan Resolusi Konflik Masyarakat Pedesaan (kasus di Pulau Saparua Propinsi Maluku) akan diterbitkan Jurnal Pembangunan Pedesaan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto pada tahun 2008, serta Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan Pasca Konflik (Kasus di Pulau Saparua Propinsi Maluku) akan diterbitkan Jurnal Ikhtios pada tahun 2008. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
ABSTRACT PATTISELANNO AUGUST ERNST. Social Network and Rural Community Conflict (Case of Saparua Island, Maluku Province). Under direction of LALA M. KOLOPAKING, DJUARA P. LUBIS and HENDRIK B. TETELEPTA. The Ambon conflict in January 1999 lasted for almost six years, added by the spreading of the conflict was analyzed using social network to understand the conflict happen in the community. The research aimed to see the relevance between social network and conflict in various borders and is there any other factor besides economics, politics, religions and culture which cause the conflict. Through qualitative technique, it is known that there is relevance between social network and conflict spreading which was initially happen in Ambon Island to rural communities in Saparua Island. The result of this research showed that Saparua conflict is a part of Ambon conflict, and it actually would not have arisen if there was an effort to press or to prevent conflict spreading. The handling of refugees also became the source of new conflict in Saparua, since the refugees coming to Ambon were not handled and they had to come back to Saparua. They were the ones who continue information which gave understandings and directed the behavior on a form of willingness to take revenge to other communities in Saparua that happened to have different religion. Thus the conflict in Saparua exploded. Therefore, in the case of Saparua conflict, economic, politic, religious and cultural aspect were not the basis of conflict explosion as it was Ambon. Hence, there are basic differences between the cause of conflict in Saparua and Ambon. Behind the religious conflict in Saparua, it turns out that relatives or customary relationship hold an important role. At last custom or tradition still becomes an important boundary on religious conflict in Saparua. Therefore, it is undeniable if custom then becomes the basis of reconciliation among the conflict groups, and therefore the role of local customary elites through Latupati institution becomes important and could be used in the process of conflict resolution.
RINGKASAN AUGUST ERNST PATTISELANNO. Jejaring Sosial dan Konflik Masyarakat Pedesaan (Kasus di Pulau Saparua Propinsi Maluku). Dibimbing oleh LALA M. KOLOPAKING, DJUARA P. LUBIS, dan HENDRIK B. TETELEPTA. Konflik Maluku adalah konflik yang diawali oleh pertikaian antara dua individu berbeda etnis di Kota Ambon. Pertikaian tersebut kemudian melebar menjadi konflik antar pendatang dan penduduk asli.
Akhirnya konflik bergeser menjadi konflik
bernuansa agama, yaitu antara mereka yang beragama Islam (Salam) dengan Protestan dan Katolik (Sarani). Konflik yang terjadi menyebar sampai ke wilayah lain di luar Pulau Ambon meliputi Pulau-pulau Seram, Buru, Saparua, Haruku bahkan kemudian sampai ke seluruh wilayah Maluku termasuk Maluku Utara. Kejadian konflik berfluktuatif selama hampir enam tahun, sejak tahun 1999 sampai pertengahan tahun 2004. Hasil-hasil penelitian terdahulu menjelaskan penyebab konflik Maluku adalah persaingan penduduk asli dengan pendatang, pertarungan elit lokal Salam dan Sarani dalam memperebutkan posisi di bidang pemerintahan, serta penetrasi Undang-Undang Pemerintahan Desa yang meminggirkan budaya lokal yang hidup dalam masyarakat. Namun hasil-hasil penelitian tersebut, belum menjelaskan penyebab konflik di pedesaan Maluku. Akibat konflik yang dirasakan oleh masyarakat adalah, hancurnya infrastruktur pemerintahan dan harta benda milik pribadi. Selain itu, aliran pengungsi yang sampai kini penanganannya belum terselesaikan.
Bertolak dari fakta-fakta tersebut maka
penelitian menggunakan analisis jejaring sosial untuk memahami konflik yang terjadi dalam masyarakat. Persoalan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana keterkaitan jejaring sosial dan konflik antara aras mikro (pedesaan),
dan meso
(regional), serta mempertanyakan selain faktor ekonomi, politik, agama dan budaya adakah faktor lain yang mendorong konflik berkembang di masyarakat Pulau Saparua ? Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan keterkaitan jejaring sosial dan konflik pada berbagai aras (mikro dan meso) serta mengungkapkan faktor di luar ekonomi, politik, agama dan budaya yang mendorong terjadinya konflik. Pelaksanaan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Strategi yang digunakan yaitu, bertanya pada informan kunci (key informan) selanjutnya melalui teknik bola salju (snowball) ditentukan informan-informan lainnya.
