TINJAUAN PUSTAKA Mikrob Patogen Tular Tanah Mikrob patogen tular tanah (soil borne) adalah salah satu patogen penyebab penyakit tanaman. Mikrob patogen ini dapat menyerang lebih dari satu macam tanaman dan menimbulkan masalah serius pada budidaya tanaman ekonomi penting terutama di daerah tropis dan subtropis. Salah satunya adalah resiko kerusakan tanaman dan kehilangan hasil yang cukup tinggi yang menyebabkan kerugian ekonomi di bidang pertanian dan industri hortikultura (Cahyaniati et al. 1999; Direktorat Perlindungan Hortikultura 2004). Mikrob patogen tular tanah termasuk beberapa bakteri dan cendawan dapat hidup dan berdiam dalam tanah dan sisa-sisa tanaman untuk jangka waktu yang pendek ataupun panjang. Mikrob patogen tular tanah menyerang tanaman melalui penetrasi akar yang dapat menyebabkan tanaman inang menjadi mati, dan patogen dapat berpindah ke setiap bagian tanaman yang lain. Erwinia cartovora subsp. Cartovora (Zamanian et al. 2005), Pseudomonas solanacearum, F. oxysporum, Alternaria solani (El-Abyad et al. 1993), R. Solani (Sabaratnam & James 2002), dan Sclerotium rolfsii (Prapagdee et al. 2008) adalah beberapa jenis mikrob patogen tular tanah yang dapat menyerang tanaman pertanian. Tanaman yang terinfeksi patogen tular tanah dapat menyebabkan berbagai macam penyakit seperti busuk akar, busuk pangkal batang, layu, rebah kecambah dan penyakit tanaman lainnya (Haas & Defago 2005). Mikrob patogen tular tanah memiliki kisaran inang yang luas dan beberapa diantaranya mempunyai struktur istirahat, sehingga penyakit yang ditimbulkannya menjadi sulit dikendalikan. S. rolfsii merupakan salah satu jenis mikrob patogen tular tanah yang dapat menyebabkan berbagai jenis penyakit pada lebih dari satu jenis tanaman. Penelitian ini lebih difokuskan pada mikrob patogen tular tanah S. rolfsii karena selain memiliki virulensi yang tinggi, juga disebabkan karena beberapa mikrob patogen tular tanah yang digunakan mempunyai virulensi yang sangat rendah atau menurun. Sclerotium rolfsii dan tanaman inang. Cendawan patogen tanaman menimbulkan masalah pada budidaya tanaman yang memiliki nilai ekonomi penting baik di daerah tropis maupun subtropis (Crawford 1996; Fichtner 1999;
6
Prapagdee et al. 2008). S. rolfsii merupakan salah satu cendawan patogen tular tanah yang dapat menyebabkan penyakit pada tanaman hortikultura. Cendawan patogen ini memiliki jangkauan inang yang luas, setidaknya 500 spesies dalam 100 famili tanaman dilaporkan rentan antara lain adalah: alfalfa, amarilis, pisang, kacang-kacangan, kubis, wortel, kol kembang, seledri, krisan, kopi, kapas, ketimun, andewi, bawang putih, jahe, labu, mangga, melon, mustar, bawang merah, kacang tanah, nenas, kentang, lobak, kedelai, tembakau, tulip, dan ketela (Ferreira & Boley 1992). Akan tetapi, tanaman inang yang paling umum adalah famili Leguminoceae, Cruciferaceae, dan Cucurbitaceae. Di Amerika, dilaporkan lebih dari 270 jenis tanaman merupakan tanaman inang S. rolfsii (Ferreira & Boley 1992; Fichtner 1999; Palaiah et al. 2007). Pertumbuhan
S. rolfsii. S. rolfsii sangat cepat pertumbuhannya,
mempunyai hifa berbentuk seperti kapas dan berwarna putih. Cendawan tersebut dapat membentuk struktur istirahat berupa sklerotia yang dapat bertahan lama di dalam tanah walaupun tidak ada pertanaman dan dapat berfungsi sebagai sumber inokulum pada pertanaman selanjutnya (Fichtner 1999). Sklerotia
mulai
