Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
Buletin HuMa, Edisi Khusus SPHR-B Oktober 2013
2013
HuMa Brief Perkumpulan HuMa resmi berdiri pada tanggal, 19 Oktober 2001 di tengah semangat masyarakat sipil Indonesia mendesakkan sistem pemerintahan demokratis. Bergerak bersama para eksponennya, HuMa mencoba mengambil peran dalam upaya mendorong pembaharuan sistem dan produk hukum warisan rezim pemerintah otoriter sebelumnya. Gagasan pembaruan hukum HuMa dilandasi oleh perspektif kritis dan kesadaran atas adanya pluralitas sistem hukum yang berkembang di Indonesia. Informasi lebih lengkap mengenai HuMa dalam diakses melalui situs huma di www.huma.or.id.
Berita HuMa ini dimaksudkan sebagai media untuk mengkomunikasikan kegiatan-kegiatan Huma kepada Anggota HuMa, Mitra-Mitra HuMa, Masyarakat Korban, Lembaga Donor, Lembaga Jaringan dan Pemangku Kepentingan lainnya. Saat ini fokus kegiatan HuMa adalah Pendidikan Hukum untuk Masyarakat, Advokasi Perubahan Kebijakan, Pengelolaan informasi dan Dokumentasi. Seluruh informasi yang tersaji dalam media ini telah melalui proses pemadatan. Bila membutuhkan informasi lebih lengkap dapat berhubungan langsung dengan HuMa baik melalui email, telepon, maupun kunjungan ke kantor Huma. Untuk pengembangan media ini ke depan, diharapkan kritik dan masukannya.
Naskah Deklarasi Sekolah Pendamping Hukum Rakyat Bengkulu Oleh; M.A. Prihatno (Kepala Sekolah SPHR-B) Dalam perspektif sejarah, hukum pada dasarnya untuk pengaturan kehidupan dalam konflikkonflik antar masyarakat dengan komponenkomponen kehidupan. Dalam hal ini, dengan menggunakan kebijakan-kebijakan lokal, masyarakat mampu menata sistem hukumnya dengan tata aturan yang sinergis dengan sosiokulturnya. Kemampuan masyarakat saat itu dalam menata sistem hukum dapat dipahami, karena kebijakan yang digunakan benar-benar diekstrasi dari sosiokultur masyarakat itu sendiri.
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
Dalam perkembangan berikutnya, sebagai konsekuensi dari terjadinya revolusi industri yang diikuti oleh imperialisme yang berujung pada kapitalisme liberal, maka tata hukum yang berkembang diintervensi oleh kepentingan-kepentingan politik hukum imperialis yang didukung oleh kekuatan struktural, kuasa finansial dan kuasa adminstratif yang massif dan tersistematis. Pada kondisi ini tata hukum masyarakat akhirnya “kalah”, sehingga dengan terpaksa masyarakat menerima tata hukum yang dipenuhi oleh kepentingankepentingan tersebut. Fenomena ini berlanjut sampai pada titik di mana masyarakat tidak mengenal lagi tata hukum yang selama ini mampu menata kehidupan yang selaras dan harmonis. Sementara itu tata hukum yang dibawa oleh kaum imperialis berkembang menjadi hukum mainstream sedangkan hukum masyarakat lokal tenggelam dalam kebisingan hukum mainstream yang positivistik. Hukum masyarakat yang kalah itulah yang kami namakan HUKUM RAKYAT. Indonesia sebagai negara yang memposisik an hukum sebagai acuan dan pedoman dalam Foto Akar: Dewan Guru SPHR-B. bernegara juga terintervensi oleh sistem hukum manintream tersebut. Walaupun, tidak dipungkiri bahwa dalam beberapa hal tata hukum di Indonesia juga mengakomodasi kebijakan-kebijakan masyarakat lokal sebagai sumbernya. Dan, saat ini posisi
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
hukum tersebut mulai dipertanyakan oleh sebahagian masyarakat terutama dalam hal pemenuhan rasa keadilan.
tersebut akan selalu menjadi inspirasi bagi negara Indonesia. Dokumen bersejarah ini bernama SUMPAH PEMUDA.
Meningkatnya konflik-konflik dalam pengelolaan kekayaan alam di mana masyarakat lokal (indigenous people) cenderung selalu dalam posisi yang tidak seimbang ketika berhadapan dengan sistem hukum mainstream adalah salah satu indikasi dari belum adanya “keseimbangan” antara hukum mainstrem dengan hukum rakyat. Masyarakat lokal dengan sendirinya terpinggirkan dan akhirnya kehidupan mereka berada pada posisi kelompok masyarakat rentan.
