III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Selat Lembeh Kota Bitung Provinsi Sulawesi Utara yang secara geografis berada pada posisi 0030’ – 000’ LU dan 12100’ – 12700’ BT. Lokasi penelitian dibatasi pada 17 kelurahan di Selat Lembeh, yang terbagi atas 2 kawasan yaitu Pulau Lembeh dan pesisir Bitung. Kawasan Pulau Lembeh meliputi 11 kelurahan, yaitu Kelurahan Lirang, Nusu, Kareko, Binuang, Pintu Kota, Batuwoka, Mawali, Papusungan, Batulubang, Paudean dan Pasir Panjang sedangkan kawasan pesisir Bitung meliputi 6 kelurahan, yaitu Kelurahan Kasawari, Makawidey, Tandurusa, Aertembaga, Manembo-nembo dan Tanjung Merah (Gambar 4). Pengambilan data primer dilakukan di dua kawasan yaitu Pulau Lembeh dan Pesisir Bitung. Penelitian ini dilaksanakan sejak April 2005 sampai dengan bulan Mei 2006. 3.2. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui survei lapangan, wawancara dengan menggunakan kuesioner terhadap stakeholders di Selat Lembeh dalam pemanfaatan terumbu karang. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur dari laporan-laporan dan dokumen-dokumen yang berasal dari berbagai instansi yang terkait dengan topik penelitian. Secara rinci jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.
32
Peta Lokasi Penelitian Gambar 4
33
Tabel 2. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian No. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 5.
Jenis Data Data primer Suhu, salinitas, pH, kecerahan, kedalaman, kecepatan arus, dan substrat DO, BOD5, COD, Ammonia, Fosfat dan Nitrat Kondisi terumbu karang Analisis multidimensi Data sekunder Kondisi perairan Kondisi terumbu karang Kondisi ikan karang Kondisi kependudukan, sosial ekonomi dan budaya Produksi perikanan karang
Sumber Data Insitu Laboratorium LIT (insitu) Responden (stakeholders) LIPI dan Mitra Pesisir LIPI dan Mitra Pesisir LIPI dan Mitra Pesisir BPS Kota Bitung, Bappeda Kota Bitung dan Mitra pesisir Dinas perikanan dan kelautan
3.3. Metode Analisis Data 3.3.1. Kondisi Terumbu Karang Pengukuran kondisi terumbu karang dilakukan terhadap karang hidup dan karang mati sesuai dengan kategori life form. Pengamatan terumbu karang menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) / garis menyinggung. Untuk penggunaan metode transek garis menyinggung, roll meter yang digunakan sepanjang 50 m dibentangkan sejajar garis pantai untuk kedalaman yang telah ditentukan. Hanya koloni karang keras dan tipe substrat lain serta biota yang menyinggung roll meter yang akan dimasukan sebagai data. Data yang di ambil adalah bentuk pertumbuhan (life form) tipe substrat dasar, genus karang dan tipe substrat di daerah yang diamati. Data hasil yang diambil dari metode ini adalah persen penutupan karang keras (% coverage of hard coral) dan tipe substrat dasar lainnya serta jenis dan jumlah genus karang keras (hard coral) yang ditemukan, menggunakan kategori menurut Gomes dan Yap (1998).
34
3.3.2. Analisis Karakteristik Lingkungan Perairan 1. Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) Untuk menggambarkan bagaimana karakteristik lingkungan perairan di masing-masing lokasi digunakan pendekatan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis/PCA). PCA merupakan metode statistik deskriptif yang bertujuan untuk merepresentasikan analisis dalam bentuk grafik hasil informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data tersebut terdiri dari lokasi pengamatan sebagai individu (baris) dan karakteristik lingkungan perairan sebagai variabel (kolom). Data parameter tersebut tidak mempunyai unit pengukuran dan ragam yang sama karena itu perlu untuk dinormalisasi melalui pemusatan dan pereduksian. Untuk menentukan hubungan antara kedua parameter digunakan pendekatan matriks korelasi yang dihitung dari indeks sintetik. Korelasi linear antara dua parameter yang dihitung dari indeks sintetiknya
adalah
ragam
dari
kedua
parameter
tersebut
yang
telah
dinormalisasikan (Legendre dan Legendre, 1998). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan XLSTAT Ver. 7.1. 2. Analisis Faktor Koresponden (Correspondence Analysis) Analisis hubungan antara karakteristik lingkungan perairan dengan persentase penutupan karang dilakukan dengan Analisis Faktor Koresponden (Correspondence Analysis) (Legendre dan legendre, 1983, dan Bengen 2000. 3.3.3. Analisis Peruntukan Kawasan Terumbu Karang Analisis peruntukan kawasan terumbu karang pada penelitian ini terdiri dari (1) potensi kawasan konservasi terumbu karang, dan (2) potensi pengembangan pariwisata bahari, Arifin, et al. (2002); Yulianda (2007). Penentuan peruntukan kawasan terumbu karang tersebut didasarkan melalui pendekatan analisis keruangan dengan Sistem Informasi Geografis, menggunakan software Arc View Ver. 3.2.