Kemudian dilanjutkan
dengan strategi studi riwayat hidup yang mengarah pada riwayat hidup informan yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam konflik serta penanganan
implikasinya. Teknik pengumpulan data riwayat hidup meliputi wawancara mendalam secara langsung, pengamatan, dan pemanfaatan arsip dokumentasi yang relevan. Pengamatan berperan serta juga digunakan sebagai metode penunjang prosedur pengambilan data, sehingga memperkecil jarak sosial antara peneliti dengan informan. Data-data yang terkumpul kemudian diolah melalui tahapan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Pulau Saparua dipilih sebagai lokasi penelitian karena,
sejak masa kolonial Belanda gigih berjuang melawan penjajahan;
sebagai pusat
pengaturan aktivitas kolonial Belanda meliputi kawasan Pulau Saparua, Pulau Nusalaut, Pulau Haruku dan sebagian Pulau Seram;
pernah dikenal adanya Kerajaan Iha
sekaligus sebagai pusat agama Salam; salah satu pusat kediaman etnis Buton (Sulawesi Tenggara) yang dominan beragama Salam. Hasil penelitian menunjukkan konflik agraria sebenarnya lebih mendominasi nuansa konflik di Saparua. Konflik agraria tersebut meliputi konflik batas tanah antar warga satu negeri, juga batas tanah antar negeri yang belum terselesaikan sampai saat ini. Konflik bernuansa agama yang muncul kemudian di Saparua merupakan bagian konflik Ambon.
Konflik tersebut tidak akan muncul jika ada upaya menghambat
penyebaran konflik.
Pengungsi yang tidak tertangani di kota Ambon menyebabkan
mereka kembali ke daerah asal di Saparua. Mereka menjadi penerus informasi yang menimbulkan pemahaman yang mengarahkan terbentuknya perilaku membalaskan dendam kepada komunitas berbeda agama. Penyebaran informasi memunculkan jaringan informasi yang bersimpul pada masing-masing Negeri yang beragama sama. Selain itu, konsep khotbah atau dakwah yang dijalankan elit masing-masing agama tidak menunjang
adanya
keberadaan
agama
yang
berbeda.
Arus
informasi
yang
menyalahkan komunitas agama lain sebagai penyebab penderitaan ditambah dengan khotbah dan dakwah elit agama, semakin menguatkan keinginan untuk membalaskan dendam kepada komunitas berbeda agama. Sehingga tindakan kelompok yang saling berlawanan di Saparua, merupakan wujud dari perilaku sosial sebagai orientasi rasa kecewa dan dendam yang berkepanjangan. Dalam kondisi demikian, perilaku sosial tersebut tidak lagi memperhitungkan rasionalitas kebersamaan sebelum konflik, tetapi rasionalitas yang ada hanyalah rasional berdasarkan kebenaran agama semata. Komunitas yang berbeda agama, harus menjadi korban rasionalitas yang hanya mendasari pada kebenaran sendiri atas agamanya. Oleh karena itu, organisasi masingmasing
agama
turut
mengkoordinasi
bantuan
tenaga
untuk
mempertahankan
komunitasnya masing-masing. Kenyataan demikian menunjukkan adanya perbedaan
dengan kasus konflik di Kota Ambon, yang disebabkan oleh kolaborasi aspek ekonomi, politik, agama dan budaya. Upaya mencegah terjadinya konflik bernuansa agama di Saparua dapat dimulai dengan merubah khotbah dan dakwah elit agama.
Elit agama seharusnya
mengemukakan keberadaan agama lain sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat, sehingga tidak dianggap sebagai musuh yang harus dihancurkan. Pendekatan adat kemudian dapat dipakai sebagai upaya menekan perbedaan antar agama, sebagai satu kesatuan masyarakat berdasarkan adat istiadat di Saparua. Sehingga adat dapat menjadi dasar terciptanya rekonsiliasi antara kelompok yang berkonflik. Oleh karena itu, peran elit adat akan menjadi lebih dominan dibandingkan elilt pemerintah yang non-adat sekaligus memperkuat keberadaan Lembaga Latupati sebagai wujud kelembagaan adat di Saparua. konflik
Kelembagaan adat ini dapat dimanfaatkan dalam proses penyelesaian
terutama,
dengan
menyaring
informasi
yang
bermuatan
negatif serta
meneruskan informasi yang bermanfaat bagi seluruh warga Saparua. Kerjasama antara raja-raja negeri di Saparua dalam Lembaga Latupati menjadi katup pengaman sekaligus membentuk jejaring sosial yang bersimpul pada elit-elit adat di tingkat negeri yang mampu membentengi masyarakat Saparua dari kemungkinan terjadinya konflik di masa yang akan datang.
