Novel seru yang menyegarkan! The Washington Post Stephanie Plum kehilangan pekerjaan dan karena sangat butuh uang dia terpaksa menjadi penangkap penjahat buron. Namun, bukan soal gampang meringkus penjahat yang satu inisebab Joc Morclli bukan hanya mantan polisi yang andal, tetapi juga “kekasih” pertama Stephanie. Stephanie bukan detektif biasa, yang terlatih dingin, dan macho. Dia cantik, seksi, bicara seenaknya, tapi punya nyali dan kejelian biasa. Anda takkan menyangka akan enemuinya di kawasan keras/ preman, bandar narkoba, perempuan jalanan.Tapi, tak takut menyatroni semacam itu. dan dipandang remphr dia akan membukukan kehebat kepada semua orangdan mungh dia mendapat si bad boy idaman di sa lalunya itu? A “Janet Evanovich menulis begitu lucu dan penuh gagasan baru’li lliSH Los Angeles Times Book
9789790240261 #1 NEW YORK TIMES BESTSELLING AUTHOR Buku ini kupersembahkan untuk suamiku, Peterdengan sepenuh cinta Š 2004, Janet Evanovich Diterjemahkan dari One for the Money, karangan Janet Evanovich, terbitan St. Martin’s Griffin, New York, 2006 Hak terjemahan Indonesia pada Serambi Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit Penerjemah: Fari Hamda Pewajah Isi: Cipa PT SERAMBI ILMU SEMESTA Anggota IKAPI Jin. Kemang Timur Raya No. 16, Jakarta 12730 www.serambi.co.id;
[email protected] Cetakan 1: Maret 2008 ISBN: 978-979024-026-1 Ada seorang laki-laki yang memasuki kehidupan seorang perempuan dan menyebabkan kerusakan permanen. Inilah yang dilakukan Joseph Morelli padakutidak secara permanen, tapi secara periodik. Morelli dan aku sama-sama lahir dan tumbuh di Trenton, daerah pemukiman pekerja kasar yang biasa disebut Burg alias desa. Rumah-rumah bertingkat dan sempit dibangun berdempetan. Pekarangan-pekarangn kecil. Mobil-mobil Amerika. Rata-rata penduduk berasal dari Italia, ditambah cukup banyak keturunan Hongaria dan Jerman untuk menghalau melejitnya angka pernikahan sebangsa. Burg adalah tempat yang tepat untuk jajan pizza atau berjudi. Toh, andai kita tidak punya pilihan lain, berdomisili di Trenton okelah untuk membesarkan keluarga. Semasa kecil aku jarang bergaul dengan Joseph Morelli. Dia dua tahun lebih tua dan tinggal dua blok jauhnya dari kami. “Jangan dekat-dekat dengan bocah-bocah Morelli,” ibuku kerap mewanti-wanti. “Mereka liar. Ibu sudah banyak dengar cerita tentang hal-hal yang mereka lakukan pada gadis-gadis saat berhasil menggaet kesempatan berduaan.” “Hal-hal macam apa?” korekku, tergelitik. “Kamu nggak perlu tahu,” balas Ibu. “Pokoknya mengerikan. Hal-hal kurang ajar.”
Semenjak itulah, aku memandang Joseph Morelli dengan kombinasi antara penasaran dan takut yang mendekati rasa hormat. Dua minggu kemudian, dengan lutut gemetar dan perut bergejolak, aku mengekori Morelli masuk ke dalam garasi ayahnya. Janjinya, ia akan mengajariku permainan baru. Garasi keluarga Morelli berdiri di ujung tanah mereka, terpisah dan telantar. Bangunan itu mengenaskan, secercah sinar merembes lewat jendela tunggal yang bersaput debu. Udara di dalam pengap; bau lapuk, banban bekas serta kalengkaleng oli kosong. Garasi yang tak pernah dimaksudkan untuk memarkir mobil-mobil keluarga Morelli itu memiliki aneka fungsi lain. Bagi si tua Morelli, untuk mencambuk putra-putranya dengan ikat pinggang; bagi putra-putranya, untuk onani; dan bagi Joseph Morelli, untuk mengajak aku, Stephanie Plum, bermain kereta. “Apa nama permainan ini?” tanyaku pada Joseph Morelli. “Ting-ting,” sahutnya sambil jongkok, berlutut, lalu merangkak ke antara pahaku, kepalanya nyangkut di kolong rok pendekku yang berwarna merah jambu. “Kamu jadi terowongan, aku jadi kereta.” Kurasa ini menjelaskan sesuatu mengenai tabiatku. Ternyata, mendengarkan nasihat bukanlah keahlianku. Atau, bahwa aku lahir dengan rasa ingin tahu yang berlebihan. Atau, peristiwa ini jangan-jangan berkaitan dengan hasrat memberontak atau akunya yang lagi jenuh atau memang takdir. Apa pun itu, kesepakatan yang dibuat sepihak ini sangat mengecewakan, sebab aku cuma kebagian jadi terowongan, padahal aku pe-ngen banget jadi keretanya. Sepuluh tahun bergulir, Joe Morelli masih tinggal dua blok dari kami. Ia telah tumbuh, semakin besar semakin berandalan. Tatapannya, sesaat laksana api hitam, dan detik berikutnya ibarat cokelat yang lumer di dalam mulutmu. Dia punya tato elang di dada, gaya jalan arogan khas cowok berbokong kencang dan berpinggang ramping, serta menyandang reputasi bertangan ramah alias rajin menjamahdengan jari-jari yang lihai. Kata sahabatku, Mary Lou Molnar, ia pernah diberi tahu bahwa Morelli berlidah kadal. “Astaga,” seruku, “apa pula maksudnya?” “Intinya, jangan pernah mau diajak berduaan sama dia; kujamin kamu bakal tahu maksudnya. Begitu dia berhasil menjebakmu berduaan … mampus deh. Kamu jadi santapannya.” Sejak episode kereta dulu, aku jarang melihat Morelli. Jangan-jangan ia telah memperluas cakrawala eksploitasi seksualnya. Mataku melebar dan aku merapatkan diri ke Mary Lou, siap mendengar yang terburuk. “Yang kita bahas ini bukan pemerkosaan ‘kan?” “Yang kita bahas ini hawa nafsu! Begitu dimengingin-kan dirimu, tamatlah riwayatmu. Cowok ini mustahil ditolak.” Selain pernah dijamah di usia enam tahun oleh jemari kau tahu siapa, aku masih utuh. Niatku menjaga diri sampai pernikahan nanti, atau minimal sampai kuliah. “Aku masih perawan,” cetusku seolah-olah itu bukan berita basi. “Aku yakin dia nggak berani macam-macam sama perawan.” “Justru spesialisasinya di bidang keperawanan! Semua cewek perawan langsung mencair di bawah geraya-ngannya.” Dua pekan sesudahnya, Joe Morelli datang ke Tasty Pastry, bakeri tempatku bekerja saban hari sepulang sekolah. Ia memesan cannolii tabur butiran cokelat, bercerita bahwa ia bergabung dengan angkatan laut, dan secara ajaib melucuti celana dalamku empat menit selepas tutup toko, di ubin Tasty Pastry, di belakang konter kue sus rasa cokelat.
Baru ada kesempatan bertemu dia lagi saat umurku sudah bertambah tiga tahun. Aku sedang dalam perjalanan ke mal, di balik kemudi Buick ayahku, ketika mataku tertumbuk pada Morelli yang berdiri di ambang Giovichinni’s Meat Market. Aku menancap gas mesin gede bertenaga V-8 itu, melibas trotoar dan menerjang Morelli dari belakang hingga ia terjungkal lewat bemper kanan. Kuhentikan mobil dan keluar untuk mengestimasi kerusakan. “Ada yang patah?” Ia tergolek di pavemen, menengadah tepat ke arah rokku. “Kakiku.” “Sukurin,” ejekku. Lalu aku berbalik di atas tumitku, masuk ke dalam Buick dan melesat ke mal. Insiden itu harus dicatat akibat kegilaan sesaat, dan sebagai pembelaan, perlu kutegaskan bahwa sejak hari itu aku belum pernah menabrak orang lain. Sepanjang musim dingin, angin melanda Hamilton Avenue, melolong lewat celahcelah jendela, menimbun ceceran sampah di ceruk trotoar dan emperan toko. Selama musim panas, udara statis dan berkabut tipis, berat oleh kelembapan dan sarat oleh hidrokarbon, memantul di beton panas dan melelehkan aspal. Para jangkrik mengerik, bau sampah menyengat, dan debu mengambang di atas lapangan-lapangan sofbol seluruh negara bagian. i Sejenis dadar gulung khas Sisilia. ambang Kurasa, inilah seninya bermukim di New Jersey. Siang ini, kuputuskan untuk tidak menghiraukan intensitas ozon Agustus yang bikin kerongkongan gatel dan meluncur dalam Mazda Matiaku dengan atap konvertibel melorot. Penyejuk udara mengembus kencang, aku bersenandung mengiringi Paul Simon, wajahku ditampar-tampar oleh ikal-ikal kusut rambutku yang cokelat sebahu, mata biruku yang selalu waspada sembunyi penuh gaya di balik kacamata hitam Oakley, dan kakiku mendorong pedal gas dalam-dalam. Sekarang hari Minggu, aku punya kencan bareng semur daging di rumah orangtuaku. Singgah di lampu merah, aku melirik spion dan menyumpah begitu melihat Lenny Gruber dalam sedan perunggu, dua mobil di belakangku. Kujedotkan jidatku ke setir. “Setan.” Aku satu SMU dengan Gruber. Dulu dia bedebah, dan sekarang pun masih bedebah. Sialnya, dia bedebah yang punya wewenang: pelunasan Matia ini bermasalah, dan Gruber bekerja sebagai juru sita. Enam bulan silam, pas beli mobil ini, aku tampil meyakinkan; apartemen yang menawan, serta karcis terusan pertandingan Rangers. Dan tiba-tiba DOR! Aku kena PHK. Duit ludes. Selamat tinggal kredit papan atas. Aku mengecek kaca spion lagi, menggertakkan gigi, dan menarik rem tangan dengan kasar. Lenny ibarat asap. Saat kita berusaha menangkapnya, ia menguap. Jadi, jangan sampai peluang terakhir ini untuk bernegosiasi kusiasiakan. Kupaksa diriku keluar dari mobil, minta maaf pada pria yang terjebak antara Gruber dan aku, lalu melangkah mantap menuju mobil Gruber. “Stephanie Plum,” sambut Gruber dengan nada ri-ang dan terkejut yang dibuatbuat. “Suatu kehormatan ber— jumpa denganmu.” Kedua tanganku bertumpu di atap mobil, aku merunduk dan menatapya lewat jendela yang terkuak. “Lenny, aku mau ke rumah ortu makan malam. Kautak berencana merampas mobilku sementara aku berada di rumah orangtuaku ‘kan? Maksudku, itu perbuatan kacangan, Lenny.” “Steph, aku ini manusia yang lumayan rendah, itu sebabnya aku mendapat kerjaan yang halal ini. Boleh dibilang aku tega melakukan apa saja.” Lampu beralih hijau, dan pengemudi di belakang Gruber memijit klakson.
