II.TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Populasi Mikrob Tanah Jumlah dan keragaman mikrob di dalam tanah cukup tinggi. Mikrob tanah terdiri atas lima kelompok utama yaitu : bakteri, aktinomisetes, fungi, algae, dan protozoa. Populasi mikrob yang tinggi menggambarkan adanya suplai makanan dan energi yang cukup dalam tanah (Rao, 1979). Tingkat kesuburan tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor iklim seperti suhu, curah hujan, kelembaban, faktor nutrisi dan lingkungan, serta keanekaragaman mikrob tanah yang merupakan indikator tingkat kesuburan tanah (Allen dan Allen, 1981). Mikrob tanah dalam ekosistem tanah memiliki berbagai peranan antara lain : mendekomposisi sisa-sisa tumbuhan dan hewan, sebagai pemacu dan pengatur utama laju mineralisasi unsur-unsur hara dalam tanah, sebagai penambat unsur-unsur hara dan transformasi elemen-elemen dalam tanah (Killham, 1995). Menurut Ma’shum et al., (2003), peranan mikrob dalam kesuburan tanah ditunjukkan dengan aktivitasnya dalam memperbaiki struktur tanah dan ketersediaan hara bagi tanaman. Berkaitan dengan pembentukan struktur tanah, mikrob berperan sebagai pembangun agregat tanah yang mantap. Akumulasi sel dan pembentukan koloni bakteri yang melapisi butir partikel primer dan sekunder (agregat) memiliki pengaruh penting di dalam struktur tanah (Tisdall, 1994). Mekanisme yang terjadi adalah dalam kondisi alami, bakteri
tanah
menghasilkan
senyawa
organik
berupa
eksopolisakarida.
Eksopolisakarida bakteri dapat berinteraksi dengan partikel tanah melalui pembentukan jembatan polimer sehingga memiliki peran dalam pembentukan mikroagregat dan yang lebih utama adalah kemampuan eksopolisakarida tersebut dalam memantapkan agregat tanah. Sekresi dari senyawa-senyawa polisakarida, asam organik dan lendir yang diproduksi oleh hifa-hifa eksternal mampu mengikat butirbutir primer/agregat mikro tanah menjadi butir sekunder/agregat makro. Agen organik ini sangat penting dalam menstabilkan agregat mikro dan melalui kekuatan perekat dan pengikatan oleh asam-asam dan hifa tadi akan membentuk agregat makro yang mantap (Subiksa, 2002). Masih menurut Ma’shumet al. (2003), dalam kaitannya
4
dengan peningkatan ketersediaan unsur hara, mikrob berfungsi untuk mempercepat dekomposisi bahan organik dan sebagai pemacu tingkat kelarutan senyawa anorganik yang tidak tersedia menjadi bentuk tersedia. Mikrob dan fungi tanah merupakan salah satu dekomposer bahan organik, dimana mereka mengubah bahan organik tersebut menjadi bagian terkecil dan dimanfaatkan sebagai makanannya. Saat mencapai fase letal/mati mikrob dan fungi tanah mengeluarkan ekskresi berupa metabolit sekundernya yang sangat berguna bagi tanah (Annisa, 2010).
