II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ubi Kayu (Singkong) Ubi kayu atau singkong berasal dari Brazilia. Dalam sistematika tumbuhan, ubi kayu termasuk ke dalam kelas Dicotyledoneae. Ubi kayu berada dalam famili Euphorbiaceae yang mempunyai sekitar 7.200 spesies, beberapa diantaranya adalah tanaman yang mempunyai nilai komersial, seperti karet (Hevea brasiliensis), jarak (Ricinus comunis dan Jatropha curcas), umbi-umbian (Manihot spp), dan tanaman hias (Euphorbia spp) (Ekanayake et al. 1997). Klasifikasi tanaman ubi kayu adalah sebagai berikut: Kelas
: Dicotyledoneae
Sub Kelas
: Arhichlamydeae
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Sub Famili
: Manihotae
Genus
: Manihot
Spesies
: Manihot esculenta Crantz
Ubi kayu merupakan salah satu jenis umbi-umbian yang menjadi sumber bahan baku utama pembuatan bioetanol karena mempunyai kemampuan untuk tumbuh di tanah yang tidak subur, tahan terhadap serangan hama penyakit dan dapat diatur masa panennya. Beberapa alasan digunakannya ubi kayu sebagai bahan baku bioenergi, khususnya bioetanol, diantaranya adalah sudah lama dikenal oleh petani di Indonesia, tersebar di 55 kabupaten dan 33 provinsi, merupakan sumber karbohidrat karena kandungan patinya yang cukup tinggi, harga di saat panen raya seringkali sangat rendah sehingga dengan mengolahnya menjadi etanol diharapkan harga menjadi lebih stabil, dan menguatkan security of supply bahan bakar berbasis kemasyarakatan (Prihandana et al. 2007).
Potensi
pengembangan ubi kayu di Indonesia sangat besar karena produksinya dari tahun ke tahun semakin meningkat seperti disajikan pada Tabel 1.
6
Tabel 1. Luas panen dan produksi ubikayu di Indonesia Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Luas Panen (ha) 1.284.040 1.317.912 1.276.533 1.244.543 1.255.805 1.213.460 1.227.459 1.201.481 1.193.319 1.194.181
Produksi (ton) 16.089.020 17.054.648 16.912.901 18.523.810 19.424.707 19.321.183 19.986.640 19.988.058 21.593.053 21.786.691
Sumber: Departemen Petanian (2009)
Pemanfaatan ubi kayu dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu sebagai bahan baku tapioka (tepung tapioka atau gaplek) dan sebagai pangan langsung. Ubi kayu sebagai pangan langsung harus memenuhi syarat utama, yaitu tidak mengandung racun HCN (< 50 mg per kg umbi basah). Sementara itu, umbi ubi kayu untuk bahan baku industri tidak disyaratkan adanya kandungan protein maupun ambang batas HCN, tapi yang diutamakan adalah kandungan karbohidrat yang tinggi (Muchtadi dan Sugiyono 1992). Ubi kayu sebagai bahan baku energi alternatif hanya memiliki kadar karbohidrat sekitar 32-37% dan kadar pati sekitar 83,8% setelah diproses menjadi tepung. Jenis polisakarida yang menyusun umbi ubi kayu antara lain pati, selulosa dan hemiselulosa (Winarno 1992). Komposisi kimia ubi kayu disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi kimia ubi kayu Komponen Air Abu Lemak Protein Karbohidrat (by differnce) Pati Serat kasar Selulosa Hemiselulosa Lignin
Komposisi Ubi Kayu Segar (a) Tepung Ubi Kayu (b) 57,00 8,65 2,46 2,55 6,54 1,81 85,86 80,45 74,81 62,54 11,05 2,69 0,36 1,88 0,02
Sumber : (a) Susmiati (2010), (b) Arnata (2009)
7
Karbohidrat yang terkandung dalam ubi kayu terdiri dari serat kasar dan pati. Serat kasar terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin yang berfungsi sebagai penguat tekstur. Komponen karbohidrat merupakan bahan baku utama yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan etanol adalah pati yang berfungsi sebagai sumber energi (Winarno 1992). Pati terdiri dari dua fraksi yaitu fraksi amilosa dan amilopektin. Fraksi amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa sebanyak 4 – 5 % berat total. Molekul-molekul glukosa di dalam amilosa saling berikatan melalui gugus glukopiranosa β-1,4. Pada amilopektin sebagian dari molekul-molekul glukosa di dalam rantai percabangannya saling berikatan melalui gugus α-1,6. Ikatan α-1,6 sangat sukar diputuskan, apalagi jika dihidrolisis menggunakan katalisator asam. Selulosa merupakan serat-serat panjang yang secara bersama-sama dengan hemiselulosa dan lignin mebentuk struktur jaringan yang memperkuat dinding sel tanaman. Selulosa tidak dapat dicerna oleh manusia dan tidak larut dalam air. Selulosa pada tumbuhan terdapat di dalam dinding sel pelindung tanaman, terutama pada tangkai, batang, dahan, dan semua bagian berkayu dari jaringan tumbuhan.
