II.
A.
TINJAUAN PUSTAKA
Gelatin Gelatin merupakan senyawa turunan yang dihasilkan dari serabut kolagen jaringan penghubung, kulit, tulang dan tulang rawan yang dihidrolisis asam atau basa. Susunan asam aminonya hampir mirip dengan kolagen, dimana glisin sebagai asam amino utama dan 2/3 dari seluruh asam amino yang menyusunnya, 1/3 asam amino yang tersisa diisi oleh prolin dan hidroksiprolin (Charley, 1982). Menurut Imeson (1992), gelatin merupakan salah satu hidrokoloid yang dapat digunakan sebagai gelifying agent, bahan pengental (thickening agent), atau bahan penstabil (stabilizer). Gelatin berbeda dari hidrokoloid lainnya karena pada umumnya hidrokoloid merupakan polisakarida sedangkan gelatin sendiri adalah senyawa protein.
CH2 H2C N CH2 CO-NH
CHOH
CH2
H2C
CH NH
CO
CH2
CO
CH2 CH-CO-NH R
NH CO
N
CH
CH-CO R
Gambar 1. Struktur Kimia Gelatin (Imeson, 1992)
Kegunaan gelatin terutama untuk mengubah cairan menjadi padatan yang elastis, atau mengubah bentuk sol menjadi gel. Reaksi pembentukan gel oleh gelatin bersifat reversible karena bila gel dipanaskan akan terbentuk sol dan sewaktu didinginkan akan terbentuk gel lagi. Keadaan tersebut membedakannya dengan gel dari pektin, alginat, pati, albumin telur, dan protein susu yang bentuk gelnya irreversible (Johns, 1977). Menurut King (1969), gelatin mudah larut pada suhu 71,1 oC dan cenderung membentuk gel pada suhu 48,9 oC, sedangkan untuk melarutkan
gelatin dalam larutan sekurang-kurangnya 49 oC atau biasanya pada suhu 60-70 oC. Gelatin memiliki berbagai macam kegunaan, selain sebagai bahan pengental gelatin juga berfungsi sebagai emulsifier. Emulsifier memiliki gugus polar dan nonpolar sekaligus dalam satu molekulnya sehingga gugus polar akan mengikat air dan gugus nonpolar akan mengikat minyak dalam suatu emulsi. Dalam sistem emulsi, gelatin sebagai emulsifier menempatkan dirinya pada batas antar muka dari air dan minyak sehingga tegangan permukaan dua cairan yang berbeda tersebut akan berkurang. Berkurangnya tegangan permukaan kedua cairan yang berbeda tersebut akan membuat kedua cairan tersebut menyatu dan membentuk emulsi. Gelatin mempunyai beberapa sifat yaitu dapat berubah secara reversible dari bentuk sol ke gel, mengembang dalam air dingin, dapat membentuk film, mempengaruhi viskositas suatu bahan, dan dapat melindungi sistem koloid (Parker, 1982). Sifat fisik dan kimia gelatin terutama tergantung dari kualitas bahan baku, pH, keberadaan zat-zat organik, metoda ekstraksi, suhu, dan konsentrasi. Sifat gelatin berdasarkan tipenya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Sifat Gelatin Berdasarkan Tipenya. Sifat
Tipe A
Tipe B
Kekuatan gel (Bloom)
75 – 300
75 – 275
Viskositas (cP)
2,0 – 7,5
2,0 – 7,5
Kadar Abu
0,3 – 2,0
0,05 – 2,0
pH
3,8 – 6,0
5,0 – 7,1
Titik isoelektris
9,0 – 9,2
4,8 – 5,0
Sumber : Tourtelotte (1980)
Mutu gelatin dinilai dari sifat fisiknya secara umum dan kandungan unsur-unsur mineral didalamnya. Sifat fisik yang menentukan mutu gelatin adalah kekuatan gel, warna, kapasitas emulsi, dan stabilitas emulsi (Glicksman, 1969). Menurut Mark dan Steward (1957), secara fisik
4
gelatin dapat berbentuk bubuk, pasta, maupun lembaran. Gelatin yang berbentuk lembaran dan butiran sebelum digunakan perlu direndam terlebih dahulu, sedangkan gelatin yang berbentuk bubuk dapat langsung digunakan. Gelatin komersial bersifat tidak berasa, tidak berbau, warnanya kekuningan sampai tidak berwarna. Penggunaan
gelatin
pada
berbagai
jenis
industri,
perlu
memperhatikan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap fungsi gelatin tersebut, seperti konsentrasi, bobot molekul, suhu, pH dan penambahan senyawa lain (Meyer, 1982). Menurut Pouradier dan Venet (1950) di dalam Fatimah (1996), berat molekul gelatin rata-rata berkisar antara 15.000250.000, sementara menurut Ward dan Courts (1997) sekitar 90.000 sedangkan rata-rata berat molekul gelatin komersial berkisar antara 20.00070.000.
