INVESTASI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN H.M. Kamal Hidjaz. Fak.Hukum Universitas Muslim Indonesia / STIE YPUP ABSTRAK Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan juga dituntut untuk dapat memelihara iklim usaha yang baik dan tidak memberatkan dunia usaha dan para calon investor untuk menanamkan investasinya. Investasi sebagai suatu kegiatan dalam upaya untuk meningkatkan dan atau mempertahankan nilai modalnya, baik yang berbentuk uang tunai (cash money), peralatan (equipment), aset tak bergerak, hak atas kekayaan intelektual, maupun keahlian. Kegiatan investasi diklasifikasikan atas dua kategori yaitu Investasi Langsung dan Investasi Tak Langsung. Tingkat pertumbuhan investasi di Sulawesi Selatan selama lima tahun terakhir berjalan lambat karena berbagai faktor, termasuk karena akibat adanya Peraturan daerah (Perda) yang mendistorsi iklim investasi. Kondisi itu terlihat dari pertumbuhan investasi Sulawesi Selatan periode 2000-2005 rata-rata hanya 4,45 persen yakni dari Rp 5,6 triliun tahun 2000 menjadi Rp7,04 triliun tahun 2005. Untuk mendongkrak investasi langsung di Sulawesi Selatan, hal pertama yang perlu kita pahami adalah memetakan persoalan-persoalan yang dihadapi Sulawesi Selatan dalam kaitan dengan iklim dan daya saing investasi. Kata Kunci: Investasi, Iklim, Daya Saing, Pengembangan Investasi
PENDAHULUAN Setelah krisis multidimesional melanda negeri kita kondisi dan perkembangan yang diutarakan tersebut mengalami kemunduran. Proses perubahan tatanan sosial dan ekonomi pada era reformasi menimbulkan tantangan sekaligus harapan-harapan. Kita dihadapkan pada kenyataan pahit bagaimana mesin pertumbuhan perekonomian nasional yang berbasiskan perluasan kapasitas terpasang industri ternyata belum mampu untuk tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan. Banyak perusahaan-perusahaan domestik yang menggurita sebagai perusahaan konglomerasi mengalami kemundurannya, dan bahkan sebagian gugur dimedan laga terkena imbas negatif krisis ekonomi. Kekurang hati-hatian dalam mengelola perusahaan dalam kondisi lingkungan eksternal perusahaan yang berubah cepat (turbulent change) merupakan salah satu faktor utama dari kegagalan tersebut. Praktek bisnis yang tercela dan kasus-kasus kecurangan dalam politik berbisnis yang berbau korupsi, kolusi dan nepotisme mengakibatkan perusahaanperusahaan tersebut sangat rentan menghadapi badai krisis dan lingkungan yang bergejolak. Kecerobohan dan praktek-pratek tidak terpuji ini membawa implikasi pada peningkatan biaya rente dan pemborosan finansial yang berlebihan. Akibatnya perusahaan-perusahaan tersebut tidak lagi memiliki daya saing dalam percaturan untuk memperebutkan pangsa pasar produk-produk Indonesia di perekonomian Internasional. Posisi daya saing sebagian produk ekspor Indonesia terpaksa terkerek jatuh pada tingkat terbawah dalam ranking daya saing internasional. Kita terpaksa mengakui keunggulan
daya saing dari negara-negara pengekspor produk-produk serupa seperti China, Malaysia, India, Vietnam, dan Korea Selatan yang dapat bertahan dan bahkan meraih dan memperluas pangsa pasar ekspor mereka. Pengusaha-pengusaha pribumi di negara tetangga tersebut dapat meraih keunggulan karena mereka telah melakukan praktek berbisnis secara lebih baik dari apa yang telah diperbuat oleh pengusaha-pengusaha domestik kita. Tidaklah heran jika pada saat ini mereka tetap berjaya. Melihat lebih lanjut pada pengalaman negara lain dalam mempersiapkan datangnya gelombang globalisasi kita terpaksa harus belajar banyak dari negara lain sebagai contoh dapat kita lihat dengan pengalaman negara China. China memiliki jumlah penduduk yang tinggi di dunia, melebihi jumlah penduduk di Indonesia, negara ini sama-sama memperoleh kemerdekaannya tidak jauh berbeda dengan Indonesia. China pun sedang dalam proses melakukan transformasi di bidang sosial-ekonominya sejak dicanangkannya revolusi kebudayaan beberapa puluh tahun yang lalu. Tantangan yang dihadapi oleh para pelaku bisnis dan calon investor di Sulawesi Selatan adalah bagaimana pemerintah daerah dan masyarakat dapat memberikan iklim yang kondusif untuk terselenggaranya investasi. Pada tingkatan pemerintah daerah, masalah yang dihadapi adalah masih belum terlihatnya dengan jelas dalam strategi pengembangan industrialisasi. Strategi yang demikian sangat diperlukan sehingga birokrasi pada pemerintah daerah Propinsi Sulawesi Selatan dan pemerintah daerah kabupaten, dapat menyatu-padukan dan melakukan koordinasi atas rancangan-rancangan pengembangan investasinya di daerah untuk dapat mendukung tercapainya target-target dari strategi industrialisasi. Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan juga dituntut untuk dapat memelihara iklim usaha yang baik dan tidak memberatkan dunia usaha dan para calon investor untuk menanamkan investasinya. Akhirnya bagi masyarakat pada era demokratisasi saat ini yang sedang marak akhir-akhir ini dengan berbagai tuntutan-tuntutan yang berlebihan janganlah mengorbankan iklim usaha yang telah terbina. Pengusaha dan calon investor di manapun menuntut kenyamanan, keamanan dan kepastian berusaha dari proses penanaman modalnya di daerah. Kemajuan dan peningkatan volume produksi dari kegiatan-kegiatan investasi yang diunggulkan sudah pasti lambat laun, akan memberikan efek pengganda pada perekonomian lokal dan pendapatan rumah tangga masyarakat disekitarnya. Yang jelas baik kalangan pebisnis sendiri maupun para pelaku-pelaku ekonomi dan administrasi pemerintahan perlu melakukan perubahan-perubahan cara pandang, penerapan tata kelola perusahaan dan tata kelola administrasi pemerintahan yang saling mendukung demi terciptanya percepatan investasi di masing-masing daerah yang ada di Sulawesi Selatan. Kondisi kehidupan perekonomian dan tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera merupakan harapan yang banyak ditunggu oleh putra-putri Indonesia dalam menyongsong masa depannya. Harapan yang mereka sangat tunggu adalah kapankah lapangan kerja di sekitar mereka dapat tersedia dengan cukup dan memadai. Mereka telah melihat sendiri dan turut serta dalam menggulirkan berbagai reformasi, tentunya dengan harapan pada suatu saat akan dapat mewujudkan cita-cita tersebut. Lapangan kerja yang memadai dan penerapan sistem balas jasa di perusahaan secara berkecukupan dapat terselenggara apabila proses investasi secara langsung dapat bergulir seperti sediakala. Bahkan untuk mengejar keterlambatan dalam memacu mesin perekonomian