Gambar 1. Struktur kimia selulosa (Anonim 2010a) Selulosa terdiri dari 10.000 atau lebih unit D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan (1,4) glikosida, sama seperti amilosa. Perbedaannya adalah pada selulosa, ikatan (1,4) berada dalam posisi β, sedangkan pada amilosa, ikatan (1,4) berbentuk α. Ikatan α (1,4) pada amilosa mudah dihidrolisis oleh enzim α-amilase, tetapi tidak demikian untuk β(1,4) (Tjokroadikoesoemo 1986). Hemiselulosa termasuk dalam kelompok polisakarida heterogen yang di bentuk melalui biosintetis yang berbeda dari selulosa. Berbeda dengan selulosa yang merupakan homopolisakarida. Hemiselulosa relatif mudah dihidrolisis
8
dengan asam menjadi komponen-komponen monomernya yang terdiri dari Dglukosa, D-manosa, D-galaktosa, D-xilosa, dan sejumlah kecil L-ramnosa disamping menjadi asam D-glukuronat, asam 4-0-metil-glukuronat dan asam Dgalakturonat (Sastrohamidjojo dan Prawirohatmodjo 1995) Hemiselulosa merupakan polisakarida dengan bobot molekul lebih kecil dibandingkan selulosa. Molekul hemiselulosa lebih mudah menyerap air, bersifat plastis dan mempunyai permukaan kontak antar molekul lebih luas dibandingkan dengan selulosa (Judoamidjojo et al. 1989). Ikatan di dalam rantai hemiselulosa banyak bercabang karena gugus β-glukosida di dalam molekul yang satu berikatan dengan gugus hidroksil C2, C3 dan C4 dari molekul yang lain. Berbeda dengan selulosa, hemiselulosa berbentuk amorf (Tjokroadikoesoemo 1986).
Gambar 2. Struktur kimia hemiselulosa (Anonim 2010b) Berbeda dengan selulosa, hemiselulosa mempunyai derajat polimerisasi lebih rendah dan mudah larut dalam alkali tetapi sukar larut dalam asam, sedangkan selulosa sebaliknya. Hidrolisis hemiselulosa menghasilkan empat jenis monosakarida yaitu xilosa, manosa, galaktosa dan glukosa dalam jumlah sedikit (Gonzalez et al.1986). Hidrolisis lebih lanjut akan menghasilkan hidroksimetil furfural (HMF), furfural dan produk dekomposisi lainnya (Gong et al. 1981). 2.2 Hidrolisis Asam Hidrolisis asam dapat digunakan untuk memecah komponen polisakarida menjadi monomer-monomer. Proses hidrolisis yang sempurna akan memecah selulosa dan pati menjadi glukosa, sedangkan hemiselulosa akan terpecah menjadi pentosa dan heksosa. Asam sulfat (H2SO4) dan asam klorida (HCl) merupakan asam yang dapat digunakan sebagai katalis dalam proses hidrolisis. Hidrolisis asam dikelompokkan menjadi dua yaitu hidrolisis dengan konsentrasi tinggi dan konsentrasi rendah (Tahezadeh dan Karimi 2007).
