Iman Kristen dan Problema Sosial
Abraham Kuyper
Terjemahan dari Pidato Pembuka pada Kongres Sosial Kristen Pertama di Belanda, 9 November 1891.
Penerbit Momentum 2004
Copyright © momentum.or.id
Iman Kristen dan Problema Sosial (The Problem of Poverty) Oleh: Abraham Kuyper Diedit oleh: James W. Skillen Penerjemah: Kalvin Budiman Tata Letak: Wiyanto Tejo Desain Sampul: Ricky Setiawan Editor Umum: Solomon Yo Copyright © 1991 by Baker Book House Company Originally published in English under the title The Problem of Poverty by Baker Books, a division of Baker Book House Company Grand Rapids, Michigan, 49516, U.S.A. All rights reserved. Hak cipta terbitan bahasa Indonesia pada Penerbit Momentum (Momentum Christian Literature) Andhika Plaza C/5-7, Jl. Simpang Dukuh 38-40, Surabaya 60275, Indonesia. Copyright © 2001 Telp.: +62-31-5472422; Faks.: +62-31-5459275 e-mail:
[email protected]
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT) Kuyper, Abraham, 1837-1920 Iman Kristen dan problema sosial/Abraham Kuyper – terj. Kalvin Budiman – cet.1 – Surabaya: Momentum, 2004. xii + 95 hlm.; 14 cm. ISBN 979-8131-46-0 1. Gereja dan Problema Sosial 2. Gereja dan Kemiskinan 3. Kemiskinan 4. Kesejahteraan Sosial 5. Sosialisme Kristen 2004
261.8’325–dc20
Cetakan pertama: Juli 2004 Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip, menerbitkan kembali, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun dan dengan cara apa pun untuk tujuan komersial tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali kutipan untuk keperluan akademis, resensi, publikasi atau kebutuhan nonkomersial dengan jumlah tidak sampai satu bab.
Copyright © momentum.or.id
(
Daftar Isi
Prakata Penerbit
vii
Kata Pengantar
xi
Pendahuluan
1
(
BAB 1
Menghadapi Realitas Kemiskinan
(
BAB 2
Yesus Kristus dan Problema Sosial
(
37
BAB 3
Tantangan Kelompok Sosialis
(
21
49
BAB 4
Pendekatan Iman Kristen terhadap Problema Kemiskinan
Copyright © momentum.or.id
69
(
Kata Pengantar
P
idato oleh Abraham Kuyper ini dipublikasikan dalam bahasa Belanda dengan judul Het Sociale Vraagstuk en de Christelijke Religie (Problema Sosial dan Agama Kristen [Amsterdam: J. A. Wormser, 1891]) dan untuk pertama kalinya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Dirk Jellema serta diterbitkan dengan judul Christianity and the Class Struggle (Kekristenan dan Pergumulan Kelas Sosial [Grand Rapids: Piet Hein, 1950]). Versi bahasa Inggris [yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini] merupakan revisi secara menyeluruh atas terjemahan Jellema dan berusaha sedapat mungkin mendekati naskah aslinya dalam bahasa Belanda. Beberapa kalimat Kuyper yang dirasa terlalu panjang, dibagi ke dalam beberapa kalimat pendek. Terjemahan baru ini juga
xii
Iman Kristen dan Problema Sosial
lebih sensitif terhadap pemakaian bahasa secara kontemporer. Saya juga telah memberikan judul untuk empat bagian dalam pidato ini serta menambahkan subjudul untuk masing-masing bagian. Jelas dari pidato ini bahwa Kuyper bukan sedang menyampaikan makalah yang sifatnya teknis ataupun akademis. Tujuan pidato ini adalah untuk menerangi sebuah permasalahan sosial yang kompleks dan memberikan dorongan kepada para pendengarnya untuk terlibat secara aktif dalam tindakan yang nyata. Karena itu, pada beberapa bagian, terjemahan ini dibahasakan secara bebas tanpa mengurangi substansi berita, jika hal itu dinilai memang perlu untuk dilakukan, serta jika hal tersebut mewakili semangat asali Kuyper ketika menyampaikan pidatonya. Ucapan terima kasih patut saya utarakan kepada Carol Veldman Rudie dan Gary Govert atas berbagai komentar dan masukan kritis yang membangun dalam menyusun ulang naskah pidato ini. Seandainya masih ada kekurangan dalam naskah ini, maka hal tersebut sepenuhnya merupakan tanggung jawab saya. Dengan sepenuh hati saya mengucapkan terima kasih atas sumbangsih mereka dalam penyusunan ulang naskah pidato ini."