Dan, pada hari ini tanggal 28 Oktober 2013, di sebuah kampus ternama di Kota Bengkulu yaitu Universitas Bengkulu (UNIB), dengan dilandasi semangat Sumpah Pemuda telah terjadi sebuah peristiwa penting bagi bangsa ini khususnya bagi Provinsi Bengkulu. Di Gedung megah ruang Rapat Utama Rektorat Universitas Bengkulu berlangsung sebuah Launching Sekolah Pendamping Hukum Rakyat Bengkulu. Acara launching ini digawangi oleh Perkumpulan Untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) dan Akar Foundation.
Atas kondisi tersebut, Sekolah Pendamping Hukum Rakyat Bengkulu yang kemudian disebut dengan SPHR-B, adalah salah satu upaya untuk menumbuhkan pemahaman hukum kritis di tingkat masyarakat lokal dalam mendorong keberpihakan hukum dan pengelolaan kekayaan alam kepada Rakyat. Semboyan SPHR-B ini adalah Berkeadilan Dalam Hukum Berkedaulatan Dalam Pengelolaan Kekayaan Alam.***
Reinkarnasi Sumpah Pemuda Dalam Sekolah Pendamping Hukum Rakyat Bengkulu (Kampus dan Kampung Pun Bertemu) 28 Oktober, bagi Indonesia merupakan sebuah tanggal yang bersejarah dan fenomenal, karena pada hari itu sekitar 85 tahun yang lalu, melalui tangan-tangan pemuda Indonesia telah lahir sebuah tekad untuk menentukan warna Negara Indonesia. Pada saat itu, para pemuda brilian dari berbagai pelosok berkumpul dan melahirkan sebuah dokumen yang akan menjadi pegangan abadi bagi bangsa ini. Para pemuda Indonesia berhasil menorehkan coretan emas yang karya
Acara Launching yang dihadiri oleh kalangan Akademisi Universitas Bengkulu, kawan-kawan NGO, aktivis Ormas dan OKP, para praktisi hukum dari Kejaksaan, Kepolisian dan Kehakiman serta masyarakat diawali oleh kata sambutan dari Direktur Akar Foundation Sdr. Erwin S Basrin. Ada beberapa point penting yang disampaikan oleh Erwin pada kesempatan tersebut. Dalam penyampaian sambutan tersebut beliau menyampaikan posisi rakyat selama ini ibarat “daun salam”, yang hanya dicari pada saat akan memasak sesuatu kemudian dilupakan pada saat telah menjadi makanan bahkan dibuang. Pengibaratan “daun salam” yang dimaksud adalah bahwa selama ini posisi rakyat ketika berhadapan dengan sistem hukum, sistem politik dan sistem pengelolaan kekayaan alam yang diatur oleh negara ini cenderung tanpa memperhatikan tata nilai yang telah dijalani oleh rakyat. Sistem politik, hukum dan pengelolaan kekayaan alam yang dijalankan oleh negara ini terasa lebih tunduk pada kepentingan kapitalisme yang eksploitatif dibandingkan dengan kepentingan rakyat banyak.
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
Kata sambutan berikutnya disampaikan oleh Rektor Universitas Bengkulu (UNIB) Dr. Riduan Nurazi. Dengan penampilan yang bersahaja Bapak. Riduan Nurazi berhasil mencairkan suasana pembukaan dengan penyampaian poinpoin kebanggaannya terhadap acara tersebut. Ada penghormatan yang tinggi terhadap launching tersebut. Beliau menyampaikan, bahwa ada beberapa sisi yang bisa dimaknai pada acara ini; pertama, bahwa momen launching ini bertepatan dengan peringatan hari Sumpah Pemuda yang dengan demikian diharapkan semangat kepeloporan yang pernah ditorehkan akan menular ke Sekolah Pendamping Hukum Rakyat Bengkulu. Dan, yang kedua, dengan diadakannya launching SPHR-B di gedung Universitas Bengkulu dapat menghilangkan image bahwa kampus telah menjadi “menara gading” di tengah masyarakat. Pendidikan formal selama ini dianggap belum mampu menyentuh seluruh komponen masyarakat, maka hadirnya SPHR-B bisa menjadi wadah alternati f bagi pencerd asan masyara kat. Selain itu, Foto HuMa: Dari kiri ke kanan Nurul Firmansyah (HuMa) Andiko makna (Direktur HuMa) Riduan Nurazi (Rektor UNIB), & Ramat Hidayat. simbolik dari kegiatan ini membuat kampus dan kampung bertemu pun dalam satu titik persamaan. Dan akhirnya acara pun dibuka secara resmi.
