II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pestisida dan Degradasi Pestisida Pestisida secara harfiah berarti pembunuh hama, berasal dari kata pest (hama) dan cide (pembunuh). Pestisida mencakup bahan -bahan kimia yang digunakan untuk mengendalikan populasi jasad hidup merugikan manusia, tumbuhan, dan ternak yang diusahakan manusia untuk kesejahteraan hidupnya, agar gangguan dan kerugian dapat ditekan seminimal mungkin (Tarumingkeng, 1992). Menurut Peraturan Pemerintah RI No.7 tahun 1973 tentang pengawasan dan peredaran, penyimpanan dan penggunaan pestisida, pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain yang digunakan untuk memberantas dan mencegah hama serta penyakit yang merusak tanaman, memberantas gulma, mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan. Tarumingkeng (1992) menyebutkan bahwa, berbagai pestisida yang dikenal terutama dalam bidang pertanian, kesehatan masyarakat dan kesehatan veteriner adalah: insektisida (racun serangga), fungisida (racun cendawan/jamur), herbisida (racun gulma), akarisida (racun tungau), rodentisida (racun binatang pengerat), nematisida (racun nematoda), helmintisida (racun pembunuh cacing) dan termitisida (insektisida pembunuh rayap). Pestisida yang digunakan pada awalnya ditargetkan pada objek seperti populasi serangga dan tanaman tertentu, tetapi pada aplikasinya sebagian besar pestisida akan jatuh ke tanah. Banyak faktor yang mempengaruhi deposit pestisida dalam tanah yaitu: kemampuan absorbsi pestisida oleh partikel-partikel tanah dan bahan organik, pencucian oleh air hujan, penguapan, degradasi atau aktivasi oleh jasad renik dalam tanah, dekomposisi fisikokimia maupun aktivasi yang terjadi akibat kondisi komponen-komponen tanah yang bersifat katalisator, dekomposisi oleh cahaya matahari (photo decomposition) dan translokasi melalui sistem hayati baik tanaman maupun hewan ke lingkungan yang lain. Namun yang terpenting adalah sifat dari pestisida itu sendiri. Sifat-sifat seperti daya larut dalam air, polaritas (yang menentukan sifat lipofilik pestisida), daya menguap serta sifat reaktivitas dan stabilitas kimia pestisida merupakan sifat yang penting dalam menentukan persistensi pestisida. Selanjutnya Tarumingkeng (1992) menjelaskan
7
bahwa sifat pestisida yang sukar larut dalam air dan sulit menguap merupakan faktor utama banyaknya terdapat deposit pestisida di tanah. Sebagian besar pestisida hidrokarbon berklor seperti DDT, BHC, klordan, dieldrin dan heptaklor pada umumnya stabil dan persisten di dalam tanah. Mengapa pestisida cenderung menumpuk pada lapisan tanah bagian atas, belum jelas sekali. Namun ada asumsi yang dapat dipegang adalah bahwa terdapat dua lapisan tanah, bagian atas yang banyak mengandung bahan organik dan lapisan bawahnya yang banyak mengandung bahan anorganik. Cookson (1995) menyatakan jenis pestisida tertentu akan tetap terdeteksi di tanah pada waktu cukup lama (Tabel 1) Tabel 1. Persistensi Beberapa Pestisida di Tanah Bahan Chlordane DDT Dieldrin Heptachlor Toxophene Dalapon DDVP Methyldemeton S Thimet
Lama Tinggal 21 tahun 24 tahun 21 tahun 16 tahun 10 minggu -
Waktu Paruh 2-4 tahun 3-10 tahun 1-7 tahun 7-12 tahun 10 tahun 17 hari 26 hari 2 hari
Sumber: Alexander, 1977 dalam Cookson, 1995
Sebelum membahas tentang degradasi pestisida perlu diketahui bagaimana nasib dari polutant organik saat berhubungan dengan tanah secara umum (Gambar 2). Polutan organik yang masuk ke dalam tanah akan mengalami volatilisasi ke udara, biodegradasi, transfer ke dalam tubuh organisme, terikat ke dalam tanah dan mengalami leaching ke dalam air tanah. Nasib polutan organik di tanah dipengaruhi oleh berbagai faktor misalnya karakteristik tanah, jenis bahan kimia, suhu dan presipitasi. Tingkat persisten polutan organik berhubungan dengan sifat hidrophobik bahan tersebut. Polutan organik di tanah umumnya berkurang secara cepat pada tahap awal yang singkat dan berlanjut secara lambat pada periode waktu yang sangat lama. Sifat volatilitas, hidropobisitas dan avinitas bahan mempengaruhi kedua fase tersebut (Semple et al. 2001) Penelitian yang telah dilakukan untuk bioremediasi lahan tercemar pestisida dengan teknik pengomposan menggunakan daun dan rumput menunjukkan hasil bahwa setelah 50 hari pengomposan 47% pestisida jenis 2,4-D 8
