28
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa deret waktu (time series) dengan periode waktu dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2008. Jenis data meliputi data luas lahan perkebunan karet, produksi karet alam Indonesia, nilai ekspor karet remah Indonesia, nilai ekspor total karet alam Indonesia, luas lahan perkebunan karet, produksi karet remah, jumlah perusahaan karet remah Indonesia dan data nilai tukar. Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), International Rubber Study Group (IRSG), Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (GAPKINDO), Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Perdagangan, UnComtrade dan studi literatur dari berbagai sumber yang berhubungan dengan industri karet remah. 3.2. Metode Analisis Data Analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui tingkat daya saing karet remah (crumb rubber) Indonesia. Metode yang digunakan dalam analisis kuantitatif ini adalah RCA (Revealed Comparative Advantage). Untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi daya saing komoditi karet remah Indonesia, digunakan metode regresi linear berganda yaitu analisis Ordinary Least Square (OLS). Pengestimasian metode dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Software Minitab 14. Sedangkan analisis deskriptif kualitatif untuk menjelaskan pengkajian potensi, kendala, dan peluang yang dalam hal ini adalah
29
faktor-faktor yang memengaruhi keunggulan kompetitif komoditi karet remah Indonesia akan dianalisis dengan pendekatan Porter’s Diamond Theory. 3.2.1. Metode Porter’s Diamond Analisis daya saing terkait dengan keunggulan kompetitif pada penelitian ini akan dibahas dengan menggunakan metode Porter’s Diamond Theory. Komponen yang dianalisis dalam Porter’s Diamond Theory antara lain kondisi faktor, faktor permintaan, faktor industri terkait dan industri pendukung, dan strategi perusahaan, struktur dan persaingan (Gambar 3.1). Selain keempat komponen yang saling berinteraksi diatas, terdapat dua komponen yang memengaruhi keempat komponen tersebut yaitu faktor pemerintah dan faktor kesempatan. Berdasarkan hasil analisis Porter’s Diamond dapat dilihat faktor yang menjadi unggulan dan kelemahan industri karet remah, sehingga kita dapat melihat potensi serta kendala pada industri karet remah nasional.
Sumber : Porter, 1990
Gambar 3.1 Porter’s Diamond Theory Dalam penelitian ini beberapa faktor dalam metode Porter’s Diamond yang dapat dikuantitatifkan digunakan sebagai variabel dalam uji regresi linear berganda
30
untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap daya saing karet remah Indonesia. 3.2.2. Metode Revealed Comparative Adventage (RCA) Untuk mengetahui daya saing komoditi karet remah Indonesia dalam penelitian ini digunakan analisis Revealed Comparative Adventage (RCA). Metode Revealed Comparative Adventage (RCA) didasarkan pada suatu konsep bahwa
perdagangan
antarwilayah
sebenarnya
menunjukkan
keunggulan
komparatif yang dimiliki suatu wilayah. Variabel yang diukur adalah kinerja ekspor suatu produk/komoditi terhadap total ekspor suatu wilayah yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai produk dalam perdagangan dunia. Analisis keunggulan komparatif RCA diperkenalkan pertama kali oleh Bela Balassa pada tahun 1965 dalam penelitiannya mengenai pengaruh liberalisasi perdagangan luar negeri terhadap keunggulan komparatif hasil industri Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara yang tergabung dalam pasar bersama Eropa (MEE) serta pada tahun 1977 untuk negara yang sama ditambah Kanada dan Swedia. Pada mulanya Balassa menggunakan dua konsep pemikiran, pertama didasarkan pada rasio impor dan ekspor, dan kedua pada prestasi ekspor relatif. Dengan alasan bahwa impor lebih peka terhadap tingkat perlindungan tarif, dan pada perkembangan selanjutnya Balassa mengevaluasi prestasi ekspor masingmasing komoditi di negara-negara tertentu dengan membandingkan bagian relatif ekspor suatu negara dalam ekspor dunia untuk masing-masing dalam rumus sebagai berikut :