terbentuk setelah 4-7 hari pertumbuhan miselia. Ukurannya relatif seragam (diameter 0,5-2,0 mm), berbentuk agak bundar dan putih ketika belum matang kemudian menjadi coklat sampai hitam gelap (Ferreira & Boley 1992; Fichtner 1999). Sklerotia merupakan struktur bertahan berisi hifa yang dapat hidup dan merupakan inokulum awal untuk perkembangan penyakit. S. rolfsii mampu bertahan dan berkembang dalam berbagai kondisi lingkungan. Pertumbuhan dapat terjadi dalam rentang pH yang luas, dan optimalnya pada tanah asam. Rentang pH optimal untuk pertumbuhan miselia adalah 3,0 hingga 5,0, dan perkecambahan sklerotia terjadi antara pH 2,0 dan 5,0. Perkecambahan akan terhambat pada pH di atas 7,0. Pertumbuhan maksimum miselium terjadi pada suhu antara 25 dan 35 ˚C pertumbuhan sedikit atau tidak ada pada suhu 10 atau 40 ˚C. Miselium dapat mati pada suhu 0 ˚C, tetapi sklerotia dapat bertahan pada suhu serendah-rendahnya -10 ˚C (Fichtner 1999). Patogenisitas Sclerotium rolfsii. S. rolfsii merupakan patogen tanaman yang sangat agresif pada banyak tanaman pertanian. Hidup sebagai parasit yang mengkolonisasi bahan organik tanaman. S. rolfsii tumbuh, bertahan, dan
7
menyerang tanaman di dekat tanah atau di atas permukaan tanah. Sebelum penetrasi pada jaringan tanaman, diproduksi massa miselium oleh patogen pada permukaan tanaman yang dapat terjadi dalam 2 sampai 10 hari. Penetrasi pada jaringan tanaman inang terjadi ketika patogen memproduksi enzim ekstraseluler yang menyebabkan lapisan luar sel menjadi rusak dan dengan cepat menghancurkan jaringan dan dinding sel, sehingga memudahkan penetrasi Sclerotium ke tanaman inang. Hal ini menyebabkan kerusakan jaringan, selanjutnya diproduksi miselium dan pembentukan sklerotia (Ferreira & Boley 1992; Fichtner 1999; Edmunds et al. 2000). Hasil
telaah
literatur
penelitian
patogenisitas
cendawan
patogen
mengemukakan bahwa banyak cendawan patogen tanaman menyerang dan merusak jaringan tanaman dengan mensekresikan enzim yang dapat mendegradasi dinding sel. Smith et al. (1986) menyatakan bahwa dalam menginfeksi jaringan tanaman inang, S. rolfsii mensekresikan enzim dan asam oksalat yang membuat jaringan menjadi lunak kemudian mati sehingga memudahkan penetrasinya. S. rolfsii juga diketahui mensekresikan enzim selulase (Bateman 1969, diacu dalam Smith et al. 1986). Enzim selulolitik yang disekresikan akan melunakkan dan menguraikan bahan penyusun dinding sel, dan memudahkan penetrasi dan penyebaran patogen di dalam inang dan menyebabkan pecah (kolapse) dan terurainya struktur seluler, sehingga membantu patogen menimbulkan penyakit (Agrios 1995). Enzim pendegradasi dinding sel yang dihasilkan S. rolfsii adalah endo-polygalacturonase (endo-PG) dan senyawa asam oksalat. Endo-PG dan asam oksalat dilaporkan dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan tanaman (Bateman dan Beer 1965, diacu dalam Agilo 2001). S. rolfsii terutama menyerang batang tanaman, meskipun dapat menular di setiap bagian dari tanaman dalam kondisi lingkungan yang baik termasuk akar, buah, tangkai daun, daun, dan bunga. Bibit yang sangat rentan cepat sekali terinfeksi dan mati. Tanaman tua yang telah membentuk jaringan kayu dapat terserang dan mati apabila terjadi perlukaan secara bertahap pada sekeliling batang. Jaringan yang terserang berwarna coklat muda dan lunak, tetapi tidak berair (Ferreira & Boley 1992). S. rolfsii menyebabkan penyakit busuk batang (stem rot) pada tanaman kacang tanah dan stroberi (Jin, Shun & Chang 2004;
8
Ganesan et al. 2006), busuk umbi (bulb rot) pada
Allium victorialis var.