2.1.1 Bakteri Bakteri merupakan mikrob prokariotik (tidak memiliki membran inti) dan mempunyai dinding sel yang tersusun atas peptidoglikan. Ukuran bakteri berkisar antara 1-2µm dengan diameter 0,5-1µm. Bakteri tanah menempati pori mikro (<10µm). Hal ini disebabkan pada pori mikro bakteri akan lebih terlindung dari serangan protozoa (Kilham, 1995). Faktor lingkungan yang mempengaruhi keanekaragaman bakteri dalam tanah antara lain : kelembaban, suhu, aerasi, bahan organik, derajat kemasaman (pH), dan suplai hara. Sebagian bakteri dapat tetap bertahan hidup pada kondisi ekstrim dengan membentuk endospora (Alexander, 1976). Pertumbuhan bakteri tanah dapat memperbaiki struktur tanah menjadi lebih baik. Keadaan ini akan meningkatkan daya pegang air oleh tanah sehingga air yang tersedia bagi tanaman meningkat. Selain itu, unsur hara yang semula berada dalam bentuk tidak larut akan berubah menjadi bentuk yang terlarut sehingga lebih mudah diambil tanaman (Sarief, 1985). Bakteri sangat beragam dalam ukuran, bentuk dan kebutuhan oksigen (aerob dan anaerob), penggunaan energi (autotrof dan heterotrof), hubungannya dengan tanaman dan binatang (saprofit dan parasit) (Sutedjo et al., 1991). Menurut Rao (1979), bakteri dibagi
menjadi
10
ordo
yakni
Pseudomonadales,
Chlamydobcteriales,
Hypomicrobiales, Eubacterterials, Actinomycetes, Caryophanales, Beggiatoales, Myxobacteriales,
Spirochaetales,
Mycoplasmatales,
tiga
diantaranya
yaitu
Pseudomonadales, Eubacteriales dan Aktinomycetes merupakan bakteri yang sering ditemukan di dalam tanah.
5
2.1.2 Fungi Fungi merupakan mikrob eukariotik yang berfilamen. Filamen ialah jalinan dari hifa yang bergabung satu sama lain. Diameter hifa berkisar antara 2-10 µm. Ketersediaan oksigen merupakan faktor yang sangat menentukan populasi fungi dalam tanah. Hal ini dikarenakan sifat fungi yang merupakan mikrob aerob obligat dimana oksigen mutlak diperlukan untuk kelangsungan hidup fungi. Itulah sebabnya, fungi amat jarang dijumpai pada tanah-tanah yang tergenang dan bersifat reduktif seperti ekosistem rawa dan gambut (Alexander, 1976). Fungi di dalam tanah mempunyai peranan yang sangat beragam, salah satunya ialah sebagai dekomposer. Fungi dekomposer atau disebut juga saprofit mendapatkan energi dengan merombak bahan organik menjai CO2 dan molekul sederhana seperti asam organik. Asam organik yang dihasilkan oleh aktifitas dekomposisi fungi akan meningkatkan akumulasi asam humat (humic acid) yang bersifat resisten sehingga dapat bertahan di tanah dalam waktu yang lama sebagai sumber bahan organik (Killham, 1995). Fungi memegang peranan penting dalam proses-proses yang terjadi di dalam tanah seperti pada siklus nutrisi tanah dan interaksi dengan organisme tanah lainnya termasuk juga dengan tanaman, baik di atas permukaan tanah maupun di dalam tanah (Subba Rao, 1994). Faktor yang mempengaruhi populasi fungi dalam tanah antara lain : kadar bahan organik, konsentrasi ion hidrogen (pH), pemupukan, regim kelembaban, aerasi, suhu, dan komposisi vegetasi (Alexander, 1976). Fungi mempunyai toleransi yang lebih tinggi terhadap kemasaman. Oleh karena itu, proses dekomposisi material pada tanah-tanah masam lebih didominasi oleh aktifitas fungi. Sebagian besar fungi tergolong mesofilik dengan kisaran suhu optimum 25 – 35 oC.
