III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian Secara umum, penelitian ini bersifat deskriptif-analisis.
Penelitian ini
menggunakan basis data sekunder untuk analisis. Data sekunder yang dimaksud adalah data Kabupaten/Kota, citra satelit dan peta tematik wilayah Jabodetabek secara time series. Penelitian literatur diperoleh dari pendalaman textbook, hasil penelitian, jurnal, dan makalah seminar.
Adapun metode penelitian yang
digunakan merupakan gabungan antara studi literatur, analisis data sekunder, dan observasi lapangan.. Keseluruhan metode tersebut akan dibantu dengan teknik pemetaan dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Penelitian ini dilakukan di wilayah Jabodetabek yaitu Kota Jakarta, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi. Daerah ini diperkirakan telah mengalami transformasi spasial yang berbeda-beda dan diyakini akan berdampak pada perubahan struktur wilayah baik yang bersifat demografis, sosial, ekonomi, maupun lingkungan fisik. Pengembangan pemodelan terpadu system dinamik dan spasial dinamik dilakukan dengan terlebih dahulu mengkaji berbagai model yang telah ada. Kajian ini dibagi ke dalam tiga kategori yakni model ekonomi, model ekologi, dan model sosial. Selanjutnya dikembangkan untuk mencari keterkaitan antar ketiga model tersebut yakni keterkaitan antara ekonomi-ekologi, ekonomi-sosial, ekologi-sosial, dan ekologi-ekonomi-sosial. Keterkaitan dalam ekologi digunakan model keseimbangan ekologi (ecological equilibrium), yang memfokuskan perhatian atas suatu lahan atau wilayah pada empat faktor, yaitu: penduduk, sumberdaya, teknologi, dan kelembagaan yang secara konstan berada dalam keadaan keseimbangan dinamik. Pada konsep ini, perubahan penggunaan lahan merupakan hasil dari perubahan dan distribusi penduduk, inovasi teknologi dan restrukturisasi ekonomi, kebijakan dan organisasi sosial. Keterkaitan aspek ekonomi digunakan model IRIO.
62
Rencana pelaksanaan penelitian secara skematis seperti pada Gambar 4 dimana model terpadu sistem dinamik dan spasial merupakan perpaduan antara model sistem dinamik dengan model spasial dalam satu kesatuan model.
Gambar 4. Skema Pelaksanaan Penelitian Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa model sistem dinamik meliputi tiga tahapan yaitu: (a) disain konseptual; (b) disain logis; dan (c) disain fisik. Sedangkan model spasial dinamik merupakan kelanjutan dari model sistem dinamik yang terdiri dari satu tahap yaitu Disain Spasial. Karena model ini merupakan model terpadu, maka dari model spasial dinamik akan ada feedback ke model sistem dinamik, yaitu dari Disain Spasial ke Disain Logis.
Adanya
keterpaduan model ini akan dapat melihat perubahan secara real time baik dari model sistem dinamik ke model spasial dinamik atau sebaliknya dari model spasial dinamik ke model sistem dinamik. Secara rinci pada bagian berikut akan diuraikan masing-masing model tersebut.
3.2. Pengumpulan Data Pengumpulan data sekunder dan informasi dilakukan dengan cara : menggunakan data sekunder yang tersedia.
Data ini dikoleksi dari berbagai
lembaga atau dinas yaitu Biro Pusat Statistik, Bappeda Kabupaten dan dinas-dinas terkait yang kemudian diekstraksi sesuai kebutuhan analisis, serta Bakosurtanal.
63
Data yang dipergunakan untuk penelitian dibagi ke dalam dua tahap, yaitu a. Pengumpulan data dasar -
Peta-peta Jabodetabek : (peta administrasi, peta tanah, peta lereng, peta penggunaan lahan dan peta RTRW serta peta lampiran Peraturan Presiden No 54 tahun 2008) sumber data : Bappeda dan BPN, serta Bakosurtanal.
-
Citra Satelit TM7 path 122 row 64 dan 65 tahun 2002 dan 2009
-
Data Kabupaten/Kota Kawasan Jabodetabek dalam angka tahun 2002 2009
-
Data IRIO tahun 2002
b. Data Spasial Pembuatan unit basis data spasial diharapkan dapat mengumpulkan dan mengelola berbagai data yang berkaitan dengan pembangunan wilayah dalam arti luas. Data dan informasi yang dikumpulkan bukan hanya terbatas pada parameter sosial ekonomi, tetapi Juga mencakup data dan informasi spasial, Sistem pengelolaan data dan informasi dapat dikembangkan untuk meningkatkan penggunaan data dan informasi tersebut. 3.3. Teknik Analisis dan Pemodelan 3.3.1. Analisis Sistim Informasi Geografi Pendekatan yang dilakukan pada analisis ini yaitu dengan pendekatan data spasial, dengan meng-overlay-kan kebutuhan peta (tanah, topografi, geologi, iklim,dll) atau yang sesuai dan tersedia. Peta dasar telah dilakukan analisis spasial dengan overlay, lalu untuk kondisi eksisting penggunaan lahan yang dianalisis dari citra satelit untuk tutupan lahan, dengan menggunakan Landsat 7+ETM. Hasil yang diperoleh adalah diketahuinya beberapa lahan sesuai untuk berbagai pemanfaatan.
Selanjutnya melakukan ekstraksi informasi dari citra untuk
mendapatkan sumber informasi, sebagaimana diketahui bahwa teknologi remote sensing merupakan salah satu alternatif teknologi yang dapat dimanfaatkan mengingat kemampuannya dalam menghimpun informasi fisik kebumian secara tepat, cepat dan terkini (up to date) dengan biaya yang relatif lebih murah. Pada tahapan analisis data, yang akan dilakukan sebelum seluruh pendekatan analisis dilakukan adalah mengidentifikasi dan interpretasi keadaan
64
lokasi studi dengan menggunakan citra satelit Landsat 7+ETM. Analisis spasial dilakukan baik dengan data vektor maupun raster dilakukan diawal sebelum turun lapangan dan analisis Bio-geofisik wilayah.
Kegiatan ini dilakukan untuk
mengidentifikasi awal kondisi wilayah dan jenis penutupan lahan yang mungkin ditemukan di lokasi studi. Data penginderaan jauh yang dipergunakan adalah data citra satelit Landsat 7+ETM. Adapun data dan informasi yang dibutuhkan melalui pengolahan dan analisis citra ini adalah kondisi pemanfaatan ruang (land cover), kondisi bentang alam (geologi dan morfologi lahan), potensi bencana serta identifikasi kondisi dan permasalahan lingkungan. 3.3.2. Klasifikasi kemampuan lahan Klasifikasi kemampuan lahan adalah penilaian komponen lahan yang menurut Arsyad (1989) adalah penilaian komponen-komponen lahan secara sistematis dan pengelompokan ke dalam berbagai kategori berdasar sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaan lahan.
Kebebasan Memilih Semakin Berkurang dan Alternatif Penggunaan Lahan Makin terbatas
Pembatas dan Ancaman Semakin Meningkat
I II III IV V VI VII VII
Gambar 5. Kelas Kemampuan Lahan dan Intensitas Penggunaan Lahan.
Bercocok tanam Sangat Intensif
Bercocok tanam Intensif
Bercocok tanam sedang
Bercocok tanam Terbatas
Penggembalaan Intensif
Penggembalaan Sedang
Penggembalaan Terbatas
Cagar Alam
Kelas Kemampuan lahan
Hutan Alam
Intensitas Penggunaan Lahan Bertambah Tinggi
65
Tabel 2. Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan (Kliengebiel & Montgomery, 1961 dalam Arsyad, 1989) Kelas lahan No
Ciri lahan I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
1
Lereng
Datar
Landai
Sedangcuram
Curam
Landai
Curam
Sangat curam
Sangat curam
2
Bahaya erosi
t.a.
Sedang
Tinggi
Membaha yakan
Membahay akan
Membaha yakan
Membaha yakan
Membaha yakan
3
Bahaya banjir
t.a.
Kadang
Sering
Sering
Sering
-
-
-
4
Jeluk tanah
Ideal
Kurang dari ideal
Dangkal
Dangkal
Dangkal
Dangkal
Dangkal
Dangkal
5
Struktur tanah dan kemudahan pengolahan
Baik
Kurang mendukung
-
-
-
-
-
-
6
Drainase
Baik
Dapat diperbai ki dg drainas
Sangat lambat
Menggen ang
-
Menggen ang
Menggen ang
Menggen ang
7
WHC
Baik
Sedang
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
8
Salinitas
t.a.