platyphyllum Makino di Korea (Jin, Hyeong & Chang 2007), dan menyebab penyakit southern blight pada tanaman cabai dan tanaman sayuran lainnya serta tanah pertanian. Penyakit layu Sclerotium telah lama dikenal di Indonesia dan umumnya terdapat di pertanaman kacang-kacangan (Semangun 2006). Selain penyakit layu, Sclerotium juga menyebabkan penyakit busuk pangkal batang (collar rot) pada tanaman kacang tanah (Kuswinanti 2006). S. rolfsii (Sacc.) dilaporkan dapat menyebabkan penyakit antraknosa, hawar daun, busuk batang dan penyakit pada berbagai jenis tanaman pertanian (Prapagdee et al. 2008). Upaya Pengendalian Berbagai upaya pengendalian telah dilakukan untuk mengendalikan berbagai penyakit yang disebabkan oleh Sclerotium rolfsii pada tanaman hortikultura, misalnya pengendalian tanpa bahan kimia (non-kimia), rotasi tanaman, pembajakan, solarisasi tanah, pemakaian mulsa plastik hitam, penggunaan mikrobisida kimiawi dan mikrobisida hayati (Ferreira & Boley 1992). Upaya pengendalian tersebut ada yang berhasil tetapi beberapa lainnya kurang berhasil.
Penggunaan
mikrobisida
kimiawi
umumnya
digunakan
untuk
perlindungan secara langsung permukaan tanaman dari infeksi atau untuk mengeradikasi patogen yang telah menginfeksi tanaman sebelumnya cukup berhasil. Namun demikian, penggunaan yang berlebihan dan dalam jangka waktu yang lama dapat berdampak negatif pada kesehatan manusia dan pencemaran lingkungan karena residu yang ditinggalkan bersifat racun dan bahkan dapat menimbulkan resistensi patogen (Alam et al. 2003). Oleh karena itu, untuk menghindari masalah tersebut perhatian difokuskan untuk menggunakan mikroorganisme seperti cendawan, bakteri dan Actinomycetes sebagai agen pengendali hayati untuk meminimalkan infeksi yang disebabkan oleh patogen tanaman. Pengendalian hayati merupakan salah satu upaya yang mendapat perhatian lebih dalam pengembangannya. Pengendalian hayati (biological control) adalah penurunan atau penghancuran populasi patogen baik dalam keadaan aktif maupun dorman secera keseluruhan atau sebagian dengan memanfaatkan satu atau beberapa jenis organisme lain yang ada secara alami
9
ataupun melalui manipulasi inang, lingkungan atau antagonis (Agrios 1995; Pal & Spaden 2006). Penelitian yang dilakukan baik di luar maupun di dalam negeri ( Tabel 1 ) merupakan suatu upaya dalam mencari agen pengendali hayati dan cara pengelolaan yang efektif terhadap penyakit
tanaman. Pemanfaatan mikrob
antagonis yang secara alami dapat diperoleh dari tanah-tanah pertanian, dapat Tabel 1 Pemanfaatan mikrob antagonis sebagai agen pengendali hayati mikrob patogen tanaman No Mikrob antagonis
Mikrob patogen
Penyakit tanaman
Tan.