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
Selanjutnya sampai ke tahapan penyampaian pokok-pokok pikiran tentang Hukum Rakyat yang disampaikan oleh Keynote speaker Bapak. Andiko Sutan Mancayo SH.,MH sebagai Direktur Perkumpulan HuMA. Beberapa hal penting yang disampaikan Andiko kelihatannya memunculkan beberapa pertanyaan dan pencerahan di kalangan peserta launching, hal ini dapat dimaklumi karena memang terminologi Hukum Rakyat masih dianggap makhluk asing bagi sebahagian besar peserta. Namun, dengan menggunakan bahasa sederhana dan merakyat Andiko mampu menyampaikan Hukum Rakyat pada posisi yang proporsional. Penyampaian tersebut dimulai dari Hukum Rakyat dari perspektif sejarah sampai dengan keharusan pelaksanaan Hukum Rakyat pada kondisi kekinian. Di tengah semakin rendahnya kepercayaan masyarakat umum terhadap hukum, Hukum Rakyat dengan pluralitas yang dimilikinya dianggap mampu menjadi mata air penyejuk bagi rasa keadilan masyarakat. Launching SPHR-Bengkulu semakin menghangatkan intelektual para hadirin ketika Prof. Herawan Sauni dan Nurul Firmansyah, SH memaparkan beberapa pemikiran tentang Hukum Rakyat. Paparan dari Prof. Herawan Sauni mengangkat tema Hukum Rakyat; Model untuk Memperkuat Kesadaran Kritis Masyarakat, sementara Nurul Firmasyah,SH menyampaikan tema Membaca Perlawanan Rakyat dalam Menjaga Eksistensinya. Dalam proses diskusi yang dimoderatori oleh Rahmat Hidayat berhasil mengangkat beberapa issue penting, yaitu sebagai berikut:
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
1. Bahwa Hukum Rakyat pernah menunjukan eksistensinya ketika unsur “asing” belum mengintervensi nilai-nilai murni yang terdapat pada Hukum Rakyat. 2. Bahwa perjuangan untuk menjadikan Hukum Rakyat kembali menjadi pusat inspirasi hukum di negara ini telah berlangsung lama dan belum berada pada titik yang strategis. 3. Konflik-konflik dalam pengelolaan kekayaan alam selama ini selalu hanya diselesaikan dengan pendekatan Hukum Positif dan mengabaikan kebijakan-kebijakan lokal masyarakat. Dipenghujung acara launching, Kepala Sekolah Saudara. M. A. Prihatno, membacakan naskah Deklarasi Sekolah Pendamping Hukum Rakyat Bengkulu (SPHR-B). Naskah ini dibacakan dengan maksud untuk menjadikan SPHR-B memiliki Roh pembangun tekad untuk senantiasa konsisten dalam menjaga semangat perjuangan sehingga launching ini tidak menjadi hanya sebagai peletakan batu pertama sekaligus batu terakhir. Sekelumit harapan yang terpancar di wajah-wajah pengelola SPHR-B mengekspresikan keinginan semoga jiwa kepeloporan pemuda pada Sumpah Pemuda berreinkarnasi ke pengelola SPHR-B.***
Profil Singkat Desa Plabai Oleh: Rahmat Hidayat ‘Ada yang mereka bawa yang tidak kita miliki, ada yang kita miliki mereka tidak bawa’ adalah kata-kata yang disampaikan oleh Kepala Desa Plabai Edi Junianto, dalam sambutannya ketika dimulainya Sekolah Perdana Sekolah Pendamping
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
Hukum Rakyat Bengkulu (SPHR-B) tanggal 29-30 Oktober 2013 yang dilaksanakan di Ruang Pertemuan Transmigrasi Desa Plabai. Edi, demikian pangilannya sehari, ia menjadi Kepala Desa Foto Akar: Edi Junianto, Kepala Desa Plabai. Plabai sejak tahun 2010, dengan pemilihan secara langsung. Desa di mana Edi menjadi Kepala Desa ini secara administratif berada di Kecamatan Plabai, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu, terletak di ketinggian 800 dpl berada di lereng gugusan bukit barisan, penduduknya 1.395 Orang atau 349 KK. Mayoritas penduduk Desa Plabai bermata pencaharian sebagai petani dengan komoditas utamanya adalah kopi, karet, padi dan tanaman palawija lainnya. Terdapat satu unit Tranmigrasi yang berada di Selatan Desa dengan jumlah penghuni 200 KK, 100 KK berasal dari Jawa Barat dan 100 KK adalah masyarakat lokal. Desa Plabai ini berjarak 1 km Dari Ibu Kota Kecamatan, 5 Km dari Ibu Kota Kabupaten Lebong dan 180 Km dari Ibu kota Provinsi Bengkulu.