Volatilisasi Bioakumulasi
Induk polutan organik
Proses biologi, kimia dan fisika
Produk degradasi
Minieralisasi menjadi CO2
Proses di dalam tanah
Leaching
Gambar 2. Peluang perubahan keberadaan polutan organik di tanah (Semple et.al. 2001) termineralisasi pada suhu 60oC (Reddy dan Michel, 1999). Bernier et al. (1997) juga pernah melakukan penelitian mengenai pengomposan tanah tercemar pestisida khususnya DDT. Pada percobaan tersebut, tanah yang tercemar 600 ppm DDT dikomposkan melalui rangkaian pengomposan anaerobik (2 minggu) dilanjutkan dengan pengomposan aerobik (2 minggu) telah sukses mendegradasi DDT menjadi 140 ppm tanpa DDD dan DDE di akhir percobaan. Percobaan tersebut dilakukan pada kontainer pengomposan normal yang mampu menampung 1 ton tanah terkontaminasi. Selanjutnya Bernier et al. (1997) juga melakukan pengomposan skala laboratorium dengan komposisi pencampuran berbeda menghasilkan degradasi pestisida yang berbeda pula. Total campuran akhir 65 g dengan komposisi bahan pengomposan (% berat) terdiri dari tanah : gambut : kotoran hewan : serbuk gergaji = 10 : 1 : 45 : 45 berhasil mereduksi 89% DDT, komposisi 25 : 1 : 37 : 37 berhasil mereduksi 85% DDT dan komposisi 25 : 20 : 35 : 20 berhasil mereduksi 73% DDT. Cookson (1995) menjelaskan bahwa degradasi pestisida oleh mikroba dapat terjadi melalui beberapa proses: pestisida terakumulasi dalam sel mikroba, penggabungan senyawa pestisida ke dalam fraksi tanah organik, atau termineralisasi yaitu molekul pestisida terdegradasi oleh mikroba dengan menjadikannya sebagai substrat untuk pertumbuhan dan energi. 9
Selama pengomposan pestisida akan mengalami degradasi. Degradasi tersebut terjadi karena mikroba-mikroba yang ada menghasilkan enzim-enzim yang akan mengkatalisis oksidasi, reduksi, hid rolisis, dehalogenisasi dan reaksi secara sintetik (Singer dan Chron 2002). Pestisida yang bersifat persisten di lingkungan dapat diketahui dari struktur kimianya. Struktur kimia tersebut juga bisa membantu untuk mengetahui kelarutan pestisida tersebut. Pestisida yang mempunyai ikatan labil akan lebih mudah dan cepat didegradasi. Penambahan air bisa memecah ikatan yang labil tersebut dengan proses hidrolisis atau enzimatik. Malathion merupakan contoh insektisida yang mempunyai ikatan labil dan dapat terdegradasi dengan enzim hidrolitik (misalnya esterase dan phospatase). Pestisida lain yang mampu terdegradasi melalui reaksi hidrolisis adalah: karbamat, pyrethroid, diazinon, dicamba, asam dikloropikolinat, dimethoat, atrazin, linuron, propanil, kloropirifo s dan 2,4-D (Singer et al. 2002). Enzim lainnya yang bekerja dalam degradasi pestisida yaitu monooksigenase dan di-oksigenase. Enzim tersebut memasukan satu atau dua atom oksigen ke dalam struktur pestisida. Proses oksidasi ini menyebabkan pestisida menjadi lebih mudah untuk degradasi selanjutnya. Degradasi akan dimulai dari tingkat ekstraseluler dan akan dilanjutkan ke tingkat intraseluler (Singer et al. 2002). Pada tahap awal, mikroba akan mengekskresikan enzim dan bereaksi dengan ikatan pestisida di dalam selulosa, hemiselulosa dan atau lignin merubah ke komponen yang lebih kecil. Enzim ekstraseluler bisa bereaksi dengan unsur kimia yang bukan target. Jika enzim bertemu pestisida sebelum menjangkau substrat target (contohnya selulosa, hemiselulosa, ligin) enzim tetap akan bereaksi dengan pestisida untuk mengurangi kadar toksisitasnya. Sebagian besar enzim ekstraseluler bersumber dari fungi. Fungi yang terdapat pada kompos dan bahan tanah organik beberapa diantaranya adalah genus Trichoderma, Gliocladium, Penicillium
dan
Phanerocheate.