31
RCAt
=
Pt/Qt Rt/St
Dimana : RCAt = keunggulan komparatif karet remah Indonesia tahun ke-t Pt
= nilai ekspor karet remah Indonesia tahun ke-t
Qt
= nilai ekspor total Indonesia tahun ke-t
Rt
= nilai ekspor karet remah di dunia tahun ke-t
St
= nilai ekspor total produk dunia tahun ke-t
t
= tahun 1993,…, 2008 Nilai RCA lebih dari satu (RCA>1), menunjukkan bahwa Indonesia lebih
berspesialisasi produksi di kelompok komoditi karet remah. Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada komoditi karet remah. Semakin besar nilai RCA, maka keunggulan komparatif yang dimiliki komoditi tersebut akan semakin kuat. Jika nilai RCA kurang dari satu (RCA<1), maka sebaliknya Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif pada komoditi karet remah. Indeks RCA merupakan perbandingan antara nilai RCA sekarang dengan nilai RCA tahun sebelumnya. Rumus indeks RCA adalah sebagai berikut : Indeks RCA
= RCAt/RCAt-1
Dimana : Indeks RCAt
= kinerja ekspor karet remah Indonesia periode ke-t
RCAt
= nilai RCA tahun sekarang (t)
RCAt-1
= nilai RCA tahun sebelumnya (t-1)
t
= tahun 1993,…,2008
32
Nilai indeks RCA berkisar antara nol sampai tidak hingga. Nilai indeks RCA sama dengan satu berarti tidak terjadi kenaikan RCA atau kinerja ekspor karet remah Indonesia di pasar dunia tidak berubah dari tahun sebelumnya. Jika nilai indeks RCA kurang dari satu berarti terjadi penurunan kinerja ekspor karet remah. Sedangkan jika nilai indeks RCA lebih dari satu maka kinerja ekspor karet remah Indonesia lebih tinggi dari tahun sebelumnya. 3.2.3. Metode Ordinary Least Square (OLS) Metode analisis yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi daya saing karet remah Indonesia adalah regresi linear berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS) atau metode kuadrat terkecil biasa. Analisis regresi berkenaan dengan studi ketergantungan dari satu peubah tidak bebas pada satu atau lebih peubah bebas dengan tujuan untuk memperkirakan atau meramalkan nilai rata-rata dari peubah tidak bebas apabila nilai peubah bebas sudah diketahui (Gujarati, 1999). Metode OLS diperkenalkan oleh seorang ahli matematika berkebangsaan Jerman yang bernama Carl Frederich Gauss. Dengan asumsi-asumsi tertentu, metode OLS mempunyai beberapa sifat statistik yang sangat menarik yang membuatnya menjadi suatu metode analisis regresi yang paling kuat (powerfull) dan populer (Gujarati,1978). Menurut Koutsoyianis (1977), terdapat beberapa kelebihan metode Ordinary Least Square (OLS) seperti berikut : 1. Hasil estimasi parameter yang diperoleh dengan metode OLS memiliki beberapa kondisi optimal yang bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimated).
33
2. Tata cara pengolahan data dengan metode Ordinary Least Square (OLS) relatif lebih mudah dibandingkan dengan metode ekonometrika yang lain, serta tidak membutuhkan data yang terlalu banyak. 3. Metode Ordinary Least Square (OLS) telah banyak digunakan dalam penelitian ekonomi dengan berbagai macam hubungan antar variabel dengan hasil yang memuaskan. 4. Mekanisme pengolahan data dengan metode Ordinary Least Square (OLS) mudah dipahami. 5. Metode Ordinary Least Square (OLS) juga merupakan bagian dari kebanyakan metode ekonometrika yang lain meskipun dengan penyesuaian di beberapa bagian. Syarat untuk menggunakan metode OLS menurut Gauss Markov (1821) adalah penduga koefisien regresi harus bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimated), bila persyaratan tersebut dipenuhi maka metode OLS dapat memberikan penduga koefisien regresi yang baik. Akan tetapi, sifat tersebut di dasarkan pada berbagai asumsi yang tidak boleh dilanggar agar penduga tetap bersifat BLUE. Teorema tersebut dikenal dengan sebutan Teorema Gauss Markov. Asumsi-asumsi atau persyaratan yang melandasi estimasi koefisien regresi dengan metode OLS berdasarkan teori Gauss-Markov sebagai berikut : 1. E (µ i) = 0 atau E(µ i/Xi) = 0 atau E(Yi) = β1+ β2Xi µ i menyatidakan variabel-variabel lain yang memengaruhi Yi akan tetapi tidak terwakili dalam model.