“Mungkin kita bisa mengatur kesepakatan,” tawarku pada Gruber. “Apakah melibatkan tubuhmu dalam keadaan telanjang?” Terbayang olehku adegan lawakan Three Stoogesz, menyambar dan menarik hidungnya hingga ia meraung-raung seperti babi. Masalahnya, untuk melakukannya aku perlu menyentuh dia; mending pilih pendekatan yang lebih berjarak. “Buat malam ini saja, biarkan mobilnya padaku dulu, dan besok pagi-pagi sekali aku akan langsung mengantarnya.” “No way, * tolak Gruber. “Kau terlalu licin. Sudah lima hari aku menguber mobil ini.” “Jadi, tambah sehari lagi bukan masalah dong.” “Kuharap kautahu terima kasih, paham maksudku?” Aku nyaris tersedak. “Lupakan. Silakan ambil mobilku. Malah, kau boleh membawanya detik ini juga. Biar jalan kaki saja ke rumah ortu.” 2. Acara komedi Amerika berupa lawakan fisik, ditayangkan pada paruh pertama abad ke-o, dibintangi oleh tiga laki-laki. Tatapan Gruber terkunci setengah jalan ke dadaku. Ukuranku 36B. Lumayan membanggakan tapi tidak berlebihan untuk tinggi badanku, 170 cm. Aku mengenakan celana pendek spandex hitam dan sweter hoki longgar. Bukan jenis busana yang layak disebut menggoda, toh Gruber tetap membelalak. Seringainya melebar, cukup untuk memperlihatkan bahwa gerahamnya tanggal satu. “Kurasa, aku bisa menunggu sampai besok. Bagaimanapun, kita ‘kan dulu satu SMU.” “Hu-uh.” Cuma itu yang sanggup kulontarkan. Lima menit kemudian, aku menikung dari Hamilton memasuki Roosevelt. Kira-kira dua blok dari rumah orang tuaku, panggilan keluarga menyo dot diriku memasuki jantung Burg. Ini komunitas yang terdiri atas keluarga-keluarga besar. Di sinilah sumber rasa aman, cinta-kasih, serta kestabilan dan kepastian yang tercipta lewat ritual-ritual kami. Jam dasbor mengingatkan aku sudah terlambat tujuh menit, dan desakan untuk berteriak merupakan tanda, aku telah pulang. Aku menepi dan memandangi rumah gabungan sempit bertingkat dua, serambinya dihalau kerai dan jendela-jendela dinaungi awning aluminium. Bagian milik keluarga Plum dicat kuning, nuansa yang sama sejak 40 tahun, dan beratap sirap cokelat. Semak snowball mengapit tangga depan yang terbuat dari semen, dan kembang-kembang kerenyam merah ditata dalam jarak yang seimbang sepanjang serambi. Pada dasarnya, kediaman ini merupakan sebuah flat. Ruangduduk paling depan, ruang makan di tengah, dapur di ujung. Tiga kamar tidur dan kamar mandi mengisi lantai atas. Hunian yang mungil dan hangat, disesaki kelebihan perabot dan aroma-aroma dapur menguar, tak pernah kekurangan mengakomodasi kebutuhan hidup. Ny. Markovitz, tetangga yang mengandalkan jaminan sosial sehingga hanya mampu beli warna obralan, mengecat bagian rumahnya dengan nuansa hijau limau. Ibu muncul di pintu kasa yang terbuka. “Stephanie,” tegurnya. “Ngapain kamu di luar, cuma duduk-duduk di mobil? Kamu telat buat santap malam. Kamu tahu ayahmu benci kalau telat makan. Kentang jadi dingin, semurnya mengering.” Di Burg, perkara makan penting sekali. Bulan mengitari bumi, bumi mengitari matahari, dan penduduk Burg mengitari semur daging. Seingatku, dari dulu kehidupan orangtuaku dikendalikan oleh irisan-irisan daging sapi gulung seberat lima pon yang matang tepat pukul enam.
Oma Mazur berdiri dua kaki di belakang Ibu. “Aku juga pengen beli itu,” cetusnya, membeliak ke arah celana pendekku. “Kakiku masih cukup menarik, tahu.” Ia menyingkap roknya dan menunduk mengamati lututnya. “Gimana? Menurutmu aku cocok pakai celana sepeda?” Kedua lutut Oma Mazur persis kenop pintu. Kecantikannya pernah mengalami masamasa jaya, tapi seiring tahun yang bergulir, kulitnya melorot dan tulangtulangnya bertonjolan. Toh, menurutku jika dia pengen pakai celana sepeda, biarkan saja. Di mataku, ini salah satu keuntungan tinggal di New Jerseyneneknenek pun diizinkan bergaya nyentrik. Ayahku melontarkan gerutuan muak dari dapur, tempatnya sedang mengiris daging. “Celana pendek sepeda,” gumamnya, mengeplak kening sendiri. “Duh!” Dua tahun silam, tatkala lemak menyumbat arteri Opa Mazur dan mengirimnya ke surga babi panggang raksasa, Oma Mazur mengungsi ke rumah orangtuaku dan tak pernah berencana pindah ke tempat lain. Ayah menerima hal ini dengan sikap tabah ala Dunia Lama, dipadu serentet gerundelan yang kurang diplomatis. Aku ingat cerita Ayah tentang anjing piaraan-nya waktu kecil. Alkisah, anjing itu adalah anjing paling jelek, paling uzur dan paling dungu. Anjing itu tukang ngompol, mencecerkan urin ke mana pun ia melangkah. Di balik moncong, giginya membusuk, pinggangnya didera radang selaput lendir, serta tumor-tumor lebar dan tebal menimbun di bawah kulitnya. Suatu hari, Opa Plum menggiring si anjing ke belakang garasi dan menembaknya. Aku curiga, ada kalanya ayahku mengkhayalkan akhir yang serupa bagi Oma Mazur. “Seharusnya kamu pakai gaun,” cela Ibu seraya menyajikan buncis dan krim bawang mutiara di atas meja. “Umurmu 30 dan gayamu masih kayak ABG. Gimana mau menjerat pria baik-baik kalau begitu?” “Aku tidak menginginkan pria. Aku pernah punya, dan hasilnya aku tidak senang.” “It karena suamimu dulu cuma pantat kuda,” celetuk Oma Mazur. Setuju. Mantan suamiku itu pantat kuda sejati. Terutama saat tertangkap basah di meja makan kami bersama Joyce Barnhardt. “Dengar-dengar, putra Loretta Buzick dan istrinya berpisah,” singgung Ibu. “Kamu ingat dia? Ronald Buzick?” Jelas sekali omongan Ibu ini mengarah ke mana, dan aku menolak diseret ke sana. “Aku takkan kencan sama Ronald Buzick,” tegasku. “Jangan harap.” “Memang apa salahnya si Ronald Buzick?” Ronald Buzick adalah penjagal daging. Kepalanya mulai botak, badannya gempal, dan barangkali aku kelewat angkuh dalam urusan ini, tapi menurutku sulit membayangkan sesuatu yang romantis terhadap laki-laki yang menghabiskan harihari dengan menjejali bo’ol ayam dengan jeroan. Ibu terus memaksa. “Baik, kalau begitu Bernie Kuntz saja? Aku berpapasan dengan Bernie Kuntz di binatu, dan dia sempat menanyakan kabarmu. Kurasa dia tertarik padamu. Aku bisa mengundang dia kemari untuk ngopi dan ngemil kue.” Menakar keberuntunganku belakangan, bisa jadi Ibu malah sudah mengundang Bernie, dan detik ini juga ia sedang mengitari blok sambil ngunyah Tic-Tac. “Jangan bahas soal Bernie,” potongku. “Ada sesuatu yang perlu kusampaikan pada kalian. Sedikit kabar buruk …” Aku betul-betul dag-dig-dug menghadapi momen ini dan telah menundanya selama mungkin.