Sedikitsedang
Sedang
Membaha yakan
-
Membaha yakan
Membaha yakan
Membaha yakan
9
Status hara
Baik
Sedang
Rendah
-
-
-
-
-
10
Iklim
Menduk ung
Sedikit pembatas
Sedang
Kurang
Tidak mendukung
Tidak mendukung
Tidak mendukung
Membaha yakan
11
Pengelolaan
Biasa
Hati-hati
Khusus
Kadang dapat ditanami
Tidak dapat ditanami
Tidak dapat ditanami
Tidak dapat ditanami
Tidak dapat ditanami
12
Kebatuan
-
-
-
Beberapa
Membahay akan
Membaha yakan
Membaha yakan
Membaha yakan
Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang banyak dipakai di Indonesia dikemukakan oleh Hockensmith dan Steele (1943 dalam Arsyad, 1989). Menurut sistem ini lahan dikelompokan dalam tiga kategori umum yaitu kelas, subkelas dan satuan kemampuan (capability units) atau
satuan pengelompokan
(management unit). Pengelompokan di dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat. Jadi kelas kemampuan adalah kelompok unit lahan yang memiliki tingkat pembatas atau penghambat (degree of limitation) yang sama jika
66
digunakan untuk pertanian yang umum. Tanah dikelompokan dalam delapan kelas yang ditandai dengan huruf romawi dari I sampai VIII. Ancaman kerusakan atau hambatan meningkat berturut-turut dari Kelas I sampai kelas VIII, seperti pada Gambar 4. Sedang kriterianya dapat dilihat pada Tabel 2.
Kelas Kemampuan I Lahan kelas kemampuan I mempunyai sedikit penghambat yang membatasi penggunaannya.
Lahan kelas I sesuai untuk berbagai
penggunaan pertanian, mulai dari tanaman semusim (dan tanaman pertanian pada umumnya), tanaman rumput, padang rumputm hutan produksi, dan cagar alam.
Tanah-tanah dalam kelas kemampuan I
mempunyai salah satu atau kombinasi sifat dan kualitas sebagai berikut: (1) terletak pada topografi datar (kemiringan lereng < 3%), (2) kepekaan erosi sangat rendah sampai rendah, (3) tidak mengalami erosi, (4) mempunyai kedalaman efektif yang dalam, (5) umumnya berdrainase baik, (6) mudah diolah, (7) kapasitas menahan air baik, (8) subur atau responsif terhadap pemupukan, (9) tidak terancam banjir, (10) di bawah iklim setempat yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman umumnya.
Kelas Kemampuan II Tanah-tanah dalam lahan kelas kemampuan II memiliki beberapa hambatan
atau
ancaman
kerusakan
yang
mengurangi
pilihan
penggunaannya atau akibatnya memerlukan tindakan konservasi yang sedang. Lahan kelas II memerlukan pengelolaan yang hati-hati, termasuk di dalamnya tindakan-tindakan konservasi untuk mencegah kerusakan atau memperbaiki hubungan air dan udara jika tanah diusahakan untuk pertanian tanaman semusim. Hambatan pada lahan kelas II sedikit, dan tindakan yang diperlukan mudah diterapkan. Tanah-tanah ini sesuai untuk penggunaan tanaman semusim, tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan produksi dan cagar alam. Hambatan atau ancaman kerusakan pada lahan kelas II adalah salah satu atau kombinasi dari faktor berikut: (1) lereng yang landai atau berombak (>3 % – 8 %), (2) kepekaan erosi atau tingkat erosi sedang, (3) kedalaman
67
efetif sedang (4) struktur tanah dan daya olah kurang baik, (5) salinitas sedikit sampai sedang atau terdapat garam Natrium yang mudah dihilangkan tetapi besar kemungkin akan timbul kembali, (6) kadangkadang terkena banjir yang merusak, (7) kelebihan air dapat diperbaiki dengan drainase, akan tetapi tetap ada sebagai pembatas yang sedang tingkatannya, atau (8) keadaan iklim agak kurang sesuai bagi tanaman atau pengelolannya.
Kelas Kemampuan III Tanah-tanah dalam kelas III mempunyai hambatan yang berat yang mengurangi pilihan pengunaan atau memerlukan tindakan konservasi khusus atau keduanya. Tanah-tanah dalam lahan kelas III mempunyai pembatas yang lebih berat dari tanah-tanah kelas II dan jika digunakan bagi tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, tindakan konservasi yang diperlukan biasanya lebih sulit diterapkan dan dipelihara. Lahan kelas III dapat digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, tanaman rumput, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung dan suaka marga satwa. Hambatan yang terdapat pada tanah dalam lahan kelas III membatasi lama penggunaannya bagi tanaman semusim, waktu pengolahan, pilihan tanaman atau kombinasi pembatas-pembatas tersebut.
Hambatan atau
ancaman kerusakan mungkin disebabkan oleh salah satu atau beberapa hal berikut: (1) lereng yang agak miring atau bergelombang (>8 – 15%), (2) kepekaan erosi agak tinggi sampai tinggi atau telah mengalami erosi sedang, (3) selama satu bulan setiap tahun dilanda banjir selama waktu lebih dari 24 jam, (4) lapisan bawah tanah yang permeabilitasnya agak cepat, (5) kedalamannya dangkal terhadap batuan, lapisan padas keras (hardpan), lapisan padas rapuh (fragipan) atau lapisan liat padat (claypan) yang membatasi perakaran dan kapasitas simpanan air, (6) terlalu basah atau masih terus jenuh air setelah didrainase, (7) kapasitas menahan air rendah, (8) salinitas atau kandungan natrium sedang, (9) kerikil dan batuan di permukaan sedang, atau (1) hambatan iklim yang agak besar.
68
Kelas kemampuan IV Hambatan dan ancaman kerusakan pada tanah-tanah di dalam lahan kelas IV lebih besar dari pada tanah-tanah di dalam kelas III, dan pilihan tanaman juga lebih terbatas.
Jika digunakan untuk tanaman semusim
diperlukan pengelolaan yang lebih hati-hati dan tindakan konservasi yang lebih sulit diterapkan dan dipelihara, seperti teras bangku, saluran bervegatasi dan dam penghambat, disamping tindakan yang dilakukan untuk memelihara kesuburan dan kondisi fisik tanah. Tanah di dalam kelas IV dapat digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman pertanian dan
pada
umumnya,
tanaman
rumput,
hutan
produksi,
padang
penggembalaan, hutan lindung dan cagar alam. Hambatan atau ancaman kerusakan tanah-tanah di dalam kelas IV disebabkan oleh salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut: (1) lereng yang miring atau berbukit (> 15% – 30%), (2) kepekaan erosi yang sangat tinggi, (3) pengaruh bekas erosi yang agak berat yang telah terjadi, (4) tanahnya dangkal, (5) kapasitas menahan air yang rendah, (6) selama 2 sampai 5 bulan dalam setahun dilanda banjir yang lamanya lebih dari 24 jam, (7) kelebihan air bebas dan ancaman penjenuhan atau penggenangan terus terjadi setelah didrainase (drainase buruk), (8) terdapat banyak kerikil atau batuan di permukaan tanah, (9) salinitas atau kandungan Natrium yang tinggi (pengaruhnya hebat), dan/atau (1) keadaan iklim yang kurang menguntungkan.
Kelas Kemampuan V Tanah-tanah di dalam lahan kelas V tidak terancam erosi akan tetapi mempunyai hambatan lain yang tidak praktis untuk dihilanghkan yang membatasi pilihan pengunaannya sehingga hanya sesuai untuk tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan produksi atau hutan lindung dan cagar alam. Tanah-tanah di dalam kelas V mempunyai hambatan yang membatasi pilihan macam penggunaan dan tanaman, dan menghambat pengolahan tanah bagi tanaman semusim. Tanah-tanah ini terletak pada topografi datar tetapi tergenang air, selalu terlanda banjir, atau berbatu-
69
batu (lebih dari 90 % permukaan tanah tertutup kerikil atau batuan) atau iklim yang kurang sesuai, atau mempunyai kombinasi hambatan tersebut. Contoh tanah kelas V adalah: (1) tanah-tanah yang sering dilanda banjir sehingga sulit digunakan untuk penanaman tanaman semusim secara normal, (2) tanah-tanah datar yang berada di bawah iklim yang tidak memungknlah produksi tanaman secara normal, (3) tanah datar atau hampir datar yang > 90% permukaannya tertutup batuan atau kerikil, dan atau (4) tanah-tanah yang tergenang yang tidak layak didrainase untuk tanaman semusim, tetapi dapat ditumbuhi rumput atau pohon-pohonan.
Kelas Kemampuan VI Tanah-tanah dalam lahan kelas VI mempunyai hambatan yang berat yang menyebabkan tanah-tanah ini tidak sesuai untuk pengunaan pertanian. Penggunaannya
terbatas
untuk
tanaman
rumput
atau
padang
penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, atau cagar alam. Tanahtanah dalam lahan kelas VI mempunyai pembatas atau ancaman kerusakan yang tidak dapat dihilangkan, berupa salah satu atau kombinasi faktorfaktor berikut: (1) terletak pada lereng agak curam (>30% – 45%), (2) telah tererosi berat, (3) kedalaman tanah sangat dangkal, (4) mengandung garam laut atau Natrium (berpengaruh hebat), (5) daerah perakaran sangat dangkal, atau (6) iklim yang tidak sesuai. Tanah-tanah kelas VI yang terletak pada lereng agak curam jika digunakan untuk penggembalaan dan hutan produksi harus dikelola dengan baik untuk menghindari erosi. Beberapa tanah di dalam lahan kelas VI yang daerah perakarannya dalam, tetapi terletak pada lereng agak curam dapat digunakan untuk tanaman semusim dengan tindakan konservasi yang berat seperti, pembuatan teras bangku yang baik.