Setelah
enzim
ekstraseluler
memulai
mendegradasi pestisida, pestisida akan memasuki sel mikroba dan degradasi selanjutnya terjadi secara intraseluler (Singer et al. 2002).
10
2.2 Profenofos dan Degradasi Profenofos 2.2.1 Sifat Kimia Profenofos Profenofos merupakan senyawa insektisisda dari golongan organofosfat. dengan spektrum luas dan terdaftar penggunaannya untuk tanaman kapas. Merk dagang dikenal dengan Curacron 8E dan diaplikasikan di lapangan sebagai larutan emulsi dengan dosis 1 pon/ha-6 pon/ ha/Tahun (BCPC, 1997).
Gambar 3. Rumus Bangun Profenofos Profenofos mempunyai nama kimia O-(4-bromo -2-chlorophenyl)O-ethyl Sprophyl Phosporothioate dengan rumus empiris C11 H15BrClO 3PS dengan rumus bangun seperti Gambar 3. Profenofos mempunyai bobot molekul 373.6, titik didih 100oC pada 1.80 Pa, tekanan uap sebesar 1.24 x 10-1mPa pada suhu 25 oC, kelarutan dalam air 28 mg/l
25oC dan mudah larut dalam pelarut organik.
Profenofos berbentuk cairan kuning muda dengan bau seperti bawang putih. Relatif stabil pada kondisi netral–asam dan tidak stabil pada kondisi basa. Pada roses hidrolisis di laboratorium pada suhu 20 oC mencapai 93 hari pada pH 5, 14.6 hari pada pH 7 dan 5.7 hari pada pH 9 (BCPC, 1997). Secara biokimia merupakan inhibitor kolinesterase. Merupakan insektisida dan akarisida non-sistemik tetapi bersifat kontak dengan pencernaan. Direkomondasikan untuk memberantas hama pada kapas, jagung, bit, kentang, aneka sayuran, tembakau dan beberapa tanaman lain. Profenofos memiliki spektrum daya bunuh yang luas terhadap insekta dan akarisid. EPA, 1998 mendata toksisitas penggunaan profenofos terhadap hewan non-target sebagai berikut. Pada burung LD 50 55.0 mg/kg bersifat akut, burung puyuh LC50 57 ppm dan pada mallard duck LC50 1.646 ppm. Berdasarkan studi reproduksi, Profenofos mempengaruhi produksi telur burung. Profenofos mempunyai pengaruh akut sangat tinggi terhadap lebah madu yaitu LD 50 0.095
11
µg/lebah. Profenofos bisa mengakibatkan toksisitas akut dan kronik terhadap biota air ikan dan vertebrata. Pada berbagai jenis ikan pada percobaan toksisitas akut selama 96 jam diperoleh data LC 50 25-41 µg/l. Berdasarkan laporan ikan akan mati pada kadar residu 0.6-1.5µg/l. pada invertebrata air seperti daphnia, profenofos bersifat sangat toksik dengan EC 50 0.93µg/L dan dari percobaan yang dilakukan, daphnia mampu hidup pada 0.2 µg (NOAEC) dan 0.26 µg/L (LOAEC). Hal ini sangat membahayakan ekosistem perairan. Toksistas Profenofos pada ikan laut berkisar LC 50 2.4-7.7 µg/l. Gejala yang ditimbulkan kepada manusia jika keracunan Profenofos adalah sebagai berikut: produksi air liur berlebihan, berkeringat, keluar air mata, tegang otot, lemas, kejang-kejang, in-koordinasi, sakit kepala, pusing, mual, muntah, kram perut, diare, tekanan pernafasan, sesak dada, batuk parah, mengganggu kerja pupil kadang-kadang penglihatan kabur, tidak sadar/pingsan dan penghalang enzim kolinesterase (BCPC, 1997). EPA (2000) menyatakan bahwa konsentrasi akut profenofos 0.005 ppm/hari dan konsentrasi kronik 0.00005 ppm/hari untuk makanan dan minuman. Sedangkan tipe exposure inhalasi 0.068 ppm bisa menghambat aktivitas otak dan kolinesterase. 