35
3.3.3.1. Potensi Kawasan Konservasi Terumbu Karang Parameter
yang
digunakan
dipilih
berdasarkan
faktor
pembatas
pertumbuhan karang. Adapun dasar penggunaan parameter tersebut adalah: 1. Persentase penutupan karang Terumbu karang merupakan ekosistem pesisir yang sangat produktif di perairan tropis. Beberapa hal yang menyebabkan tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang adalah keberadaan dinoflagelata alga (zooxanthellae) yang hidup bersimbiose di polyp (binatang) karang. Salah satu indikator kesehatan suatu perairan adalah keberadaan terumbu karang dengan tingkat persentase penutupan karang relatif tinggi. Kategori untuk mengukur persentase penutupan karang yang sering digunakan adalah mengacu pada : 024,9% maka tergolong sebagai kondisi buruk, 25-49,9% adalah sedang; 5074,9% baik; dan 75-100% adalah baik sekali (Gomes dan Yap, 1998). 2. Suhu Terumbu karang pada umunya terbatas pada suhu perairan antara 18-360C, nilai optimal antara 26-280C (Hubbard, 1990). Suharsono (1999) telah mencatat bahwa selama peristiwa pemutihan karang, suhu rata-rata permukaan air sekitar gugusan Pulau Pari Kepulauan Seribu adalah 2-30C di atas suhu normal. 3. Salinitas Salinitas air laut rata-rata di daerah tropis adalah sekitar 350/00, dan binatang karang hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34-360/00 (Kinsman, 2004). Daya tahan terhadap salinitas setiap jenis karang tidak sama. Kinsman (1994) mendapatkan bahwa Acropora dapat bertahan pada salinitas 400/00 hanya beberapa jam di West Indies, akan tetapi Porites dapat tahan dengan salinitas sampai 480/00. 4. Kecerahan dan kedalaman Berkaitan dengan pengaruh kecerahan terhadap pertumbuhan karang, maka faktor kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang. Pada perairan yang jernih memungkinkan penetrasi cahaya bisa sampai pada lapisan yang sangat dalam, sehingga binatang karang juga dapat hidup pada perairan yang
36
cukup dalam. Hasil penelitian Suharsono dan Yosephine (1994), menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara persentase tutupan karang hidup dengan kecerahan air di 27 pulau di Kepulauan Seribu. Semakin rendah transparasi air semakin kecil pula persentase tutupan karang hidup. 5. Kecepatan arus Pergerakan arus mempengaruhi struktur komunitas dan distribuís jenis karang pada suatu daerah (Jokiel dan Morrissey, 1993; McGehee, 1997). Secara keseluruhan kondisi terumbu karang di daerah yang terbuka, presentase tutupan karangnya relatif rendah. Arus yang kuat berkorelasi dengan meningkatnya perpindahan pecahan-pecahan karang yang mengganggu terjadinya proses pemulihan. 6. Substrat perairan Secara biogeografi, susbstrat merupakan hal penting dalam membatasi diversitas
spesies
karang
disamping
parameter
lingkungan
lainnya.