Pustaka
inang 1 Streptomyces hygroscopicus
Colletotrichum
Antraknosa
Tanaman
Prapagdee et al.
gloeosporioides
Hawar daun
Pertanian
(2008)
Sclerotium rolfsii Busuk batang 2 Streptomyces spp. Sclerotium rolfsii Rebah kecambah Gula bit Errakhi et al. (2007) 3 Trichoderma
Sclerotium rolfsii Layu Sclerotium
Tomat Okereke et al. (2007)
harzianum 4 Pseudomonas fluorescences
R. solani
Busuk batang
P. capsici
Busuk akar
5 Streptomyces spp R. solani
Tomat Moataza (2006)
Rebah kecambah Tomat Dhanasekaran et al. (2005)
6 Pseudomonas putida 7 Streptomyces sp.
S. scabiei
Kudis kentang
Kentang
Cao et al. (2004)
F. oxysporum f.
Layu Fusarium
Lobak
Lee et al. (2004) Boer et al. (2003)
sp. raphani R. solani
Rebah kecambah Tomat Sabaratnam dan
Di-944 8 Streptomyces spp P. medicaginis 9 Streptomyces. pulcher
F. oxysporum
Busuk akar Layu Fusarium
Alfalfa
James (2002)
Kedelai
Xiao et al. (2002)
Tomat
f.sp. lycopersici
El-Abyad et al.
Verticillium albo- Layu Verticillium
(1993)
atrum Alternaria solani Bercak kering 10 Trichoderma harzianum
Pseudomonas solanacearum
Layu bakteri
Kacang tanah
Ganesan et al. (2007)
10
No Mikrob antagonis 11 Pseudomonas
Mikrob patogen R. solanacearum
Tan.
Penyakit tanaman Layu bakteri
Pustaka
Inang Tembaka
Djatmiko et al. (2007)
u
spp. Bacillus spp. 12 Streptomyces spp. R. solanacearum
Nawangsih (2006)
Layu bakteri Tomat
P. fluorescens B. subtilis 13 Bacillus sp. Streptomyces sp
Andri (2004)
X. axonopodis
Pustul bakteri
pv. glycines
Busuk benih
Kedelai
Bacilus subtillis
Daun bergaris
Kedelai
Pseudomonas sp. merah
Winarni I (2004)
Padi
Hawar daun 14
R. solanacearum
Nurjanani (2001)
Layu bakteri Tomat
P. fluorescens B. subtilis 15 T. viride
Clavibacter
Streptomyces
michi- ganensis
pulcher
subsp.
El-Abyad et al.
Kanker bakteri Tomat
(1993)
michiganensis
secara efektif mengendalikan satu bahkan beberapa mikrob patogen tanaman sehingga dapat menekan terjadinya penyakit. Pemanfaatan mikrob antagonis juga dapat meningkatkan hasil dan dapat mengurangi pemakaian mikrobisida kimiawi. Mikrob patogen tanaman menyerang dan menyebabkan penyakit pada berbagai jenis tanaman hortikultura dan beberapa diantaranya memiliki struktur istirahat sehingga sulit dikendalikan. Penggunaan mikrobisida kimiawi kurang efektif dan bahkan menimbulkan dampak negatif. Oleh karena itu, untuk menghindari masalah tersebut perhatian difokuskan untuk menggunakan mikroorganisme seperti cendawan, bakteri dan Actinomycetes sebagai agen pengendali hayati untuk meminimalkan infeksi yang disebabkan oleh patogen tanaman. Penggunaan agen pengendali hayati didasarkan pada kemampuan agen pengendali untuk bersaing di dalam rizosfer dan menghasilkan zat antimikrob yang dapat menghalangi pertumbuhan mikrob patogen (Hayward et al 1994), mikrob sebagai agen pengendali hayati dapat diperoleh secara alami atau melalui
11
