III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan produk ekstrusi, yaitu jewawut, air dan minyak kelapa sawit. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis proksimat, serat kasar, analisis fisik, Ca, Fe, Zn, dan uji anti radikal bebas DPPH, yaitu air, DPPH (1,1-diphenil-2picrylhydrazil), metanol pro analysis, heksana, 0.1 M buffer fosfat pH 6.0, alpha amylase, HCl, pepsin, aluminium foil, NaOH, pankreatin, aseton, etanol 78%, etanol 95% , kertas saring, laritan standar Ca, Fe, Zn, dan aquades. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan produk ekstrusi jewawut adalah alat penyosoh (Satake Grain Mill) kapasitas 200 g, disc mill, ayakan, mixer dan ekstruder ulir ganda model puffing 2256 di Technopark. Alat untuk analisis yang digunakan adalah pipet mohr, neraca analitik, gelas kimia, gelas ukur, tabung reaksi, erlenmeyer, labu takar, pipet mohr, pipet tetes, centrifuse, desikator, oven, tungku dan spectrofotometer (spectronic).
B. METODE PENELITIAN Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu pembuatan menir jewawut, penentuan parameter optimum proses ekstrusi (kadar air menir, suhu ekstruder, kecepatan ulir ekstruder, dan kadar minyak), proses ekstrusi dan analisis produk, serta pemilihan produk terbaik dan analisis kimia.
1. Pembuatan Menir Jewawut Menir jewawut yang digunakan dibedakan menjadi dua perlakuan, yaitu menir jewawut sosoh dan tidak sosoh. Tahapan pembuatan menir jewawut sosoh yaitu penyosohan jewawut, penepungan jewawut, dan pengayakan jewawut. Biji jewawut pecah kulit disosoh dengan menggunakan mesin penyosoh Satake Grain Mill selama 100 detik. Bagian sisa penyosohan yang masih tercampur pada biji selanjutnya dihilangkan dengan menggunakan blower. Biji jewawut selanjutnya ditepungkan dengan menggunakan alat disc mill. Hasil penepungan kemudian disaring dengan menggunakan ayakan 60 mesh dan 100 mesh. Partikel yang lolos ayakan 100 mesh termasuk kategori tepung berdasarkan U.S. Standard Sieve Size (Kellor, 1974). Ukuran partikel yang digunakan pada penelitian ini, yaitu antara 60-100 mesh, yang termasuk kategori menir halus. Proses pembuatan menir jewawut sosoh dapat dilihat pada Gambar 4 . Proses pembuatan menir jewawut tidak sosoh hampir sama dengan pembuatan menir jewawut sosoh. Perbedaannya hanya tidak adanya tahap penyosohan pada proses pembuatan menir jewawut tidak sosoh, sementara tahapan lainnya sama dengan proses pembuatan menir jewawut sosoh.
Biji jewawut pecah kulit
Penyosohan 100 detik
Pemisahan bagian kulit luar dan lapisan tesla hasil penyosohan
Biji jewawut sosoh
Penepungan dengan alat disc mill
Pengayakan 60 dan 100 mesh
Menir jewawut
Tepung jewawut Gambar 4. Diagram alir pembuatan tepung jewawut sosoh
Gambar 5 menunjukkan proses pembuatan menir jewawut tidak sosoh. Proses ini menghasilkan menir jewawut yang mengandung bagian-bagian jewawut yang masih lengkap.