Ketersediaan substrat Sangat berperan penting dalam pembangunan terumbu karang. Sebagian besar pola geografi di lautan India ditentukan oleh kedalaman laut disebelah selatannya dan kekeruhan air yang berasal dari daratan benua Asia di sébelah utaranya. Hal yang sama diperlihatkan oleh adanya penipisan diversitas karang di wilayah pasifik timur yang secara primer merupakan pengaruh dari substrat. Hasil penelitian Fox (2004) melaporkan bahwa substrat alami dari batu (rock) menghasilkan kelimpahan rekrut karang yang signifikan setelah beberapa bulan penempatan.
Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi terumbu karang disajikan pada tabel berikut.
37
Tabel 3. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi terumbu karang No.
Parameter
Kriteria
Skor
1.
Penutupan karang (0/0)(2)
> 75 50 – 74,9 25 – 49,9 ≤ 24,9
4 3 2 1
26 – 29 23 – < 26 20 – < 23 < 20 dan >29
4 3 2 1
31 – 35 28 – < 31 > 35 < 28
4 3 2 1
80 – 100 60 - < 80 40 – < 60 < 40
4 3 2 1
10 – 15 5 – < 10 1–< 5 < 1 dan > 15
4 3 2 1
0 – 0,17 0,17 – 0,34 0,34 – 0,51 > 0,51
4 3 2 1
Pasir kasar/berbatu Pasir halus Pasir & sedimen Sedimen
4 3 2 1
2.
3.
4.
5.
6.
7.
0
Suhu ( C)
0
(1)
Salinitas ( /00)
(1)
(1)
Kecerahan (%)
(1)
Kedalaman (m)
Kecepatan arus (m/det)(1)
(3)
Substrat perairan
Kelas Kesesuaian
Bobot
Nilai
10
40 30 20 10
2
8 6 4 2
Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Bersyarat Tdk Sesuai Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Bersyarat Tdk Sesuai
2
8 6 4 2
Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Bersyarat Tdk Sesuai
2
8 6 4 2
Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Bersyarat Tdk Sesuai
2
8 6 4 2
Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Bersyarat Tdk Sesuai
2
8 6 4 2
Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Bersyarat Tdk Sesuai
2
8 6 4 2
Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Bersyarat Tdk Sesuai
Sumber: 1) Nybakken 1988, 2) Gomez dan Yap 1988, 3) Sukarno et al., 1981
Berdasarkan sistem penilaian diatas, maka kawasan yang ada termasuk ke dalam kategori-kategori tersebut bila berada pada kisaran nilai: S1 (Sangat sesuai)
= 77 - 88
; S3 (Sesuai bersyarat)
= 33 – < 55
S2 (Sesuai)
= 55 – < 77
; N (Tidak sesuai)
= < 25
3.3.3.2. Potensi Pengembangan Pariwisata Bahari Adapun syarat-syarat yang diperlukan untuk kegiatan pariwisata bahari, khususnya diving antara lain: (1) persentase penutupan karang (2) kecerahan perairan, (3) kecepatan arus, (4) kedalaman terumbu karang, (5) jenis life form, dan (6) jenis ikan karang. Adapun dasar penetapan parameter tersebut adalah sebagai berikut:
38
1. Kecerahan perairan Perairan yang cerah merupakan syarat utama yang harus dipenuhi dalam kegiatan wisata diving, dimana semakin cerah suatu perairan keindahan taman laut yang dapat dinikmati wisatawan juga semakin tinggi. Daerah dengan nilai kecerahan 80 – 100% adalah merupakan lokasi yang paling sesuai untuk wisata diving. Kawasan terumbu karang dengan kecerahan 20 – 50% masih dianggap layak untuk kegiatan wisata diving. Kawasan terumbu karang dengan nilai kecerahan yang kurang dari 20% dianggap tidak sesuai. 2. Kecepatan arus Kecepatan arus berkaitan dengan keamanan para wisatawan dalam melakukan aktivitasnya. Dengan demikian kecepatan arus yang relatif lemah merupakan syarat ideal untuk wisata diving. Arus yang kuat dapat membayakan keselamatan penyelam, kecepatan arus yang terbaik untuk keperluan diving adalah 0 – 0,17 (Arifin et al., 2001). 3. Kedalaman terumbu karang Kedalaman perairan menentukan pertumbuhan karang. Supriharyono (2000), menyatakan
bahwa
pengaruh
kedalaman
berhubungan
dengan
faktor
lingkungan, seperti cahaya, pergerakan air, dan bahkan di beberapa tempat lainnya dengan suhu dan salinitas. Secara umum kedalaman yang masih layak untuk pertumbuhan karang adalah berkisar antara 10 – 15 meter. 4. Persentase penutupan karang, Jenis life form dan Jenis ikan karang Potensi karang yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pariwisata bahari, khususnya wisata selam terdiri karang keras, karang lunak, dan biota lain yang berasosiasi dengan karang. Komunitas-komunitas ini mempunyai nilai daya tarik wisatawan karena memiliki variasi morfologi dan warna yang menarik. Parameter karang yang digunakan untuk kesesuaian wisata selam adalah persentase penutupan karang dan jenis life form. Tingginya persentase penutupan karang dan semakin banyak jenis life form serta ikan karang, merupakan faktor penentu suatu kawasan terumbu karang sebagai lokasi wisata diving.
