II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Organisasi Pembelajar Seseorang dikatakan belajar bila ia mengubah prilakunya menjadi lebih efektif karena pengetahuannya yang diakusisinya dari lingkungan eksternal dan asimilasi dengan pengetahuan yang telah dimilikinya (Argris dan Schon 1992). Dengan saratnya perubahan di lingkungan eksternal, maka agar dapat tetap mempertahankan posisi bersaing yang menguntungkan diindustri, perusahaan perlu memiliki kemampuan belajar yang tinggi (Goh 1997). Menurut marquardt dan reynolds yang dikutip Purwanto (2007) learning adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu dalam usahanya memperoleh pengetahuan dan wawasan baru untuk mengubah perilaku dan tindakannya. Sedangkan Senge (1990) mengutip makna learning di kalangan budaya
Cina,
yang
memberi
makna
belajar
dan
praktek
secara
berkesinambungan. Sedangkan menurut Pedler, et al (1991), learning company adalah organisasi yang memfasilitasi learning bagi seluruh anggota organisasi dan transformsinya secara berkesinambungan dalam seluruh level organisasi. Nilai yang paling essensial dari organisasi pembelajar adalah pemecahan masalah melalui eksperimen, metode coba-coba, dan kegiatan mandiri. Dari hal tersebut pengetahuan akan diperoleh Daft (1995). Menurut de Geuz (1997), ada beberapa sifat dasar organisasi pembelajar yaitu sensitif, kohesif, dan toleran. Sementara itu Dale (1994) menyatakan bahwa ciri-ciri organisasi pembelajar adalah adanya iklim yang mendukung, budaya belajar, strategi pengembangan sumber daya manusia, dan meletakkan organisasi dalam proses transformasi yang kontinyu. Selain itu Fahey yang dikutip Purwanto (2007) menyatakan bahwa learning tidak hanya sekedar knowledge creation tetapi juga menggunakan untuk pengambilan keputusan dan penuntun tindakan. Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulakan bahwa organisasi pembelajaran adalah kemampuan organisasi menyediakan iklim
10
bagi para anggotanya baik sebagai individu maupun berbagai kelompok dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuan organisasi dan dalam memecahkan masalah pada masa sekarang dan masa mendatang (Purwanto, 2007). Dengan suatu proses kajian literatur, wawancara dan investigasi lain maka Pedler, et al. (1988) mendefinisikan organisasi pembelajar sebagai berikut: “Sebuah organisasi yang memfasilitasi pembelajaran dari seluruh anggotanya dan secara terus menerus mentransformasi diri”. Pedler, et al. (1988) menekankan sifat dua sisi dari defenisi tersebut. Suatu perusahaan pembelajar bukan organisasi yang semata-mata mengikuti banyak pelatihan. Perlunya pengembangan keterampilan individu tertanam dalam konsep, setara dan merupakan bagian dari kebutuhan akan organisasi pembelajar. Menurut Pedler, et al. yang dikutip Dale (2003) suatu organisasi pembelajar adalah organisasi yang: 1. Mempunyai
suasana
dimana
anggota-anggotanya
secara
individu
terdorong untuk belajar dan mengembangkan potensi penuh mereka; 2. Memperluas budaya belajar ini sampai pada pelanggan, pemasok dan stakeholder lain yang signifikan; 3. Menjadikan strategi pengembangan sumber daya manusia sebagai pusat kebijakan bisnis; 4. Berada dalam proses transformasi organisasi secara terus menerus; Tujuan proses transformasi ini, sebagai aktivitas sentral, adalah agar perusahaan mampu mencari secara luas ide-ide baru, masalah-masalah baru dan peluang-peluang baru untuk pembelajaran, dan mampu memanfaatkan keunggulan kompetitif dalam dunia yang semakin kompetitif. Sange (1990) mengatakan sebuah organisasi pembelajar adalah organisasi
yang terus
menerus
memperbesar kemampuannya untuk
menciptakan masa depannya dan berpendapat mereka dibedakan oleh lima disiplin, yaitu: penguasaan pribadi, model mental, visi bersama, pembelajaran tim, dan pemikiran sistem. Lundberg yang dikutip Dale (2003) menyatakan bahwa pembelajaran adalah suatu kegiatan bertujuan yang diarahkan pada pemerolehan dan
11
pengembangan ketrampilan dan pengetahuan serta aplikasinya. Menurutnya organisasi pembelajar adalah : 1. Tidaklah semata-mata jumlah pembelajaran masing-masing anggota; 2.
Pembelajaran itu membangun pemahaman yang luas terhadap keadaan internal maupun eksternal melalui kegiatan-kegiatan dan sistem-sistem yang tidak tergantung pada anggota-anggota tertentu;
3. Pembelajaran tidak hanya tentang penataan kembali atau perancangan kembali unsur-unsur organisasi; 4.
Pembelajaran lebih merupakan suatu bentuk meta-pembelajaran yang mensyaratkan pemikiran kembali pola-pola yang menyambung dan mempertautkan
potongan-potongan
sebuah
organisasi
dan
juga
mempertautkan pola-pola dengan lingkungan yang relevan; 5.
Organisasi pembelajar adalah suatu proses yang seolah-oleh mengikat beberapa
sub-proses,
misalnya
perhatian,
penafsiran,
pencarian,
pengungkapan dan penemuan, pilihan, pengaruh dan penilaian. 6.