34
2. Tidak ada korelasi antara µ i dan µ j {cov(µ i /µ j) = 0};I tidak sama dengan j. Artinya, pada saat Xi sudah terobservasi, deviasi Yi dari rata-rata populasi (mean) tidak menunjukkan adanya pola {cov(µ i /µ j) = 0}. 3. Homoskedastisitas : yaitu besarnya µ i sama atau var (µ i) = σ2 untuk setiap i. 4. Kovarian antara varian µ i dan X1 nol. {cov(µ i /µ j) = 0}. Asumsi tersebut sama artinya bahwa tidak ada korelasi antara µ i dan X1 atau bila Xi non random maka E (µ i,µ j) = 0. 5. Model regresi dispesifikan secara benar. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah : a. Model harus berpijak pada landasan teori b. Perhatikan variabel-variabel yang diperlukan c. Bagaimana bentuk fungsinya Sifat yang dimiliki oleh estimator pada model OLS dengan memenuhi asumsi-asumsi di atas adalah Best Linear Unbiased Estimator (BLUE). Ragam minimum (efisien) dan konsisten serta berasal dari model yang linear. Selain itu, dari contoh (sample) akan mendekati nilai populasi. 3.2.3.1. Regresi Komponen Utama Regresi komponen utama (Principal Component Regression) merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengatasi masalah multikolinieritas (Joliffe, 1986). Analisis pada regresi komponen utama pada dasarnya mentransformasikan peubah-peubah bebas yang berkorelasi menjadi peubahpeubah baru yang orthogonal dan tidak berkorelasi. Analisis ini bertujuan untuk
35
menyederhanakan
peubah-peubah
yang
diamati
dengan
cara
mereduksi
dimensinya. Pendugaan dengan regresi komponen utama akan menghasilkan nilai dugaan yang memiliki tingkat ketelitian yang lebih tinggi, dengan jumlah kuadrat sisaan yang lebih kecil dibandingkan dengan pendugaan yang menggunakan metode kuadrat terkecil (Gasperz, 1992). Dengan menggunakan konsep aljabar linier tentang diagonalisasi matriks, matriks korelasi R (atau matriks ragam peragam ∑) dengan dimensi pxp, simetrik, dan nonsingular, dapat direduksi menjadi matriks diagonal D dengan pengali awal dan pengali akhir suatu matriks orthogonal V (V’ R V = D) dimana ƛ1 ≥ ƛ2 ≥ ... ≥ ƛp ≥ 0 adalah akar ciri dari matriks R yang merupakan unsur-unsur diagonal matriks D, sedangkan kolom-kolom matriks V (v1, v2....vp ) adalah vektor ciri dari R. Apabila peubah yang diamati mempunyai satuan pengukuran yang berbeda perlu dibakukan. Dalam hal ini komponen utama diturunkan dari matriks korelasi R. Matriks peragam ∑ digunakan apabila semua peubah yang diamati diukur dengan satuan pengukuran yang sama. Peubah bebas pada regresi komponen utama merupakan kombinasi linier dari peubah asal Z, dimana Z merupakan hasil pembekuan dari peubah X yang disebut sebagai komponen utama. Komponen utama ke-j dapat dinyatakan dalam persamaan W = v1j Z1 + v2j Z2 +....+vpj Zp. Komponen utama merupakan komponen yang menjelaskan sebagian besar dari keragaman yang dikandung oleh gugusan data yang telah dibakukan. Komponen W menjelaskan keragaman yang semakin lama semakin kecil sampai
36
semua keragaman datanya terjelaskan, biasanya komponen W yang digunakan adalah komponen yang memiliki akar ciri lebih dari satu karena jika akar cirinya kurang dari satu maka keragaman data yang dapat dijelaskan oleh komponen utama sangat kecil. Tahapan analisis regresi komponen utama adalah; 1. Membakukan peubah bebas asal yaitu X menjadi Z 2. Mencari akar ciri dan vektor ciri dari matriks R 3. Menentukan persamaan komponen utama dari vektor ciri 4. Meregresikan peubah respon Y terhadap skor komponen utama W 5. Transformasi balik
