Jurnal - Artikel WDSP
YANUAR HABIB
Industri Galangan Jajang Yanuar Habib
[email protected]
Abstrak Penerapan asas cabotage secara signifikan berhasil meningkatkan jumlah kapal berbendera Indonesia. Sayangnya, sama sekali tidak mampu mendorong peningkatan kapasitas industri galangan kapalnya. Diperlukan kebijakan atas linkage pengembangan industri dan kepastian pengguna.
Kata Kunci: Perkapalan, Industri, Kebijakan
LATAR BELAKANG Industri galangan kapal merem melek. Bisa melek karena makin banyak kapal yang berlayar akan membutuhkan perawatan dan perbaikan. Namun, merem jika ditantang memproduksi yang baru. Alasannya klasik, seperti tidak adanya modal yang murah, kesulitan industri pendukung di dalam negeri, dan karena sebagian besar bahan baku masih impor bea tarif masih memberatkan ongkos produksi. Gejalan dari permasalahan ini sudah sangat dirasakan oleh perusahaan domestik. Bahkan, pada 2012 lalu perusahaan kapal nasional terbesar, PT PAL, menderita rugi hingga Rp13 triliun. Perlu dicatat angka tersebut membukukan rekor kerugian paling besar diantara perusahaan BUMN. Perusahaan pengguna sebagai konsumen memahami betul masalah galangan kapal di tanah air. Sehingga, mereka lebih baik membeli langsung kendaraan transportasi lautnya dari negara lain. Selain produksi luar memiliki selisih harga hingga 30% dari produksi domestik, para pengguna lebih percaya kemampuan luar. Dari data yang dirilis Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menyebutkan hingga lima tahun mendatang para pengusaha akan mengimpor 2.500 unit kapal kecil dari China. Nilai pembelian tersebut kurang lebih mencapai US$5 miliar.
Publikasi oleh WDSP
1
Jurnal - Artikel WDSP
YANUAR HABIB
PERLUNYA KENDALI MADE IN DAN KETERATURAN Untuk produksi baru, perusahaan galangan kapal domestik saat ini masih terbantu dengan adanya proyek pesanan pemerintah. Secara industri, tentu saja kondisi seperti ini tidak mencerminkan daya saing yang sebenarnya. Dalam pasar kompetitif, para pengguna swasta yang pesanannya lebih banyak nyata-nyata memilih impor. Fenomena ini dapat dengan mudah dilihat setelah Indonesia menerapkan asas cabotage pada 2005. Sejak saat itu jumlah kapal berbendera Indonesia mengalami peningkatan pesat. Yang berarti, perusahaan pelayaran nasional semakin tumbuh dengan baik. Jumlah kapal berbendera Indonesia selama tujuh tahun mengalami peningkatan dua kali lipat, dari 6.041 unit pada awal penerapan cabotage menjadi 12.004 unit pada Februari 2013 lalu. Sementara, selama tujuh tahun itu pula perusahaan pembuat kapal semakin mandul melahirkan produk anyarnya. Keberhasilan multiplier efek dari penerapan asas cabotage ini semakin terlihat semu manakala dibenturkan dengan banyaknya perusahaan pelayaran nasional yang mengandalkan kegiatannya sebagai fungsi keagenan kapal. Transportasi laut merupakan struktur yang sangat penting dalam ekonomi, dan hal ini berlaku bagi semua negara. Tentu saja Indonesia memiliki kepentingan yang sangat besar, karena merupakan sebuah perekonomian dengan kondisi geografis negara kepulauan. Di level global sendiri, sebesar 90% jumlah muatan dalam perdagangan diangkut melalui transportasi laut. Tidak kurang dari 50.000 unit kapal dagang yang aktif melakukan pelayaran internasional mengangkut bermacam-macam kargo. Asas cabotage yang mewajibkan kapal berbendera Indonesia di wilayah perairan Indonesia, merupakan tahap awal untuk mengatur jasa pelayaran. Kebijakan ini diambil cukup terlambat dan dalam pelaksanaannya masih bersifat prosedural. Meskipun demikian, kebijakan ini patut diacungi jempol mampu menyemarakkan pelayaran merah putih. Dalam nilai keekonomiannya, tentu saja keagenan pelayaran nasional yang berstatus badan hukum Indonesia mengalami pertumbuhan. Langkah awal ini sedikitnya mampu menciptakan keteraturan dalam transportasi perairan Indonesia. Namun, ketika mengintip lebih kedalam lagi, kapal-kapal yang berlayar sebagian besar masih produk luar negeri. Andil kebijakan lanjutan dari cabotage sangat diperlukan, dan sudah saatnya masuk dalam kebijakan kendali made in.
