BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN DAKWAH AHMAD HASSAN TENTANG PROBLEMA SOSIAL KEAGAMAAN DITINJAU DARI TEORI PROBLEMA SOSIAL KEAGAMAAN YANG ADA
4.1. Pokok-Pokok Pemikiran Dakwah Ahmad Hassan tentang Problema Sosial Keagamaan Dalam fase pencarian bentuk bagi politik Indonesia pada dua dekade seputar kemerdekaan, A. Hassan telah secara aktif ikut serta dalam dialog terbuka antar berbagai arus pemikiran yang hidup di masyarakat. Hal ini bisa terlihat dalam tulisan-tulisannya, antara lain, Islam dan Paham Kebangsaan (1941). Dalam buku itu A. Hassan menggambarkan bagaimana sikap Islam terhadap politik khususnya di Indonesia, dan dengan semangat demokratis mengemukakan apa yang semestinya dilakukan oleh pemerintah. Membaca tulisan-tulisan itu, sama sekali tidak menemukan paham fanatisme, suatu kesan yang biasanya hanya diperoleh oleh mereka yang tidak paham cara berpikir kesejarahan, dan tidak mengetahui nilai perbedaan pemikiran dalam menemukan apa yang selanjutnya dipandang baik dan benar. Ahmad Hassan dalam menyusun buku: Islam dan Kebangsan melalui pergolakan pikirannya yang melihat kondisi Indonesia dan tokoh Soekarno cenderung sekuler dan terlalu menitik beratkan nasionalisme
72
73
sehingga kebangsaan dianggap sebagai dasar yang tertinggi dan yang lainnya seperti agama khususnya Islam tidak boleh ikut campur dalam urusan negara. Dari sini A. Hassan menyusun buku Islam dan Kebangsaan. Buku ini disusun sebagai hasil debat dan polemis dengan Soekarno. Dari sini pula tampak corak buku tersebut yaitu hasil dari: Pertama,
debater.
Dalam
hal
ini
beliau
mempertahankan
pendapatnya dengan menggunakan jalan debat secara terbuka dan tertutup. Terbuka ia lakukan manakala persoalannya sudah menyangkut kepentingan orang banyak. Misalnya dalam menggulirkan gagasan negara Islam. Ia mengajak debat terbuka dengan Soekarno. Dalam pandangannya bahwa debat merupakan bentuk tukar pikiran dan pembahasan mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masingmasing. Bagi Ahmad Hassan, debat bisa menghasilkan sebuah kesepakatan bila tidak bermuatan kepentingan pribadi melainkan kembali kepada dasar al-Qur'an dan hadis. Tertutup, apabila masalahnya hanya bersifat pribadi yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan orang banyak. Kedua, polemis. Metode ini dimanfaatkan olehnya dalam perdebatan mengenai suatu masalah yang dikemukakan secara terbuka di media massa. Hal ini kemudian ia tuangkan secara sistematis dalam buku yang berjudul: Islam dan Kebangsaan. Ketiga, sic et non. Metode ini bersifat dialogis. Ia gunakan dalam bentuk dialog atau tanya jawab, dan lazimnya ia gunakan ketika membahas masalah masail fiqhiyyah. Metode ini misalnya ia wujudkan dalam bentuk
74
buku-bukunya antara lain: Soal Jawab tentang Berbagai Masalah Agama, Bandung: CV.Diponegoro, 2003; At-Tauhid, Bandung: CV.Diponegoro, 1987 Dengan melihat tulisan-tulisan Ahmad Hassan, akan bisa menangkap apa yang sesungguhnya ia cita-citakan bagi masyarakat Indonesia. Ahmad Hassan dalam buku Islam dan Kebangsaan menginginkan agar umat Islam melaksanakan ajaran Islam dengan sungguh-sungguh dan semurnimurninya, baik dalam tingkat individu, keluarga/masyarakat/dan negara. Pelaksanaannya harus didasarkan pada pemahaman yang benar menurut nas-nas Al-Qur'an dan Sunnah, serta pengingkaran semua hal yang berbau bid'ah dan khurafat. Untuk mencapai itu umat Islam harus melakukan ijtihad, atau sekurang-kurangnya ittiba, dan menjauhi taklid, suatu penyakit yang menyebabkan kemunduran umat Islam. Kerangka berpikir di atas oleh A. Hassan disebut "mengikuti jejak salaf", jajaran generasi-yang terdekat baik secara waktu maupun ajaran dengan Nabi Muhammad saw. Hal-hal seperti tersebut di atas tampaknya merupakan tema yang selalu berulang-ulang sepanjang sejarah Islam setelah terjadinya kontak antara ajaran Islam dengan berbagai pemikiran asing yang mengakibatkan kaburnya ajaran otentik Islam. Seperti diakui oleh Persis sendiri dalam Mukaddimah Qanun Asasi (anggaran dasarnya), bahwa kondisi semacam itu senantiasa memunculkan mujaddid, seperti telah ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw, pada awal setiap abad. Tema-tema ishlah atau tajdid, misalnya bisa ditemukan dalam kebanyakan pemikir Hambali, Muhammad