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
Desa Plabai adalah salah satu Desa tertua dalam sejarah Suku Rejang dan secara kelembagaan adat masuk ke dalam Marga Suku IX, dari sejarah turun temurun desa ini terbentuk sejak abad ke 6, di mana dulunya berada dalam kesatuan adat dibawah pimpinan Ajai Bitang. Sebagai kesatuan yang masuk dalam kesatuan adat Marga Suku IX, komunitas Plabai memiliki Tulisan Adat, Berbahasa Rejang dengan dialeg Lebong, Hukum Adat, Wilayah Adat, Lembaga Adat disebut dengan Kutai atau kumpulan dari beberapa suku atau 4
Foto HuMa: Air bersih,Pemandangan dan Kekayaan Alam Desa Plabai, Bengkulu.
kepala keluarga di mana Kepala Desa merangkap sebagai Kepala Adat serta memiliki sejarah asal usul yang dihitung melalui garis laki-laki. Nama Plabai ini berasal dari Bahasa Rejang yang artinya adalah Tempat atau tempat pertemuan, Di dalam sastra lisan Serambeak Bepun atau sastra lisan yang menjelaskan tentang sejarah asal usul desa/komunitas desa tertua suku Rejang yang kemudian isinya Topos. Teluk Diyen, Amen, Semelako, Plabai, Das Tebing yang menegaskan bahwa Plabai salah satu dari Desa tertua tempat asal usul Suku Rejang berasal. Sebagai Desa Tua atau Desa Asal Suku Rejang, Di wilayah Plabai
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
terdapat beberapa situs sejarah yang dikeramatkan oleh warganya. Keramat Tebo Sam dipercayai sebagai makam Ajai Bitang atau tempat Raib/Hilangnya Ajai Bitang, di mana setiap tahun dan hari-hari tertentu dilakukannya ritual ‘cemucua biyoa’ atau tabur bunga yang tidak hanya oleh warga Plabai tetapi dilakukan oleh masyarakat yang bersuku Rejang. Selain situs-situs yang dikeramatkan di wilayah Plabai terdapat juga tempat-tempat yang mempunyai nilai-nilai sejarah mitologi, Kuburan Tambo dipercayai sebagai kuburan leluhur orang-orang Plabai. Desa ini di aliri DAS Baru Santan sebagai sumber air untuk memenuhi kebutuhan warganya, selain DAS Baru Santan, juga terdapat potensi sumber mata air yang disebut dengan Air Dingin yang berada di tengahtengah sawah, debit sumber air ini tidak pernah berubah baik waktu musim penghujan maupun di musim kemarau begitu juga dengan masa jenis air lebih berat jika dibandingkan dari sumber mata air lain, sehingga disebut dengan Air Antan dalam bahasa lokal artinya Berat. Desa Plabai menjadi Desa pertama yang melaksanakan Sekolah Pendamping Hukum Rakyat Bengkulu (SPHR-B) paska launching, alasan penting dipilihnya Desa Plabai adalah Desa Plabai berada di Buffer Zone kawasan lindung Boven Lais dan sebagiannya adalah Eks Hutan Tanaman Industri PT Yamaja disinilah terjadinya konflik wilayah kelola rakyat dengan kawsan negara yang dulunya adalah hutan Marga atau Hutan Adat Marga Suku IX, dikawasan ini juga terjadi dengan konflik tata batas antara Kabupaten Lebong dengan Kabupaten Bengkulu Utara, adanya pluralitas masyarakat dimana di Desa ini terdapat juga 100 KK warga transmigrasi dari Jawa Barat saat ini secara adat telah menjadi anak adat
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
Plabai dan Plabai sebagai Dusun Tuwai (perkampungan tua) yang masih memegang teguh kebijakan adat.
