III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung jagung Pioneer 21, tepung terigu Cakra Kembar, air, minyak goreng, baking powder, guar gum, garam, dan bahan-bahan yang digunakan dalam analisis TBA dan peroksida. Alat-alat yang digunakan dalam produksi tepung jagung dan pembuatan mi instan subtitusi jagung adalah disc mill, hammer mill, vibrator screen, timbangan, oven pengering (dryer), dough mixer, roll press, steaming box, dan deep-fat frying yang semuanya tersedia di Pilot Plant Seafast Center-IPB, sedangkan alat-alat lain yang digunakan dalam analisis adalah neraca analitik, spektrofotometer, inkubator, gelas piala, erlenmeyer, buret, pipet, labu takar, dan kompor penangas. Peralatan untuk uji organoleptik yang diperlukan yaitu perangkat pengujian seperti gelas-gelas saji, sendok plastik, wadah saji, dan kompor.
B. METODE PENELITIAN Kegiatan penelitian akan dilakukan melalui dua tahapan utama, yaitu pembuatan mi instan subtitusi jagung dan pendugaan umur simpan (shelf-life) produk mi instan subtitusi jagung dengan metode Accelerated shelf Life Testing (ASLT) Model Arrhenius. Tahapan kegiatan penelitian ini secara terperinci dapat dilihat pada Gambar 2. Pembuatan mi instan subtitusi jagung dilakukan dengan metode sheeting, kemudian mi tersebut disimpan selama 5 minggu pada kondisi diatas normal, yaitu pada suhu 32, 37, 45, 50, dan 52°C. Penentuan umur simpan dilakukan menggunakan metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT) Model Arrhenius berdasarkan parameter bilangan TBA, peroksida, kehilangan padatan akibat pemasakan atau cooking loss, tekstur, dan warna. Selain itu, penentuan umur simpan ini juga ditentukan berdasarkan parameter-parameter organoleptik (flavor, tekstur setelah direhidrasi, dan warna). Adapun penjelasan mengenai setiap tahapannya dapat dijabarkan sebagai berikut ini:
1. Pembuatan Mi Instan Subtitusi Jagung Tahap pembuatan mi instan subtitusi jagung diawali dengan melakukan penepungan jagung terlebih dahulu. Tahapan proses penepungan jagung ini dapat dilihat pada Gambar 3. Proses penepungan ini dimulai dengan penggilingan kasar menggunakan mesin hammer mill. Setelah itu, jagung direndam dalam air untuk memisahkan endosperma dari bagian lembaga, kulit dan tip cap. Grits jagung yang dihasilkan ditiriskan dan dikeringkan untuk kemudian digiling secara halus menggunakan disc mill. Tepung jagung kasar yang dihasilkan kemudian diayak menggunakan ayakan berukuran 100 mesh hingga dihasilkan tepung jagung halus berukuran 100 mesh. Setelah diperoleh tepung jagung halus, pembuatan mi instan subtitusi jagung dapat dilanjutkan dengan menggunakan formulasi hasil optimalisasi pada penelitian mi jagung instan yang dilakukan sebelumnya oleh Stefanus (2010) dengan tahapan yang dapat dilihat pada Gambar 4. Mi
instan subtitusi jagung tersebut kemudian dibandingkan teksturnya baik dari segi kekenyalan maupun elastisitasnya dengan mi instan biasa yang dibuat dari tepung terigu sebagai kontrol.