75
'Abduh (w. 1905) dan Rasyid Ridha (w. 1935). Tetapi perlu disadari bahwa arus pemikiran Islam itu terus bergerak secara kumulatif dari sumber yang sama, Al-Qur'an dan Sunnah, tetapi situasi dan tantangan yang berbeda akan memerlukan respon dengan penekanan yang berbeda. Di situlah terlihat jasa A. Hassan dalam bangunan pemikiran Islam di Indonesia. Untuk melihat secara jelas ketajaman dan tekanan simbol-simbolnya, pemikiran A. Hasan dalam bukunya Islam dan Kebangsaan perlu diletakkan dalam konteks kesejarahan pada awal abad ke-20. Kemajuan sikap dan pemikirannya telah mendorong umat Islam untuk meninjau kembali setiap adat dan kebiasaan yang selama ini dianggap mapan dan tidak perlu dipertanyakan lagi seperti yang dianut oleh "kaum tradisionalis". Umat Islam telah ditantang untuk berpikir kritis dengan kritik-kritiknya yang tajam terhadap setiap tindakan dan pemikiran yang tidak bersumber dari ajaran agama. Tantangan A. Hassan untuk berpikir kritis itu bukan berarti mengajak orang untuk anti-dogma, dan bahkan dengan tajam dalam bukunya itu ia mengkritik orang-orang sekuler, yang diwakili oleh penganjur "paham kebangsaan". Salah satu kesalahpahaman yang dikritik secara tajam oleh A. Hassan dalam bukunya Islam dan Kebangsaan ialah ide sekuler dalam hubungan antara Islam dan paham kebangsaan (nasionalisme). Setelah berkembang pada abad ke-18 di Eropa Barat, paham kebangsaan itu baru masuk ke Indonesia pada abad ke-20, yang ditandai dengan munculnya ide kemerdekaan bagi bangsa Indonesia atas dasar ideologi "asli". Ada
76
kecenderungan bahwa ideologi "asli" itu dimaksudkan untuk menolak apa saja yang berbau "asing" termasuk memisahkan kehidupan politik dari asasasas agama. Polemik mengenai ideologi ini telah melibatkan sejumlah tokoh dengan pendapat yang berbeda-beda. Terhadap lawan pahamnya, seperti Soekarno dan Soetomo, A. Hassan melancarkan kritiknya secara tajam, ia menyatakan dalam bukunya Islam dan Kebangsaan bahwa paham kebangsaan seperti yang dipahami oleh mereka itu adalah sama dengan 'ashabiyyah, fanatisme kesukuan, suatu semangat solidaritas yang ditentang oleh Islam. Kritik seperti itu dilakukan oleh A. Hassan dengan cara yang tajam dan terbuka terhadap siapa saja yang dianggap salah, termasuk terhadap mereka yang secara pribadi maupun aspirasi dekat dengannya. la pernah mengkritik Hasbi ash-Shiddiqie karena soal "jabat tangan", Umar Hubaisy dan Bey Arifin soal madzhab, dan juga Hamka tentang paham kebangsaan. Semua kritik itu dilakukan dengan tajam sekali, sehingga kadang-kadang menimbulkan kesan kebencian. Kesan tersebut sebenarnya tidak tepat, karena kejujuran dan keikhlasanlah yang menyebabkan kritik itu pedas, bahkan terkadang kelewat pedas menurut ukuran perasaan "Jawa". Orang sering terkejut bahwa A. Hassan yang keras dalam kritik itu adalah A. Hassan yang lemah-lembut dalam pergaulan. Di samping sebagai kritikus, A. Hassan juga dikenal sebagai seorang polemis dan debater. Polemik dan debat digunakan sebagai senjata untuk
77
mematahkan paham lawannya, dan membuktikan kebenaran pahamnya sendiri. Dalam hal seperti itu, pendengar atau pembaca diharapkan dengan mudah memahami mengapa sesuatu faham itu salah atau benar/berdasar kaidah agama atau logika. Misalnya dalam perdebatan dengan Wahhab Hasbullah, orang ditantang untuk memilih kebenaran, setelah tahu alasan diperbolehkan atau diharamkan taklid. Begitu juga dalam polemik dengan Hussein al-Habsyi tentang soal mazhab. Menurut A. Hassan, bermadzhab sama dengan bertaklid, dan haram hukumnya menurut agama. Selama hidupnya A. Hassan telah melakukan beberapa perdebatan dengan pendetapendeta Kristen, tokoh-tokoh Ahmadiyah, golongan ateis, Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) dan ulama tradisional. Ahmad
Hassan
dalam
bukunya"
Islam
dan
Kebangsaan"
mengungkapkan beberapa problema sosial. Buku ini berisi tiga hal yang sangat menarik untuk diungkap yaitu pertama, masalah kemerdekaan beragama dalam menegakkan hukum Islam; kedua, makna kebangsaan; ketiga, ajaran Islam sebagai dasar kehidupan 4.1.1.