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
mereka bawa yang tidak kita miliki, ada yang kita miliki mereka tidak bawa’.
Sebagai Kepala Desa dan Ketua Adat, Edi Junianto memeberikan dukungan penuh bagi upaya penguatan kesadaran Hukum bagi masyarakat yang dipimpinnya, hal itu ditunjukan dengan memfasilitasi pelaksanaan kegiatan Pelatihan Hukum Kritis/PHK sehingga mempermudah terlaksananya kegiatan PHK tersebut. Ada keinginan yang kuat dari Edi Junianto sebagai Kepala Desa untuk menjadikan Desa Plabai sebagai model dan laboratorium Hukum Rakyat di Bengkulu.***
Pelatihan Hukum Kritis di Aula Desa Plabai, Kabupaten Lebong Tanggal, 29-30 Oktober 2013 Pelatihan Hukum Kritis yang merupakan Aktivitas Sekolah Pendamping Hukum Rakyat Kegiatan dilaksanakan di Aula Desa Plabai, Kabupaten Lebong pada tanggal, 29-30 Oktober 2013, kegiatan ini di ikuti oleh 37 orang peserta masyarakat adat desa Plabai dan desa sekitarnya di Kabupaten Lebong. Sesi I pada: Opening Seremonial dan Orientasi Pelatihan Kegiatan pelatihan hukum kritis yang dilaksanakan ini dipandu oleh Rahmat Hidayat dari Akar Foundation, kemudian dibuka oleh Kepala Desa Plabai yang dalam sambutannya menyampaimpaikan bahwa proses ini adalah proses saling belajar antara masyarakat dengan HuMA dan Akar, seperti dalam sambutannya menyatakan ‘ada yang
Foto Akar: Suasana Pelatihan Hukum Kritis di Aula Desa Plabai.
Selanjutnya sambutan dari HuMA disampaikan oleh Nurul Firmansyah sekaligus menjelaskan progres SPHR dan Pendidikan Hukum Kritis (PHK) salah satu bagian dari proses belajar di SPHR. Setelah acara pembukaan, dilanjutkan dengan sesi perkenalan yang dipandu Nurul Firmansyah sebagai Fasilitator utama di Pelatihan Hukum Kritis ini. Perkenalan diawali dengan eksplorasi atas persepsi dari setiap peserta tentang hukum. Catatan penting dari sesi ini adalah, bahwa masing-masing peserta mengakui bahwa ada ketidakadilan di dalam hukum negara jika hukum tersebut berhubungan dengan masyarakat, hukum haruslah bekerja pada perlindungan hak, ketertiban, sangsi yang tegas, mengabdi kepada keadilan dan berorientasi pada ketertiban serta mampu menyelesaikan konflik yang ada. Sementara bagi masyarakat adat, hukum adat sebagai milik masyarakat lahir dari proses kesepakatan kolektif, tidak tertulis dan
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
berorientasi pada keseimbangan, bagi mereka hukum adat jauh lebih efektif karena lahir dari ‘rahim’ rakyat. Sesi ke II Diskusi Kelompok tentang Gerakan Studi Hukum Sesi kedua adalah sesi membangun perspektif, sesi ini langsung dipandu oleh Fasilitator (Nurul Firmansyah) dimulai dengan penyampaian singkat tentang Gerakan Studi Hukum Kritis, tujuan dari sesi ini untuk menumbuhkan pemikiran kritis untuk menganalisa situasi hukum yang dialami oleh Masyarakat. Untuk mendalami sesi ini kemudian fasilitator membagi tiga kelompok diskusi, masing-masing kelompok tersebut diminta mendiskusikan tentang situasi hukum yang dialami dan praksis hukum adat oleh masyarakat adat terutama dalam mengatur lingkungan atau wilayah adat, ada 3 pertanyaan kunci pertanyaan kunci yang akan dijawab oleh Foto HuMa: Peserta sedangmempresentasikan hasil tugas individu. masing-masing kelompok; 1. Membuat peta/sketsa Desa 2. Menentukan wilayah-wilayah dan zona pemanfaatan 3. Aturan-aturan yang mengatur wilayah dan zona pemanfaatan.