(
Pendahuluan
Problema Kemiskinan dalam Perspektif Satu Abad Terakhir
P
ada tahun 1891, dampak sosial Revolusi Industri mulai tampak dengan jelas terutama di Eropa dan Amerika. Tingkat urbanisasi yang tinggi, pengangguran, kemunduran nilai-nilai dalam keluarga, kemiskinan, dan berbagai masalah sosial merupakan tandatanda krisis dalam masyarakat yang tak dapat disangkali. Sebagai respons terhadap “masalah sosial ini, sebagaimana yang sering kali disebutkan, muncullah sebuah ideologi sosialisme baru. Kelompok sosialis yang banyak berjuang bagi masyarakat miskin memberi kritik yang tajam terhadap para kapitalis politik dan ekonomi yang dinilai telah memonopoli berbagai keuntungan dari “kemajuan” yang telah diraih hanya untuk kepentingan kelompok mereka sendiri. Banyak yang merasa khawatir dengan gerakan ini, namun banyak
Copyright © momentum.or.id
2
Iman Kristen dan Problema Sosial
juga yang mengharapkan adanya sebuah revolusi sosial yang lebih radikal ketimbang Revolusi Prancis yang terjadi satu abad sebelumnya. 1 Di Eropa, beberapa pemimpin Kristen di kalangan Protestan maupun Katolik mulai memberikan tanda peringatan dan dorongan untuk mengambil tindakan nyata. Di tahun 1891, Paus Leo XIII menerbitkan selebaran yang sekarang ini dikenal dengan sebutan Rerum novarum, yaitu sebuah panggilan bagi adanya penyelesaian secara kristiani terhadap penyimpangan-penyimpangan keji yang terjadi baik di kalangan kapitalisme maupun sosialisme. Sejak diterbitkannya selebaran tersebut, muncullah di Inggris sekelompok orang yang menamakan dirinya Christian Socialists (Kelompok Sosialis Kristen). Demikian pula di Jerman muncul Evangelical Social Movement (Gerakan Sosial Injili). Gerakan-gerakan yang serupa juga mulai bermunculan di Swis, Prancis, dan Italia. Pada tanggal 9 November 1891 muncullah Abraham Kuyper, seorang negarawan Belanda, pemimpin gereja, pengajar, dan jurnalis, yang dalam Christian Social Congress (Kongres Sosial Kristen) yang pertama di Belanda memberikan sebuah pidato 1
Mengenai kondisi sosial dan ideologi-ideologi politik pada akhir abad sembilan belas di Eropa dan Amerika secara umum, lihat Bob Goudzwaard, Capitalism and Progress: A Diagnosis of Western Society, terj. dan ed. Josina Van Nuis Zylstra (Toronto: Wedge; Grand Rapids: Eerdmans, 1979), hlm. 80-117; Carl N. Degler, The Age of the Economic Revolution, 1876-1900 (Glenview, Ill.: Scott, Foresman, 1967); Wolfgang J. Mommensen, ed., The Emergence of the Welfare State in Britain and Germany, 1850-1950 (London: Croom Helm, 1981); James T. Kloppenberg, Uncertain Victory: Social Democracy and Progressivism in European and American Thought, 1870-1920 (New York: Oxford University Press, 1986), hlm. 199-297.
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
3
pembuka yang berjudul Het Sociale Vraagstuk en de Christelijke Religie (Problema Sosial dan Agama Kristen). 2 Pada masa kita sekarang ini, di tahun 1991, [saat ditulisnya edisi yang menjadi landasan terjemahan ini – ed.] berbicara tentang revolusi sosial barangkali kedengaran aneh dan ketinggalan zaman. Kita semua tahu bagaimana pemerintah Komunis di Eropa Timur telah runtuh. Demikian pula Sosialisme pada masa sekarang ini telah mengalami kemunduran. Sebaliknya, demokrasi liberal dan kapitalisme pasar bebas tetap bertahan setelah melalui berbagai kritik 2
Kuyper menyebutkan berbagai gerakan Kristen ini pada pembukaan pidatonya. Beberapa buku yang dapat memberikan konteks latar belakang bagi gerakan yang Kuyper canangkan a.l. [semuanya masih dalam bahasa Belanda – pen.]: A. Kouwenhoven, De Dynamiek van Christelijk Sociaal Denken (Nijkerk: Callenbach, 1989), hlm. 32-94; dan H. E. S. Woldring dan D. Th. Kuiper, Reformatorische Maatschappijkritiek (Kampen: J. H. Kok, 1980). Rerum novarum Leo XIII dapat dibaca dalam David M. Byers, ed., Justice in the Marketplace: Collected Statements of the Vatican and the United States Catholic Bishops on Economic Policy, 1891-1984 (Washington, D.C.: U.S. Catholic Conference, 1985), hlm. 9-41. Mengenai konteks latar belakang secara umum bagi munculnya organisasi-organisasi Kristen dalam menanggapi perubahan-perubahan ekonomi, sosial, dan politik di Eropa, lihat Michael P. Fogarty, Christian Democracy in Western Europe, 1820-1953 (Westport, Conn.: Greenwood, 1974 [1957]); Hans Maier, Revolution and Church: The Early History of Christian Democracy, 1789-1901, terj. Emily M. Schossberger (Notre Dame: Notre Dame University Press, 1969 [1965]); Eric O. Hanson, The Catholic Church in World Politics (Princeton: Princeton University Press, 1987), khususnya hlm. 19-161; Suzanne Berger, ed., Religion in Western European Politics (London: Frank Cass, 1982); John McManners, Church and State in France, 1870-1914 (London: SPCK, 1972); W. O. Shanahan, German Protestants Face the Social Question (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1954); Joseph N. Moody, ed., Church and Society: Catholic Social and Political Thought and Movements, 1789-1950 (New York: Arts, 1953); M. Einaudi dan F. Goguel, Christian Democracy in Italy and France (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1952); dan Amintore Fanfani, Catholicism, Protestantism, and Capitalism (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1984 [1935]).