3.2.3.2. Pemilihan Variabel yang Memengaruhi Daya Saing Industri Karet Remah Indonesia Pemilihan variabel-variabel independent yang memengaruhi daya saing karet remah didasarkan pada hasil metode Porter’s Diamond yang dapat dikuantitatifkan seperti produktivitas, harga ekspor karet remah, volume ekspor karet, nilai tukar, dan krisis ekonomi. Produktivitas industri menggambarkan faktor sumberdaya industri karet remah, harga ekspor dan volume ekspor menggambarkan permintaan karet remah, dan krisis ekonomi menggambarkan peran kesempatan (chance) dalam perdagangan karet remah. Selain itu pemilihan faktor-faktor ini juga didasari beberapa penelitian terdahulu dan teori ekonomi yang ada. Faktor-faktor yang memengaruhi daya saing suatu komoditi adalah : 1. Produktivitas Luas lahan perkebunan merupakan salah satu input terpenting dalam memproduksi komoditi pertanian. Semakin luas lahan pertanian maka
37
semakin besar peluang untuk memproduksi komoditi lebih banyak. Namun demikian, luas lahan harus diimbangi dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Produktivitas di sini diartikan sebagai kemampuan suatu lahan/input untuk menghasilkan suatu komoditas tertentu. Semakin tinggi produktivitas lahan tersebut maka semakin efektif lahan dalam berproduksi. Semakin efektif lahan dalam berproduksi akan berimplikasi pada jumlah produk yang dihasilkan yang semakin banyak. 2. Uji Normalitas Faktor-Faktor yang Memengaruhi Daya Saing Industri Karet Remah Indonesia Indonesia Kuantitas Produksi Kuantitas produksi merupakan jumlah produk yang dihasilkan dari input tertentu. Semakin efektif input digunakan maka semakin banyak produk yang dihasilkan. Semakin banyak produk yang dihasilkan maka semakin besar peluang untuk produk tersebut diperdagangkan di pasar baik dalam negeri maupun luar negeri (ekspor). 3. Harga Ekspor Komoditi Harga ekspor dapat diartikan suatu kesepakatan harga yang timbul dari proses perdagangan suatu komoditi antara kedua belah pihak (eksportir dan importir). Harga ekspor merupakan perbandingan antara nilai ekspor dan volume ekspor, sehingga kenaikan harga ekspor akan equivalent dengan kenaikan nilai ekspor secara tidak langsung juga akan memengaruhi daya saing secara positif.
38
4. Nilai Tukar Riil Nilai tukar riil disebut juga term of trade. Jika nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Amerika Serikat terdepresiasi, maka harga riil karet remah Indonesia di pasar internasional menjadi relatif lebih murah jika dibandingkan dengan harga karet remah dari negara lain yang di pasarkan membuat permintaan karet remah Indonesia meningkat. Meningkatnya permintaan ekspor karet remah Indonesia membuat daya saing karet remah Indonesia meningkat. 5. Dummy Krisis Dummy krisis dapat diartikan sebagai periode krisis ekonomi yang terjadi di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia pada tahun 1997. Dalam penelitian Rahmanu (2009), dummy krisis berpengaruh positif terhadap daya saing industri pengolahan kakao dan hasil olahan kakao Indonesia.