kita, ternyata masih diperlukan lagi lonjakan jumlah investasi yang besar dan dahsyad. Kondisi perekonomian di Sulawesi Selatan yang berangsur baik dalam beberapa tahun terakhir masih perlu didorong lebih lanjut dengan memacu kehadiran dan tambahan investasi yang berasal dari masyarakat, investasi PMDN maupun investasi PMA. PENGERTIAN INVESTASI Istilah investasi dan penanaman modal merupakan istilah-istilah yang dikenal, baik dalam kegiatan bisnis sehari-hari maupun dalam bahasa perundang-undangan. Di kalangan masyarakat luas, kata investasi memiliki pengertian yang lebih luas karena dapat mencakup baik investasi langsung (direct investment) maupun investasi tak langsung (portfolio investment), Secara umum, investasi dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan baik oleh orang pribadi (natural person) maupun badan hukum (juridical person), dalam upaya untuk meningkatkan dan atau mempertahankan nilai modalnya, baik yang berbentuk uang tunai (cash money), peralatan (equipment), aset tak bergerak, hak atas kekayaan intelektual, maupun keahlian. Dari pengertian di atas, dapat ditarik unsur-unsur terpenting dari kegiatan investasi, yaitu: 1. Adanya motif untuk meningkatkan atau setidak-tidaknya mempertahankan nilai modalnya; 2. Bahwa modal tersebut tidak hanya mencakup hal-hal yang bersifat kasat mata dan dapat diraba (tangible), tetapi juga mencakup sesuatu yang bersifat tidak kasat mata dan tidak dapat diraba (intangible). Pada dasarnya, kegiatan penanaman modal dapat diklasifikasikan atas dua kategori besar, yaitu sebagai berikut : 1.
Investasi Langsung (Direct Investment) atau Penanaman Modal Jangka Panjang Dalam konteks ketentuan perundang-undangan di bidang penanaman modal di Indonesia, yaitu Undang-Undang tentang Penanaman Modal Asing (UU No.1 Tahun 1967 Jo UU No. 11 1970) dan Undang-Undang tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (UU NO.6 Tahun 1968 Jo UU No. 12 1970), pengertian penanaman modal hanya mencakup penanaman modal secara langsung. Pengertian investasi langsung ini sering kali dikaitkan dengan keterlibatan pemilik modal secara langsung dalam kegiatan pengelolaan modal. Dalam konteks di atas, investasi asing langsung (foreign direct investment) diartikan sebagai berikut. ''Foreign direct investment is contribution coming from abroad, owned by foreign individuals or concerns to the capital of an enterprise must be freely convertible currencies, industrial plants, machinery or equipment with the right to re-export their value and to remit profit abroad. Also considered as direct foreign investment are those investments in local currency originating from resources which have the right to be remitted abroad”. Sornarajah merumuskan investasi asing langsung sebagai berikut. “Involves the transfer of tangible or intangible assets from one country into another for the purpose of their use in that country to guarantee wealth under the total or partial control of the owner of the asset.''
2.
Pengertian yang agak luas dari foreign direct investment terdapat pada Encyclopedia of Public International Law yang merumuskan foreign direct Investment sebagai berikut. “A transfer of funds or materials from one country (called capital exporting country) to another country (called host country) in return for a direct participation in the earnings of that enterprise.” Sementara itu, International Monetary Fund (IMF) Balance of Payment Manual memberikan batasan yang lebih sempit, yaitu sebagai berikut: “1nvestment that is made to acquire a lasting interest in an enterprise operating in an economy other than that of an investor the investor’s purpose being to have an effective choice in the management of the enterprise.” Investasi langsung ini dapat dilakukan dengan mendirikan perusahaan patungan (joint venture company) dengan mitralokal; melakukan kerja sama operasi (joint operation scheme) tanpa membentuk perusahaan baru; mengkonversikan pinjaman menjadi penyertaan mayoritas dalam perusahaan lokal; memberikan bantuan teknis dan manajerial (technical and management asistance) maupun dengan memberikan lisensi; dan lain-lain. Investasi Tak Langsung (Indirect Investment) atau Portofolio Investment Pada umumnya, dicapai kesepakatan mengenai perbedaan antara investasi langsung dengan investasi tak langsung. Perbedaannya dapat digambarkan sebagai berikut: a. Pada investasi tak langsung pemegang saham tidak memiliki control pada pengelolaan perseroan sehari-hari. b. Pada investasi tak langsung, biasanya risiko ditanggung sendiri oleh pemegang saham sehingga pada dasarnya tidak dapat menggugat perusahaan yang menjalankan kegiatannya. c. Kerugian pada investasi tak langsung, pada umumnya tidak dilindungi oleh hukum kebiasaan internasional (international customary law). Investasi tak langsung pada umumnya merupakan penanaman modal jangka pendek yang mencakup kegiatan transaksi di pasar modal dan di pasar uang. Penanaman modal ini disebut sebagai penanaman modal jangka pendek karena pada umumnya mereka melakukan jual beli saham dan atau mata uang dalam jangka waktu yang relatif singkat, tergantung kepada fluktuasi nilai saham dan atau mata uang yang hendak mereka perjualbelikan.