Copyright © momentum.or.id
4
Iman Kristen dan Problema Sosial
dan serangan dari kelompok sosialis, bahkan menjadi satusatunya kandidat dalam politik dan ekonomi dunia dalam menyongsong masa yang akan datang. Jika demikian halnya, mengapa seseorang masih harus mempertimbangkan ulang sebuah pembicaraan dari abad sembilan belas mengenai problema kemiskinan di tengah-tengah berbagai bukti bahwa sosialisme tidak lagi bersifat revolusioner serta tidak mampu memberi jawab bagi kemiskinan? Sekalipun benar bahwa berbagai bentuk ideologi komunisme dan sosialisme sekarang ini telah mengalami kemunduran, seseorang tidak mungkin mengabaikan fakta kemiskinan, isolasi sosial, peningkatan urbanisasi beserta masalah sosial yang ditimbulkannya, pengangguran, serta kemunduran dalam nilai-nilai keluarga. Semua ini tetap ada hingga sekarang ini, di berbagai tempat di muka bumi, dalam skala yang jauh lebih besar ketimbang seratus tahun yang lalu. Sosialisme yang dikemukakan oleh Marx, Lenin, Mao Tze Tung, Stalin, Castro ataupun oleh Mikhail Gorbhachev memang telah gagal, namun demikian “problema sosial” tetap kita hadapi dengan intensitas yang sama dengan – bahkan mungkin lebih dari – satu abad yang lalu. Jika demikian halnya, bagaimanakah kita harus menjawab problema kemiskinan di masa kita sekarang ini? Jika sosialisme bukan jawabannya, apakah berarti kita harus menerima kapitalisme? Bagaimana dengan Kekristenan? Adakah sesuatu yang dapat kita pelajari dari gerakan Kristen dalam menanggapi permasalahan ini satu abad yang lalu? Memang harus diakui bahwa Kekristenan sendiri sekarang ini sedang mengalami kebangkrutan di Eropa. Apakah ber-
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
5
arti nasib Kekristenan sama seperti sosialisme, ataukah Kekristenan masih memiliki sesuatu yang dapat kita harapkan? Apakah Rerum novarum ataupun pidato Kuyper di hadapan Kongres Sosial Kristen pada 1891 memiliki potensi yang lebih besar dalam memberikan inspirasi bagi terciptanya pembaruan sosial pada masa sekarang ini dibandingkan dengan konsep proletarian (kelas sosial) Marx atau seruan Lenin agar kelas pekerja sosial mengambil alih kuasa politik melalui kekuatan revolusioner? Pertanyaan-pertanyaan semacam di atas, bagi saya, tetap patut kita kemukakan sesudah satu abad berlalu – patut kita kemukakan baik di Amerika Utara maupun di Polandia, Uni Soviet, ataupun Czechoslovakia, patut pula kita kemukakan di Inggris dan Belanda maupun di El Savador, Filipina, serta Nigeria. Tidak ada waktu yang lebih tepat, menurut saya, selain tahun sekarang ini (1991) bagi orang-orang Kristen yang peduli dengan masalah sosial untuk membaca ulang pidato Kuyper di tahun 1891 mengenai Kekristenan dan problema sosial. Ceramah ini bukan saja dengan gamblang akan memberi kita inspirasi tentang permasalahan kemiskinan yang kita hadapi, namun juga pidato ini membawa pesan alkitabiah yang sangat kuat dan akan terus hidup di masa dan tempat jauh sesudah Kuyper. Saya yakin bahwa tidak ada seorang pun, sesudah membaca pidato ini, akan berpikir bahwa Kekristenan sudah ketinggalan zaman ataupun tidak berdaya dalam memberi jawab terhadap kompleksitas permasalahan kemiskinan pada masa sekarang. Abraham Kuyper
Copyright © momentum.or.id
6
Iman Kristen dan Problema Sosial
Siapakah Abraham Kuyper? Kuyper dilahirkan pada 1837 di sebuah kota kecil bernama Maassluis, di negeri Belanda, dan dibesarkan dalam sebuah keluarga Kristen Reformed (Calvinis), di mana ayahnya adalah seorang pendeta. Pada masa dewasanya, ia menunjukkan berbagai kemampuan intelek, bahkan ia lulus dari Universitas Leiden yang sangat terkenal itu dengan penghargaan yang tertinggi. Di tempat ini pula ia memperoleh gelar doktor dalam bidang teologi pada 1863. 3 Dalam kesempatan pelayanannya yang pertama di sebuah pinggiran kota, Abraham Kuyper, yang pada waktu itu masih sangat muda, sempat mengalami krisis iman pribadi. Justru melalui jemaatnya, ia dibantu untuk meraih kedewasaan rohani dan pengalaman iman yang sungguhsungguh dengan Yesus Kristus. Sesudah pengalaman tersebut, ia banyak melayani di berbagai gereja di Utrecht dan Amsterdam. Pada masa tersebut, Kuyper banyak dipengaruhi oleh seorang pemimpin politik Protestan yang bernama Groen van Prinsterer, yaitu seorang politikus yang juga
3
Salah satu buku tentang Kuyper yang sangat baik adalah oleh Frank VandenBerg, Abraham Kuyper (St. Catherines, Ont.: Paideia, 1978 [1960]). Berbagai artikel yang juga berisi materi biografi di antaranya adalah: James D. Bratt, “Abraham Kuyper’s Public Career,” Reformed Journal (Oct. 1987): 9-12; idem, “Raging Tumults of the Soul: The Private Life of Abraham Kuyper,” Reformed Journal (Nov. 1987): 9-13; McKendree R. Langley, The Practice of Political Spirituality: Episodes from the Public Career of Abraham Kuyper, 1879-1918 (Jordan Station, Ont.: Paideia, 1984); dan Justus M. Van der Kroef, “Abraham Kuyper and the Rise of Neo-Calvinism in the Netherlands,” Church History 17 (1948): 316-34.