rekayasa genetik (Sigee 1993). Pengendalian hayati lebih efektif apabila mikrob yang memiliki sifat antagonis juga mampu berkompetisi untuk jangka waktu lama dalam kondisi alaminya. Beberapa penelitian berhasil mengisolasi beberapa mikroorganisme dari kelompok cendawan dan bakteri yang memiliki sifat antagonistik terhadap S. rolfsii seprti; Trichoderma harzianum, T. viride, Bacillus subtilis, Penicillium spp., dan Gliocladium virens (Ferreira & Boley 1992). Aplikasi kombinasi Trichoderma harzianum (ITTC-4572) dan Rhizobium berhasil menurunkan penyakit busuk batang (stem rot) pada kacang tanah (Ganesan et al. 2006). Trichoderma harzianum, dapat menekan penyakit layu Sclerotium sebesar 80,3% pada tanaman tomat (Okereke et al. 2007). Senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh Bacillus subtilis diketahui juga mempunyai aktivitas antagonistik terhadap R. solani (Kondoh et al. 2001), dan S. rolfsii (Nalisha et al. 2006). Bakteri lain yang juga mendapat perhatian besar dan terus dilakukan pengembangannya adalah kelompok bakteri Actinomycetes, terutama pada genus Streptomyces. Streptomyces spp, diketahui memiliki kemampuan dalam mensekresikan senyawa bioaktif sebagai metabolit sekunder yang bersifat antagonistik baik terhadap bakteri, nematoda dan cendawan patogen. Streptomyces spp. dapat mereduksi penyakit pada benih jagung yang disebabkan oleh Fusarium subglutinas dan Chepalosporium acremonium (Bressan 2003). Streptomyces olivaceus strain 115 memiliki aktivitas antagonistik yang kuat terhadap Rhizoctonia solani (Shahrokhi et al. 2005). Errakhi et al. (2007), melaporkan senyawa antimikrob yang dihasilkan Streptomyces spp., secara in vitro mampu menghambat Sclerotium rolfsii, dan isolat J-2 secara signifikan dapat mengurangi penyakit rebah kecambah dan meningkatkan pertumbuhan benih tanaman gula bit (sugar beet). Karakteristik Streptomyces spp. Actinomycetes secara kemotaksonomi dikelompokkan ke dalam bakteri Gram- positif yang mempunyai kandungan Guanine-Cytosine (GC) tinggi (highGC Gram positive bacteria) antara 63–78% ((Madigan et al. 2006). Dibandingkan dengan kelompok bakteri yang lain, Actinomycetes mempunyai perbedaan yang istimewa yaitu mengalami pembelahan morfologis yang kompleks dan dapat dibedakan dengan bakteri lain dengan mudah, berdasarkan bentuk koloni di dalam
12
medium padat. Koloninya keras seperti tumbuh akar di dalam media, berbeda dengan bakteri lain yang koloninya lunak diatas media agar. Hifanya bersifat hidrofobik tetapi miselium vegetatifnya bersifat hidrofilik. Actinomycetes dikenal sebagai sumber penghasil beberapa metabolit sekunder seperti antibiotik, dan enzim yang berguna untuk kesehatan, industri, dan juga sebagai agen biokontrol penyakit tanaman dan telah diproduksi dalam skala industri (Betina 1983; Ensign 1992; Sabaratnam & James 2002; Miyadoh 2003). Salah satu anggota Actinomycetes adalah Streptomyces yang mampu membentuk spora udara (konidia) (Madigan et al. 2006). Hifa vegetatif bakteri ini berdiameter 0,5 – 2,0 µm, spora nonmotil, dan menghasilkan berbagai macam pigmen yang terlihat pada miselium vegetatif dan aerialnya. Dinding selnya tersusun oleh sejumlah besar
asam
L-diaminopimelat.