Kemerdekaan Beragama dalam Menegakkan Hukum Islam Sebagaimana telah diutarakan dalam bab tiga skripsi ini, bahwa dalam pandangan A.Hassan bahwa di Indonesia sudah ada kemerdekaan beragama tapi hanya sebatas kebebasan dalam menjalankan ibadah ritual juga hanya sebatas penegakan hukum nikah, talak dan ruju. Sedangkan penegakan hukum Islam dalam arti keseluruhan yang meliputi di
78
dalamnya masalah hukum pidana belum mendapat kebebasan. Yang ada justru hukum warisan kolonial Belanda. Apa yang diungkapkan oleh A.Hassan ini ia tujukan pada masa pemerintahan Soekarno. Karena di dalam buku Islam dan Kebangsaan itu terdapat di dalamnya sekilas polemik antara A.Hassan dengan Soekarno. Dengan memperhatikan pemikiran A. Hassan tersebut, menurut analisis penulis bahwa sebetulnya di Indonesia bisa saja ditegakkan hukum Islam. Namun demikian untuk bisa berlaku tidak cukup lewat kekuasaan seorang kepala negara semata pada waktu itu yang menjadi presiden Soekarno. Jika memang rakyat Indonesia menghendaki penegakan hukum Islam maka hal itu hanya bisa diwujudkan bila wakilwakil rakyat yang duduk dalam lembaga legislatif mengajukan usul pemberlakuan hukum Islam. Jadi pendapat A.Hassan tentang tidak adanya kebebasan di Indonesia dalam menegakkan hukum Islam kurang tepat. Meskipun Soekarno termasuk presiden yang lebih banyak terpengaruh dengan konsep dan teori Barat atau buku-buku orientalis dan terpengaruh pula dengan sistem pemerintahan Turki di bawah pimpinan Kemal Attaturk sebagaimana tuduhan A.Hassan, namun hal itu tidak berarti Soekarno bisa menghitam putihkan pelaksanaan hukum di indonesia. Undang-undang bukan hasil seorang presiden semata melainkan produk dari lembaga eksekutif dan legislatif.
79
Dalam perspektif A.Hassan bahwa tidak tegaknya hukum Islam di Indonesia merupakan problema sosial keagamaan. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa hal itu ada benarnya karena pada waktu itu banyak umat Islam yang suara-suaranya dimatikan oleh soekarno seperti dipenjara dan dituduh anti revolusi. Kondisi ini mendorong A.Hasan membuat kesimpulan sebagai masalah besar yang harus dijernihkan. Menurut analisis penulis bahwa keinginan A.Hassan untuk memberlakukan hukum Islam di Indonesia menunjukkan bahwa ia menginginkan pemberlakuan hukum Islam dituangkan dalam konstitusi negara. Keinginan ini menunjukkan bahwa hukum Islam harus dilegal formalkan. Menurut analisis penulis, hukum Islam tidak perlu dimasukkan secara legal formal dalam konstitusi, yang penting nilai–nilai hukum Islam dijalankan, artinya yang berlaku boleh saja dengan nama hukum ciptaan manusia tapi yang penting substansinya tidak bertentangan dengan dasar-dasar atau prinsip-prinsip al-Qur'an dan hadis. Bagaimana pun juga pemaksaan penegakan hukum Islam di Indonesia akan berimplikasi terhadap agama lain. Tentunya penganut non Islam akan keberatan dengan pemberlakuan tersebut dan dianggap sebagai bentuk diskriminasi dalam bernegara. Masalah lain yang muncul bahwa penulis melihat hukum Islam pun masih berbenturan pada level perbedaan pendapat yang terkotak-kotak dalam mazhab yaitu ada mazhab Syafi'i Hanafi, Maliki dan Hambali. Jadi ketika hukum Islam
80
ditegakkan ini pun akan mengundang perdebatan yaitu mazhab mana yang dipakai bagi yang pro Syafi'i tentu akan menganggap tidak benar pendapat mazhab lain dan ini bisa terjadi di kalangan fanatik mazhab. Implikasinya akan membuka peluang perpecahan antara sesama umat Islam. Berbeda halnya bila hanya menyangkut masalah hukum perdata maka hal ini boleh saja masuk dalam bentuk undang-undang, tapi jika menyangkut hukum publik misalnya hukum pidana maka penjatuhan sanksi hukum berupa perampasan kemerdekaan seseorang atau sanksi yang ditujukan pada fisiknya si terpidana maka ini akan mengundang pro kontra yang luar biasa seperti soal qisas, hudud, diyat, jilid, rajam dan sebagainya. Namun sebagai sebuah pesan dakwah, bahwa keinginan A.Hassan patut diapresiasi karena hal itu menjadi indikasi bahwa ia merasa berkewajiban menyampaikan hukum Allah. Tapi ketika pendapatnya digulirkan dalam ruang lingkup negara maka hal ini perlu dipertimbangkan lebih dalam. Terutama menyangkut aspek kesatuan bangsa yang bersifat majemuk. 4.1.2. Makna Kebangsaan Istilah kebangsaan yang dipergunakan oleh para pemimpin Indonesia di tahun dua puluhan dan permulaan tiga puluhan mempunyai arti chauvinisme, netral agama dan bahkan anti Islam. Paham nasionalisme netral agama ini, secara agak berhasil, telah diperkenalkan dan disebarkan oleh Ir. Soekarno dan kawan-kawan di
81