Ibu membekap mulutnya dengan tangan. “Kamu menemukan benj olan di payudaramu!” Di keluarga kami, tak seorang pun pernah menemukan benjolan di payudaranya, toh ibuku selalu waspada soal yang satu ini. “Payudaraku aman. Pekerjaanku yang gawat.” “Pekerjaanmu kenapa?” “Aku tak punya lagi. Aku kena PHK.” “Dipecat!” dengusnya tajam. “Bagaimana hal ini bisa menimpamu? Itu pekerjaan bagus. Kamu mencintai pekerjaanmu itu.” Aku mantan pembelanja lingerie diskon di E. E. Martin, dan aku kerja di Newark, yang letaknya bu-kan persis di kawasan berpemandangan indah Gar-den State. Sebenarnya, Ibulah yang jatuh cinta pada pekerjaan tersebut yang ia bayangkan glamor. Dalam realita, aku keseringan bergelut dengan harga kancut nilon full fashion. E. E. Martin tak sebanding dengan Victoria’s Secret. “Jangan khawatir,” ibur ibuku. “Selalu ada lowongan untuk pembelanja lingerie.” “Jarang ada lowongan untuk pembelanja lingerie.” Apalagi bagi mereka yang dulunya kerja di E. E. Martin. Pernah menerima gaji dan E. E. Martin membuat diriku sama menariknya dengan penderita lepra. Musim dingin lalu, E. E. Martin memotong anggaran pelicin, sehingga afiliasinya dengan mafia dipublikasikan. Sang C.E.O dituduh atas praktik bisnis ilegal, E. E. Martin dijual ke Baldicott, Inc., dan kendati tak punya salah sama sekali, aku ikut ketiban pangkas pegawai. “Sudah enam bulan aku keluar.” “Enam bulan! Dan aku tidak tahu! Ibumu sendiri tak tahu kamu luntang-lantung di jalanan?” “Aku tidak luntang-lantung. Ada kalanya aku dapat kerjaan temporer. Pengarsipan dan sebagaimnya.” Dan, semakin terperosok ke dalam jurang. Namaku terdaftar di seluruh agensi penyalur kawasan Trenton, dan setiap iklan lowongan kubaca dengan khidmat. Bahkan aku tak piih-pilih lagi, menetapkan batas pada layanan pelanggan via telepon sampai pengasuh anjing. Namun, masa depanku tampak suram; di level entri data kelewat berkualifikasi, dan untuk level manajemen kurang berpengalaman. Dengan garpu, Ayah menambah lagi seiris daging montok ke piringnya. Tiga puluh tahun lamanya ia bekerja di kantor pos dan ia memilih pensiun dini. Sekarang ia pengemudi taksi paruh-waktu. “Kemarin aku ketemu Vinnie, sepupumu,” ucapnya. “Dia butuh orang untuk pengarsipan. Cobalah telepon dia.” Sungguh peningkatan karier yang kuangani mengurus pengarsipan Vinnie. Dari seluruh kerabat kami yang kusukai, Vinnie di urutan terakhir. Vinnie itu cacing, menyimpang secara seksual, betul-betul sampah. “Berapa gajinya?” lontarku. Ayah mengangkat pundak. “Paling-paling upah minimum.” Hebat. Jabatan yang sempurna bagi orang yang sudah di berkubang dalam keputusasaan. Bos brengsek, kerj aan brengsek, bayaran brengsek. Alasan-asalanku untuk mengasihani diri tiada habisnya. “Dan kabar terbaik adalah, kantornya dekat,” dukung Ibu. “Kamu bisa ke rumah
setiap hari buat makan siang.” Aku mengangguk tanpa berpikir dan kurasa aku butuh korek api batangan untuk menopang kelopak mata, segera. Sinar mentari menyusupi celah gorden kamarku, unit AC di jendela ruang duduk berdengung berisik, meramalkan satu pagi gerah lagi, dan jam digital di radioku menunjukkan pukul sembilan dalam kilau biru elektrik. Hari ini sudah dimulai tanpaku. Sambil mendesah aku berguling keluar ranjang dan tertatih-tatih menuju kamar mandi. Kelar dari situ, kuse-ret langkahku ke dapur dan berhenti di depan kulkas, berharap peri kulkas telah mengunjungiku semalam. Aku menguak pintunya dan menekuri rak-rak kosong, sadar bahwa makanan ternyata tidak berkloning secara ajaib dari lelehan mentega dalam tempurung dan kerangka-kerangka penyek yang mengambang di dasar laci sayur. Yang tersedia untuk menyelamatkanku dari bencana kelaparan cuma setengah wadah mayones, sebotol dir, roti gandum utuh berlapis jamur biru, sebonggol selada iceberg kecokelatan dan lengket di balik plastik pembungkusnya, serta sekotak kepingan hamster. Kumenimbang-nimbang apakah pukul sembilan pagi terlalu dini untuk minum bir. Tentu saja di Moskow sudah pukul empat petang. Boleh dong. Kutenggak setengah botol bir dan dengan muram mendekati jendela ruang duduk. Kusibak gorden, mengintip pelataran parkir di bawah. Miataku sudah raib. Lenny telah beraksi dini. Bukan kejutan, namun tetap saja kenyataan ini ibarat biji nyangkut di tenggorokan; menyakitkan. Sekarang aku sudah resmi jadi orang yang telah kehilangan segalanya. Dan, seolah-olah semua ini belum cukup bikin depresi, kemarin aku berjanji pada Ibu untuk menemui Vinnie. Pertahananku melemah di tengah-tengah hidangan penutup. Aku memaksa diri berdiri di bawah pancuran dan setengah jam kemudian melangkah keluar dengan gontai setelah meratap dan meraung sampai tenagaku terkuras habis. Kujejali tubuhku ke dalam stoking serta setelan, dan siap menuntaskan kewajibanku sebagai putri Ibu yang baik. Hamsterku, Rex, masih bobo di kaleng sup dalam kandangnya, di atas bufet dapur. Kutuang sedikit kepingan hamster ke dalam mangkuknya dan mulutku meniru suarasuara kecupan. Rex membuka mata kelamnya dan berkedip-kedip. Kumisnya bergetar, ia mengendus dalam-dalam lalu menolak makanannya mentah-mentah. Aku tak menyalahkan dia. Waktu sarapan kemarin, aku menyicip sekeping dan memang tidak terkesan. Aku mengunci apartemen dan berjalan menyusuri St. James sejauh tiga blok menuju Blue Ribbon Used Cars. Di muka pelataran, sebuah Nova seharga $500 seakan memohon-mohon agar dibeli. Bodinya berkarat total dan kecelakaan yang tak terhitung jumlahnya telah membuat Nova itu nyaris tak dikenali lagi sebagai mobil, apalagi sebagai Chevy. Toh, Blue Ribbon bersedia menukar si butut itu dengan TV dan VCR-ku. Blender dan microwave-ku juga kutinggal di sana untuk menebus biaya registrasi dan pajak-pajak. Aku membawa Nova itu keluar pelataran dan langsung mengarah ke Vinnie. Aku berhenti di ruas parkir di simpang Hamilton dan Olden, menarik lepas kunci dari starter dan menunggu mobil itu mati. Seusai doa singkat agar tidak dilihat oleh seseorang yang kukenal, kuempaskan pintu terbuka dan terbirit-birit melintasi jarak pendek yang memisahkanku dengan ambang kantor. Reklame biru dan putih di atas pintu berbunyi “Vincent Plum Bail Bonding Company”]. Dalam huruf yang lebih kecil tertulis layanan 24 jam mencakup seluruh negeri. Lokasinya strategis, diapit Tender Loving Care Dry Cleaners dan Fiorello’s Deli. Vincent Plum menj amin perkara-perkara ringansengketa perceraian, perkelahian, curanmor, mengemudi dalam keadaan mabuk, pengutil toko. Kantor itu kecil dan bersahaja,
terdiri atas dua ruangan berpanel walnut dan karpet murahan nuansa karat membalut lantai. Sebuah sofa Danish, modern dan kaku berlapis kulit imitasi cokelat, disandarkan pada salah satu dinding area resepsionis, serta sebuah meja logam hitam-cokelat dengan telepon saluran ganda dan perangkat komputer bertengger di sudut. Sekretaris Vinnie duduk di belakang meja, kepalanya 3. Usaha ini membayar jaminan tahanan luar atau bebas bersyarat tenggelam penuh konsentrasi dalam lautan berkas. “Yeah?” “Aku Stephanie Plum. Aku kemari untuk bertemu sepupuku, Vinnie.” “Stephanie Plum!” Ia menengadah. “Aku Connie Rosolli. Kau satu sekolah dengan adik perempuanku, Tina. Ya ampun, kuharap kau tidak terjerat pembebasan bersyarat.” Kini aku mengenalinya. Dia adalah Tina dalam versi yang lebih tua. Lebih melar di pinggang, lebih montok di wajah. Ia memiliki banyak bulu-bulu halus hitam, kulit buah zaitun yang sempurna, dan bayangan kumis di atas bibir. “Satu-satunya urusanku di sini untuk cari duit,” jelasku pada Connie. “Dengardengar Vinnie butuh orang buat pengarsipan.” “Kami baru saja mengisi lowongan itu, dan jangan bilang-bilang ya, tapi menurutku kau tak rugi apa-apa. Pekerjaan itu benar-benar payah. Upah minimum, dan seharian kau harus berlutut sambil nyanyi lagu abjad. Menurutku, kalau harus melewati segitu banyak waktu di atas lutut, kita bisa cari hal lain dengan bayaran yang lebih layak. Paham ‘kan maksudku?” Terakhir kali aku berlutut, itu dua tahun yang lalu. Aku mencari lensa kontakku.” “Begini saja, kalau kau sangat butuh pekerjaan, kenapa tidak minta Vinnie menyerahkan kasus lacak buron padamu? Bayarannya gede lho.” “Sebesar apa?” “Sepuluh persen dari uang jaminan.” Connie mencomot berkas dari laci atas. “Yang ini baru masuk. Pembebasan bersyarat dijamin sebesar $ 100.000, dan ia tidak menghadiri panggilan pengadilan. Jika kau berhasil membekuk dan membawa dia kemari, kau dapat $10.000.” Sebelah tanganku bertumpu di meja demi menjaga keseimbangan. “Sepuluh ribu dolar untuk menemukan seseorang? Di mana jebakannya?” “Terkadang mereka tak ingin ditemukan, dan mereka menembakmu. Tapi itu jarang terjadi.” Connie membuka-buka berkas itu. “Pria yang kasusnya masuk kemarin ini penduduk lokal. Morty Beyers sudah mulai melacaknya, jadi hasil investigasi pendahuluan tersedia. Ada foto-foto dan tetek-bengek lainnya.” “Apa yang terjadi dengan Morty Beyers?” “Usus buntunya kolaps. Kejadiannya tadi malam pukul 11.30. Dirawat di St. Francis, ditancapi infus di tangan dan selang di hidung.” Aku tak bermaksud mensyukuri kemalangan Morty Beyers, toh aku mulai bersemangat membayangkan prospek melangkah pakain sepatunya. Uang tersebut menggiurkan, dan menyangdang titel profesi ini punya gengsi tersendiri. Di pihak lain, bertugas menciduk para pelarian terdengar mengerikan, dan sungguh aku pengecut kawakan bila menyangkut risiko mencederai anggota-anggota tubuhku. “Kuduga, kau takkan kesulitan menemukan pria ini,” sambung Connie. “Kaubicara
saja dengan ibunya. Dan andaikata tak ada hasilnya, kau boleh mengundurkan diri. Kau takkan kehilangan apa-apa ‘kan?” Kecuali nyawa. “Entahlah. Aku kurang suka ditembak.” “Barangkali, ini seperti menyetir di jalan tol,” bujuk Connie. “Barangkali, lama-lama kita terbiasa. Dari sudut pandangku, hidup di New Jersey merupakan tantangan, apalah arti semua limbah beracun itu dan kendaraan delapan belas roda itu dan para skizofren bersenjata itu. Maksudku, apalah arti tambahan satu orang sinting me-nembakimu?” Cukup mendekati filosofiku sendiri. Dan $ 10.000 itulah daya tariknya. Aku bakal sanggup membayar lunas semua kreditor dan menata-ulang hidupku. “Oke,” putusku, “aku akan mengerjakannya.” “Kau harus bilang Vinnie dulu,” Connie memutar kursinya ke arah pintu ruang kerja Vinnie. “Hei, Vinnie!” salaknya. “Kita punya bisnis di luar sini.” Vinnie berusia 45 tahun, tinggi 170 cm tanpa tu-mit sepatunya, dan bodinya singset, tanpa tonjolan tulang, mirip kus-kus. Ia memakai sepatu berujung lancip, suka perempuan berpayudara lancip dan pemuda-pemuda berkulit sawomatang, dan mobilnya Cadillac Seville. “Ada Steph di sini. Dia berminat melakukan lacak buron,” urai Connie pada Vinnie. “No way. Terlalu bahaya,” larang Vinnie. “Rata-rata agenku pernah bekerja di bidang keamanan. Dan kau harus paham soal penegakan hukum.” “Aku bisa belajar soal penegakan hukum,” dalihku. “Nah, belajarlah dulu. Nanti balik lagi.” “Aku butuh kerjaan sekarang.” “Bukan masalahku.” Kurasa kini saatnya bersikap keras. “Aku akan menjadikan ini masalahmu, Vinnie. Aku tinggal berbincang dengan Lucille, panjanglebar.” Lucille adalah istri Vinnie dan satu-satunya wanita di Burg yang tak tahu-menahu tentang adiksi Vinnie pada seks menyimpang. Tentu saja, andai ia pernah bertanya … ceritanya akan beda. “Kau memerasku? Sepupumu sendiri?” “Zaman sekarang semua orang putus asa.” Ia berpaling ke Connie. “Kasih dia kasus-kasus sipil. Vang urusannya cukup dibereskan via telepon.” “Aku minta yang ini,” tuntutku, menuding berkas di meja Connie. “Aku mau kasus senilai $10 .000 ini.” “Lupakan. Itu pembunuhan. Seharusnya tak usah diberi jaminan, tapi dia warga Burg, dan aku kasihan pada ibunya. Percaya deh, kau takkan senang terlibat urusan macam itu.” “Aku butuh duit, Vinnie. Kasih aku kesempatan menyeret dia kemari.” “Asal neraka beku dulu,” tolak Vinnie. “Kalau kehilangan orang ini, aku kena 100 rebu. Nggak bakalan aku kirim amatiran buat ngejar dia.”