Organisasi
pembelajar
mencakup
baik
unsur
kognitif,
misalnya
pengetahuan dan wawasan yang dimiliki bersama oleh para anggota organisasi maupun kegiatan organisasi yang berulang-ulang, misalnya rutinitas dan perbaikan tindakan. Ada proses yang sah dan tanpa henti untuk memunculkan ke permukaan dan menguji praktek-praktek organisasi serta penjelasan yang menyertainya. Dengan demikian organisasi pembelajar ditandai dengan pengertian kognitif dan perilaku. Tokoh lain yang memberikan defenisi mengenai organisasi pembelajar adalah John Farago & David Skyrme yang dikutip Ginting (2004). Dalam salah satu tulisannya dikatakan bahwa: “Learning Organizations are those that have in place systems, mechanism and processes, that are used to continually enhance their capabilities to achieve sustainable objectives for themselves and the communities in which they participate.” Dari uraian di atas dapat dicatat butir-butir berikut ini, yaitu bahwa organisasi pembelajaran adalah: 1) Adaptif terhadap lingkungan eksternalnya; 2) Secara terus menerus menunjang kemampuan untuk berubah;
12
3) Mengembangkan baik pembelajaran individual maupun kolektif; 4) Menggunakan hasil pembelajaran untuk mencapai hasil yang lebih baik; Dari uraian-uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa organisasi pembelajar adalah organisasi yang secara terus menerus dan terencana memfasilitasi anggotanya agar mampu terus menerus berkembang dan mentransformasi diri baik secara kolektif maupun individual dalam usaha mencapai hasil yang lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan bersama antara organisasi dan individu di dalamnya. Organisasi
pembelajar
adalah
organisasi
yang
memfasilitasi
pembelajaran para anggotanya. Organisasi tersebut dibagun oleh lima faktor strategi, yaitu : 1. Kejelasan visi dan misi perusahaan. Organisasi sebagai satu kesatuan dan setiap unit kerja di dalamnya perlu memiliki visi yang jelas dan tegas, karyawan perlu memahami visi tersebut dan bagaimana pekerjaan yang dilakukannya mempengaruhi ketercapaian visi dari perusahaan. Senge (1995) yang dikutip Goh dan Ryan (2002) menekankan pentingnya visi bersama atau shared vision dalam suatu organisasi pembelajar, yaitu suatu kondisi yang oleh seluruh aau kebanyakan anggota organisasi diharapkan akan terwujud di masa mendatang dapat menciptakan keinginan untuk belajar. 2. Komitmen pimpinan dan pemberdayaan karyawan. Dalam organisasi pembelajaran, para pemimpin harus mempunyai komitmen untuk mencapai visi bersama dan visi pembelajaran Goh dan Richard yang dikutip Budi (2006). Lebih lanjut, pemimpin perlu menciptakan iklim egaliter dan membangun rasa saling percaya dimana orang lebih mudah untuk didekati dan kesalahan merupakan bagian dari pembelajaran. Karyawan dalam organisasi pembelajar mempunyai kemauan dan keterampilan untuk belajar. 3. Bereksperimen dan imbal jasa. Permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan memberikan peluang bagi eksperimen. Agris dan Schon yang dikutip Budi (2006) menyampaikan bahwa proses pembelajaran yang
13
paling dikenal efektif adalah melalui proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Senge yang dikutip Goh (1997) menambahkan bahwa organisasi pembelajaran mendukung anggotanya untuk terus bereksperimen dengan metode baru dan proses-proses inovatif. 4. Alih pengetahuan. Dalam organisasi pembelajar dilakukan oleh individu. Oleh sebab itu, manfaat pembelajaran yang dilakukan oleh satu orang atau satu kelompok orang tidak akan terjadi alih pengetahuan Goh (1997). Namun perlu juga diperhatikan agar kegiatan pengembangan sumber daya manusia terus dilakukan agar anggota organisasi dapat mengakusisi pengetahuan-pengetahuan terkini yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi perusahaan Goh yang dikutip Budi (2006). 5. Kerjasama dan pemecahan masalah secara kelompok. Pada lingkungan yang kompleks seperti lingkungan bisnis, individu perlu saling kerjasama untuk mencapai tujuan organisasi. Struktur, sistem, dan kebijakan perlu dirancang agar memudahkan anggota organisasi dari unit-unit kerja berbeda saling kerjasama Goh dan Richard (1997). Dengan bekerja dalam kelompok pengetahuan dapat dibagi, orang saling memahami, dan rasa saling percaya akan makin tinggi (Argyris dan Schon yang dikutip Budi, 2006). Kelima faktor strategis dalam organisasi pembelajar tidak berdiri sendiri, namun saling terkait seperti ditunjukan pada Gambar 1. Kejelasan visi dan dukungan terhadap visi Kepemimpinan Bersama dan Partisipasi
Alih pengetahuan
Kerjasama dan koperasi
Desain Organisasi yang mendukung pembelajaaran
Kompetisi SDM dan Akusisi Pengetahuan
Budaya Organisasi yang mendukung eksperimen
Gambar 1. Faktor-faktor Strategis dalam Organisasi Pembelajar (Budi, 2006)
14
2.2. Organisasi Pembelajar pada Organisasi Sektor Publik Pada awalnya organisasi pembelajaran dikembangkan pada sektor privat. Keberhasilan penerapan pada sektor privat ini kemudian dicoba diterapkan pada sektor publik. Penerapan dimungkinkan sebab pada segi-segi tertentu sektor privat dan sektor publik memiliki kemiripan. Kemiripannya adalah dalam fungsi-fungsi manajemen baik privat maupun publik, yaitu planning, organizing,staffing, directing, coordinating, reporting, dan budgeting (Allison dikutip Purwanto, 2007). Perbedaan utama terletak pada lingkungan khususnya. Sektor publik hidup dalam lingkungan politik sedangkan sektor privat hidup dalam lingkungan ekonomi pasar. Perbedaan lainnya adalah pada tujuan, sumber otoritas, hubungan dengan pers, akuntabilitas, dan sumber keuangan (Gaebler dan Plastrick dikutip Purwanto, 2007). Perubahan organisasi pada sektor privat dapat dilakukan hanya dengan mengubah organisasinya saja namun dalam sektor publik organisasi harus dipandang hanya sebagai salah satu sub sistem yang lebih besar. Dalam konsep reinventing government, ‘reinvention’ artinya transformasi yang mendasar dari sistem dan organisasi publik untuk menciptakan kenaikan yang dramatis dalam pencapaian efektivitas, efesiensi, kemampuan adaptasi dan kapasitas inovasi. Transformasi ini disertai dengan perubahan tujuan, insentif, akuntabilitas, struktur kekuasaan, dan budaya (Gaebler dan Plastricks dikutip Purwanto, 2007). Budaya organisasi perlu diubah karena budaya birokrasi cenderung menghambat munculnya tanggungjawab, inovasi, kompetisi, dan adaptasi (Gaebler dan Plastricks dikutip Purwanto, 2007). Umumnya organisasi publik menggunakan birokrasi sebagai alat untuk melaksanakan pekerjaan (Vinten dikutip Purwanto, 2007). Untuk menyesuaikan kemampuan birokrasi terhadap perkembangan lingkungan Kettl dikutip dari Purwanto, 2007), menyarankan agar birokrasi berubah menjadi birokrasi pembelajar (learning bureaucracy). learning bureaucracy dapat dicapai jikabirokrasi memiliki anggapan bahwa: 1. Learning adalah penting; 2. Kunci utama bagi kinerja birokrasi adalah informasi;
15
3. Informasi mengalir secara bottom up dan from the outside in; dan 4. Pengetahuan adalah kekuasaan . Perubahan yang mendasar perlu dilakukan dengan mengintegrasikan peranan-peranan, sistem, dan ganjaran (reward) (Beckhard & Pritchard dikutip Purwanto, 2007). Birokrasi harus membuka dirinya untuk menangkap tanda-tanda yang berasal dari luar birokrasi. Barzelay dan Armajani (dikutip dari Purwanto, 2007) menyarankan reformasi birokrasi dapat dilakukan dengan perbaikan institusi, dan rutinitas kinerja birokrasi. Namun yang paling mendasar adalah perlunya perubahan dalam cara berfikir. Tantangan terbesar yang dihadapi oleh birokrasi adalah untuk mengubah paradigmanya menjadi custumer driven dan berorientasi pada pelayanan. Barzelay dan Armajani (dikutip dari Purwanto, 2007) juga menyatakan bahwa kegiatan pengendalian yang selalu berkonotasi pada peraturan sentralisasi, dan cenderung menekan perlu digantikan dengan desentralisasi, delegasi, struktur yang ramping, dan kepatuhan secara sukarela. 2.3. Karakteristik Organisasi pembelajar Organisasi yang telah menerapkan konsep organisasi pembelajar memiliki ciri-ciri seperti yang dikatakan Moris yang dikutip Marquardt dan Reynold (1996) adalah: 1.
Setiap individu yang belajar, perkembagannya terkait dengan organisasi pembelajaran dan pengembangan organisasi.
2.