TUJUAN 1. Menentukan umur simpan (shelf life) mi jagung instan dengan metode ASLT Model Arrhenius dan parameter organoleptik 2. Menentukan parameter terbaik untuk pendugaan umur simpan
T A H A P
Penentuan Umur Simpan (shelf life)
II Analisis Organoleptik
Analisis Fisik
Analisis Kimia
- Uji Skoring/Rating
-
- Bilangan TBA - Bilangan Peroksida
Kadar Air Cooking loss/KPAP Warna sebelum direhidrasi Tekstur sesudah direhidrasi (TPA)
Penyimpanan (32, 37, 45, 50 dan 52°C; 5 minggu)
Mi Jagung T A H A P
Pembuatan Mi Jagung Instan Metode Sheeting
I Tepung Jagung 100 mesh
Penepungan
Jagung Pipil Gambar 2. Kerangka berpikir kegiatan penelitian
15
Jagung pipil
Penggilingan kasar (hammer mill)
Pemisahan endosperma dari lembaga, kulit, dan tip cap
Lembaga, kulit, dan tip cap
Grits jagung
Penirisan dan pengeringan
Penggilingan halus (disc mill)
Tepung jagung kasar
Pengayakan 100 mesh
Tepung jagung halus 100 mesh
Gambar 3. Diagram alir pembuatan tepung jagung (Putra, 2008)
2. Pendugaan Umur Simpan (shelf-life) Umur simpan produk pangan didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan suatu produk pangan untuk mengalami kerusakan hingga tingkat yang tidak dapat diterima pada kondisi penyimpanan, proses, dan pengemasan yang spesifik. Umur simpan produk pangan juga diartikan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi (Arpah, 2001). Tahap pendugaan umur simpan produk mi instan subtitusi jagung dilakukan dengan metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT) Model Arrhenius. Tahap ini dilakukan dengan menyimpan mi instan tersebut pada kondisi suhu ekstrim, menghitung kinetika penurunan mutu, dan menentukan umur simpan pada suhu yang diinginkan.
16
Tepung jagung 30%, tepung terigu 70 %, garam 1%, guar gum 1%, baking powder 0.3%, air 40% (berdasarkan hasil penelitian terpisah)
Pencampuran dengan dough mixer selama 10 menit
Pembulatan dan pengistirahatan adonan
Pembentukan lembaran mi (sheeting) hingga ketebalan 1.6 mm
Pencetakan untaian mi (slitting) dan pemotongan
Pengukusan (steaming) 100 0C, 15 menit
Minyak goreng
Penggorengan
Penirisan minyak goreng
Mi instan subtitusi jagung
Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan mi jagung instan metode sheeting
a.
Penyimpanan Mi pada Kondisi Suhu Ekstrim
Pada penelitian ini, produk mi instan subtitusi jagung sebanyak 50 g akan disimpan pada lima kondisi suhu ekstrim, yaitu 32°C, 37°C, 45°C, 50°C, dan 52°C sehingga diharapkan mampu mempercepat terjadinya reaksi penurunan mutu produk. Semakin banyak suhu yang digunakan akan memberikan persamaan Arrhenius yang lebih baik dan lebih dipercaya dalam memprediksi umur simpan produk pada berbagai suhu penyimpanan, karena persamaan tersebut diperoleh dari lima suhu penyimpanan. Penyimpanan mi instan ini hanya menggunakan satu jenis kemasan yang memang biasa digunakan untuk produk mi instan, yaitu kemasan PP. Produk mi instan subtitusi jagung kemudian diamati dan dianalisis parameter mutunya selama 5 minggu (pada minggu ke1,2,3,4,dan 5). Parameter mutu yang diamati diantaranya adalah bilangan TBA, bilangan
17
peroksida, cooking loss/Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP), warna dengan menggunakan Chromameter, tekstur dengan menggunakan TPA (Texture Profile Analyzer), dan beberapa faktor mutu berdasarkan parameter organoleptik seperti rasa dan bau tengik, warna, dan tekstur sesudah direhidrasi.
b.
Penghitungan Kinetika Penurunan Mutu
Penentuan umur simpan metode Arrhenius didasarkan atas kemudahan terjadinya penurunan mutu produk akibat penyimpanan produk pada suhu ekstrim. Kenaikan suhu ini dapat mempercepat berlangsungnya reaksi-reaksi kerusakan (deteriorasi) yang dapat memperpendek umur simpan suatu produk. Secara keseluruhan, tahapan pendugaan umur simpan melalui penghitungan kinetika penurunan mutu produk pada penelitian utama ini dapat dilihat pada Gambar 5.