Connie memutar-mutar bola matanya padaku. “Kesannya dia bayar dari kantong sendiri. Pemilik kantor Vinnie perusahaan asuransi. Jadi, itu bukan persoalan besar.” “Beri aku rentang seminggu, Vinnie,” mohonku. “Andai aku gagal membekuk dia dalam seminggu, kau tinggal mengalihkan kasusnya ke orang lain.” “Setengah jam pun takkan kuberi.” Kutarik napas dalam-dalam dan mencondongkan tubuh ke Vinnie, berbisik di telinganya. “Aku tahu tentang Madam Zaretski dan pecut serta borgolnya. Aku tahu tentang cowok-cowok berondong. Dan aku tahu soal bebek itu.” Vinnie tidak menyahut. Bibirnya mengatup hingga memutih, dan kutahu aku menang. Lucille bakal muntah-muntah bila tahu apa yang dilakukan suaminya pada si bebek. Lantas dia akan mengadu ke ayahnya, Harry Si Palu, dan Harry akan memancung titit Vinnie. “Siapa buronan kita?” tanyaku pada Vinnie. Vinnie mengangsurkan berkasnya. “Joseph Morelli.” Jantungku melonjak dalam dadaku. Aku tahu Morelli terlibat pembunuhan. Peristiwa ini sempat jadi berita heboh di Burg, perincian penembakan menciprati halaman utama Trenton Times. ANGGOTA KEPOLISIAN MEMBUNUH PRIA TAK BERSENJATA. Itu sebulan lalu, dan isu-isu lain yang lebih penting (semisal jumlah total lotere) telah menggantikan pembahasan mengenai Morelli. Karena tiadanya informasi lanjutan, aku berasumsi bahwa penembakan itu berkaitan dengan dinas. Tak kusadari Morelli digugat atas pembunuhan. Reaksiku tak luput dari Vinnie. “Dari tampangmu, ku-tebak kaukenal dia.” Aku mengangguk. “Waktu SMU aku pernah menjual cannoli padanya.” Connie menggeram. “Sayang, setengah dari seluruh perempuan di New Jersey menjual cannoli-nya pada Morelli.” Kubeli sekaleng soda di Fiorello’s dan aku melangkah ke mobil sembari minum. Aku menyelinap di balik kemudi dan, menyerah pada hawa gerah, aku melepas dua kancing blus sutra merahku serta melucuti stoking. Lalu, aku membuka-buka berkas Morelli, pertama menilik foto-fotobeberapa diambil saat penangkapan Morelli, ada pula jepretan jarak jauh dirinya dalam balutan jaket pilot cokelat dan jins, serta sebuah pose formal memakai kemeja dan dasi, jelas dikliping dari dokumen kepolisian. Ia tak banyak berubah. Agak kurusan, mungkin. Tulang wajahnya lebih tegas. Sedikit kerut di mata. Parut tipis luka melintangi alis kanannya, mengakibatkan kelopaknya agak turun. Kesan yang keseluruhan bikin merinding. Mengancam. Morelli pernah menyalahgunakan kenaifanku, bukan hanya sekali tapi dua kali. Sehabis berbuat di lantai bakeri, ia tak pernah menelepon, tak pernah mengirim kartu pos, bahkan tak mengucapkan selamat tinggal. Dan bagian yang terburuk, aku justru mengharap teleponnya. Mary Lou Molnar benar soal Morelli. Dia memang perayu ulung. Semua itu tinggal sejarah, kutegaskan pada diriku. Dan rentang 11 tahun belakangan, aku tak melihat laki-laki itu lebih dari dua atau tiga kali, dan itu pun cuma dari jauh. Morelli hanyalah kenangan dari masa kecilku, dan perasaanku saat masih kanakkanak tak punya tempat di masa kini. Aku punya tugas yang harus dituntaskan. Jelas dan sederhana. Tak ada maksud membalas luka lama. Menemukan Morelli tak berkaitan dengan dendam. Menemukan Morelli berkaitan dengan uang sewa. Yeah, yang benar saja. Karena inilah perutku tiba-tiba mulas.
Berdasarkan informasi dalam kontrak jaminan, Morelli berdomisili di kompleks apartemen yang berdekataan dengan Route 1. Sepertinya itu tempat terbaik untuk mulai menyidik. Kusangsikan Morelli ada di apartemennya, tapi aku bisa mewawancarai para tetangga dan memeriksa apakah ia mengambil surat-suratnya. Aku meletakkan berkas itu di samping dan dengan berat hati menyusupkan kaki ke dalam sepatu hitamku yang bertumit tinggi. Kuputar kunci starter. Tak ada respons. Tinjuku menggebrak dasbor dengan kencang dan aku menggeram puas saat mesin menyala. Sepuluh menit kemudian, kumasuki halaman parkir Morelli. Gedung-gedung bata, bertingkat dua, utiliter. Tiap gedung dilengkapi dua jalur beratap. Delapan apartemen berjejer sepanjang jalur-jalur itu, empat di atas, empat di bawah. Kupadamkan mesin dan memantau nomor-nomor pintu. Morelli menempati apartemen ujung di lantai dasar. Sejenak aku duduk saja, merasa tolol dan tak becus. Andai Morelli ada di rumah, apa yang harus kulakukan? Mengancam akan mengadu pada ibunya jika dia tak mau ikut dengan sukarela? Laki-laki ini dicari karena membunuh. Banyak yang dia pertaruhkan. Aku tak bisa membayangkan ia mencederaiku, namun ada kemungkinan besar aku bakal mempermalukan diri. Bukannya aku tipe orang yang membiarkan aib kecil menghalangi perangaiku yang membabi-buta saat nyemplung dalam proyek-proyek bodoh … seperti pernikahanku yang nahas dengan Dickie Orr, si bokong kuda. Memori itu membuatku mengernyit tanpa sadar. Sulit dipercaya aku betul-betul menikahi seorang pria bernama Dickie. Oke, batinku, lupakan Dickie. Sekarang adalah proyek Morelli. Periksa kotak suratnya, lantas apartemennya. Bila aku beruntung (atau apes, tergantung caramu memandangnya), karena ternyata Morelli membuka pintunya, aku tinggal asal mengarang dusta dan cabut. Setelah itu aku akan menelepon polisi dan biarlah mereka yang menangangi urusan fisik. Aku melangkah mantap menyeberangi aspal dan dengan cermat meneliti deretan kotak surat yang menjorok dari dinding bata. Seluruhnya disesaki amplop-amplop; milik Morellilah yang paling penuh. Aku menyusuri jalur beratap dan mengetuk pintu apartemennya. Tak ada jawaban. Betapa mengejutkan. Aku mengetuk-ulang dan menunggu. Nihil. Kuberjalan mengitari bangunan dan menghitung jendela-jendela. Empat punya Morelli dan empat punya apartemen yang memunggungi miliknya. Morelli telah mengatupkan kerai. Toh aku tetap mendekat, sambil mengendap-endap, berusaha mengintip lewat celah antara pinggir kerai dan tembok. Andai kerainya mendadak tersibak dan seraut wajah nongol, aku pasti ngompol di tempat. Untungnya, kerai itu tidak tersibak, dan sayangnya aku tak berhasil melihat ada apa di baliknya. Kembali ke jalur beratap, dan aku mendatangi tiga apartemen yang lain. Dua pintu tidak disahut. Yang terakhir dihuni oleh wanita uzur yang selama enam tahun tinggal di situ tak pernah melihat Morelli. Jalan buntu. Aku kembali ke mobil dan duduk di sana, merenungkan langkah selanjutnya. Di pelataran ini tidak ada aktivitastak ada gelegar televisi dari jendela yang terbuka, tak ada anak-anak bersepeda, tak ada anjing buang hajat di rumput. Ini bukan jenis tempat tinggal yang dihuni keluarga, simpulku. Bukan lingkungan tempat para tetangga saling kenal. Sebuah mobil sporty melesat masuk dan menikung jauh dariku, berhenti di salah satu petak parkir kosong di depan. Si pengemudi diam sebentar di belakang setir, dan aku bertanya-tanya apakah ia janjiandengan seseorang. Lantaran tak punya kegiatan lain untuk dikerjakan, aku menunggu untuk melihat apa yang akan terjadi. Selang lima menit, pintu pengemudi terkuak, seorang pria keluar dan berderap ke jalur beratap dekat apartemen Morelli. Aku tak percaya penglihatanku. Orang itu sepupu Joe, Mooch Morelli. Mooch pasti punya nama sungguhan, namun aku tak ingat siapa. Selama mengenalnya, dia selalu dipanggil Mooch. Waktu kecil ia tinggal satu jalan dari St. Francis Hospital. Ke