Menitikberatkan kepada usaha kreativitas dan adaptasi.
3.
Berbagai kerjasama merupakan unsur proses dan pengembangan belajar.
4.
Jaringan kerja yang bersifat individu dan penerapan teknologi merupakan
bagian
terpenting
untuk
menciptakan
organisasi
pembelajaran. 5.
Bagian mendasar adalah berfikir sistem.
6.
Organisasi pembelajaran yang berkelanjutan menyebabkan keadaan yang lebih baik (transformasi) terhadap pertumbuhan organisasi. Berdasarkan uraian di atas mengarah pada kesimpulan, dimana
organisasi pembelajar merupakan suatu kondisi atau iklim yang dapat
16
mendorong dan mempercepat personal, kelompok dan organisasi untuk belajar. Organisasi pembelajar mengarahkan untuk penerapan proses berpikir kritis dalam memahami sesuatu yang seharusnya dilaksanakan dan untuk apa kita melaksanakannya. Setiap individu atau pegawai adalah SDM dalam organisasi yang berperan penting dalam membantu organisasinya untuk belajar dari kesalahan, kegagalan, dan keberhasilan. Dengan demikian disadari dan diakui berbagai perubahan lingkungan dan berusaha beradaptasi dengan cara yang lebih efektif. Suatu organisasi tidak otomatis menjadi organisasi pembelajar walaupun telah melakukan semua hal tersebut. Perlu dipastikan bahwa tindakan-tindakan tersebut harus ditanamkan, sehingga menjadi cara kerja sehari-hari yang rutin dan normal. Strategi pembelajaran bukan sekedar strategi pengembangan
sumber daya manusia. Dalam organisasi
pembelajar, pembelajaran menjadi inti dari semua bagian operasi, cara berprilaku dan sistem. Mampu melakukan transformasi dan berubah secara radikal adalah sama dengan perbaikan yang berkelanjutan. Schein (dikutip dari Utami, 2009) mengemukakan karakteristik organisasi pembelajar dapat dilihat sebagai berikut: 1.
Dalam hubungan dengan lingkungan maka organisasi bersifat lebih dominan dalam menjalin hubungan.
2.
Manusia hendaknya berlaku proaktif.
3.
Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang baik.
4.
Manusia pada dasarnya dapat diubah.
5.
Dalam hubungan antar manusia, individualisme, dan kolektivisme sama-sama penting.
6.
Dalam hubungan atasan bawahan kesejawatan atau partisipasif dan otoritatif atau paternalitik sama-sama pentingnya.
7.
Orientasi waktu lebih berorientasi pada masa depan yang pendek.
8.
Untuk perhitunagan waktu lebih digunakan satuan waktu yang medium.
9.
Jaringan komunikasi dan informasi berkesinambungan secara lengkap.
17
10.
Orientasi hubungan dan orientasi tugas sama-sama penting.
11.
Perlunya berfikir sistematis. Marquardt
(1994)
menyatakan
Learning
Company
yang
mengidentifikasikan suatu perusahaan untuk menciptakan kondisi dalam membantu terciptanya komitmen, integritas dan tanggung jawab pada sumberdaya manusia terhadap keberhasilan kinerja organisaisi. Hal tersebut tercermin dala tiga sikap. Pertama, setiap pegawai harus memiliki visi organisasi, yaitu persepsi dan sudut pandang yang sama mengenai kegiatan, tujuan dan arah organisasi dimasa mendatang. Kedua, setiap pegawai mempunyai akses yang berkesinambungan terhadap informasi yang dibutuhkan guna mendukung keberhasilan organisasi. Ketiga, setiap anggota organisasi mempunyai kesempatan untuk belajar dari anggota yang lain dan membuat kesimpulan dan konsensus bersama tentang apa yang seharusnya dilakukan organisasi. Untuk lebih mendalam lagi mengenai penelitian yang dilakukan Marquardt dan Reynolds (1994), organisasi pembelajar mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1. Melihat ketidakpastian sebagai kesempatan untuk pertumbuhan dan perkembangan. 2. Membuat pengetahuan baru dengan memakai informasi yang objektif, cara pandang yang obyektif, simbol-simbol dan berbagai asumsi. 3. Respetif terhadap perubahan internal organisasi. 4. Memberiakan rangsangan dan meningkatkan tanggungjawab mulai dari tingkatan pegawai yang terendah. 5. Mendorong manajer atau pemimpin untuk menjadi pembimbing dan memberikan fasilitas proses belajar. 6. Mempunyai budaya umpan balik dan keterbukaan. 7. Mempunyai pandangan yang terpadu dan sistematis terhadap sistem organisasi, proses dan keterkaitan antar unsur organisasi. 8. Memiliki visi, tujuan dan nilai-nilai yang sama antar anggota organisasi. 9. Pengambilan keputusan terdesentralisasi dan setiap pegawai diberikan kewenangan untuk mengambil suatu keputusan.
18
10. Mempunyai kepemimpinan yang berani menghadapi resiko dan selalu mencoba hal-hal yang baru berdasarkan perhitungan yang matang. 11. Orientasi pada pelanggan. 12. Mempunyai sistem dalam berbagai pengetahuan dan melakukannya dala organisasi. 13. Kepedulian terhadap lingkunagan masyarakat sekitarnya. 14. Adanya keterkaitan pengembangan diri setiap pegawai dengan pengembangan organisasi. 15. Mempunyai jejaring kerja (network) yang berfungsi di dalam organisasi dengan penggunaan teknologi. 16. Mempunyai jarinagan dengan lingkungan internasional. 17. Memberiakan kesempatan pada setiap pegawai yang memiliki inisiatif dan prestasi kerja. 18. Menghindari birokrasi. 19. Memberikan penghargaan kepada setiap pegawai yang memiliki inisiatif dan prestasi. 20. Menumbuhkan rasa saling percaya di antara anggota organisasi. 21. Melakukan pembaharuan yang berkelanjutan. 22. Mendorong, mengembangkan dan menghargai setiap bentuk kerjasama kelompok. 23. Mengusahakan dan memanfaatkan kelompok kerja lintas fungsional. 24. Mengusahakan dan memanfaatkan kelompok kerja lintas fungsional. 25. Melihat organisasi sebagai organisme yang hidup dan terus berkembang. 26. Memandang sesuatu yang tidak diharapkan sebagai suatu kesempatan utuk belajar. Usaha dalam mewujudkan organisasi pembelajar harus dimulai dengan memahami kemampuan dari organisasi dalam upaya membuat kondisi yang mengarah pada terbentuknya organisasi pembelajar, dengan memanfaatkan keahlian dan pengetahuan yang dimiliki serta dikelola oleh semua unsur organisasi, sehingga menjadi kekuatan organisasi. Peranan pemimpin sangat diperlukan untuk menentukan kondisi terwujudnya
19
pembelajaran setiap pegawai, kelompok kerja dan organisasi secara keseluruhan. 2.4.
