Edisi dua bahasa- September 2008
INDONESIA, ILO
Menanggulangi Bentuk-bentuk Terburuk Pekerja Anak ©ILO/ILO Jakarta
“
terkait erat dengan prioritas di dalam Rencana Aksi Nasional (RAN). Strategi pertama akan terfokus untuk melanjutkan upaya mempromosikan kebijakan di tingkat nasional dan lokal guna menanggulangi masalah pekerja anak.
Bagian kedua strategi akan melibatkan intervensi langsung yang ditargetkan di empat sektor. Mereka adalah pekerja rumah tangga anak di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan Lampung; pekerja anak perkebunan di Jawa Timur, Lampung dan Sumatera dari kiri ke kanan: I Gde Made Arka, Direktur Jenderal tentang Pemberdayaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Departemen Kerja, Stanley Harsha, Atase Ketenagakerjaan dari Kedutaan Amerika Serikat, Hamid Muhammad, Direktur Jenderal Pendidikan Non-Formal dan Informal, Departemen Utara; perdagangan anak Pendidikan Nasional, Erman Suparno, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Arum Ratnawati, Kepala Penasihat Teknis Program Pekerja Anak ILO, Alan Boulton, Direktur ILO di Indonesia, Meutia Hatta, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, dan mantan pekerja anak. untuk eksploitasi seksual di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Utara; Anak jalanan bukan mahkluk menakutkan dan anak-anak jalanan yang berisiko untuk diperdagangkan Dia sama seperti orang kebanyakan serta terlibat dalam perdagangan narkoba di DKI Jakarta.
Hanya sekadar bertahan hidup di jalan kalau mujur mimpinya jadi kenyataan
Sekitar
”
13 musisi anak dari Yayasan Rumah Kita dengan bersemangat memainkan alat musik dan bernyanyi, mengisahkan kerasnya kehidupan anak-anak jalanan. Lagu itu bergema di ruangan teater Pusat Perfilman Usmar Ismail, dielu-elukan lebih dari 400 hadirin (laki-laki dan perempuan, tua dan muda), pada peluncuran Proyek ILOIPEC Pendukung Rencana Aksi Nasional tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak–Tahap II, Rabu, 9 Juli lalu. Didanai Departemen Perburuhan Pemerintah Amerika Serikat, proyek ILO-IPEC memiliki dua strategi, yang
Dalam peluncuran proyek, Erman Suparno, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, mengatakan bahwa tahap kedua proyek sangat mendukung langkah-langkah yang diambil pemerintah untuk menghapuskan bentuk-bentuk terburuk pekerjaan untuk anak di Indonesia. "Kami terus memberikan perlindungan yang baik dan kesadaran terhadap pekerja anak Indonesia,” kata dia. Meutia Hatta, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, mengatakan jutaan anak-anak Indonesia terpaksa putus sekolah dan memasuki dunia kerja sebelum mereka menyelesaikan pendidikan dasar. Mereka terjebak karena harus ikut menghidupi keluarganya yang miskin. "Data pemerintah memperlihatkan, saat ini terdapat 11,7 juta anak yang putus sekolah dasar. Kementerian
...
©ILO/ILO Jakarta
LAPORAN UTAMA INDONESIA, ILO ...
Negara telah mengembangkan sejumlah kebijakan melindungi anak-anak dari bentukbentuk pekerjaan terburuk. Kami mengembangkan kebijakan perlindungan untuk pekerja rumah tangga anak, pemberdayaan ekonomi bagi anak-anak jalanan dan keluarganya, serta menerapkan tahap pertama Rencana Aksi Nasional untuk Menghapuskan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak," kata Meutia. Selain sambutan pembukaan, para peserta diajak untuk menikmati acara menarik lainnya, seperti paduan suara, pagelaran teater dan persembahan lagu oleh seorang mantan pekerja anak, Toronata Tambun. Peluncuran ini ditandai dengan pembukaan dua poster pendidikan oleh Menteri Tenaga Kerja. Poster-poster tersebut menegaskan pentingnya pendidikan sebagai investasi masa depan. Poster-poster itu dibuat oleh ILO bersama Ogilvy, agen kreatif dunia. Pembukaan poster
Pengecapan tangan di atas prasasti batu berisikan slogan Stop Bekerja,
diikut dengan penandatanganan pada prasasti batu, yang bertuliskan slogan Berhenti Bekerja, Kembali ke Sekolah, oleh para penjabat dari pemerintah Indonesia, Kedutaan Amerika Serikat, ILO, dan dua perwakilan anak. Penandatanganan tersebut disaksikan oleh para wakil pengusaha dan pekerja. D
dari KAMI Edisi Warta ILO Jakarta kali ini, boleh dibilang, menjadi cerminan dari beragamnya program ILO di Indonesia, yang meliputi Program Nasional Pekerjaan yang Layak hingga kerangka kerja program ILO— yang mencakup berbagai dimensi dari standar ketenagakerjaan hingga penciptaan kerja, dari perlindungan sosial hingga dialog sosial.
© G.Lingga/ILO Jakarta
Program ILO di Indonesia baru-baru ini diperluas dengan sejumlah proyek terbaru termasuk peluncuran tahap kedua Program Terikat Waktu Indonesia tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, yang didanai Departemen Perburuhan Amerika Serikat. Kegiatan kunci lainnya yang baru saja disetujui adalah tahap kedua Proyek Pembangunan Jalan ILO, didukung Multi Donor Fund untuk Aceh dan Nias.
Beragam program tersebut dapat terlihat dari perkembangan dan kegiatan yang sedang Alan Boulton, Direktur ILO di Indonesia, dalam salah satu talkshow interaktif, Smart Workers, dengan SmartFM, sebuah stasiun radio nasional. berjalan: ratifikasi Konvensi 185 tentang Dokumen Identitas Proyek lain yang juga baru saja dimulai adalah Flu Pelaut oleh Indonesia; pelatihan untuk pelatih tentang Burung dan Tempat Kerja. Proyek ini berupaya memerangi memulai dan meningkatkan usaha (SYIB) di Bandung dan epidemi ini melalui peningkatan kesadaran, peningkatan Makassar; kegiatan bersama antara pekerja dan pengusaha berbagi informasi dan pelaksanaan dari praktik-praktik untuk menanggulangi masalah ketenagakerjaan muda; terbaik keselamatan dan kesehatan kerja serta menjadi forum untuk menyikapi masalah reformasi jaminan sosial bagian dari respons PBB terhadap epidemi ini di negaradi Indonesia bersama dengan Jamsostek dan para mitra negara anggota APEC. sosialnya; serta kunjungan studi oleh delegasi bipartit untuk belajar dari kondisi hubungan industrial di Kami pun selalu berupaya meningkatkan kesadaran di Malaysia. antara konstituen ILO dan masyarakat umum mengenai permasalahan dan tantangan di dunia kerja. Dalam
2
Proyek ILO-IPEC Tahap II
Apa dan bagaimana Saat
ini, sekitar 166 juta anak di seluruh dunia merupakan pekerja anak dengan 74,4 juta terlibat dalam bentuk-bentuk pekerjaan berbahaya. Di Indonesia, pada 2004 diperkirakan 1,4 juta anak-anak usia 10-14 tahun terlibat dalam pekerjaan. Sebagian besar dari mereka bekerja dengan jam kerja yang panjang, dan acapkali dalam kondisi berbahaya, sudah begitu mereka pun tidak mendapatkan peluang pendidikan yang akan memberikan masa depan yang lebih baik. Tahap kedua proyek ini ditujukan untuk mendukung peningkatan kerangka kebijakan, membangun kesadaran, memperkuat kapasitas kelembagaan dan mengembangkan serta menerapkan model untuk menanggulangi pekerja di tingkat komunitas. Melalui program-program ini, proyek akan menarik anak-anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan mencegah lainnya untuk memasuki pekerjaan sejenis. Anakanak dibantu melalui layanan pendidikan dan lainnya, termasuk melalui Program Keluarga Harapan. Banyak keluarga dan masyarakat akan menikmati keuntungan dari program sosio-ekonomi yang didukung oleh proyek ini.
“Tujuannya agar programprogram ini memberikan model yang dapat dilakukan di tempattempat lain oleh pemerintah atau mitra lainnya. Proyek juga akan menjalin kerja sama dengan mitramitra ILO dari pemerintah, organisasi pekerja dan pengusaha dan LSM,” ujar Arum Ratnawati, Kepala Penasihat Teknis Program Pekerja Anak ILO. Proyek baru ini akan dibangun berdasarkan kinerja dan pencapaian ILO sebelumnya dalam menanggulangi masalah pekerja anak di Indonesia. Di bawah tahap pertama proyek, dari tahun 2004-2007, sekitar 2.514 anak-anak telah ditarik dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan diperkirakan 27.078 anak-anak telah dicegah memasuki pekerjaan serupa. D
Pencapaian Proyek
memperingati Hari Menentang Pekerja Anak seDunia pada 12 Juni lalu, kami menyelenggarakan pameran foto dan poster bertajuk “Kerjaku, Duniaku: Potret Pekerja Anak di Indonesia” di sebuat pusat perbelanjaan di Jakarta. Kami pun melanjutkan program radio minggu bersama SmartFM dan merencanakan program berseri bincang-bincang televisi mengenai ketenagakerjaan muda dan kewirausahaan. Sejalan dengan peringatan 10 tahun ratifikasi Konvensi Kebebasan Berserikat oleh Indonesia, kami juga menggelar pameran foto dan akan menyelenggarakan forum publik berskala nasional dan kegiatan-kegiatan lainnya. Melalui semua kegiatan dan kerja sama yang tertuang di dalam Warta ini, ILO akan selalu berupaya mempromosikan kesempatan kerja yang layak untuk semua. D
Tahap1
pun memainkan peran penting dalam pencapaian RAN Tahap I secara keseluruhan yang dilakukan 0leh berbagai pemangku kepentingan, di mana 13.922 anak telah ditarik dari pekerjaannya dan 29.863 anak lainnya dicegah dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Selain itu, di bawah tahap pertama, proyek pun mampu meningkatkan kepedulian terhadap masalah pekerja anak dalam kebijakan dan kerangka kerja pemerintah nasional dan daerah; memperkuat kapasitas para mitra dalam menangani bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; meningkatkan landasan pengetahuan melalui, di antaranya, penelitian, seminar dan sosialisasi; serta melaksanakan lebih dari 70 program aksi di lima provinsi untuk menarik anak dari dan mencegah mereka memasuki bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Proyek juga telah mendukung terbentuknya sejumlah komite aksi penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dukungan tersebut menyokong keberadaan 22 komite aksi provinsi dan 75 komite aksi kabupaten/ kota, yang sebagian besar pembentukannya difasilitasi langsung oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. D
3
PEKERJA ANAK
Hari Menentang Pekerja Anak se-Dunia
Indonesia Fokus pada PENDIDIKAN Peringatan Hari Menentang Pekerja Anak se-
© D. Sudono/ILO Jakarta
Dunia pada 12 Juni lalu difokuskan pada peran pendidikan dalam memerangi pekerja anak, khususnya pada upaya untuk meningkatkan akses anak-anak terhadap sekolah. Mengusung tema “Pendidikan: jawaban terbaik bagi pekerja anak”, ILO bersama para mitranya pun menyelenggarakan sejumlah kegiatan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya memperbaiki akses anakanak terhadap pendidikan sebagai jawaban untuk menanggulangi pekerja anak. Tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, sejumlah acara dan kegiatan direncanakan untuk memperingati hari tersebut guna menegaskan kembali upaya memerangi pekerja anak, terutama bentuk-bentuk terburuknya. Di Indonesia, ILO- IPEC mendatangi kampus-kampus di Jakarta untuk membicarakan masalah pekerja anak dan pendidikan pada 10-12 Juni lalu. Menjalin kerja sama erat dengan para mahasiswa dan pengajar, ILO-IPEC menggelar diskusi interaktif di tiga kampus: London School of Public Relations (LSPR), Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Universitas Atma Jaya.