IKLIM INVESTASI DI SULAWESI SELATAN Tingkat pertumbuhan investasi di Sulawesi Selatan selama lima tahun terakhir berjalan lambat karena berbagai faktor, termasuk karena akibat adanya Peraturan daerah (Perda) yang mendistorsi iklim investasi. Kondisi itu terlihat dari pertumbuhan investasi Sulawesi Selatan periode 2000-2005 rata-rata hanya 4,45 persen yakni dari Rp 5,6 triliun tahun 2000 menjadi Rp7,04 triliun tahun 2005. Khusus investasi sektor swasta yang mendapatkan fasilitas PMA dan PMDN hanya meningkat dari Rp 573 miliar tahun 2001 menjadi Rp 639 miliar pada tahun 2005. Sementara tahun 2006, investasi PMDN tercatat RP 36,9 miliar untuk lima proyek dengan menyerap 443 orang tenaga kerja serta PMA mencapai 33,2 juta dolar AS dengan dua proyek menyerap 107 tenaga kerja termasuk tiga tenaga kerja asing.
Rendahnya pertumbuhan investasi tersebut karena adanya beberapa kendala yang perlu mendapat perhatian semua pihak seperti masalah keamanan, kepastian hukum, masalah yang berkaitan dengan otonomi daerah, perburuhan, kepabeanan, perpajakan, keimigrasian dan pertanahan. Sedang yang terkait masalah otoda karena adanya Perda yang dinilai mendistorsi iklim investasi. Sebab, sebanyak 32 persen dari 869 Perda yang diteliti Komisi Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) pada 2003 dinilai mendistorsi iklim investasi dan sebanyak 268 Perda telah dibatalkan Mendagri, termasuk beberapa Perda dari Sulawesi Selatan. Padahal provinsi Sulawesi Selatan memiliki potensi besar untuk menyerap investasi. Karena itu, semua pihak harus dapat menciptakan iklim yang kondusif guna masuknya investor. Sebab itu, menghadapi perkembangan lingkungan strategis yang mengarah pada pasar modal, daerah ini akan diperhadapkan pada peluang yang lebih besar untuk dimanfaatkan sekaligus merupakan tantangan yang semakin berat. Lambatnya pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan disebabkan perkembangan investasi kurang menggembirakan yaitu hanya tumbuh 4,45 persen per tahun dari RP 5,6 triliun pada tahun 2000 menjadi RP 7,04 triliun pada tahun 2005. Pada periode 2004 - 2006, sejumlah pemodal asing maupun nasional akan berinvestasi di daerah ini baik sektor kelistrikan (Korea), pembangunan kilang minyak (Arab Saudi dan patner), perkebunan kelapa sawit (swasta nasional), pabrik gula (Taiwan) dan investor lokal lainnya, namun hingga saat ini belum merealisasikan proyeknya karena terhambat aturan dari pusat. Beberapa kegiatan koordinasi dan kerjasama dibidang penanaman modal dapat memacu laju pertumbuhan ekonomi wilayah, yaitu dengan melakukan kerjasama dengan lembaga pemerintah daerah lainnya, lembaga pemerintah tingkat pusat, lembaga swasta dan dunia usaha dalam dan luar negeri. Hal ini hanya mungkin terjadi bilamana komitmen daerah dan pelibatan stakeholder yang dijalin dalam tim kerja dengan mengenyampingkan evoria sektoral. Bila melihat kondisi investasi yang dicapai pada tahun 2007 untuk PMDN Rp. 244.670,67 (juta) meningkat bila dibanding tahun sebelumnya Rp. 130.425,95 (juta), sedangkan PMA 141.430,87 (US Ribu). Dimungkinkan pencapaian pertumbuhan investasi 5 tahun kedepan 1,3 trilium untuk PMDN dan 1,5 juta USD. Untuk pencapaian pertumbuhan investasi 5 tahun kedepan dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan strategis nasional khususnya agenda pemilihan umum, penciptaan birokrasi yang efisian, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi serta iklim usaha yang kondusif dibidang ketenakerjaan dan keamanan berusaha. Dengan perbaikan faktor penunjang tersebut diharapkan realisasi penanaman modal akan membaik secara signifikan. Bidang investasi yang difokuskan untuk menunjang pertumbuhan investasi kedepan adalah pengembangan 6 komoditi unggulan provinsi, energi, transportasi dan infrastruktur lainnya. Sementara Deputi Sekretaris Wakil Presiden bidang ekonomi, Susiyati B. Hirawan mengatakan, pemerintah sudah berupaya untuk memperbaiki iklim investasi di Indonesia melalui perbaikan di berbagai bidang regulasi yang terkait dengan investasi guna masuknya investor ke negeri ini. Salah satu kebijakan pemerintah di bidang ini, yakni Inpres No.3 tahun 2006 tentang paket kebijakan investasi yang mencakup aspek-aspek umum termasuk memperkuat kelembagaan pelayanan investasi dan sinkronisasi peraturan Daerah dan Pusat. Selain itu, Perpres No. 42 tentang Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KPPI) dengan tujuan untuk mendorong investasi asing dan domestik pada sektor infrastruktur serta