3.2.3.3. Model Faktor-faktor yang Memengaruhi Daya Saing Karet Remah Indonesia Berdasarkan pemilihan variabel untuk faktor-faktor yang memengaruhi daya saing karet remah, diduga faktor-faktor yang berpengaruh adalah kuantitas produksi, produktivitas, harga ekspor, nilai tukar dan krisis ekonomi. Secara matematis faktor-faktor yang memengaruhi daya saing karet remah Indonesia dapat ditulis sebagai berikut : DSt
= α + β1 QPt + β2 HECt + β3 PROt + β4 ERt + β5 Dummy + εt
39
Keterangan: DSt
= tingkat daya saing karet remah pada tahun ke-t, dengan nilai RCA sebagai proksi
α
= konstanta
β
= parameter yang di duga, dengan β = 1,2,3,4 dan 5
QPt
= kuantitas produksi karet remah Indonesia (Ton)
ERt
= nilai tukar riil rupiah terhadap dollar periode tahun ke-t (Rp/U$)
HECt
= harga ekspor karet remah Indonesia periode ke-t (Ton/U$)
PROt
= produktivitas karet remah Indonesia (Ton/Ha)
Dummy = dummy krisis (1 untuk sesedah krisis tahun 1997, 0 untuk sebelum krisis tahun 1997) εt
= error term pada periode ke-t
t
= tahun ke-t Beberapa variabel yang digunakan diubah ke dalam logaritma (ln)
dikarenakan satuan dari kelima variabel berbeda, maka model tersebut berubah menjadi: DSt
= α + β1 ln QPt + β2 ln HECt + β3 ln PROt + β4 ln ERt + β5 ln Dummy + εt
Dimana : DSt
= tingkat daya saing karet remah pada tahun ke-t (%) dengan nilai RCA sebagai proksi
α
= konstanta
β
= parameter yang di duga, dengan β = 1,2,3,4 dan 5
40
Ln QPt
= kuantitas produksi karet remah Indonesia periode ke-t (%)
Ln ERt
= nilai tukar riil rupiah terhadap dollar periode tahun ke-t (%)
Ln HECt = harga ekspor karet remah Indonesia periode ke-t (%) Ln PROt = produktivitas karet remah Indonesia (%) Dummy = dummy krisis (1 untuk sesedah krisis tahun 1997, 0 untuk sebelum krisis tahun 1997) εt
= error term pada periode ke-t
t
= tahun ke-t
3.2.3.3. Uji Kesesuaian Model Ada beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan bahwa model yang telah dihasilkan adalah baik. Pada umumnya digunakan tiga kriteria kesesuaian model yaitu sebagai berikut : 1. Kriteria Ekonometrika Pengujian dengan menggunakan kriteria ekonometrika didasarkan pada pelanggaran asumsi pada model Ordinary Least Square (OLS). Suatu model regresi dikatakan baik apabila memenuhi asumsi klasik yaitu penaksiran yang bersifat tidak bias, linier dan mempunyai varians minimum (BLUE). Kriteria pengujian model dalam ekonometrika meliputi uji multikolinearitas, autokorelasi dan heteroskedastisitas. a. Autokorelasi Autokorelasi merupakan korelasi yang terjadi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (seperti pada data deret waktu) atau ruang (seperti pada data cross-sectional). Model klasik
41
mengasumsikan bahwa unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain. Uji autokorelasi dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan antar galat dalam persamaan regresi yang diperoleh. Jika autokorelasi tersebut diabaikan, maka akan berdampak terhadap pengujian hipotesis dan proses peramalan. Autokorelasi cenderung akan mengestimasi standar error yang kurang dari nilai yang sebenarnya, sehingga nilai t-statistik akan lebih besar (over estimated). Dampaknya adalah uji-F dan uji-t menjadi tidak valid dan peramalan juga menjadi tidak efisien. Namun, hasil estimasi dan peramalannya masih bersifat konsisten dan tidak bias. Sifat konsisten pada hasil estimasi dan peramalan model yang mengabaikan autokrelasi tidak akan bertahan lama, kecuali lag dependent variable diikutsertakan sebagai variabel penjelas. Pengujian untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi dapat diakukan dengan metode Breusch-Godfrey serial correlation LM Test. Sebelum melakukan pengujian, lebih dulu disusun hipotesis awal dan hipotesis tandingannya. H0
= tidak ada korelasi
H1
= ada autokorelasi
Taraf nyata = α Pengambilan kesimpulan bisa dilakukan dengan melihat apakah nilai probabilitas dari obs*R-squared kurang dari atau lebih dari pada taraf nyata α. jika nilai obs*R-squared lebih dari taraf nyata α, maka terima H0.