Streptomyces
adalah
bakteri
aerob,
kemoorganotrof, memberikan reaksi katalase positif, dan umumnya mampu mereduksi nitrat menjadi nitrit (Holt et al. 1994; Dhanasekaran et al. 2005). Streptomyces dan beberapa genus kelompok Actinomycetes lainnya dikenal sebagai bakteri penghasil antibiotik, karena dari 10000 antibiotik yang telah ditemukan, 2/3 nya dihasilkan oleh bakteri ini (Miyadoh 2004). Streptomyces memiliki siklus hidup yang kompleks dan mampu menghasilkan dan mensekresi metabolit sekunder, senyawa bioaktif seperti antibiotik, enzim hidrolitik (protease dan lipase), dan inhibitor enzim. Streptomyces biasanya hidup di tanah dan merupakan dekomposer penting karena dapat menguraikan bahan organik, khususnya polimer seperti lignosellulosa, pati, dan kitin, dalam tanah, serta tahan terhadap keadaan stres lingkungan seperti kekeringan dan kekurangan makanan dengan membentuk spora (Cao et al. 2004; Dhanasekaran et al. 2005; Zamanian et al. 2005). Spora Streptomyces dibentuk secara sederhana dengan terbentuknya dinding penyekat pada sporofor multinukleat, kemudian diikuti oleh pemisahan individu sel secara langsung. Perbedaan bentuk, susunan, filamen, dan pembentukan struktur spora digunakan dalam pengelompokan Streptomyces (Madigan et al. 2006). Potensi Streptomyces spp. Penggunaan agen pengendali hayati telah banyak dilakukan terhadap benih dan tanaman dengan tujuan melindungi benih dan tanaman dari serangan patogen.
13
Beberapa usaha telah dilakukan untuk memanfaatkan Actinomycetes yang bersifat antagonistik sebagai agen pengendali hayati. Streptomyces spp. dapat dijumpai dalam jumlah cukup banyak di dalam tanah, sampah organik, dan kompos. Dari sejumlah mikroorganisme yang diisolasi dari tanah, 90% diantaranya merupakan Streptomyces spp. Streptomyces spp. termasuk dalam mikroorganisme saprofit dan dapat mendegradasi beberapa senyawa seperti lignin, kitin, pektin, keratin, senyawa aromatik, dan asam humat (Cao et al. 2004). Streptomyces spp. dapat tumbuh pada kisaran suhu 44-45 ˚C sehingga merupakan mikrob pengurai yang berperan penting dalam proses pengomposan dan pembuatan pupuk organik. Mikroorganisme ini juga dapat memproduksi senyawa bioaktif seperti antibiotik antara lain; eritromisin, tetrasiklin, streotimisin, nistatin, neomisin, kanamisin, sikloheksimida,
sikloserin,
linkomisin,
aminoglikosida,
aureomisin,
kloramfenikol, nistatin, amphoterisin dan amfosetin B ( Todar 2002; Purnomo et al. 2005; Madigan et al. 2006). Kemampuan Streptomyces spp. menghasilkan senyawa bioaktif menarik perhatian beberapa peneliti di bidang penyakit tanaman untuk memanfaatkannya sebagai agen pengendali hayati terhadap beberapa mikrob patogen tanaman. Crawford (1996) dalam laporan penelitiannya menunjukkan bahwa Streptomyces WYEC 108 dan YCED 9 mempunyai sifat antagonis yang sangat kuat dalam melawan berbagai cendawan penyebab busuk akar dan busuk benih, rebah kecambah, serta busuk putih dan cokelat pada tanaman. Selain menghasilkan antibakteri, Streptomyces spp. juga dapat menghasilkan antifungi yang berpotensi mengendalikan beberapa cendawan patogen tular tanah. Gomes et al. (2001) berhasil mempurifikasi endokitinase yang mempunyai aktivitas antifungi dari Streptomyces RC 1071 dan telah dipromosikan untuk digunakan sebagai agen biokontrol. Berg et al. (2001) melaporkan bahwa Streptomyces sp. DSMZ 12.424 (HRO71) yang terisolasi dari rizosfer strowberi telah dikembangkan sebagai produk mikrobial dan disebut Rhizovit ®. Streptomyces tersebut menghasilkan siderofor, antibiotik dan menunjukkan aktivitas kitinolitik dan sangat efektif terhadap beberapa cendawan patogen tanaman pada uji in vitro. Hwang et al (2001) menyatakan bahwa Streptomyces humidus mampu menghambat patogen Phytophtora capsici dan Pseudomonas sp., dengan menghasilkan senyawa asam