mana-mana selalu bersama Joe. Aku bersilang jari dan berharap Mooch tersayang datang mengambil barang yang dititipkan Joe pada tetangga. Atau, barangkali Mooch sedang membobol jendela apartemen Joe dengan linggis. Hatiku mulai gembira membayangkan Mooch melakukan pendobrakan ketika ia muncul dari belakang gedung, kunci di tangan, dan menyilakan diri masuk ke apartemen Morelli lewat pintu depan. Aku menanti dengan tegang, dan sepuluh menit kemudian Mooch nongol lagi sambil menenteng sebuah tas marinir hitam, naik mobil dan segera berangkat. Kutunggu dia keluar dari parkiran, lantas aku membututinya. Aku menjaga jarak sejauh beberapa mobil di belakangnya, memegang setir hingga jari memutih dan jantung berpacu dalam dadaku, gamang oleh janji $ 10.000 itu. Aku menguntit Mooch ke State Street dan mengawasinya berhenti di sebuah jalur pribadi. Aku mengitari blok dan parkir beberapa rumah jauhnya. Pada suatu ketika, area ini merupakan lingkungan mewah terdiri atas rumah-rumah bata yang megah dan luas, pekarangan-pekarangan terpelihara apik. Di era 1960-an, tatkala blockbusting4 masih jadi praktik populer kaum liberal, salah seorang pemilik rumah di State Street menjual rumahnya pada sebuah keluarga kulit hitam, dan dalam kurun lima tahun berikutnya seluruh penduduk panik dan hengkang. Keluargakeluarga yang lebih miskin pindah kemari, rumah-rumah akhirnya kurang terawat dan dirombak jadi flat, halaman-halaman telantar, jendela-jendela dibarika-de. Namun, seperti yang sering menimpa lokasi-lokasi terbaik, bilangan ini sedang diklaim kembali. Mooch keluar dari rumah itu selang beberapa menit. Dia sendirian dan tanpa tas marinir tadi. Astaga, ini pasti jejak. Seberapa besar peluang Joe Morelli sedang duduk di dalam rumah tersebut dengan tas itu di atas pangkuan? Menurutku cukup besar. Barangkali layak diselidiki. Sekarang ada dua pilihan. Menelepon polisi detik ini juga, atau pergi memeriksa sendiri. Bila aku memanggil polisi padahal Morelli tidak di dalam, aku akan kelihatan konyol, dan mereka takkan repot-repot datang menolongku untuk kedua kalinya nanti. Di lain pihak, aku sungguh tak ingin menyelidiki sendiri. Bukan sikap yang pantas bagi se-4 Praktik yang biasa digunakan oleh agen teal estate untuk meyakinkan para pemilik properti agar menjual harta mereka dengan memberi kesan bahwa sebuah lingkungan sedang berubah, dianggap ilegal di A.S. seorang yang baru saja diterima sebagai pemburu buron, namun apa daya. Aku berlama-lama memantau rumah itu, berharap Morelli melenggang keluar supaya bukan diriku yang perlu melenggang masuk ke sana. Aku melirik jam dan memikirkan makanan. Hingga saat ini yang kutelan buat sarapan cuma bir. Aku menoleh ke belakang lagi ke arah rumah. Berhasil menuntaskan tugas ini setara ketiban emas batangan dan aku dapat menghamburkan uang kecil di dasar tasku demi sepotong hamburger. Motivasi. Kutarik napas dalam-dalam, membuka pintu, dan memaksa diri turun dari mobil. Kerjakan saja, perintahku. Jangan bikin rumit sesuatu yang sederhana. Janganjangan malah dia tidak berada di sana. Aku melangkah penuh tekad, bergumam sendiri selagi menyusuri trotoar. Tiba di rumah itu aku masuk tanpa ragu. Kotak-kotak surat di selasar menunjukkan adanya delapan apartemen. Semua pintu apartemen itu membuka pada lorong tangga. Seluruh kotak surat dilabeli kecuali apartemen 201. Tak satu pun dari nama itu Morelli. Lantaran tak punya rencana yang lebih bagus, kuputuskan untuk mendatangi pintu misterius itu. Seraya naik tangga, adrenalin meningkat dalam nadiku. Tiba di lantai dua, jantungku melonjak-lonjak. Demam panggung, batinku. Sangat normal. Aku menghirup udara beberapa kali dan tanpa pikir panjang berhasil menyeret diri ke pintu tujuan. Sebuah tangan mengetuk pintu tersebut. Edan, ini ‘kan tanganku. Ada yang bergerak di balik pintu. Di dalam sana ada seseorang, mengamatiku lewat lubang intai. Morelli kah? Aku yakin sekali. Udara macet dalam paru-paruku, dan
denyut nadiku menyakiti kerongkongan. Kenapa aku melakukan hal ini? Aku pembelanja lingerie murah. Tahu apa aku soal pembunuh? Jangan ingat dia sebagai pembunuh, tegasku. Ingat bahwa dia penjahat kelamin. Ingat bahwa dia laki-laki yang menodaimu lantas menulisnya detail-detailnya di tembok kamar mandi pria Mario’s Sub Shop. Aku menggigiti bibir, melontarkan senyum canggung, penuh harap dan keraguan pada sosok di belakang lubang intai, meyakinkan diri bahwa penjahat kelamin manapun takkan tahan untuk menolong cewek bertampang begini polos dan bodoh. Sesaat berlalu. Aku nyaris bisa mendengar Morelli mengumpat dalam hati, berdebat sendiri apakah sebaiknya membuka pintu atau tidak. Aku melambai kecil dengan jariku pada lubang intai itu. Malu-malu, tidak mengancam; memperlihatkan aku ini tidak berbahaya serta yakin bahwa dia ada di situ. Selot digeser, pintu dibuka dengan kasar, dan tahu-tahu aku sudah berdiri tepat di depan muka Morelli. Mimiknya pasif-agresif, suaranya tak sabaran. “Apa?” Dia lebih tegap dari yang kuingat. Lebih bengis. Matanya lebih waspada, garis mulutnya lebih sinis. Aku kemari dalam rangka mencari bocah yang mungkin membunuh karena ledakan emosi. Kuduga pria di hadapanku ini sanggup membunuh dengan ketidakacuhan pro fesional. Aku diam sejenak untuk memantapkan suara dan mengarang dusta. “Aku mencari Joe Juniak …” “Kau salah apartemen. Tak ada yang namanya Juniak di sini.” Pura-pura bingung. Memaksa senyum tipis. “Maaf …” Aku mundur selangkah dan hendak menuruni tangga ketika Morelli sadar. “Yesus Kristus!” sambarnya. “Stephanie Plum?” Nada itu dan makna di baliknya akrab di telingaku. Ayah memakai nada itu setiap kali memergoki anjing keluarga Smullen mengangkat sebelah kakinya dekat-dekat semak hortensianya. Aku tidak tersinggung, batinku. Dari awal aku sudah tahu di antara kami berdua tak pernah ada cinta. Ini justru mempermudah misiku. “Joseph Morelli,” cetusku. “Sungguh menggemparkan.” Tatapannya memicing. “Yeah. Hampir sama menggemparkan dengan waktu mobil ayahmu melibasku.” Demi menghindari konfrontasi, kurasa aku perlu memberinya penjelasan. Bukan berarti harus melakukannya secara meyakinkan. “Itu kecelakaan. Kakiku selip.” “Itu bukan kecelakaan. Kamu menerjang undakan sialan itu dan mengejarku di atas trotoar. Kamu nyaris membunuhku.” Ia membungkukkan badan lewat ambang pintu dan melongok ke lorong. “Jadi, sebenarnya kamu ngapain kemari? Kamu baca tentangku di koran dan memutuskan hidupku belum cukup berantakan?” Rencanaku buyar seketika. “Aku bisa saja kurang peduli pada hidupmu yang kacau,” salakku. “Aku kerja buat Vinnie, sepupuku. Kamu melanggar kontrak pembebasan bersyarat.” Bagus, Stephanie. Kendali-diri yang luar biasa. Dia meringis. “Vinnie mengirim kamu untuk meringkusku?” “Menurutmu ini lucu?” “Yak, menurutku lucu. Asal tahu ya, aku benar-benar menikmati leluconmu, sebab aku jarang ketawa belakangan ini.”