Pengembangan Ekonomi Khusus Indonesia (PEKI). Semua usaha tersebut dilakukan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, menambah kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan. Karena itu, kegiatan investasi mutlak perlu dilakukan supaya dapat membuka lapangan kerja baru sehingga mengurangi tingkat pengangguran yang pada gilirannya menekan angka kemiskinan. Pada tingkat regional, persaingan antar sesama negara di kawasan Asia semakin tajam karena negara-negara pesaing seperti Cina, India, Thailand dan pendatang baru Vietnam yang menyebabkan upaya menarik investasi cukup berat. Kita berharap dengan adanya perbaikan iklim investasi, Indonesia, termasuk Sulawesi Selatan kembali menjadi tempat tujuan usaha yang menarik baik investor dalam negeri maupun asing. Setiap daerah harus memiliki daya tarik terhadap investasi sehingga dalam otonomi daerah diharapkan ikut mendorong daerah lainnya agar maju dan lebih kreatif menarik investor. Prinsip dan konsep dasar ekonomi bisnis di Sulawesi Selatan diperlukan baik sebagai jiwa maupun untuk diaplikasikan langsung dalam penyusunan kerangka pemikiran dasar dan bahkan dalam perencanaan pembangunan daerah Sulawesi Selatan sebagai daerah otonom. Pengertian otonomi yang sangat menentukan dalam pemilihan prinsip dan konsep ekonomi adalah pemandirian keuangan daerah dan tentu saja optimisasi kemajuan daerah. Untuk mengelola sisi ini tentu diperlukan jiwa maupun instrumen (tools) yang sesuai. PENGEMBANGAN INVESTASI di PROVINSI SULAWESI SELATAN 1)
Konsep City Marketing Dalam kondisi persaingan efisiensi yang ketat seperti pada era otonomisasi daerah, pengelola daerah perlu berhati-hati dalam pemilihan produk unggulan dan penciptaan kondisi usaha yang tepat. Beberapa prinsip dasar ekonomi perlu dipegang kuat agar pemenangan persaingan yang dimaksud bisa optimal dan berkelanjutan (sustainable). Optimal berarti dalam daya saingnya di pasar bisa menempati posisi relatif unggul di banding produk-produk daerah lain ataupun negara lain. Berkelanjutan berarti ada usaha yang kontinyu untuk senantiasa mempertahankan keunggulan produk dalam persaingan melalui penelitian dan pengembangan yang jitu di tengah pasar regional, nasional dan intenasional yang dinamis. Dalam hal inilah konsep pemasaran bisnis dalam bentuk termodifikasi untuk pengelolaan regio menjadi relevan. Konsep pemasaran memang sudah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dunia bisnis biasa (private sector) yang penuh dengan persaingan. Setiap perusahaan swasta yang ingin memenangkan persaingan di pasar, sadar atau tidak sadar, menerapkan prinsip-prinsip pemasaran yang bisa dipelajari dengan banyak cara dari berbagai sumber literatur, untuk ini tersedia melimpah dan merupakan cabang ilmu yang tidak terlewatkan bagi orang-orang yang menggeluti dunia bisnis atau mempelajari ekonomi perusahaan secara formal. Namun belum demikian halnya dengan sektorpublik (public sector). Pemasaran masih merupakan barang baru bagi dunia kebijakan publik untuk persaingan antar wilayah. Penerapan yang mulai populer sebagai pegangan adalah konsep city marketing. Konsep ini berisi usaha yang sistematis dari pihak publik, sektor kota atau regio
untuk mengelola daerahnya sesuai kelebihan dan kekurangannya bersama-sama dengan private sector yang sesuai, baik yang berada di dalam maupun berasal dari luar daerah. City marketing adalah pengelolaan kota atau regio dengan pendekatan pasar (marketoriented). Karenanya pengetahuan pengelola daerah yang komprehensif tentang daerahnya sendiri mutlak diperlukan sebelum melangkah maju ke arah menawarkan pada pihak lain atau mengajak pihak lain bekerja sama melakukan pembangunan yang saling menguntungkan (public-private partnership). Dalam bentuknya yang paling sederhana, city marketing adalah konsep memajukan regio yang harus dipegang oleh manajer regio guna mengoptimalkan kemajuan. Sesuai namanya, konsep ini menggariskan optimisasi dari sisi produk, harga, promosi dan distribusi sesuai dengan yang dikenal sebagai bauran pemasaran atau marketing mix. Bagi pengelola suatu regio, (i) produk tidak lain adalah berbagai sumber daya manusia, alam, dan sebagainya yang tersedia atau bisa diusahakan untuk disediakan. (ii) Harga bisa diartikan hal-hal yang berkaitan dengan yang harus dikeluarkan oleh pihak-pihak yang akan bekerjasama atau membantu pembangunan regio sekaligus memperoleh manfaat. Termasuk didalamnya pajak daerah, retribusi, tingkat sewa ruang usaha, dan lain-lain. (iii) Promosi