9
Keuntungan hidrolisis menggunakan konsentrasi tinggi adalah proses hidrolisis dapat dilakukan pada suhu yang rendah. Namun penggunaan asam konsentrasi tinggi mempunyai kelemahan antara lain jumlah asam yang digunakan sangat banyak, potensi korosi pada peralatan produksi, penggunaan energi yang tinggi untuk proses daur ulang asam dan terbentuk produk samping yang tidak diharapkan seperti furfural dan hidroksimetil furfural (HMF). Hidrolisis menggunakan asam dengan konsentrasi rendah mempunyai keuntungan yaitu jumlah asam yang digunakan sedikit. Namun kerugian dalam penggunaan asam dengan konsentrasi rendah antara lain membutuhkan suhu tinggi dalam proses operasinya, potensi korosi pada peralatan produksi terutama alat yang terbuat dari besi dan pembentukan produk samping yang tidak diharapkan seperti furfural dan hidroksimetil furfural (HMF) (Tahezadeh dan Karimi 2007). Hidrolisis asam dengan konsentrasi rendah dapat dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pertama menggunakan asam dengan konsentrasi rendah untuk menghidrolisis gula dari golongan pentosa yang umumnya terdapat dalam fraksi hemiselulosa. Tahap ini biasanya menggunakan H2SO4 1 M pada suhu 80-120oC selama 30-240 menit. Tahap kedua menggunakan asam dengan konsentrasi lebih tinggi untuk menghidrolisis gula yang berasal dari golongan heksosa seperti selulosa, biasanya dilakukan dengan konsentrasi asam 5-20 M H2SO4 dengan suhu 180oC. Proses hidrolisis bertahap ini dapat memaksimalkan hasil glukosa yang dihasilkan dan meminimumkan hasil samping yang tidak diinginkan (Purwadi 2006). Penentuan konsentrasi asam tergantung pada ukuran, bentuk dan kadar air pada partikel lignoselulosa. Asam sulfat biasanya digunakan pada bahan terlarut dengan konsentrasi tidak melebihi 10% berat (H2SO4 umum digunakan tidak lebih dari 5%). Penggunaan katalis asam dengan konsentrasi rendah selalu terjadi penambahan air yang banyak pada bahan lignoselulosa dan hal itu membutuhkan energi panas yang lebih banyak selama proses pemanasan (Taherzadeh dan Karimi 2007). Proses hidrolisis menggunakan konsentrasi asam rendah, selain dapat menguraikan glukosa juga menghasilkan hasil samping yang dapat menghambat proses fermentasi. Hasil samping yang dapat menghambat proses fermentasi
10
adalah hidroksimetil furfural (HMF) dan furfural (Taherzadeh dan Karimi 2007). Hidrolisis asam pada bahan lignoselulosa, hemiselulosa merupakan komponen yang paling mudah terhidrolisis oleh asam yang akan terdegradasi menjadi xilosa, manosa, asam asetat, galaktosa dan sejumlah kecil ramnosa, asam glukuronat, asam metal glukuronat dan asam galakturonat (Sjostrom 1993). Selulosa akan terdegradasi menjadi glukosa. Pada suhu dan tekanan yang tinggi glukosa, galaktosa dan manosa terdegradsi menjadi hidroksimetil furfural (HMF) dan xilosa menjadi furfural. Komponen fenol terbentuk dari lignin yang terpecah sebagian dan juga selama proses degradasi karbohidrat. Lignin merupakan komponen komplek yang tersusun oleh phenylpropane yang terikat di dalam struktur tiga dimensi. Ikatan kimia terjadi di antara lignin dan hemiselulosa bahkan terkadang juga dengan selulosa. Lignin sangat tahan terhadap reaksi kimia dan enzimatik (Palmqvist dan Hagerdal 2000). 2.3 Proses Detoksifikasi Metode detoksifikasi dilakukan untuk meningkatkan kemampuan fermentasi dengan mengkonversi derivatif furan menjadi senyawa lain dan mengurangi senyawa-senyawa yang bersifat toksik (Purwadi 2006). Identifikasi senyawa toksik dalam hidrolisat dan menentukan metode detoksifikasi adalah sangat penting untuk meningkatkan efisiensi dari proses fermentasi. Berbagai metode detoksifikasi seperti biologis, kimia dan fisik telah digunakan untuk mengurangi konsentrasi toksik di dalam hidrolisat. Namun, efisiensi dari setiap metode detoksifikasi tergantung pada komposisi hidrolisat menurut bahan baku yang digunakan dan pada kondisi hidrolisisnya. Nigam (2001), menemukan bahwa konsentrasi furfural dari 0,25 g/l dalam media fermentasi tidak cukup untuk mengurangi konsentrasi etanol yang dihasilkan, tetapi konsentrasi melebihi 1,5 g/l akan mengurangi produktifitas etanol yang dihasilkan dalam proses fementasi. Asam asetat menghambat ragi pada tingkat sekitar