Kelas Kemampuan VII Lahan kelas VII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, Jika digunakan untuk padanag rumput atau hutan produksi harus dilakukan dengan usaha pencegahan erosi yang berat. Tanah-tanah dalam lahan kelas VII yang dalam dan tidak peka erosi jika digunakan unuk tanaman pertanian harus dibuat teras bangku yang ditunjang dengan cara-ceara vegetatif untuk
70
konservasi tanah, disamping pemupukan.
Tanah-tanah kelas VII
mempunyai beberapa hambatan atau ancaman kerusakan yang berat dan tidak dapat dihilangkan seperti (1) terletak pada lereng yang curam (>45 % – 65%), dan / atau (2) telah tererosi sangat berat berupa erosi parit yang sulit diperbaiki.
Kelas kemampuan VIII Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, tetapi lebih sesuai untuk dibiarkan dalam keadaan alami.
Lahan kelas VIII bermanfaat
sebagai hutan lindung, tempat rekreasi atau cagar alam. Pembatas atau ancaman kerusakan pada lahan kelas VIII dapat berupa: (1) terletak pada lereng yuang sangat curam (>65%), atau (2) berbatu atau kerikil (lebih dari 90% volume tanah terdiri dari batu atau kerikil atau lebih dari 90% permukaan lahan tertutup batuan), dan (3) kapasitas menahan air sangat rendah. Contoh lahan kelas VIII adalah puncak gunung, tanah mati, batu terungkap, dan pantai pasir. Tanah pada kelas I sampai IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai penggunaan seperti untuk penanaman tanaman pertanian umumnya (tanaman semusim dan setahun), rumput untuk pakan ternak, padang rumput atau hutan. Tanah pada Kelas V, VI, dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohonan atau vegetasi alami.
Dalam
beberap hal tanah Kelas V dan VI dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis tanaman tertentu seperti buah-buahan, tanaman hias atau bungabungaan dan bahkan jenis sayuran bernilai tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Tanah dalam lahan Kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami.
3.3.3. Analisis Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Sebagai contoh lahan sangat sesuai untuk irigasi, lahan cukup sesuai untuk pertanian tanaman tahunan atau pertanian tanaman semusim. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (present) atau
71
setelah diadakan perbaikan (improvement). Lebih spesifik lag! kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya, yang terdiri atas iklim, tanah, topografi, hidrologi dan/atau drainase sesuai untuk suatu usaha tani atau komoditas tertentu yang produktif. Pengertian kesesuaian lahan (land suitability) berbeda dengan kemampuan lahan (land capability). Kemampuan lahan lebih menekankan kepada kapasitas berbagai penggunaan lahan secara umum yang dapat diusahakan di suatu wilayah. Pada prinsipnya penilaian kesesuaian lahan dilaksanakan dengan cara mencocokkan (matching) data tanah dan fisik lingkungan dengan tabel rating kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan lahan mencakup persyaratan tumbuh/hidup komoditas pertanian yang bersangkutan, pengelolaan dan konservasi. Pada proses matching hukum minimum dipakai untuk menentukan faktor pembatas yang akan menentukan kelas dan subkelas kesesuaian lahannya. Dalam menilai kesesuaian lahan ada beberapa cara, antara lain, dengan perkalian parameter, penjumlahan, atau menggunakan hukum minimum yaitu mencocokkan (matching) antara kualitas lahan dan karakteristik lahan sebagai parameter dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan atau persyaratan tumbuh tanaman atau komoditas lainnya yang dievaluasi. Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan menurut tingkatannya sebagai berikut : Ordo
: Keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S) dan lahan yang tergolong tidak sesuai (N).
Kelas :
Keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo. Pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu: lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas.
Kelas S1, sangat sesuai : Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas yang
72
bersifat minor dan tidak akan mereduksi produktivitas lahan secara nyata. Kelas S2, cukup sesuai : Lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produk-tivitasnya, memerlukan tambahan masukan (input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri. Tabel 3.
No 1 2
3
4
5
6
7 8
Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Lahan Pertanian (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2003)
Persyaratan Penggunaan/ Karekteristik Lahan Temperatur (tc) Temperatur rerata (oC)
S1
Klas Kesesuaian Lahan S2 S3
N
25 – 28
22 – 25 28 - 32
20 – 22 32 - 35
< 20 > 35
1700 - 2500
1450 – 1700 2500- 3500 2-3
1250 –1450 3500 - 4000 3-4
< 1250 > 4000 >4
Baik, sedang
Agak terhambat
Terhambat, agak cepat
Sangat terhambat, cepat
Halus, agak halus, sedang
-
Agak kasar
Kasar
Bahan kasar(%) Kedalaman tanah (cm) Gambut Ketebalan (cm) Ketebalan (cm), jika ada sisipan bahan mineral/ pengkayaan
< 15 > 100
15 - 35 75 - 100
35 - 55 50 - 75
> 55 < 50
< 60 < 140
60 - 140 <140 - 200
140 - 200 200 - 400
> 200 > 400
Kematangan
Saprik
Saprik, hemik
Hemik, fibrik
Fibirik
> 16 > 20 5.0 – 6.5 > 0.8
< 16 < 20 4.2 – 5.0 6.5 – 7.0 < 0.8
<2
2-3
3-4
>4
-
-
-
-
Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm) Lama bulan kering (bln) Ketersediaan Oksigen (oa) Drainase
Media perakaran (rc) Tekstur
Retensi hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H2O C-Organik Toksisitas (xc) Salinitas Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%)
<2
< 4.2 > 7.0
9
Bahaya sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm)
> 125
100 -125
60 - 100
< 60
10
Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi
<8 Sangat rendah
8 - 16 Rendah sedang
16 - 30 berat
> 30 Sangat berat
Bahaya banjir (fh) Genangan
F0
F1
F2
F3
Penyiapan lahan (lp) Batuan dipermukaan (%) Singkapan batuan (%)
<5 <5
5 - 15 5 - 15
15 - 40 15 - 25
> 40 > 25
11 12
73
Kelas S3, sesuai marginal :
Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan
faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campur tangan (intervensi) pemerintah atau pihak swasta. Tanpa bantuan tersebut petani tidak mampu mengatasinya. Kelas N, tidak sesuai : Lahan yang tidak sesuai (N) karena mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan/atau sulit diatasi. Menurut kerangka FAO (1976) dikenal dua macam kesesuaian lahan, yaitu: Kesesuaian lahan kualitatif dan Kesesuaian lahan kuantitatif. Masing-masing Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai secara aktual maupun potensial, atau Kesesuaian lahan aktual dan Kesesuaian lahan potensial. Kriteria kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman dan lahan pertanian dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4 Tabel 4. Matriks Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Pemukiman Penduduk
No
S1
S2
S3
N
Kemiringan (%)
3-8
8-15
0-2
>16
2
Ketersediaan air tawar (Itr/det)
> 20
15-20
10-15
<10
3
Landuse
A
B
C
D
4
Jarak dari Pantai (m)
>200
100-200
50-100
<50
5
Drainase
Tidak tergenang
Tidak tergenang
Tidak tergenang
Tidak tergenang
6
Jarak dari jalan yang berhubungan dengan sarana dan prasarana penting (m)
0-500
500-1000
> 1000
>1000
1
Parameter
Keterangan : A. Pengembangan industri, pengembangan perkotaan, sawah B. Kebun campuran,sawah, semak belukar, alang-alang C. Cadangan pengembangan, hutan produksi, rawa air asin, rawa air tawar D. Hutan lindung, hutan suaka alam
3.3.4. Analisis Daya Tampung
Menghitung daya tampung berdasarkan arahan rasio tutupan lahan dengan asumsi masing-masing arahan rasio tersebut dipenuhi maksimum, dan dengan
74
anggapan luas lahan yang digunakan untuk permukiman hanya 50% dari luas lahan yang boleh tertutup (30%) untuk fasilitas dan 20% untuk jaringan jalan serta utilitas lainnya). Kemudian dengan asumsi 1 KK yang terdiri dari 5 orang memerlukan lahan seluas 100 m2.
Maka dapat diperoleh daya tampung
berdasarkan arahan rasio tutupan lahan ini sebagai berikut : 50% {n % x luas lahan (m2)} Daya tampung (n) = --------------------------------------- x 5 (jiwa) 100 3.3.5. Analisis Interregional Input Output (IRIO) Untuk melihat kinerja perekonomian suatu wilayah atau suatu provinsi biasanya digunakan indikator-indikator makroekonomi, seperti peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan lapangan kerja dan pemerataan pendapatan. Dalam konteks analisis input-output regional Nazara (1997), menampilkan struktur ekonomi daerah. Di dalam Model Input-Output Interregional (IRIO), Struktur ekonomi dan keterkaitan ekonomi antar region adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri.
Apa yang terjadi di suatu region besar kemungkinannya
berpengaruh kepada region lain, dalam suatu lingkup perekonomian yang lebih besar intensitas interaksinya. Selanjutnya IRIO, menjelaskan bahwa sektor-sektor usaha di region tersebut diminta untuk mengidentifikasikan bukan saja struktur input antara yang digunakan dan juga mensyaratkan mana input yang berasal dari regionnya sendiri, dan mana input yang berasal dari region lainnya. Tabel IRIO Jabodetabek yang tersedia, dihitung pada tahun 2002, oleh karena itu untuk mendapat Tabel IRIO tahun 2009 yaitu dengan memperbaharui tabel IRIO yang ada dengan menggunakan metode RAS. Berdasarkan struktur dasar tabel IRIO (Tabel 2) dan dengan menggunakan persamaan dasar yang telah dibahas dalam tahapan analisis IO maka kita dapat mengembangkan analisis multiplier untuk Tabel IRIO. Kelebihan dari analisis IRIO adalah kemampuan untuk mendekomposisi dampak pembangunan suatu sektor ekonomi di suatu wilayah terhadap performa kinerja ekonomi di wilayah bersangkutan (lokal) dan wilayah lainnya (interregional).