DAFTAR ISI Halaman : DAFTAR TABEL ……………………………………………………………………
vii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………………
viii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………………….
Ix
DAFTAR ISTILAH LOKAL …………………………………………………………
x
I. PENDAHULUAN ………………………………………………………………….
1
1.1.
Latar Belakang ……………………………………………………………..
1
1.2.
Fokus Penelitian …………………………………………………………...
3
1.3.
Perumusan Masalah ……………………………………………………...
10
1.4.
Tujuan Dan Manfaat Penelitian ………………………………………..
11
1.5
Novelity ……………………………………………………………………..
11
II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………….
14
2.1.
Memahami Konflik Masyarakat di Pedesaan …………………………..
14
2.2.
Keterkaitan Jejaring Sosial dan Konflik …………………………………
23
2.3.
Ikhtisar ………………………………………………………………………
30
III. METODOLOGI PENELITIAN …………………………………………………
34
3.1.
Dasar Pemikiran : Hipotesis Pengarah …………………………………
34
3.2.
Pendekatan Kualitatif ……………………………………………………...
36
3.3.
Prosedur Pengumpulan Data …………………………………………….
37
3.4.
Prosedur Pengolahan Data ………………………………………………
40
3.5.
Lokasi Penelitian …………………………………………………………..
41
IV. SAPARUA : AJANG KONFLIK SEJAK MASA PENJAJAHAN ...................
43
4.1.
Masa Penjajahan : Pusat Pengaturan Aktivitas ..................................
43
4.2.
Struktur Sosial Masyarakat Saparua ...................................................
50
4.3.
Penduduk Saparua ..............................................................................
55
4.4.
Perekonomian Rakyat .........................................................................
57
V. SUMBER DAN AKAR KONFLIK DI PEDESAAN SAPARUA ...................
59
5.1.
Keberadaan Konflik di Pedesaan Saparua .........................................
59
5.2.
Migrasi Anak Negeri Saparua ............................................................
79
5.3.
Peran Elit Agama dalam Konflik di Pedesaan Saparua ......................
83
5.4.
Pergeseran Budaya Masyarakat di Pedesaan Saparua .....................
85
5.5.
Penguatan Nilai Budaya Melalui Gerakan Baku Bae .........................
97
VI. KETERKAITAN JEJARING SOSIAL DAN KONFLIK ………………………
102
6.1.
Jejaring Ekonomi dan Budaya Masyarakat di Pedesaan Saparua .....
102
6.2.
Jejaring Sosial dan Konflik di Pedesaan Saparua ...............................
108
6.3.
Keterlibatan Pihak-Pihak dalam Konflik di Pedesaan Saparua ……...
125
VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI …………………………………………….
139
7.1.
Kesimpulan ………………………………………………………………..
139
7.2.
Implikasi Penelitian ……………………………………………………….
145
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….
147
LAMPIRAN ………………………………………………………………………….
154
DAFTAR TABEL
Halaman : 1
Jejaring Komunikasi dan Kriteria Evaluasi .........................................
24
2
Perbedaan Efek Komunikasi Dengan Jaringan Komunikasi ...............
25
3
Kategori Komplementer Modal Sosial …………………………………..
28
4
Kontimum Modal Sosial …………………………………………………..
29
5 6
Luas, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Negeri di Saparua ………………………………………………………………... Historis Keberadaan Konflik di Saparua ……………………………….
55 63
7
Proses Kemunculan Konflik di Saparua ………………………………...
109
8
Identifikasi Aktor Dalam Jejaring Penyebaran Informasi ..…………….
113
9
Identifikasi Aktor Dalam Jejaring Konflik .............................................
117
10
Jenis Dan Ciri-Ciri Jejaring Sosial Dalam Konflik ……………………...
120
11
Tipe Dan Ciri-Ciri Jejaring Sosial Dan Konflik ...……………………….
121
12
Tipe Dan Ciri-Ciri Jejaring Sosial Dan Kerjasama ..............................
123
DAFTAR GAMBAR
Halaman : 1
Jejaring Komunikasi Umum .................................................................
24
2
Kerangka Pikir .....................................................................................
35
3
Jejaring Penyebaran Informasi Yang Memulai Konflik di Saparua …..
110
4
Jejaring Sosial Konflik Di Saparua ......................................................
116
5
Jejaring Kerjasama Antar Kelompok Berbeda Agama ........................
118
6
Jejaring Sosial Horizontal Dalam Konflik Saparua …………………….
124
7
Jejaring Sosial Vertikal Dalam Konflik Saparua ………………………..
125
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman : 1
Temuan Metodologi ……………………………………………………….