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
7
mengalami pertobatan pada tahun 1830-an. 4 Melalui bimbingan Groen, Kuyper mempersembahkan kemampuan inteleknya yang sangat dalam bagi berbagai tanggung jawab dalam bidang kebudayaan dan politik. Dalam hatinya ia mempunyai satu tujuan utama, yaitu: mendorong terjadinya pembaruan kristiani baik di dalam gereja maupun masyarakat. Pada 1872, Kuyper menjadi seorang editor dari sebuah harian surat kabar yang bernama De Standaard. Harian ini menjadi corong bagi gerakan politik Anti-revolusi yang didirikan oleh Groen, tetapi belum diorganisasi dengan baik. Menjelang tahun 1879, Kuyper telah menjadi pemimpin gerakan tersebut. Ia mengorganisasinya dengan baik serta menjadikannya sebagai partai demokratik yang pertama di Eropa. Partai ini merupakan cikal-bakal bagi partai-partai yang sekarang ini dikenal dengan sebutan “Demokrasi Kristen.” Sepanjang sisa hidupnya Kuyper membuktikan dan menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip Kristen seharusnya memimpin aktivitas sipil bagi tercapainya tujuan yang lebih daripada sekadar ketertiban dalam bidang politik. Selama puluhan tahun, Partai Anti-revolusi bekerja sama dengan partai-partai Katolik dan Protestan lainnya dalam pemerintahan koalisi. Sebagai salah seorang pemimpin pemerintahan gabungan ini, Kuyper sendiri sempat
4
Buku yang paling baik dalam memperkenalkan Groen van Prinsterer ditulis oleh Harry Van Dyke, Groen van Prinsterer’s Lectures on Unbelief and Revolution (Jordan Station, Ont.: Wedge, 1989), di mana di dalamnya membahas kehidupan dan karya Groen secara terperinci, serta mencakup terjemahan dari karya Groen yang sangat berpengaruh: The Lectures.
Copyright © momentum.or.id
8
Iman Kristen dan Problema Sosial
menjabat sebagai perdana menteri Belanda dari tahun 1901 hingga 1905. 5 Segera sesudah Kuyper menjadi editor harian De Standaard, ia juga menjabat sebagai editor sebuah koran mingguan gereja, De Heraut. Kuyper menjabat sebagai editor mingguan gerejawi ini selama lebih dari empat puluh lima tahun. Melalui dua harian tersebut, Kuyper berusaha mendidik, menyalurkan inspirasi, dan memobilisasi umat Kristen untuk sungguh-sungguh melayani Tuhan dengan berbagai talenta yang mereka miliki serta di dalam berbagai aspek kehidupan yang mereka jalani. Bagi Kuyper sendiri, melayani Tuhan di segala aspek kehidupan ini ia jalani melalui kariernya sebagai jurnalis, politikus, dan pemimpin gereja. Tetapi itu belum semuanya. Dengan memangku jabatan-jabatan tersebut, ia sama sekali tidak mengabaikan gelarnya dalam bidang teologi. Demikian pula, ia tetap terus melibatkan diri dalam usaha untuk meningkatkan bidang pendidikan akademis dalam Kekristenan. Tak heran bila pada tahun 1880 ia mendirikan (Vrije Universiteit
5
Mengenai karier politik Kuyper dan relasinya dengan partai Antirevolusi serta sejarah politik Belanda, lihat Langley, Practice of Political Spirituality; James W. Skillen dan Stanley W. Carlson-Thies, “Religion and Political Development in Nineteenth-Century Holland,” Publius (Summer 1982): 43-64; Hans Daalder, “The Netherlands: Opposition in a Segmented Society,” dalam Robert A. Dahl, ed., Political Oppositions in Western Democracies (New Haven: Yale University Press, 1966), hlm. 200 dst.; Dirk Jellema, “Abraham Kuyper’s Attack on Liberalism,” Review of Politics 19 (1957): 472-85; Johan G. Westra, “Confessional Political Parties in the Netherlands, 1813-1946” (disertasi Ph.D, University of Michigan, 1972); dan Steven E. Meyer, “Calvinism and the Rise of the Protestant Political Movement in the Netherlands” (disertasi Ph.D., Georgetown University, 1976).