daftar isi Dari Kami
2 3
Pekerja Anak
6
Sekilas W arta Warta
8
Ketenagakerjaan
Hak-hak dalam Bekerja Perlindungan Sosial Gender
10 14 15 18
Dialog Sosial
19 22
Cuplikan Kolom Agenda Publikasi
4
21 24
Ahmad Marzuki, Direktur Eksekutif JARAK, bersama dengan ILO-IPEC, berbicara di hadapan siswa Atma Jaya tentang pekerja anak
Selanjutnya, lokakarya nasional bertajuk “Pendidikan, Jawaban Terbaik bagi Pekerja Anak” juga digelar pada 26 Juni, di Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Diselenggarakan bersama Departemen Pendidikan Nasional, lokakarya ini ditujukan untuk membangun koordinasi yang lebih baik di antara lembaga-lembaga yang menangani pekerja anak dan lembaga-lembaga yang bergerak di bidang pendidikan. Lokakarya ini mampu menjadi media untuk berdikusi mengenai cara mengarusutamakan masalah-masalah terkait pekerja anak ke dalam program dan kebijakan pendidikan. Tak Cuma itu, seminar dua hari tentang berbagai temuan awal dari Survei Pendidikan untuk Semua di Sulawesi Selatan juga diselenggarakan pada 30 Juni-1 Juli. Seminar ini diselenggarakan ILO melalui Proyek Pendidikan dan Pelatihan Keterampilan bagi Kaum Muda (EAST) bersama dengan UNICEF dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan merupakan provinsi pertama yang menyusun indikatorindikator pendidikan berdasarkan tiga pilar, yaitu: akses, peningkatan kualitas dan manajemen. Guna memastikan penghapusan pekerja anak, ILO menyerukan agar pemerintah menyediakan pendidikan untuk semua hingga batas usia minimum untuk bekerja, program pendidikan yang menjangkau pekerja anak dan kelompok terkucil lainnya yang membawa anak-anak ini kembali ke sekolah, serta pendidikan dan pelatihan keterampilan yang berkualitas, dengan para pengajar yang terlatih dan profesional.D
“Ker jaku, Du niaku: “Kerjaku, Dun
Potret Pekerja Anak di Indonesia” Masih dalam rangkaian peringatan Hari Menentang
Pekerja Anak se-Dunia, ILO menggelar pamarean foto bertajuk “Kerjaku, Duniaku: Potret Pekerja Anak di Indonesia”, 23 Juni-5 Juli lalu di City Walk Sudirman, Jakarta. Pameran berdurasi dua minggu ini setiap harinya dikunjungi 250 orang. Sekitar 40 foto dan 10 poster dipamerkan. Foto-foto ini mengilustrasikan kisah anak-anak yang mulai bekerja sejak usia dini, sehingga mereka tidak dapat menikmati masa kanak-kanak dan kesempatan memperoleh pendidikan. Foto-foto ini pun menggambarkan beragam bentuk dan realitas kehidupan para pekerja anak, dari pekerja rumah tangga anak, anak-anak yang bekerja di pertanian, anak-anak yang diperdagangkan untuk eksploitasi seksual komersial hingga anak jalanan yang berisiko terlibat dalam perdagangan obat-obatan terlarang. Sejumlah foto juga mengangkat tema anak dan pendidikan, baik formal maupun informal. Sebagian besar foto ini direkam melalui kamera seorang foto jurnalis yang telah memenangkan sejumlah penghargaan, M. Asrian Mirza, dan sebagian lagi diambil oleh sejumlah mahasiwa dari klub foto London School of Public Relations. Dua diskusi interaktif digelar, “Anak yang Dilacurkan: Etika Vs Kontroversi” dan “Di balik Pintu Tertutup: Kehidupan Pekerja Rumah Tangga Anak”, selama pameran pada 27 Juni dan 3 Juli. Diskusi-diskusi ini mendapat tanggapan yang cukup baik dari para peserta dan pengunjung City Walk Sudirman. “Kami memadukan pameran dengan diskusi interaktif untuk meningkatkan minat dan kesadaran mengenai kehidupan pekerja anak di Indonesia. Kami juga menyebarluaskan kartu-kartu komentar untuk diisi oleh masyarakat guna mengumpulkan pendapat mereka tentang masalah pekerja anak di negara ini sehingga kita bisa bersama-sama memeranginya. Kami mendapatkan banyak tanggapan menarik,” kata Arum Ratnawati, Kepala Penasihat Teknis Proyek Pekerja Anak ILO. D
Kata Mereka…
iLO-IPEC menyebarluaskan kartu komentar dari 23
Juni-9 Juli ke masyarakat luas, khususnya kepada para pengunjung pameran foto. Kartu tersebut menanyakan: Apa yang harus dilakukan untuk menghapuskan pekerja anak di Indonesia? Kami menerima banyak komentar dari beragam orang dari berbagai profesi, antara usia 8 tahun (termuda) dan 67 tahun (tertua). Mayoritas dari mereka mengusulkan perlunya pendidikan gratis dan berkualitas bagi pekerja anak untuk mencegah mereka memasuki dunia kerja pada usia dini. D
“Menurut saya, pendidikan harus gratis agar anak-anak dari keluarga miskin bisa bersekolah.” (Mirsha, pelajar, 10 tahun) “Jangan korupsi! Uangnya bisa dibuat membangun sekolah-sekolah gratis supaya anak-anak tidak bekerja dan bisa bersekolah–setidaknya pendidikan wajib sembilan tahun, kalau bisa malah lebih dari sembilan tahun.” (Ghina, pelajar, 14 tahun) “Ciptakan lebih banyak lapangan kerja buat mereka yang membutuhkan, terutama masyarakat miskin. Apabila kebutuhkan akan kerja dan penghasilan terpenuhi, orangtua tidak akan menyuruh anaknya bekerja.”(Anggi, jurnalis, 25 tahun) “Aksi-aksi yang dilakukan harus terpadu. Stop eksploitasi dan perdagangan anak dengan menegakkan hukum dan sanksi terhadap mereka © E. Novitasari/ILO Jakarta yang mempekerjakan atau memperdagangkan anak; berikan pelatihan kecakapan, sekolah berbasis pekerja anak (pendidikan gratis) bagi anak-anak dari keluarga miskin,serta berdayakan orangtua dan bangun kapasitas mereka dengan pemantauan ketat.” (Lusie, analis sistem, 33 tahun). “Terdapat sejumlah masalah yang harus ditanggulangi, di antaranya: k0mitmen yang lebih mendalam di tingkat sosial dan politik guna memastikan hak-hak anak dalam mengakses pendidikan; sosialiasi masyarakat yang lebih luas; serta dorongan yang bersifat lebih langsung bagi pekerja anak untuk melanjutkan atau kembali bersekolah.” (Takako Koizumi, Departemen Pendidikan– JICA)
5
PEKERJA ANAK
Menanggulangi Pekerja Anak melalui Sistem Pemantauan Pekerja Anak Sebuah Sistem Pemantauan Pekerja Anak kini diterapkan untuk menanggulangi pekerja anak secara lebih efektif. Sistem pengawasan ini, CLMS, diujicobakan oleh Proyek ILO tentang Pendidikan dan Pelatihan Keterampilan bagi Kaum Muda (ILO-EAST), berkoordinasi dengan Provinsi Papua, Nusa Tengara Timur (NTT) dan Sulawesi Selatan.
Sistem ini bertujuan untuk (i) mengidentifikasi pekerja anak dan risiko yang mereka hadapi; (ii) mengarahkan mereka pada layanan untuk rehabilitasi dan memberikan dukungan pengurangan risiko sebagai pendekatan sementara; dan (iii) menelusuri untuk memastikan bahwa mereka telah ditarik, risiko telah dihapuskan dan mereka mendapatkan alternatif yang memuaskan.
dan LSM untuk saling bekerja sama memerangi pekerja anak merupakan pendekatan multidisipliner yang kami sangat perlukan di provinsi kami. Karenanya, Child Labour Monitoring System akan menjadi bagian dari Rencana Strategi (Renstra) di Papua untuk mencapai tujuan Pendidikan untuk Semua,” kata Muhammad Yusuf, Team Leader Education Strategic Plan, Provinsi Papua, yang berperan dalam perancangan Renstra.
Untuk memastikan pelaksanaan CLMS, dua pelatihan diselenggarakan bagi 15 pelatih utama dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Pendidikakn Nasional di ketiga provinsi dan staf ILO-EAST. Lokakarya Orientasi CLMS pertama diselenggarakan pada 89 April di Makassar dan kedua pada 12-15 Mei di Jakarta.
Komite Aksi Lokal didirikan di kabupaten/kota sasaran untuk mengawasi dan memberikan panduan teknis dalam proses identifikasi dan membuatkan keputusan untuk memberikan acuan. Komite ini terdiri dari para bupati, pengawas ketenagakerjaan, petugas sosial, pendidikan, serikat pekerja, komite sekolah dan LSM.
Sebagai tindaklanjut, ketiga pemerintah provinsi telah mengeluarkan Peraturan Daerah untuk pengujian CLMS di tingkat kabupaten/kota, mengujicobakan komitmen mereka terhadap proses ini. Pemetaan layanan acuan sosial dari anak-anak yang menjadi sasaran telah difinalisasi di enam kabupaten/kota.
“Kami akan menyusun rencana aksi lokal dan merancang sistem acuan untuk memanfatkan dengan sebaiknya sumber daya yang tersedia, bersama pengawas ketenagakerjaan, guru, penggiat serikat buruh dan LSM. Mereka kemudian akan memberikan layanan terhadap pekerja anak yang sudah teridentifikasi. Adapun sistem acuannya mencakup pendidikan non formal dan formal, pemagangan, pelatihan keterampilan dan konseling,” ujar
“Memiliki jaringan perwakilan dari pendidikan, masalah sosial, pengawas ketenagakerjaan, serikat pekerja
ILO
cegah
Sekilas Warta FLU BURUNG di tempat Kerja
Tingkat kematian akibat flu burung di Indonesia tergolong tinggi. Hingga 30 Juni silam, 135 orang telah terinfeksi dan 110 meninggal karena penyakit ini. Risiko terinfeksi oleh virus ini juga terbilang masih tinggi: 31 dari 33 provinsi tergolong wilayah endemik virus flu burung pada unggas. Para pakar kesehatan masyarakat meyakini endemi influensa memang tidak dapat dihindari lagi. Padahal endemi ini dapat menjadi ancaman bagi dunia kerja. Pada
6
bentuk baru virus H5N1 yang bermutasi menyebar secara cepat dari manusia ke manusia, banyak yang tidak kebal menghadapinya. Penderitanya akan mudah jatuh sakit, bahkan meninggal. Alhasil, situasi ini dapat mengurangi tersedianya tenaga pekerja, serta mengancam mata pencaharian banyak pekerja dan keluarganya. Karenanya, pencegahan di tempat kerja berperan penting dalam menanggulangi penyebaran endemi dan melindungi keberlanjutan usaha.
CHILD LABOUR PEKERJA ANAK Keluarga Harapan yang baru saja dimulai, khususnya dalam memberikan acuan kepada anakanak terhadap layanan alternatif dan dukungan terhadap anggota keluarga. “Berlandaskan komitmen dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, kami berharap daerah-daerah sasaran dapat mendeklarasikan diri terbebas dari pekerja anak dalam beberapa tahun ke depan,” Patrick menambahkan.