6
2.2 KemantapanAgregat Partikel-partikel primer di dalam tanah tergabung dalam suatu kelompok yang dinamakan sebagai agregat tanah, yang merupakan satuan dasar struktur tanah. Agregat terbentuk diawali dengan suatu mekanisme yang menyatukan partikelpartikel primer membentuk kelompok atau gugus (cluster) dan dilanjutkan dengan adanya sesuatu yang dapat mengikat menjadi lebih kuat (sementasi) (Baver et al., 1972). Kemantapan agregat tanah dapat didefinisikan sebagai kemampuan tanah untuk bertahan terhadap gaya-gaya yang akan merusak. Gaya-gaya tersebut dapat berupa kikisan angin, pukulan hujan, daya urai air pengairan, dan beban pengolahan tanah (Amezketa et al. 2003). Baver et al. (1972) menyatakan bahwa pembentukan agregat yang mantap memerlukan ikatan yang lebih kuat antar partikel atau jonjot sehingga tidak mudah terdispersi kembali dalam air. Stabilitas agregat tanah tergantung dari kekuatan pelaku penyemen dalam menghadapi gaya perusak yang berasal dari luar. Agregasi yang tinggi belum tentu menguntungkan apabila tidak diikuti dengan stabilitas agregat yang cukup. Agregat yang mantap ialah agregat yang tidak terurai oleh air maupun gaya-gaya perusak mekanik. Pembentukan agregat yang mantap melibatkan berbagai bahan sementasi baik koloid organik maupun koloid anorganik. Agregat yang mantap tidak dapat terjadi pada fraksi pasir atau debu tanpa adanya bahan-bahan koloidal. Menurut Tisdall (1996) agregasi adalah mikroagregat (< 250 µm)
yang
dibentuk oleh molekul organik (MO) yang menempel pada liat (L) dan kation polivalen (P) membentuk partikel (L-P-MO), yang saling berikatan dengan partikel (L-P-MO) lainnya membentuk makroagregat [(L-P-MO)x]y. Dinamika agregasi sangat kompleks dan dipengaruhi oleh interaksi beberapa faktor seperti lingkungan, pengelolaan tanah, tanaman, komposisi mineral, tekstur, konsentrasi karbon organik tanah, proses pedogenesis, aktivitas mikroorganisme tanah, ion-ion yang dapat dipertukarkan, cadangan nutrisi di dalam tanah, dan kelembaban (Bronick & Lal 2005).
7
2.3 Tanah Latosol Menurut taksonomi tanah USDA, Latosol termasuk ke dalam Oxic Dystropept. Latosol memiliki permeabilitas agak lambat hingga sedang dan sangat responsif terhadap pemupukan P (Yogaswara, 1977). Latosol merupakan tanah yang telah mengalami hancuran iklim yang kuat dan proses pencucian yang nyata. Tanah latosol pertama kali diusulkan oleh Kellog pada tahun 1949 dengan sifat tanah yang memiliki KTK rendah, kemantapan agregat tinggi dan berwarna merah yang memiliki pelapukan dan perkembangan lanjut sehingga bereaksi masam, kandungan hara P, K, Ca dan Mg sangat rendah sedangkan Al dan Fe tinggi (Dharmawijaya, 1997). Tanah Latosol terbentuk melalui proses latosolisasi. Proses latosolisasi memiliki tiga proses utama, yaitu (1) pelapukan intensif yang terjadi terus menerus, (2) terjadi pencucian basa-basa yang mengakibatkan penumpukan seskuioksida, dan (3) terjadi penumpukan mineral liat kaolinit. Proses latosolisasi biasanya terjadi pada daerah-daerah yang memiliki curah hujan tinggi (Soepardi, 1983). Kapasitas tukar kation tanah Latosol rendah, hal ini disebabkan oleh kadar bahan organik yang kurang dan sebagian lagi oleh sifat liat hidro-oksida. Tanah Latosol ini mempunyai kandungan basa-basa yang dapat dipertukarkan dan hara yang tersedianya rendah (Soepraptohardjo dan Suhardjo, 1978). Menurut Soepardi (1979) latosol memiliki tingkat kesuburan yang rendah sehingga memerlukan tindakan pemupukan apabila digunakan secara intensif. Ciri lainnya adalah tanah latosol memiliki mineral liat tipe 1:1 dari golongan kaolinit, dan haloisit. Selain itu, tanah latosol juga memiliki struktur remah sampai gumpal, gembur, warna tanah seragam dengan batas horison yang kabur, serta memiliki solum yang dalam (lebih dari 150cm) (Hardjowigeno, 2003). Berdasarkan data hasil analisis Feniara (1999), tanah latosol merupakan tanah yang miskin unsur hara. Hasil analisis tanah latosol yang dilakukan Feniara (1999) diperlihatkan pada Tabel 1.