2.2.2 Degradasi Profenofos Data mengenai keberadaan profenofos di lingkungan relatif lengkap tetapi tidak demikian halnya dengan degradasinya. Informasi yang diperoleh lebih kepada degradasi profenofos dalam lingkungan netral-basa. Penelitian menunjukkan bahwa pH sangat mempengaruhi hidrolisis profenofos. Profenofos menghilang hanya beberapa hari pada tanah basa. Sedikit sekali data yang menunjukkan bagaimana kehilangan Profenofos pada tanah asam, namun demikian diduga lajunya lebih lambat. Alexander (1999) menguraikan bahwa setiap substrat bisa didegradasi oleh enzim tertentu, tetapi bukan berarti setiap enzim khusus mendegradasi satu substrat tertentu. Substrat yang mengandung phospat dimineralisasi oleh enzim phospatase dengan reaksi hidrolisis seperti parathion, paraoxon, diazinon, dursban dan fenitrothion, sedangkan profenofos tidak disebutkan. Substrat 4-bromo dan 2-chloro dapat dimineralisasi oleh enzim dehaloganase. Salah satu produk degradasi profenofos yang utama adalah 4-bromo -2-chlorophenol bersifat sangat persisten di 12
lingkungan (Gambar 4). Sedangkan produk lainnya yaitu O-ethyl-S-propyl Phosporthioate tidak diketahui dengan jelas sifatnya.
Gambar 4. ‘Pathway’ Metabolit Profenofos
Profenofos bersifat tidak terlalu mobile sehingga belum ada penelitian mengenai potensi leaching profenofos. Mobilitas dan potensial leaching profenofos belum diketahui. Sedangkan untuk proses leaching profenofos kecil kemunginan terjadi. Pernyataan ini berdasarkan pada penelitian Ngan et al., (2005) bahwa pada tanah pertanian dengan pH 5 mengindikasikan profenofos tidak mengalami leaching lebih dari 10 cm di bawah tanah. Selanjutnya dijelaskan bahwa profenofos bersifat “limited mobiltiy”. Pada penelitian Tejada et al. (2000) mengenai
13
pengaruh pemakaian profenofos secara terus menerus di perkebunan kapas, menyimpulkan bahwa profenofos ditemukan hanya sampai kedalaman 20 cm setelah 180 hari penyemprotan sebesar 0.02% dari konsentrasi awal. a. Persisten Proses hilangnya profenofos di lingkungan umumnya terjadi secara hidrolisis. Hidrolisis profenofos pada larutan netral dan basa mempunyai t1/2 104108 hari pada pH 5, 24-62 hari pada pH 7 dan 7-8 jam pada pH 9. Produk degradasi utamanya adalah 4-bromo -2-chlorophenol dan O-ethyl-S-propyl Phosporthioate. Photolisis bukan merupakan ‘pathway’ utama pada degradasi profenofos. Profenofos dapat dianailisis pada UV spektrum panjang gelombang 290-490 nm (EPA, 2000) Metabolisme profenofos terjadi dengan dengan cepat pada tanah netral dan basa. Pada kondisi aerobik profenofos terdegradasi dengan t1/2 2 hari dan 3 hari pada kondisi anaerob dengan aplikasi radioaktif. Laju metabolisme profenofos dipengaruhi oleh proses hidrolisis dan metabolisme aerobik dan anaerobik pada kondisi netral dan asam disimpulkan lebih lambat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tanah aerobik dan anaerobik terhadap konsentrasi 4-Bromo-2chlorophenol, tidak menunjukkan penurunan setelah 60-120 hari setelah aplikasi profenofos. Keberadaan profenofos di lingkungan dapat di lihat pada Tabel 2. (EPA, 2000) Pada studi lanjutan