Pekerja anak di sektor anak pertanian
Snezhi Bedalli, Pakar Pekerja Anak dan Pendidikan dari Proyek ILO-EAST. Tim Multidisipliner CLM yang terdiri dari lima pengawas terlatih akan dibentuk untuk mengawasi pekerja anak serta memantau kegiatan yang dilakukan. Pelatihan lima hari ini akan digelar di enam kabupaten/kota oleh para pelatih utama provinsi bersama dengan pakar dari ILO-EAST untuk meningkatkan kapasitas para komite tersebut. Kebutuhan pekerja anak sangatlah besar, karena itu paket layanan untuk menarik anak-anak dari pekerjaan harus dilakukan secara terpadu. CLMS tidak memberikan dukungan tambahan namun berupa perangkat untuk memanfaatkan perangkat yang tersedia dan memberikan pendekatan berstruktur untuk menghapuskan pekerja anak, di dalam lembaga dan program yang ada. Hal ini bertujuan memastikan keberlanjutan dari kegiatan yang ada. Di NTT, CLMS akan terpadu di dalam Program
Melalui proyek baru, “Flu Burung dan Tempat Kerja di Indonesia,” ILO mengambil sejumlah langkah melalui program pencegahan di tempat kerja. Program ini bertujuan meningkatkan kesadaran, menerapkan tindakantindakan terbaik dalam keselamatan dan kesehatan kerja yang juga terkait dengan hak dan perlindungan pekerja. Proyek ini berjalan selama satu tahun (2008-2009) di Provinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Proyek akan bekerja sama dengan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Kesehatan, Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemik Influensa (Komnas FBPI), serta organisasi pekerja dan pengusaha. Bersama dengan para mitra sosialnya, Proyek akan memfokuskan kegiatannya pada:
ILO-EAST merupakan proyek yang didanai Pemerintah Belanda dan akan dilaksanakan selama empat tahun oleh ILO. Tujuan utama dari Proyek ini adalah: (i) meningkatkan kemungkinan memperoleh pekerjaan dan kemampuan berwirausaha bagi kaum muda melalui peningkatan akses terhadap pendidikan dan pelatihan yang berkualitas dan relevan, dan (ii) mendukung penghapusan pekerja anak. Secara geografis proyek ini mencakup Provinsi Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Sulawesi Selatan dan Nangroe Aceh Darussalam. Proyek ini memiliki beberapa komponen yang akan diimplementasikan melalui berbagai lembaga dan institusi baik di tingkat nasional maupun lokal. © A. Mirza/ILO Jakarta
Komponen pertama akan difokuskan pada anak-anak usia Sekolah Menengah Pertama (usia 13-15 tahun). Mayoritas dari mereka terlibat dalam kegiatan ekonomi, baik untuk membantu orangtua di sektor pertanian atau melakukan beragam pekerjaan di pasar informal yang membuat mereka rentan akan risiko dan bahaya. D
Mengumpulkan, menyebarkan dan mendukung penggandaan atas praktik yang baik dari keselamatan dan kesehatan kerja di industri perunggasan dan industri lain yang berkaitan dengan upaya pencegahan terhadap kemungkinan penyebaran virus melalui saluran napas. Menyelenggarakan kampanye dan pelatihan untuk meningkatkan kesadaran tentang upaya mengurangi risiko terinfeksi dan mengurangi dampak endemi flu burung di tempat kerja. Memperkuat kapasitas para konstituen untuk mendukung pelaksanaan proyek dengan menyelenggarakan pelatihan untuk pelatih di tingkat nasional dan provinsi. Memberikan dukungan teknis pada pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh para pelatih lokal. D
7
KETENAGAKERJAAN
Jejaring Lapangan Kerja bagi Kaum Muda Indonesia
Komitmen dari para anggota baru Jejaring Lapangan Kerja bagi Kaum Muda (IYEN) dibentuk pada 2003 untuk mempromosikan dan mengoordinasikan berbagai upaya nasional dalam menyikapi masalah ketenagakerjaan muda.
Karena
prioritas pemerintah saat ini adalah meningkatkan perhatian pada masalah ketenagakerjaan muda, maka revitalisasi IYEN, yang melibatkan kajian Rencana Aksi 20042007, harus dilakukan. Sebuah tim yang terdiri dari empat konsultan mengevaluasi rencana aksi tersebut dan tengah menyusun rekomendasi untuk Rencana Aksi berikutnya. Salah satu rekomendasi utamanya adalah kebutuhan mendesak untuk meningkatkan koordinasi antara departemendepartemen terkait dan mengarusutamakan tantangan kaum muda dalam rencana aksi berikutnya, termasuk menyusun rencana pembangunan jangka menengah. Evaluasi ini pun menggarisbawahi kebutuhan akan indikator-indikator yang lebih tepat untuk memantau pelaksanaan, khususnya terkait dengan kemajuan dalam mencapai sasaran dan dampak kegiatan. Evaluasi ini juga merekomendasikan kegiatan-kegiatan IYEN harus terfokus pada: i) advokasi dan meningkatkan kesadaran bagi semua mitra mengenai masalah ketenagakerjaan muda; ii) penelitian tentang masalah dan faktor yang terkait dengan ketenagakerjaan muda; dan iii) berbagi pengetahuan dan jejaring untuk menyebarluaskan informasi kepada para anggota dan mitra IYEN, serta memastikan para kaum muda laki-laki dan perempuan memiliki akses yang sama terhadap informasi mengenai beragam program dan peluang kerja. “Kita harus memastikan strategi atau target-target ketenagakerjaan muda jelas dan dapat dicapai, termasuk memasukkannya ke dalam Rencana Pembangunan Jangka
8
Menengah pemerintah untuk memastikan sinergi kegiatan dalam upaya menciptakan pekerjaan yang berkualitas,” ujar Komara Djaja, Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Ekonomi saat memaparkan rekomendasirekomendasi kunci pada 3 Juli dalam Lead Country Meeting ketiga yang diselenggarakan Sekretariat YEN. Pertemuan ini didanai Pemerintah Inggris. Perserikatan BangsaBangsa memperkirakan, hingga tahun 2010 jumlah pekerja muda usia 15 dan 24 tahun akan bertambah sekitar 40 juta, dan untuk usia 15 hingga to tahun sebanyak 60 juta di saat yang sama. Angka-angka ini akan berjalan stabil hingga 2030 dan secara perlahan menurun hingga 2050. Namun, apabila setengah dari prediksi populasi kaum muda tersebut tidak melanjutkan sekolah menengah pertama, seperti yang saat ini terjadi, mereka akan memasuki dunia kerja dengan pendidikan rendah, tanpa keterampilan dan kemampuan kerja. Jumlah kaum muda usia 25-29 akan lebih banyak dibandingkan mereka yang berusia 20-24 dan 15-19 tahun. Alhasil, hal ini akan membawa dampak serius pada tingkat kemiskinan karena kaum muda pada usia ini (2529) acapkali sudah berkeluarga dan membutuhkan pekerjaan untuk menghidupi diri dan keluarganya. Karenanya, untuk memanfaatkan peluang pada 2020-2030, Indonesia membutuhkan kebijakan dan program mendesak untuk mempersiapkan kualitas sumber daya manusia agar dapat mengimbangi kebutuhan pasar kerja yang berubah cepat. D
KETENAGAKERJAAN
Mewujudkan Potensi
Kaum Muda melalui Pelatihan Kewirausahaan
Menggunakan metode baru, pelatihan yang diusung Proyek ILO-EAST, terbukti efektif melatih para pemuda putus sekolah. “Sebagai dosen, saya terbiasa menggunakan metologi mengajar yang konservatif. Karena itulah saya dapat memahami mengapa para siswa mengantuk di ruang kelas. Model partisipatif dengan prinsip-prinsip pembelajaran dewasa dari Pelatihan untuk Pelatih tentang Memulai dan Meningkatkan Usaha Anda membuat peserta tidak © B. Maryono/ILO Jakarta mengantuk dan bersemangat setiap saat,” kata DR. Ir. Palmarudi, MSU, salah seorang peserta dari Makassar, Sulawesi Selatan.
pelatih tingkat provinsi (36 laki-laki dan 19 perempuan). Sebagian besar dari mereka memberikan tanggapan positif terhadap pelaksanaan pelatihan tersebut. Tidak hanya dari segi isi (kewirausahaan) yang sangat relevan bagi kaum muda Indonesia yang menjadi sasaran, tapi juga metodenya yang sangat partisipatif dan menarik bagi kaum muda. Para pelatih tersebut akan memberikan pelatihan kewirausahaan di wilayah mereka masing-masing bagi sekitar 9.000 pemuda putus sekolah mulai Agustus 2008. Para peserta umumnya akan berasal dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), di mana mereka menerima layanan tambahan seperti pelatihan keterampilan dan konseling. Untuk menyebarkan pelaksanaan pelatihan tersebut dan menarik kaum muda yang tertarik mendalami kewirausahaan, program ini akan secara luas diumumkan melalui stasiun radio dan surat kabar lokal.
Redaksi
Pelatihan ini diselenggarakan di bawah Proyek ILO tentang Pendidikan dan Pelatihan Keterampilan bagi Kaum “Diharapkan pada akhir pelatihan, Muda (ILO-EAST). ILOpara peserta muda ini akan EAST merupakan sebuah mendapatkan rencana usaha yang proyek berdurasi empat mantap. Para pelatih pun akan Para peserta pelatihan SIYB di Bandung belajar banyak tentang kewirausahaan tahun yang didanai terlibat dalam bank dan lembaga Pemerintah Belanda. Salah keuangan kecil setempat untuk memfasilitasi para peserta untuk satu komponen dari proyek ini adalah pelatihan mendapatkan modal awal. Pelatihan tambahan akan diberikan kewirausahaan bagi para pemuda putus sekolah di enam bagi kaum muda untuk mendampingi langkah pertama mereka provinsi sasaran: Papua, Papua Barat, Maluku, Nusa memasuki dunia usaha,” Budi Maryono, Pakar Kewirausahaan Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Nanggroe Aceh Proyek ILO-EAST menjelaskan, seraya menambahkan bahwa Darussalam. pemantauan ketat akan dilakukan para pelatih untuk mengukur Hingga saat ini, tiga pelatihan Memulai dan hasil sehingga model SIYB dapat diarusutamakan ke dalam Meningkatkan Usaha Sendiri (SIYB) telah dilaksanakan (di paket layanan yang diberikan PKBM dengan dana Bandung, 12-23 Mei dan di Makassar 2-13 Juni), diikuti 55 pemerintah.D Pemimpin Redaksi: Alan Boulton Wakil Pemimpin Redaksi: Peter van Rooij Editor Eksekutif: Gita Lingga, Rebecca McClelland Koordinator Editorial: Gita Lingga Sirkulasi: Budi Setiawati Kontributor: Abdul Hakim, Albert Y. Bonasahat, Arum Ratnawati, Budi Maryono, Gita Lingga, John Lindsay, Lusiani Julia, M. Bey Sonata, Rolly Damayanti, Snezhi Bedalli, Tauvik Muhamad dan Vanda Day. Desain & Produksi: Balegraph
Warta ILO Jakarta Menara Thamrin Building, Lantai 22 Jl. M. H. Thamrin Kav 3, Jakarta 10250, Indonesia Telp. (62-21) 391-3112, Faks (62-21) 310-0766 Email:
[email protected], Website: www.ilo.org/jakarta Warta ILO Jakarta merupakan terbitan ILO dalam dua bahasa yang bertujuan memberitakan kegiatan-kegiatan pokok ILO Jakarta di Indonesia. Warta ini akan dipublikasikan tiga kali dalam setahun serta dapat diakses secara online. Opini-opini yang tercantum di dalam publikasi ini tidak mencerminkan pandangan dari ILO.
9 9
HAK-HAK DALAM BEKERJA
Membangun Kapasitas Diplomat untuk Melindungi Pekerja Migran © Deplu RI
kepolisian dan imigrasi yang ditempatkan di luar negeri. Prioritas kebijakan ini sejalan dengan Program Pekerjaan yang Layak ILO untuk Indonesia 2006-2009. Sebagai bagian dari kerja sama tersebut, Proyek Pekerja Migran ILO mendukung Pelatihan Regional Asia-Pasifik bagi Para Diplomat tentang Perlindungan Pekerja Migran di Luar Negeri pada 7 – 9 Juli di Singapura. Proyek ini didanai Pemerintah Nowergia.
Pelatihan ini disasarkan bagi para pegawai Departemen Luar Negeri yang mendapat mandat untuk membantu para pekerja migran dan ditempatkan di Malaysia, Singapura, Hongkong, Korea Selatan, Australia, Jepang dan India.
Para peserta Pelatihan Regional Asia-Pacific mengunjungi Pusat Layanan Warga Negara, dipandu Duta Besar Indonesia untuk Singapore, Wardana (dua dari kanan)
Pada
Pelatihan ini disasarkan bagi para pegawai Departemen Luar Negeri yang mendapat mandat untuk membantu para pekerja migran dan ditempatkan di Malaysia, Singapura, Hongkong, Korea Selatan, Australia, Jepang dan India. Sebagian besar negara-negara tersebut merupakan negara tujuan para pekerja migran Indonesia, sementara Australia dan India kini berkembang menjadi calon negara tujuan.