2,0-5,0 g/l (Van Zyl et al. 1998). Alves et al. (1998),
menyatakan bahwa hidroksimetil furfural (HMF), pada konsentrasi 1 g/l, sudah cukup untuk menghambat pertumbuhan S. cerevisiae pada proses fermentasi. Menurut Taherzadeh et al. (2000), terdapat empat pendekatan yang berbeda untuk meminimalkan kehadiran inhibitor di dalam hidrolisat : (1) menghindari
11
terbentuknya inhibitor selama hidrolisis, (2) detoksifikasi hidrolisat sebelum fermentasi, (3) mengembangkan spesies mikroorganisme yang mampu melawan inhibitor dan (4) mengubah senyawa beracun menjadi produk yang tidak mengganggu proses fermentasi. Perlakuan metode detoksifikasi biologis melibatkan penggunaan enzim spesifik atau mikroorganisme yang bekerja pada senyawa toksik yang ada pada hidrolisat dan mengubah senyawa toksik tersebut. Detoksifikasi biologis dapat mengggunakan enzim Laccase yang dihasilkan dari beberapa mikroorganisme seperti : Candida shehatae, Coriolopsis rigida, Trametes villosa. dan jamur lignolitik Trametes versicolor (Jonsson et al. 1998). Metode detoksifikasi secara kimia dapat dilakukan dengan senyawa Ca(OH)2 (Purwadi 2006) dan
ion
exchange (Van Zyl et al. 1998). Perlakukan metode detoksifikasi fisik dalam proses detoksifikasi dilakukan dengan cara arang aktif, evaporasi dan ekstraksi (Converti et al. 1999). Evaporasi dilakukan pada hidrolisat untuk mengurangi atau menghilangkan sebagian besar fraksi folatil, sehingga produksi etanol meningkat. Diantara metode-metode fisik yang di gunakan
pada hidrolisat, detoksifikasi
arang aktif sangat baik karena merupakan bahan berbiaya rendah dengan kapasitas menyerap senyawa yang tinggi (Mussato dan Roberto 2003). 2.3.1 Detoksifikasi dengan Overliming Detoksifikasi overliming merupakan proses yang diadaptasi dari proses liming pada pabrik gula. Detoksifikasi overliming dilakukan dengan penambahan kapur tohor (Ca(OH)2) ke dalam hidrolisat untuk meningkatkan pH larutan hingga 9-11 diikuti dengan penetralan kembali menggunakan H2SO4. Besarnya konsentrasi kapur tohor (Ca(OH)2) yang ditambahkan akan menyebabkan penurunan konsentrasi gula-gula, HMF dan furfural yang semakin besar (Purwadi 2006). Reaksi yang terbentuk dalam proses detoksifikasi overliming adalah pembentukan garam-garam dari reaksi asam basa antara H2SO4 hasil hidrolisis dengan Ca(OH)2 yang ditambakan. Selain itu, sebagian ion Ca2+ beraksi dengan gula-gula, HMF dan furfural menjadi senyawa-senyawa baru dan ikatan yang terbentuk dari hasil reaksi tersebut merupakan ikatan yang irreversible (Purwadi 2006). Reaksi-reaksi yang terbentuk pada proses overliming sebagai berikut :
12
1. H2SO4 + Ca(OH)2
CaSO4 + 2H2O
2+
2. C6H12O6 + Ca
[C6H12O6Ca]+
3. C6H6O3 + Ca2+
[C6H6O3Ca]+
4. C5H4O2 + Ca2+
[C5H4O2Ca]+
4.3.2 Detoksifikasi dengan Arang Aktif Detoksifikasi arang aktif merupakan pemanfaatan sifat adsorpsi pada arang aktif. Adsorpsi (penjerapan) adalah suatu proses pemisahan dimana komponen dari suatu fase fluida berpindah ke permukaan zat padat yang menjerap (adsorben). Adsorben adalah padatan atau cairan yang mengadsorpsi sedang adsorbat adalah padatan, cairan atau gas yang diadsorpsi. Jadi proses adsorpsi dapat terjadi antara padatan dengan padatan, gas dengan padatan, gas dengan cairan dan cairan dengan
padatan (Ketaren 1986). Sedangkan menurut
Setyaningsih (1995), adsorpsi adalah proses terjadinya perpindahan massa adsorbat dari fasa gerak (fluida pembawa adsorbat) ke permukaan adsorben. Adsorpsi terjadi karena adanya gaya tarik menarik antara molekul adsorbat dengan tempat-tempat aktif di permukaan adsorben. Kirk dan Othmer (1964), mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi adsorpsi pada arang aktif adalah : 1.