untuk tanah aerobik, profenofos yang diaplikasikan sebanyak 10.9 ppm pada pH 7.8 terhadap tanah liat berpasir mengalami degradasi selama 19 hari. Konsentrasi profenofos menurun sampai 56% selama 2 hari setelah diaplikasikan radioaktif, 36% setelah 3 hari dan 9% setelah 9 hari. Metabolit utama yaitu: (1) 4-bromo-2-chlorophenol, meningkat dari 11% pada hari 1 sampai maksimum konsentrasi 79% selama 120 hari dan menurun menjadi 32% selama 270-360 hari; (2) BCPEE [4-bromo-2-chlorophenol ethyl ether], meningkat dari 2% pada hari ke 5 menjadi 13% hari ke 90 dan 42% hari ke 270360; dan (3) THPME [2-thioethylenecarboxy-4-hydroxyphenyl methyl ether] meningkat 10% pada hari ke 180-270 (EPA, 2000)
14
Tabel 2. Ringkasan Degradasi Profenofos Parameter Persisten Hidrolisis pH 5 pH 7 pH 9 Fotolisis di air Fotolisis di tanah Metabolisme aerob di tanah Metabolisme anaerob di tanah Metabolisme anaerob di perairan Mobilitas/Adsorbsi – Desorbsi Koefisien stabilitas (4 jenis tanah) Penguapan di Laboratorium Bioakumulasi Akumulasi pada ikan
Nilai t1/2 = 104-108 hari t1/2 = 24-62 hari t1/2 = 0.33 hari stabil stabil t1/2 = 2 hari pH 7.8 t1/2 = 3 hari pH 7.8 t1/2 = 3 hari pH 7.3 (air) pH 5.1 (sediment) Kd = 4.6-89.3 Koc = 869-3162 6.13 x 10-3 ug/cm2/jam 29x pada daging; 45x pada kepala; 682x pada organ dalam
Sumber: EPA, 1998
b. Mobilitas Mobilitas profenofos dinyatakan dengan koefisien
Freundlich (K ads)
sebagai Adsorbsi dan Koc sebagai Desorbsi dimana Kads 4.6 untuk pasir, 7.5 untuk tanah liat berpasir, 17.0 untuk tanah liat dan 89.3 untuk tanah debu. Koefisien desorbsi berada pada selang 6.2 (pasir) – 128.1 (debu). Adsorbsi akan meningkat seiring dengan meningkatnya bahan organik tanah dan debu. Data yang lebih lengkap dibutuhkan untuk mengetahui bagaimana mobilitas dari produk utama degradasi profenofos yaitu 4-bromo-2-chlorophenol dan O-ethyl-S-propyl Phosporthioate (EPA, 2000) Percobaan di laboratorium menunjukkan bahwa sebagian profenofos bisa hilang ke atmosfer melalui penguapan. Lebih dari 30 hari, rata-rata volatilitas profenofos 6.13 x 10-3 ug/cm2/jam dan tekanan uap rata-rata 3.46 x 10-6 mm Hg. Residu utama pada penguapan adalah 4-bromo -2-chlorophenol (EPA, 2000)
c. Akumulasi Berdasarkan penelitian, profenofos dan produk degradasinya yaitu 4bromo -2-chlorophenol masih ditemukan sejauh 6 inchi dari permukaan pada plot
15
yang ditanami kapas dan plot kontrol di California dan Texas. Sedangkan pada penelitian Ngan et al. (2005) bahwa pada tanah pertanian dengan pH 5 mengindikasikan profenofos tidak mengalami leaching lebih dari 10 cm di bawah tanah. Selanjutnya dijelaskan bahwa profenofos bersifat “limited mobiltiy”. Pada penelitian Tejada et al. (2000) mengenai pengaruh pemakaian profenofos secara terus menerus di perkebunan kapas, menyimpulkan bahwa profenofos ditemukan hanya sampai kedalaman 20 cm setelah 180 hari penyemprotan sebesar 0.02% dari konsentrasi awal di permukaan hari ke nol. Akumulasi residu profenofos pada biota ikan lebih banyak terjadi pada organ dalam/pencernaan. Maksimun faktor biokonsentrasi mencapai 29x pada daging, 45x pada kepala dan 682x pada organ dalam. Residu profenofos dapat didepurasi secara cepat dengan konsentras i hanya 1 ppb pada daging, 2 ppb pada kepala dan 7 ppb pada organ dalam. Bahan kimia yang dominan ditemukan di organ dalam ikan yaitu 4-bromo-2-chlorophenol (EPA, 2000)