Konsep organisasi pembelajar Watkins pembelajar
and
dibangun
Marsick melalui:
(1993)
mengungkapkan
pemimpin-pemimpin
organisasi yang
telah
memperhitungkan resiko dan eksperimen yang dilakukan, desentralisasi pengambilan keputusan dan pemberdayaan karyawan, tersedianya keterampilan untuk membagi ilmu pengetahuan dan menggunakannya, imbalan dan struktur organisasi untuk berbagai inisiatif karyawan, pertimbangan terhadap konsekuensi jangka panjang dan dampaknya pada pekerjaan yang lain, frekuensi penggunaan tim kerja lintas fungsional, kesempatan untuk belajar dari pengalaman, dan budaya umpan balik dan penyingkapan. Para periset organisasi telah memfokuskan perhatian pada konsep organisasi
pembelajar
dengan
mengidentifikasikan
karakteristik
perusahaan yang memilki kapasitas untuk belajar, beradaptasi dan berubah. Beberapa pendekatan untuk mendefinisikan konsep tersebut telah bermunculan, diantaranya adalah sebagai berikut: Senge (1990) dalam bukunya The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization, membangun lima disiplin kunci dari organisasi pembelajar. Menurut Sange lima disiplin tersebut yakni system thinking, mental models, personal mastery, team learning dan building shared vision merupakan “komponen teknologis” atau dimensi yang sangat penting yang diperlukan dalam membangun organisasi pembelajar. Kelima disiplin tersebut diuraikan sebagai berrikut: 1.
System Thinking Kita harus melihat segala sesuatu yang ada di perusahaan sebagai sebuah kesatuan, bukan sesuatu yang bersifat individual. Dengan disiplin berpikir sistemik, kita mampu melihat gambaran yang lebih besar dari organisasi sebagai keseluruhan yang dinamis (helicopter view), sehingga mampu memahami bagaimana organisasi bergerak dan bagaimana individu-individu dalam organisasi berinteraksi. Dengan
20
disiplin berpikir sistemik, kita mampu melakukan analisis dan sekaligus mampu menyusun kerangka kerja konseptual yang lengkap, karena memiliki cara pandang dan cara berpikir tentang satu kesatuan dari keseluruhan prinsip-prinsip organisasi pembelajar. Dengan berpikir sistematik dapat dihasilkan hal berikut : 1) Melihat gambaran yang lebih besar dari organisasi sebagai keseluruhan
yang
dinamis,
sehinnga
mampu
memahami
bagaimana organisasi bergerak dan bagaimana individu-individu dalam organisasi berinteraksi. 2) Melakukan analisis dan sekaligus mampu menyusun kerangka kerja konseptual yang lengkap, karena memiliki cara pandang dan cara berpikir tentang satu kesatuan dari keseluruhan
prinsip-
prinsip organisasi pembelajar. 3) Melihat bagaimana kita sebaiknya mengubah sistem-sistem yang ada agar proses belajar dan tindakan organisasi dapat dilakukan dengan lebih efektif. 2.
Shared Vision Sebagai pemimpin, pasti memiliki visi tersendiri yang belum tentu dimiliki oleh para anak buahnya, oleh sebab itu, perusahaan memfasilitasi dan mengatur agar terjadi sinergi antara visi yang dimiliki oleh sang pemimpin dengan para anak buahnya. Visi menggambarkan kemampuan organisasi dalam mengikat para anggotannya untuk secara bersama-sama mencapai sasaran yang disepakati. Dengan disiplin berbagi visi, organisasi dapat membangun suatu rasa komitmen bersama, dengan menetapkan gambarangambaran tentang masa depan yang diciptakan bersama, dan sekaligus menetapkan prinsip-prinsip serta rencana-rencana jangka panjang sebagai arahan bertindak para anggotanya.
3.
Personal Mastery Komponen ini meliputi keinginan atau komitmen yang muncul dari seseorang untuk melakukan pembelajaran. Biasanya, seseorang tumbuh dan belajar di bidang yang ia minati dan menjadi bidang inti
21
(core) dalam proses pembelajarannya. Disiplin yang secara terus menerus memperjelas dan memperdalam visi pribadi seseorang yang akan memusatkan energinya dalam membangun kesabaran dan melihat realita pribadi. Organisasi pembelajaran memerlukan individu yang belajar. Personal mastery membutuhkan visi pribadi yang berkembang, yang dipengaruhi oleh profesionalisme, karir dan pekerjaannya. Perlu dikelola gap antara visi dan realitasnya (creative tension), serta pengenalan terhadap tegangan struktural dan batasan ketidakkuatan seseorang, komitmennya terhadap kebenaran, dan kemampuan bawah sadar seseorang. 4.
Mental Methods Secara mental, jika ada nilai-nilai yang tidak sesuai dengan proses pembelajaran dalam sebuah organisasi, maka harus ada nilai-nilai baru yang sesuai untuk dimasukkan ke dalamnya. Disiplin model mental menggambarkan
kemampuan
para
anggota
organisasi
untuk
melakukan perenungan, mengklarifikasi dan memperbaiki gambarangambaran internal (pemahaman) tentang dunia, yang dilandasi oleh prinsip-prinsip serta nilai-nilai yang sarat dengan moral dan etika. Disiplin model mental berpengaruh saat seseorang membuat peta atau kerangka
berpikir,
sehiongga
berpengaruh
pada
kemampuan
seseorang atau organisasi saat memahami permasalahan yang dihadapinya. Disiplin model mental dapat menjelaskan bagaimana seseorang berpikir, sehingga dapat menjelaskan pula mengapa dan bagaimana seseorang atau organisasi menetapkan suatu keputusan atau melakukan tindakan. 5.
Team Learning Suatu proses yang dilakukan oleh individu-individu anggota team untuk memperoleh pengetahuan dan wawasan baru yang diharapkan dapat mengakibatkan suatu perubahan perilaku dan tindakan-tindakan. Setiap individu memiliki pengetahuan dan pengalaman tersendiri, dan hal ini haruslah dibagikan kepada orang lain agar menjadi sebuah tim yang dapat menghasilkan pengetahuan bersama di sebuah organisasi.
22
Disiplin tim pembelajar adalah suatu keahlian para anggota organisasi untuk melakukan proses berpikir kolektif dan sinergis, serta mampu melakukan proses dialog dan berbagi pengetahuan secara efektif, sehingga organisasi mampu mengembangkan kecerdasan dan mampu membangun kapasitas real yang jauh lebih besar daripada sekedar jumlah dari kemampuan individual para anggotanya. Kemampuan dialog dan berbagi kepengetahuan merupakan disiplin fundamental dari organisasi pembelajar. Marquardt (1996) kemudian menambahkan satu dimensi lagi yang penting dalam membangun organisasi pembelajar yakni dialog. Menurut Marquardt (1996) untuk mewujudkan proses organisasi pembelajar ada enam dimensi yang diperlukan yakni sistem berpikir, model mental, keahlian personal, kerjasama tim, membagi visi bersama, dan dialog. Dari berbagai dimensi pengukuran organisasi pembelajar i yang dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, maka studi ini menggunakan 6 (enam) dimensi organisasi pembelajar yang dibangun oleh Marquardt (1996), yakni: 1. Sistem berpikir, yakni kerangka konseptual seseorang yang digunakan untuk membuat pola yang lebih jelas, dan untuk membantunya melihat bagaimana mengubah mereka secara efektif. 2. Model mental, yakni asumsi-asumsi yang melekat secara mendalam tentang bagaimana pengaruh pemahaman kita terhadap dunia dan bagaimana seseorang mengambil tindakan. Misalnya, bagaimana dampak model mental atau image belajar atau bekerja atau patriotisme terhadap perilaku seseorang dan bagaimana seseorang bertindak pada situasi dimana konsep-konsep tersebut terjadi. 3. Keahlian personal, mengindikasikan kecakapan atau keahlian tingkat tinggi. Hal ini menuntut komitmen jangka panjang untuk terus belajar sehingga dapat membangun keahlian serta mencurahkan kecakapan tersebut dalam organisasi.