Sifat fisika adsorben seperti luas permukaan, dan ukuran pori-pori
2.
Konsentrasi adsorban dalam fase cair (larutan)
3.
Sifat fase cair meliputi pH dan suhu
4.
Lamanya proses adsorpsi berlangsung Menurut Azah dan Rudyanto (1984), daya jerap arang aktif dapat terjadi
karena (1) adanya pori-pori mikro yang sangat banyak yang dapat menimbulkan gejala kapiler yang menyebabkan timbulnya daya jerap, (2) permukaan yang luas dari arang aktif, (3) pada kondisi bervariasi hanya sebagian permukaan yang mempunyai daya jerap, hal ini karena permukaan arang aktif yang bersifat heterogen, penjerapannya hanya terjadi pada permukaan yang aktif saja. Menurut Setyaningsih (1995), mekanisme adsorpsi arang aktif dapat diterangkan sebagai berikut : molekul adsorbat berdifusi melalui suatu lapisan batas ke permukaan luar adsorben (disebut difusi eksternal), sebagian ada yang teradsorpsi di permukaan luar, sebagian besar berdifusi lanjut di dalam pori-pori
13
adsorben (disebut difusi internal). Proses adsorpsi pada arang aktif terjadi melalui tiga tahap dasar, yaitu : zat terjerap pada bagian luar, zat bergerak menuju poripori arang aktif dan zat terjerap ke dinding bagian dalam dari arang aktif. Walstra (2003) mendefinisikan adsorpsi sebagai proses difusi suatu komponen pada suatu permukaan atau antar partikel. Komponen yang terserap disebut adsorbat dan bahan yang dapat menyerap disebut adsorben. Adsorben dapat berupa padatan atau cairan. Menurut beberapa peneliti, konsentrasi arang aktif yang digunakan sangat mempengaruhi penurunan konsentrasi inhibitor dan gula sederhana di dalam hidrolisat (Parajo et al. 1995; Silva et al. 1998). Parajo et al. (1996) mengamati bahwa konsentrasi arang aktif hingga 400 g/g dapat mengurangi konsentrasi inhibitor hingga 75%. Silva et al. (1998) arang aktif dengan konsentrasi 1% dapat mengurangi senyawa inhibitor 1-30%. Menurut Chandel et al. (2006), detoksifikasi dengan konsentrasi arang aktif 5% dapat menghilangkan furan (38,7 %), total fenolik (57%) dan asam asetat (46,8%). Metode detoksifikasi dengan arang aktif terbukti merupakan metode yang terbaik, karena memberikan produksi etanol yang baik sebesar 4,03% (b/v) dan biayanya relatif lebih rendah (Mussatto dan Roberto 2003). 2.4 Arang Aktif Arang aktif adalah arang yang diproses lebih lanjut sehingga pori-porinya terbuka dan luas permukaannya bertambah besar dari 2 m2/g menjadi 300-3000 m2/g, dengan kadar karbon dan keaktifan yang bervariasi, tergantung pada suhu aktivasi dan lamanya waktu aktivasi yang diberikan (Kirk dan Othmer 1964). Arang aktif adalah padatan amorf yang mempunyai luas permukaan dan jumlah pori yang sangat banyak. Arang aktif berbentuk kristal mikro dan karbon non grafit yang pori-porinya telah mengalami proses pengembangan kemampuan untuk menyerap gas dan uap dari campuran gas dan zat-zat yang tidak terlarut atau terdispersi dalam cairan melalui aktivasi (Roy 1985). Secara fisik arang aktif berbentuk padatan, berwarna hitam, tidak berbau, tidak berasa, higrokopis, tidak larut dalam air, basa, asam, dan pelarut organik serta tidak rusak karena perubahan pH, suhu atau komposisi limbah (Hassler 1974 ).