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
9
Amsterdam) Free University of Amsterdam, di mana ia melayani sebagai tenaga pengajar dan dalam bidang administrasi selama beberapa waktu lamanya. 6 Dengan memiliki pandangan yang luas tentang masyarakat di mana ia tinggal serta kondisi di Eropa secara keseluruhan – pandangan yang ia dapat melalui kariernya sebagai politikus, jurnalis, pemimpin gereja, dan pengajar di universitas – Kuyper dapat melihat bahwa menjelang akhir 1880-an kelompok Protestan di negaranya sendiri, ataupun Kekristenan di Eropa secara umum, tidak lagi mampu membendung arus modernisasi akibat Revolusi Industri. Karena itu, ia memutuskan untuk membentuk sebuah kongres sosial Kristen dengan tujuan untuk mempersatukan pekerja dan pengajar, petani dan pemimpin gereja, warga sipil dan politikus, orang miskin dan kaya, demi untuk merumuskan secara bersama-sama tanggung jawab yang harus dipikul masing-masing dalam mengadapi krisis sosial. Menjelang akhir abad sembilan belas, reputasi Kuyper telah menyebar luas ke berbagai penjuru dunia. Ia diundang oleh Universitas Princeton pada 1898 untuk memperoleh gelar penghargaan serta memberikan pidato dalam forum Stone Lectures, yang masih dicetak ulang hingga hari ini. 7 Berbagai karya tulis Kuyper dalam bidang teologi juga mu6 Beberapa buku mengenai Free University of Amsterdam dan peran Kuyper di dalamnya, a.l.: M. Van Os dan W. J. Wieringa, ed., Wetenschap and Rekenschap, 1880-1980 (Kampen: J. H. Kok, 1980); G. Puchinger, Honderd Jaar Vrije Universiteit (Delft: W. D. Meinema, 1980); dan J. Stellingwerff, Kuyper en de VU (Kampen: J. H. Kok, 1987). 7 Abraham Kuyper, Lectures on Calvinism (Grand Rapids: Eerdmans, 1961 [1931, 1898]).
Copyright © momentum.or.id
10
Iman Kristen dan Problema Sosial
lai diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. 8 Namun demikian, baru sedikit dari karya tulis Kuyper dalam bidang politik yang diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain. Hal ini lantaran karya tulis dalam bidang politik tersebut sangat berkait erat dengan konteks politik di Belanda, juga karena gerakan politik Demokrasi Kristen kedengaran tak lazim bagi negara-negara lain, bahkan bagi negara-negara di dunia Barat. 9 Bagi orang-orang Kristen di Amerika Utara, Kuyper dipandang sebagai seorang tokoh yang unik. Ia memiliki kesalehan pribadi yang kuat, namun tidak terlalu tampak dalam hubungan secara pribadi. Pikirannya terus dikuasai oleh usaha pembaruan dalam bidang sosial dan politik, tetapi semua itu ia laksanakan bukan semata-mata sebagai tugas, melainkan panggilannya sebagai seorang Kristen. Secara akademis, ia lebih banyak memperoleh pendidikan dalam bidang teologi dan gembala gerejawi, namun ia menghabiskan seluruh sisa hidupnya untuk melayani dalam bidang politik dan jurnalistik. Di salah satu catatan pribadinya, ia
8
Lihat, misalnya, The Work of the Holy Spirit, terj. Henri De Vries (New York: Funk and Wagnalls, 1908); His Decease at Jerusalem, terj. John Hendrik de Vries (Grand Rapids: Eerdmans, 1925); Keep Thy Solemn Feasts, terj. John Hendrik de Vries (Grand Rapids: Eerdmans, 1928); dan The Revelation of St. John, terj. John Hendrik de Vries (Grand Rapids: Eerdmans, 1963 [1935]). 9 Salah satu bab dalam buku Kuyper yang berjudul Lectures on Calvinism adalah tentang politik (hlm. 78-109). Tulisan mengenai filsafat politik dan sosial Kuyper dapat dilihat dalam tulisan James W. Skillen, “The Development of Calvinistic Political Theory in the Netherlands” (disertasi Ph.D., Duke University, 1974); dan S. U. Zuidema, “Common Grace and Christian Action in Abraham Kuyper,” dalam idem, Communication and Confrontation (Toronto: Wedge, 1972), hlm. 52-105.
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
11
menulis demikian: “Persekutuan yang membawa kita semakin dekat dengan Tuhan harus terbukti secara nyata di dalam hidup kita yang penuh tantangan. Persekutuan dengan Tuhan itu harus menembusi dan mewarnai seluruh perasaan, persepsi, sensasi, pikiran, imajinasi, kehendak, tingkah laku, dan kata-kata kita. Persekutuan dengan Tuhan tidak boleh kita pandang sebagai faktor yang terpisah dari aspekaspek kehidupan kita lainnya; ia harus menjadi napas bagi seluruh keberadaan kita.” 10 Kerinduan untuk melayani Tuhan di seluruh bidang kehidupan ini barangkali merupakan alasan mengapa bagi banyak orang Abraham Kuyper adalah satu sosok pribadi yang unik. Kerangka Dasar Visi Abraham Kuyper Dasar bagi pidato yang sedang kita baca ini tidak lain adalah kerangka pikir Kuyper di bidang sosial dan politik. Ada dua karakteristik dalam kerangka dasar tersebut yang penting untuk kita ketahui. Pertama, pemahaman Kuyper tentang ketegangan dan konflik yang terjadi di antara agama-agama atau agama palsu dalam dunia modern. Kedua, pengertian Kuyper tentang kompleksitas masyarakat modern.