8
Tabel 1. HasilAnalisisSifat Kimia Tanah Latosol. JenisPengukuran
Nilai
Keterangan
4-5
Masam – Agak Masam
1,23 %
Rendah
N
0,11 %
SangatRendah
P
0,5 ppm
Rendah
K
0,10 me/100 g
Rendah
Ca
2,10 me/100 g
Rendah
Mg
0,76 me/100 g
Rendah
KTK
13,44 me/100 g
Rendah
pH C-organik
Sumber :Feniara (1999).
2.4 Soil Conditioner Hudson dan Notohadiprawiro (1983) mengemukakan bahwa Soil Conditioner dibedakan kedalam pembenah tanah sintetis, alami, organik, dan mineral, berbentuk padat maupun cair yang mampu memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. a. Pembenah tanah sintetis adalah bahan pembenah tanah yang diproduksi secara rekayasa kimia dari bahan-bahan organik atau mineral yang dapat digunakan untuk memperbaiki sifat-sifat tanah antara lain struktur tanah dan kemampuan tanah memegang air. b. Pembenah tanah alami adalah pembenah tanah yang berasal dari bahan-bahan organik atau mineral yang diproduksi tanpa rekayasa kimia. c. Pembenah tanah organik adalah pembenah tanah sintetis atau alami yang sebagian besar berasal dari bahan organik, sisa tanaman, kotoran hewan dan manusia. Menurut Dariah (2007) pembenah tanah merupakan suatu bahan yang dapat digunakan untuk mempercepat pemulihan/perbaikan kualitas tanah. Tujuan dari penggunaan bahan pembenah tanah ialah (1) Memperbaiki struktur tanah, mengurangi atau mencegah terjadinya erosi, (2) Merubah sifat hidrophobik dan
9
hidrofilik sehingga merubah kapasitas tanah menahan air (water holding capacity) dan (3) Meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah. Ozturk (2005) menyatakan bahwa pada umumnya, soil conditioner kimia atau sintetis dapat meningkatkan dan mempertahankan struktur tanah dan stabilitas agregat, termasuk meningkatkan resapan air dan mengurangi limpasan dan erosi, serta polimer sintetis efektif dalam meningkatkan konduktivitas hidrolik, porositas tanah, dan meningkatkan kapasitas memegang air. soil conditioner sangat penting dalam industri pertanian, untuk melawan penggunaan peralatan berat untuk pertanian yang bisa memadatkan tanah dan mengurangi produktivitas tanaman (Bathke et al., 1992). Menurut Bauder (1976) beberapa soil conditioner dapat mempengaruhi sifatsifat tanah. Sifat tanah yang secara teori dapat dipengaruhi oleh penambahan soil conditioner ke dalam tanah antara lain (1) kemampuan menahan air, (2) suhu, (3) kapasitas dan ketersediaan hara, (4) aerasi, (5) struktur dan stabilitas agregat, (6) populasi dan perilaku mikrob, (7) bahan organik, (8) perilaku hewan, termasuk serangga.
2.5 Pengaruh Bentuk Soil Conditioner Menurut Glaser et al., (2002) perbedaan bentuk pembenah tanah akan berpengaruh terhadap kemampuannya dalam memperbaiki kualitas tanah, khususnya dalam ketersediaan hara, retensi hara, dan retensi air. Pembenah tanah yang dikemas dalam bentuk granul mempunyai kadar air, kandungan hara P dan K serta pH yang lebih rendah namun mempunyai nisbah C/N lebih tinggi dibandingkan bentuk serbuk dan pelet. Pada umumnya kemasan serbuk mempunyai kandungan C-organik yang lebih tinggi, namun kandungan asam fulvat lebih rendah dibandingkan bentuk granul dan pelet (Nurida et al., 2010). Sementara menurut Annafi (2004), briket organik (kompos dan pupuk kandang) selain dapat digunakan sebagai media tanam dan pupuk organik juga dapat menjadi alternatif pembenah tanah, jika digunakan pada lahan lahan marginal, dapat meningkatkan bahan organik tanahnya dan dapat meningkatkan kapasitas menyimpan air.