B.
Metil Ester Sulfonat (MES) Metil Ester Sulfonat (MES) merupakan kelompok surfaktan anionik (Matheson, 1996). MES dapat diperoleh dari proses sulfonasi dari metil ester. Metil ester diperoleh dari reaksi esterifikasi asam lemak atau transesterifikasi terhadap minyak atau lemak nabati (Gervasio, 1996). MES memiliki beberapa karakteristik yang menguntungkan. Pada kondisi air sadah MES memiliki kemampuan deterjensi yang lebih baik dibandingkan surfaktan anionik lain. MES memiliki toleransi yang tinggi terhadap keberadaan ion kalsium. MES dibandingkan LAS, dengan konsentrasi yang sama, memiliki daya deterjensi yang lebih tinggi. Disamping itu formulasi produk pembersih yang menggunakan enzim, MES mampu mempertahankan kerja enzim lebih baik dibandingkan LAS (Watson, 2001). O R – CH – C – OCH3 SO3Na Gambar 2. Struktur molekul metil ester sulfonat (Watkins, 2001)
5
Reaksi sulfonasi pembentukan MES menurut Pore (1983) dapat dilihat pada gambar 2. Struktur molekul MES menurut Watkins (2001) dapat dilihat pada gambar 3. O R – CH2 – C – OCH3 + NaHSO3
O R – CH – C – OCH3 SO3Na
Gambar 3. Reaksi pembentukan metil ester sulfonat (Pore, 1993)
Penggunaan MES merupakan salah satu cara untuk membuat suatu deterjen yang mudah terdegradasi. Menurut Matheson (1996), MES memperlihatkan karakteristik yang baik, diantaranya mudah terdegradasi (biodegradable) dan memiliki sifat deterjensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi.
C.
Deterjen Cair Deterjen cair didefinisikan sebagai larutan surfaktan yang ditambahkan bahan-bahan lain untuk memberikan warna dan aroma yang diinginkan, dan juga untuk menyesuaikan viskositas dan mempertahankan karakteristik aslinya selama masa penyimpanan hingga penggunaan (Woolat, 1985), sedangkan Watkins (2001) hanya membedakan deterjen cair sebagai bentuk lain dari sediaan pembersih. Deterjen cair termasuk golongan emulsi karena terdiri atas beberapa bahan yang memiliki sifat dan kepolaran yang berbeda dan dicampur untuk membentuk produk yang homogen. Schueller dan Romanowsky (1998) menyatakan, emulsi adalah sistem heterogen dimana terdapat sedikitnya satu jenis cairan yang terdispersi di dalam cairan lainnya dalam bentuk droplet-droplet kecil. Deterjen cair dikelompokkan sebagai pembersih berbentuk cair yang dibuat dari bahan dasar deterjen dengan penambahan bahan lain yang diizinkan dan digunakan untuk mencuci pakaian serta alat dapur, tanpa menimbulkan iritasi kulit. Terdapat dua jenis deterjen cuci cair, yaitu yang digunakan dalam pencucian pakaian (kelompok P) dan yang digunakan
6
dalam pencucian alat dapur (kelompok D). Penggunaan produk deterjen cair yang dihasilkan pada penelitian ini termasuk kelompok P di dalam SNI (064075-1996). Standar SNI untuk deterjen cair disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Syarat mutu deterjen cair menurut SNI No. Kriteria