14
Menurut Hartoyo dan Pari (1993), sifat fisik arang aktif dibagi menjadi dua macam : 1.
Sifatnya keras dan bobot jenis tinggi, sesuai untuk bahan adsorpsi gas
2.
Sifatnya lunak dan bobot jenis rendah, sesuai untuk bahan adsorpsi cairan. Beukens et al. (1997) membagi besarnya ukuran pori kedalam tiga
kategori : 1. Makropori
= ukuran pori >250 Å
2. Mesopori
= ukuran pori 50 – 250 Å
3. Mikropori
= ukuran pori 50 Å dan terbagi atas tiga bagian :
a. Maksi mikropori
= 25 - 50 Å
b. Mesi mikropori
= 15 - 25 Å
c. Mini mikropori
= < 15 Å
Pengaruh dari ukuran pori terhadap bahan yang dijerap dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.
Gambar 3. Ukuran pori arang aktif (Anonim 2010c)
Gambar 4. Pengaruh ukuran pori terhadap bahan yang dijerap (Anonim 2010d)
15
2.5 Bioetanol Etanol merupakan produk fermentasi yang dapat diproduksi dari substrat yang mengandung karbohidrat (gula, pati atau selulosa). Etanol merupakan kependekan dari etil alkohol (C2H5OH), sering pula disebut grain alcohol atau alkohol saja. Bentuknya berupa cairan yang tidak berwana dan mempunyai bau yang khas. Etanol atau etil alkohol merupakan senyawa yang memiliki gugus hidroksil (-OH) yang terikat pada atom karbon. Etanol mempunyai sifat mudah terbakar dan mudah menguap. Etanol dapat dihasilkan melalui sintesa dari minyak bumi ataupun dengan fermentasi bahan yang mengandung gula. Bioetanol adalah etanol yang diproduksi dari sumber daya hayati dengan cara fermentasi menggunakan bantuan S. cerevisiae. Etanol memiliki berat jenis 0,7937 g/ml (t = 150C); titik didih 78,32oC pada tekanan 766 mmHg. Sifat kimia dari etanol adalah larut dalam air dan eter; mempunyai panas pembakaran 328 Kkal. Penggunaan etanol selama ini adalah untuk pelarut (40%), bahan pembuatan asetaldehid (36%), penggunaan kimiawi (15%) dan lain-lain (9%) (Patarau 1981). Pada proses pembuatan bioetanol terdapat tiga tahapan diantaranya : proses persiapan bahan baku, fermentasi dan destilasi. Pada proses persiapan bahan baku yaitu liquifikasi dan sakarifikasi, bahan baku yang berupa padatan terlebih dahulu dikonversi menjadi larutan gula sebelum difermentasi. Pada bahan-bahan yang sudah berada dalam bentuk larutan seperti mollase dan nira dapat langsung dilakukan fermentasi. Proses liquifikasi dilakukan penambahan enzim α-amilase dan air, dan pada proses sakarifikasi dilakukan penambahan enzim glukosidase. Pada tahapan ini proses liquifikasi dan sakarifikasi dengan enzim digantikan dengan asam seperti asam sulfat (H2SO4) dan asam klorida (HCl) dengan konsentrasi tertentu. Pada tahapan ini larutan hidrolisat yang dihasilkan dilakukan hidrolisis untuk merubah polimer-polimer selulosa dan hemiselulosa menjadi monomer-monomer. Pada proses ini selulosa dipecah mejadi glukosa dan hemiselulosa menjadi pentose dan hexosa (Arnata 2009). Tahap fermentasi merupakan tahap kedua dalam proses pembuatan bioetanol. Fermentasi adalah proses metabolisme yang menyangkut perubahan kimia pada substrat bahan organik, baik karbohidrat, protein, lemak, maupun bahan-bahan lainnya, melalui kegiatan katalis biokimia yang dikenal sebagai
16