Hakikat Agama Umumnya, di dunia Barat sekarang ini, agama dimengerti hanya sebatas masalah-masalah gerejawi, konsep-kon10
Kutipan ini diambil dari pendahuluan biografi Kuyper dalam tulisan John Hendrik de Vries di buku Kuyper yang berjudul Lectures on Calvinism, hlm. vii.
Copyright © momentum.or.id
12
Iman Kristen dan Problema Sosial
sep teologis, dan berbagai aktivitas penyembahan. Hal ini terjadi hampir di seluruh kalangan Protestan, Katolik, maupun Ortodoks. Hidup keagamaan sering kali didefinisikan dalam ekspresi-ekspresi sakral yang bersangkut paut dengan institusi atau kelembagaan dan kebudayaan, yang kemudian dibedakan dari berbagai lembaga, ajaran, dan aktivitas yang sifatnya nonagamawi. Lebih jauh lagi, pandangan yang mendominasi dunia Barat dalam dua abad terakhir ini adalah konsep bahwa agama hanyalah warisan dari perkembangan peradaban dunia masa lalu. Agama mungkin masih memberikan nilai-nilai yang positif secara psikologis dan politis bagi orang-orang tertentu yang hidup dalam penderitaan dan tekanan, tetapi agama tidak lagi dianggap sebagai aspek yang penting dalam pembentukan kehidupan masyarakat modern, sekuler, rasional, dan birokratik. Dengan kata lain, agama umumnya pada masa sekarang ini dikategorikan sebagai aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok orang tertentu – salah satu dari sekian aktivitas kehidupan yang mereka munculkan atau ciptakan sendiri. Tidak banyak di kalangan Kristen, dan jauh lebih sedikit lagi di kalangan non-Kristen, yang memandang agama sebagai totalitas keberadaan manusia (hakikat keberadaan kita sebagai manusia) serta apa artinya hidup di dalam dunia ini. Itu sebabnya banyak di antara orang-orang Barat yang tidak lagi menyadari bahwa agama merupakan dorongan yang terdalam dalam diri manusia – sebagai motivasi dasar di balik dorongan-dorongan untuk memperoleh kecukupan secara materi, untuk terciptanya kekuatan nasional, untuk
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
13
penyelidikan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi demi kepentingan kemajuan dalam kehidupan. Abraham Kuyper memiliki pandangan yang unik tentang agama dalam kaitannya dengan kompleksitas tatanan sosial di dunia modern. 11 Sesudah pengalaman pertobatan pribadinya, dan di bawah bimbingan Groen van Prinsterer yang banyak memberikan masukan tentang karakter agama dalam Revolusi Prancis, Kuyper mendefinisikan pengertian agama secara mendalam. Baginya, agama bukanlah salah satu aspek dari sekian banyak pilihan aktivitas yang manusia bisa pilih dan lakukan; agama adalah arah kehidupan yang manusia ambil ketika seseorang memberi dirinya dipimpin oleh kekuasaan baik yang berasal dari Allah sejati atau allah-allah palsu. Komitmen terhadap Allah sejati atau allah-allah palsu tersebut akan mengarahkan dan mengontrol kehidupan seseorang; manusia tidak berkuasa apa-apa atas allah-allah tersebut. Memang aktivitas religius melibatkan ibadah, doa, dan pengakuan iman, tetapi tindakan-tindakan tersebut bukanlah hakikat agama itu sendiri. Pada hakikatnya, seluruh kehidupan kita ini bersifat religius. Walaupun Kuyper tidak berbicara secara panjang lebar tentang hakikat agama di dalam pidatonya, tetapi jelas bahwa pemahaman ini menjadi kerangka dasar pemikiran Kuyper. Ini pula yang memberinya alasan untuk dengan segala daya upaya mengontraskan pendekatan Kristen dengan pendekatan-pendekatan liberal dan sosialis berkenaan dengan problema kemiskinan. Karena itu, pada akhirnya, 11 Lihat khususnya Kuyper, Lectures on Calvinism, hlm. 9-77; dan Zuidema, “Common Grace and Christian Action,” hlm. 88-101.
Copyright © momentum.or.id
14
Iman Kristen dan Problema Sosial
ketegangan yang terjadi antara pendekatan Kristen dan nonKristen bukanlah hanya sebatas perbedaan pandangan dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan sosial dan ekonomi, melainkan perbedaan yang sangat mendasar di dalam memahami kehidupan itu sendiri. Melalui pidatonya, Kuyper memanggil umat Kristen untuk menghadapi masalah sosial dengan berangkat dari pemahaman alkitabiah tentang Allah, ciptaan, dan khususnya hakikat manusia. Hanya dengan cara demikian, umat Kristen dapat menghargai elemenelemen kebenaran yang dijumpai di dalam liberalisme dan sosialisme.