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
Setelah dilakukan diskusi kelompok, masing-masing kelompok kemudian mempresentasikan hasil diskusi dalam bentuk gambar Hasil Diskusi Kelompok Masing-masing kelompok diminta menggambarkan Sketsa Desa Pelabai, Desa Kota Baru Santan, UPT Plabai, dan Desa Tik Teleu, Desa Suku Kayo, ada pembagian wilayah yang tegas baik secara adminsitratif maupun wilayah kelola masyarakat. Peserta diskusi memahami kewilayahannya, batas hutan lindung, batas desa, batas wilayah kelola serta Aliran Sungai yang melewati desa-desa tersebut, dalam sistem pengelolan wilayah atau pemanfaatan kekayaan alam, ada beberapa aturan yang tidak tertulis dan kemudian ditaati oleh masyarakat antara lain 1. Dalam pengelolaan wilayah kelola rakyat ada kesepakatan bagi hasil, proses bagi hasil ini berdasarkan kesepakatan dalam sistem pengelolaan. 2. Pada wilayah-wilayah yang merupakan sumber mata air, bebatuan dan lahan yang mempunyai kemiringan di atas 60 % dilarang untuk dijadikan sebagai lahan garapan 3. Di wilayah atau Lahan belukar atau hutan hanya boleh dilakukan bagi hasil setelah digarap selama 2 tahun. 4. Pengelolaan lahan kelola dilakukan secara gotong royong atau pinjem, ada tanda-tanda khusus yang dijadikan sebagai pedoman terutama untuk dijadikan batas antar wilayah kelola masyarakat. 5. Dalam pengelolaan wilayah kelola biasanya dilakukan secara turun temurun 6. Lemahnya pemahaman terutama digenerasi muda tentang tata aturan dan kearifan dalam pengelolaan kekayaan alam masyarakat adat.
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
Sesi ke III Diskusi Kelompok: Hukum Rakyat dan Pluralisme Hukum
dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam, ada 3 pokok bahasan pada sesi ini antara lain;
Pada sesi III ini tema yang dibahas adalah Hukum Rakyat dan Pluralisme Hukum tujuannya adalah membangun kepekaan peserta terhadap pembangunan isue pluralisme hukum yang bertentangan dengan tujuan hukum berbasis ekologi dan masyarakat.
1. Apakah keputusan MK ideal dan sesuai dalam pemenuhan rasa keadilaan masyarakat 2. Adakah model/bentuk pengelolahan Hutan Adat yang paling baik 3. Seperti apa peran negara bagi pengelolaan hutan adat 4. Apa peran MA bagi dalam pengelolaan hutan Adat
Untuk membahas membangun perspektif tentang hukum rakyat dan pluralisme hukum ini, peserta dibagi menjadi 3 kelompok dengan melakukan simulasi tentang konflik atau persoalan hukum yang biasa dihadapi oleh masyarakat. Kelompok 1 membahas tentang persoalan konflik lahan kelola masyarakat dengan kawasan lindung, Kelompok 2 Persoalan perizinan pertambangan, kelompok 3 membahas persoalan tentang sengketa wilayah antara masyarakat dengan pengusahan. Dari proses diskusi yang telah dilaksanakan didapati poinpoin penting tentang perspektif hukum rakyat dan pluralisme. Menurut masyarakat bahwa hukum ideal itu harus dijemput karena hukum itu tidak tumbuh dengan sendirinya, perlu dilakukan penguatan hukum rakyat atau hukum adat serta perlunya partisipasi hukum atau gerakan politik hukum.
Hasil Diskusi Kelompok Dari proses diskusi yang dilakukan dalam kelompok dengan pertanyaan yang sama, ada beberapa catatan menarik, antara lain; 1. Keputusan MK No 35 belum ideal dan maksimal dan memenuhi rasa keadilan masyarakat karena masih mensyaratkan pengakuan masyarakat adat di tingkat Daerah, seharusnya pengembalian hak ini tanpa adanya persyaratan apapun karena fungsi negara melindungi dan
Sesi ke IV Diskusi Kelompok: Ekonomi-Politik dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Diskusi sesi IV ini dilaksanakan dihari II, kegiatan pada hari II ini dimulai dengan pemutaran filmtentang Hutan Adat paska Keputusan MK 35, pemutaran film ini dilakukan di dalam Masjid Tranmigrasi Plabai. Setelah pemutaran film kemudian dilanjutkan dengan diskusi yang dipandu fasilitator, tema pada diskusi pertama sesi IV ini adalah Ekonomi-Politik
Foto Akar: Peserta sedang mengerjakan tugas kelompok.