Tabel 5. Struktur Dasar Tabel Inter Regional Input-Output (IRIO) dalam Penelitian. Permintaan Internal Wilayah
Wilayah J (DKI Jakarta) 1
Wilayah J
1 2 : :
Wilayah B
Input Antara
1 X11JB
..
..
X21
JJ
JB
..
..
...
...
..
..
Xn1JJ
..
..
..
..
..
X21JJ ...
1
X11BJ
2
X21BJ ...
:
...
... ...
n X11JB
1 X11JI
...
...
X21
JB
JI
...
...
...
...
...
...
...
...
XnnJJ
Xn1JB
...
...
X11BJ
X11BB
...
...
..
X21BJ
X21BB
...
..
..
...
...
..
..
...
...
X21
2 ...
... ...
n X11JI
...
...
X21
JI
...
...
...
...
...
...
XnnJB
Xn1JI
...
X11BB
X11BI
...
X21BB
...
...
...
...
X21
2 ...
Wilayah J
n 1 2
Xn1
BJ
BJ
..
..
Xnn
X11IJ
..
..
X11IJ
X21IJ
..
..
...
..
..
...
..
..
Xn1IJ
..
..
..
..
W.nJ
Xn1
BB
Nilai Tambah Input Eksternal Wilayah Total Input
W.1J
T
T.1J
S
J
S.1
.. ..
.. ..
M.1J X.1
J
..
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
XnnJI
...
...
X11BI
C1
X21BI
...
...
X21BI
C2BJ
G2BJ
I2BJ
C2BB
G2BB
I2BB
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
XnnIJ
Xn1IB
...
...
W.1B
...
W.nB
...
B
M.1B
J
B
..
X.n
X.1
.. ...
E2.J
...
X21IB
M.nJ
X1.J
J
...
X21IJ
..
E E1.J
...
Xn1
BI
...
...
Xnn
X11II
...
...
X21IB
X21II
...
..
...
... XnnIB
W.1I
BI
T.n
S.nB
BJ
...
Gn G1
JJ
BJ
...
In I1
JJ
BJ
...
Cn C1
JB
BB
...
Gn G1
JB
BB
...
In I1
JB
BB
...
...
...
En.J
Xn.J
I1BI
E1.B
X1.B
G2BI
I2BI
E2.B
E2.B
...
...
...
...
...
...
...
JI
In
BI
C2BI ...
Cn C1
JI
BI
...
Gn G1
...
JI
B
Xn.B
GnBJ
InBJ
CnBB
GnBB
InBB
CnBI
GnBI
InBI
En.
X11II
C1IJ
G1IJ
I1IJ
C1IB
G1IB
I1IB
C1II
G1II
I1II
E1.I
X1.I
...
X21II
C2IJ
G2IJ
I2IJ
C2IB
G2IB
I2IB
C2II
G2II
I2II
E2.I
E2.I
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
Xn1II
...
...
XnnII
CnIJ
GnIJ
InIJ
CnIB
GnIB
InIB
CnII
GnII
InII
En.I
Xn.I
...
W.nI
CWJ
GWJ
IWJ
CWB
GWB
IWB
CW
I
GW
I
IWI
Ew
W
...
T.nI
CTJ
GTJ
ITJ
CTB
GTB
ITB
CTI
GT I
ITI
T
S.nI
CSJ
GSJ
ISJ
CSB
GSB
ISB
CSI
GSI
ISI
ET ES
C MJ
GM J
IMJ
C MB
GM B
IMB
C MI
GM I
III
CXJ
GXJ
IXJ
CXB
GXB
IXB
CXI
GX I
IXI
T.1
I
S.1I
...
..
M.nB
M.1I
M.nI
..
B
I
X.nI
X.n
Cn
JJ
...
CnBJ
.. M
I I1JI
...
X11IB
...
G G1JI
E2.
...
S.1B
C C1JI
I2JI
...
S.nJ
I I1JB
G2JI
X11IB
T.1
G G1JB
C2JI
Xnn
T.n
C C1JB
I2JB
...
B
I I1JJ
G2JB
...
J
G G1JJ
C2JB
:
W
C C1JJ
I2JJ
BB
Total Output
Wilayah I
G2JJ
:
n
Wilayah B
C2JJ
:
Wilayah I
Input Internal Wilayah
n
n X11JJ
X11
2 ..
Wilayah I (Sisa Indonesia)
Wilayah B (Bodetabek)
... ..
JJ
Permintaan Eksternal Wilayah
Permintaan Akhir
Permintaan Antara
X.1
S M
E
X
76
Keterangan : i, j : Sektor ekonomi, i = 1, 2, ......, n; j = 1, 2, ...... n 1. Sektor pertanian 2. Sektor pertambangan dan penggalian 3. Sektor industri dan pengolahan 4. Sektor industri, gas dan air bersih 5. Sektor bangunan 6. Sektor perdagangan, hotel dan restoran 7. Sektor pengangkutan dan komunikasi 8. Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 9. Jasa-jasa JJ Xij : banyaknya output sektor i di wilayah J (DKI Jakarta) yang digunakan sebagai input sektor j di wilayah J (DKI Jakarta) JB Xij : banyaknya output sektor i di wilayah J yang digunakan sebagai input sektor j di wilayah B JI Xij : banyaknya output sektor i di wilayah J yang digunakan sebagai input sektor j di wilayah I BB Xij : banyaknya output sektor i di wilayah B yang digunakan sebagai input sektor j di wilayah B XijBJ : banyaknya output sektor i di wilayah B yang digunakan sebagai input sektor j di wilayah J XijBI : banyaknya output sektor i di wilayah B yang digunakan sebagai input sektor j di wilayah I XijII : banyaknya output sektor i di wilayah I yang digunakan sebagai input sektor j di wilayah I XijIJ : banyaknya output sektor i di wilayah I yang digunakan sebagai input sektor j di wilayah J XijIB : banyaknya output sektor i di wilayah I yang digunakan sebagai input sektor j di wilayah B XiJ : total output sektor i di wilayah J XiB : total output sektor i di wilayah B XiI : total output sektor i di wilayah I EiJ : output sektor i dari wilayah J yang diekspor/dijual ke luar wilayah eksternal EiB : output sektor i dari wilayah B yang diekspor/dijual ke luar wilayah eksternal EiI : output sektor i dari wilayah I yang diekspor/dijual ke luar wilayah eksternal YiJ : total permintaan akhir terhadap output sektor i di wilayah J YiB : total permintaan akhir terhadap output sektor i di wilayah B YiI : total permintaan akhir terhadap output sektor i di wilayah I WjJ : pendapatan (upah dan gaji) rumah tangga dari sektor j, nilai tambah sektor j yang dialokasikan sebagai upah dan gaji anggota rumah tangga yang bekerja di sektor j di wilayah J WjB : pendapatan (upah dan gaji) rumah tangga dari sektor j, nilai tambah sektor j yang dialokasikan sebagai upah dan gaji anggota rumah tangga yang bekerja di sektor j di wilayah B
77
WjI TjJ TjB TjI SjJ SjB SjI MjJ MjB MjI
: pendapatan (upah dan gaji) rumah tangga dari sektor j, nilai tambah sektor j yang dialokasikan sebagai upah dan gaji anggota rumah tangga yang bekerja di sektor j di wilayah I : pendapatan pemerintah (Pajak Tak Langsung) dari sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi pendapatan asli daerah J dari sektor j : pendapatan pemerintah (Pajak Tak Langsung) dari sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi pendapatan asli daerah B dari sektor j : pendapatan pemerintah (Pajak Tak Langsung) dari sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi pendapatan asli daerah I dari sektor j : surplus usaha sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi surplus usaha di wilayah J : surplus usaha sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi surplus usaha di wilayah B : surplus usaha sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi surplus usaha di wilayah I : impor sektor j di wilayah J , komponen input produksi sektor j di wilayah J yang diperoleh/dibeli dari luar wilayah : impor sektor j di wilayah B, komponen input produksi sektor j di wilayah B yang diperoleh/dibeli dari luar wilayah : impor sektor j di wilayah I, komponen input produksi sektor j di wilayah I yang diperoleh/dibeli dari luar wilayah Parameter yang paling utama adalah koefisien teknologi yang secara
matematis dalam analisis IRIO. Secara teknis terdapat beberapa persamaan yang dikembangkan dalam analisis IRIO guna memperoleh kaitan langsung ke depan dan ke belakang (direct bacward and forward linkages) dan berbagai multiplier atau interregional spilover effect yaitu : (1)
Kaitan langsung ke belakang (Direct backward linkages) dihitung berdasarkan
kaitan
langsung
ke
belakang
di
dalam
wilayah
(intraregional) dan antar wilayah (interregional) sehingga diperoleh :
persamaan i n i menunjukkan keterkaitan langsung ke belakang sektor j di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap input dari wilayah J (DKI Jakarta)
persamaan
ini
menunjukkan
keterkaitan
langsung ke belakang sektor j di wilayah B (Bodetabek) terhadap input dari wilayah J (DKI Jakarta)
persamaan
ini
menunjukkan
keterkaitan
78
langsung ke belakang sektor j di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap input dari wilayah J (DKI Jakarta)
persamaan
ini
menunjukkan
keterkaitan
langsung ke belakang sektor j di wilayah B (Bodetabek) terhadap input dari wilayah B (Bodetabek)