menjadi hal yang sangat penting terutama dalam penyebaran informasi tentang potensi daerah serta kemudahan-kemudahan yang bisa dinikmati dari kebijakan publik seperti rendahnya pajak, retribusi dan sewa ruang usaha. Komponen keempat yakni (iv) distribusi berkaitan dengan kemudahan menjangkau daerah yang bersangkutan untuk membeli produk, menginvestasi, dan sebagainya. Distribusi yang baik ditandai oleh adanya sistem transportasi dalam daerah yang memadai, pelabuhan laut dan lapangan udara yang modern dan mudah dijangkau, dan sebagainya. Sebagai gambaran komparatif, kita bisa mencermati kemiripan konsep ini dengan konsep pemasaran produk-produk pariwisata. Banyak karakteristik pemasaran produk turisme menyerupai penerapan pemasaran dalam memajukan daerah. Termasuk di dalamnya penyebaran informasi tentang hal-hal yang menarik dari suatu daerah tujuan turis, modernisasi pelabuhan udara, dan lain-lain. Serupa dengan itu bagi pengelola daerah adalah penyebaran informasi tentang hal-hal yang menarik dari daerahnya, misalnya, sebagai tujuan investasi sumber produk impor dengan pelabuhan laut yang modern di dalam daerah yang bersangkutan. Diharapkan, apabila keempat komponen bauran pemasaran daerah dikenal baik dan dioptimalkan daya tariknya maka kemandirian keuangan daerah maupun kemajuan daerah bisa optimal pula. Dalam mengkaji guna penyusunan kerangka pemikiran dasar tentang suatu daerah, perlu disadari bahwa pekerjaan mengelola pembangunan daerah tidak hanya terbatas sampai pada pelayanan di meja kantor pemerintah daerah (mengurus izin investasi, dan lain-lain). Semangat city marketing adalah semangat yang tidak sebatas itu. Pengelola daerah yang bersemangat city marketing adalah pengelola yang berpikir sampai pada produk akhir dan kesinambungan usaha sektor swasta. Bahkan sampai memandang produk akhir dan kelangsungan hidup sektor swasta sebagai produk akhir pengelola daerah juga. Karena itu pengelola daerah perlu memiliki keahlian entrepreneurship yang kuat karena mereka akan berhadapan ataupun bekerjasama dengan pihak swasta yang telah terlebih dahulu mengandalkan entrepreneurship sebagai kunci keberhasilannya.
Keahlian ini memang tidak mudah ditemukan di kalangan birokrat daerah, apalagi di negara yang telah sangat lama menjalankan sistem pemerintahan yang sentralistik. Bergeser dari sistem dimana pemerintah daerah sangat tergantung pada pusat ke sistem baru dimana pemerintah daerah harus mandiri (mampu mendanai dirinya sendiri, dan sebagainya) adalah satu proses yang tidak semudah membalik telapak tangan. Sementara pergeseran ini sudah harus terjadi dan tidak boleh terlalu lambat. Untuk mempercepat itu, pelibatan orang-orang yang berpengalaman di sektor swasta dalam penyusunan kerangka pemikiran dasar tentang daerah dan bahkan perencanaan pembangunan daerah otonom yang bersemangat city marketing perlu dilakukan. Orang-orang swasta diharapkan bisa berkontribusi dalam optimisasi tiap komponen bauran pemasaran daerah. Sebagai contoh yang berkaitan dengan salah satu komponen bauran pemasaran yakni harga, tingkat pajak dan retribusi yang optimal bagi baik keuangan daerah maupun pembayarnya (swasta) sebaliknya merupakan buah dari perspektif yang dirumuskan oleh pengelola daerah bersama-sama dengan orang-orang yang berpengalaman di dunia swasta. Persepsi bersama ini kemudian dituangkan dalam kerangka pemikiran dasar yang kemudian menjadi acuan dalam penggarisan rencana-rencana pembangunan maupun perbaikan-perbaikan rencana dalam perjalanan waktu. Penggunaan orang-orang berpengalaman swasta ini selain meningkatkan kualitas kerangka pemikiran dasar daerah, juga meningkatkan kerealistisan kerangka pemikiran itu sendiri. Pemikiran-pemikiran yang terlalu ideal dari kalangan birokrat ataupun akademisi bisa berubah menjadi semakin membumi bila dikombinasikan dengan pengalaman pihakpihak swasta ini. Apabila konsep ini benar-benar akan diterapkan maka jangan sampai hanya menjadi pegangan bagi para pengkaji kerangka pemikiran daerah dan perencana. Penerapan konsep ini membutuhkan persepsi yang sama dari seluruh rantai daerah yang terkait (dari pengkaji kerangka pemikiran dasar sampai ke pelaksana di desa dan kelurahan dan bahkan pelaksana di tingkat yang lebih rendah). Jangan sampai ada kelompok tertentu dalam rantai yang masih mempertahankan cara-cara lama misalnya meningkatkan pendapatan pemerintah daerah dengan menekan dan mengorbankan sektor swasta. Hal sangat perlu dicegah pada tahap-tahap awal otonomisasi daerah mengingat masih bercokolnya banyak orang didikan sistem lama dalam sistem baru ini. 2)