2006, Pemerintah Indonesia mengumumkan serangkaian prakarsa kebijakan dan perangkat administratif untuk memperkuat perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia.
Masing-masing dari negara tujuan tersebut memiliki masalahnya sendiri. Kendati demikian masalah dan tantangan yang dihadapi para pekerja migran Indonesia umumnya sama. Selama diskusi diakui banyak tantangan yang harus diselesaikan dalam hal perlindungan dan pelayanan. Di saat yang sama, kapasitas pekerja migran Indonesian harus ditingkatkan agar mampu bersaing dengan pekerja dari negara lainnya, seperti dari Filipina.
Salah satu dari prakarsa kebijakan ini adalah Instruksi Presiden No. 6/2006, yang bertujuan untuk meningkatkan perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia di sepanjang proses migrasi, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di bawah instruksi tersebut, Departemen Luar Negeri memainkan peran penting dalam melindungi warga negara Indonesia yang hidup dan bekerja di luar negeri.
Pelatihan ini juga melengkapi para peserta dengan pemahaman mengenai konsep dasar migrasi, standar ketenagakerjaan dan hak asasi manusia tentang migrasi kerja, peran petugas layanan luar negeri dalam memberikan layanan dan bantuan terhadap para pekerja migran, dan dalam mengidentifikasi dan memperluas kesempatan akan pekerjaan yang layak bagi para pekerja migran Indonesia.
Untuk memastikan bahwa perlindungan bagi pekerja Indonesia di luar negeri menjadi prioritas utama, Departemen Luar Negeri telah menjalin kerja sama dengan ILO sejak 2006 untuk membangun kapasitas para diplomat dan atase dari departemen-departemen lainnya, seperti Departemen Tenaga Kerja, Departemen Hukum,
10
Para perserta juga mengunjungi Pusat Layanan Warga Negara (Citizen Service Center) yang dioperasikan Kedutaan Indonesia di Singapura. Kunjungan ini dipandu langsung oleh Duta Besar Indonesia untuk Singapura, Wardana. Ia memperlihatkan fasilitas dan layanan yang diberikan pusat layanan tersebut. “Hingga saat ini, Departemen Luar Negeri telah mengembangkan pusat-pusat layanan lainnya di Brunei Darussalam, Korea Selatan, Qatar, Syria dan Yordania guna memberikan fasilitas dan perlindungan yang lebih baik bagi para pekerja migran Indonesia. Namun, sebagai pusat layanan
“Senang atau Susah, Saya Akan Kembali ke Luar Negeri!” Albert Y. Bonasahat merupakan salah seorang staf Proyek Pekerja Migran ILO. Saat mengikuti Pelatihan Regional AsiaPasifik bagi Para Diplomat tentang Perlindungan Pekerja Migran di Singapura, ia bertemu dengan mantan pekerja migran yang masih menunggu keputusan pengadilan. “Saya terkejut saat mendengar pengalaman traumatis yang dialaminya. Tapi, baginya, menyerah bukanlah sebuah pilihan. Ia bahkan siap untuk bekerja lagi, kendati baru mengalami kejadian buruk. Saya ingin membagi kisahnya, sebagai inspirasi untuk menghentikan penganiayaan terhadap para pekerja migran.” (* nama disamarkan sesuai permintaan) Panggil saja ia Ani*. Ia muda dan cantik. Impian terpendamnya akhirnya terwujud tiga tahun lalu, ketika dari Malang, Jawa Timur, ia berangkat ke Batam untuk mengikuti sesi pengarahan terakhir pra-keberangkatan. Dari sana, hanya beberapa kilometer dari pantai, ia dapat menyaksikan gemerlapnya kilauan lampu Singapura, yang seperti memanggilnya untuk datang dan menggapai kehidupan yang lebih baik.
percontohan, saya yakin pusat layanan ini dapat menjadi contoh dan model yang harus direplikasi di negara-negara tujuan lainnya,” ujar Duta Besar Wardana, seraya menambahkan bahwa Departemen Luar Negeri berencana membangun delapan pusat layanan tahun depan. Pusat layanan tersebut memberikan tempat penampungan sementara bagi para pekerja migran Indonesia yang menghadapi masalah di Singapura dan memilih untuk meninggalkan majikannya. Pusat layanan pun memberikan program pelatihan keterampilan kerja, termasuk pelatihan bahasa Inggris dan Mandarin serta komputer. Selanjutnya, pusat layanan ini juga memberikan bantuan hukum bagi para pekerja migran Indonesia yang menghadapi masalah hukum di Singapura. Salah seorang peserta dari Kedutaan Indonesia di Jepang mengatakan bahwa pelatihan ini memberikannya peluang untuk lebih mendalami masalah migrasi kerja dan langkahlangkah terbaik yang telah dilakukan di tingkat internasional untuk melindungi dan mempromosikan pekerja migran Indonesia. “Tantangan kami sekarang adalah menerapkan apa yang telah kami pelajari. Namun, karena hal ini telah menjadi prioritas Departemen Luar Negeri untuk melindungi para pekerja migran dengan lebih baik, saya yakin kami dapat menjadi teman sejati para pekerja migran Indonesia,” tegasnya. D
“Saya punya beberapa teman yang pergi ke Singapura untuk bekerja. Mereka kelihatan bahagia dan berhasil mengubah kehidupan. Saya pikir saya dapat mendapatkan penghasilan yang bagus, juga pengalaman kerja. Sesederhana itu,” ujar dia, menjelaskan motivasinya berangkat ke luar negeri. Ia pun meninggalkan pekerjaannya di Malang untuk menjadi pekerja rumah tangga di Singapura, di mana sang agen mengatakan ia akan mendapat gaji lebih besar. Dua bulan pertama, kehidupan baru Ani di Singapura berjalan lancar. Ia bekerja dengan rajin dan mulai menguasai pekerjaan barunya. Keadaan berubah ketika majikan perempuannya mulai memperlakukannya dengan buruk. Awalnya, ia hanya mengeluarkan kata-kata kasar saat Ani melakukan kesalahan. Tak lama kemudian, ia mulai memukulinya, terkadang tanpa alasan. Ani mengalami penganiayaan fisik dan mental hampir setiap hari selama satu setengah tahun. Ia hanya dapat berharap perilaku sang majikan berubah. “Saya menderita,” kata dia, “namun saya selalu percaya dia akan berubah. Saya tidak pernah melaporkannya ke polisi. Saya hanya pasrah karena saya diajarkan orangtua untuk bersabar saat menghadapi masalah. Saya terus berdoa dia kembali baik dan hidup saya akan segera berubah,” ia menjelaskan. Untungnya, salah seorang tetangga curiga dan menandai kondisi fisiknya yang melemah. Ia pun menyelamatkan Ani, dan membawanya ke polisi. Petugas kepolisian pun menyelidiki kasusnya dan membawanya ke Kedutaan Indonesia di Singapura. “Saya sudah di sini selama 14 bulan. Saya masih menunggu keputusan pengadilan melawan majikan saya, dan saya harus tinggal lebih lama. Tapi saya baik-baik saja karena suasana di sini lebih menyenangkan. Setiap orang pun memperlakukan saya dengan baik dan saya mendapatkan pelatihan kerja di Kedutaan,” kata dia, tersenyum. Dengan mata bersinar penuh harapan, Ani melanjutkan,”Seperti rekan lainnya yang masih menunggu penyelesaian kasus, saya menerima 10 dolar Singapura per hari untuk untuk masa kerja maksimum 15 hari setiap bulan. Mereka melatih kami melakukan pekerjaan administratif dan memberikan uang saku. Tapi, yang terpenting adalah saya merasa aman.” Sambil menunggu penyelesaian kasusnya, Ani terus meningkatkan kemampuannya karena ia berniat segera kembali bekerja di luar negeri. “Sambil menunggu, saya tidak berhenti mempersiapkan diri untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Apa yang terjadi pada saya hanyalah nasib buruk dan saya yakin tidak akan berlangsung selamanya. Hidup terus berubah,” kata dia yakin, menolak untuk menyerah. “Di samping itu, apa pun yang terjadi, saya harus membuktikan bahwa saya dapat berhasil bekerja di luar negeri. Terkadang, kita berada di bawah tapi akan datang saatnya kita mencapai titik puncak. Hidup saya akan berubah, saya yakin,” ia menambahkan dengan bijaksana.D
11
HAK-HAK DALAM BEKERJA
Memperkuat Kebijakan
untuk Melindungi
Pekerja Migran Indonesia Terkait dengan semakin banyaknya eksploitasi dan penganiayaan di sepanjang proses migrasi, 2006 lalu pemerintah Indonesia mengumumkan serangkaian inisiatif kebijakan dan perangkat administratif untuk memperkokoh perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia. Salah satu inisiatif kebijakan ini adalah Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2006, yang menegaskan rencana aksi dengan langkah dan tenggat waktu yang konkret bagi sejumlah kementerian untuk secara efektif meningkatkan perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia di sepanjang proses migrasi baik di Indonesia maupun di luar negeri. Pada 2007, terlihat jelas perangkat kebijakan yang komprehensif sangat diperlukan pemerintah Indonesia untuk menyikapi besarnya permasalahan yang dihadapi pekerja migran Indonesia. Harus diakui, hal ini merupakan wilayah yang penuh tantangan, mengingat migrasi kerja merupakan sektor multilateral yang berada di bawah naungan lebih dari 13 departemen dan badan pemerintah. Tidak hanya itu, hal ini juga terkait erat dengan penyalur kerja dalam hal rekrutmen, pelatihan, asuransi, kesehatan dan layanan keuangan. Untuk memfasilitasi koordinasi dan kerja sama para pihak terkait, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Ekuin) membentuk kelompok kerja
tetap menyangkut migrasi kerja, yang terdiri dari perwakilan departemen pemerintah, penyalur tenaga kerja swasta, dan organisasi masyarakat. Para anggota kelompok kerja ini bertemu secara berkala di bawah kepemimpinan Menko Ekuin. Menko Ekuin meminta bantuan teknis dari ILO untuk memastikan perencanaan kebijakan dan administratif dari berbagai kelompok kerja ini mencerminkan praktik-praktik terbaik internasional tentang manajemen migrasi kerja dan memahami standar-standar internasional tentang perlindungan pekerja migran. “ILO menanggapi permintaan ini melalui Proyek Pekerja Migran, yang didanai Pemerintah Nowergia, yang telah menjalin kerja sama dengan Menko Ekuin sejak 2006,” jelas Lotte Kejser, Kepala Penasihat Teknis Proyek Pekerja Migran ILO . Dalam kegiatan-kegiatannya terkini, Menko Ekuin, bersama ILO, mengumpulkan perwakilan senior kelompok kerja pada 8-10 Mei dalam sesi perencanaan tingkat tinggi untuk menghasilkan kebijakan yang lebih mendalam untuk menggantikan Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2006. “Difasilitasi oleh pakar migrasi kerja internasional, para peserta mengkaji dan merencanakan program migrasi Indonesia yang sudah ada dan direncanakan, membandingkannya dengan praktik-praktik terbaik dari berbagai negara dengan konteks serupa dan
Mempromosikan Pendidikan Kewirausahaan bagi Siswa Sekolah Kejuruan Sejak 2006, Departemen Pendidikan Nasional (Diknas) telah menerapkan dan mengadopsi silabus Mengetahui tentang Bisnis (KAB) ILO untuk Pendidikan Kewirausahaan di sekolah-sekolah menengah kejuruan di seluruh Indonesia. Setahun kemudian, pada 2007, keenam Pusat Pengembangan Pendidikan Teknis dan Kejuruan telah menerapkan dan mengadopsi KAB dalam pelatihan tahunan mereka. Selanjutnya, masing-masing pusat pendidikan secara aktif mempromosikan program pelatihan KAB kepada lembaga pemerintah di tingkat nasional dan provinsi serta bekerjasama dengan sektor swasta untuk mendanai pelatihan bagi para guru. Alhasil, sekitar 500 guru dapat