Aku bisa menghargai sudut pandangnya. Andai aku terancam 20 tahun penjara, aku juga gak bakalan ketawa. “Kita harus bicara.” “Bicaralah, tapi cepat. Aku buru-buru.” Rupanya aku punya sekitar empat puluh detik untuk membujuknya menyerahkan diri. Langsung saja tembak dengan gertakan yang paling ampuh. Pancing rasa bersalahnya terhadap keluarga. “Bagaimana dengan ibumu?” “Ada apa dengan ibuku?” “Ibumu yang menandatangani kesepakatan bebas bersyaratmu. Ia bakal terpaksa bayar $100.000. Ia bakal terpaksa menggadaikan rumahnya. Dan dia harus bilang apa ke orang-orang, bahwa Joe, putranya, terlalu ciut untuk menghadap pengadilan?” Ekspresinya mengeras. “Kamu buang-buang waktu. Aku tak berniat kembali ke tahanan. Mereka akan mengurungku dan membuang kuncinya, dan selama di sana ada kemungkinan besar aku mati. Kamutahu apa yang menimpa polisi yang masuk penjara. Bukan hal-hal yang menyenangkan. Dan kalau kamu mau tahu lebih banyak kenyataan pahit, kamulah orang terakhir yang akan kubiarkan mendapat uang itu. Kamu cewek sinting. Kamu menggilingku dengan Buick jahanam.” Kuingatkan-diri, aku tak peduli pada Morelli maupun pendapatnya tentangku, tapi sejujurnya, kemurkannya ini menyakitkan. Di lubuk hati, aku sempat berharap dia memendam rasa sayang padaku. Aku pernah ingin bertanya kenapa ia sama sekali tak meneleponku setelah merayuku di bakeri itu. Sebaliknya, aku membentaknya. “Kamu layak digiling. Dan lagi-pula, aku cuma sedikit menyerempetmu. Satu-satunya alasan kakimu patah adalah, kamu panik dan keselengkat kaki sendiri.” “Masih untung aku tidak menuntutmu.” “Masih untung aku tidak mundurin mobil dan bolak-balik menggilasmu tiga atau empat kali.” Morelli memutar-mutar mata dan mengayunkan tangannya ke udara. “Aku mau cabut. Senang juga berdiri di sini dan berusaha memahami logika wanita …” “Logika wanita? Maksudmu?” Morelli berbalik menjauh dari pintu, mengenakan jaket olahraga tipis, dan menyambar tas nilon hitamnya dari lantai. “Aku harus pergi dari sini.” “Kamu mau ke mana?” Ia menyikutku agar minggir, menyelipkan sepucuk pistol hitam sangar ke balik pinggang Levi’snya, mengunci pintu dan mengantongi kuncinya. “Bukan urusanmu.” “Dengar ya,” cecarku, mengekor dia turun tangga. “Memang aku baru di bidang ini, tapi aku bukan orang dungu, dan aku pantang menyerah. Aku janji pada Vinnie untuk menggeretmu ke sana dan itulah tekadku. Silakan kabur kalau mau, toh aku bakal melacak dan menemukanmu, dan aku akan mengupayakan segalanya untuk meringkusmu.” Cuma gertak sambal! Aku tak percaya aku berpidato begitu. Kali ini saja aku berhasil menemukan dia berkat faktor keberuntungan. Dan, satu-satunya cara aku bisa menangkapnya lain kali adalah jika kebetulan menemukan dia dalam keadaan terikat, pingsan, mulut disumpal. Bahkan, aku tak yakin sejauh mana aku kuat menyeret tubuhnya. Dia keluar lewat pintu belakang dan berderap menuju sebuah mobil model terbaru
yang parkir dekat gedung. “Jangan repot-repot mencatat nomor pelat,” singgung Morelli. “Ini mobil pinjaman, satu jam dari sekarang sudah pasti kutukar. Dan tak perlu buang waktu menguntitku. Aku pasti lolos darimu, kujamin itu.” Ia melempar tas marinirnya ke jok depan, bersiap naik mobil, dan berhenti. Ia berpaling dan menegakkan punggung, sikunya bertumpu di bingkai pintu. Lalu, untuk pertama kali sejak aku muncul di pintu apartemennya, ia terpekur sebentar untuk betul-betul memandangiku. Gejolak amarah awal telah reda, kini ia sedang menilaiku diam-diam. Inilah sang polisi, batinku. Morelli yang belum kukenal. Morelli yang sudah dewasa, andai binatang jenis itu memang ada. Atau janganjangan hanya Morelli yang dulu, mencari celah baru. “Aku suka rambutmu panjang dan ikal begini,” pujinya pada akhirnya. “Cocok dengan pribadimu. Penuh energi, kurang terkendali, seksi parah.” “Kamu tak tahu apa-apa soal kepribadianku.” “Aku tahu bagian-bagian yang seksi parah.” Wajahku meradang. “Tidak sopan mengingatkan hal itu padaku.” Morelli menyeringai. “Betul. Dan barangkali kamu ada benarnya waktu naik Buick itu dulu. Jangan-jangan aku memang pantas ditabrak.” “Apakah ini permintaan maaf?” “Bukan. Tapi lain kali kita main kereta, kamu boleh pegang senternya.” Hampir pukul satu saat kukembali ke kantor Vinnie. Kuempaskan tubuh di kursi depan meja Connie dan mendongak untuk menikmati AC secara maksimal. “Kau habis joging di luar?” tanya Connie. “Belum pernah kulihat keringat sebanyak itu semenjak Nixon.” “Mobilku kedap udara.” “Kasihan. Gimana perkara Morelli? Kau dapat petunjuk?” “Karena itulah aku kemari. Aku butuh pertolongan. Ternyata urusan sergap-buron nggak segampang itu. Aku perlu konsultasi dengan ahlinya profesi ini.” “Kutahu siapa yang tepat. Ranger. Nama lengkap Ricardo Carlos Manoso. Keturunan Kuba-Amerika, generasi kedua. Pernah dinas militer di pasukan khusus. Sekarang kerja buat Vinnie. Ia menangani pelacakan dan penyergapan yang bagi agen lain hanya terjadi dalam mimpi. Kadang-kadang dia agak kreatif, tapi yah, orang genius memang suka begitu ‘kan?” “Kreatif?” “Tidak selalu taat aturan main.” “Oh.” “Persis Clint Eastwood di film Dirty Harry,” cerocos Connie. “Kau tak bermasalah dengan Clint Eastwood ‘kan?” Ia memijit sebuah tombol sambungan kilat, terhubung dengan penyeranta Ranger dan berpesan agar ditelepon balik. “Jangan khawatir,” lanjutnya, tersenyum. “Orang ini akan memberitahumu semua yang perlu kauketahui.” Sejam sesudahnya, aku duduk berhadapan dengan Ranger Manoso di sebuah kafe pusat kota. Rambutnya yang hitam lurus diekor kuda. Bisepnya bak granit dipahat dan dibuat mengilap dengan Armor All. Tinggi sekitar 180 cm, leher kekar, dan berpotongan jangan macam-macam sama gua. Kuperkirakan usianya akhir 20-an.
Ia bersandar ke belakang dan nyengir. “Jadiiiii, Connie bilang aku diharapkan menjadikan dirimu agen andal pemburu buron. Katanya kaubutuh kursus kilat. Kenapa buru-buru?” “Lihat Nova cokelat di luar sana?” Tatapannya beralih ke jendela. “Hu-uh.” “Itu mobilku.” Ia manggut-manggut, nyaris tak kentara. “Jadi, kau butuh duit. Ada hal lain?” “Alasan pribadi.” “Itu bisnis yang berbahaya. Moga-moga alasan pribadimu itu layak dikejar.” “Apa alasanmu sendiri melakukannya?” Ia membalik telapak tangannya ke atas. “Ini yang paling mahir kukerjakan.” Jawaban yang jitu, batinku. Lebih berbobot ketimbang jawabanku sendiri. “Mungkin suatu hari nanti aku juga bakal jadi jagoan profesi ini. Sementara, tujuanku hanyalah memiliki pekerjaan tetap.” “Vinnie menyerahkan kasus padamu?” “Joseph Morelli.” Kepalanya tengadah dan dia ngakak, gelegarnya memantul di dinding kedai sandwich kecil ini. “Ah, gila! Kau becanda ‘kan? Mustahil kau nangkap jagoan kita itu. Ini beda dengan ngejar berandalan punk. Laki-laki ini cerdik. Dia kelas kakap. Kaupaham maksudku?” “Kata Connie kau kelas kakap.” “Ini aku, dan itu kau, dan kau nggak bakalan semahir aku, Nona Manis.” Tatkala suasana hatiku sedang baik pun, aku orang yang kurang sabar, dan detik ini suasana hatiku sedang jauh dari baik. “Mari kujelaskan situasinya,” tukasku, memajukan tubuh. “Aku dipecat. Mobilku disita, kulkasku kosong-melompong. Aku mungkin ditendang keluar dari apartemenku, dan sepatu ini kesempitan. Aku tak mau buang-buang tenaga untuk bersosialisasi. Kau akan membantuku atau tidak?” Manoso menyeringai. “Ini bakal lucu. Ini Professor Higgins dan Elizabeth Doolittles versi Trenton.” “Aku harus memanggilmu apa?” “Nama bekenku. Ranger.” Tangannya terentang ke seberang meja untuk meraih berkas yang kubawa. Ia membaca sekilas kesepakatan pembebasan bersyarat. “Kau sudah mulai investigasi? Kau sudah memeriksa apartemen Morelli?” “Dia tidak di sana, tapi aku beruntung dan bisa menemukan dia di sebuah apartemen di State Street. Aku tiba di sana pas dia mau berangkat.” “Dan?” “Dia pergi.” “Sial,” decak Ranger. “Kau nggak dikasihtau ya, kau diharapkan mencegah dia.” “Kuminta dia ikut denganku ke kantor polisi, tapi katanya dia nggak mau.” Bahana tawa lagi. “Kurasa kau belum punya pistol?” “Menurutmu sebaiknya aku punya pistol?”
“Barangkali ini gagasan yang cukup bijak,” sahutnya, masih terkekeh. Ia selesai membaca kesepakatan j aminan. “Morelli menghabisi seorang laki-laki bernama Ziggy Kulesza. Pakai senjata pribadinya, ia menjejalkan sebutir peluru hydroshock 45 di antara kedua mata Ziggy, dari jarak dekat.” Ranger mendelik padaku. “Kautahu apa soal senjata?” “Yang kutahu, aku tak suka benda itu.” “Peluru hydroshock 45 menerjang masuk lempeng dan 5. Dalam drama Pygmalion karya Bernard Shaw, Professor Higgins bertaruh dengan Kolonel Pickering, ia bisa mengubah Eliza Doolittle, seorang gadis penjual bunga yang kampungan, jadi seorang perempuan terpelajar dengan mengajarinya bicara dengan logat kelas atas dan etiket pergaulan rapi, tapi saat meledak hasilnya adalah bolongan seukuran kentang. Kau berakhir dengan otak berceceran ke seluruh penjuru. Kepala Ziggy pasti meletus seperti telur dalam microwave.” “Halah. Baik sekali kau menceritakan ini padaku.” Senyumnya mencerahkan seisi ruangan. “Kukira kau pengen tahu.” Ia kembali menyender di kursi dan bersedekap. “Kautahu sedikit latar belakang perkara ini?” “Berdasarkan artikel-artikel koran yang oleh Morty Beyer dilampirkan di belakang kesepakatan jaminan, penembakan terjadi larut malam, kira-kira sebulan silam di sebuah gedung apartemen di Shaw. Morelli sedang bebas tugas dan pergi mengunjungi Carmen Sanchez. Menurut pengakuan Morelli, setelah Carmen meneleponnya mengenai urusan kepolisian, ia bergegas berangkat dan waktu tiba di apartemen Carmen, Ziggy Kulesza membuka pintu dan menerjangnya. Morelli mengklaim, dia menembak Ziggy sebagai tindakan beladiri.” “Para tetangga Carmen menyampaikan versi yang berbeda. Sebagian menghambur ke lorong begitu mendengar tembakan dan melihat Morelli menjulang di atas Kulesza dengan pistol yang masih berasap. Salah seorang penghuni menahan Morelli sampai polisi datang. Tak seorang pun ingat adanya pistol di tangan Ziggy, dan penyidikan di lapangan tidak menghasilkan bukti bahwa Ziggy bersenjata.” “Morelli sempat memergoki pria lain dalam apartemen Carmen di saat penambakan, dan tiga penghuni ingat telah melihat sebuah wajah yang tidak familier, namun rupanya pria itu menghilang sebelum polisi tiba di TKP.” “Dan mengenai Carmen?” cecar Ranger. “Tak seorang pun ingat telah melihat Carmen. Artikel terakhir terbit seminggu setelah kejadian, dan semenjak tanggal tersebut, Carmen belum menampakkan diri.” Ranger mengangguk. “Ada informasi lain yang kau ketahui?” “Cuma sampai di situ.” “Pria yang ditembak Morelli bekerja untuk Benito Ramirez. Pernah dengar namanya?” “Ramirez petinju.” “Bukan petinju biasa. Dia mukjizat. Kelas berat. Ramirez hal paling hebat yang pernah terjadi di Trenton sejak George Washington mengelabui pasukan Hessian pada akhir 1776. Gym tempatnya berlatih terletak di Stark Street. Ziggy menempel pada Ramirez seperti putih pada nasi. Kadang-kadang Ziggy jadi lawannya untuk latihan. Kebanyakan, dia jadi kacung sekaligus bodyguard Ramirez.” “Gosip apa yang beredar, tentang alasan Morelli menembak Kulesza?”