23
4. Kerjasama tim, yakni keahlian yang difokuskan pada proses menyatukan dan membangun kapasitas tim untuk menciptakan pembelajaran dan menghasilkan anggota-anggota yang benar-benar diharapkan. Team learning merupakan masalah praktek dan proses. Senge menyebut proses ini sebagai team learning dan menjelaskan bahwa hal ini merupakan disiplin yang ditandai dengan tiga dimensi penting, yakni: a. kemampuan untuk memiliki wawasan berpikir mengenai masalahmasalah penting b. kemampuan untuk bertindak dengan cara-cara yang inovatif dan koordinatif c. kemampuan untuk memainkan peranan yang berbeda pada tim yang berbeda 5. Keahlian membagi visi bersama, yaitu keahlian agar setiap anggota organisasi memusatkan segala usahanya pada satu visi yang membangun berkembangnya komitmen sejati. 6. Dialog, yakni kemampuan untuk mendengar, berbagi dan komunikasi tingkat tinggi diantara anggota organisasi. Keterampilan ini menuntut kebebasan dan kreativitas mengeksplorasi isu-isu, kemampuan untuk saling mendengar secara mendalam, dan menangguhkan pandangannya sendiri. Model lain telah dikembangkan Marquardt. Model marquardt ini sering digunakan sebagai dasar dari penelitian-penelitian organisasi pembelajar, dengan pengembangan-pengembangan lebih lanjut. Menurut Marquardt (1996) organisasi pembelajar dibentuk dengan menyatukan lima sub sistem yang berbeda, yaitu: 1.
Dinamika pembelajaran.
2.
Transformasi Organisasi.
3.
Pemberdayaan orang-orang/manusia.
4.
Pengelolaan pengetahuan.
5.
Penerapan teknologi.
24
organisasi
manusia pembelajaran
pengetahuan
teknologi
Gambar 2. Keterkaitan Lima Sub Sistem Organisasi Pembelajar (Marquardt, 1996) Gambar 2 menunjukan adanya keterkaitan adanya keterkaitan yang tidak terpisahkan antara sub-sub sistem organisasi pembelajar yang terpusat pada dimensi dinamika pembelajaran. Pembelajaran akan berbeda pada
tingkatan
pemberdayaan
individu, manusia,
kelompok
pengelolaan
dan
tingkatan
pengetahuan
organisasi,
dan
penerapan
teknologi diperlukan untuk meningkatkan dan menambah kualitas serta dampak dari organisasi pembelajaran. Keempat sub sistem/dimensi tersebut sangat diperlukan keterkaitannya satu sama lain untuk membangun,
menjalankan
dan
mendukung
terciptanya
organisasi
pembelajaran. Kelima sub sistem tersebut diuraikan sebagai berikut: 2.4.1. Sub Sistem Dinamika Pembelajaran Menurut Marquardt, 1996 untuk membangun organisasi pembelajar pada sebuah organisasi diperlukan beberapa hal pokok yaitu: 1.
Tingkatan pembelajaran Terdapat tiga tingkatan pembelajaran yang meliputi beberapa tingkat baik tingkat individu, kelompok dan tingkat organisasi. Ketiga tingkatan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Pembelajaran individu, yaitu pembelajaran yang meliputi perubahan
keahlian,
cara
pandang,
pengetahuan,
pengalaman, sikap dan nilai-nilai yang dimiliki oleh individu melalui pembelajaran mandiri, cara pandang instruksi teknologi dan observasi. Menurut Senge (1990)
25
organisasi dapat belajar melalui individu yang memiliki kemauan untuk belajar, tetapi jika individunya tidak ingin belajar belum tentu tercipta organisasi pembelajar. Namun jika individunya ingin belajar maka akan terwujud organisasi pembelajaran. Peran pembelajaran individu sangat besar dalam organisasi pembelajaran, dikarenakan hanya melalui individu yang dapat melakukan perubahan organisasi sebagai penentu perubahan inti dimensi secara berkesinambungan dan mempersiapkan organisasi di masa mendatang. b. Pembelajaran kelompok, adalah pembelajaran yang menitik beratkan pada peningkatan pengetahuan, keahlian dan kompetensi melalui kelompok-kelompok yang terdapat pada
organisasi.
Pembelajaran
kelompok
dapat
menghasilkan penemuan baru dalam pemecahan masalah secara bersama (collective problem solving) melalui komunikasi kolektif dan pemikiran yang dibangun bersama, sehingga kreativitas yang konstruktif pada pekerja terwujud sebagai bentuk kemandirian orgainsasi c. Pembelajaran
organisasi
menekankan
bagaimana
meningkatkan kemampuan organisasi, meningkatkan cara pendang dan produktivitas, serta komitmen bersama. 2.
Jenis pembelajaran terdiri dari adaptive, anticipation, deuteron dan action learning. a. Pembelajaran adaptif merupakan suatu sistem pembelajaran dari pengalaman dan refleksi. Sistem pembelajaran ini lebih menganggap bahwa suatu kesalahan merupakan hal yang dapat dipelajari,
yang selanjutnya digunakan dalam
pemecahan masalah-masalah yang serupa. Pembelajaran juga dapat dilakukan dari kesalahan-kesalahan pihak lain yang selanjutnya dicermati dan dipelajari.
26
b. Pembelajaran antisipatif, merupakan proses perolehan pengetahuan dengan analisa cara pandang kedepan. c. Pembelajaran dutro melalui derajat refleksi pada intensitas kegiatan
atau
kejadian
dalam
organisasi.
Biasanya
pembelajaran tipe ini menempatkan semua kejadiankejadian dalam organisasi sebagai bahan untuk memperoleh perubahan sehingga pekerjaan yang dilakukan akan lebih efektif dan efisien. d. Pembelajaran
tindakan
adalah
pembelajaran
melalui
tindakan dengan pemecahan permasalahan yang ada dengan metode yang lebih baik dan memungkinkan terjadinya penyebaran
pembelajaran
dalam
organisasi
dengan
menanggapi perubahan yang lebih cepat dan efektif. Marquardt mengambil model organisasi pembelajaran dari Senge (1990) dimana disiplin kelimanya ditambah satu lagi yaitu dialog. Levels:
Types
Individual,group,organizatio
Adaptive, anticipatory, deutro, section learning Skill:
System thinking, mental models, personal mastery,Team learning, shared vision, dialogue
Gambar 3. Sub sistem Dinamika Pembelajar (Marquardt, 1996) 2.4.2. Sub Sistem Organisasi (transformasi organisasi) Sub sistem organisasi pembelajar yang kedua adalah organisasi itu sendiri. Organisasi dalam kaitanya dapat diartikan yaitu sebagai tempat proses pembelajaran berlangsung. Organisasi adalah sekelompok orang (dua atau lebih) yang secara formal dipersatukan dalam suatu kerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Organisasi juga dapat diartikan suatu kumpulan individu yang secara sadar bersama-sama bekerja untuk mencapai
27
suatu tujuan bersama. Pengorganisasian terkait dengan mengelola sumber
daya
dikaitkan
dengan
aktivitas
yang
ada.