Biji jewawut pecah kulit
Penepungan dengan alat disc mill
Pengayakan 60 dan 100 mesh
Menir jewawut
Tepung jewawut Gambar 5. Diagram alir pembuatan tepung jewawut tidak sosoh
14
2. Penentuan Kadar Air Menir, Suhu Ekstruder, Kecepatan Ulir Ekstruder, dan Kadar Minyak Parameter yang ditentukan untuk mendapatkan kondisi proses yang optimum, yaitu kadar air menir jewawut, suhu ekstruder, kecepatan ulir ekstruder, dan penambahan jumlah minyak. Menir jewawut dianalisis kadar airnya dengan metode oven. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kadar air menir sebelum masuk ekstruder. Menir jewawut diatur kadar airnya menjadi 13%, 15%, dan 16%. Menurut Trisnamurti (1980), kadar air bahan yang baik untuk proses ekstrusi adalah dalam kisaran 11%-14%. Namun untuk mencegah kemungkinan ekstruder macet dicoba digunakan kadar air 15 % dan 16% dengan mencampurkan air ke bahan. Penambahan air lebih lanjut tidak dicobakan karena semakin banyak air akan menyebabkan pengeringan menjadi sulit karena lembabnya bahan, sehingga produk menjadi keras. Suhu ekstruder ulir ganda yang diujikan untuk penentuan suhu optimum ini adalah 130°C, 140°C, dan 150°C, dengan kecepatan ulir yaitu 20Hz, 22Hz, dan 25Hz. Penambahan pelumas berupa minyak juga dilakukan apabila proses ekstrusi tidak berjalan lancar. Minyak yang dicobakan yaitu sebanyak 1.67%, 3.33% dan 5.00% dari berat bahan baku. Penentuan kadar air menir, suhu ekstruder, kecepatan ulir ekstruder, dan penambahan minyak dilakukan dengan mencoba semua kemungkinan kombinasi. Dengan mencobakan semua kombinasi yang ada, dapat diketahui parameter optimum untuk menghasilkan produk ekstrusi secara kontinu dengan menggunakan ekstruder ulir ganda di Laboratorium AP4 Technopark IPB.
3. Proses Ekstrusi dan Analisis Produk Setelah mendapatkan parameter optimum proses, dilakukan proses ekstrusi. Produk hasil ekstrusi dianalisis fisik untuk mengetahui karakteristik fisiknya. Produk juga diuji organloleptik dan aktivitas antioksidannya. Hasil uji organoleptik dan aktivitas antioksidan selanjutnya digunakan untuk memilih produk terbaik.
a. Proses Ekstrusi Sebelum dilakukan ekstrusi sesuai dengan kondisi yang ingin diuji, dilakukan dahulu ekstrusi dengan menggunakan pancingan. Pancingan merupakan bahan yang sama dengan bahan yang akan diekstrusi, namun dialiri air sampai bahan keluar dari ekstruder dengan lancar. Sebelum ekstrusi pancingan dilakukan, parameter suhu dan kecepatan ulir ekstruder sudah harus diset terlebih dahulu. Setelah pancingan keluar dari ekstruder, penambahan air dihentikan. Selanjutnya langsung dimasukkan bahan dengan kombinasi perlakuan menir dan juga minyak yang akan diujikan. Tahapan proses ekstrusi pancingan dapat dilihat pada Gambar 6.
15
Menir jewawut (pancingan)
Timbang 1 kg
Ekstrusi
Air
(Pada suhu dan kecepatan ulir yang diujikan)
Pancingan keluar
Gambar 6. Diagram alir proses ekstrusi pancingan
Bahan yang ingin dimasukkan ke ekstruder langsung dimasukkan ketika pancingan sudah berhasil keluar ekstruder. Proses ekstrusi dapat dilihat pada Gambar 7.
Menir jewawut 3 kg + minyak (sesuai jumlah yang diuji)
Mixing
Ekstrusi
Produk ekstrusi
Gambar 7. Diagram alir proses ekstrusi menir jewawut
b. Analisis Fisik Produk yang dihasilkan dianalisis sifat fisiknya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui karakter fisik semua produk yang dihasilkan. Analisis yang dilakukan yaitu analisis tekstur kekerasan obyektif, uji rasio pengembangan, uji indeks penyerapan air, uji indeks kelarutan dalam air, dan derajat gelatinisasi ekstrudat.