persamaan
ini
menunjukkan
keterkaitan
langsung ke belakang sektor j di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap input dari wilayah B (Bodetabek)
persamaan
ini
menunjukkan
keterkaitan
langsung ke belakang sektor j di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap input dari wilayah B (Bodetabek)
persamaan
ini
menunjukkan
keterkaitan
langsung ke belakang sektor j di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap input dari wilayah I (Sisa Indonesia)
persamaan
ini
menunjukkan
keterkaitan
langsung ke belakang sektor j di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap input dari wilayah I (Sisa Indonesia)
persamaan
ini
menunjukkan
keterkaitan
langsung ke belakang sektor j di wilayah B (Bodetabek) terhadap input dari wilayah I (Sisa Indonesia) (2)
Keterkaitan langsung ke depan (direct forward linkage) dihitung erdasarkan kaitan langsung ke depan di dalam wilayah (intraregional) dan antar wilayah(interregional) sehingga diperoleh :
persamaan ini menunjukkan keterkaitan langsung ke depan input sektor i di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap output di wilayah J (DKI Jakarta)
79
persamaan ini menunjukkan keterkaitan langsung ke depan input sektor i di wilayah B (Bodetabek) terhadap output di wilayah J (DKI Jakarta)
persamaan ini menunjukkan keterkaitan langsung ke depan input sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap output di wilayah J (DKI Jakarta)
persamaan ini menunjukkan keterkaitan langsung ke depan input sektor i di wilayah B (Bodetabek) terhadap output di wilayah B (Bodetabek)
persamaan ini menunjukkan keterkaitan langsung ke depan input sektor i di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap output di wilayah B (Bodetabek)
persamaan ini menunjukkan keterkaitan langsung ke depan input sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap output di wilayah B (Bodetabek)
persamaan ini menunjukkan keterkaitan langsung ke depan input sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap output di wilayah I (Sisa Indonesia)
persamaan ini menunjukkan keterkaitan langsung ke depan input sektor i di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap output di wilayah I (Sisa Indonesia)
persamaan ini menunjukkan keterkaitan langsung ke depan input sektor i di wilayah B (Bodetabek) terhadap output di wilayah I (Sisa Indonesia)
(3)
Kaitan langsung dan tidak langsung ke belakang (direct and indirect backward llinkage)
80
persamaan
di
atas menunjukkan
pengaruh
langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor j di wilayah J (DKI Jakarta), pada peningkatan output seluruh sektor perekonomian di wilayah J (DKI Jakarta)
persamaan
di
atas
menunjukkan
pengaruh
langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor j di wilayah B (Bodetabek), pada peningkatan output seluruh sektor perekonomian di wilayah J (DKI Jakarta)
persamaan
di
atas menunjukkan
pengaruh
langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor j di wilayah I (Sisa Indonesia), pada peningkatan output seluruh sektor perekonomian di wilayah J (DKI Jakarta)
persamaan di atas menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor j di wilayah B (Bodetabek), pada peningkatan output seluruh sektor perekonomian di wilayah B (Bodetabek)
persamaan
di atas menunjukkan pengaruh
langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor j di wilayah J (DKI Jakarta), pada peningkatan output seluruh sektor perekonomian di wilayah B (Bodetabek)
persamaan di atas menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor j di wilayah I (Sisa Indonesia),
81
pada peningkatan output seluruh sektor perekonomian di wilayah B (Bodetabek)
persamaan
di
atas menunjukkan
pengaruh
langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor j di wilayah I (Sisa Indonesia), pada peningkatan output seluruh sektor perekonomian di wilayah I (Sisa Indonesia)
persamaan
di
atas menunjukkan
pengaruh
langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor j di wilayah J (DKI Jakarta), pada peningkatan output seluruh sektor perekonomian di wilayah I (Sisa Indonesia)
persamaan
di
atas menunjukkan
pengaruh
langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor j di wilayah B (Bodetabek), pada peningkatan output seluruh sektor perekonomian di wilayah I (Sisa Indonesia) (4)
Kaitan langsung dan tidak langsung ke depan (direct and indirect fordward linkage)
persamaan ini menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor i di wilayah J (DKI Jakarta), pada peningkatan output seluruh sektor perekonomian di wilayah J (DKI Jakarta).
persamaan ini menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor i di wilayah B (Bodetabek), pada peningkatan output seluruh sektor perekonomian di wilayah J (DKI Jakarta).
persamaan ini menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu
82
unit output sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia), pada peningkatan output seluruh sektor perekonomian di wilayah J (DKI Jakarta).
persamaan ini menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor i di wilayah B (Bodetabek), pada peningkatan output seluruh sektor perekonomian di wilayah B (Bodetabek).
persamaan ini menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor i di wilayah J (DKI Jakarta), pada peningkatan output seluruh sektor perekonomian di wilayah B (Bodetabek).
persamaan ini menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia), pada peningkatan output seluruh sektor perekonomian di wilayah B (Bodetabek).
persamaan ini menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia), pada peningkatan output seluruh sektor perekonomian di wilayah I (Sisa Indonesia).
persamaan ini menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor i di wilayah J (DKI Jakarta), pada peningkatan output seluruh sektor perekonomian di wilayah I (Sisa Indonesia).
persamaan ini menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor i di wilayah B (Bodetabek), pada peningkatan output seluruh sektor perekonomian di wilayah I (Sisa Indonesia).
(5)
Multiplier: Seperti halnya pada analisis IO, dalam analisis IRIO juga dikenal dua tipe multiplier, yakni: Multiplier Tipe I dan Multiplier Tipe II. Multiplier
83
Tipe I dihitung berdasarkan inverse matriks Leontief, (I-A)-1, dimana sektor rumah tangga diperlakukan secara exogenous. Bila sektor rumah tangga
dimasukkan dalam matriks saling ketergantungan, dengan
menambah satu baris berupa pendapatan rumah tangga dan satu kolom berupa pengeluaran rumah tangga, yang berarti sektor rumah tangga diperlakukan secara endogenous dalam sistem, maka multiplier yang diperoleh adalah multiplier tipe II. Dalam multiplier tipe II, bukan hanya dampak langsung dan tidak langsung yang dihitung tetapi termasuk pula dampak induksi, yakni dampak dari perubahan pola konsumsi rumah tangga
akibat
peningkatan
pendapatan
terhadap
kinerja
sistem
perekonomian wilayah. (a) Output Multiplier, dihitung berdasarkan dampak di dalam wilayah (intra regional) dan dampak terhadap wilayah lain (interegional).