39
Berdasarkan parameter tersebut disusun matriks kesesuaian. Kelas-kelas kesesuaian pada matriks tersebut menggambarkan tingkat kecocokan dari suatu bidang untuk penggunaan tertentu. Dalam penelitian ini, kelas kesesuaian dibagi kedalam empat kelas, yang didefinisikan sebagai berikut: Kelas S1: Sangat sesuai (highly suitable) Daerah ini tidak mempunyai pembatas (penghambat) yang serius untuk menetapkan perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas (penghambat) yang tidak berarti atau berpengaruh secara nyata terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikkan masukan/tingkatan perlakuan yang diberikan. Kelas S2: Sesuai (Moderately suitable) Daerah ini mempunyai pembatas (penghambat) yang agak serius untuk mempertahankan
tingkat
perlakuan
yang
harus
ditetapkan.
Pembatas
(penghambat) ini akan meningkatkan masukan/tingkatan perlakuan yang diperlukan.
Kelas S3: Sesuai Bersyarat (Marginally suitable) Daerah ini mempunyai pembatas yang serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus ditetapkan. Pembatas (penghambat) ini akan lebih meningkatkan masukan/tingkatan perlakuan yang diperlukan. Kelas N: Tidak Sesuai (Not suitable) Daerah ini mempunyai pembatas (penghambat) permanen, sehingga mencegah segala kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut. Selanjutnya adalah menyusun matriks kesesuaian untuk peruntukan wisata bahari (diving) berdasarkan kondisi terumbu karang.
40
Tabel 4. Matriks kesesuaian lahan untuk pengembangan pariwisata bahari
No
Parameter
S1 (Sangat sesuai)
S2 ( sesuai)
S3 (Sesuai marginal)
N (Tidak sesuai)
1
Penutupan karang (%)
75 - 100
50 – 74,9
25 – 49,9
0,0 – 24,9
2
Kecerahan (m)
> 80%
50 – 80%
20 – <50%
< 20%
3
Kec. arus (m/det.)
0 – 0,17
>0,17 – 0,34
0,34 – 0,51
> 0,51
4
Kedalaman terumbu karang (m)
>10 - 15
>5 – < 10
>15 - 20
> 20 <5
5
Jenis life form
> 12
> 7 - 12
4-7
<4
6
Jenis ikan karang
> 100
50 - 100
20 - < 50
< 20
Sumber: Arifin et al., 2002; Modifikasi Yulianda, 2007
Tabel 5. Sistem penilaian potensi kawasan untuk pengembangan pariwisata bahari No
Parameter
Bobot
S1
Skor
S2
Skor
S3
Skor
N
Skor
1
Penutupan karang (%)
15
75 - 100
20
50 – 74,9
15
25 – 49,9
10
0,0 – 24,9
5
2
Kecerahan (m)
5
> 80%
8
50 – 80%
5
20 – <50%
2
< 20%
1
3
Kecepatan arus (m/det.)