2.3 Bioremediasi Bioremediasi merupakan bagian dari bioteknologi lingkungan yang memanfaatkan aktivitas mikroba untuk mendegradasi kontaminan berbahaya menjadi bahan yang tidak toksik atau toksisitasnya berkurang (Vidali, 2001). Bioremediasi dapat digunakan sebagai teknik untuk pengolahan limbah bahan kimia termasuk pestisida (Cookson, 1995). Bioremediasi akan efektif jika kondisi lingkungan mendukung pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Faktor yang mempengaruhi bioremediasi adalah: keberadaan populasi mikroba yang mampu mendegradasi polutan, faktor lingkungan seperti tipe lahan, suhu, pH, keberadaan oksigen atau electron acceptor lainnya dan nutrien. Bioremediasi ini dapat dilakukan jika tanah terkontaminasi pestisida tersebut mengandung mikroba-mikroba indigen yang mampu hidup dan telah beradaptasi dengan kontaminan pestisida yang ada di lahan tersebut. Cookson (1995), meguraikan jenis-jenis bakteri yang mampu mendegradasi pestisida adalah; Achromobacter (2,4-D dan carbofuran), Arthrobacter (EPT, esopenphos, 2,4-D), Alcaligenus (Isipenphos (2,4-D), Flavobacterium (PCP, EPTC, 2,4-D),
16
Methylomonas (EPTC), Pseudomonas (Alachlor, Isopenfhos, carbofuran, 2,4-D), dan Rhodococcus (EPTC). Jenis mikroba juga mempengaruhi proses bioremediasi apakah secara aerobik atau anaerobik. Umumnya proses bioremediasi berlangsung secara aerobik namun untuk kond isi tertentu tergantung jenis kontaminan dan mikroba pendegradasi, bisa berlangsung secara anaerobik. Pestisida (atrazin, carbaryl, carbofuran, coumphos, diazinon, glicofosfat, parathion, propham dan 2.4-D) dapat diremediasi secara aerobik maupun anaerobik (Vidali, 2001). Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa, faktor lingkungan yang berpengaruh yaitu nutrien. Keberadaan mikroba di tanah terkontaminasi harus distimulasi pertumbuhan dan aktivitasnya. Biostimulasi biasanya dilakukan dengan penambahan nutrien dan oksigen untuk membantu mikroba indigen untuk menghasilkan enzim yang dibutuhkan guna mendegradasi kontaminan. Mikroba tersebut membutuhkan nitrogen, karbon dan fosfor (Tabel 3). Karbon merupakan kebutuhan nutrien dasar yang dibutuhkan dalam jumlah besar dibandingkan unsur lain. Kebutuhan nutrien C/N rasio 10:1 dan C/P rasio 30:1. Tabel 3 Komposisi Sel Mikroba Unsur Karbon Nitrogen Oksigen Hidrogen Phospor Sulfur Kalium
Persentase 50 14 20 8 3 1 1
Unsur Natrium Kalsium Magnesium Klorida Besi lain-lain
Persentase 1 0.5 0.5 0.5 0.2 0.3
R.Y Stainer et.al. The Microbial Word 5th ed. Prentice-Hall, NJ (1986) dalam Vidali (2001)
Pertumbuhan dan aktivitas mikroba dipengaruhi oleh pH, suhu dan kelembaban. Meskipun mikroba ters ebut diisolasi dari kondisi yang ekstrim, namun pertumbuhan yang optimal hanya terjadi pada kisaran yang sempit. Oleh karena itu perlu memperoleh kondisi yang optimal. Mikroba dapat tumbuh dan berkembang pada pH 6.5-7.5. Sedangkan suhu yang disarankan adalah 15-45 oC.