12
© ILLO/ILO Jakarta
RIGHTS AT WORK
dibawa ke masing-masing departemen dan lembaga swasta lainnya untuk divalidasi dan disempurnakan. Komara Djaja, Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, mengatakan, “Menko Ekuin sangat senang dengan bantuan teknis yang diberikan ILO untuk menfasilitasi proses antardepartemen ini. Ketika sejumlah kementerian mengambil langkah untuk melindungi pekerja migran, bantuan teknis ILO memperkuat perencanaan kebijakan migrasi kerja Pemerintah Indonesia guna memberikan perlindungan yang lebih baik kepada pekerja migran di Indonesia dan luar negeri.” © A. Mirza/ILO Jakarta
menggolongkannya sesuai dengan standar internasional tentang perlindungan pekerja migran,” ujar Lotte. Selanjutnya, para peserta pun menyusun Peta dan Rencana Aksi untuk Penempatan, Perlindungan dan Keuangan dari sistem manajemen migrasi Indonesia, membangun program dan struktur yang sudah ada sebanyak mungkin. Peta dan Rencana Aksi ini telah
berpartisipasi dalam program pelatihan tersebut. Karena tingginya permintaan, pemerintah pun berencana meningkatkan jumlah fasilitator kunci hingga 60 orang pada tahun ini. Suwadi, salah seorang fasilitator KAB dari pusat pengembangan di Malang, mengatakan bahwa pada awalnya ia sulit mempromosikan program pelatihan kewirausahaan ini kepada para guru. “Kebanyakan masih terfokus pada keterampilan teknis dan pencapaian akademis. Saat mereka menyadari bahwa kewirausahaan menjadi aspek penting dalam membangun masa depan siswa, permintaan akan pelatihan ini meningkat pesat. Terima kasih kepada ILO yang telah membantu kami mempromosikan program ini secara luas,” ia menambahkan. Pusat Pengembangan ini pun telah membantu Direktorat Pengembangan Pendidikan Menengah Kejuruan
Pada Agustus 2008, di bawah kepemimpinan Menko Ekuin dan fasilitas Proyek Pekerja Migran ILO, para peserta kelompok kerja akan menyempurnakan Peta dan Rencana Aksi sesuai dengan masukan dan hasil kerja di lembagalembaga ini. Terkait problem sistematis dalam migrasi kerja Indonesia, pengembangan kebijakan dan struktur memang menjadi persyaratan utama bagi perlindungan dan penempatan yang lebih efektif bagi pekerja migran Indonesia. D
untuk membentuk “Klub Usaha Siswa” bagi para siswa yang tertarik menjalankan kegiatan usaha. Untuk mempromosikan kerja mandiri sebagai pilihan karir bagi para siswa dari sekolah menengah kejuruan, Diknas telah memperkenalkan Kompetisi Rencana Usaha sebagai bagian dari Kompetisi Tahunan tentang Keterampilan Nasional yang diselenggarakan sejak 2007. Kendati hanya 30 siswa yang mendaftar pada kompetisi tahun lalu, Diknas mengharapkan peningkatan jumlah peserta pada kompetisi tahun 2008. Pendidikan kewirausahaan tidak hanya mengajarkan seseorang bagaimana menjalankan usaha, tapi juga mendorong pola berpikir kreatif dan berperilaku kritis, selain juga mendorong penghargaan terhadap diri sendiri dan akutanbilitas. Program ini lebih kepada pendidikan kewarganegaraan,” kata Edison Ginting, fasilitator KAB lainnya dari Bandung. D
13
PERLINDUNGAN SOSIAL
Mengkaji Jaminan Sosial di Indonesia:
Perlukah Jamsostek Direformasi? Hanya sebagian kecil dari penduduk Indonesia yang hampir mencapai 230 juta tercakup pengaturan jaminan sosial formal. Pada 2007, 23,1 juta pekerja di 143.ooo perusahaan terdaftar di PT. Jamsostek, lembaga asuransi sosial nasional bagi para pengusaha sekor swasta dan para karyawannya. Namun, hanya 7,9 juta pekerja di 91.000 perusahaan yang menjadi anggota aktif. Lebih dari itu, kontribusi dari asuransi sosial ini masih tidak menjangkau seluruh pekerja, termasuk mereka yang berada di ekonomi informal.
dalam menyusun kerangka peraturan yang lebih baik dan meningkatkan pengaturan kelembagaan Jamsostek dengan tujuan meningkatkan keanggotaan dan memberikan tunjangan yang lebih baik. Seminar pun akan membahas strategi-strategi untuk memperluas cakupan jaminan sosial bagi pekerja ekonomi informal. Seminar ini dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama membahas mengenai upaya meningkatkan pengaturan kelembagaan Jamsostek di Indonesia, dengan menghadirkan perwakilan dari Departemen Tenaga Kerja © ILO/ILO Jakarta
Seminar nasional tentang jaminan sosial yang diselenggarakan bersama
“Penting bagi Indonesia untuk melangkah maju dalam meningkatkan dan memperluas cakupan jaminan sosialnya. Strategi nasional yang dikembangkan melalui dialog antara pemerintah dan kelompok terkait, termasuk organisasi pengusaha dan pekerja, dapat mengidentifikasi langkah-langkah yang harus diambil, sejalan dengan kondisi nasional, untuk memberikan perlindungan yang lebih baik kepada masyarakat Indonesia,” ujar Alan Boulton, Direktur ILO di Indonesia, dalam sambutannya saat seminar nasional tentang jaminan sosial bertajuk “Mewujudkan Jaminan Sosial untuk Semua: Perlukah Jamsostek Direformasi?” Seminar ini diselenggarakan oleh ILO bersama dengan PT. Jamsostek pada 16 Juli di Jakarta. Seminar ini menjadi sarana untuk saling bertukar pandangan dan pengalaman
14
dan Transmigrasi (S. Lumban Gaol, Direktur Pengupahan dan Jaminan Sosial), Apindo (Sofjan Wanandi, Presiden) dan serikat pekerja (Rekson Silaban, Presiden KSBSI). Sofjan menyoroti masalah anggaran dan keuntungan manajemen dalam tubuh Jamsostek. Pengusaha dan serikat pekerja, kata dia, belum merasakan manfaat dari program-program Jamsostek. “Jamsostek harus bekerja lebih keras lagi untuk menyakinkan dan membangun kepercayaan para pengusaha. Manajemen Jamsostek, karenanya, harus secara aktif meningkatkan kesadaran para pekerja dan pengusaha mengenai manfaat yang ditawarkan melalui program-program yang mudah dipahami dan langsung menyentuh kebutuhan para pekerja.” Sementara itu, Rekson menekankan kebutuhan akan reformasi Jamsostek yang dikelola oleh badan tripartit yang
GENDER mewakili pemerintah, pengusaha dan pekerja (termasuk para pekerja mandiri), yang dituangkan dalam perundangan 2004 dan keuntungan seharusnya tidak masuk kantong pemerintah dalam bentuk dividen. “Ini uang kami, tapi yang menikmati orang lain (pemerintah). Lucu jadinya,” kata Rekson. Hingga tahun ini, keuntungan tahunan Jamsostek menjadi dividen bagi pemerintah. Seminar pun mengkaji kerangka peraturan untuk skema asuransi sosial, dengan menghadirkan Isa Rachmatarwata dari Departemen Keuangan, Mariani Akib Baramuli dari Komisi IX, DPR, dan Hasbullah Thabrany dari Universitas Indonesia. Seminar diakhiri dengan mengidentifikasi strategi-strategi untuk memperluas jaminan sosial terhadap penduduk yang belum terjangkau, termasuk pekerja ekonomi informal. Presiden Direktur Jamsostek Hotbonar Sinaga mengatakan bahwa pada tahun ini perusahaan ini akan menggaet 280.000 anggota baru dari sektor informal, meningkat dari 84.729 pada 2007. Karenanya, PT. Jamsostek meluncurkan sejumlah langkah “terobosan” untuk mencapai sasaran, termasuk membentuk kemitraan dengan lembaga pemerintah dan perusahaan negara lainnya, serta menggunakan sebagian dana dari tanggung jawab sosial perusahaan untuk menarik calon anggota baru. “Permasalahan utama dari mendaftarkan pekerja informal adalah absennya organisasi-organisasi payung (untuk membayar premium). Namun, kita akan mengambil sejumlah inisiatif, termasuk membentuk kemitraan dengan, misalnya, PT Permodalan Nasional Madani (PNM) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI), di mana keduanya dapat menjadi organisasi payung bagi pekerja sektor informal,” kata Hotbonar. Pada 2007, jumlah pekerja informal di seluruh negeri mencapai 66 juta, lebih dari dua kali lipat pekerja formal yang hanya sebesar 31 juta. Namun, pekerja sektor formal memiliki akses yang lebih baik terhadap Jamsostek, dengan jumlah keanggotaaan mencapai 23,7 juta dari lebih 159.000 perusahaan pada 2007, atau 76 persen dari keseluruhan anggota. Jamsostek pun menargetkan memperoleh 2,5 juta anggota baru dari sektor formal pada 2008. Komentar dari para panelis dibanjiri pertanyaan dari para peserta. Diskusi pun terjadi membahas mengenai perlunya Jamsostek meningkatkan pelayanan dan memperluas cakupannya kepada pekerja informal, manfaat yang ditawarkan kepada pengusaha dan pekerja, perlunya Jamsostek terfokus pada kesejahteraan sosial para anggotanya, dan kebutuhkan akan kegiatan peningkatan kesadaran.
Membangun Kapasitas
Memperkokoh Kesetaraan ILO
Jakarta menjalankan berbagai langkah untuk mengarustamakan gender dalam setiap kegiatan dan proyeknya. Pada April lalu, misalnya, ILO menyelenggarakan pelatihan yang melibatkan perwakilan dari para konstituen tripartit (pemerintah, pengusaha dan pekerja) untuk membangun kapasitas mereka dan memastikan pelaksanaan yang lebih baik mandat ILO guna mempromosikan kesempatan bagi semua perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan produktif. Sedikitnya 30 peserta dari berbagai provinsi di Indonesia dan Timor Leste menghadiri pelatihan ini. Selama empat hari, para peserta mendalami sejarah, prinsip-prinsip dan aspek-aspek penting dari Audit Gender Partisipatif. Bekerja dalam kelompok, para peserta berlatih melakukan wawancara staf, mengevaluasi data dan menyusun rencana aksi untuk menindaklanjuti pelatihan yang mereka terima. Seluruh peserta sangat menyadari tantangan yang mereka hadapi saat melakukan audit gender dalam organisasi mereka. Sebab, jika para pengambil keputusan tidak memahami keuntungan bagi organisasi, mereka akan enggan menjalankan program gender, khususnya audit gender. Untuk itu, para peserta belajar menjawab permasalahan ini dengan menekankan bahwa produktivitas akan meningkat ketika hambatan yang menghambat peluang perempuan dihapuskan. Aghni, dari KPSI, belajar banyak dari pelatihan ini dan kini sedang mempersiapkan audit gender di dalam SPMI, salah satu anggota dari KPSI. Ia pun sudah melihat keuntungan dari besarnya keterlibatan perempuan dalam serikat dan manajemen. Kini, lanjut dia, saatnya untuk mengkaji semua aspek agar SPMI lebih dapat mempromosikan kesetaraan gender. “Kami menginginkan kesetaraan gender dapat menjadi bagian dari budaya dan kebijakan SPMI. Sebelumnya, jika perempuan tidak bertanya, mereka tidak akan ingat. Kami menginginkan kesetaraan gender untuk dilembagakan sehingga perempuan tidak perlu bertanya lagi dan lagi.” D
Seminar ini dihadiri sekitar 150 peserta dari pemerintah, serikat pekerja, organisasi pengusaha, lembaga interasional dan nasional serta akademisi. D
15
PERLINDUNGAN SOSIAL
PEKERJAAN YANG AMAN bagi Pekerja Muda Permasalahan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) bagi para pekerja, khususnya para pekerja muda usia 15-17 tahun di sektor perkayuan dan pembuatan furnitur di Jepara, Jawa Tengah, masih menjadi tantangan.