Kemajemukan dalam Masyarakat Hal kedua yang merupakan keunikan pandangan Kuyper adalah pengertiannya bahwa seluruh ciptaan Allah, termasuk di dalamnya kehidupan masyarakat, akan berkembang semakin lama semakin kompleks melalui perjalanan sejarah. 12 Itu sebabnya dalam mengaitkan agama dengan kemajemukan masyarakat, Kuyper tidak membicarakan agama sebagai sebuah tindakan reaksioner. Ia bukanlah seseorang yang mau membawa pendengarnya kembali ke masa lalu, ke zaman di mana sejarah belum semaju sekarang ini. Ia juga tidak meratapi perkembangan industri atau munculnya lembaga-lembaga sosial, akademik, dan ekono12
Lihat Kuyper, Lectures on Calvinism; idem, “Sphere Sovereignty,” dalam James W. Skillen dan Rockne McCarthy, ed., Political Order and the Plural Structure of Society (Atlanta: Emory University Law and Religion Program, 1991); dan Herman Dooyeweerd, Roots of Western Culture: Pagan, Secular, and Christian Options, terj. John Kraay (Toronto: Wedge, 1979), hlm. 40-60.
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
15
mi yang tidak lagi di bawah kontrol gereja. Melainkan, ia mau agar semua orang Kristen memahami dan menaati prinsip-prinsip dasar yang Allah telah berikan dalam seluruh wilayah ciptaan-Nya. Seluruh kehidupan bersifat religius, tetapi tidak semuanya bersifat gerejawi. Semua aspek kehidupan harus dipakai demi hormat dan kemuliaan Allah, tetapi kita juga harus memahami bahwa wilayah dan tanggung jawab kehidupan itu sangat luas. Hal ini melibatkan bukan saja umat Kristen, tetapi juga orang-orang nonKristen. Dengan berakhirnya gaya hidup abad pertengahan di Eropa yang sangat berpusat pada gereja, dan dengan bangkitnya nasionalisme, kapitalisme, serta penemuan-penemuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, muncullah dua paham sekuler yang mendominasi kehidupan sosial dan pemikiran di akhir abad sembilan belas: individualisme liberal dan kolektivisme sosialis. Tanpa disadari, banyak di antara orang-orang Kristen di Belanda dan negara-negara Eropa lainnya telah menyesuaikan diri mereka dengan kedua cara pandang sekuler tersebut, padahal keduanya sangat bertentangan dengan keyakinan Kristen. Melalui pidato ini, dan melalui karyanya yang lain, Kuyper mendorong umat Kristen untuk tidak membuat kehidupan iman mereka hanya sebatas wilayah pribadi, sementara itu ketika mereka masuk ke dalam wilayah publik, mereka memberi dirinya dipimpin oleh cara berpikir yang bersifat nonKristen. Ia mau agar setiap orang Kristen hidup dengan integritas yang tinggi dan berani tampil di tengah-tengah publik dengan memberikan kontribusi yang sifatnya berbeda
Copyright © momentum.or.id
16
Iman Kristen dan Problema Sosial
dari kebudayaan, ekonomi, politik, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan seni yang ditawarkan oleh dunia di mana mereka tinggal. Di negaranya sendiri, Belanda, Kuyper telah memberikan inspirasi bagi dimulainya sebuah gerakan Kristen yang sifatnya melibatkan diri dengan kebudayaan sekitar tanpa menyesuaikan Kekristenan dengan pendekatan non-Kristen; serta menerima kemajemukan tatanan sosial dan berusaha untuk secara konsisten mengadakan pembaruan kristiani di semua aspek kehidupan dalam masyarakat. Pada masa sekarang ini, dorongan bagi terciptanya solidaritas dan kesatuan jauh lebih kuat ketimbang pengakuan bagi kemajemukan dalam masyarakat. Ada beberapa alasan yang sangat penting mengapa kemajemukan dalam masyarakat tak boleh disangkali dan diabaikan begitu saja. Lagi pula, bukankah demi alasan perkembangan ekonomi dan politik, jutaan orang mati kelaparan lantaran mereka tak diakui keberadaannya dalam masyarakat? Banyak orang yang tidak dapat meraih kesempatan hidup yang lebih baik oleh karena alasan warna kulit, agama, kelas sosial, ataupun jenis kelamin. Ketidakadilan semacam ini jelas bukan kemajemukan masyarakat yang dimaksudkan oleh Kuyper. Di lain pihak, seruan bagi adanya solidaritas sosial sering kali merupakan ekspresi pemberhalaan tujuan utopis yang muncul dari sentimen agama-agama anti-Kekristenan. Kuyper sendiri mendorong terciptanya solidaritas sosial (atau kehidupan sosial yang sifatnya organik) baik di negaranya sendiri maupun secara internasional, namun ia melakukan hal tersebut berdasarkan penerimaan secara murni
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
17