10
0 – 0,17
15
0,17–0,34
10
0,34 – 0,51
5
> 0,51
1
4
Kedalaman (m)
5
>10 - 15
10
5 - < 10
7
>15 – 20
4
5
Jenis life form
10
> 12
15
< 7 - 12
10
4-7
5
<4
1
6
Jenis ikan karang
10
> 100
15
50 - 100
10
20 - < 50
5
< 20
1
TOTAL
S1 =
S2 =
S3 =
> 20 <5
N=
Sumber: Arifin et al., 2001; Modifikasi Yulianda, 2007 Berdasarkan sistem penilaian diatas, maka kawasan yang ada termasuk ke dalam kategori tersebut bila berada pada kisaran : S1 (Sangat sesuai)
= 713 – 840
; S3 (Sesuai bersyarat) = 245 – < 458
S2 (Sesuai)
= 458 – < 713 ; N (Tidak sesuai)
= < 245
1
41
3.3.4. Analisis Akuntabilitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang 3.3.4.1. Analisis akuntabilitas Penilaian akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang berdasarkan atas hasil analisis pada dimensi ekologi, teknologi, sosial ekonomi dan kelembagaan. Nilai indeks pada setiap dimensi tersebut mencerminkan akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang di daerah studi, dengan menggunakan reference dari bad (buruk) sampai good (baik) dalam selang 0 – 100. Selang indeks tersebut yaitu selang ≤ 24,9 dalam status buruk, selang 25 – 49,9 dalam status kurang, selang 50 – 74,9 dalam status cukup, dan selang > 75 dalam status baik (modifikasi Kruskal dalam Jhonson dan Wichern, 1992). Tabel 6 menyajikan atribut-atribut dan skor yang digunakan untuk menilai akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh. Atribut-atribut tersebut diperoleh berdasarkan pengamatan lapangan, studi literatur dan para peneliti terdahulu serta sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan secara berkelanjutan. Tabel 6. Dimensi dan atribut penilaian akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang No.
Atribut
1
Persentase penutupan karang
2
Keanekaragaman ikan karang
Atribut dan Dimensi Ekologi Skor Baik Buruk
Keterangan
0; 1; 2; 3; 4
4
0
0-10% (0); 11-30% (1); 31-50% (2); 51-75% (3); 76-100% : Modifikasi dari (Gomez dan Yap, 1988)
0; 1; 2
2
0
Kecil (0), sedang (1), Tinggi (2)
3
Kecepatan arus
0; 1; 2; 3
0
3
0-0,17 m/det (0); 0,17-0,34 m/det (1); 0,34-0,51 m/det (2); > 0,51 m/det (3) (Nybakken, 1988)
4
Substrat perairan
0; 1; 2; 3
0
3
Pasir kasar (0); Pasir halus (1); pasir & sedimen (2) sedimen (3) (Sukarno et al., 1981)
3
23-250C (0); 19-220C (1); 26350C (2); < 190C dan > 350C (3) (Nybakken, 1988)
3
32-350/00 (0); 28-310/00 (1); > 36 (2) 0/00; < 270/00 (3) (Nybakken, 1988)
5
6
Suhu
Salinitas
0; 1; 2; 3
0; 1; 2; 3
0
0
42
7
Kecerahan
0; 1; 2; 3
0
3
15-20 (0); 10-15 (1); 5-10 (2); < 5 (3) (Nybakken, 1988)
8
Kedalaman
0; 1; 2; 3
0
3
20-30 m (0); 10-19,9 m(1); 19,9 m (2); < 1 m (3) (Nybakken, 1988)
9
Memiliki spesies endemik
0; 1
1
0
Tidak ada (0); Ada (1),
10
Sedimentasi
0; 1; 2
2
0
Tinggi (0), sedang (1), rendah (2)
11
Jumlah sungai
0; 1; 2
2
0
5 - 8 DAS (0); 2 - 5 DAS (1); 0 - 2 DAS(2)
12
Kondisi perairan
0; 1
1
0
> Baku mutu (0); < Baku mutu (1) (KEPMEN KLH No. 51 Tahun 2004).
13
Tingkat eksploitasi ikan karang
0; 1; 2; 3
0
3
Kurang (0); Tinggi (1); Lebih tangkap (2); collapsed (3) ( FAO dan Rapfish)
No.