Mi jagung instan
Penyimpanan pada suhu 32 0C,370C, 45 0C, 500C dan 52 0C
Pengamatan subjektif dan objektif (organoleptik) pada minggu ke-1, 2, 3, 4, 5, dan seterusnya hingga sampel benar-benar tidak dapat diterima oleh panelis
Pemplotan nilai (skor) mutu dan waktu pengamatan pada masing-masing suhu dan atribut
Penetapan nilai mutu awal dan batas kritis produk
Penetapan ordo reaksi (ordo nol atau ordo satu) melalui kurva dengan nilai R2 tertinggi
Penghitungan umur simpan produk pada suhu tertentu dengan menghubungkan nilai k yang telah diperoleh dari kurva Gambar 5. Diagram alir pendugaan umur simpan produk mi jagung instan
18
Pemplotan nilai mutu (Q) pada masing-masing suhu dan jenis atribut terhadap waktu pengamatan (t) dapat dilihat seperti pada Gambar 6.
Slope = -kt
Slope = -kt
Q
ln Q
t t ordo nol ordo satu Gambar 6. Ilustrasi model penurunan mutu pada ordo reaksi nol dan satu
Berdasarkan plot data tersebut, dapat ditentukan model persamaan (2.1 dan 2.2) dari masing-masing ordo reaksi beserta nilai R2-nya. (2.1) Ordo nol : Qt = Qo – kTt (2.2) Ordo satu : ln Q t = ln Q o - k T t dimana: Q o = nilai mutu awal penyimpanan Q t = nilai mutu pada waktu penyimpanan t k T = konstanta laju reaksi/penurunan mutu pada suhu T t = waktu penyimpanan (hari) Dengan membandingkan nilai R2-nya, dapat ditentukan orde reaksi yang paling sesuai (nilai R2 lebih tinggi). Kemudian melalui persamaan yang diperoleh, ditentukan nilai konstanta laju penurunan parameter mutu produk (k) pada masing-masing suhu penyimpanan. Dengan demikian, akan diperoleh nilai k pada 3 suhu yang berbeda. Nilai k pada suhu T tertentu ini merupakan selisih nilai mutu awal dan nilai mutu pada penyimpanan selama t yang dibagi dengan lama penyimpanan t.
c.
Penentuan Umur Simpan pada Suhu yang Diinginkan
Penghitungan umur simpan produk pada suhu tertentu selanjutnya dapat ditentukan dengan menghubungkan nilai k yang telah diperoleh dan nilai suhu yang diinginkan melalui pemplotan ln k dan 1/T pada kurva, sehingga dapat diketahui ekstrapolasi umur simpan produk pada tingkatan suhu lain dan besar energi aktivasinya. Selanjutnya umur simpan dapat ditentukan berdasarkan rumus sebagai berikut: Umur simpan ordo nol dapat dihitung dengan persamaan (2.3). t=
A0 − At k
(2.3)
Umur simpan ordo satu dapat dihitung dengan persamaan (2.4). t=
ln (A0) – ln (At) k
(2.4)
Keterangan: t = umur simpan (hari) A 0 = nilai mutu awal/konsentrasi awal A t = nilai mutu akhir/konsentrasi pada titik batas kadaluarsa (titik kritis) k = konstanta (laju reaksi) Ea = energi aktivasi T = suhu mutlak (K)
19
R
= konstanta gas (1.986 kal/mol K; 8.314 J/mol.K) Nilai k yang telah diperoleh kemudian dihubungkan dengan suhu menggunakan persamaan Arrhenius. Secara empiris, pengaruh suhu terhadap kecepatan reaksi dinyatakan sebagai persamaan (2.5). (2.5) k = k 0 e-(Ea/RT) Persamaan diatas dapat diubah menjadi persamaan (2.6). ln k = ln k 0 -
𝐸𝐸𝐸𝐸 1
𝑅𝑅 𝑇𝑇
(2.6)
Sehingga, melalui plot kurva antara ln k dan 1/T menghasilkan garis lurus yang dapat diketahui ekstrapolasi umur simpan produk pada tingkatan suhu lain dan energi aktivasinya sebesar slope dikali konstanta gas (1.986 kal/mol K atau 8.314 J/mol.K). Parameter mutu yang digunakan pada pendugaan umur simpan ini adalah bilangan TBA (thio barbituric acid), bilangan peroksida, KPAP (Kehilangan Padatan AKibat Pemasakan), skor warna, dan tekstur