terhadap kemajemukan lembaga, komunitas, dan relasi sosial yang ada dalam masyarakat. Bagi Kuyper, konsep “demokrasi sosial” dan “sosialisme kenegaraan” sangat berbahaya. Jika kita mendasarkan diri pada pemahaman Kuyper, maka tidak ada jalan pintas bagi tercapainya integrasi global maupun solidaritas umat manusia. Dalam pidato yang ia sampaikan pada tahun 1891 ini, ia berkata bahwa tanpa adanya kritik “arsitektonik” secara menyeluruh dalam masyarakat, maka hal itu tidak akan cukup untuk mewujudkan solidaritas umat manusia. Hal yang sama juga berlaku pada masa kita sekarang ini. Jika umat Kristen hendak memberikan sumbangsih dalam mengatasi masalah kemiskinan, mereka perlu mengembangkan sebuah filsafat sosial Kristen yang komprehensif. Jika kita hanya memberi tekanan pada bagian-bagian tertentu dalam konsep Kekristenan, maka hal ini justru akan menjauhkan kita dari kebenaran tentang tatanan ciptaan yang Allah kehendaki dan kedaulatan-Nya dalam sejarah. Beberapa Petunjuk dalam Membaca Pidato Ini Pembaca pada masa sekarang ini tidak akan mengalami kesulitan dalam memahami pidato yang disampaikan oleh Kuyper. Pidato ini sama sekali tidak bersifat teknis maupun akademis. Namun demikian, pembaca perlu ingat bahwa Kuyper menyampaikan pidatonya lebih dari satu abad yang lalu, di Eropa, dan di negaranya sendiri. Itu sebabnya, kita tidak perlu terkejut jika di dalam salah satu bagian (Bab 4),
Copyright © momentum.or.id
18
Iman Kristen dan Problema Sosial
ia mendukung kolonisasi yang dilakukan oleh negaranegara Eropa sebagai salah satu cara untuk memelihara kehidupan pernikahan dan nilai-nilai keluarga. Jangan pula terkejut dengan gambaran yang Kuyper berikan tentang orang-orang Katolik, Yahudi, sosialis, dan liberal. Sebab justru melalui kata-katanya yang terbuka, kelompok ini telah berusaha untuk belajar hidup bersama dalam masyarakat dan bekerja sama sebisa mungkin di berbagai bidang kehidupan. Pembaca juga perlu membiasakan diri dengan kata “organik” yang terus-menerus diulang oleh Kuyper untuk menggambarkan hakikat masyarakat. Tampak jelas bahwa Kuyper sangat dipengaruhi oleh paham romantisisme dan idealisme nasionalistik yang sangat berpengaruh pada zamannya. Tetapi kita jangan salah mengerti; argumentasi Kuyper dalam menentang individualisme liberal bukan didasarkan atas paham kolektivisme ataupun totalitarianisme [konsep tentang perjuangan kelas sosial]. Pemakaian kata “organik” juga bukan dimaksudkan untuk mereduksi individu menjadi massa yang tanpa identitas tertentu. Kuyper memakai istilah tersebut, bersamaan dengan pahamnya tentang hakikat masyarakat yang majemuk, dengan tujuan untuk menegaskan karakter sosial dari kehidupan umat manusia, dengan kewajiban yang telah tertanam di dalamnya untuk saling memberi pertanggungjawaban, saling mempercayai, serta saling melayani. Kritik Kuyper terhadap sosialisme, baik demokrasi sosial maupun sosialisme negara, adalah peringatan terhadap bahaya yang akan ditimbulkan jika kita mereduksi masyarakat menjadi negara atau sebaliknya
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
19
negara menjadi masyarakat. Hakikat organik masyarakat akan terpelihara dengan sehat dan baik, justru ketika kita berusaha menerima dan memelihara kemajemukan di dalamnya. Terakhir, mengenai pembahasan Kuyper tentang sosialisme. Perlu kita ingat bahwa tahun 1891 adalah tahun di mana pemerintahan komunis Marx-Lenin belum terbentuk. Karena itu istilah “sosialisme,” baik dulu maupun sekarang, dapat diartikan sebagai kata yang merujuk kepada: konsepkonsep sosial yang beraneka ragam, kelompok sosialis tertentu, ataupun organisasi-organisasi politik tertentu. Dalam Bab 3, misalnya, Kuyper membedakan antara “demokrasi sosial” dan “sosialisme negara.” Frasa yang paling sering ia gunakan dalam pidatonya adalah “demokrasi sosial,” yaitu frasa yang merujuk pada apa yang pada masa kini kita sebut sebagai “sosialisme demokrat.” Dalam terjemahan ini kita tetap mengikuti kata-kata yang dipakai oleh Kuyper demi menjaga kesetiaan kepada naskah aslinya. Meskipun demikian, pada bagian tertentu istilah yang digunakan adalah “gerakan sosial-demokratik” dan bukannya “demokrasi sosial” jika hal itu memang dipandang perlu untuk dilakukan. Kekuatan dalam pidato Kuyper tentang problema kemiskinan ini tidak terletak pada analisis yang terperinci tentang kebijaksanaan pemerintah dalam hal kesejahteraan masyarakat atau konsep-konsep mulia tentang hukum buruh ataupun anggaran pemerintah. Kekuatan pidato ini terletak pada aplikasi iman Kristen dalam hakikat kemiskinan di dalam masyarakat di mana keutuhan “organik” dan kebebasan yang majemuk dapat ditegakkan secara bersamaan
Copyright © momentum.or.id
20
Iman Kristen dan Problema Sosial
dalam mengekspresikan natur umat manusia yang sejati sebagai gambar Allah. Pidato ini sangat berharga oleh karena kemampuan Kuyper dalam menyingkapkan motivasi utama kristiani dalam mengambil tindakan sosial, dan juga dalam kemampuannya untuk menyingkapkan pengharapan-pengharapan palsu yang ditawarkan oleh pemimpin-pemimpin sekuler. Kuyper memberikan visi pembaruan bukan dengan menekankan individualisme atau otonomi individu, melainkan melalui pertobatan dan kehidupan yang sejalan dengan prinsip-prinsip ilahi: kasih, kebaikan, keadilan, dan perhatian terhadap sesama."
Copyright © momentum.or.id