Pemilihan Produk Unggulan dan Peningkatan Nilai Tambah Setelah suatu para pengelola mengenal dan menyadari pentingnya semangat memandang daerahnya sendiri dengan berorientasi pada pasar atau bersemangat city marketing, pertanyaan selanjutnya adalah pemilihan produk-produk yang bisa dikelola investor untuk meningkatkan pendapatan daerah. Ini memerlukan kajian tersendiri berdasarkan informasi obyektif. Pada dasamya, lengkapnya informasi dan cara pengolahan informasilah yang menentukan baik-buruknya kesimpulan tentang produk-produk apa yang bisa diunggulkan untuk dikelola. Informasi yang disebutkan sebelumnya merupakan gambaran yang cukup lengkap tentang aspek, sosial, budaya, hukum, keamanan, ketertiban dan potensi ekonomi dati suatu daerah. Tentu pengembangan tersebut masih sangat mungkin dilakukan, menuju gambaran yang lebih baik tentang potensi daerah. Dengan data kuantitatif dan kualitatif yang cukup lengkap ini, kita bisa mengkaji lebih lanjut tentang produk apa saja yang unggul. Ini harus memperhatikan tidak hanya
kondisi internal, tapi juga kondisi eksternal. Gambaran internal memberikan informasi tentang apa saja yang bisa diperbuat, sedangkan gambaran eksternal memberikan pembatas bahwa tidak semua yang bisa diperbuat berdasarkan data internal akan memberi manfaat dan berkesinambungan. Hal ini disebabkan karena pihak eksternal memiliki kebebasan penuh untuk berperan atau tidak sebagai calon investor, calon pembeli, calon mitra dalam pengadaan faktor produksi, dan sebagainya. Selain itu tentu saja daerah yang bersangkutan akan tetap bisa mengandalkan daerahnya sendiri sebagai calon investor, calon pembeli dan calon penyuplai faktor produksi. Dengan menganggap bahwa keunggulan bersaing bisa diciptakan, seperti dinyatakan oleh Michael E. Porter dalam hasil kajian terkenalnya tentang keunggulan bersaing dari negara-negara di dunia, kita bisa mendapat gambaran kasar tentang produk-produk apa saja yang termasuk produk unggulan suatu daerah. Berdasarkan model Porter yakni the diamond of national advantage model, data yang diperoleh tentang produk tertentu di daerah tertentu bisa dikelompokkan ke dalam empat kelompok : a. Informasi tentang faktor-faktor produksi yang diperlukan untuk pembuatan produk yang bersangkutan. b. Informasi tentang permintaan terhadap produk yang bersangkutan di daerah yang bersangkutan. c. Ada-tidaknya produsen terkait atau yang menopang produk yang bersangkutan. d. Kecanggihan strategi dan struktur perusahaan dan pola persaingan di daerah yang bersangkutan. Memiliki keunggulan kompetitif bukan serta merta akan mengakibatkan produk ini langsung dimasukkan dalam perencanaan untuk dimajukan. Perkembangan pasar di luar daerah yang bersangkutan masih perlu dikaji untuk mendapatkan gambaran tentang besarnya pasar total dan arah perkembangannya, apakah cenderung membesar atau sedang menciut drastis. Hal ini mengingat sehebat-hebatnya suatu daerah dalam persaingan memasarkan produk tertentu, jika pasarnya kecil, telah memudar, atau telah melewati masa puncaknya dan sedang dalam proses semakin menciut, kita harus berhati-hati. Perlu dipelajari lebih lanjut apakah pasar masih bisa dikembangkan kembali atau memang pembeli atau pelanggan telah beralih ke produk yang lain, inilah pertanyaan yang masih harus dijawab untuk memunculkan keyakinan apakah akan memodifikasi hal-hal yang ada dalam bauran pemasaran bisnis produk yang bersangkutan atau sama sekali meninggalkan produk ini selamanya karena tak ada harapan lagi dan mencari produk yang lain. Kajian standar tersebut lebih berkaitan dengan produk-produk industri, terutama yang membutuhkan teknologi tinggi. Bagi negara berkembang yang pada umumnya sangat berpotensi mengembangkan produk-produk pertanian, besar kemungkinan suatu daerah berpotensi bukan pada produk yang ada melainkan pada produk pengembangan lanjutan. Misalnya bagi daerah yang memiliki banyak produksi jenis buah-buahan, penjualan buah-buahan tanpa diolah berarti membuang kesempatan penambahan nilai tambah. Industri yang mengolah produk-produk pertanian seperti pengalengan buah-buahan sebelum dipasarkan merupakan industri yang memanfaatkan potensi pelekatan nilai tambah pada produk sebelum tiba di tangan pembeli. Dengan demikian daerah tidak hanya menjual buah-buahan tetapi juga pengalengan. Hal ini sejalan dengan optimalisasi komponenkomponen city marketing terutama produk.