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap peningkatan total output seluruh sektor di wilayah J (DKI Jakarta). Angka yang diperoleh sama dengan angka keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang seperti yang telah diuraikan di atas. Persamaanya adalah sebagai berikut :
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di wilayah B (Bodetabek) terhadap peningkatan total output seluruh sektor di wilayah J (DKI Jakarta). Persamaanya adalah sebagai berikut
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap peningkatan total output seluruh sektor di wilayah J (DKI Jakarta). Persamaanya adalah sebagai berikut
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output
84
sektor j di wilayah B (Bodetabek) terhadap peningkatan total output seluruh sektor di wilayah B (Bodetabek). Persamaanya adalah sebagai berikut
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap peningkatan total output seluruh sektor di wilayah B (Bodetabek). Persamaanya adalah sebagai berikut
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap peningkatan total output seluruh sektor di wilayah B (Bodetabek). Persamaanya adalah sebagai berikut
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap peningkatan total output seluruh sektor di wilayah I (Sisa Indonesia). Persamaanya adalah sebagai berikut
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap peningkatan total output seluruh sektor di wilayah I (Sisa Indonesia). Persamaanya adalah sebagai berikut
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di wilayah B (Bodetabek) terhadap peningkatan total output seluruh sektor di wilayah I (Sisa Indonesia). Persamaanya adalah sebagai berikut
(b) Income Multiplier, dihitung berdasarkan dampak di dalam wilayah (intra regional) dan dampak terhadap wilayah lain (interegional). j
, yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di
85
wilayah J (DKI Jakarta) terhadap peningkatan total pendapatan rumah tangga secara keseluruhan di wilayah J (DKI Jakarta). Persamaannya adalah sebagai berikut:
dimana : : rasio pendapatan rumahtangga dari sektor i di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap total output sektor i di wilayah J (DKI Jakarta). , yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di wilayah B (Bodetabek) terhadap peningkatan total pendapatan rumah tangga secara keseluruhan di wilayah J (DKI Jakarta). Persamaannya adalah sebagai berikut:
dimana : : rasio pendapatan rumahtangga dari sektor i di wilayah B (Bodetabek) terhadap total output sektor i di wilayah J (DKI Jakarta) , yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap peningkatan total pendapatan rumah tangga secara keseluruhan di wilayah J (DKI Jakarta). Persamaannya adalah sebagai berikut:
dimana : : rasio pendapatan rumahtangga dari sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap total output sektor i di wilayah J (DKI Jakarta) , yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di wilayah B (Bodetabek) terhadap peningkatan total pendapatan rumah tangga secara keseluruhan di wilayah B (Bodetabek). Persamaannya adalah sebagai berikut:
86
dimana : : rasio pendapatan rumahtangga dari sektor i di wilayah B (Bodetabek) terhadap total output sektor i di wilayah B (Bodetabek) , yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap peningkatan total pendapatan rumah tangga secara keseluruhan di wilayah B (Bodetabek). Persamaannya adalah sebagai berikut:
dimana : : rasio pendapatan rumahtangga dari sektor i di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap total output sektor i di wilayah B (Bodetabek) , yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap peningkatan total pendapatan rumah tangga secara keseluruhan di wilayah B (Bodetabek). Persamaannya adalah sebagai berikut:
dimana : : rasio pendapatan rumahtangga dari sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap total output sektor i di wilayah B (Bodetabek) , yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap peningkatan total pendapatan rumah tangga secara keseluruhan di wilayah I (Sisa Indonesia). Persamaannya adalah sebagai berikut:
dimana : : rasio pendapatan rumahtangga dari sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap total output sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia)
87
, yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap peningkatan total pendapatan rumah tangga secara keseluruhan di wilayah I (Sisa Indonesia). Persamaannya adalah sebagai berikut:
dimana : : rasio pendapatan rumahtangga dari sektor i di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap total output sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia) , yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di wilayah B (Bodetabek) terhadap peningkatan total pendapatan rumah tangga secara keseluruhan di wilayah I (Sisa Indonesia). Persamaannya adalah sebagai berikut:
dimana : : rasio pendapatan rumahtangga dari sektor i di wilayah B (Bodetabek) terhadap total output sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia) (c) Total Value-Added Multiplier atau multiplier PDRB, dihitung berdasarkan dampak di dalam wilayah (intra regional) dan dampak terhadap wilayah lain (interegional). , yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap peningkatan PDRB secara keseluruhan di wilayah J (DKI Jakarta).Persamaannya adalah sebagai berikut:
dimana : : rasio PDRB dari sektor i di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap total output sektor i di wilayah J (DKI Jakarta)
88
, yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di wilayah B (Bodetabek) terhadap peningkatan PDRB secara keseluruhan di wilayah J (DKI Jakarta). Persamaannya adalah sebagai berikut:
dimana : : rasio PDRB dari sektor i di wilayah B (Bodetabek) terhadap total output sektor i di wilayah J (DKI Jakarta) , yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap peningkatan PDRB secara keseluruhan di wilayah J (DKI Jakarta). Persamaannya adalah sebagai berikut:
dimana : : rasio PDRB dari sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap total output sektor i di wilayah J (DKI Jakarta) , yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di wilayah B (Bodetabek) terhadap peningkatan PDRB secara keseluruhan di wilayah B (Bodetabek). Persamaannya adalah sebagai berikut:
dimana : : rasio PDRB dari sektor i di wilayah B (Bodetabek) terhadap total output sektor i di wilayah B (Bodetabek) , yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap peningkatan PDRB secara keseluruhan di wilayah B (Bodetabek). Persamaannya adalah sebagai berikut:
89
dimana : : rasio PDRB dari sektor i di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap total output sektor i di wilayah B (Bodetabek) , yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap peningkatan PDRB secara keseluruhan di wilayah B (Bodetabek). Persamaannya adalah sebagai berikut:
dimana : : rasio PDRB dari sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap total output sektor i di wilayah B (Bodetabek) , yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap peningkatan PDRB secara keseluruhan di wilayah I (Sisa Indonesia). Persamaannya adalah sebagai berikut:
dimana : : rasio PDRB dari sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap total output sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia) , yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap peningkatan PDRB secara keseluruhan di wilayah I (Sisa Indonesia). Persamaannya adalah sebagai berikut:
dimana : : rasio PDRB dari sektor i di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap total output sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia)
90
, yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di wilayah B (Bodetabek) terhadap peningkatan PDRB secara keseluruhan di wilayah I (Sisa Indonesia). Persamaannya adalah sebagai berikut:
dimana : : rasio PDRB dari sektor i di wilayah B (Bodetabek) terhadap total output sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia) (d) Employment Multiplier, dihitung berdasarkan dampak di dalam wilayah (intra regional) dan dampak terhadap wilayah lain (interegional). ,
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di
j
wilayah J (DKI Jakarta) terhadap peningkatan serapan tenaga kerja secara keseluruhan di wilayah J (DKI Jakarta). Persamaannya adalah sebagai berikut:
Dimana : rasio serapan tenaga kerja dari sektor i di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap total output sektor i di wilayah J (DKI Jakarta) ,
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di
wilayah B (Bodetabek) terhadap peningkatan serapan tenaga kerja secara keseluruhan di wilayah J (DKI Jakarta). Persamaannya adalah sebagai berikut:
Dimana : rasio serapan tenaga kerja dari sektor i di wilayah B (Bodetabek) terhadap total output sektor i di wilayah J (DKI Jakarta) ,
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di
wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap peningkatan serapan tenaga kerja
91
secara keseluruhan di wilayah J (DKI Jakarta). Persamaannya adalah sebagai berikut:
Dimana : rasio serapan tenaga kerja dari sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap total output sektor i di wilayah J (DKI Jakarta) ,
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di
wilayah B (Bodetabek) terhadap peningkatan serapan tenaga kerja secara keseluruhan di wilayah B (Bodetabek). Persamaannya adalah sebagai berikut:
Dimana : rasio serapan tenaga kerja dari sektor i di wilayah B (Bodetabek) terhadap total output sektor i di wilayah B (Bodetabek) ,
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di
wilayah J (DKI Jakarta) terhadap peningkatan serapan tenaga kerja secara keseluruhan di wilayah B (Bodetabek). Persamaannya adalah sebagai berikut:
Dimana : rasio serapan tenaga kerja dari sektor i di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap total output sektor i di wilayah B (Bodetabek) B (Bodetabek) ,
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di
wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap peningkatan serapan tenaga kerja secara keseluruhan di wilayah B (Bodetabek). Persamaannya adalah sebagai berikut:
92
Dimana : rasio serapan tenaga kerja dari sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap total output sektor i di wilayah B (Bodetabek) ,
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di
wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap peningkatan serapan tenaga kerja secara keseluruhan di wilayah I (Sisa Indonesia). Persamaannya adalah sebagai berikut:
Dimana : rasio serapan tenaga kerja dari sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap total output sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia) ,
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di
wilayah J (DKI Jakarta) terhadap peningkatan serapan tenaga kerja secara keseluruhan di wilayah I (Sisa Indonesia). Persamaannya adalah sebagai berikut:
Dimana : rasio serapan tenaga kerja dari sektor i di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap total output sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia) ,
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di
wilayah B (Bodetabek) terhadap peningkatan serapan tenaga kerja secara keseluruhan di wilayah I (Sisa Indonesia). Persamaannya adalah sebagai berikut:
Dimana : rasio serapan tenaga kerja dari sektor i di wilayah B (Bodetabek) terhadap total output sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia)
93
(e) Multiplier Penggunaan Lahan, dihitung berdasarkan dampak di dalam wilayah (intra regional) dan dampak terhadap wilayah lain (interegional). ,
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di
j
wilayah J (DKI Jakarta) terhadap peningkatan penggunaan lahan secara keseluruhan di wilayah J (DKI Jakarta). Persamaannya adalah sebagai berikut:
Dimana : rasio penggunaan lahan dari sektor i di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap total output sektor i di wilayah J (DKI Jakarta) ,
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j
di wilayah B (Bodetabek) terhadap peningkatan penggunaan lahan secara keseluruhan di wilayah J (DKI Jakarta). Persamaannya adalah sebagai berikut:
Dimana : rasio penggunaan lahan dari sektor i di wilayah B (Bodetabek) terhadap total output sektor i di wilayah J (DKI Jakarta) ,
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di
wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap peningkatan penggunaan lahan secara keseluruhan di wilayah J (DKI Jakarta). Persamaannya adalah sebagai berikut:
Dimana : rasio penggunaan lahan dari sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap total output sektor i di wilayah J (DKI Jakarta) ,
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j
94
di wilayah B (Bodetabek) terhadap peningkatan penggunaan lahan secara keseluruhan di wilayah B (Bodetabek). Persamaannya adalah sebagai berikut:
Dimana : rasio penggunaan lahan dari sektor i di wilayah B (Bodetabek) terhadap total output sektor i di wilayah B (Bodetabek) ,
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j
di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap peningkatan penggunaan lahan secara keseluruhan di wilayah B (Bodetabek). Persamaannya adalah sebagai berikut:
Dimana : rasio penggunaan lahan dari sektor i di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap total output sektor i di wilayah B (Bodetabek) ,
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di
wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap peningkatan penggunaan lahan secara keseluruhan di wilayah B (Bodetabek). Persamaannya adalah sebagai berikut:
Dimana : rasio penggunaan lahan dari sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap total output sektor i di wilayah B (Bodetabek) ,
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di
wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap peningkatan penggunaan lahan secara keseluruhan di wilayah I (Sisa Indonesia). Persamaannya adalah sebagai berikut:
95
Dimana : rasio penggunaan lahan dari sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia) terhadap total output sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia) ,
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di
wilayah J (DKI Jakarta) terhadap peningkatan penggunaan lahan secara keseluruhan di wilayah I (Sisa Indonesia). Persamaannya adalah sebagai berikut:
Dimana : rasio penggunaan lahan dari sektor i di wilayah J (DKI Jakarta) terhadap total output sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia) ,
yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j di
wilayah B (Bodetabek) terhadap peningkatan penggunaan lahan secara keseluruhan di wilayah I (Sisa Indonesia). Persamaannya adalah sebagai berikut:
Dimana : rasio penggunaan lahan dari sektor i di wilayah B (Bodetabek) terhadap total output sektor i di wilayah I (Sisa Indonesia) 3.3.6. Rancang Bangun Model Pengembangan pemodelan spasial dinamik dilakukan dengan terlebih dahulu mengkaji berbagai model yang telah ada. Kajian ini dibagi ke dalam tiga kategori yakni mode) ekonomi, model ekologi, dan model sosial berdasarkan pembangunan
berkelanjutan.