154
2
Instrumen Penelitian ………………………………………………………
157
3
Peta Lokasi Penelitian ……………………………………………….......
161
DAFTAR ISTILAH LOKAL
Aman
:
Babalu
:
Bakubae
:
Dati
:
Ewang
:
Gandong
:
Kapitan
:
Kasisi
:
Kewang
:
Latupati
:
Makan Dati
:
Mata Rumah
:
Mauweng
:
Meti
:
Negeri
:
Nunusaku
:
Papalele
:
Sekelompok marga yang sama dan menempati wilayah tertentu yang kemudian membentuk kesatuan wilayah sendiri Sekelompok warga Desa yang menyewa hasil kebun Sagu di Desa lain kemudian dikelola menjadi tepung sagu, dimana hasil olahan juga dibagi ke pemilik kebun sebesar sepuluh persen. Proses penyelesaian konfik untuk menuju perdamaian yang diawali pada tingkat masyarakat dan digagas oleh Lembaga Swadaya Masyarakat lokal yang beranggotakan kedua kelompok yang berkonflik (Islam dan Kristen) Kesatuan di bawah Desa yang beranggotakan beberapa marga yang menguasai dan memanfaatkan wilayah tertentu dalam suatu Desa, dimana sistem pewarisannya kepada anak laki-laki dari setiap marga juga bagi anak perempuan yang tidak kawin Tanah kosong yang dimiliki negeri dan dapat dimanfaatkan oleh warga dengan seijin pimpinan negeri Ikatan kekerabatan antara dua negeri berdasarkan satu keturunan Orang yang bertugas memimpin saat terjadi perang dengan negeri lain dan berasal dari marga tertentu yang telah ditetapkan sejak Desa terbentuk Pengelola administrasi Mesjid yang diitentukan berdasarkan garis keturunan keluarga tertentu Organisasi yang mengatur ketertiban masyarakat negeri termasuk ketertiban pergaulan, namun biasanya diidentikkan dengan penjaga kelestarian lingkungan hidup wilayah negeri serta dipimpin oleh marga tertentu yang telah ditetapkan sejak negeri terbentuk, demikian pula anggotanya berasal dari marga-marga tertentu. Organisasi yang menghimpun seluruh Raja (kepaladesa) di tingkat Kecamatan Anggota dati yang berhak mengelola dan memanfaatkan tanah milik dati Sekelompok keluarga dengan marga tertentu yang berasal dari keturunan yang sama Orang yang bertugas mengurusi segala urusan adat istiadat dan berasal dari keturunan marga tertentu yang telah ditetapkan sejak negeri terbentuk Bagian pantai yang tergenang atau tertutup air laut waktu pasang dan kering waktu surut Kesatuan wilayah setingkat desa yang dipimpin oleh kepala wilayah yang disebut Raja Kesatuan wilayah yang berada di Pulau Seram dan dianggap sebagai cikal bakal keberadaan negeri-negeri di Maluku Tengah Pedagang keliling yang awalnya berorientasi dalam negeri kemudian berkembang ke luar hingga ke luar Pulau
Patalima
:
Patasiwa
:
Pela
:
Raja
:
Salam
:
Saniri Negeri
:
Sarani
:
Soa
:
Tanah Pusaka
:
Uli
:
Kelompok marga yang terbentuk dalam lima kelompok soa dan membentuk satu negeri Kelompok marga yang terbentuk dalam sembilan kelompok soa dan membentuk satu negeri Ikatan kekerabatan yang terbentuk antara dua negeri berdasarkan kesepakatan pendahulu negeri setelah saling membantu dalam berbagai aspek kehidupan (membantu melawan musuh, membantu kebutuhan makanan, dan sebagainya) Pimpinan negeri yang diwariskan berdasarkan garis keturunan tertentu sejak negeri terbentuk Sebutan untuk pemeluk agama Muslim Kesatuan pengelola negeri yang dipimpin oleh Raja dan beranggotakan perangkat negeri yang keseluruhannya disebut sebagai Badan Saniri Negeri Sebutan untuk pemeluk agama Kristen (termasuk Protestan dan Katolik) Kesatuan wilayah di bawah negeri yang berisikan beberapa keluarga dari marga berbeda namun memiliki ikatan sejak negeri terbentuk, biasanya diawali dengan marga yang membentuk suatu negeri dan dipimpin oleh seorang Kepala Soa yang ditetapkan secara bersama oleh perwakilan masing-masing marga Tanah yang dikuasai dan dimiliki bersama oleh satu kelompok ahli waris yang diperoleh melalui pewarisan Kumpulan beberapa marga yang membeentuk kesatuan wilayah tertentu dan kemudian berkembang menjadi negeri