16
1) Analisis Tekstur (Kekerasan) Obyektif (Stable Micro System TA.XT) Prinsip pengukuran ini adalah memberikan gaya tekan kepada bahan dengan besaran tertentu sehingga profil tekstur bahan dapat diukur. Jenis probe yang digunakan dipengaruhi oleh bahan yang dianalisis. Tingkat kekerasan produk ekstrusi diukur dengan menggunakan Texture analyzer TA.XT-2. Kekerasan dinyatakan dalam satuan kilogram force (kgf). Probe yang digunakan untuk pengukuran ekstrudat ialah Warner-Bratzler Blade/Knife Blade. Setelah dilakukan pemasangan probe, sampel diletakkan di atas meja uji, kemudian texture analyzer dinyalakan. Komputer dinyalakan untuk menjalankan program texture analyzer. Data hasil pengukuran texture analyzer dapat divisualisasikan dalam bentuk grafik dan dapat dilakukan pengolahan data lanjut. Pengukuran sampel ekstrudat dilakukan sebanyak 3 kali untuk tiap sampel. Pengambilan sampel dilakukan secara acak. Hasilnya berupa grafik pengukuran dengan texture analyzer. Grafik tersebut merupakan hubungan antara waktu (s) di sumbu-x dan gaya (g) di sumbu-y. Tabel 3. Setting texture analyzer pengukuran kekerasan produk ekstrusi Parameter
Seting
Pre test speed
1.5 mm/s
Test speed
2.0 mm/s
Post test speed
10.0 mm/s
Rupture test distance
1.0 mm
Distance
25.0 mm
Force
100 g
Time
5 sekon
Count
2
2) Uji Rasio Pengembangan (Linko et al., 1981). Rasio pengembangan produk dihitung berdasarkan perbandingan diameter produk dengan diameter cetakan (Linko et al., 1981). Perhitungan dilakukan berdasarkan rumus: Rasio pengembangan = diameter produk x 100% diameter cetakan
17
3) Water Absorption Index (WAI) dan Water Solubility Index (WSI) (Davidson, et al., 1984) Sebanyak 3 g sampel ditimbang dan dimasukan ke dalam tabung setrifuse yang telah diketahui beratnya. Tambahkan air 30 ml, kemudian dikocok dengan vorteks selama 30 menit. Selanjutnya tabung disentrifuse selama 20 menit dengan kecepatan 2000 rpm, supernatan ditampung dalam cawan yang telah diketahui berat tetapnya, kemudian diuapkan pada suhu 105 oC sampai airnya menguap. Setelah didinginkan pada desikator, berat cawan ditimbang untuk mengetahui Water Solubility Index (WSI). Endapan yang ada pada tabung sentrifuse ditimbang untuk mengetahui Water Absorption Index (WAI). WSI =
A B
WAI =
C B–A
A = Berat padatan yang larut air B = Berat sampel C = Berat air yang diserap
4) Derajat gelatinisasi (Wooton et al., 1971) Pada persiapan contoh, produk dihaluskan sampai 60 mesh, ditimbang sebanyak 1 g dan didispersikan dalam 100 ml air dalam waring blender selama 1 menit. Suspensi ini kemudian disentrifuse pada suhu ruang selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm. Supernatan diambil 0.5 ml secara duplo, lalu masingmasing ditambah 0.5 HCl 0.5 M dan dijadikan 10 ml dengan akuades. Pada salah satu tabung duplo ditambahkan 0.1 ml larutan iodium. Kemudian contoh diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm. Suspensi lain disiapkan dengan cara mendispersikan 1 g produk yang sudah dihaluskan pada 95 ml air dan ditambah 5 ml NaOH 10 M. Suspensi dikocok selama 5 menit kemudian disentrifuse selama 15 menit pada suhu ruang dengan kecepatan 3500 rpm. Supernatan diambil 0.5 ml secara duplo, ditambah 0.5 HCl 0.5 M dan dijadikan 10 ml dengan akuades. Pada salah satu tabung tesebut ditambahkan 0.1 ml larutan iodium. Contoh diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm. Pengamatan dilakukan dengan urutan sebagai berikut: (1) larutan yang ditambah HCl digunakan sebagai blanko pati tergelatinisasi; (2) Larutan bahan yang ditambah HCl dan larutan iodium digunakan sebagai larutan pati yang tergelatinisasi; (3) Larutan bahan yang ditambah NaOH dan HCl sebagai blanko total pati; (4) Larutan bahan yang ditambah NaOH, HCl dan larutan iodium sebagai larutan total pati. Derajat gelatinisasi dihitung dengan rumus: Derajat Gelatinisasi (%) = Nilai absorbansi pati tergelatinisasi X 100% Nilai absorbansi total pati
18
c. Uji Organoleptik (Adawiyah dan Waysima, 2008) Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji rating hedonik pada atribut warna, rasa, tekstur, dan kelengketan di mulut. Skala yang digunakan berkisar antara 1 hingga 5 (1 = sangat tidak suka, hingga 5 = sangat suka). Panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih sebanyak 30 orang. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan ANOVA dengan α=0.05 dan uji lanjut DUNCAN.