Atribut
Atribut dan Dimensi Teknologi Skor Baik Buruk
Keterangan
1
Jenis alat tangkap
0; 1; 2
0
2
Mayoritas pasif (0); seimbang (1); mayoritas aktif (2): (Rapfish)
2
Selektivitas alat tangkap
0; 1; 2
2
0
Kurang selektif (0); agak selektif (1); sangat selektif (2)
3
Ketersediaan alur pelayaran
0; 1
1
0
Tidak ada (0) ; Ada (1)
4
Tipe kapal
0; 1; 2
0
2
1-5 GT (0); 5-10 GT (1); > 10 (2)
5
Teknologi penanganan pasca panen
0; 1; 2
2
0
Tidak ada (0); sedikit (1); cukup lengkap (2): (Rapfish)
No.
Atribut
1
Jumlah lokasi potensi konflik pemanfaatan
2
Tingkat pendidikan
3
Pengetahuan lingkungan
4
Memiliki nilai sejarah, seni dan budaya
5
Memiliki nilai estetika
Atribut dan Dimensi Sosial Ekonomi Skor Baik Buruk 0; 1; 2
0
2
Keterangan Tidak ada (0); sedikit (1); banyak (2) (Nikijuluw, 2002)
0; 1; 2; 3
3
0
Tidak tamat SD (0); tamat SDSMP (1); tamat SMA (2); S0-S1 (3)
0; 1; 2
2
0
Sangat minim (0); cukup (1); banyak (2)
0; 1
1
0
Tidak ada (0); Ada (1),
0; 1; 2
0
2
Tinggi (0), sedang (1), rendah (2)
43
6
Ketergantungan pada perikanan sebagai sumber nafkah
0; 1; 2
2
0
Sangat tergantung (0); sedikit (1); tidak tergantung (2) (Nikijuluw, 2002)
7
Ketergantungan pada pariwisata bahari sebagai sumber nafkah
0; 1; 2
2
0
Sangat tergantung (0); sedikit (1); tidak tergantung (2)
8
Waktu yg digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang
0; 1; 2; 3
0
3
Hobi (0); paruh waktu (1); musiman (2); penuh waktu (3): (Rapfish)
9
Memiliki ekosistem untuk pend. & penelit
0; 1
1
0
Tidak ada (0); Ada (1)
10
Pemandu wisata
0; 1
1
0
Tidak ada (0); ada (1)
11
Tempat sewa scuba
0; 1
1
0
Tidak ada (0); ada (1)
12
Wisatawan lokal
0; 1; 2
2
0
Tidak ada (0) Sedikit (1); Banyak (2);
13
Wisatawan mancanegara
0; 1; 2
2
0
Tidak ada (0) Sedikit (1); Banyak (2)
14
Jumlah objek wisata
0; 1; 2
2
0
Tidak ada (0) Sedikit (1); Banyak (2)
15
Lama tinggal wisatawan
0; 1
1
0
Singkat (0); Lama (1)
4
Sangat menguntungkan (0); menguntungkan (1); break even (2); rugi (3); sangat merugikan (4): (Rapfish)
16
Keuntungan (profit)
0; 1; 2; 3; 4
0
17
Transfer keuntungan
0; 1; 2
0
2
Lokal (0); seimbang antara orang lokal dengan orang luar (1); keuntungan lebih banyak ke orang luar daerah (2): (Rapfish)
18
Zonasi peruntukan lahan
0; 1; 2
2
0
Tidak ada (0); ada tapi dilanggar (1); ada dan ditaati (2) (Nikijuluw, 2002)
No.
Atribut
Atribut dan Dimensi Kelembagaan Skor Baik Buruk
Keterangan
1
Ketersediaan peraturan pengelolaan SDY secara formal
0; 1
1
0
Tidak ada (0); Ada (1)
2
Pemegang kepentingan utama
0; 1; 2
0
2
Nelayan (0); pemerintah (1); swasta (2) (Nikijuluw, 2002)
3
Tingkat kepatuhan masyarakat
0; 1; 2
2
0
Tidak patuh (0); sedang (1) Patuh (2) (Nikijuluw, 2002)
4
Pelaksanaan pemantauan, pengawasan dan pengendalian
0; 1; 2
2
0
Tidak ada (0) kadang-kadang (1) Ada (2) (Nikijuluw, 2002)
44
5
Tokoh panutan
0; 1; 2
2
0
Tidak ada (0); sedikit (1); banyak (2) (Nikijuluw, 2002)
6
Penyuluhan hukum lingkungan
0; 1; 2
2
0
Tidak pernah (0); jarang (1); sering (2) (Nikijuluw, 2002)
7
Koperasi
0; 1
1
0
Tidak ada (0); Ada (1)
8
Tradisi/budaya
0; 1
1
0
Tidak ada (0); Ada (1)
9
Forum Konservasi
0; 1
1
0
Tidak ada (0); Ada (1)
Analisis akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang dilakukan dengan
pendekatan
Rap-Insus-COREMAG
(Rapid
Appraisal
Index
of
Sustainability for Coral Reef Management). Pada prinsipnya pendekatan RapInsus-COREMAG adalah penerapan Rapfish. Ada beberapa tahapan yang dilakukan dengan pendekatan ini, yaitu seperti pada Gambar 5.