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
memastikan hak rakyatnya atas kekayaan alam yang ada, ada anggapan dari bahwa persyarakat ini syarat dengan kepentingan. 2. Sebagain peserta menyatakan keputusan MK No 35 cukup ideal meskipun telah mensyaratkan pengakuan ditingkat daerah, alasannya karena ketika adanya pengakuan hukum di tingkat daerah itu akan menguatkan pengakuan dan legitimasi hak masyarakat adat. 3. Masyarakat adat harus berperan aktif dan memastikan fungsi hutan berjalan berdasarkan norma-norma dan hukum adat yang ada dalam masyarakat, memperjelas wilayah adat serta melakukan pendidikan hukum bagi masyarakat adat. 4. Dalam pengelolaan hutan Negara wajib melindungi hak masyarakat adat, perlindungan yang dimaksud tanpa adanya interpensi fisik atau finansial dalam bentuk apapun Sesi ke V Diskusi Kelompok: Hak Azasi Manusia Pada sesi terakhir yang dilaksanakan pada hari kedua ini adalah membangun perspektif tentang Hak Azasi Manusia (HAM), sebelum diskusi dimulai fasilitator menyampaikan pembahasan singkat tentang perspektif HAM, yang menyebutkan bahwa HAM adalah hak untuk hidup dan sangat terkait dengan kemanusiaan, ada beberapa instrumen Negara yang menjamin bahwa tidak boleh ada pihak yang akan dirugikan dalam proses hidupnya dalam berbagai hal. Setelah penyampaian singkat dari failitator masing-masing peserta kemudian diminta untukmenyampaikan perspektif masing-masing tentang HAM ini. Bagi peserta bahwa HAM ini dipahami bersifat personal kemudian bekerja pada ruang umum atau publik, dan HAM
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
ini mampu memberikan rasa nyaman bagi individu. Ada korelasi yang kuat antara sistem hukum dan HAM dan satu dengan lainnya saling bertabrakan karena banyak kepentingan, pada posisi ini Perlindungan HAM bagi Rakyat diabaikan karena tidak mampu melindungi manusia yang terlibat dalam konflik hukum tersebut. Maka posisi Negara sangat penting dalam perlindungan HAM ini, Negara harus hadir dan melindungi setiap warga negaranya agar tidak terjadinya pelanggaran-pelanggaran oleh Aparat Negara terhadap warganya. Pelatihan ini kemudian ditutup oleh Kepala Sekolah Pendamping Hukum Rakyat Bengkulu (SPHR-B) M. A. Prihatno.***
Indonesiaku Karya Hamid Jabbar dan dibacakan oleh Ilhamdi Silaiman (Uda Boyke) pada Launching SPHR-B Jalan berliku-liku Tanah airku Penuh rambu-rambu Indonesiaku Sehelai karcis di genggaman, hari senja dan kulihat engkau terpampang dalam headline & tajuk rencana koran-koran ibukota. Engkau tersenyum dan sakit gigi. Engkau malu-malu bagai kucing (entah mengeong entah mengerang entah marah entah sayang) yang terpendam dalam deretan kata-kata nusantara yang lalu-lalang keluar-masuk dalam kedirianku. Engkau tegak dan tumbang sepanjang
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
hari : bengkalaian sajak-sajak para penyair yang sempat terbit, dicetak dengan rasa sesal serta malu yang purba. Dan Maghrib pun menggema dan bel berdering nyaring dan aku terdesak ke tepi nian; namun masih sempat membayangkan engkau, kasihku, meskipun dengan terbata-bata. Jalan berliku-liku Tanah airku Penuh rambu-rambu Indonesiaku
Jalan berliku-liku Tanah airku Penuh rambu-rambu Indonesiaku
Sebuah tas di pangkuan, terbentang malam dan kurasakan engkau tunggang-langgang berpacu, bus tua yang tua-tua keladi (dipermak ditimbun di kali berkali-kali) menangis dan bernyanyi seperti deretan mimpi-mimpi. Engkau yang duduk terantuk-antuk dalam asaran dunia yang berdiri memaki-maki sepanjang jalanan gelombang berliku-liku yang membadaikan tikaman hujan rambu-rambu hingga aku terpelanting jauh ke belakang, namun masih sempat membayangkan jarak yang telah & akan dilalui (suka tak suka mandi berenang dalam telaga luka nanahmu o tanah airku), meskipun dengan terbata-bata. Jalan berliku-liku Tanah airku Penuh rambu-rambu Indonesiaku Sekujur tubuh di perjalanan, malam yang akan berdentangdentang dan kaulihat aku puntang-panting memburumu dari tikungan ke tikungan. (Barangkali berjuta pohon telah tumbang dalam pacuanmu. Barangkali berjuta mulut telah
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
mengeringkan tanahmu o indonesiaku. Barangkal berjuta ke mulut telah menguap-udarakan segala airmu pengap o indonesiaku. O siapakah yang telah tercerabut, sayangku: engkau tanah airku atau aku anak negerimu ?) Tetapi aku sungguh merasa malu ketika kudengar engkau menyanyikan rasa tak berdaya anak negerimu diancam ledakan-ledakan berangan akan purnama sepanjang malam. Dan engkau pun menangis ketika malu kita jadi malu semua : tertera dalam peta kita, luka-luka dan nyeri terbata-bata. Jalan berliku-liku Tanah airku Penuh rambu-rambu Indonesiaku
Foto HuMa: Ilhamdi Silaiman, membaca puisi pada Launching SPHR-B dengan judul “Indonesiaku”.