Pengorganisasian adalah suatu kegiatan untuk mengsinkronkan berbagai kegiatan yang ada kemudian mengalokasian penggunaaan sumber daya secara tepat. Organisasi dalam upayanya untuk tumbuh dan berkembang menjadi organisasi pembelajaran harus mengatur dirinya sendiri melalui empat aspek keberhasilan organisasi pembelajaran. Dalam sistem transformasi organisasi dapat diwujudkan dalam empat aspek keberhasilan organisasi pembelajaran, yaitu: a. Budaya Komponen budaya organisasi adalah nilai-nilai yang dimiliki oleh organisasi, kebiasaan, pelaksanaan kerja yang dijalankan, kepercayaan, adat-istiadat atau kebiasaan dari organisasi. Budaya adalah suatu pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai pembelajaran untuk mengatasi masalah adaptasi ekstrenal dan integrasi internal yang resmi dan terlaksana dengan baik dan oleh karena itu diajarkan/diwariskan kepada angota-anggota baru sebagai cara yang tepat memahami. Didalam organisasi pembelajaran, budaya memegang peranan penting untuk keberhasilan organisasi. Kepercayaan dan kebiasaan belajar berhasil menciptakan inovasi, mengimplementasikan hal baru dan
berani
mengambil
resiko
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. Budaya komitmen pemimpin terhadap pengembangan dan pelatihan pegawai secara kreativitas akan terbentuk, srhingga secara keseluruhan akan mendukung terbentuknya organisasi pembelajaran. b. Visi Visi memiliki kekuatan sebagai penggerak perubahan. Visi akan mempengaruhi tindakan manajerial dan operasional orang-orang dalam organisasi. Visi berfungsi sebagai
penggerak sentral
28
perubahan, sumber aspirasi dan sumber motivasi bagi semua orang dalam organisasi. Setiap organisasi memiliki tujuan yang mengekspresikan alasan dari keberadaan organisasi tersebut. Visi terletak pada tingkatan berbeda dari identitas organisasi. c. Strategi Strategi merupakan rencana tindakan, metodologi, teknik, langkah-langkah atau kisi-kisi yang dilakukan organisasi untuk mencapai suatu tujuan. d. Struktur Struktur merupakan suatu kondisi penggambaran keadaan pembagian tanggung jawab dan wewenang suatu pekerjaan yang terdapat dalam organisasi (departemen), dimana pada organisasi pembelajaran hirarki dikurangi dengan memiliki sedikit batasan dan diharapkan mampu mempengaruhi kelancaran proses pembelajaran dalam setiap lini yang ada dalam organisasi. 2.4.3. Sub Sistem Pemberdayaan Manusia Sebagai makhluk sosial setiap individu dapat melakukan interaksi dengan beberapa individu lainnya dalam suatu konteks tertentu sehingga terbentuk suatu kumpulan individu (komunitas). Sumber daya manusia merupakan hal yang paling utama dalam organisasi, karena melalui perilaku dan kemampuan individu yang akan mencerminkan perilaku organisasi. Sub sistem pemberdayaan manusia terdapat enam komponen, yakni; manajer, pegawai, konsumen, supplier, masyarakat dan rekanan/mitra Marquardt (1996). Pada manajemen infrastruktur organisasi menekankan kemampuan dalam hal membangun infrastruktur sumber daya manusia yang profesional dan efektif sehingga seluruh proses yang berkaitan seperti penempatan, pelatihan, penilaian, promosi dan sebagainya dalam pengelolaan alur kepegawaian dalam organisasi berjalan sebagaimana mestinya. Dengan sumber daya manusia
29
yang
profesional
diharapkan
mampu
meletakan
keahlian
administratif yang efesien dengan dua cara yaitu pertama mereka meyakini efesiensi dalam proses sumber daya manusia, kedua memberikan penghargaan kepada para manajer yang mampu meningkatkan produktivitas Menurut marquardt (1996), para pegawai diberi wewenang dan diharapkan untuk belajar, dengan merencanakan kompetisi masa depan, mengambil tindakan dan resiko, dan memecahkan masalah.
Para
manajer/pemimpin
menjalankan
tugas-tugas
pelatihan, penasehatan, dan pemodelan dengan suatu tanggung jawab utama membangkitkan dan mempertinggi kesempatan pembelajaran bagi orang-orang disekitar mereka. Para pelanggan berpartisipasi menerima
dalam
pelatihan,
mengidentifikasi dan
dihubungkan
kebutuhan-kebutuhan, dengan
organisasi
pembelajar. Selain individu, pemimpin organisasi memegang peranan penting dalam keberhasilan pemberdayaan manusia. Pemimpin yang memiliki cara pandang luas dan ke masa depan sesuai kepentingan perubahan. Gaya kepemimpinan yang diperlukan dalam organisasi pembelajar adalah transformasional, yaitu kepemimpinan yang memiliki gaya memberdayakan SDM, melayani, sebagai teman belajar, instruktur, koordinator dan selalu memberikan bimbingan dalam pembelajaran. Pada manajemen transformasi dan perubahan diharapkan dengan sumber daya manusia yang profesional dapat memberikan penambahan nilai yang berkaitan dengan kemampuan mengelola transformasi dan perubahan. Aplikasinya dengan menciptakan halhal yang berkaitan dengan pembaharuan organisasi melalui adanya agen perubahan. Melalui agen perubahan diharapkan mampu menidentifikasi dan menemukan masalah yang dihadapi kedalam kelompok strategis, pokok dan insidentil, membangun hubungan
30
kepercayaan,
memecahkan
masalah
dan
menciptakan
dan
menyusun rencana tindakan. 2.4.4. Sub Sistem Penerapan Teknologi Sub sistem penerapan teknologi yang digunakan pada organisasi pembelajar meliputi teknologi informasi, pembelajaran berbasis teknologi, sistem teknologi elektronik pendukung kerja. Teknologi berperan sebagai teknologi pendukung (supporting technology), khususnya terkait dengan proses komunikasi. Pemberdayaan teknologi tersebut dapat mendorong terjadinya koneksi (connections), komunikasi (communications), percakapan (conversations), dan kolaborasi (collaborations). Teknologi
merupakan
alat
yang
digunakan
untuk
mendukung upaya komunikasi struktur dan kolaborasi, pelatihan, koordinasi, dan keahlian pengetahuan lainnya di dalam organisasi. Alat tersebut menggunakan elektronik yang mempercepat proses pembelajaran seperti konferensi dengan komputer, simulasi dan pengambilan data informasi melalui internet. Peralatan komputer tersebut dapat membantu menciptakan ilmu pengetahuan dan penyebarannya yang secara bebas diakses dan dipergunakan diseluruh
jajaran,
unit-unit
organisasi
untuk
kepentinagan
keberhasilan tujuan organisasi. Pada sistem informasi yang dimaksud dalam organisasi pembelajar adalah suatu sistem yang dirancang secara menyeluruh dengan menggabungkan sub-sistem yang penerapannya layak dan efektif untuk memecahkan hal-hal yang terkait dalam persfektif, posisi dan performance secara terpadu dengan “data base berbasiskan Web dan non Web”. Jadi pada sisitem-sistem informasi tersebut sifatnya fungsional yang mencakup fungsi akuntansi, keuangan produksi/operasi, pemasaran, sumber daya manusia Berkembangnya teknologi informasi dapat memudahkan seseorang dalam mengakses data dan informasi dari seluruh
31