Penentuan Atribut
Penilaian Atribut
Ekologi Teknologi Sosial Ekonomi Kelembagaan Analisis Ordinasi Berbasis MDS
Penyusunan Indeks Akuntabilitas Gambar 5. Tahapan analisis Rap-Insus-COREMAG Untuk setiap atribut pada masing-masing dimensi diberikan skor yang mencerminkan kondisi akuntabilitas dari dimensi yang dikaji. Rentang skor ditentukan berdasarkan kriteria yang dapat ditemukan dari hasil pengamatan lapangan dan analisis data sekunder. Rentang skor berkisar 0 – 4, tergantung pada keadaan masing-masing atribut, yang diartikan mulai dari buruk sampai baik. Nilai buruk mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan bagi pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan. Sebaliknya nilai baik mencerminkan kondisi paling menguntungkan.
45
Selanjutnya nilai skor dari masing-masing atribut dianalisis secara multidimensi untuk menentukan posisi akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik ’baik (good) dan titik ”buruk (bad). Untuk memudahkan visualisasi digunakan analisis ordinasi. Proses ordinasi Rap-Insus-COREMAG menggunakan software Rapfish (Kavanagh, 2001). Proses algoritma Rap-Insus-COREMAG juga pada dasarnya mengikuti proses algoritma Rapfish. Dalam implementasinya, Rapfish menggunakan teknik yang disebut Multi Dimensional Scaling (MDS). Analisis Multi Dimensional Scaling digunakan untuk mempresentasikan similaritas/disimilaritas antar pasangan individu dan karakter/variabel (Young, 2001-URL). Sickle, 1997 menyatakan bahwa MDS dapat mempresentasikan metode ordinasi secara efektif. Objek atau titik yang diamati dipetakan kedalam ruang dua atau tiga dimensi, sehingga objek atau titik tersebut diupayakan sedekat mungkin terhadap titik asal. Dengan kata lain, dua titik atau objek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan satu sama lain. Sebaliknya objek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titiktitik yang berjauhan (Fauzi dan Anna, 2005). Alder et al, 2001 menyatakan bahwa teknik ordinasi dengan mengkonfigurasikan jarak antar titik dalam t-dimensi yang mengacu pada jarak Euclidean antar titik.
Dalam ruang dua dimensi jarak
Euclidean dirumuskan sebagai berikut : d=
2
x1 − x2 + y1 − y2
2
………………………………………………(1)
Sedangkan dalam n-dimensi jarak Euclidean dirumuskan sebagai berikut : d=
2
2
2
x1 − x2 + y1 − y2 + z1 − z2 + ...) …………………………….(2)
Dalam menilai indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang, masing-masing kategori yang terdiri dari beberapa attribut di skor. Skor secara umum di rangking antara 0 sampai 4. Hasil skor dimasukkan ke dalam tabel matrik dengan I baris yang mempresentasikan kategri pengelolaan kawasan terumbu karang dan J kolom yang mempresentasikan skor atribut. Data dalam matrik adalah data interval yang menunjukkan skoring baik dan buruk. Skor data tersebut kemudian dinormalkan untuk meminimalkan stress
46
(Davison dan Skay, 1991). Salah satu pendekatan untuk menormalkan data adalah dengan nilai Z (Alder et al 2001) :
Z = ( x − µ ) / σ ………………………………………………...(3) Kruskal dalam Jhonson dan Wichern, 1992 mengajukan sebuah ukuran luas secara geometri yang mempresentasikan kecocokan . Ukuran tersebut diistilahkan dengan stres. Stres didefinisikan sebagai :
(
⎧ ∑∑ d ( q ) − d ( q ) ik ik ⎪ Stres (q ) = ⎨ i < k (q) 2 ⎪ ∑∑ d ik ⎩ i
[ ]
) ⎫⎪ 2
1/ 2
……………………………………...(4)
⎬ ⎪ ⎭