2.4 Pengomposan
17
Pengomposan merupakan dekomposisi dan mineralisasi bahan-bahan organik secara biologi pada kondisi termofilik untuk menghasilkan produk akhir yang stabil dan tidak berbahaya sehingga dapat menguntungkan saat diaplikasikan ke tanah (Bertoldi et al. 1998). Selanjutnya dijelaskan bahwa kunci dari definisi tersebut adalah untuk memproduksi hasil akhir yang stabil, bermanfaat dan menyuburkan yang disebut kompos. Murbandono
(2005)
mendefinisikan
pengomposan
adalah
proses
fermentasi/dekomposisi/degradasi bahan-bahan organik karena adanya interaksi antara mokroba (bakteri pembusuk). Bahan-bahan organik tersebut seperti dedaunan, rumput, jerami, kotoran hewan, sekam padi dan lain-lain. Menurut Murbandono (2005)
dan Indriani (2004 ), selama proses
pengomposan terjadi perubahan-perubahan bahan antara lain: 1. Karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak, lilin menjadi CO 2 dan air. 2. Protein menjadi amida-amida dan asam amino menjadi amoniak, CO2 dan air. 3. Pengikatan unsur hara di dalam tubuh mikroorganisme terutama N disamping P,K dan lain-lain yang terlepas kembali bila mikroorganisme mati. 4. Penguraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap tanaman Pengomposan dapat dilakukan secara aerob dan anaerob. Pengomposan aerob secara umum mengasilkan unsur C dalam bentuk CO2 dengan keberadaan oksigen. Hasil akhir lainnya yaitu NH 3, H2O dan panas. Reaksi penguraian bahan organik pada pengomposan aerobik adalah sebagai berikut:
Gula, selulosa, hemiselulosa (CH2O)x + xO 2 Protein (N organik) + O2 Organik sulfur + O2
xCO2 + xH2O
NH4 + NO 2- + NO 3 - + Energi SO4 + SO2- + SO3- + Energi
Organik fosfor (lesitin, phitin) + O2
H3PO4 + Ca(HPO4)2
18
Pengomposan secara anaerob terjadi saat tumpukan campuran kurang suplai oksigen sehingga menghasilkan senyawa merkaptan (CH2O)x dan H2S yang berbau tak sedap melalui reaksi berikut: Gula, selulosa, hemiselulosa (CH2O)x xCH3COOH
Methanomonas
Bakteri penghasil asam
xCH3COOH
CH4 +CO2
N – Organik
NH3
2H2S + xCO 2
(CH2O)x + S + H2O
Composting atau pengomposan dapat dilakukan dengan mencampur bahan bahan yang terkontaminasi dengan bahan-bahan sisa organik yang tidak berbahaya seperti limbah pertanian atau kotoran hewan. Keberadaan bahan-bahan organik tersebut akan mendukung perkembangan populasi mikroba dan kondisi temperatur untuk pengomposan (Vidali, 2001). Pengomposan untuk lahan tercemar bahan organik merupakan alternatif strategi baru yang secara umum sudah mulai berkembang tetapi masih terbatas penelitiannya (Semple et.al. 2001). Jika biowaste (jerami, kotoran hewan, sekam padi, tanaman, sayuran, potongan kayu/serbuk gergaji, kotoran hewan, tandan sawit) diinkubasi dengan tanah tercemar akan terjadi proses penguraian pada suhu tinggi (thermophilic phase) dan proses ini disebut pengomposan (composting) ( Gestel et al. 2003). Selama proses pengomposan berlangsung akan terjadi degradasi kontaminan bahan organik. Pestisida merupakan senyawa persisten di lingkungan pada konsentrasi tertentu, lebih cocok dilakukan bioremediasi dengan strategi pengomposan karena: ♦ Suhu yang tinggi atau suhu termofilik selama pengomposan memungkinkan reaksi biokimia yang lebih cepat. Suhu yang tinggi juga dapat menyebabkan pestisida menjadi lebih mudah terdegradasi dan meningkatkan pertumbuhan mikroba pendegradasi pestisida. ♦ Jenis mikroba yang beragam menyebabkan terjadinya co-metabolisme terhadap pestisida. Struktur bah an organik yang beragam dalam kompos
19
membantu terjadinya co-metabolisme sejumlah bahan yang menjadi obyek degradasi, bahkan xenobiotik yang rekalsitran seperti DDT, dan PCB. ♦ Bahan-bahan organik yang digunakan untuk pengomposan terdiri dari banyak dan beragam mikro organisme kemampuan
masing-masing.