42
Artinya tidak terdapat autokorelasi dalam model regresi yang diperoleh. Dan jika sebaliknya nilai obs*R-squared lebih kecil dari taraf nyata, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat autokorelasi yang signifikan pada model regresi tersebut. b. Heteroskedastisitas Kondisi heteroskedastisitas merupakan kondisi yang melanggar asumsi dari regresi klasik. Heteroskedastisitas menunjukkan nilai varian dari variabel bebas yang berbeda, sedangkan asumsi yang dipenuhi linear klasik
adalah
mempunyai
varian
yang
sama
(konstan)
atau
homoskedastisitas. Pengujian masalah heteroskedasisitas dilakukan dengan menggunakan uji white test heterosedasticity test (Gujarati, 1995). Pengujian ini dilakukan dengan cara melihat probabilitas pada obs*Rsquared. H0 = δ sama dengan nol H1 = δ tidak sama dengan nol Taraf nyata = α Pengambilan kesimpulan dilakukan dengan melihat apakah nilai probabilitas dari obs*R-squared lebih kecil atau lebih besar dari pada taraf nyata α. Jika nilai obs*R-squared lebih dari taraf nyata α, maka terima H0, artinya tidak mengalami gejala heteroskedasisitas dalam model regresi yang diperoleh. Jika sebaliknya, maka bisa disimpulkan adanya gejala heteroskedastisitas pada model regresi tersebut.
43
c. Multikolinearitas Multikolinearitas “sempurna” atau pasti,
diartikan
sebagai
adanya hubungan
yang
di antara beberapa atau semua variabel yang
menjelaskan dari model regresi. Untuk melihat ada atau tidaknya multikolnearitas dapat dilakukan dengan melihat correlation matrix. Multikolinearitas dapat dideteksi dengan melihat koefisien korelasi antarvariabel bebas. Jika korelasinya kurang dari 0,8 (rule of thumbs 0,8) maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada multikolinearitas. Tetapi jika nilai koefisien korelasinya lebih dari 0,8 (rule of thumbs 0,8) maka dapat disimpulkan bahwa terdapat multikolinearitas dalam model tersebut. Multikolinearitas menyebabkan koefisien-koefisien regresi dugaan memiliki ragan yang sangat besar, implikasinya statistik t yang didefinisikan sebagai rasio antara koefisien regresi dan simpangan bakunya menjadi lebih kecil yang berakibat pada pengujian koefisien akan cenderung untuk menerima H0 sehingga koefisien-koefisien regresi tidak nyata, yang akhirnya seringkali persamaan regresi yang dihasilkan menjadi missleading (Wetherill, 1986). Cara yang bisa digunakan untuk mendeteksi multikolinearitas adalah dengan melihat nilai faktor inflasi ragam (Variance Inflation Factor) atau VIF,
yaitu pengukuran
multikolinearitas untuk peubah bebas ke-i. Nilai VIF akan semakin besar jika terdapat korelasi yang semakin tinggi antarvariabel bebas. Nilai VIF yang lebih besar dari 10 bisa digunakan sebagai petunjuk adanya kolinearitas (Neter et al., 1990).