penjuru dunia dalam waktu yang sangat cepat dan akurat. Lingkup organisasi di mana semua kegiatan membutuhkan peran teknologi informasi sehingga dapat dijalankan dengan mudah dan cepat. Bahkan dengan adanya perkembangan internet dan telekonferen memungkinkan diskusi dan pembelajaran dilakukan dengan jarak jauh dean dapat bermanfaat terhadap efisiensi waktu dan pengambilan keputusan. Konsep mengenai model juga disampaikan oleh Blacman dan Henderson yang dikutip Priyono (2007), menyatakan terdapat tiga perspektif tipologi dari organisasi pembelajar,
yakni
adaptation developing of action-outcome relationship, assumption sharing dan instutitionalised experience. Konsep mengenai model tersebut menyatakan bahwa keseluruhan berawal dari perbedaan dasar pengetahuan. Proses adaptasi dan orientasi pada penerapan akan memunculkan suatu yang mendasar dari sebuah pembelajaran mendapat tempat. Assumption sharing merupakan sebuah gaya yang memiliki konstruk pembelajaran seperti keharusan adanya pembentukan mental secara individual. Instutitionalised experience adalah kombinasi dari beberapa gugus tugas yang selanjutnya menjadi pengetahuan dikembangkan secara cepat, yang diterapkan pada keterampilan yang sama dan munculah perkembangan. Perkembangan tersebut membentuk alasan-alasan beradaptasi sebaik perkembangan akan pengertian dari konsep yang ada. Ini merajuk pada sebuah organisasi pembelajar yang berhasil diterima sebagai fokus dalam institutionalised experiences dan shared assumption
–
ini
akan
merefleksikan
pada
suatu
yang
berkelanjutan. Keseluruhan menjadi bentuk alur proses, yaitu: a.
Adanya masukan dari proses organisasi berupa struktur organisasi yang radikal atau perubahan kepemimpinan, adanya kemungkinan kesempatan pembelajaran yang terkontrol, adanya
personal
mastery
dan
informasi
pengetahuan/perkembangan dan kebersamaan
mengenai
32
b.
Masukan
organisasi
berorientasi
pada
pembelajar budaya
berupa
yang
individu
menantang,
barusystem
thinking¸kebersamaan dalam mental model yang baru dan visi bersama c.
Output berupa pengetahuan yang mengarah pada kekuatan untuk berkompetisi dan perubahan-perubahan. Alur tersebut dapat digambarkan sebagaimana Gambar 4. Radical new, structure new, leadership Enable continous, monitored learning, opportunities Personal Mastery Information/Knowl edge Generation and Sharing
New People centered Culture Encuraging Challenge
Competitive advantage
Sytem Thinking
Knowledge
Sharing New Mental Models Shared Vision
Organisational Proses Input
Learning Organization Maning Input
Transformational change
OUTPUT
Gambar 4. The Learning Organization Model : Reflexive Input/Output Model (Marquardt, 1996). Gambar 4 menunjukan bahwa pola hubungan yang mirip dengan yang dikemukakan Marquardt yang dikutip Priyono (2007). Dimensi-dimensi yang juga disebut dalam fase ini disebut Organizational Learning Mechanisms (OLMs). OLMs merupakan budaya dan faset-faset struktural dari organisasi yang memfasilitasi perkembangan dari pembelajaran, penerapan dan pembaharuan dari organisasi pembelajar. Tanpa mekanisme ini sebuah organisasi pembelajar tidak akan terbentuk. Organisasi pembelajar mengacu pada faset-faset budaya (visi, nilai-nilai, asumsi-asumsi, dan perilaku) yang mendukung lingkungan belajar, proses yang mendorong orang-orang untuk belajar
dan
perkembangan
melalui
pembelajaran dan fluktuasi belajar.
identifikasi
kebutuhan
33
2.4.5. Sub Sistem Pengetahuan Pengetahuan merupakan data dan informasi yang digabung dengan kemampuan, intuisi, pengalaman, gagasan, motivasi dari sumber yang kompeten. Sumber pengetahuan bisa berupa banyak bentuk, seperti koran, majalah, email dan lain-lain. Menurut marquardt (1996), pengetahuan menjadi lebih penting untuk organisasi dibandingkan dengan sumber daya keuangan, teknologi atau aset perusahaan yang lainnya. Pengetahuan dapat dilihat sebagai sumber daya utama dalam penyelenggaraan organisasi. Tradisi organisasi, teknologi, sistem operasi, dan prosedur sangat membutuhkan keahlian pengetahuan. Organisasi pembelajar yang sukses secara sistematis memadu pengetahuan diseluruh organisasi melalui empat langkah sehingga dapat dengan sukses diterapkan dan digunakan. Sub sistem pengetahuan digambarkan seperti Gambar 5,sebagai berikut: penguasaan
penciptaan pengetahuan
penyimpanan
Transfer dan penggunaan
Gambar 5. Sub sistem pengetahuan (Marquardt, 1996) Dimensi kunci dari sub sistem pengelolaan pengetahuan meliputi: penguasaan, penyimpanan, transfer dan penggunaan. Akuisisi (penguasaan) berkenaan dengan pengumpulan informasi dan data yang ada dari dalam dan luar organisasi. Penciptaan melibatkan pengetahuan baru yang diciptakan dalam organisasi melalui wawasan dan pemecahan masalah. Penyimpanan adalah suatu pengkodean dan pemeliharaan pengetahuan berharga organisasi untuk akses yang mudah oleh anggota staf pada suatu waktu dan dari mana pun. Transfer dan penggunaan termasuk mekanikal, elektronik, dan pergerakan interpersonal dari informasi
34
dan pengetahuan, secara sengaja dan tidak sengaja, diseluruh organisasi serta aplikasinya dan kegunaannya oleh para anggota organisasi. Penyebaran pengetahuan dapat dilakukan melalui beberapa hal, baik yang sengaja dan tidak sengaja untuk dilakukan. Proses ini dilakukan dengan beberapa hal (Marquardt, 1996), yaitu melalui intentional transfer (sengaja dilakukan): (1) komunikasi secara individu; (2) Melakukan pelatihan melalui kursus-kursus; (3) Konferensi internal; (4) Briefing; (5) Publikasi internal; (6) Kegiatan pariwisata; (7) Mutasi kerja internal dan (8) Mentoring. Disamping juga melalui unintentional transfer (tidak sengaja) yaitu dengan melakukan rotasi kerja, sejarah kerja, tugas-tugas dan keterkaitan jaringan informal. 2.5. Faktor-faktor yang berpengaruh dan yang menghambat terbentuknya organisasi pembelajar Kaplan dan Norton dalam Purwanto (2007) menyatakan bahwa organisasi perlu membangun infrastruktur yang mampu menopang pertumbuhan dan learning untuk jangka panjang. Tiga sumber penting untuk mencapai pertumbuhan dan learning yaitu kemampuan pegawai, kemampuan sistem informasi dan motivasi, pemberdayaan dan penjajaran (alignment). Selanjutnya Senge (1990) menjelaskan bahwa agar learning dapat terwujud maka learning perlu diberikan fasilitas. Fasilitas itu berupa ide penuntun, teori, metode dan peralatan, dan inovasi dalam infrastruktur. Espejo yang dikutip Purwanto (1996), menekankan pentingnya struktur organisasi
yang
baik
yang
memungkinkan
terbangunnya
sistem
komunikasi yang efektif. Selanjutnya individu dapat melakukan learning secara mandiri dalam organisasi Espejo yang dikutip Purwanto (2007). Kemampuan learning yang tinggi pada level individu tidak otomatis menghasilkan learning organization yang tinggi pula, tergantung dari faktor organisasional yang melingkupinya. Faktor tersebut adalah struktur organisasi dan leadership Espejo yang dikutip Purwanto (2007).