Budiharsono
(2008)
mengatakan
bahwa
pembangunan berkelanjutan pada dasarnya mencakup tiga dimensi penting, yakni ekonomi, sosial (budaya), dan lingkungan.
Dimensi ekonomi, antara lain
berkaitan dengan upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memerangi kemiskinan, serta mengubah pola produksi dan konsumsi ke arah yang seimbang.
96
Dimensi sosial bersangkutan dengan upaya pemecahan masalah kependudukan, perbaikan pelayanan masyarakat, peningkatan kualitas pendidikan, dan lain-lain. Adapun dimensi lingkungan, diantaranya mengenai upaya pengurangan dan pencegahan terhadap polusi, pengelolaan limbah, serta konservasi/preservasi sumberdaya alam.
Dengan demikian, tujuan Pembangunan Berkelanjutan
terfokus pada ketiga dimensi, keberlanjutan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi (economic growth), keberlanjutan kesejahteraan sosial yang adil dan merata (social progress), serta keberlanjutan ekologi dalam tata kehidupan yang serasi dan seimbang (ecological balance). Dalam laporan Brundtland tujuan tersebut dinyatakan lebih rinci, antara lain: menata kembali pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan kualitasnya; memenuhi berbagai kebutuhan pokok warga akan pekerjaan, makanan, energi, air, dan sanitasi; menjaga perkembangan penduduk agar tetap seimbang dengan daya dukung lingkungan untuk berproduksi; melakukan konservasi dan menambah sumberdaya yang tersedia; reorientasi penggunaan teknologi dan manajemen risiko; serta mengintegrasikan kebijakan ekonomi dengan kebijakan lingkungan dalam pengambilan keputusan. Guna mencapai tujuan dimaksud maka strategi pembangunan harus memenuhi persyaratan, seperti : sistem politik yang menjamin secara efektif partisipasi warga dalam pengambilan keputusan; system ekonomi dan inovasi teknologi yang mampu menghasilkan surplus secara bekesinambungan; sistem sosial yang menyediakan cara pemecahan secara efektif terhadap permasalahan yang timbul karena ketidakharmonisan dalam pelaksanaan pembangunan; dan system internasional dengan pola berkelanjutan dalam pengelolaan keuangan serta perdagangan. Kondisi berkelanjutan sosial yang mampu mendukung secara penuh kualitas kehidupan yang adil dan sejahtera, sehat, serta produktif bagi semua anggota masyarakat pada masa kini dan masa mendatang merupakan kepentingan utama (core business) Pembangunan Berkelanjutan. Hal itu diharapkan dapat dicapai dengan cara bertahap (reformasi) dari pemerintahan yang kini ada menuju pemerintahan baru yang lebih baik (Good Governance).
Pemerintahan ini
melaksanakan Pembangunan Berkelanjutan secara konsisten untuk membrantas kemiskinan (poverty eradication) dan memelihara daya dukung lingkungan
97
(natural resource carrying capacity), sehingga pola produksi dan konsumsi masyarakat
dapat
berlangsung secara
berkelanjutan
(sustainable basis).
Pemantauan atas pembangunan bentuk baru ini perlu dilakukan secara ketat untuk mengetahui dan menilai berhasil atau tidaknya pelaksanaannya dan mendorong pencapaian sasaran yang telah ditentukan.
Penilaian difokuskan pada
keberhasilan ketiga aspek terkait yang tak terpisahkan, yakni aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Hubungan keterkaitan dari sistem digambarkan sebagai sebuah diagram dengan komponen-komponen penyusun (entitas) yang dibentuk dari 3 sub-sistem, yaitu: sub-sistem sosial, sub-sistem ekonomi, dan sub-sistem ekologi yang saling terkait seperti yang disajikan pada Gambar 6.
EKONOM I
EKOLOGI
S O S IA L
PENGGUNAAN LAHAN Gambar 6. Hubungan Keterkaitan antara Dimensi Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Pemodelan yang akan dibangun mempertimbangkan ketiga dimensi di atas dalam satu kesatuan, sehingga akan ada suatu trade-off antara satu dimensi dengan dimensi lainnya.
Pemodelan ini nantinya dapat digunakan untuk
98
menyusun
alternatif-alternatif
skenario
pembangunan
terwujudnya proses pembangunan berkelanjutan.
yang
mendukung
Selain mempertimbangkan
ketiga dimensi tersebut dalam penyusunan model tersebut juga dikaitkan dengan perubahan-perubahan penatagunaan lahan (land use changes) akibat adanya pembangunan tersebut.
3.3.4.1. Model Sistem Dinamik Metode pendekatan sistem merupakan salah satu cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif (Eriyatno 1999).
Dalam pendekatan sistem
umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah; dan (2) dibuat
suatu
model
kuantitatif
untuk
membantu
keputusan
rasional.
Pengpenelitian dalam pendekatan sistem seyogyanya memenuhi tiga karakteristik, yaitu: (1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; (2) dinamis, dalam arti faktor yang terlibat ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan; dan (3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno 1999). Dalam pelaksanaan metode pendekatan sistem diperlukan tahapan kerja yang sistematis.
Prosedur analisis sistem meliputi tahapan tahapan sebagai
berikut : analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, verifikasi model dan implementasi (Eriyatno, 1999). Secara diagramatik, tahapan analisis sistem disajikan pada Gambar 7. Penggunaan ruang untuk berbagai sektor di dalam wilayah Jabodetabek merupakan sistem yang kompleks dan dinamis.
Pembatasan permasalahan
dengan menggunakan asumsi-asumsi ilmiah akan dilakukan dalam rangka menyederhanakan sistem perencanaan tata ruang yang kompleks dalam suatu bentuk model. Pembatasan permasalahan akan mulai dilakukan sejak penyusunan skenario penggunaan ruang. pemrograman powersim.
Model optimasi akan disimulasi dengan bahasa
99
Gambar 7. Tahapan Analisis Sistem (Eriyatno 1999)
Program powersim merupakan perangkat lunak untuk pemodelan berbasis flow chart. Powersim termasuk bahasa pemrograman interpreter yang baik untuk menyusun model maupun berinteraksi dengan model. Alat penyusun model yang tersedia dalam powersim adalah: (1) Stocks, yang merupakan hasil suatu akumulasi; fungsinya untuk menyimpan informasi berupa nilai suatu parameter yang masuk ke dalamnya;
100
(2) Flows, berfungsi seperti aliran, yaitu menambah dan mengurangi stock; arah anak panah menunjukkan arah aliran tersebut, aliran bisa satu arah maupun dua arah; (3) Converters, berfungsi luas; dapat digunakan untuk menyimpan konstanta, input bagi suatu persamaan, melakukan kalkulasi dari berbagai input lainnya atau menyimpan data dalam bentuk grafis (tabulasi x dan y); secara umum fungsinya adalah untuk mengubah suatu input menjadi output; dan (4) Connectors, berfungsi menghubungkan elemen-elemen dari suatu model. Dengan alat penyusun model seperti di atas, program posersim akan mampu menjalankan model dinamis dalam optimasi penataan ruang wilayah Jabodetabek yang telah diskenariokan; dengan input, nilai parameter, keterkaitan parameter antar aspek, dan output yang telah ditetapkan. Struktur umpan balik dalam model sistem perencanaan tata ruang wilayah Jabodetabek disusun oleh tiga subsistem yang saling berinteraksi, yaitu subsistem sosial, subsistem ekonomi, dan subsistem lahan atau biofisik. Model perencanaan untuk optimasi tata ruang wilayah Jabodetabek akan merupakan kombinasi antara subsistem sosial dengan kegiatan ekonomi, subsistem kegiatan ekonomi dan subsistem lahan, dan subsistem sosial dan subsistem lahan. Subsistem sosial. Dalam subsistem sosial, jumlah penduduk diperlakukan sebagai level. Jumlah penduduk ditentukan oleh pertambahan dan pengurangan jumlah penduduk.
Pertambahan jumlah penduduk dipengaruhi oleh laju
pertambahan penduduk secara alamiah yaitu kelahiran maupun laju pertambahan penduduk karena migrasi ke dalam wilayah.