44
Beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah multikolinearitas antara lain: (1) membuang peubah bebas yang mempunyai multikolinearitas tinggi dengan peubah bebas lainnya, (2) menambah data pengamatan atau contoh, dan (3) melakukan transformasi terhadap peubah-peubah bebas yang mempunyai kolinieritas atau menggabungkan menjadi peubah-peubah bebas baru yang mempunyai arti. Cara lain yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah multikolinearitas adlah dengan menggunakan regresi gulud (ridge regression), regresi kuadrat terkecil parsial (partial least square) dan regresi komponen utama (principal component regression). 2. Kriteria Statistika Secara statistika terdapat beberapa uji yang dapat digunakan untuk menentukan kesesuaian model yaitu : a. Uji F Uji F digunakan untuk menguji bagaimanakah pengaruh seluruh variabel bebas terhadap variabel tidak bebas. Hipotesis: H0 : β1 = β2 = … = βt = 0 (tidak ada variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap variabel tidak bebas). H1 : minimal ada satu β1 yang tidak sama dengan nol (paling tidak ada satu variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap variabel tidak bebas). t : 1,2,3….n
45
Jika probability t-statistic < taraf nyata α, maka tolak H0 dan dapat disimpulkan bahwa minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap variabel tidak bebas. Jika probability t-statistic > taraf nyata α, maka terima H0 dan dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu pun variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap variabel tidak bebas. b. Uji t Uji t disebut juga uji signifikansi variabel secara parsial karena melihat signifikansi masing-masing varabel yang terdapat di dalam model. Besaran yang digunakan dalam uji ini adalah statistik t. Langkah pertama untuk melaksanakan uji t adalah dengan menuliskan hipotesis pengujian. H0 : βt = 0 H1 : βt ≠ 0 Selanjutnya dilakukan perhitungan t-statistic dengan menggunakan rumus:
Dimana :
=
β
= parameter dugaan
= parameter hipotesis
Se β = standard error parameter β
Jika nilai t-statistik yang didapat pada taraf nyata sebesar α lebih dari t- tabel (tstat > ttabel) maka tolak H0. Dapat diambil kesimpulan bahwa koefisien dugaan β tidak sama dengan nol (β ≠0) dan variabel yang diuji berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas. Sebaliknya, jika nilai tstatistik kurang dari t-tabel (tstat < ttabel) maka terima H0, dapat diambil
46
kesimpulan bahwa koefisien dugaan β sama dengan nol (β=0) dan variabel yang diuji berpengaruh tidak nyata terhadap variabel tidak bebas. Model yang digunakan diduga akan semakin baik jika semakin banyak variabel bebas yang signifikan atau bepengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya. 3. Kriteria Ekonomi Dalam kriteria ekonomi akan diuji tanda dan besaran dari setiap variabel bebas yang diperoleh. Kriteria ekonomi menyaratkan bahwa tanda dan besaran yang terdapat pada setiap koefisien variabel bebas sesuai dengan teori ekonomi. Apabila model tersebut sesuai dengan teori ekonomi, maka model tersebut dapat dikatidakan baik secara ekonomi. 3.2.3.5. Definisi Operasional Variabel dalam Model 1. Daya Saing Daya saing karet remah Indonesia yang menjadi variabel tidak bebas dalam model di atas merupakan hasil olahan dari nilai ekspor karet remah Indonesia (dalam penelitian ini adalah jenis karet SIR 5, SIR 10, SIR 20) terhadap total ekspor Indonesia ke pasar internasional yang selanjutnya dibandingkan dengan nilai ekspor karet remah dunia terhadap total nilai ekspor dunia. 2. Produktivitas Produktivitas merupakan perbandingan antara jumlah komoditi (karet) yang dihasilkan dengan input (luas lahan). Produktivitas dikatidakan tinggi jika
47
kegiatan dalam menghasilkan produk lebih banyak atau tinggi. Produktivitas yang tinggi berpengaruh positif terhadap daya saing. 3. Kuantitas Produksi Kuantitas produksi dalam hal ini adalah jumlah keseluruhan produksi karet remah (crumb rubber) meliputi SIR 5, SIR 10 dan SIR 20. Besarnya jumlah produksi karet remah Indonesia dihitung dalam Ton. 4. Harga Ekspor Karet Remah Indonesia Harga ekspor karet remah Indonesia di pasar internasional diperoleh dari hasil pembagian antara nilai ekspor karet remah Indonesia dengan volume ekspor karet remah Indonesia pada periode yang sama. Variabel ini menggambarkan harga karet remah Indonesia yang diterima oleh konsumen pada harga dunia di tingkat tertentu. 5. Dummy Krisis Dummy krisis merupakan variabel pembeda antara periode sebelum terjadinya krisis yaitu sebelum tahun 1997 dan periode pada saat krisis mulai mulai dan sedang terjadi pada tahun 1997 sampai dengan tahun 2008.