sekitar tahun dua puluhan. Salah satu faktor yang mempermudah Soekarno menyebarkan paham tersebut adalah karena, pada waktu itu, banyak orang Islam bersekolah di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Belanda dan pendidikan Belanda ini telah berhasil memisahkan golongan terpelajar Muslim dari agama mereka. Persis (Persatuan Islam), sebagai salah satu organisasi Islam pada masa itu dengan diwakili oleh dua orang tokoh terkemukanya, A. Hassan dan M. Natsir, beranggapan bahwa paham ini sangat membahayakan kehidupan beragama pada umumnya dan Islam pada khususnya. Oleh karena itu paham ini tidak boleh terus meluas dan harus ditanggapi secara serius. Maka tampillah mereka, bersama-sama dengan penulis-penulis lainnya, menurunkan artikel-artikel bersambung di berbagai media massa pada waktu itu, di antaranya melalui majalah Islam terkenal "Pembela Islam". Dalam tulisan-tulisannya, Natsir yang menggunakan nama samaran A. Muchlis itu banyak membicarakan perkembangan Nasionalisme Indonesia, dan mulai timbulnya paham ini dengan mengambil kesimpulan tentang Nasionalisme itu dari pandangan dan pernyataan para pemimpin kalangan kebangsaan. Adapun A. Hassan mendasarkan
pendapatnya
pada
pengertian
Nasionalisme,
yang
menurutnya bahwa paham "kebangsaan" adalah sama dengan pengertian 'ashabiyah di zaman Jahiliyah. Sedangkan menurut beberapa Hadis bahwa orang yang menyerukan 'ashabiyah, berperang karena 'ashabiyah
82
dan berjuang dengan dasar atau asas 'ashabiyah adalah tidak termasuk golongan ummat Muhammad Saw. Maka A. Hassan menyimpulkan bahwa Nasionalisme atau paham kebangsaan bertentangan dengan Islam. Satu-satunya asas perjuangan kaum Muslimin adalah Islam itu sendiri. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia asas Islam telah terbukti dapat membangkitkan rasa persatuan dan semangat juang yang militan. Pada masa itulah Partai Sarekat Islam dan Muhammadiyah telah memiliki anggota ratusan ribu, mempunyai cabang di seluruh tanah air, dan sebagai dikatakan Natsir: "Pergerakan Islamlah yang lebih dulu membuka jalan medan politik kemerdekaan di tanah ini, yang mulamula menanam bibit persatuan Indonesia, yang menyingkirkan sifat kepulauan dan kepropinsian, yang mula-mula menanam persaudaraan dengan kaum yang sama senasib di luar batas Indonesia dengan tali keIslaman. A. Hassan berpendapat bahwa paham kebangsaan telah memisahkan kaum Muslimin Indonesia dari saudara-saudara mereka di luar Indonesia, sedang menurut al-Qur'an semua muslimin itu bersaudara. Ia juga berkesimpulan bahwa memasuki partai kebangsaan berarti dosa, karena partai yang berasaskan kebangsaan sudah tentu tidak akan menjalankan hukum Islam dan orang yang tidak menggunakan dengan hukum Islam adalah fasiq, zhalim atau kafir.
83
Pendapat dan pikirannya ini didasarkan pada ayat-ayat Qur'an dan Hadis-hadis yang ia pahami. Pengertian Islam yang merupakan bagian kedua dari buku ini adalah tangkisan A. Hassan terhadap tulisan Ir. Soekarno "Memudakan Pengertian Islam" yang dimuat berturut-turut dalam majalah Panji Islam nomer 12 — 16 tahun 1940. Tulisan Soekarno ini telah pula disatukan dengan karangan-karangan lainnya dalam buku Dibawah Bendera Revolusi I, halaman 369 — 402. A. Hassan berkesimpulan bahwa tulisan Soekarno dengan judul tersebut bukanlah memudakan atau menyegarkan pengertian Islam sebagai yang dikandung oleh judul "Me-muda-kan Pengertian Islam" akan tetapi justru merendahkan dan memutar-balikkan ajaran Islam. Oleh karena itulah maka tangkisan A. Hassan itu diberi judul "Membudakkan Pengertian Islam", yang terdengar ada persamaan bunyi dengan judul karangan Soekarno tersebut. Dalam menulis bantahannya, A. Hassan yang untuk artikel bersambung itu menggunakan nama samaran MS, banyak menggunakan kata atau kalimat-kalimat kasar yang sebenarnya merupakan kata dan kalimat-kalimat yang dipergunakan oleh Soekarno dalam mengecam golongan Islam. Bahasa Soekarno itu dikembalikan oleh A. Hassan untuk lebih mempertajam bantahan beliau. Kalau diperhatikan karangan-karangan para penulis di masa itu, maka rupanya cara berpolemik semacam ini sudah merupakan gaya yang berlaku pada
84
waktu itu. A. Hassan sebenarnya tidak pernah menulis dengan bahasa yang kasar. Kalau dalam tulisan atau bantahan beliau terdapat kata-kata yang terasa kasar itu adalah sebagai balasan terhadap mereka yang telah mendahului menyerang beliau atau menghinakan Islam. Dan, seperti dengan tepat diungkap oleh Mohamad Roem: "Tidak saja sasaran Pembela Islam, itu ditujukan kepada dunia Barat yang terpelajar, tetapi juga terhadap pengertian-pengertian yang salah, dan caranya sering tajam dan tegas seperti sudah menjadi kebiasaan di Persatuan Islam. Yang kena serangan itu tentu merasa sakit, dan adakalanya Persatuan Islam
mendapat
kritik,
bahwa
caranya
pemimpin-pemimpinnya