Satuan
Persyaratan
Bentuk
-
Cairan homogen
Bau
-
Khas
Warna
-
Khas
2
pH (25oC)
-
6-8
3
Bahan aktif
%
Min. 10
4
Bobot jenis
g/ml
1.0-1.2
5
Total mikroba Koloni/g Maks. 1 x 105
1
Keadaan:
Sumber : SNI(06-4075-1996)
Hipschman (1995) menyatakan beberapa karakteristik yang harus dimiliki oleh deterjen cair : Deterjen cair memiliki busa yang stabil Daya pembersihan yang efektif Lembut ditangan atau tidak menyebabkan iritasi Tidak merusak perlengkapan yang dicuci Penampakan dan aroma yang dapat diterima Stabil selama penyimpanan dan mudah untuk dikemas dan digunakan Komposisi utama deterjen cair adalah surfaktan. Surfaktan yang digunakan tidak sebagai surfaktan tunggal tetapi dalam bentuk kombinasi agar menghasilkan kemampuan melepas kotoran dan mempertahankan kotoran dalam suspensi sekaligus memberikan daya pembusaan yang baik dari segi volume dan stabilitas busa (Hipschman, 1995). Selain surfaktan bahan-bahan lain yang terkadang ditambahkan adalah garam, hydrotop, alkohol, dan disinfektan. Pewarna dan parfum pada umumnya digunakan untuk membedakan sebuah produk deterjen cair
7
(brand identity) dengan produk sejenis lainnya (Idris, 2004). Penambahan pengental digunakan untuk menambah nilai estetika deterjen tersebut.
Tabel 3. Formulasi deterjen cair untuk laundry Bahan
Persentase
Surfaktan
20-40%
Soap
0-5%
Builders
0-10%
Hydrotropes
5-10%
Others ( enzyme, bleach, optical brightener,
1-2%
perfume, coloring) Sumber : Matheson (1996)
Surfaktan merupakan senyawa kimia dengan struktur molekul yang terdiri atas dua gugus yang memiliki perbedaan kecenderungan, yaitu hidrofilik/polar dan hidrofobik/non polar. Gugus polar dapat bermuatan negatif, positif, zwitterionik ataupun tidak bermuatan (nonionik) dan memiliki afinitas yang tinggi terhadap pelarut polar. Sedangkan gugus nonpolarnya dapat terdiri atas rantai hidrokarbon, linear ataupun bercabang, berasal dari petroleum ataupun oleokimia dan pada umumnya mengandung lebih dari delapan atom karbon serta memiliki afinitas yang rendah terhadap pelarut polar (Schueller dan Romanousky, 1998; Gervasio, 1996; Goddard, 1993; Tadros, 1992). Konsentrasi
yang
cukup
pada
molekul-molekul
surfaktan
beragregat membentuk sebuah struktur spherical yang disebut micel, sedangkan gugus hidrofilik berorientasi keluar misel. Pada kondisi tersebut konsentrasi surfaktan disebut dengan konsentrasi misel kritis (KMK) atau critical micelle concentration (CMC). Pada konsentrasi surfaktan dibawah CMC, tegangan permukaan dan antar muka turun dengan meningkatnya konsentrasi namun pada saat konsentrasi mencapai taraf CMC atau lebih tinggi dari itu, tidak terjadi penurunan tegangan permukaan dan antar muka atau penurunannya sangat rendah (Schueller dan Romanousky, 1998).