Bentuk pengadaan nilai tambah bisa dilanjutkan di luar produk itu sendiri. Ini bisa dilakukan melalui perbaikan armada angkutan darat dan laut daerah, termasuk perbaikan lapangan udara dan pelabuhan laut. Semua ini dilakukan untuk merebut sebanyak mungkin nilai tambah yang berkaitan dengan transportasi produk yang kandungan nilai tambah daerah telah dioptimalkan seperti buah-buahan kaleng tadi. Hal ini sejalan dengan optimalisasi salah satu komponen city marketing yakni distribusi dan secara tidak langsung komponen harga. Optimalisasi komponen harga tidak lain karena daerah menjadi makin menarik bagi investor dan importir karena kelengkapan sarana dan prasarana transportasi. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Salah satu kegagalan pelaksanaan pembangunan pada masa lalu adalah titik berat pembangunan (termasuk investasi) terletak pada pertumbuhan ekonomi yang tidak diimbangi dengan pemerataan keadilan. Kesalahan tersebut terbukti harus dibayar mahal oleh bangsa Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang tidak diikuti oleh pemerataan pembangunan dan hasilhasilnya, telah menciptakan kesenjangan yang am at lebar antara segelintir orang yang sangat kaya dengan besarnya jumlah orang-orang yang kurang sejahtera dan bahkan sebagian tergolong ke dalam orang-orang yang sangat miskin. Besarnya jumlah masyarakat miskin pada akhirnya juga akan menimbulkan berbagai bentuk permasalahan sosial yang bermuara pada instabilitas politik dan keamanan. Di mana, akan meningkatkan country risk yang berimplikasi pada menurunnya minat investasi. Agar keadaan di atas tidak terulang, maka diperlukan pertimbangan yang matang untuk mencari berbagai alternatif pemecahannya. Salah satu bentuk jalan keluarnya adalah dengan menetapkan kebijakan dan regulasi yang lebih mendekatkan antara dunia usaha dengan masyarakat, melalui berbagai program dan inisiatif, seperti program pengembangan masyarakat (community development) dan corporate social responsibility. Dalam konteks ini, kegiatan investasi tidak hanya diabdikan bagi kepentingan para pemegang saham (shareholders), tetapi juga kepentingan para stakeholders-nya. Community Development diartikan sebagai Kegiatan pembangunan yang diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat untuk mencapai kondisi sosial ekonomi-budaya yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sebelunmya. Melalui program dan inisiatif tersebut, maka akan tercipta suatu sinergi yang saling menguntungkan antara dunia usaha dan masyarakat. Hubungan sinergis dan harmonis akan memberikan kontribusi secara positif terhadap kelanjutan (sustainability) dari kegiatan usaha. Program dan inisiatif semacam itu harus terus didorong dan difasilitasi oleh pemerintah agar tepat sasaran. Caranya, dengan meminta masukan dari semua pihak yang terkait menyangkut cara dan mekanisme implementasi yang paling tepat bagi kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat (community development). Hal itu tentu dilakukan dengan memperhatikan aspirasi dan karakteristik masyarakat setempat. Pada kegiatan investasi langsung, misalnya pada sektor pertambangan, masalah pengembangan masyarakat (community development) dimasukkan sebagai salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh investor. Kewajiban tersebut tertuang, baik dalam draft RUU Minerba (Mineral dan Batubara) maupun pada draft kontrak karya di bidang pertambangan (mineral dan batubara) yang baru.
Kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui program community development mencakup bidang kegiatan yang luas, mulai dari pendidikan; pelatihan; kesehatan; peningkatan kemampuan berusaha; peningkatan pemahaman dan kesadaran mengenai perlindungan lingkungan; peningkatan kualitas lingkungan sampai kepada kegiatan untuk meningkatkan kepedulian sosial; dan pengembangan budaya. Di samping kewajiban pemberdayaan masyarakat melalui program pengembangan masyarakat (community development) setempat, investor juga memiliki kewajiban moral untuk meningkatkan corporate social responsibilitynya kepada masyarakat di luar wilayah kegiatannya. Corporate social responsibility diartikan sebagai: komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komunitas lokal, dan masyarakat secara lebih luas. Corporate social responsibility kini telah menjadi suatu gerakan global sebagai wujud kepedulian perusahaan (investor) terhadap masyarakat dan kemanusiaan. Dalam tataran internasional, inisiatif ke arah penerapan corporate social responsibility terus berkembang sebagaimana yang diformulasikan pada berbagai instrumen internasional, antara lain: a) OECD Guidelines on Corporate Social Responsibility; b) The UN-Supported Global Reporting Initiative (guidelines for reporting on the economic, environmental and social dimension of multinational corporation); c) The ILO Declaration (a voluntary code of conduct relating to the labor and social aspects of multinational corporations); d) UN Global Compact; e) International Chamber of Commerce. Dalam perkembangan lebih lanjut, ada negara-negara tertentu seperti AS dan negaranegara industri lainnya dimana perusahaan multinasional berpusat, pemerintahnya mulai mengaitkan inisiatif penerapan CSR secara sukarela dengan kebijakan serta perjanjianperjanjian internasional yang mereka lakukan di bidang perdagangan. Pemerintah Belanda misalnya, menyaratkan kepada perusahaan-perusahaan yang ingin memeroleh akses ekspor kredit untuk menyatakan penundukan diri kepada OECD Guidelines on CSR Practices. Pelaksanaan kewajiban korporasi (termasuk investor) menyangkut community development, corporate social responsibility, serta good corporate governance akan semakin meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap investasi karena mereka menyadari bahwa kegiatan investasi tersebut juga akan meningkatkan upaya pemberdayaan masyarakat. Pada akhirnya, akan tercipta dan terpelihara pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) yang akan menyejahterakan masyarakat dan menjunjung tinggi kemanusiaan ERA DAN TANTANGAN BARU DI BIDANG SULAWESI SELATAN
INVESTASI LANGSUNG DI
Untuk mendongkrak investasi langsung di Sulawesi Selatan, hal pertama yang perlu kita pahami adalah memetakan persoalan-persoalan yang dihadapi Sulawesi Selatan dalam kaitan dengan iklim dan daya saing investasi. Uraian pada bab-bab terdahulu telah memberikan pelajaran dan informasi yang sangat berharga kepada kita, mengenai berbagai kelemahan dan kekuatan Sulawesi Selatan dalam menarik investasi. Di samping itu, perlu kita pahami berbagai
tantangan dan paradigma baru di bidang investasi langsung, baik yang bersumber dari faktorfaktor yang bersifat intern maupun ekstern. Faktor-faktor ekstern yang berpengaruh antara lain: 1. 2. 3. 4.
Globalisasi tatanan perdagangan, investasi, dan keuangan; Isu-isu global, seperti demokrasi, lingkungan hidup, dan hak-hak asasi manusia; Program pengentasan kemiskinan. Perlindungan hak-hak normatif tenaga kerja, tenaga kerja anak-anak, dan perempuan; dan lain-lain.