Ranger menatapku lekat-lekat. “Nihil. Tapi, Morelli pasti punya alasan yang kuat. Morelli itu laki-laki berdarah dingin, dan jika anggota polisi ingin menghabisi seseorang, ada cara-cara tertentu.” “Polisi yang pandai menguasai diri pun tak luput dari kesalahan.” “Bukan kesalahan macam ini, Say. Bukan Morelli.” “Jadi apa yang kausarankan?” “Saranku, kauharus hati-hati.” Sekonyong-konyong perutku mulas. Ternyata ini lebih dari sekadar terjun ke dalam petualangan kecil untuk dapat duit dengan cepat. Menangkap Morelli bakal sulit. Dan, menggeret dia ke pengadilan rasanya kok jahat. Dia bukan karakter favoritku, namun kebencianku belum sampai ingin melihatnya dipenjara seumur hidup. “Kau masih berminat meringkusnya?” tembak Ra-nger. Aku bungkam. “Andai kau tidak mengerjakannya, orang lain yang akan menanganinya,” terang Ranger. “Kau masih perlu belajar banyak. Dan kau tidak diharapkan membuat penilaian. Kerjakan saja tugasmu, dan bawa orangnya kembali. Percayakan saja pada sistem.” “Kaupercaya pada sistem?” “Dia pasti disikat duluan oleh tangan-tangan anarkis.” “Perkara ini melibatkan sejumlah besar uang. Bila kau sej ago itu, kenapa Vinnie tak menyerahkan kasus Morelli padamu? Kenapa ia malah mengirim Morty Beyers?” “Vinnie bekerj a lewat cara-cara misterius.” “Ada hal lain yang perlu kuketahui soal Morelli?” “Jika mau duit itu, kau harus bergerak cepat. Menurut desas-desus, sistem pengadilan adalah masalah terakhir yang perlu Morelli pusingkan.” “Apakah kau bermaksud mengatakan, ada kontrak untuk membunuhnya?” Tangan Ranger memeragakan pistol. “Dor.” “Kaupercaya gosip itu?” Ia mengedikkan bahu. “Cuma mengulang yang kudengar.” “Plotnya makin rumit,” keluhku pada Ranger. “Seperti kataku barusan, kita jangan pedulikan plot. Tugasmu sederhana. Temukan orangnya, bawa dia kembali.” “Menurutmu aku mampu?” “Tidak.” Kalau itu usaha untuk mematahkan semangatku, jawaban dia salah. “Toh, apakah kau akan menolongku?” “Selama kau tak bilang siapa-siapa. Jangan sampai image-ku tercemar gara-gara dikira pria baik hati.” Aku mengangguk. “Oke, mulai dari mana?” “Pertama, kau harus punya perlengkapan. Dan sementara kita mencari perangkat
kerasmu itu, aku bisa memberimu kuliah tentang hukumnya.” “Ini takkan mahal, ‘kan?” “Waktu serta pengetahuanku kupersembahkan gratis sebab aku suka padamu, dan dari dulu aku pengen jadi Profesor Higgins. Tapi, harga sepasang borgol $40. Kaubawa duit plastik?” Aku kehabisan kartu kredit. Untuk melunasi tagihan-tagihan sudah kugadaikan perhiasan-perhiasanku yang berharga namun hanya segelintir itu, dan menjual sofa ranjang ruang duduk ke tetangga. Sebagian besar perangkat rumah tangga elektronik ludes untuk beli Nova. Yang tersisa hanyalah simpanan darurat. Dengan tegas aku menolak untuk menyentuhnya. Aku menyisihkan dana itu dalam rangka membiayai rekonstruksi ortopedi setelah tukang tagih utang mematahkan tulangtulangku nanti. Yah, peduli setan. Lagian, jangan-jangan jumlahnya takkan cukup, bahkan jika cuma buat lutut. “Aku punya sedikit tabungan,” desahku. Aku menjatuhkan tas cantol baruku yang besar dari kulit hitam ke lantai dekat kursi, lantas duduk di meja makan. Ibu dan Ayah serta Oma Mazur sudah duduk duluan, ingin mendengar hasil pertemuanku dengan Vinnie. “Kamu terlambat 12 menit,” omel Ibu. “Aku tak mendengar suara sirene. Kamu tidak kecelakaan, toh?” “Aku kerja.” “Sudah mulai?” ia menoleh ke ayahku. “Baru hari pertama kerja dan keponakanmu sudah menyuruhnya lembur. Kamu harus bicara padanya, Frank.” “Tidak juga,” bantahku. “Jam kantorku fleksibel.” “Ayahmu bekerja di kantor pos selama 30 tahun, ia tak pernah telat pulang buat makan malam.” Tanpa sempat kucegah, aku kelepasan mendesah. “Maksudmu apa mendesah seperti itu?” cecar Ibu. “Dan tas barumu. Dari mana tas baru itu?” “Baru beli hari ini. Aku perlu menenteng-nenteng banyak barang untuk kerjaan ini. Aku perlu tas besar.” “Barang-barang apa yang kamu butuh? Bukannya kamu menata arsip?” “Aku tidak mendapat kerjaan itu. Aku dapat kerjaan lain.” “Pekerjaan apa?” Kutuang saos tomat di atas irisan daging dan nyaris gagal menahan desahan kedua. “Agen keamanan lateral,” sahutku. “Aku bekerja sebagai agen keamanan lateral.” “Agen keamanan lateral,” tiru ibuku. “Frank, kamu tahu apa itu agen keamanan lateral?” “Yeah,” gumamnya. “Pemburu duit jaminan para buron.”
Ibu mengeplak kening sendiri dan memutar-mutar bola mata. “Stephanie, Stephanie, Stephanie, kamu kerasukan apa? Itu bukan jenis pekerjaan untuk gadis baik-baik.” “Ini pekerjaan yang sah dan terhormat,” bantahku. “Seperti polisi atau detektif swasta.” Tak satu pun dari keduanya kuanggap terhormat. “Tapi, kamu buta soal beginian.” “Sederhana kok,” tangkisku. “Vinnie menyodorkan kasus TYTM padaku, lantas aku harus menemukan orangnya dan mengawalnya kembali ke markas polisi.” “Apa itu TYTM?” “Tersangka Yang Tidak Muncul di pengadilan.” “Barangkali aku bisa jadi agen keamanan lateral,” timbrung Oma Mazur. “Bisa menghasilkan uang saku. Aku bisa memburu para TYTM itu bersamamu.” “Yesus,” desis Ayah. Ibu tak mengacuhkan mereka. “Ada baiknya kamu belajar menjahit sarung,” tukasnya padaku. “Sarung selalu dibutuhkan.” Ia berpaling ke ayahku. “Frank, tidakkah menurutmu Stephanie seharusnya belajar bikin sarung? Bukankah itu gagasan yang bagus?” Kurasakan otot-otot bahuku menegang dan berusaha keras untuk santai. Bertahanlah, kuingatkan diriku. Ini latihan yang baik buat besok pagi, sebab aku berniat mendatangi ibunya Morelli. Berdasarkan peringkat di Burg, ibunda Joseph Morelli membuat ibuku setara dengan ibu rumah tangga kelas dua. Ibuku bukanlah pemalas, namun bagi standar Burg, Ny. Morelli seorang ibu rumah tangga sehebat pahlawan. Tuhan sendiri tak mampu menghasilkan jendela-jendela yang lebih bersih, cucian lebih putih, atau memasak pasta ziti yang lebih nikmat ketimbang Ny. Morelli. Ia tak pernah melewatkan misa, jualan Amway di waktu senggang, dan mata hitamnya yang tajam menusuk sanggup membuat setan dalam diriku lari tunggang-langgang. Aku bukannya mengharapkan Ny. Morelli mengadukan anak bungsunya itu, toh ia berada dalam daftar wawancaraku. Kita perlu melongok ke balik setiap batu. Ayah Joe bisa disogok dengan $5 dan sekerat bir, tapi ia sudah meninggal. Pagi ini aku menuruti penampilan profesional, berbalut setelan linen krem pas badan, lengkap dengan stoking dan tumit tinggi dan giwang mutiara berselera. Parkir di pinggir jalan, mendaki tangga serambi, baru mengetuk pintu masuk rumah keluarga Morelli. “Yak,” sambut Momma Morelli, berdiri di balik pintu kasa, mendelik padaku dengan cara merendahkan yang biasa diterima kaum ateis atau pengangguran. “Lihat siapa yang pagi-pagi cerah begini sudah nongol di serambiku … nona kecil pemburu buron.” Dagunya teracung satu inci tambahan. “Aku sudah dengar semua tentangmu dan pekerjaan barumu, dan aku nggak akan buka mulut.” “Aku harus menemukan Joe, Ny. Morelli. Ia tidak memenuhi panggilan pengadilan.” “Aku yakin dia punya alasan yang masuk akal.” Tentu saja. Semisal, dia betul-betul bersalah. “Begini deh, aku akan meninggalkan kartu namaku, siapa tahu perlu. Baru dicetak kemarin.” Aku mengaisngais tas besarku, menemukan borgol, penyemprot rambut, senter, sisirtak ada kartu nama. Tas itu kumiringkan untuk melihat lebih dalam, dan pistolku meluncur jatuh di atas babu t indoor-outdoor hijau. “Pistol,” desis Ny. Morelli. “Apa kata dunia? Ibumu tahu kau bawa-bawa pistol? Biar kubilangin. Aku akan menelepon dia dan mengadukanmu sekarang juga.”