MENGINTIP INDUSTRI KAPAL NASIONAL Pembuat kapal nasional saat ini mencapai 200 perusahaan, dari skala kapal dengan mesin tempel hingga sekelas PAL milik pemerintah. Produksi tersebut juga mencakup produksi Publikasi oleh WDSP
2
Jurnal - Artikel WDSP
YANUAR HABIB
kapal penumpang, niaga, hingga kapal militer. Potensi manufaktur kapal di tanah air sebenarnya tidak bisa dianggap sepele lagi. Tentu masih hangat di ingatan kita tentang kapal perang jenis siluman KRI Klewang yang diproduksi oleh PT Lundin Industry Invest di Banyuwangi, namun karena mengalami kebakaran akibat korsleting pada September 2012. Just in case, secara teknologi, kapal perang lebih rumit daripada kapal muatan atau kapal barang. Namun, hal ini menunjukkan bahwa penguasaan teknologi pada industri kapal di tanah air sudah sangat mumpuni. Pada kapal komersil, permasalahan yang ada justru terletak pada keberadaan konsumen. Sederhananya, perusahaan mana yang akan memproduksi kapal baru jika konsumennya tidak ada. Sementara jika mengandalkan pesanan, perusahaan mana yang mau mengeluarkan investasi untuk riset dan pengembangan. Alhasil, perusahaan setengah hati mengembangkan kemampuan produksinya. Per September 2012, nilai pesanan pembuatan kapal hanya sebesar Rp950 miliar. Dari total kontrak tersebut, sebagian besar diperoleh dari pemerintah untuk pemesanan jenis kapal roll on roll of (ro-ro) dan kapal perintis. Sedangkan pemesanan kapal dari pihak swasta berupa jenis kapal tunda (tug boat) sebagai fasilitas pendukung pengeboran minyak lepas pantai. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, industri galangan kapal saat ini mengandalkan bisnisnya sebagai bengkel. Peningkatan kemampuan ini pun tumbuh relatif lambat. Sejak 2009, sektor industri galangan kapal hanya mampu menambah ruang produksi sebesar 300.000 dwt (deadweight tonnage) per tahun. Pada tahun 2009, kapasitas ruang produksi sebesar 600.000 dwt per tahun. Sementara kapasitas reparasi bertambah 2 juta dwt per tahun. Saat ini ruang reparasi sebesar 12 juta dwt.
REKOMENDASI: Banyak yang mengurai masalah industri kapal dari sisi komposisi produksi. Yang intinya, diperlukan kebijakan khusus untuk memudahkan proses produksi, seperti kemudahan pinjaman modal, pengurangan beban tarif impor, dan kurangnya tenaga ahli. Padahal jika melihat upaya pengembangan, industri kapal yang saat ini kurang lebih berjumlah 200 perusahaan sudah setengah mati. Perusaahaan-perusahaan tersebut justru jadi setengah hati untuk mengembangkan kemampuan produksinya karena rendahnya ceruk pasar di dalam negeri. Tidak adanya kepastian konsumen, sebenarnya masalah terbesar dalam industri pembuatan kapal di tanah air. Perusahaan pengguna lebih percaya produk jadi dari luar negeri ketimbang produk domestik. Padahal, dalam banyak hal, industri di dalam negeri sendiri mengimpor bahan baku dari luar.
Publikasi oleh WDSP
3
Jurnal - Artikel WDSP
YANUAR HABIB
Jika hubungan permintaan dan penawaran berjalan, niscaya hubungan industrial pada sektor perkapalan dapat berjalan mengikuti mekanisme pasar yang wajar, tanpa perlu ada kebijakan khusus pada perdagangan faktor produksi. Paling tidak, pemerintah perlu menekankan kebijakan pada penggunaan kapal made in Indonesia untuk pelayaran di dalam negeri. Meskipun demikian, kebijakan made in seperti ini tidak boleh membuat sentimen anti produk asing. Untuk menghindari hal tersebut, maka produk asing sebenarnya dapat digunakan di dalam negeri, dengan catatan produk tersebut dibuat di dalam negeri sebagai hasil partnership dengan perusahaan dalam negeri. Skema ini perlu penerapan kebijakan perdagangan melalui skema licensing, joint venture, atau perdagangan dengan skema offset diantara produsen asing, pengguna, dan melibatkan subkon industri dalam negeri. *Tulisan ini pernah dimuat pada majalah Warta Ekonomi edisi WE-06/XXV/2013
Grafik Tulisan
Perkembangan Kapal Berbendera Indoneia
10.784
11.620
12.004
2012
2013
9.835
6.041
2005
Publikasi oleh WDSP
2010
2011
4
Jurnal - Artikel WDSP
YANUAR HABIB
Pemegang izin usaha perusahaan angkutan laut (SIUPAL) - unit 2.248 2.106
1.885
2010
2011
2012
NOTES -
REFERENCES -
Publikasi oleh WDSP
5