14
fenil asetat dan sodium fenil asetat. Xiao, Kinkel, & Samac (2002) mengemukakan bahwa 53 koleksi antibiotik yang diperoleh dari Streptomyces spp. asal isolat Minnesota, Nebraska, dan Washington setelah dievaluasi menunjukkan kemampuan dalam menghambat pertumbuhan patogen tanaman Phytophthora medicaginis dan Phytophthora sojae secara in vitro. Delapan isolat mempunyai kemampuan yang besar dalam mengendalikan penyakit busuk akar Phytophthora (Phytophthora root rots) pada tanaman alfalfa dan kedelai. Penapisan agen biokontrol yang dilakukan Lee et al (2004) terhadap Streptomyces scabies penyebab penyakit kudis kentang, menemukan empat isolat Streptomyces (A020645, A010321, A010564, & A020973) yang sangat berpotensial. Keempat isolat tersebut memiliki aktivitas antagonistik yang tinggi > 60% dan memiliki ketahanan yang tinggi terhadap 10 macam bahan kimia. Shahrokhi et al. (2005) menyatakan bahwa isolat Actinomycetes dari Iran, mempunyai aktivitas antifungi. Streptomyces olivaceus strain 115 menunjukkan aktivitas antagonistik yang kuat terhadap Rhizoctonia solani Khun AG-3 yang menyebabkan kanker pada tanaman kentang. Selain Streptomyces spp. asal tanah, Taechowisan et al. (2005) mengemukakan bahwa Streptomyces aureofaciens CMUAc 130 yang diisolasi dari jaringan akar tanaman Zingiber officinale Rosc. juga dapat memberikan penghambatan terhadap pertumbuhan hifa cendawan Colletotrichum musae dan Fusarium oxysporum yang dikenal sebagai agen antraknosa dan layu pada tanaman pisang. Streptomyces aureofaciens CMUAc 130 mengendalikan cendawan patogen tanaman dengan menghasilkan senyawa 5,7-dimethoxy-4-pmethoxylphenylcoumarin dan 5,7-dimethoxy-4 phenylcoumarin. Dua senyawa antifungi alifatik (SPM5C-1 dan SPM5C-2) dengan unit lakton dan keton yang dihasilkan oleh Streptomyces sp. PM5 ternyata mempunyai aktivitas antifungi pada tanaman padi. Senyawa SPM5C-1 menghambat pertumbuhan miselium Pyricularia oryzae dan R. solani pada konsentrasi 25, 50, 75, dan 100 µg/ml dibandingkan dengan SPM5C-2 yang aktivitas antifungi lebih rendah terhadap P. oryzae, dan tidak mempunyai aktivitas terhadap R. solani. Penyemprotan dengan 500 µg/ml SPM5C-1 sangat signifikan mengurangi penyakit hawar pada tanaman padi sebesar 76,1% dan 82,3% (Prabavathy et al. 2006)
15
Penelitian yang dilakukan Sadeghi et al. (2006) menunjukkan bahwa dua isolat Streptomyces spp. (S2 & C) efektif digunakan untuk pengendalian rebah kecambah pada tanaman gula bit (sugar beet). Kedua isolat tersebut memiliki aktivitas antifungi terhadap tiga isolat R. solani AG-4 (Rs1, Rs2, dan Rs3) dengan menghasilkan siderofor (isolat C) dan enzim kitinase (isolat S2 & C). Prapagdee et al. (2008) juga melaporkan bahwa Streptomyces hygroscopicus (SRA 14) dapat menghambat Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) dan Sclerotium rolfsii (Sacc.) penyebab penyakit antraknosa, hawar daun, dan busuk batang pada berbagai jenis tanaman pertanian, dengan menghasilkan enzim ekstraseluler, yaitu kititanse dan β-1,3-glukanase. Enzim ini dapat mengkatalisis senyawa glukan yang menyebabkan lisisnya dinding sel cendawan tersebut. Penelitian yang dilakukan El-Abyad et al. (1993) menunjukkan bahwa secara in vitro, pada konsentrasi 