3. Metode Analisis a.
Analisis Bilangan TBA (AOAC, 2002)
Pada analisis bilangan TBA, asam 2-thiobarbituriat akan bereaksi dengan malonaldehid membentuk warna merah, yang intensitasnya dapat diukur dengan spektrofotometer. Malonaldehid sebagai hasil oksidasi lipid mengindikasikan adanya ketengikan pada produk. Pengukurannya dapat dilakukan dengan menghancurkan mi instan subtitusi jagung sebanyak 10 gram ke dalam waring blender bersama 50 ml akuades selama 2 menit. Kemudian, pindahkan secara kuantitatif ke dalam labu destilasi sambil dicuci dengan 47.5 ml akuades. Atur pH menjadi 1.5 dengan menambahkan HCl 4M sebanyak 2.5 ml. Tambahkan batu didih dan pencegah buih secukupnya dan pasang labu destilasi pada alat destilasi. Destilasi dijalankan dengan pemanasan tinggi sehingga diperoleh 50 ml destilat selama 10 menit pemanasan. Aduk merata destilat yang diperoleh, pipet 5 ml destilat ke dalam tabung reaksi bertutup. Tambahkan 5 ml pereaksi TBA, tutup, campur merata lalu panaskan selama 35 menit dalam air mendidih. Selanjutnya buat larutan blanko dengan menggunakan 5 ml akuades dan 5 ml pereaksi, dan beri perlakuan seperti penetapan sampel. Dinginkan tabung reaksi dengan air pendingin, kemudian ukur absorbansinya pada panjang gelombang 528 nm dengan larutan blanko sebagai titik nol. Analisis bilangan TBA ini dilakukan selama sampling dalam penyimpanan, sehingga dapat mendukung hasil analisis sensori subyektif oleh panelis.
b.
Analisis Bilangan Peroksida (AOAC, 2002)
Penentuan bilangan peroksida dapat dilakukan dengan metode spektrofotometri atau metode titrimetri, tetapi yang dilakukan pada penelitian ini adalah metode titrimetri. Pada prinsipnya penentuan perosida dilakukan dengan mengukur sejumlah iod yang dibebaskan oleh KI melalui reaksi oksidasi oleh peroksida di dalam pelarut asam asetat/klorofoam. Iod yang berhasil dibebaskan ditentukan jumlahnya dengan menggunakan larutab Na 2 S 2 O 3 . Pengukurannya dilakukan dengan menimbang 5 gr contoh mi instan subtitusi jagung yang telah dihancurkan dengan waring blender ke dalam Erlenmeyer 250 ml dan ditambahkan 30
20
ml pelarut CH 3 COOH-CHCl 3 kemudian kocok. Setelah itu, tambahkan 0.5 ml KI ke dalam erlenmeyer dan tambahkan aquades sebanyak 30 ml. Titrasi contoh tersebut dengan Na 2 S 2 O 3 o.1 N sampai warna kuning hampir hilang lalu segera tambahkan 0.5 ml indikator larutan pati 1%. Lanjutkan titrasi sampai warna biru menghilang. Bilangan peroksida ditetapkan dengan rumus (2.7). Bilangan peroksida (BP) =
(𝑉𝑉𝑉𝑉−𝑉𝑉𝑉𝑉 )×𝑁𝑁 𝑊𝑊
x 1000
(2.7)
Keterangan: BP = bilangan peroksida (meq peroksida/kg contoh) Vs = volume Na 2 S 2 O 3 untuk titrasi contoh (ml) Vb = volume Na 2 S 2 O 3 untuk titrasi blangko (ml) N = konsentrasi Na 2 S 2 O 3 (N) W = berat contoh (gr)
c.