memperbaiki terlalu tajam sehingga menyakiti hati orang. Dalam pada itu kita tahu kata-kata, bahwa kebenaran itu memang sering pahit. Sedang membela dengan cara menyerang adalah sesuai dengan ilmu militer, yaitu pembelaan yang paling baik adalah menyerang. Tetapi akibat yang abadi dari penulisan di Pembela Islam itu adalah bahwa pembaca-pembacanya dirangsang untuk memikirkan lebih seksama tentang ajaran-ajaran Islam". Menurut analisis penulis, bahwa apa yang diungkapkan A.Hassan ada benarnya juga karena jika paham kebangsaan menjadi landasan dalam bernegara dan hukum Islam di kesampingkan ini akan membuat bangsa Indonesia melupakan ajaran Islam. Sebab segalanya adalah karena kebangsaan akan menimbulkan kesan bahwa paham ini mempunyai kekuatan yang sama dengan ajaran agama. Namun
85
demikian, menurut penulis, A. Hasan pun terasa kurang bijak karena Soekarno melihat kondisi bangsa Indonesia baru membangun negara maka dibutuhkan persatuan dan kesatuan. Soekarno mungkin melihat kemajemukan bangsa ini sangat rentan disintegrasi karena itu Soekarno menggulirkan
gagasan
nasionalisme
untuk
mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. Hanya saja Soekarno pun terlalu liberal dalam menanamkan nasionalisme sehingga rambu-rambu agama khususnya Islam kurang diperhatikan dan membuat para ulama kurang sependapat dengan ide-ide Soekarno. . Terlepas dari kekurang bijakan masing-masing, namun ada satu hal yang perlu dicatat bahwa kondisi bangsa Indonesia pada waktu itu memang memerlukan persatuan dalam membangun negara guna mempertahankan kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan darah. 4.1.3. Ajaran Islam sebagai Dasar Kehidupan Masyarakat Islam bagi A. Hassan merupakan pilihan lain dari paham kebangsaan yang dianggapnya tidak memberikan tempat bagi agama, Islam adalah sesuatu yang tertinggi dan terluas menerjang batasbatas kebangsaan dan ketanah-airan. Kebenaran Islam adalah muthlaq sedang paham buatan manusia adalah nisbi. Menurut A. Hassan segala masalah yang berkecamuk di tengah masyarakat dapat diselesaikan melalui ajaran dan cara-cara Islam. Dalam sebuah masyarakat, bahkan negara dan bangsa yang berdasar kepada Islam pemilihan khalifah atau ketua pemerintahan dapat melalui
86
wakil-wakil rakyat yang dinamakan Ahlul Halli wal 'Aqdi atau dipilih langsung oleh rakyat tanpa perantaraan wakilnya. Adapun mengenai pemeluk agama lain, pemerintah memberikan kebenaran dalam hal ini: a. Makan dan minum kecuali minuman keras. b. Berpakaian, asal menutup aurat. c. Beribadah menurut cara masing-masing agama. d. Mendirikan tempat-tempat ibadah. e. Pembagian pusaka dan hukum perkawinan menurut cara mereka. f. Mendirikan tempat-tempat pendidikan agama dengan cara mereka. g. Mendirikan mahkamah yang memutuskan perselisihan di antara mereka. h. Duduk dalam pemerintahan Islam asal jangan sampai mengalahkan yang beragama Islam (Hassan, 1984: 149). Hassan tidak memberikan batasan khusus tentang bentuk masyarakat dan pemerintahan cara Islam itu. Mengenai bentuk, nampaknya beliau memasukkan pada katagori keduniaan, yang dapat berubah menurut tempat dan waktu. Yang penting, menurut beliau, adalah asas atau dasar bagi sebuah masyarakat dan negara itu yakni alIslam. Buku Islam dan Kebangsaan merupakan kumpulan karangan A. Hassan tentang Islam dan paham kebangsaan yang pernah dicetak dalam sebuah buku tersendiri dengan judul Islam dan Kebangsaan. Buku
87
kedua adalah karangan beliau dalam membantah Ir. Soekarno. Tulisan beliau ini belum pernah dibukukan akan tetapi pernah dimuat dalam bentuk artikel bersambung dalam majalah Al-Lisan mulai nomer 48 sampai dengan nomer 52 tahun 1940. Sedang bagian ketiga ialah Pemerintahan Cara Islam yang merupakan pikiran beliau tentang cara pemerintahan menurut Islam. Buku inipun pernah dicetak secara terpisah oleh Persatuan Islam Bagian Pustaka Bangil. Menurut analisis penulis, bahwa pendapat A.Hassan yang menganggap ajaran Islam serba lengkap dalam mengatur masyarakat dan negara, ini terlalu keras. Prinsip-prinsip Islam dalam masyarakat dan bernegara ada dalam al-Qur'an dan hadis, tapi tidak berarti lengkap dan terinci mengatur persoalan masyarakat dan negara mulai dari hak dan kewajibannya masyarakat dan negara seperti, eksekutif, wewenang legislatif, tugas dan kewajiban lembaga yudikatif dan seluk beluk pemerintahan daerah. Masalah ini masuk dalam wilayah ciptaan manusia dan masuk dalam ruang lingkup ijtihad. Agama punya peranan yang besar dalam menyinari umara, sehingga agama menjadi petunjuk bagi para pemimpin dalam menyelenggarakan roda pemerintahan. Demikian pula negara memiliki peranan yang besar dalam memberi kekuasaan pada para ulama dalam menata agama dan umatnya. Agama, masyarakat dan negara tidak bisa dipisahkan tapi tidak berarti agama lengkap memuat sejumlah aturan main
dalam
mekanisme
kehidupan
masyarakat,
negara
dan
88
pemerintahan. Hal itu diserahkan pada manusia untuk menciptakan aturannya.