d. Uji Aktivitas Antioksidan (Kubo et al., 2002) Sampel sejumlah 5 g dihancurkan dengan waring blender. Lalu sampel tersebut dilarutkan dalam methanol PA dengan perbandingan 1:4. Kemudian campuran dimaserasi selama 2 jam pada suhu 37 oC. Selanjutnya campuran disaring dengan bantuan kertas saring untuk mendapatkan larutan sampel. Metanol PA sebanyak 2.8 ml; buffer asetat (pH = 5.5) 1.5 ml; dan larutan DPPH 250 µl dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu dikocok kuat (vortex). Larutan sampel sebanyak 45 µl ditambahkan ke dalam tabung reaksi lalu dikocok kuat (vortex). Selanjutnya tabung reaksi tersebut diinkubasi di ruang gelap selama 20 menit. Setelah inkubasi selesai, absorbansi larutan sampel diukur pada panjang gelombang 517 nm. Aktivitas antioksidan diperoleh dari hasil pengukuran absorbansi sampel dibandingkan dengan kurva standar aktivitas antioksidan vitamin C (asam askorbat) yang dibuat.
4. Pemilihan Produk Terbaik dan Analisis Kimia a. Pemilihan Produk Terbaik Produk terbaik dipilih berdasarkan hasil uji organoleptik dan aktivitas antioksidan. Ekstrudat yang terbaik memiliki kombinasi antara tingkat kesukaan panelis dan kadar antioksidan yang paling tinggi.
b. Analisis Kimia Produk Terbaik Produk terbaik dianalisis sifat kimianya. Sifat kimia yang dianalisis yaitu kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, karbohidrat, serat pangan, dan juga mineral Ca, Fe, dan Zn.
1) Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1995) Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Cawan beserta sampel dikeringkan di dalam oven bersuhu 100⁰C, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Pengeringan dilakukan sampai diperoleh bobot konstan. Perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus: Kadar air (% berat basah) = Keterangan:
x 100 %
a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = berat cawan (g) c = berat sampel awal (g)
19
2) Kadar Abu (AOAC, 1995) Cawan porselin dikeringkan dalam oven selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Sebanyak 3 g sampai 5 g sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel dipanaskan di atas hot plate sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400⁰C-600⁰C selama 4 -6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih, dinginkan dan selanjutnya ditimbang. Kadar abu (% berat basah): Keterangan:
x 100%
a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = berat cawan (g) c = berat sampel awal (g)
3) Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC, 1995) Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan ke dalam oven bersuhu 100°C-110ºC selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 15 menit, dan ditimbang. Sampel yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 5 g, bungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet) yang telah berisi pelarut heksana. Refluks dilakukan selama 6 jam dan pelarut yang ada di dalam labu lemak didestilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven bersuhu 100ºC hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Kadar lemak (% berat basah) = Keterangan:
x 100%
a = berat labu dan sampel akhir (g) b = berat labu kosong (g) c = berat sampel awal (g)
4) Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldhal (AOAC, 1995) Sejumlah kecil sampel sekitar 0.1 g ditimbang dan diletakkan ke dalam labu Kjeldhal. kemudian ditambahkan 1 g K2SO4, 40 mg HgO, dan 2 ml H2SO4. Jika bobot sampel lebih dari 15 mg, ditambahkan 0.1 ml H2SO4 untuk setiap 10 mg bahan organik di atas 15 mg sampel didihkan sampai cairan menjadi jernih. Larutan kemudian dimasukkan ke dalam alat destilasi, dibilas dengan akuades, dan ditambahkan 8 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Gas NH3 yang dihasilkan dari reaksi dalam alat destilasi ditangkap oleh 5 ml H3BO3 dalam Erlenmeyer yang telah ditambahkan 3 tetes indikator (campuran 2 bagian merah metil 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian methylene blue 0.2% dalam alkohol). Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan H3BO3. Kondensat tersebut kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N yang sudah distandardisasi hingga terjadi perubahan warna kondensat menjadi abu-abu. Penetapan blanko dilakukan dengan menggunakan metode yang sama seperti penetapan sampel. Kadar protein dihitung dengan menggunakan rumus:
20
Kadar N(%)= Kadar Protein (% berat basah) = %N x faktor konversi (6,25)
5) Kadar Karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat ekstrudat diukur secara by difference. Metode ini didasarkan pada kadar karbohidrat sebagai kandungan bahan pangan selain protein, lemak, abu dan air. Kadar karbohidrat (% berat basah) = 100% - (P+KA+A+L) Keterangan: P = kadar protein (%) KA = kadar air (%) A = kadar abu (%) L = kadar lemak (%)
6) Kadar Serat Pangan (Muchtadi et al., 1992) Sebanyak 1 g sampel yang telah bebas lemak dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Kemudian, ditambahkan 25 ml buffer natrium fosfat 0.1 M pH 6.0 dan disuspensikan. Termamyl sebanyak 100 µl ditambahkan. Erlenmeyer ditutup dan diinkubasikan pada penangas air mendidih selama 15 menit dan sekali-kali diaduk. Setelah itu, diangkat dan didinginkan. Sebanyak 20 ml air destilata ditambahkan dan pH-nya diatur dengan HCl sampai pH 1.5. Kemudian, sebanyak 100 mg pepsin ditambahkan. Erlenmeyer diinkubasikan kembali pada suhu 40°C dan diagitasi selama 60 menit. Setelah itu, sebanyak 20 ml air destilata ditambahkan kembali dan pH-nya diatur menjadi pH 6.8 dengan NaOH. Sebanyak 100 mg pankreatin lalu ditambahkan. Kemudian erlenmeyer diinkubasi pada suhu 40ºC dan diagitasi selama 60 menit. Setelah itu, pHnya diatur kembali menjadi 4.5 dengan penambahan HCl. Saring melalui kertas saring kering (berat tepat diketahui). Lalu, cuci dengan 2 x 10 ml air destilata. Setelah kertas saring dicuci dengan air destilata, dilanjutkan dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Kertas saring dikeringkan pada suhu 105ºC sampai berat tetap (sekitar 12 jam). Kemudian, ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D1). Kertas saring lalu diabukan dalam tanur 150ºC selama paling sedikit 5 jam. Kemudian ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (I1). Filtrat yang diperoleh pada penyaringan pertama dan setelah dicuci air destilata, diatur volumenya hingga 100 ml. Kemudian etanol 95% hangat (60ºC) sebanyak 400 ml ditambahkan. Setelah itu, disaring dengan menggunakan kertas saring kering yang telah diketahui beratnya. Residu dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 78%, 2 x 10 ml etanol 95%, dan 2 x 10 ml aseton. Kemudian, ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D2). Kertas saring lalu diabukan dalam tanur 150ºC selama paling sedikit 5 jam. Kemudian ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (I2).
21
Blanko untuk serat pangan tidak larut dan larut diperoleh dengan cara yang sama, tetapi tanpa sampel (B1 dan B2). %IDF = D1-I1-B1 x 100 W %SDF = D2-I2-B2 x 100 W Total dietary fiber (%) = %IDF + %SDF
7) Kadar Mineral Ca, Fe, dan Zn (Faridah et al., 2009) Analisis komposisi mineral dilakukan dengan menggunakan alat Atomic Absorption Spectrophotometer. Sampel sebanyak 1-2 g (untuk blanko tidak ditambahkan sampel) dimasukkan ke dalam cawan porselin ukuran 50 ml yang telah dikeringkan (100°C, 15 menit) dan telah didinginkan. Selanjutnya sampel dibakar atau dioven 250°C sampai asapnya habis (2 jam) dan diletakkan dalam tanur pengabuan 550°C selama 6 jam. Apabila sampel tetap berwarna hitam ditambahkan 1 ml air destilata bebas ion dan 1 ml HNO3 pekat. Kemudian diuapkan sampai kering (110-150°C) dan diabukan lagi pada 350°C selama 30 menit. Setelah semua sampel telah menjadi abu berwarna putih, ditambahkan 5 – 6 ml HCl pekat dan dipanaskan di hot plate dengan suhu rendah sampai kering. Kemudian ditambahkan 15 ml HCl encer (HCL: air = 1:1) dan dipanaskan kembali sampai mulai mendidih, dan didinginkan. Larutan abu dituangkan ke dalam labu takar melalui kertas saring. Cawan dibilas dengan HCl encer 10 ml dan dipanaskan sampai mulai mendidih. Setelah didinginkan larutan dituang kembali melalui kertas saring ke dalam labu takar. Selanjutnya cawan dibilas dengan air destilata bebas ion minimal 3 kali, dan air bekas pembilasan juga dituang melalui kertas saring ke dalam labu takar. Labu takar ditepatkan dengan air destilata, lalu dianalisis dengan Atomic Absorption Spectrophotometer. Kadar mineral (mg/l) = Keterangan:
a = konsentrasi sampel dari kurva standar (mg/L) FP = faktor pengenceran W = berat sampel (g)
22