Analisis kehilangan padatan akibat pemasakan / cooking loss
Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) menggambarkan lolosnya bahan ke dalam air. Mi instan yang terbuat dari tepung terigu mempunyai KPAP senilai 2%. Makin tinggi subtitusi tepung terigu, maka cooking loss akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh keberadaan gluten yang menurun sehingga kemampuan untuk membentuk jaringan tiga dimensi yang dapat menghambat keluarnya isi granula menjadi berkurang (Bhattacaharya and Corke, 1996). Penentuan KPAP dilakukan dengan cara merebus 5 gram mi instan subtitusi jagung dalam air. Setelah mencapai waktu optimum perebusan, mi ditiriskan dan disiram air, kemudian ditiriskan kembali selama 5 menit. Mi tersebut kemudian ditimbang dan dikeringkan pada suhu 100 0C sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali. KPAP dihitung sesuai persamaan (1.9) KPAP = 1-
d.
𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑
𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 (1−𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 ℎ )
(1.9)
Analisis Warna dengan Chromameter
Sampel mi jagung instan ditempatkan dalam suatu wadah, kemudian dilakukan pengukuran intensitas warna dengan chromameter menghasilkan nilai L, a dan b. L menyatakan parameter kecerahan (0=hitam: 100=putih), warna kromatik campuran merah-hijau ditunjukkan oleh nilai a (a+ = 0-100 untuk warna merah; a- = 0-(-80) untuk warna hijau), sedangkan warna kromatik campuran biru-kuning ditunjukkan oleh nilai b (b+ = 0-70 untuk warna kuning; b- = 0-(70) untuk warna biru) (Taylor et al, 2008)
e.
Analisis Profil Tekstur-TA
Analisis profil tekstur dengan menggunakan Texture Analyzer dilakukan untuk mengkorelasikan tekstur keseluruhan produk yang dievaluasi oleh indera manusia dengan
21
instrumen. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan probe berbentuk silinder, dengan diameter 35 mm. Lakukan pengaturan kondisi pengukuran Texture Analyzer berdasarkan golongan contoh bahan yang diukur. Seuntai sampel mi yang telah direhidrasi dengan panjang melebihi diameter probe diletakkan di atas landasan, lalu ditekan oleh probe. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara gaya untuk mendeformasi dengan waktu. Nilai kekerasan ditunjukkan dengan absolute (+) peak dan nilai kelengketan ditunjukkan dengan absolute (-) peak, dengan satuan gram force (gf), kekenyalan diperoleh dari rasio antara dua area kompresi, dan elastisitas diperoleh dari pembagian antara jarak yang ditempuh oleh produk pada tekanan kedua dengan jarak yang ditempuh oleh produk pada tekanan yang pertama.
f.
Analisis Organoleptik
Penilaian sampel berdasarkan parameter organoleptik dilakukan oleh sejumlah panelis terlatih. Hal ini ditujukan untuk meminimalisir kesalahan penilaian yang biasa dilakukan oleh panelis tidak terlatih karena tidak terbiasa mendeteksi kerusakan atau penurunan mutu sekecil apapun yang terjadi pada produk mi instan subtitusi jagung. Penggunaan panelis terlatih ini, juga bertujuan agar penilaian sampel tersebut dapat mencerminkan kondisi sampel sebenarnya. Adapun skema rangkaian dari seleksi dan pelatihan untuk mendapatkan sejumlah panelis terlatih dapat dilihat pada Gambar 7.