Sebibir duka tersangkut di bibir ngarai, anak negerimu terjaga dan berhamburan ke jalanan. Bulan sepotong di atas luka o awan mengelilinginya bagai nusantara “Sebagai supir, saya tak begitu mahir," kata seorang yang mengaku supir.
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
“Sebagai penumpang, kita tak begitu lapang," terdengar seseorang mendengus. “Huss!” tulis kamus “Kita membutuhkan lapang! ” teriak orang-orang. “Kita memerlukan kebebasan, “ dengus rambu-rambu dan tiang-tiang. “Tetapi perjalanan harus dilanjutkan”, tulis travel biro dalam iklan. Orang-orang membeli karcis dan kursi Orang-orang duduk menari hi-hi Orang-orang menari sambil memaki-maki. Orang-orang memaki sampai bosan. Orang-orang bosan dan bosan Bus-bus jalan. “Itu Pulau Sumatera,” kata seseorang menunjuk awan di tepitepi bulan. “Bukan, itu Pulau Kalimantan,”bantah seseorang sambil makan udang. “Salah, yang tepat adalah Pulau Jawa,” kata kondektur sambil minum bajigur. Jalan berliku-liku Tanah airku Penuh rambu-rambu Indonesiaku
Jalan berliku-liku Tanah airku Penuh rambu-rambu Indonesiaku
Sepanjang jalanan sepanjang tikungan sepanjang tanjakan sepanjang turunan rambu-rambu bermunculan. Seribu tanda seru memendam berjuta tanda tanya. Seribu tanda panah mencucuk luka indonesiaku.
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
Seribu tanda sekolah memperbodoh kearifan nenek moyangku. Seribu tanda jembatan menganga ngarai wawasan si Badai si Badu. Seribu tanda sendok garpu adalah lapar dan lapar yang senyum-senyum di luar menu. Seribu tanda gelombang melambung hempaskan juang anak negerimu. Seribu tanda-tanda dijajakan berjejal-jejal di mulutmu. Seribu tanda-tanda seribu jalanan seribu tikungan seribu tanjakan seribu turunan liku-liku o luka tanah airku dalam wajahmu indonesiaku. Jalan berliku-liku Tanaha irku Penuh rambu-rambu Indonesiaku
Jalan berliku-liku Tanahairku Penuh rambu-rambu Lukamu lukaku
*** Penanggung jawab Buletin HuMa: Andiko Sutan Mancayo; Tim Produksi: Nurul Firmansyah, Widiyanto, Erwin Dwi Kristianto, Tandiono Bawor Purbaya, Sandoro Purba, Anggalia Putri Permatasari, Sisilia Nurmala Dewi, Malik, Agung Wibowo, Fahmi Alamri; Pendukung: Mitra-mitra HuMa; Logistik: Susi Fauziah, Eva Susanty Usman, Fetty Isbanun, Bramanta Soerija, Herculanus de Jesus, Sulaiman Sanip; Penerbit: Perkumpulan HuMa, Jln Jati Agung No. 8 Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12540, Indonesia, Telp (+62) 021 788 45871, Fax (+62) 021 780 6959, Email:
[email protected] dan
[email protected]; Website: www.huma.or.id