Padahal, dalam masalah pekerja anak, K3 dapat menjadi salah satu cara untuk menanggulangi atau menghapuskan bentukbentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Pelaksanaan K3 pun dapat menghapuskan bahaya atau mengganti alat berbahaya di tempat kerja. Perhatian terhadap permasalahan ini terungkap ketika ILO memaparkan temuantemuan kunci Kajian Cepat tentang K3, Pekerja dan Pekerja Muda (15-17 tahun) dalam Industri Pembuatan Furnitur dan Perkayuan di Jepara pada 22 April dan di Semarang pada 24 April. Sementara Keputusan Presiden No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional juga mencantumkan sektor ini sebagai salah satu bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Kajian tersebut mengindikasikan pekerja anak di bawah usia 15 dan di Kajian tersebut antara usia 15 -17 tahun terbilang mengindikasikan rentan terpapar bahaya di sektor ini. “Sebagai contoh, ditemukan 20% dari pekerja anak di 75 pekerja anak tidak masuk kerja bawah usia 15 karena sakit, dengan jumlah yang dan di antara usia tinggi dibandingkan pekerja dewasa,” 15 -17 tahun ujar Hanifa Maher Dany, Konsultan ILO dari Universitas Diponegoro yang terbilang rentan melaksanakan kajian cepat tersebut. terpapar bahaya “Mereka terpapar debu, bau, bising, di sektor ini. benda tajam, pelarut dan lainnya. Banyak dari mereka tersengat aliran listrik akibat kabel-kabel listrik yang terkelupas. Mereka sangat rentan terhadap banyak bahaya yang dapat membahayakan masa depannya,” imbuhnya. Dr. Harjono, Ketua Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N), mengkhawatirkan kondisi di atas. “Pengusaha dan pekerja dewasa harus dapat memberikan pelatihan yang tepat dan memadai sebelum mempekerjakan pekerja muda, terutama mereka yang berusia di 15-17 tahun. Pengusaha juga harus meningkatkan kondisi kerja dan membuatnya aman bagi mereka,” tandasnya. Kekhawatiran yang sama juga diungkapkan pihak pemerintah. Warsini, Kepala Sub-Direktorat Kerja sama Lintas
16
© ILO/ILO Jakarta
Sektor, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, mendorong para koleganya dari unit pengawasan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kunjungan pengawasan, guna memberikan bantuan yang lebih baik dan melindungi pekerja muda usia 15-17 tahun. Peningkatan kondisi K3 di tempat kerja di Jawa Tengah sebetulnya bukan merupakan barang baru bagi pemerintah setempat. Pemerintah daerah telah menyusun sejumlah produk hukum mengenai pekerja anak, seperti Peraturan Daerah Jawa Tengah No. 7 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Pekerja Anak; Peraturan Gubernur Jawa Tengah No. 93 Tahun 2007 tentang Pembentukan Komite Aksi Provinsi mengenai Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak; dan Peraturan Gubernur Jawa Tengah No. 4 Tahun 2008 tentang Rencana Aksi Provinsi Jawa Tengah mengenai Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Bambang Prayitno, Kepala Sub Dinas Pengawasan Ketenagakerjaan di bawah Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Tengah, menjamin permasalahan K3, pekerja anak, dan lapangan kerja bagi kaum muda akan diprioritaskan ke dalam rencana kerjaJawa Tengah dan Jepara melalui penghapusan kondisi kerja berbahaya bagi pekerja muda di sektor perkayuan dan industri furnitur. “Provinsi Jawa Tengah akan terus memberikan perhatian serius pada permasalahan ini. Kami merupakan provinsi pertama yang membawa pengusaha yang mempekerjakan anak-anak di bawah 18 tahun dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak ke pengadilan dan dihukum.” D
KETENAGAKERJAAN
Proyek PIPE:
Mempertahankan Kesinambungan Proyek ILO untuk Pemberdayaan Masyarakat Adat Papua (PIPE), yang bertujuan memberdayakan masyarakat adat di provinsi Papua dan Papua Barat, Indonesia, pada 21 – 29 Juli 2008 telah memfasilitasi pelaksanaan berbagai kegiatan lanjutan pembangunan kapasitas para organisasi masyarakat dan badan pemerintah terkait di empat proyek percontohan, yaitu: Kabupaten Muara Tami di Kota Jayapura-Papua, Kabupaten Kemtuk Gresi/Gresi Selatan di Kabupaten Jayapura- Papua dan Kabupaten Tana Rubuh and Kebar/Senopi, Kabupaten Manokwari- Papua Barat.
Selama kegiatan, fasilitas dan perlengkapan mata pencaharian yang diserahkan, antara lain terdiri dari pusat layanan mata pencaharian masyarakat, bibit tanaman, kapal mesin penangkap ikan dan perlengkapannya, traktor tangan, pompa air, generator, pemotong rumput dan peralatah pengolah makanan. Penyerahan fasilitas dan peralatan ini sebelumnya telah didahului dengan masa persiapan yang panjang dalam hal mengembangkan kelembagaan dan keterampilan, mengintegrasikan kesadaran akan peran gender dan memperkokoh perdamaian dan mekanisme pembangunan.
Dalam sambutannya, Nerlince Rollo, Kepala Fasilitator Bertujuan untuk memastikan keberlanjutan dari hasil Pengembangan Masyrakat Reba A’ling, organisasi mitra di yang sudah dicapai, sejumlah kegiatan yang dilakukan Kabupaten Muara Tami dan John termasuk penyerahan © T. Muhamad/ILO Jakarta peralatan produksi dan fasilitas untuk Proyek PIPE saat ini memperkokoh dijalankan dengan mekanisme dukungan dari pendukung kehidupan masyarakat yang program nasional sudah ada; peluang untuk pembauntuk kepemimpinan ngunan komunitas dan tanggung jawab (PNPM) dan bersama untuk meningkatkan rencana strategis keterampilan local untuk manajemen pembangunan organisasi para tokoh pedesaan (RESPEK) masyarakat; dan meluncurkan peningkatan Pelatihan kewirausahaan ILO yang ditujukan bagi perempuan dari keterampilan bagi Lensru, Kepala Dewan Konsultasi Dumtru (DKD), kaum perempuan untuk meningkatkan kesadaran akan peran organisasi mitra dari Kabupaten District Kemtuk Gresi/ gender dalam proses pembangunan desa. Gresi Selatan menyatakan penghargaan mereka terhadap Alan Boulton, Direktur ILO di Indonesia, bersama Pembangunan Partisipasi Kemandirian Masyarakat (P2KM) dengan pejabat pemerintah terkait, termasuk Margono, yang diterapkan di dalam pelaksanaan proyek. Asisten 1, Kota Jayapura, Zadrak Wamebu, Wakil Bupati, Mereka menjelaskan bahwa pada awalnya masyarakat Kabupaten Jayapura, serta Sergius Muabuay dan Yohanes belum menyadari arti penting dari proyek ini. Berbeda Hegemur, Kepala Dinas Sosial, Kabupaten Manokwari dan dengan proyek lainnya, proyek ini tidak memberikan Provinsi Papua Barat, bersama-sama meresmikan kegiatanbantuan keuangan ataupun bahan. Barulah kemudian saat kegiatan tersebut. Pejabat pemerintah lainnya dari berbagai proses pelaksanaan proyek mereka menyadari bahwa unit/kantor yang terlibat dalam pelaksanaan proyek tidak proyek ini bertujuan untuk memperkokoh kemampuan hanya sekedar menyaksikan, namun turut membantu individual dan kebersamaan dengan memberikan layanan pelaksanaan kegiatan. Kesemuanya menyatakan akan fasilitas pendukung yang diperlukan. D membantu komunitas setempat untuk memastikan keberlanjutan hasil yang telah diperoleh di bawah proyek ini.
17
DIALOG SOSIAL
Kunjungan Studi Delegasi Bipartit:
Belajar dari Malaysia © ILO/ILO Jakarta
Reformasi demokrasi di Indonesia yang dimulai pada 1998, membuka kesempatan bagi para mitra sosial untuk berperan aktif dalam membentuk lembaga dan proses pasar kerja. Sejumlah upaya penting telah dilakukan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung bagi para pengusaha, pekerja dan organisasi-organisasinya untuk bersatu dan menyuarakan kepentingan mereka tentang kebijakan sosial dan ekonomi. Beragam saluran pun diciptakan bagi para pengusaha dan pekerja untuk memengaruhi peraturan, kebijakan dan program serta meningkatkan minat para anggotanya demi pasar kerja yang seimbang. Proyek ILO/Nowergia tentang Dialog Sosial dan Ketenagakerjaan Muda merupakan salah satu wadah penting untuk memperkokoh kapasitas serikat-serikat pekerja (Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia/KSBSI, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia/KSPI, dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia/KSPSI) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), serta mendorong sinergi dalam menyikapi masalah ketenagakerjaan muda. Dalam konteks ini, kerja sama bipartit antara pengusaha dan pekerja akan terfokus pada pengembangan dan berbagi pengetahuan tentang permasalahan keterampilan kaum muda dari kedua belah pihak. Kerja sama ini akan terwujud dalam bentuk hasil-hasil diskusi bersama dan penyusunan rekomendasi bagi pemerintah. Sebagai bagian dari sinergi bipartit, proyek menyelengarakan kunjungan studi ke Malaysia bagi para pengurus Apindo dan serikat pekerja pada 1-5 Juli. Federasi Pengusaha Malaysia (MEF) dan Kongres Serikat Pekerja Malaysia (MTUC) berbagi pengalaman dalam mengadvokasi dan memajukan para anggotanya. Topik-topik yang didiskusikan mencakup ketenagakerjaan, keterampilan, penelitian, pendidikan dan pelatihan, khususnya bagi kaum muda. Delegasi bipartit juga bertemu dengan perwakilan Kementerian Sumber Daya Manusia Malaysia dan pusat
18
Indonesian delegation during the meeting with the MEF
pelatihan kerja (CIAST). Kementerian Sumber Daya telah membentuk Sistem Standar Profesi Nasional (National Occupation Standard System/NOSS), yang telah dilaksanakan secara luas dan konsisten oleh lembagalembaga terkait dengan kebijakan ketenagakerjaan, misalnya Malaysia Productivity Corporation (MPC). “Banyak prakarsa yang kami pelajari dari MEF. Salah satunya terkait dengan pusat layanan kerja yang memadukan kebutuhan pekerja dan pencari kerja muda. Kami pun kagum dengan Akademi MEF, yang membentuk diploma dan jurusan hubungan industrial bagi para staf sumber daya manusia. Apindo harus dapat menerapkan pendekatan serupa bagi para anggota-anggotanya,” ujar Nina Tursinah, Ketua Apindo, setelah pertemuan dengan MFE. Marmin Martono, perwakilan dari pekerja, pun mengagumi fasilitas yang disediakan MTUC. “Sangat menggugah melihat kantor MTUC yang dilengkapi dengan perpustakaan dan fasilitas pelatihan yang canggih bagi para anggotanya dan masyarakat umum.” Sebagai tindaklanjut, delegasi bipartit akan menyiapkan rekomendasi bersama dan rancangan rencana aksi yang akan dipaparkan kepada masing-masing lembaga mengenai bagaimana mereka dapat meningkatkan pengaruh terhadap kebijakan keterampilan dan pendidikan, menyusun strategi untuk mempromosikan kerja sama bipartit dan tripartit tentang keterampilan dan pendidikan serta mengidentifikasi peran khusus masing-masing organisasi pekerja dan pengusaha dalam mempromosikan ketenagakerjaan muda. D
DIALOG SOSIAL
Meningkatkan Keefektifan
ORGANISASI PENGUSAHA ILO, bersama Pusat Pelatihan Internasional ILO dan Program Kerjasama dengan Pengusaha Belanda (DECP), menggelar lokakarya tiga hari mengenai organisasi pengusaha yang efektif di Indonesia pada 8 – 10 Juli di Hotel Aryaduta, Jakarta. Lokakarya ini merupakan tindaklanjut dari lokakarya sejenis yang diselenggarakan pada 2007 untuk memperkokoh kapasitas Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Lokakarya pertama hanya disasarkan bagi para pengurus dan anggota Apindo di tingkat nasional dan provinsi. Lokakarya pertama ini meliputi topik-topik dasar yang dapat meningkatkan keefektifan organisasi pengusaha, seperti tatakelola yang baik, lobi dan advokasi, layanan bagi para anggota, keanggotaan, pengembangan pendapatan dan perencanaan strategis. Dalam lokakarya pertama disimpulkan, perlu pembentukan proyek khusus di antara cabang-cabang Apindo baru di lima kabupaten/kota: Karawang, Bojonegoro, Asahan, Makassar dan Tarakan. Tujuan utama dari proyek ini adalah menciptakan sejumlah pelajaran yang dapat dipetik dan model untuk direplikasi oleh daerah-daerah lain. Salah satu tujuan utama dari lokakarya lanjutan adalah memastikan penyebarluasan materi yang bisa dipetik dari
Koordinator Residen PBB
proyek tersebut untuk lebih meningkatkan kapasitas Apindo. Para peserta mencakup pengurus dan anggota Apindo di tingkat kabupaten/kota. Selanjutnya, lokakarya ini memberikan kesempatan bagi Apindo untuk belajar dari organisasi-organisasi pengusaha dari berbagai negara seperti Singapura, Selandia Baru, Srilanka, Mongolia, Belanda, Inggris dan Italia. “Saya sangat menyambut baik lokakarya ini. Kita perlu memperkuat kapasitas Apindo di semua tingkatan, khususnya di kabupaten/kota. Saya percaya kita dapat saling belajar selama pelaksanaan lokakarya ini, serta dapat berbagi pengalaman dengan organisasi-organisasi pengusaha dari luar negeri untuk meningkatkan keefektifan organisasi kita,” ujar Sofjan Wanandi, Presiden Apindo, dalam sambutan pembukaannya. Topik utama yang menjadi bahan diskusi dalam lokakarya ini adalah strategi Apindo di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Peran masing-masing cabang Apindo pun dikaji, sejalan dengan upaya Apindo untuk lebih meningkatkan tingkat pengaruh dan kekuatannya, meningkatkan teknik-teknik lobi dan advokasi dan meningkatkan layanan bagi peningkatan keanggotaan. D
Cuplikan
Kunjungi Proyek Jalan Pedesaan ILO di Aceh Besar El
-Mostafa Benlamih, Koordinator Residen Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN RC), mengunjungi Aceh pada 5 – 11 Juli. Ia mengunjungi salah satu jalan di bawah Proyek Jalan Pedesaan ILO di Kabupaten Aceh Besar, Kecamatan Ingin Jaya, pada 9 Juli.