8
Apabila jumlah surfaktan dalam air meningkat diatas nilai CMC, misel yang berbentuk spherical akan menampung kelebihan molekul surfaktan dengan memperpanjang ukuran menjadi berbentuk silinder. Larutan yang tersusun oleh misel yang berbentuk spherical akan lebih kental dibandingkan dengan yang tersusun dari surfaktan yang tidak bersatu karena ada banyak titik yang akan kontak diantara spheres, tetapi transisi bentuk sphere menjadi bentuk silinder akan membentuk garis kontak yang membuat viskositas meningkat tajam (Hargreaves, 2003). Lebih lanjut menurut Hargreaves (2003), peningkatan jumlah molekul surfaktan membuat jumlah molekul air menjadi berkurang untuk mengisi spaces antara silinder, akibatnya silinder-silender tersebut akan berkumpul menjadi susunan berbentuk heksagonal. Dalam bentuk heksagonal ini jumlah molekul air masih cukup untuk ditarik ke kepala hidrofilik molekul surfaktan. Terakhir dimana surfaktan tersusun rapi, surfaktan akan berubah bentuk lagi. Dalam konsentrasi ini, ketika air yang tersedia tinggal sedikit, misel berubah bentuk menjadi bentuk lamella dengan molekul surfaktan tersusun dalam bentuk palisade dimana ekor lipofilik berbentuk struktur layer. Kepala hidrofilik saling tolak menolak yang membuat struktur layer bebas bergerak yang mengakibatkan penurunan kekentalan. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4. Penelitian ini menggunakan surfaktan MES dan SLES (Sodium Lauril Ester Sulfat). SLES adalah surfaktan anionik, dengan viskositas larutannya dapat ditingkatkan dengan penambahan elektrolit (Gervasio, 1996). Pada suhu ruang SLES berbentuk pasta dan tidak berwarna (Cognis, 2003). Surfaktan ini memiliki daya pembusaan yang baik dan lembut terhadap kulit. Beberapa perusahaan di Inggris mengkombinasikan SLES dengan surfaktan anionik lainnya dalam formulasi deterjen cair (Woolat, 1985). Sodium Tripolyphospaet (STPP) digunakan sebagai builders dalam formulasi deterjen ini. Fungsi utama builders adalah untuk melembutkan air. Pelembutan air ini dilakukan melalui pensekuesteran (sequestration) atau pengkelatan (chelation) (mengkekalkan mineral kekerasan dalam larutan),
9
pemendakan (membentuk bahan tak larut), atau melalui pertukaran ion. Garam phosphate digunakan sebagai builders dalam deterjen dimana phosphate menghasilkan pelembut, alkalinitas, suspensi, dan dispersi tanah. Phosphate yang sering diaplikasikan untuk pembuatan deterjen adalah sodium dan potassium dari pyrophosphate dan tripolyphosphate (Matheson, 1996). Phosphate dapat didegradasi oleh alam, akan tetapi dalam jumlah banyak menyebabkan eutrofikasi dalam perairan.
Gambar 4. Perubahan bentuk misel dalam bentuk molekul surfaktan dalam air (Hargreaves, 2003)
Bleaching atau pemutih dalam penelitian ini menggunakan Hidrogen Peroksida (H2O2). Hidrogen Peroksida (H2O2) dalam bentuk murni berupa cairan tak berwarna. Bahan ini membeku pada suhu 0,9o C dan mendidih pada suhu 151o C. sifat kimia Hidrogen Peroksida (H2O2)
10
dalam bentuk yang murni atau dalam air (larutan yang mengandung air), dicirikan oleh kecenderungan untuk mengurai menjadi air dengan membebaskan oksigen. Penguraian Hidrogen Peroksida menjadi air dan oksigen merupakan reaksi eksoterm (Wood et al.., 1966). Menurut Wood et al., (1996) sifat Hidrogen peroksida mempunyai kecenderungan yang kuat untuk membebaskan oksigen, maka bahan ini merupakan bahan yang istimewa, karena bisa digunakan untuk reaksi oksidasi pada suhu rendah. Pigmen rambut yang hitam, cepat dioksidasi pada suhu kamar menjadi rambut yang berwarna putih atau rambut yang kaku seperti jerami yang berwarna kuning, semuanya itu karena aktivitas Hidrogen Peroksida ini. Lebih jauh Wood
et al.., (1966) menyatakan bahwa proses
produksi yang lebih murah dari hydrogen peroksida telah membawa bahan ini banyak digunakan sebagai pemutih untuk berbagai banyak hal. Penggunaan yang umum adalah pemutihan pulp, tekstil, barang-barang yang terbuat dari gading, kulit berbulu, kayu yang digunakan untuk mebel dan bahan-bahan lain. Parfum atau bahan pewangi (fragrance) sering ditambahkan pada deterjen untuk memberikan bau yang menarik. Parfum merupakan campuran aromatik yang dapat berupa minyak yang berbahan alami, campuran minyak wangi yang berbahan alami dan minyak wangi berbahan sintetis, atau minyak wangi yang berbahan sintetis (Ismayanti, 2002). Pemberian parfum ke dalam deterjen dimaksudkan untuk memberikan aroma menyenangkan dan menutupi bau yang timbul saat proses pencucian (Günter dan Löhr, 1987) Menurut Woolat (1985) deterjen cair selain memiliki karakteristik utama, seperti daya pembersihan yang baik, juga memiliki karakteristik sekunder yang penting. Karakteristik sekunder diantaranya kesan pada kulit, warna dan aroma. Woolat (1985) juga menyatakan bahwa penambahan aroma pada formulasi deterjen cair selain dapat diterima atau disukai oleh konsumen juga harus mampu menghilangkan bau tidak sedap yang ditimbulkan kotoran.