enzim yang dihasilkan oleh jenis mikroba spesifik (Presscot dan Dunn 1981). Fermentasi dapat terjadi secara aerob (memerlukan oksigen) maupun anaerob (tidak memerlukan oksigen). Menurut Hidayat et al. (2006), fermentasi dapat didefinisikan sebagai perubahan gradual oleh aktivitas enzim dari beberapa bakteri, kapang dan khamir. Etanol dapat diproduksi dari gula yang difermentasikan oleh khamir pada kondisi yang sesuai. Penambahan khamir dapat dilakukan dalam bentuk kering sebagai suspensi. Bahan-bahan yang mengandung monosakarida (C6H12O6 sebagai glukosa) dapat langsung difermentasikan, sedangkan pati selulosa dan hemiselulosa harus dihidrolisis terlebih dahulu menjadi komponen sederhana (monosakarida), untuk kemudian dapat difermentasi (Sa’id 1987). Mikroba yang digunakan pada fermentasi etanol adalah khamir. Khamir berbentuk menyerupai kapang dari kelompok Ascomycetes yang tidak berfilamen tetapi uniseluler, umumnya berbentuk oval silinder, bulat dan batang. Pemilihan mikroba biasanya didasarkan pada jenis karbohidrat yang digunakan sebagai medium.
Untuk
memproduksi
alkohol
dari
pati
dan
gula
digunakan
Saccaharomyces cerevisiae yang merupakan khamir yang paling populer dalam pengolahan makanan (Patarau 1981). Menurut Rehm dan Reed (1981), S. cerevisiae sering dipakai pada fermentasi etanol karena menghasilkan kadar etanol yang tinggi, toleran terhadap kadar etanol yang tinggi, maupun pada suhu tinggi, tetap stabil selama kondisi fermentasi dan dapat bertahan hidup pada pH rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil etanol dari proses fermentasi adalah suhu fermentasi, derajat keasaman, oksigen, medium fermentasi, kebutuhan nutrien dan kadar etanol (Purwadi 2006). Selain hal tersebut, karakteristik dari hidrolisat juga mempengaruhi kadar etanol yang dihasilkan proses fermentasi. Karakteristik hidrolisat yang baik untuk proses fermentasi disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Karakteristik hidrolisat untuk fermentasi No 1. 2. 3. 4. 5.
Senyawa HMF Furfural Total Gula Gula Pereduksi Total asam
Konsentrasi < 1 g/l < 1,5 g/l 10 – 18% < 30 % < 20 (ml NaOH / g bahan)
Sumber Alves et al. (1998) Nigam (2001) Frazier dan Weshoff (1978) Mangunwidjaja dan Suryani (1994) Van Zyl et al. (1998)
17
Tahap ketiga yaitu tahap pemurnian etanol. Pada tahap ini hidrolisat yang dihasilkan dari proses fermentasi didestilasi untuk memurnikan kandungan etanol. Destilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dari beer (sebagian besar adalah air dan etanol). Titik didih etanol murni adalah 78o C sedangkan air adalah 100o C (kondisi standar). Pemanasan larutan pada rentang suhu 78-100oC akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi dapat dihasilkan etanol (Arnata 2009). Purwadi (2006), membagi kualitas alkohol dengan beberapa tingkatan : 1.
Alkohol Teknis (96,5%) Digunakan terutama untuk kepentingan industri sebagai bahan pelarut organik, bahan baku maupun bahan antara produksi berbagai senyawa organik lainnya.
2.
Alkohol Murni (96,0 – 96,5%) Digunakan terutama untuk kepentingan farmasi dan konsumsi misal untuk minuman keras.
3.
Alkohol Absolut ( 99,7 – 99,8%) Digunakan dalam pembuatan sejumlah besar obat-obatan dan juga sebagai bahan antara dalam pembuatan senyawa-senyawa lain skala laboratorium. Alkohol jenis ini disebut Fuel Grade Ethanol (F.G.E) atau anhydrous ethanol yaitu etanol yang bebas air atau hanya mengandung air minimal.