Di samping faktor-faktor ekstern di atas, hal yang tidak kalah pentingnya adalah faktorfaktor intern yang berpengaruh, seperti: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Perubahan paradigma pemerintahan, dari sentralisasi ke arah desentralisasi (otonomi daerah dan otonomi khusus); Demokratisasi dalam berbagai sendi kehidupan bangsa; Reformasi dalam tata kelola pemerintahan (ke arah good governance and clean government), termasuk pemberantasan korupsi; Reformasi dalam tata kelola perusahaan ke arah good corporate governance; Perubahan struktur industri ke arah resource based industry; Meningkatnya pemahaman dan perlindungan lingkungan hidup; Meningkatnya perlindungan HAM; dan lain-lain.
Melalui pemahaman yang komprehensif terhadap berbagai faktor yang berpengaruh, baik eksternal maupun internal, ditambah dengan pemahaman berbagai kelemahan dan kekuatan yang ada dalam konteks daya saing dan iklim investasi, maka diharapkan dapat dirumuskan berbagai kebijakan yang komprehensif, konsisten, dan proporsional dalam upaya mendongkrak investasi langsung di Sulawesi Selatan. Diharapkan ke depan, investasi langsung dapat berfungsi sebagai lokomotif bagi pembangunan di Sulawesi Selatan. PENUTUP a. Pertumbuhan investasi Sulawesi Selatan periode 2000-2005 rata-rata hanya 4,45 persen yakni dari Rp 5,6 triliun tahun 2000 menjadi Rp7,04 triliun tahun 2005, hal ini disebabkan karena adanya beberapa kendala yang perlu mendapat perhatian semua pihak seperti masalah keamanan, kepastian hukum, masalah yang berkaitan dengan otonomi daerah, perburuhan, kepabeanan, perpajakan, keimigrasian dan pertanahan. Sedang yang terkait masalah otoda karena adanya Perda yang dinilai mendistorsi iklim investasi. b. Untuk mendongkrak investasi langsung di Sulawesi Selatan, hal pertama yang perlu kita pahami adalah memetakan persoalan-persoalan yang dihadapi Sulawesi Selatan dalam kaitan dengan iklim dan daya saing investasi. c. Ada 2 (dua) hal yang sangat perlu diperhatikan Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan dalam penyusunan kerangka pemikiran dalam pengembangan investasi yaitu konsep city marketing dan pemilihan produk unggulan dan peningkatan dan peningkatan nilai tambah.
REFERENSI Ali, Achmad, 1996. Menguak Tabir Hukum (Suatu Tinjauan Suatu Tinjaua Filosofis dan Sosiologis). Jakarta, Chandra Pratama. Arsjad, Nurdjaman, Bambang Kusumanto & Yuwono Prawirosetoto (1992), “Keuangan Negara”, Intermedia, Jakarta. Berg. Leo van den, L.H. Klaassen & J an van der Meer (1990), “Strategische City Marketing”, Schoonhoven, Amsterdam. Bohm, Peter (1987), “Social Efficiency: A Concise Introduction to Walfare Economics”, 2nd Edition, Macmillan Education Ltd. London. Dg. Matutut, H.Mustamin, 2004. Mandat, Delegasi, dan Atribusi dalam Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta, UII-Press. Djamaluddin, M. Arief, 1977. Sistem Perencanaan Pembuatan Program dan Anggaran; Suatu Pengantar. Jakarta, Ghalia Indonesia. Dollinger, Marc 1. (1999), “Entrepreneurship: Strategies and Resources”, 2nd Edition, Prentice Hall Inc., New Jersey. Ekberg, Lars (1990), “Marketing the City of Goteborg”. Unpublished paper, Departement of Treade and Industry - City of Gothenburg. Fahmal, H.A. Muin, 2006. Peran Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih. Yogyakarta, UII-Press. Hidjaz, H, M, Kamal, 2007, Efektivitas penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Sulawesi Selatan, Disertasi, Makassar, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Ji1lis, M.,D.H. Perkins, M. Roemer & D.R. Snodgrass (1992), “Economics of Development”, 3nd Edition, W.W. Norton & nCompany Inc. New York. Koonzt, Harold, 1963. The Rational of Planning. Dalam buku Management Organization and Planning, Editor Donald M.Bowman dan Francis M.Filleruto, Mc. Grow Hill Edition. Koutsoyiannis, A (1997), “Modern Microeconomics”. Macmillan Educiation Ltd., London. Krugmen, Paul A. (1991), “Geography and Trade”, MIT Press, Cambridge Mass. Nadraha, Taliziduhu, 2003. Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru); 1 Kybernan. Jakarta, Rineka Cipta. Porter, Michael E. (1985), “Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance”, Free Press, New York. Porter, Michael E. (1990), “Competitive Advantage of Nations”, Free Press, New York. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Sulawesi Selatan Tahun 2008-2013. Salvatore, Dominick (2001), “International Economics”, 7Th Edition, John Wiley & Sons Inc., Newe York. Schuyt, C.Jm., 1971. Rechtssociologie. Rotterdam, Universiteire Press. Siagian, Sondang.P., 1986. Filsafat Administrasi. Jakarta, Gunung Agung. Stoner, James A.F. & Edward Freeman (1992), “Management”, 5th Edition, Prentice Hall Inc., New York. Tjokroamidjojo, H. Bintoro & Mustopadidjaja A.R. (1990), “Teori & Strategi Pembangunan Nasional”, Haji Masagung, Jakarta.
Todaro, Michael P. (1997), “Economic Development”, 6th Edition, Addison Wesley Longman Ltd., New York. UNDP (2004),"Human Development Report”, Oxford University Press, New York. Visi dan Misi SYL Tahun 2008. World Bank (2004), “World Develompment Report”, IBRD/ The World Bank, Washington.