Pengurangan jumlah penduduk
dipengaruhi oleh laju pengurangan penduduk baik secara alamiah yaitu kematian maupun migrasi ke luar wilayah. Jumlah penduduk di wilayah terkait dengan jumlah tenaga kerja dalam kegiatan ekonomi (subsistem ekonomi). Selain itu, jumlah penduduk juga terkait dengan kebutuhan ruang fasilitas sosial dan fasilitas umum (subsistem lahan). Subsistem ekonomi.
Subsistem ekonomi merupakan subsistem yang
berkaitan dengan aktivitas ekonomi yang diusahakan penduduk di suatu wilayah Jabodetabek. Subsistem ekonomi berkaitan dengan luas lahan produktif yang sesuai digunakan untuk kegiatan usaha dalam melakukan proses produksi.
101
Hubungan subsistem ekonomi dengan subsistem penduduk adalah jumlah tenaga kerja yang tersedia untuk menggarap kegiatan usaha yang kemudian berkaitan dengan pendapatan. Subsistem lahan.
Lahan merupakan supply side dalam sistem
perencanaan tata ruang wilayah. Lahan yang tersedia merupakan suatu wadah untuk menampung kegiatan penduduk dalam menjalankan kehidupan. Kebutuhan penduduk akan lahan tergantung pada jumlah penduduk dan kegiatan ekonomi yang diusahakan, terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana serta lahan untutk kegiatan usaha. Lahan
di
wilayah
Jabodetabek
digunakan
untuk
permukiman,
pengembangan sarana dan prasarana wilayah, pengembangan kegiatan pertanian, dan lahan terbangun. Lahan yang digunakan untuk berbagai kegiatan tersebut adalah lahan yang sesuai berdasarkan kesesuaian lahan yang ada atau daya dukung lahan.
3.3.4.2. Validasi dan Verifikasi Model
Validasi Model Uji validasi yang akan dilakukan adalah uji validasi struktur dan kinerja
model.
Uji validasi struktur model dilakukan untuk memperoleh keyakinan
sejauh mana struktur model yang telah dibangun dapat menjelaskan struktur sistem nyata yang berlaku. Untuk itu model harus diuji kestabilan strukturnya. Kestabilan struktur adalah kekuatan (robustness) struktur dalam dimensi waktu . Uji validitas kinerja model dilakukan untuk mengetahui apakah model yang dilambangkan dapat diterima sebagai model verifikasi.
•
Verifikasi Model Setelah dilakukan validasi model dan dinyatakan valid dan stabil.
Selanjutnya dilakukan verifikasi melalui simulasi.
Simulasi adalah aktivitas
dimana pengkaji dapat menarik kesimpulan tentang perilaku suatu sistem melalui penelaahan perilaku model yang selaras, dimana hubungan sebab akibatnya sama dengan atau seperti pada sistem yang sebenarnya. (Eriyanto, 1999).
102
3.3.4.3. Skenario dan Analisis Tata Ruang Analisis optimasi akan dilakukan dengan membandingkan nilai manfaat dari beberapa skenario penggunaan ruang dalam suatu unit kawasan di wilayah Jabodetabek. Skenario penggunaan ruang dengan manfaat tertinggi yang dinilai dari produktivitas wilayah dan pendapatan masyarakat adalah merupakan skenario yang optimum. Perubahan pola penggunaan lahan berhubungan dengan adanya keinginan untuk meningkatkan output terutama sektor non pertanian. Untuk ini di perlukan informasi dasar yang dapat digunakan didalam penyusunan strategi dan kebijakan yang terkait dengan keinginan tersebut. Informasi dasar yangdi perlukan tersebut di peroleh dengan mengembangkan beberpa scenario perkembangan Kawasan Jabodetabek melalui eksperimen simulasi menggunakan model system dynamics yang telah dikembangkan. Adapun skenario-skenario tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 1)
Skenario 1 (Pesimis) Skenario ini, disebut pula sebagai skenario dasar, menggambarkan dinamika perkembangan Kawasan Jabodetabek seandainya kondisi-kondisi awal pada kurun waktu 2002 - 2009 terus berlanjut sampai tahun 2040
2) Skenario 2. (Moderat) Skenario ini adalah Skenario 1 dimana pembatasan pertambahan lahan bangunan DKI Jakarta sehingga lahan pertanian (ruang tata hijau) tetap 10 % dari total luas DKI Jakarta dan penduduk DKI Jakarta tidak melebihi daya tampung.
Penduduk yang berpindah ke Bodetabek tidak sampai
melebihi daya dukungnya.. 3) Skenario 3 (Optimis) Skenario 3 adalah skenario 2 yang diperkuat dengan peningkatan laju pertumbuhan investasi sektor non pertanian DKI Jakarta. Pada model dasar, nilai rata-rata pertumbuhan laju investasi sektor non pertanian adalah sebesar 10% (diperoleh berdasarkan data histories statistik) dan pada simulasi dengan skenario ke-3 ini, laju pertumbuhan investasi diasumsikan meningkat hingga 15% per tahun.
103
3.3.4.4. Analisis pemilihan skenario Alat yang digunakan dalam memilih skenario adalah analisis pembuatan keputusan multikriteria {multicriteria decision making, MCDM), berupa performance index based decision making (pengambilan keputusan berbasis indeks kinerja). Indeks kinerja merupakan berbagai kriteria dari suatu sistem, yang diolah dengan berbagai teknik atau metode perhitungan, sehingga menghasilkan nilai-nilai numerik sebagai indeks. Indeks tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar bagi pengambilan suatu keputusan.
Metode yang digunakan dalam pengambilan
keputusan berbasis indeks kinerja, adalah composite performance index (CPI), karena dapat menggunakan berbagai kriteria yang tidak seragam (Marimin, 2004). CPI merupakan indeks gabungan (composite index) dari berbagai kriteria, yang didapat dari pemodelan. Hasil perbandingan kriteria yang ditransformasi dapat digunakan untuk menentukan penilaian atas peringkat dari berbagai alternatif. Formula yang digunakan adalah sebagai berikut: Xij (min) - 100 Aij = Xij(min) X(i + 1j) A(i+1j) = Xij(min) - 100 Iij = Aij Pij Ii = ∑ Iij Keterangan : Aij Xij (min) A(i + lj) X(i + lj) Pij Iij Ii
= = = = = = =
nilai alternatif ke-i pada kriteria ke-j nilai alternatif ke-i pada kriteria awal minimum ke-j nilai alternatif ke-i + 1 pada kriteria ke-j nilai alternatif ke-i + 1 pada kriteria awal ke-j bobot kepentingan kriteria ke-j indeks altenatif ke-i indeks gabungan kriteria pada altenatif ke-i
Untuk pengambilan keputusan ranking nilai alternatif, dilakukan dengan menggunakan rata-rata nilai alternatif dan standar deviasinya. Skenario dengan ranking nilai alternatif tertinggi (I) merupakan skenario yang akan dipilih. Penentuan ranking nilai alternatif adalah sebagai berikut:
104
1) Ranking I adalah: Jika nilai alternatif > dari rata-rata nilai" alternatif + standar deviasi;
2) Ranking II adalah: Jika rata-rata nilai alternative < nilai alternatif < dari rata-rata nilai alternatif + standar deviasi;
3) Ranking III adalah: Jika nilai alternatif < dari rata-rata nilai alternatif 3.3.4.5. Alokasi Untuk Perubahan Penggunaan Lahan Pemodelan spasial untuk manganalisis perubahan penggunaan lahan di wilayah Jabodetabek menggunakan program GIS (Geografic Information Sistem) version 3.3, tahap analisis penggunaan lahan pada Gambar 8.
Gambar 8. Bagan Alir Alokasi Penggunaan Lahan
Pemodelan spasial ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran hasil penelitian agar mudah dipahami. Alokasi penggunaan lahan dibangun dengan menggabungkan dari parameter-parameter hasil analisis optimasi, dan analisis spasial, (Gambar 9).
105
Input awal bagi pemodelan adalah pola penggunaan lahan saat ini (existing land use) yang merupakan hasil interaksi penggunaan lahan oleh faktor biofisik, ekonomi, sosial dan kebijakan pemerintah. Alokasi penggunaan lahan dibangun dengan menghibridkan antara nilai atribut dari model dinamik dan sistem informasi geografis (spasial) digunakan untuk prediksi penataan dan pemanfaatan lahan di masa mendatang dengan memperhatikan kecenderungan perubahan aktivitas sosial, ekonomi, biofisik, kebijakan, dan peruntukan konservasi sehingga dihasilkan pemanfaatan ruang yang optimum dan berkelanjutan.
650000
675000
700000
725000
750000
9325000
LANDUSECLASSES 2001
Tangerang Municipal
9325000
Tangerang NorthJakarta West Jakarta Central Jakarta East Jakarta
Bekasi
Bekasi Municipal
N
9300000
9300000
SouthJakarta
9275000
Bogor
0
5000
10000m
9275000
Bogor Municipal
5000
AdministrativeBoundaries Urban Water/Ponds Agriculture
675000
700000
725000
750000
9250000
9250000
Paddy
650000
Forest
Gambar 9: Gabungan Sistem Dinamik dan Analisis Non Spasial dengan Analisis Spasial