Insinyur ILO untuk Aceh Besar, Yusrizal, memberikan penjelasan kepada tim Koordinator UN RC mengenai kegiatan proyek dan pemeliharaan di kecamatan ini. Ia pun bertemu dengan M. Yusuf, mandor yang mengepalai pemeliharaan yang dilakukan masyarakat sekitar mengenai rencananya setelah kegiatan pemeliharaan selesai dilakukan. Di Aceh dan Nias, hingga Juni 2008, di bawah proyek ILO ini, sepanjang 97,2 km jalan di lima kabupaten telah direhabilitasi dan 20,2 km jalan telah dipeliharan melalui sistem berbasis komunitas. Rehabilitasi dan pemeliharaan jalan telah menciptakan 214.733 hari kerja dengan partisipasi perempuan mencapai 21,5% dan 33,2% di Aceh and Nias. Tahap I dari proyek ini dimulai pada Maret 2008 dan akan selesai pada September 2008. Perpanjangan proyek hingga Desember 2009 telah dikaji Multi Donor Fund pada Juni 2008 D
© ILO/ILO Jakarta
19
KETENAGAKERJAAN
Indonesia Ratifikasi
Konvensi ILO No. 185 tentang
DOCUMEN IDENTITAS PELAUT Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi tentang Dokumen Identitas Pelaut (Edisi Revisi), 2003 (No. 185) pada Januari 2008 melalui Undang-Undang No. 1/2008. erangkat ratifikasi secara resmi diserahkan kepada ILO pada Juli 2008. Konvensi ini telah diratifikasi 14 negara, baik yang sudah sepenuhnya meratifikasi ataupun menyatakan kesanggupannya untuk melaksanakan Konvensi yang diadopsi oleh pemerintah, pekerja dan pengusaha dari Negara-negara Anggota ILO pada Konferensi Perburuhan Internasional ke-91 yang diselenggarakan di Jenewa pada Juni 2003. Konvensi No. 185 merupakan perangkat pertama yang bersifat mengikat secara internasional dalam bentuk sistem identifikasi yang bersifat wajib bagi pekerja dalam kategori tertentu. Konvensi ini memaparkan sistem keamanan komperehensif yang terdiri dari pengenal biometrik yang
memungkinkan pengidentifikasian para awak kapal sebagai pemegang dokumen tersebut. Konvensi dirancang untuk memperkuat upaya pengamanan dalam sektor transportasi maritim. Bagi para pekerja maritim, konvensi ini tidak hanya menjamin hakhak pekerja tapi juga memfasilitasi mobilitas mereka saat bepergian dengan kapal, kembali pulang dan merapat di pelabuhan-pelabuhan asing. Bagi para pemilik kapal, konvensi ini memfasilistasi operasional perkapalan global. “Saya menyambut baik ratifikasi konvensi ini oleh Indonesia. Hal ini membuktikan komitmen Pemerintah Indonesia dalam menjamin pekerjaan yang layak bagi para pelautnya sekaligus berkontribusi pada peningkatan keamanan maritim,” ujar Direktur Jenderal ILO, Juan Somavia, saat menerima dokumen ratifikasi. “Dengan ratifikasi ini, Indonesia kini dapat memulai penerbitan Dokumen Identitas Pelaut bagi para tenaga
Pengusaha dan Pekerja
Tanggulangi Pengangguran Muda Pekerjaan yang layak bagi kaum muda merupakan tantangan yang dihadapi banyak negara di dunia. Tingkat pengangguran masih dianggap sebagai indikator permasalahan ketenagakerjaan muda yang paling gamblang terlihat. Sejumlah studi menyoroti problem khusus dalam mengaitkan kebijakan dan lembaga pendidikan dengan dunia industri untuk mempersiapkan kaum muda memasuki dunia kerja. Sementara lemahnya tradisi dialog antara birokrasi dan perusahaan swasta memperburuk masalah ini. Survei ILO tentang transisi dari sekolah ke dunia kerja pada 2004 memperlihatkan kurangnya partisipasi bisnis dalam mempersiapkan dan mengembangkan potensi para lulusan sekolah dalam memasuki dunia kerja. Hanya sebagian dari para pencari kerja dan 40 persen pengusaha memiliki pengalaman kerja selama masa bersekolah atau pelatihan. Dalam kondisi ini, sejumlah perusahaan besar memecahkan persoalan ini dengan melakukan investasi dalam fasilitas pelatihan internal. Namun, sebagian besar perusahaan masih menggantungkan dari keterampilan yang tersedia di pasar kerja, kendati kualifikasinya kurang memuaskan.
20
Untuk membahas masalah ini lebih lanjut, Proyek ILO/ Norwegia tentang Ketenagakerjaan Muda dan Dialog Sosial menyelenggarakan Forum Bipartit pada 30 Juni lalu, dengan menyediakan forum bagi serikat-serikat pekerja nasional (Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia/ KSBSI, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia/KSPI, dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia/KSPSI) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) untuk membahas langkah-langkah membantu pemerintah dalam menanggulangi masalah ketenagakerjaan muda dan mengaitkannya dengan upaya Jejaring Lapangan Kerja bagi Kaum Muda Indonesia (IYEN) dan Rencana Aksi Ketenagakerjaan Muda (IYEAP). Forum tersebut juga dimaksudkan untuk memperluas kerja sama bipartit dan mengakui ketenagakerjaan muda sebagai aspek pentingd alam kebijakan ketenagakerjaan. Forum ini diakhiri dengan penyusunan rencana-rencana aksi dari pengusaha dan pekerja. Untuk melangkah maju, di bawah rencana aksi tentang ketenagakerjaan muda, Apindo akan melakukan kegiatan seperti: 1. Mengorganisir pertemuan bipartit bulanan untuk mempromosikan sinergi antara Apindo dan serikat tentang masalah ketenagakerjaan muda.
KETENAGAKERJAAN kerja pelautnya. Dokumen ini akan mengizinkan para pelaut Indonesia untuk meninggalkan dermaga saat berlabuh. Ini artinya mereka dapat pergi ke rumah sakit untuk berobat, mengirimkan surat untuk keluarga mereka di rumah dan melaporkan segala bentuk pembajakan dan penyelundupan kepada pihak berwajib,” kata Menteri Transportasi Indonesia Jusman Safii Djamal. Duta Besar Indonesia I Gusti Agung Wesaka Puja, Wakil Perwakilan Tetap, mewakili Pemerintah Indonesia, dalam penyerahan dokumen ratifikasi, mengatakan, “Ratifikasi ini akan memperkokoh komitmen Pemerintah Indonesia dalam melindungi para pelaut Indonesia yang jumlahnya terus bertambah di seluruh dunia. Untuk itu, Pemerintah Indonesia siap untuk menjalin kerja sama yang lebih erat dengan ILO.” Indonesia saat ini merupakan pemasok terbesar tenaga kerja maritim di seluruh dunia di antara negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi tersebut. Lebih dari 50.000 pelaut Indonesia kini berhak mendapatkan Dokumen Identitas Pelaut, termasuk sejumlah besar karyawan kapal penumpang. Di seluruh dunia, lebih dari 1,5 juta pelaut berhak mendapatkan Dokumen Identitas Pelaut ILO. D © ILO/ILO Jakarta
2. Menyosialisasikan modul-modul pelatihan muda dalam sektor retail dan otomotif yang dikembangkan Apindo dan industri-industri terkait melalui pelaksanaan pelatihan di berbagai wilayah. 3. Mengusulkan pada pemerintah untuk menerapkan modulmodul tersebut dalam balai-balai latihan kerja. 4. Memperkuat kapasitas penelitian Apindo untuk mengembangkann pangkalan data dan survei tentang kebutuhan anggota. 5. Mengaitkan para lulusan sekolah dengan kebutuhan industri melalui sistem pemaduan kerja secara elektronik yang memberikan informasi tentang kualifikasi para pencari kerja dan kebutuhan pengusaha. Sistem ini dapat diakses melalui situs Apindo. Sementara itu, rencana aksi serikat pekerja tentang ketenagakerjaan muda adalah: 1. Mengorganisir pertemuan bipartit bulanan untuk mempromosikan sinergi antara Apindo dan serikat tentang masalah ketenagakerjaan muda.
Agenda Pelatihan Transisi bagi Guru dan Pengajar, Banyuwangi, 22 * 25 Agustus 2008 Forum Publik tentang Kebebasan Berserikat, *Kilas Balik, Tantangan ke Depan*, Jakarta, 28 Agustus 2008 Pelatihan Kerja dan Konseling Pendidikan, Bogor, 4 * 10 September 2008. Tindaklanjut Sesi Perencanaan Menko Ekuin, Bogor, 11 * 12 September 2008 Sesi Pelatihan Departemen Luar Negeri, Qatar, 20 * 22 Oktober 2008 Pertemuan Tingkat Tinggi Ketenagakerjaan Muda, Bali, Oktober 2008*
2. Memperkokoh kapasitas Komite Kaum Muda dalam masing-masing konfederasi untuk secara aktif terlibat dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan ketenagakerjaan muda.
Pelatihan untuk Pelatih tentang Sertifikasi untuk Pelatih: Menerapkan
3. Bekerjasama dengan pusat penelitian pekerja (LPPKI) untuk mengkaji prakarsa-prakarsa serikat dalam menyikapi masalah ketenagakerjaan muda.