Ia menatapku dengan muak dan membanting pintu. Umurku 3D tahun, dan Ny. Morelli mau ngadu ke ibuku. Hal seperti ini hanya mungkin terjadi di Burg. Kupungut pistolku, menjejalkannya kembali ke dalam tas, dan menemukan kartu-kartu namaku. Kuselipkan secarik kartu itu di antara lis dan kasa. Kemudian aku melintasi jarak singkat pulang ke rumah orangtuaku dan memakai telepon mereka untuk menghubungi Francie, sepupuku yang tahu segalanya tentang siapa saja. Ia sudah pergi jauh, menurut Francie. Ia laki-laki lihai dan kemungkinan besar sekarang ia berkumis palsu. Morelli ‘kan polisi. Punya banyak relasi. Ia tahu cara mendapat nomor j aminan sosial baru dan memulai kehidupan baru jauh dari sini. Kau takkan pernah menemukan dia. Pengaruh naluri dan keputusasaan membuatku berpikir sebaliknya. Jadi, aku menelepon Eddie Gazarra, anggota polisi Trenton yang juga merangkap sebagai sahabat sejatiku sejak lahir. Bukan sekadar teman baik, ia juga menikah dengan sepupuku, Si Manja Shirley. Alasan Gazarra menikahi Shirley sama sekali di luar pemahamanku, tapi sampai kini telah 11 tahun mereka bersama, jadi kusimpulkan memang ada kecocokan di antara mereka. Begitu tersambung dengan Gazarra, aku tidak basa-basi dulu, langsung menuju pokok permasalahan. Aku bercerita bahwa aku bekerja untuk Vinnie dan menanyakan apa yang ia ketahui soal penembakan Morelli. “Yang kutahu, jangan sampai kau terlibat urusan itu,” tukas Gazarra. “Kaumau kerja buat Vinnie? Boleh-boleh aja. Tapi, mintalah kasus lain.” “Terlambat. Aku menangani kasus ini.” “Tapi yang ini baunya busuk sekali.” “Di New Jersey segalanya juga bau busuk. Cuma itu yang bisa kita andalkan.” Gazarra memelankan suara. “Ketika anggota polisi digugat atas pembunuhan, ini persoalan serius. Semua orang jadi sensi. Dan parahnya lagi, dalam pembunuhan ini ada bukti fisik yang kuat banget terhadap Morelli. Dia kepergok di tempat kejadian dengan pistol masih panas di tangan. Menurut pengakuannya, Ziggy bersenjata. Tapi senjata itu tidak ditemukan, tak ada peluru menembus dinding seberang atau lantai maupun plafon, tak ada bubuk mesiu di tangan ataupun kemeja Ziggy. Juri tak punya pilihan selain menuntut Morelli. Dan, seolah-olah situasinya belum cukup prihatin … Morelli tidak memenuhi panggilan sidang. Betul-betul tamparan bagi departemen kepolisian dan juga aib besar. Sebut saja nama Morelli di lorong-lorong dan mendadak semua orang punya janji penting. Tak ada yang bakal senang kau mengendus-endus kesana-kemari untuk urusan ini. Jika mengincar Morelli, kau akan menginjak dahan patah dan jatuh ke tanah dari ketinggian, sendiri.” “Kalau aku berhasil meringkus dia, aku dapat $10 .000.” “Mending beli tiket lotere. Peluangmu lebih besar.” “Yang kutangkap, Morelli pergi mendatangi Carmen Sanchez, tapi si Sanchez tidak ada waktu Morelli tiba.” “Dia bukan sekadar tidak berada di tempat kejadian; dia hilang ditelan bumi.” “Masih?” “Masih. Dan jangan kira kami belum mencarinya.” “Bagaimana dengan pria yang kata
Morelli berada di apartemen itu bersama Ziggy. Si saksi misterius?” “Raib.” Aku mengerutkan hidung, kurang percaya. “Menurutmu ini aneh?” “Menurutku ini lebih dari aneh.” “Sepertinya Morelli ketiban sial.” Terbayang olehku Gazarra mengedikkan bahu di telepon seberang. “Yang pasti, naluri polisiku berkata, ada mata rantai yang lepas.” “Kaupikir Morelli bergabung dengan Legiun Asing?” “Kupikir, dia masih berada di sekitar sini dan berusaha keras meningkatkan peluangnya lolos dari hukuman mati … atau jangan-jangan dia akan mati karena usahanya itu.” Aku lega mendengar ada yang sependapat denganku. “Kaupunya usul?” “Bukan usul yang ingin kaudengar.” “Ayolah Eddie. Aku butuh bantuan.” Dengusan lagi. “Kau jangan melacak persembunyiannya di tempat teman atau kenalannya. Dia lebih cerdik dari itu. Yang bisa kuanjurkan ini doang: carilah Carmen Sanchez dan pria yang kata Morelli berada di apartemen itu bersama Ziggy. Andai aku di posisi Morelli, aku pasti bernafsu menemukan dua individu hilang itu, mungkin untuk membuktikan ketidakbersalahanku, atau justru untuk memastikan mereka tak bisa membuktikan kesalahanku. Aku tak punya bayangan gimana kau akan berhasil. Kami saja tidak mampu melacak mereka, dan kemungkinan besar kau juga tidak.” Kuucapkan terima kasih pada Gazarra dan meletakkan telepon. Sepertinya gagasan terbaik adalah mencari saksi-saksi itu. Yang kucemaskan bukan kemustahilan misi ini. Yang kupedulikan adalah, jika mulai melacak jejak Carmen Sanchez, mungkin aku menelusuri jalur yang sama dengan Morelli dan mungkin kami akan bersilangjalan lagi. Mulai dari mana? Gedung apartemen Carmen. Aku bisa berbincang-bincang dengan para tetangga, dan barangkali mendapat kontak teman-teman dan keluarganya. Apa lagi? Bicara dengan si petinju, Benito Ramirez. Bila Ramirez dan Ziggy memang seakrab itu, barangkali Ramirez kenal Sanchez. Bahkan, jangan-jangan dia punya petunjuk mengenai para saksi hilang. Kurampas sekaleng soda dari kulkas dan sekotak Fig Newtons dari lemari dapur, memutuskan untuk menemui Ramirez terlebih dahulu. Stark street berpangkal di tepi sungai, tepat di udara gedung parlemen, dan mengarah ke timur laut. Berimpitan usaha-usaha kecil yang kurang sukses, barbar, bandar-bandar narkoba, serta rumah-rumah identik bertingkat tiga yang muram, jalan ini merentang hampir sejauh satu mil. Rata-rata rumah kembar itu dirombak jadi apartemen atau kamar kos. Hanya segelintir yang dilengkapi AC. Semuanya penuh-padat. Begitu cuaca panas, para penghuni berduyun-duyun dari rumah mereka, mengerubungi undak-undak dan sudut jalan, mencari udara segar dan aktivitas. Pukul 10.30 pagi, jalan ini masih relatif tenang. Pertama kali ngider, gym itu terlewat olehku. Aku mengecek-ulang alamat pada lembaran yang kurobek dari buku telepon, kemudian putar-balik, melaju lambatlambat, memantau nomor-nomor bangunan. Mataku tertumbuk pada reklame itu, Stark Street Gym, dicetak dengan profesional dalam huruf hitam pada jendela pintu. Kurang menonjol, tapi kupikir toh mereka juga tidak perlu berlebihan. Mereka ‘kan tidak berniat bersaing dengan Lady Spa. Sesudah dua blok dari sana kuberhasil menemukan parkir lowong. Aku mengunci Nova, mencantolkan tas gedeku di bahu, dan mulai melangkah. Kutinggalkan fiasko dengan Ny. Morelli di belakang, merasa keren banget dalam
setelan dan tumit tinggiku, menenteng-nenteng aneka perangkat pemburu-buron. Kendati malu mengakuinya, aku mulai menikmati peranku ini. Bagi wanita yang ingin menambah aura dinamis dalam setiap langkahnya, menurutku tak ada yang lebih tepat daripada menyimpan borgol dalam tasmu. Gym itu terletak di pertengahan blok, berseberangan dengan A & K Auto Body. Tirai-tirai besi bengkel itu menganga lebar, dan suara meniru eong kucing serta kecupan terdengar saat aku menyusuri trotoar. Darah New Jerseyku yang kental mendesakku untuk membalas dengan seruan melecehkan yang setimpal. Tetapi, mengingat hal utama dalam keselamatan diri adalah jangan menarik perhatian, maka aku mengatup mulut rapat-rapat dan bergegas jalan. Di seberang, perhatianku tersita oleh refleks mundur sosok bias di jendela lantai 3 yang berdebu. Seseorang tadi mengamatiku. Tidak heran. Mobilku baru saja meraung-raung sepanjang jalan ini, bukan hanya sekali tapi dua. Tadi pagi peredamku copot, sehinggamesinku telah menggeram dengan berisik selagi aku melewati muka toko-toko dari bata di Stark Street ini. Bukan operasi yang pantas disebut undercover. Pintu gym membuka ke selasar sempit dengan undakan naik. Lorong itu bernuansa hijau institusi, penuh grafiti serta bekas-bekas tangan yang telah menumpuk selama 20 tahun. Baunya parah, campuran pesing dan aroma kecut yang berasal dari keringat dan badan pria. Di atas, keadaan lantai dua yang bergaya gudang tidak lebih baik. Segelintir laki-laki sedang latihan angkat beban. Ring kosong. Kantong-kantong pasir diangguri. Jangan-jangan semua orang sedang keluar, main lompat tali atau nyolong mobil. Ini pikiran terakhir yang sempat melintasi benakku. Begitu aku masuk, segala aktivitas mereda, dan walaupun di jalan tadi aku sudah merasa kurang nyaman, itu tak seberapa ketimbang yang kualami di sini. Dalam bayanganku, seorang juara dikelilingi aura pro fesionalisme. Aku tidak siap menghadapi atmosfer ini yang penuh curiga dan bermusuhan. Jelas, aku dianggap wanita kulit putih yang bukan dibesarkan di jalanan, tahu-tahu menginvasi gym pria kulit hitam. Dan andai penolakan bisu ini sedikit saja lebih dahsyat, sudah pasti aku akan mental ke belakang, menuruni tangga bagai korban santet. Aku melebarkan posisi kakiku (yang lebih bermaksud agar tidak limbung saking ngerinya, dan bukan ingin membuat bocah-bocah itu terkesan) kemudian menaikkan tasku yang melorot di bahu. “Aku mencari Benito Ramirez.” Sebuah gunung otot raksasa bangkit dari bangku latihan. “Aku Ramirez.” Perawakannya melebihi 183 cm. Suaranya dibikin sok manis, bibirnya mengembang dalam senyum genit. Efek keseluruhannya aneh, suara dan senyum itu bertolakbelakang dengan tatapannya yang waspada dan penuh selidik. Aku melintasi ruangan dan mengulurkan tangan. “Stephanie Plum.” “Benito Ramirez.” Genggamannya kelewat lembut, terlalu lama. Lebih terasa seperti belaian ketimbang j abat tangan, dan sensualitas macam ini mengganggu. Sebelumnya, aku berasumsi bahwa tinju adalah olahraga ketangkasaan dan saling serang yang bertujuan memenangkan pertandingan, bukan mengakibatkan lawanmu cacat. Toh, Ramirez kelihatan akan menikmati melakukan penyiksaan itu. Ada sesuatu pada sorot matanya yang lekat, lubang gulita yang menyedot masuk apa saja tetapi tanpa ada yang keluar; persembunyian yang cocok bagi setan. Ditambah seringainya yang agak bloon dengan kemanisan yang tidak wajar, sehingga berkesan kurang waras. Kumengi-rangira apakah mimik itu disetel dengan sengaja, tercipta untuk bikin keder sang lawan menjelang bel pertandingan. Sengaja atau tidak, tampangnya betul-betul mengerikan.
Kucoba membebaskan tanganku dan ia malah mempererat genggamannya. “Jadi, Stephanie Plum,” kicaunya dengan merdu, “apa yang bisa kulakukan untukmu?” Sebagai pembelanja bagi E