Analisis Organoleptik - Uji Skoring/Rating
Panelis Terlatih
Pelatihan Calon Panelis Terlatih
Calon Panelis
Seleksi Panelis - Uji Deskriptif - Uji Segitiga
Panelis Gambar 7. Skema rangkaian seleksi dan pelatihan panelis terlatih
22
Pemilihan panelis merupakan hal yang kritis dalam uji sensori. Panelis yang potensial harus mempunyai ketersediaan waktu untuk mengikuti serangkaian pelatihan dan uji-uji organoleptik, mempunyai kondisi fisik yang sehat, mempunyai motivasi, serta indera sensorinya juga harus berfungsi secara normal. Seleksi panelis merupakan langkah awal yang dilakukan untuk memperoleh 10 orang panelis yang bersedia dilatih. Seleksi ini dilakukan terhadap sekitar 50 orang calon panelis yang kemudian diberikan serangkaian tes organoleptik sehingga diperoleh sebanyak 10 orang. Tahapan ini bertujuan mengetahui kepekaan sensori calon panelis. Pengujian yang dilakukan mencakup uji identifikasi terhadap rasa dan aroma dasar dan uji segitiga. Pada uji identifikasi baik rasa maupun aroma dilakukan dengan tujuan untuk melihat kemampuan panelis dalam mengenali dan mendeskripsikan rasa serta aroma dasar. Calon panelis diminta untuk menentukan lima rasa dasar dalam 5 larutan uji serta mendeskripsikan aroma dari flavor-flavor yang disajikan. Flavor uji yang akan disajikan kepada panelis meliputi contohcontoh flavor caramel, cis-3-hexenal, eugenol, kacang, rancid (tengik), acid, dan fruity, sedangkan untuk contoh uji rasa dasar, tingkatan konsentrasi yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 4. Selanjutnya, pada uji segitiga, calon panelis diminta untuk menilai atau mengidentifikasi satu sampel yang berbeda diantara ketiga sampel yang disajikan. Uji segitiga dilakukan dengan menggunakan beberapa set rasa maupun aroma dasar yang memiliki perbedaan konsentrasi serta dilakukan sebanyak 10 ulangan untuk melihat konsistensi panelis dalam memberikan jawaban. Konsentrasi larutan yang biasa digunakan pada uji segitiga rasa dasar dapat dilihat seperti pada Tabel 5. Tetapi, sehubungan dengan parameter-parameter organoleptik yang dibutuhkan untuk kepentingan penelitian, uji segitiga kali ini dilakukan untuk menguji atribut tekstur (kekerasan, kekenyalan, dan elastisitas) dan atribut aroma (bau tengik). Format kuesioner uji-uji dalam seleksi panelis ini dapat dilihat pada Lampiran 1.
Tabel 4. Konsentrasi larutan uji deskripsi rasa dasar Rasa dasar Konsentrasi Manis
Sukrosa 1 %
Asam
Asam sitrat 0.04 %
Asin
NaCl 0.2 %
Pahit
Kafein 0.05 %
Umami Sumber: Thomson (1986)
MSG 0.015 %
Calon panelis yang lolos seleksi menjadi kandidat panelis terlatih adalah panelis yang mampu mengidentifikasi 100% rasa dasar dan minimal 50% dari aroma dasar melalui metode deskripsi. Selain itu, panelis yang terpilih adalah panelis yang menjawab dengan benar 60% dari semua seri uji segitiga yang dilakukan. Setelah diperoleh kandidat 10 orang panelis terlatih, maka dilakukanlah serangkaian proses pelatihan dalam bentuk diskusi fokus grup (FGD). Menurut Meilgaard et al. (1999), proses pelatihan panelis terlatih membutuhkan waktu selama 40 hingga 120 jam. Semakin kompleks atribut yang diujikan, maka waktu pelatihan panelis yang dibutuhkan juga akan semakin lama. Pelatihan panelis terlatih bertujuan melatih dan meningkatkan kepekaan sensori panelis terhadap atribut rasa dan aroma, terutama yang terkait dengan kepentingan penelitian. Tahapan ini terdiri
23
dari pengenalan bahasa flavor, pengenalan skala, dan pelatihan penilaian suatu sampel tertentu (Stone dan Sidel, 2004).