kemampuan
degradasi
yang aktif, dengan karakteristik dan Keanekaragaman
pestisida
yang
lebih
ini tinggi
mengindikasikan dimiliki
oleh
mikroorganisme Bahan pengomposan biasanya menggunakan sisa-sisa pertanian, kotoran hewan (misal kotoran kuda, sapi, domba, ayam), lumpur aktif, jerami, serbuk gergaji, gambut (Bernier et al. 1997). Penelitian ini akan menggunakan bahan bahan daun-daun dari tanaman asal yaitu daun wortel, kotoran sapi dan tanah terkontaminasi pestisida dan serbuk gergaji untuk pengomposan. Bahan-bahan tersebut berbeda dalam hal kandungan C/N dan kadar air (Tabel 5). Bahan yang mempunyai nilai C/N rasio yang terlalu tinggi tidak baik digunakan sebagai bahan utama pengomposan tetapi hanya sebagai bulking agent untuk mengimbangi bahan yang C/N rasionya rendah. Prinsip pengomposan adalah menurunkan C/N rasio bahan organik menjadi kurang dari 20 atau sama dengan C/N rasio tanah. Jika C/N rasio tinggi, bahan organik tidak dapat langsung dimanfaatkan oleh tanaman. Menurut CPIS (1992) C/N merupakan faktor utama pengomposan oleh karena proses pengomposan dikendalikan oleh kegiatan mikroba yang memanfaatkan karbon sebagai sumber energi dan pembentukan sel bersamaan dengan nitrogen. Nilai C/N yang ideal untuk pengomposan berkisar 20-40 dan yang efektif adalah 30. Campuran pengomposan yang memiliki rasio C/N terlalu besar memerlukan waktu yang lama dengan kualitas kompos bermutu rendah (Murbandono, 1983). Hal ini disebabkan jumlah nitrogen sedikit untuk pembentukan sel sehingga dibutuhkan beberapa kali siklus untuk mereduksi karbon. Nitrogen yang telah diimobilisasi akan didaur ulang dicirikan dengan matinya beberapa mikroba yang bertanggung jawab melaksanakan pengomposan. Moser (2000) menyebutkan kadar air proses pengomposan perlu dipertahankan, campuran berada pada kondisi lembab tetapi padat sekitar 40-70%. Sedangkan menurut Indriani (1999), kadar air 40-60% baik untuk degradasi bahan
20
organik. Indrasti dan Wilmot (2001) menyatakan kadar air harus dikontrol 4560%. Faktor penting pengomposan lainnya adalah suhu. Moser (2000) menyatakan suhu akan mencapai 20-65 oC saat proses pencampuran bahan-bahan kompos. Jika suhu kurang dari 20 oC maka proses akan berjalan lambat dan jika lebih dari 65oC menyebabkan banyak mikroba yang mati. Moser menambahkan suhu yang disarankan pada kisaran 35-55 oC. Sedangkan menurut Indrasti dan Wilmot (2001) suhu dipertahankan pada 40-50oC. Nilai pH optimum untuk perkembangan mikroba adalah 6-8 (Indriani, 2004). Cookson (1995), menyatakan bahwa untuk jenis degradasi pestisida seperti DDT, aldrin, heptachlor, endrin dan lindane akan terdegradasi lebih cepat dalam kondisi anaerob. Pengomposan dapat berlangsung
secara
aerobik
maupun
anaerobik.
Pengomposan
aerobik
menghasilkan CO2, air dan panas. Pengomposan anaerobik menghasilkan metana (alkohol), CO2 dan senyawa antara seperti asam organik (Indriani, 2004). Indrasti dan Wilmot (2001) menjelaskan pada pengomposan sistem windrow, pathogen akan tereduksi jika suhu dipertahankan di atas 50 oC selama 3 hari. Kualitas kompos mengacu kepada standar mutu kompos menurut Departemen Pertanian RI (2004), Indrasti dan Wilmot (2001) dan standar mutu kompos menurut SNI Kompos (19-7030-2004) disajikan pada Tabel 3. Kualitas kompos sangat ditentukan oleh beberapa kriteria yaitu; kematangan kompos, kandungan unsur hara kompos, kandungan bahan berbahaya dan kandungan mikroba patogen dalam tanah. Gaur (1980) menyatakan bahwa kompos yang baik berstruktur remeh dan tidak menggumpal, berwarna coklat kehitaman, bau humus dan reaksi agak masam sampai netral. Nisbah C/N berkisar 5-20 dan kompos yang stabil mengandung N dalam bentuk senyawa nitrat dan tidak ada N dalam bentuk amonia.
21