Software Rapfish merupakan pengembangan MDS yang terdapat dalam software SPSS, untuk proses rotasi (fliping), dan beberapa analisis sensitivitas yang telah dipadukan menjadi satu software. Melalui MDS ini, posisi titik akuntabilitas tersebut dapat divisualisasikan dalam dua dimensi (sumbu horizontal dan vertikal). Untuk memproyeksikan titik-titik tersebut pada garis mendatar dilakukan proses rotasi, dengan titik ekstrim ”buruk” yang diberi nilai skor 0% dan titik ekstrim yang ”baik” diberi nilai skor 100%. Posisi status akuntabilitas yang dikaji akan berada diantara dua titik ekstrim tersebut. Nilai ini merupakan indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh saat ini. Jika analisis dimensi ini telah dilakukan maka analisis perbandingan akuntabilitas antar dimensi dapat dilakukan dan divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram), seperti pada Gambar 6 berikut: Ekologi 6 4 2 Kelembagaan
0
Teknologi
Sosial Ekonomi
Ilustrasi Diagram Layang
Gambar 6. Ilustrasi akuntabilitas dari setiap dimensi
47
Skala indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang mempunyai selang 0% – 100%. Jika sistem yang dikaji mempunyai indeks > 50% maka sistem tersebut dikategorikan akuntabel, dan sebaliknya jika nilainya < 50%, maka sistem tersebut dikategorikan belum akuntabel. Dalam studi ini disusun empat kategori status akuntabilitas berdasarkan skala dasar (0 - 100) seperti disajikan pada Tabel 7. Tabel 7.
Kategori status akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-Insus-COREMAG (modifikasi Kruskal dalam Jhonson dan Wichern, 1992) Stress/Indeks
Kategori
≤ 24, 9
Buruk
25 – 49,9
Kurang
50 – 74,9
Cukup
> 75
Baik
Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat atribut mana yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap Insus-COREMAG di lokasi studi. Pengaruh setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan root mean square (RMS) ordinasi, khususnya pada sumbu-x atau skala accountability. Semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya suatu atribut tertentu maka semakin besar pula peranan atribut tersebut didalam pembentukan nilai Insus-COREMAG pada skala akuntabilitas, atau semakin sensitif atribut tersebut dalam pengelolaan kawasan terumbu karang. Untuk mengevaluasi pengaruh galat (error) acak pada proses untuk menduga nilai ordinasi pengelolaan kawasan terumbu karang digunakan analisis Monte
Carlo.
Secara
lengkap,
tahapan
analisis
Rap-Insus-COREMAG
menggunakan metode MDS dengan aplikasi Rapfish disajikan pada Gambar 7.
48
Mulai
Review Attribut
Identifikasi & Definisi
(termasuk variasi kategori dan konfirmasi kriteria skoring)
(berdasarkan kriteria yang konsisten)
Skoring (membangun referent point untuk baik dan buruk terhadap masing-masing indikator kinerja)
Multi Dimensional Scaling Ordination Simulasi Monte Carlo
Leverage Analysis
(untuk mengetahui ketidakpastian analisis)
(untuk mengetahui anomali dari atribut yang dianalisis)
Penilaian Akuntabilitas
Gambar 7. Proses analisis Rap-Insus-COREMAG dengan pendekatan MDS 3.3.4.2. Analisis Sistem Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang
Analisis sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang dibangun dan dikembangkan berdasarkan nilai sensitivitas setiap atribut dan nilai koefisien dari setiap dimensi, yakni dimensi ekologi, teknologi, sosial ekonomi, dan kelembagaan. Konsep dasar sistem ini mengacu pada efek berantai (Cyclic effect) dimana dengan terjadinya perubahan nilai indeks akuntabilitas, maka akan mempengaruhi sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang. Perumusan skenario dikembangkan dengan menggunakan perangkat lunak Stella versi 8.0.