Seminar Nasional ILO * Jamsostek tentang Jaminan Sosial, Jakarta, Oktober 2008*
Forum ini pun melibatkan berbagai proyek ILO yang terkait dengan masalah ketenagakerjaan muda, seperti proyek tentang Peluang Kerja bagi Kaum Muda (JOY) dan Pendidikan dan Pelatihan Keterampilan bagi Kaum Muda (EAST). D
Keuangan Mikro * Pengelolaan demi Peningkatkan Kinerja, Jakarta, 3 * 14 November 2008
Peringatan Hari AIDS se-Dunia, 1 Desember*
*) direncanakan
21
KOLOM
Menjangkau yang tidak terjangkau:
Menerapkan JAMINAN SOSIAL Indonesia Tauvik Muhamad, Programme Officer ILO Jakarta
Kendati
fakta menyatakan bahwa perlindungan sosial merupakan hak mendasar manusia yang diakui, 80 persen penduduk dunia belum terjangkau jaminan sosial. Kebanyakan dari mereka umumnya bekerja di jenis pekerjaan yang terbilang “kotor dan berisiko” di ekonomi informal – jenis pekerjaan yang belum diakui secara legal. Para pekerja ini juga mewakili mayoritas pekerja di banyak negara berkembang, termasuk di Indonesia. Kabar baiknya adalah Undang Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSSN) tahun 2004, yang menegaskan perlunya cakupan jaminan sosial yang bersifat universal baik dalam ekonomi formal maupun informal di Indonesia, akhirnya akan segera diterapkan. Setelah beberapa kali mengalami penundaan, tampaknya akan terjadi sejumlah perubahan signifikan sebelum tenggat waktu yang ditetapkan pada tahun 2009. Dewasa ini, hanya 46 persen dari 36 juta pekerja ekonomi formal tercakup oleh satu dari tiga skema jaminan sosial (salah satu yang utama adalah Jamsostek, dana asuransi sosial nasional untuk pengusaha dan pekerja di sektor swasta). Alhasil, perluasan cakupan universal bagi perkeja informal sepintas terlihat sebagai sesuatu yang “terlalu baik untuk menjadi kenyataan”.
22
Pesimisme tersebut muncul di antaranya akibat kompleksitas ekonomi informal dan besarnya anggaran yang dibutuhkan. Beberapa kalangan yang pesimistis berargumen, dengan situasi ekonomi negara saat ini, Indonesia belum mampu melaksanakannya. Akan tetapi, berbeda dengan pemikiran di atas, pengalaman beberapa negara lain membuktikan tiadanya korelasi yang kuat antara cakupan jaminan sosial dan pengeluaran sosial. Kecenderungan ini mengindikasikan PDB (Produk Domestik Bruto) suatu negara menjadi kurang penting dalam membangun jaminan sosial universal. Menciptakan perlindungan jaminan sosial yang universal semata-mata hanyalah sebuah keinginan politik. Negara-negara seperti Singapura yang memiliki PDB per kapita relatif lebih tinggi ketimbang Amerika Serikat (AS), bahkan memiliki pengeluaran jaminan sosial yang jauh lebih rendah ketimbang AS. Sebaliknya, Polandia berada dalam liga yang sama dengan Uruguay, dengan tingkat pendapatan cukup rendah di dunia, tetapi memiliki tingkat pengeluaran publik untuk jaminan sosial yang lebih besar, bahkan jika dibandingkan dengan AS. Karenanya, pemberlakuan perundangan untuk © A. Mirza/ILO Jakarta memastikan jaminan sosial dapat diakses oleh pekerja informal merupakan keputusan yang tepat bagi Indonesia. Survei ILO tentang pekerja ekonomi informal di Indonesia tahun 2003 menegaskan kembali besarnya jumlah pekerja informal yang membutuhkan perlindungan sosial.
KOLOM
Namun, kemampuan mereka untuk membayar kontribusi sesuai skema asuransi sosial masih sangat rendah. Hanya berkisar 41 persen di daerah perkotaan dan 16 persen di perdesaan. Lebih dari itu, pekerja formal hanya membayar 2 persen, sementara pekerja informal harus membayar 6,3 hingga 9,3 persen untuk mendapatkan cakupan universal. Angka-angka tersebut memperlihatkan adanya kebutuhan mendesak bagi pemerintah untuk menjawab persoalan perlindungan sosial bagi pekerja informal. Dalam perkembangannya, Jamsostek telah dinominasikan sebagai penyedia program asuransi sosial bagi pekerja ekonomi informal. Meski perkembangannya berjalan lamban, sejumlah prakarsa telah dilakukan Jamsostek untuk menyelaraskannya dengan UU SJSN. Sebagai contoh, tahun ini, Jamostek menargetkan 280,000 pekerja informal yang belum terjangkau sebagai peserta baru—tiga kali lipat dibandingkan tahun lalu. Jamsostek pun telah mengembangkan kemitraan dengan pemerintah dan badan-badan usaha milik Negara (BUMN) serta memberikan uang muka yang dialokasikan dari dana Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) untuk menarik peserta prospektif dari sektor informal lainnya. Kendati demikian, tidak memadainya ketersediaan organisasi-organisasi payung yang kuat, masih menjadi hambatan nyata yang menyulitkan pekerja informal untuk dapat terdaftar dalam skema ini. Tantangan terbesar yang sesungguhnya adalah membangun aksesibilitas cakupan jaminan sosial secara universal. Beberapa masalah mendasar yang harus diselesaikan meliputi, di antaranya, rendah dan tidak menentunya pendapatan yang diterima pekerja informal; tingkat dan jenis manfaat yang tidak responsif dengan kebutuhan dan sumber daya ekonomi informal; kurangnya pemahaman umum atas konsep jaminan sosial; ketidakpercayaan terhadap lembaga pemerintah; dan absennya tata kelola dan administrasi yang baik. Ketimbang mendirikan lembaga baru yang secara eksklusif memberikan pelayanan bagi pekerja informal, yang seharusnya dilakukan adalah mengubah lapangan kerja informal menjadi formal.
Di saat yang sama, diperlukan kebijakan-kebijakan yang menyeluruh dan terpadu untuk memberikan prioritas bagi tersedianya akses jaminan sosial bagi jenis-jenis pekerjaan tertentu di ekonomi informal. Ini tentunya memerlukan studi-studi kelayakan dan proyek-proyek percontohan untuk merekrut peserta-peserta baru dari sektor informal. Pelaksanaan kegiatan ini dapat didanai dana-dana awal CSR. Langkah berikutnya adalah membangun kapasitas atas peluang-peluang yang ada di ekonomi informal, melalui program pelatihan-pelatihan kewirausahaan. Hal ini akan membantu para pekerja untuk tetap bekerja dan memberikan kontribusi secara berkala bagi skema asuransi sosial mereka. Hal terpenting lainnya, disamping peningkatan kesadaran publik atas jaminan sosial dan program pelatihan tenaga administrator pemberi jaminan sosial, perencanaan strategis yang terpadu dibutuhkan untuk memastikan keberlanjutan penyaluran dana CSR, melalui peningkatan kapasitas organisasi-organisasi payung dalam sektor formal, seperti koperasi. Diharapkan, lembaga-lembaga ini pada akhirnya dapat berkembang menjadi lembaga ekonomi formal. Melalui formalisasi, beban pekerja informal untuk membayar kontribusi akan berkurang karena mereka berpeluang untuk membayar iuran secara berpatungan dengan koperasi sebagai pemberi kerja. Menjangkau pekerja yang tidak terjangkau dalam ekonomi informal di Indonesia pun bermakna perluasan hak konstitusi 60 juta pekerja informal ke dalam perlindungan sosial. Angka ini mewakili dua kali angka pekerja sektor formal, yang mayoritas bekerja di pekerjaan-pekerjaan yang tidak aman dan terancam jatuh di bawah garis kemiskinan. Selain menjadi bagian dari pemenuhan hak konstitusi mereka, hal ini akan menjadi perubahan besar yang nyata bagi kehidupan mereka. D (Artikel merupakan terjemahan dari artikel berbahasa Inggris bertajuk “Covering the uncovered: Making Indonesian social security work” dan dipublikasikan The Jakarta Post pada 18 Agustus 2008.)
Smart Workers adalah bincangbincang radio interaktif, kerja sama ILO dengan radio SmartFM yang dirancang untuk meningkatkan kesadaran mengenai hak-hak mendasar di tempat kerja. Bagi Anda yang tertarik mempelajari lebih lanjut tentang isu ketenagakerjaan, simak terus 95,9 FM!
23
Publikasi Perlindungan Sosial di Indonesia: Persiapan Pengembangan Agenda (Versi revisi) ISBN No. 978-92-2-020334-7 Selama bertahun-tahun, ILO mendukung pengembangan jaminan sosial di Indonesia melalui proyek-proyek kerjasama teknis. Berdasarkan pengalamanpengalaman tersebut, laporan ini mencoba meninjau perkembangan terakhir jaminan sosial di Indonesia, mengidentifikasi areaarea yang sangat penting. Ruang lingkup laporan ini meliputi persoalan-persoalan utama dalam perlindungan sosial: i) Implementasi UndangUndang Sistem Jaminan Sosial (SJSN); ii) Reformasi Jamsostek, terutama perubahan status hukumnya ke dana amanat; iii) Perluasan cakupan kepesertaan jaminan sosial bagi pekerja ekonomi informal; dan iv) Bantuan sosial dengan penduduk miskin sebagai target. Konvensi No. 102 tentang Jaminan Sosial ISBN No. 978-92-2-021484-8 Konvensi-konvensi ILO merupakan perjanjian-perjanjian internasional, tunduk pada ratifikasi negara-negara anggota ILO. Konvensi ILO No. 102 diadopsi oleh Konferensi Perburuhan Internasional pada 1952. Konvensi ini menyoroti aspek-aspek jaminan sosial penting, seperti layanan kesehatan, tunjangan sakit, tunjangan pengangguran, tunjangan hari tua, tunjangan kecelakaan kerja, tunjangan persalinan dan tunjangan kecacatan. Jaminan Sosial: Konsesus Baru* ISBN No. 978-92-2-821483-8 Pada Sesi ke-89 pada Juni 2001, Konferensi Perburuhan Internasional menetapkan diskusi umum tentang jaminan sosial. Publikasi ini memuat kesimpulankesimpulan Komite tentang Jaminan Sosial, sebagian besarnya berasal dari pembahasanpembahasan yang dituangkan dalam laporan Komite dan keseluruhan laporan ini dipersiapkan sebagai dasar untuk diskusi Komite.
24
Pemantauan Pekerja Anak * ISBN No. 978-92-821214-3 Laporan singkat ini memberikan informasi tentang pentingnya pemantauan pekerja anak, langkah-langkah implementasi dan kerangka kerja pemantauan pekerja anak, serta bagaimana pemantauan dapat dilakukan secara efektif di tingkat lokal dan nasional. Penilaian Dampak: Pelaksanaan Pelatihan Gender dan Kewirausahaan Bersama (GET Ahead) ISBN No. 978-92-2-021212-7 Laporan ini meringkas temuantemuan utama dari dampak kajian (survei, diskusi kelompok dan wawancara mendalam) yang diselenggarakan pada Februari 2008 untuk program pelatihan GET Ahead ini. Manfaat yang dirasakan para pengusaha perempuan kecil dan mikro yang turut serta dalam pelatihan ini dan kapasitas para pelatih pelatihan untuk Pelatihan Kewirausahaan dari para mitra ILO WED dipaparkan dan dibahas dalam publikasi ini untuk memberikan masukan dan rekomendasi dalam upaya membantu mengembangkan program selanjutnya untuk Indonesia dan wilayah lainnya. Memulai Usaha Sendiri: Analisa Dampak Program di Aceh 2007 ISBN No. 978-92-2-021159-5 Studi ini menyelidiki bagaimana program Memulai Usaha Sendiri (SYB) berkontribusi terhadap penciptaan usaha baru dan peningkatan usaha di Aceh. Studi ini memberikan gambaran yang komprehensif tentang kondisi usaha mikro dan kecil di Aceh, termasuk tantangan dan peluang. Studi ini memberikan informasi dan pandangan yang bertujuan meningkatkan upaya pengembangan usaha di Aceh sebagai upaya untuk meningkatkan keterampilan dan peluang kewirausahaan, bagi sumber daya paling berharga di provinsi ini: perempuan dan laki-laki Aceh. D * hanya tersedia dalam Bahasa Indonesia