Tabel 5. Konsentrasi larutan uji segitga rasa dasar Rasa
Konsentrasi Sukrosa 1 %
Manis
Sukrosa 2 % Asam sitrat 0.04 %
Asam
Asam sitrat 0.08 % NaCl 0.2 %
Asin
NaCl 0.4 % Kafein 0.05 %
Pahit Umami
Kafein 0.1 % MSG 0.015 % MSG 0.03 %
Sumber: Meilgaard et al. (1999)
Diskusi fokus grup (FGD) dapat dilakukan oleh panel leader bersama dengan para panelis terlatih untuk menentukan atribut mutu kritis yang menyebabkan produk mi instan subtitusi jagung menjadi tidak diterima. Selain itu, mereka diminta untuk menentukan atau mengidentifikasi produk yang diperkirakan sudah tidak dapat lagi diterima oleh konsumen. Identifikasi produk yang sudah tidak dapat diterima (produk kritis) pada tahap simulasi kerusakan, selanjutnya didiskusikan bersama panelis terlatih melalui tahap FGD ini. Penentuan produk kritis tersebut didasarkan pada terjadinya kesepakatan diantara panelis. Produk kritis yang sudah disepakati kemudian akan diberi penilaian secara subjektif untuk dijadikan batas skor nilai mutu yang ditolak atau biasa disebut dengan nilai kritis. Penilaian ini juga didasarkan atas kesepakatan bersama diantara panelis. Selain penilaian secara subjektif, produk tersebut juga diuji secara objektif sehingga akan diperoleh nilai kritis berdasarkan beberapa parameter objektif yang telah disebutkan di atas. Tidak berbeda dengan nilai kritis, penentuan nilai awal produk mi instan subtitusi jagung juga dilakukan melalui FGD. Para panelis diberikan sampel produk yang baru diproduksi dan mereka diminta untuk menilai mutu awalnya. Nilai awal untuk parameter subjektif ditentukan berdasarkan rata-rata penilaian dari nilai mutu yang diberikan oleh setiap panelis, sedangkan nilai awal untuk parameter objektif ditentukan dengan menganalisis langsung produk mi instan subtitusi jagung yang baru diproduksi tersebut. Setiap panelis diberikan latihan pada selang waktu tertentu secara berulang-ulang sampai diperoleh hasil evaluasi sensori yang konsisten serta kesepakatan mengenai istilah sensori tertentu. Latihan sensori ini meliputi pelatihan terhadap atribut-atibut kritis yang telah diidentifikasi pada tahap FGD, seperti rasa tengik, warna, dan tekstur mi instan subtitusi jagung setelah rehidrasi. Pada pelatihan atribut tengik, panelis akan diperkenalkan berbagai jenis tingkat ketengikan pada produk mi instan serupa ataupun produk lainnya. Parameter-parameter organoleptik diujikan kepada para panelis terlatih melalui uji rating atau yang biasa disebut dengan uji scoring. Pengujian atribut mutu produk oleh panelis terlatih akan dilakukan terhadap (1) rasa/bau tengik, (2) warna, dan (3) tekstur setelah rehidrasi, sesuai
24
dengan hasil kesepakatan dalam FGD. Uji skoring baik pada atribut mutu rasa/tengik maupun atribut warna dilakukan oleh panelis sebelum produk mi jagung instan direhidrasi. Pada atribut rasa/bau tengik, panelis diminta untuk mengunyah dan mendeteksi rasa/bau tengik/off flavor mi jagung instan yang disajikan dan memberikan nilai sesuai dengan kolom yang sudah tersedia. Untuk atribut warna, panelis diminta untuk mendeskripsikan perubahan warna mi instan subtitusi jagung sebelum rehidrasi selama penyimpanan. Berbeda halnya dengan kedua atribut diatas, atribut tekstur dilakukan terhadap produk mi instan subtitusi jagung baik sebelum maupun sesudah rehidrasi. Panelis yang telah mengevaluasi sensori seperti telah dijelaskan diatas, kemudian diminta untuk menilai/memberi skor masing-masing contoh uji pada tiap-tiap atribut selama sampling penyimpanan. Nilai mutu kritis yang ditolak pada uji rasa/bau tengik adalah 3, pada uji warna adalah 5, dan pada uji tekstur adalah 4. Format uji skoring secara jelas dapat dilihat seperti pada Lampiran 2.
25