80% filtrat kultur S. pulcher atau S. canescens sangat signifikan menghambat perkecambahan spora, pertumbuhan miselium, dan sporulasi dari F. oxysporum f.sp. lycopersici, Verticillium albo-atrum, dan Alternaria solani. Pada konsentrasi yang sama, filtrat S. pulcher atau S. citreofluorescens menyebabkan kerusakan pada bakteri patogen Clavibacter michiganensis subsp. michiganensis dan Pseudomonas solanacearum. Pada uji in planta menunjukkan bahwa perlakuan pelapisan benih (seed coating) tomat dengan Streptomyces spp. lebih efektif dalam mengendalikan semua patogen pada 42 dan 63 hari setelah tanam. Perlakuan inokulasi tanah dengan antagonis tujuh hari sebelum tanam kurang efektif mengendalikan patogen tanaman tomat dibanding dengan perlakuan pelapisan benih (seed coating). Sedangkan perlakuan perendaman benih efektifitasnya sangat rendah dalam mengendalian penyakit. Perlakuan pelapisan benih (seed coating) sangat signifikan dalam memperbaiki pertumbuhan tanaman tomat. Dalam laporan penelitian Yuan dan Crawford (1995) mengemukakan bahwa perlakuan dengan Streptomyces lydicus WYEC108 pada benih setelah 96 jam tanam, menunjukkan intensitas serangan patogen hanya mencapai 40–70%, sedangkan yang tidak diberi perlakuan dengan Streptomyces lydicus WYEC108 intensitas serangan patogen mencapai 70–100% pada 24–48 jam setelah tanam. Knudsen et al. (1997) menginformasikan bahwa antibiotik dari Streptomyces spp. juga telah digunakan sebagai agen biokontrol penyakit tanaman
16
tular tanah dan tular benih (soil borne dan seed borne). Streptomyces spp. efektif dalam mengurangi penyakit tanaman yang disebabkan oleh cendawan patogen dan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Streptomyces sp. WYE 20 dan WYE 324 mampu melindungi tanaman terhadap Rhizoctonia solani dan Phytoptora capsici penyebab penyakit rebah kecambah, busuk batang dan akar, hawar daun dan buah pada tanaman ketimun dan cabai (Suh & Won 2001). Benih yang dilapisi spora Streptomyces sp. DSMZ 12.424 dapat menekan munculnya penyakit oleh Rhizoctonia solani dan Pythium ultimum (Berg et al. 2001). Streptomyces spp. yang diisolasi dari berbagai daerah di Indonesia diketahui berpotensi menghasilkan berbagai macam senyawa bioaktif (Lestari 2006). Streptomyces spp. berpotensi sebagai agen pengendali hayati berdasarkan kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman kedelai (Ifdal 2003; Andri 2004). Winarni (2004) melaporkan bahwa beberapa Sterptomyces spp. isolat lokal ternyata mampu menghambat bakteri patogen pada benih padi dan kedelai. Selain itu juga dapat menghambat mikrob patogen cabai Ralstonia solanacearum dan mampu menekan kejadian penyakit layu mencapai 100% Muthahanas (2004). Djatmiko et al. (2007) juga melaporkan bahwa Streptomyces spp. (S4) mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam menekan Ralstonia solanacearum dan Meloidogyne incognita penyebab penyakit layu bakteri. Streptomyces spp. (S4) menekan R. solanacearum dengan cara antibiosis dan mekanisme penghambatan secara bakteriostatik. Kemampuan dalam menghasilkan berbagai senyawa bioaktif selain berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan patogen juga dapat berfungsi dalam meningkatkan hasil. Cara pengendalian penyakit tanaman dengan menggunakan Streptomyces spp. sebagai agen pengendali hayati di Indonesia untuk mengendalikan mikrob patogen tular tanah pada tanaman sayuran perlu dikaji mengingat potensi yang dimiliki Streptomyces spp. isolat lokal sebagai sumber senyawa antimikrob sangat tinggi.