4.2. Relevansi Pemikiran Dakwah Ahmad Hassan dengan Dakwah Saat ini Pesan dakwah A. Hassan yang diklasifikan dalam tiga tema utama yaitu pertama, masalah kemerdekaan beragama dalam menegakkan hukum Islam; kedua, makna kebangsaan; ketiga, ajaran Islam sebagai dasar kehidupan. Ketiga tema ini pada intinya, A.Hassan menghendaki ditegakkannya hukum Islam dengan nama masyarakat Islam dan dalam konteks negara tentunya negara Islam. Menurut analisis penulis bahwa Indonesia bukanlah negara agama dalam arti berdiri di atas satu agama. Karena itu para pendiri bangsa mencetuskan Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara. Sebetulnya bila nilai-nilai pancasila dijadikan pedoman, diamalkan dan dihayati maka tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia merupakan konsensus bersama untuk meletakkan negara Indonesia di atas falsafah yang universal dan bisa diterima oleh semua agama. Karena itu pendirian A.Hassan sulit diwujudkan dan bertentangan dengan konsensus bersama itu. Sebagaimana telah penulis kemukakan sebelumnya bahwa bangsa Indonesia terdiri atas pemeluk agama dan kepercayaan, katakanlah masyarakat bertuhan. Indonesia didirikan oleh masyarakat yang secara tradisional, beragama. Bagi masyarakat yang kental dengan ajaran agama,
89
apapun
agamanya,
tentu
merasa
lebih
cocok
bila
peraturan
bermasyarakatnya diambil dari agama juga. Masyarakat tradisional semacam ini tidak pernah punya pikiran memisahkan agama dengan negara. Maka ketika merumuskan dasar negara, Pancasila, para tokoh tidak meninggalkan ikatannya dengan Tuhan. Negara Pancasila sebagai Dasar Negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 menyebut Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama. Selanjutnya dasar negara ini dijabarkan di dalamnya berupa bab dan pasal-pasal. Pelaksanaan agama dilindungi oleh Undang-undang. Dengan Pancasila ini bangsa Indonesia tidak menghendaki membangun negara sekuler. Ini dapat dimengerti karena sebagian besar komponen bangsa adalah umat beragama, dan pengalaman untuk pemilahan, yang biasa disebut sekularisasi, belum ada. Karenanya, sekularisme yang mengambil bentuk paham komunis ateis tidak dapat diterima untuk mayoritas bangsa. Menurut penulis, bangsa Indonesia tidak pula mendirikan negara berdasarkan agama tertentu karena ketika mendirikannya diperjuangkan oleh orang-orang yang agamanya berbeda-beda. Dari sini penulis melihat bahwa Pancasila mempunyai implikasi: 1. Bangsa Indonesia harus berketuhanan. 2. Bangsa Indonesia secara kreatif menampilkan dirinya sebagai makhluk sosial yang mewujudkan persatuan, keadilan, kemanusiaan dan kedamaian sesuai dengan perkembangan zaman. 3. Sistem dan mekanisme penyelenggaraan negara atau pemerintahan sejalan dengan ajaran agama. Persoalannya adalah
90
seberapa jauh ajaran agama berperan mewarnai sistem dan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan. Berdasarkan uraian di atas dapat ditegaskan bahwa pesan dakwah A. Hassan ada relevansinya dengan dakwah saat ini. Dakwah saat ini mengalami sejumlah problema sosial yang tidak sedikit yaitu adanya keinginan sebagian umat Islam yang bersemangat untuk menegakkan hukum Islam di Indonesia tampaknya tidak pernah padam. Hal ini tampak dari pergulatan politik nasional belakangan ini, yang menunjukkan realitas sejumlah partai Islam dan ormas Islam (kecuali Nahdiatul Ulama dan Muhammadiyah) menyuarakan tuntutan pemberlakuan syariat Islam dan kemerdekaan beragama dalam menegakkan hukum Islam. Memang, hukum Islam telah menjadi sejarah bangsa Indonesia. Semenjak Islam masuk ke negeri ini, kerajaan-kerajaan Islam senantiasa berusaha untuk menegakkan hukum Islam di daerahnya. Setelah penjajahan Belanda berkuasa pun, kerajaan-kerajaan Islam yang ada masih berusaha menegakkannya, walaupun secara berangsur-angsur hukum Barat ataupun hukum adat diterapkan. Namun pergerakan nasional yang bersifat Islam menempatkan penegakan hukum Islam sebagai cita-cita. Setelah Indonesia merdeka, usaha pemberlakuan syariat Islam tidak juga berhenti. Ada yang dengan berangsur-angsur menegakkannya dalam kehidupan politik, seperti misalnya perjuangan diberlakukannya Piagam Jakarta di dalam Majelis Konstituante, dan terus-menerus diperjuangkan umat Islam secara politik dan kultural meskipun belum berhasil memberlakukan syariat Islam secara total.