11
D.
Parameter Fisikokimia dan Kinerja Deterjen Cair Karakteristik fisikokimia yang diuji adalah nilai pH, viskositas, bobot jenis dan stabilitas emulsi. Sedangkan kinerja produk yang dianalisis adalah daya pembusaan, stabilitas busa dan daya deterjensi serta analisis kadar fosfat untuk deterjen dengan perlakuan terbaik.
1.
Nilai pH Deterjen cair yang dihasilkan digunakan untuk laundry secara manual, yaitu dengan tangan. Kontak langsung antara kulit dengan cairan pencuci dapat menyebabkan iritasi kulit. Pada pH yang relatif basa atau asam daya adsorpsi kulit menjadi lebih tinggi sehingga memperbesar resiko iritasi kulit (Idris, 2004). Menurut standar SNI pH deterjen cair harus berada pada kisaran 6-8.
2.
Viskositas Viskositas didefinisikan sebagai tenaga yang diperlukan untuk menggerakkkan satu permukaan lain dalam kondisi yang ditentukan, apabila diantaranya diisi oleh cairan tersebut (Kodeks Kosmetika RI, 1983). Definisi lainnya yaitu shearing stress yang diberikan dalam luasan tertentu sewaktu diberikan kecepatan dalam gradien normal pada area tertentu (Suryani et al., 2000).
3.
Bobot Jenis Bobot jenis adalah berat suatu cairan per satuan volume (ASTM, 2002). Perbedaan bobot jenis komponen penyusun sebuah emulsi pada kisaran yang semakin lebar akan menurunkan stabilitas emulsi tersebut dengan meningkatnya creaming (Waistra, 1996).
4.
Stabilitas Emulsi Nilai stabilitas emulsi berkaitan dengan faktor penyimpanan dimana kualitas emulsi tersebut dikaitkan dengan waktu (Rieger, 1992).
12
5.
Daya Pembusaan Busa adalah buih-buih yang saling berdekatan membentuk dinding-dinding polihedral yang saling membagi sudut menjadi 120o. Formasi tersebut mirip dengan struktur sarang lebah. Dinding-dinding yang terbentuk dari cairan ini memisahkan kotoran yang lepas di dalam suspensi. Ketika proses pembersihan berjalan, jumlah busa yang masih tersisa dijadikan indikator jumlah substrat (perlengkapan yang dicuci) yang masih dapat dibersihkan dengan larutan deterjen yang ada (SDAAmerika, 2003; Lynn, 1996).
6.
Stabilitas Busa Stabilitas busa dikaitkan dengan penurunan volume busa terhadap faktor aging, yaitu dengan menghubungkan volume busa terhadap waktu. Busa yang dihasilkan harus stabil agar bertahan lebih lama selama proses pencucian (MPOB, 2001).
7.
Daya Deterjensi Deterjensi adalah proses pembersihan permukaan padat dari benda asing yang tidak diinginkan dengan menggunakan cairan pencuci/perendam berupa larutan surfaktan (Lynn, 1996). Daya deterjensi adalah jumlah kotoran yang dapat dilepaskan oleh deterjen cair dari substrat (permukaan padat) dan dinyatakan dalam unit kekeruhan yang disebabkan kotoran dalam cairan pencuci, FTU Turbidity (Formazyn Turbidity Unit) (Idris, 2004).
8.
Analisis Fosfat Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuh-tumbuhan (Dugan, 1972). Fosfor juga merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan algae, sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan algae akuatik serta sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan (Effendi, 2003). Kadar fosfor total pada perairan alami jarang melebihi 1 mg/l (Boyd, 1988).
13