91
Adanya keinginan pemberlakuan hukum Islam tidak sebatas masalah nikah, waris dan wakaf telah menimbulkan perbedaan pendapat dalam menyikapi hubungan antara agama dan negara. Dalam Oxford Advanced Leaner's Dictionary of Current English, dinyatakan, bahwa "Religion: believe in the existenced of God or gods, Who has/have created the universe and given man a spiritual nature which continuous to exist after the dead of the body" (Hornby, 1984: 725). (agama adalah suatu kepercayaan terhadap adanya Tuhan Yang Esa, atau Tuhan-tuhan, yang telah menciptakan alam semesta, dan memberikan roh kepada manusia yang akan tetap ada setelah matinya badan). Dalam konteksnya dengan arti agama di atas, Abdullah menyatakan: Agama lebih-lebih teologi tidak lagi terbatas hanya sekedar menerangkan hubungan antara manusia dan Tuhan-Nya tetapi secara tidak terelakkan juga melibatkan kesadaran berkelompok (sosiologis), kesadaran pencarian asal usul agama (antropologis), pemenuhan kebutuhan untuk membentuk kepribadian yang kuat dan ketenangan jiwa (psikologis) bahkan ajaran agama tertentu dapat diteliti sejauh mana keterkaitan ajaran etikanya dengan corak pandangan hidup yang memberi dorongan yang kuat untuk memperoleh derajat kesejahteraan hidup yang optimal (ekonomi) (Abdullah, 2004: 10). Sedangkan biasanya kata Islam diterjemahkan dengan “penyerahan diri”, penyerahan diri kepada Tuhan atau bahkan kepasrahan (Arkoun, 1996: 17). Adapun negara adalah suatu daerah territorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya
ketaatan
pada
peraturan
perundang-undangannya
melalui
penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah (Budiardjo, 1992: 40). Ditinjau dari sudut hukum tatanegara, negara itu adalah suatu organisasi kekuasaan, dan organisasi itu merupakan tata kerja daripada alat-
92
alat perlengkapan negara yang merupakan suatu keutuhan, tata kerja mana melukiskan hubungan, pembagian tugas dan kewajiban antara masing-masing alat perlengkapan negara itu untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Soehino, 1985: 149). Islam sebagai agama menuntun manusia ke jalan yang benar baik untuk dirinya sendiri maupun untuk masyarakat bahkan negara. Islam bukan sekedar ajaran ritualitas melainkan juga memberi petunjuk yang fundamental tentang bagaimana hubungan manusia dengan masyarakat bahkan dengan negara. Sehubungan dengan itu, di kalangan umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan. Pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara (Sjadzali, 1993: 1-2 dan 9-10). Kedua, berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia dan Maha Penciptanya. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi
93
terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara (Sjadzali, 1993: 1-2 dan 9-10). Persoalan relasi agama dan negara di masa modern merupakan salah satu subjek penting, yang meski telah diperdebatkan para pemikir Islam sejak hampir seabad lalu hingga sekarang ini tetap belum terpecahkan secara tuntas (Zada, 2002: 100). Hal ini dapat dilihat perdebatan yang terus berkembang. Fenomena yang mengedepan ini bisa jadi dikarenakan keniscayaan sebuah konsep negara dalam pergaulan hidup masyarakat di wilayah tertentu. Suatu negara diperlukan untuk mengatur kehidupan sosial secara bersama-sama dan untuk mencapai cita-cita suatu masyarakat. Di sini otoritas politik memiliki urgensinya dan harus ada yang terwakilkan dalam bentuk institusi yang disebut negara. Berdasarkan realitas tersebut, di antara kaum muslimin merasa perlu untuk merumuskan konsep negara (Kamaruzzaman, 2001: V). Para sosiolog teoretisi politik Islam merumuskan beberapa teori tentang hubungan agama dan negara. Teori-teori tersebut secara garis besar dibedakan menjadi tiga paradigma pemikiran yaitu paradigma integralistik (unified paradigm), paradigma simbiotik
(symbiotic paradigm), dan
paradigma sekularistik (secularistic paradigm). Paradigma pertama menyatakan bahwa hubungan antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan (integrated). Asumsinya ditegakkan di atas pemahaman bahwa Islam adalah satu agama sempurna yang mempunyai kelengkapan ajaran di semua segmen kehidupan manusia, termasuk di bidang praktik kenegaraan. Karenanya, umat Islam berkewajiban untuk melaksanakan
94
sistem politik Islami sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan empat al-Khulafa' al-Rasyidin. Pandangan ini menghendaki agar negara menjalankan dwifungsi secara bersamaan, yaitu fungsi lembaga politik dan keagamaan. Menurut paradigma ini, penyelenggaraan suatu pemerintahan tidak berdasarkan kedaulatan rakyat melainkan merujuk kepada kedaulatan ilahi (divine sovereignity), sebab penyandang kedaulatan paling hakiki adalah Tuhan. Pandangan ini mengilhami gerakan fundamentalisme. Paradigma kedua berpendirian bahwa agama dan negara berhubungan secara simbiotik, antara keduanya terjalin hubungan timbal-balik atau saling memerlukan. Dalam kerangka ini, agama memerlukan negara, karena dengan dukungan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya negara membutuhkan agama, karena agama menyediakan seperangkat nilai dan etika untuk menuntun perjalanan kehidupan bernegara. Paradigma ini berusaha keluar dari belenggu dua sisi pandangan yang berseberangan: integralistik dan sekularistik. Selanjutnya, paradigma ini melahirkan gerakan modernisme dan neo-modernisme. Paradigma ketiga merefleksikan pandangan sekularistik. Menurut paradigma ini, agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda, sehingga tidak dapat dikaitkan secara timbal-balik. Islam dimaknai menurut pengertian Barat yang berpendapat bahwa wilayah agama sebatas mengatur hubungan individu dan Tuhan. Sehingga mendasarkan agama kepada Islam atau upaya untuk melakukan determinasi Islam terhadap bentuk tertentu dari negara akan senantiasa disangkal (Amir, 2003: 15).
95
Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, menurut Qardawi, kaum muslimin di sepanjang sejarahnya tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara, kecuali setelah munculnya pemikiran sekularisme pada zaman sekarang (Qardawi, 1977: 10). Islam yang dibawa oleh al-Qur'an dan Sunnah, yang dikenal oleh kaum salaf dan khalaf adalah Islam integral yang tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara (Qardawi, 1977: 20). Meskipun demikian, Negara Islam tidak mementingkan bentuk dan nama. Walaupun sejarah Islam sendiri mengungkapkan adanya "Imamah" dan "Khilafah". Kedua kata ini mempunyai arti yang luas dan dalam. Menurut Qardawi, bahwa ajaran Islam harus diwujudkan dalam kehidupan negara. Alat-alat negara harus melaksanakan nilai-nilai ajaran Islam. Meskipun Islam tidak mengatur persoalan negara secara detail tapi prinsip-prinsipnya ada dalam Al-Qur'an dan Al-Hadis. Persoalan bagaimana bentuk negara dan pemerintahan itu, maka hal ini menyangkut persoalan ijtihad. Dalam konstitusi negara boleh dicantumkan dan boleh juga tidak dicantumkan tentang negara Islam. Yang penting substansi ajaran Islam dilaksanakan (Qardawi, 1977: 35). Dengan melihat berbagai pandangan di atas maka menunjukkan bahwa dakwah Islam dihadapkan oleh tantangan yang semakin berat yaitu mendamaikan tiga kelompok yang mempunyai pandangan yang berbeda. Dari sini tampak bahwa pemikiran tentang kebangsaan, kemerdekaan beragama dalam konteks penegakan hukum Islam dan dasar pemerintahan Islam bukan hanya baru muncul saat ini, melainkan Ahmad Hassan telah menggulirkan gagasan penegakan hukum Islam. Pernyataan ini maksudnya bahwa pesan
96
dakwah Islam agar bisa dimengerti dan disadari oleh mad'u maka aspek historis dan fenomena saat ini dapat dijadikan pesan dakwah yang yang mengena pada kebutuhan mad'u. Dengan demikian pesan dakwah A. Hassan ada hubungan yang erat dengan problema dakwah saat ini dalam konteks perseteruan tiga kelompok yang berbicara eksistensi negara dengan agama. Dengan melihat dan mempelajari pesan dakwah Ahmad Hassan, maka dapat ditegaskan bahwa pesannya mengandung dakwah dan merupakan bagian dari problema sosial dari dahulu hingga saat ini. Adapun kelemahan-kelemahan Ahmad Hassan dalam nenyampaikan gagasan dan pemikirannya yaitu: 1. Terlalu keras dalam menyampaikan pemikirannya. Kondisi ini kurang bisa diterima kalangan Soekarno atau pengikut-pengikutnya pada waktu itu; 2. Pemikirannya masih bersifat umum, sehingga pembaca kurang bisa memahami alasan-alasan yang dikemukakan Ahmad Hassan 3. Dalam menyampaikan keinginannya, Ahmad Hassan kurang mampu meyakini para pembaca waktu itu, sehingga banyak kritik yang dilontarkan pada pemikiran Ahmad Hassan.