35
Dari berbagai model learning organization dan beberapa pengertian dari learning organization, dapat disimpulkan bahwa learning hanya akan dapat berjalan dengan baik jika organisasi fungsional dirubah menjadi bentuk tim kerja. Perubahan struktur ini ditujukan untuk menciptakan iklim learning dalam organisasi. Disamping itu manajemen perlu pula memberikan peluang agar learning dapat terjadi, sehingga akan mendorong terjadi perubahan sikap dan perilaku anggota organisasi. learning akan terjadi jika ada consensus. Sebaliknya tim dengan tingkat kohesivitas antara anggotanya terlalu tinggi learning juga sulit terjadi. learning yang efektifmempersyaratkan adanya keberagaman mental model diantara para anggota tim heijden dalam Purwanto, 2007). Menurut Tjakraatmadja dan Lantu (2006), untuk menjamin terjadinya proses belajar dan proses transformasi pengetahuan dari hasil belajar individual menjadi disiplin organisasi pembelajar atau terjadinya proses institusionalisasi pengetahuan individu menjadi human capital organisasi, dibutuhkan tiga pilar organisasi pembelajar, yaitu: (1) pilar belajar individual, (2) pilar jalur transformasi pengetahuan (habitat belajar), dan (3) pilar belajar organisasional. Proses belajar organisasional merupakan proses interaksi diantara para anggota organisasi. Untuk mendorong terjadinya proses belajar yang intensif dan efektif, para anggota organisasi selain membutuhkan habitat belajar yang kondusif juga membutuhkan dukungan dari adanya teknologi yang tepat guna. Khusus tentang peran unsur habitat belajar organisasi yang selama ini relatif kurang diperhatikan dalam konteks organisasi, akan dibahas secara mendalam, sehingga tingkat kepentingan sejajar dan seimbang dengan kedua pilar organisasi pembelajar lainnya. Disamping ada faktor yang berpengaruh terhadap learning organization,
ada
pila
faktor-faktor
yang
menghambat
learning
organization. Menurut Thomas yang dikutip Purwanto (2007), hambatan terhadap munculnya learning organization antara lain adalah tidak tersedianya waktu untuk berdialog, kecenderungan organisasi yang hanya mengumpulkan informasi dan tidak menggunakannya, kecenderungan
36
untuk
memaksimalkan
penggunaan
tenaga
manusia
ketimbang
“mengembangkan dan menumbuhkannya”, dan seringkali tindakan yang diambil hanyalah ketika terjadi krisis, bukan mengembangkan suatu tindakan preventif. Sementara itu Marquardt dan Reynolds (1994) menyatakan bahwa hambatan terhadap learning organization adalah birokrasi, iklim kompetisi,
pengendalian,
komunikasi
yang
buruk,
penggunaan
sumberdaya, hierarki yang ketat, dan ukuran organisasi. Dalam organisasi publik hambatan yang dihadapi dalam penerapan learning organization adalah birokratisasi dan profesionalisasi Willcocks & Harrow yang dikutip Purwanto (2007). 2.6. Hasil Penelitian Terdahulu Utami (2009) dalam skripsinya berjudul identifikasi penerapan model sistem organisasi pembelajar pada PT. Taspen (Persero) cabang Bogor bertujuan untuk mengidentifikasi penerapan model sistem organisasi pembelajar pada PT Taspen (Persero) Cabang Bogor dan mengidentifikasi ada atau tidaknya perbedaan persepsi antara pimpinan dan karyawan PT Taspen (Persero) Cabang Bogor terhadap penerapan model sistem organisasi pembelajar. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara keseluruhan tingkat penerapan model sistem organisasi pembelajar pada PT Taspen (Persero) Cabang Bogor berada pada tingkat sebagian besar telah diterapkan (skala 3). Dengan nilai rata-rata yang didapat sebesar 34,35 berarti secara keseluruhan penerapan model sistem organisasi pembelajar pada PT Taspen (Persero) Cabang Bogor lebih baik atau diatas rata-rata 500 organisasi berdasarkan hasil penelitian Marquardt yang dikutip dari Rahmatunnisa (2000) yang memiliki nilai rata-rata 22,0 dan dapat dinyatakan sangat baik. Uji Kruskal Wallis menunjukkan nilai p untuk keseluruhan model sistem organisasi pembelajar
adalah
sebesar
0,366
(lebih
besar
dari
0,0050
yang
mengindikasikan bahwa tidak ada perbedaan persepsi antara pimpinan dan karyawan PT Taspen (Persero) Cabang Bogor mengenai penerapan model sistem organisasi pembelajar di perusahaan.
37
Priyono (2007) dalam skripsinya yang berjudul Analisis Penerapan Organisasi Pembelajaran pada PT Java Cell bertujuan untuk mengetahui sejauh mana penerapan organisasi pembelajar pada perusahaan tersebut dan bagaimana perbedaan sikap pimpinan dan non pimpinan terhadap penerapan organisasi pembelajar. Hasil penelitian diolah dengan melihat persentase jumlah dan rata-rata jawaban responden. Untuk uji perbedaan persepsi pegawai jabatan dan non jabatan digunakan analisis dengan uji t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan tersebut sebagian besar telah menerapkan organisasi pembelajaran dan tidak ada perbedaan persepsi antara pimpinan dan non pimpinan pada perusahaan tersebut. Purwanto (2007) dalam jurnalnya berjudul
Kajian Learning
Organization pada Organisasi Publik bertujuan untuk mengetahui apa saja yang harus dimiliki organisasi publik agar learning organization dapat diterapkan pada organisasi tersebut. Hasil penelitian menunjukan bahwa agar learning dapat berlangsung dalam suatu organisasi maka organisasi harus menyediakan fasilitas berupa struktur organisasi yang mampu memberikan keleluasaan bagi tim untuk melakukan pengembangan. Keleluasaan ini penting sebab tanpa adanya kekuasaan, individu tidak akan mampu melakukan learning. Untuk itu organisasi harus menyediakan berbagai fasilitas
termasuk
program
kegiatan
yang
merangsang
staf
untuk
melaksanakan idenya, agar proses pembelajaran pada segala tingkat dapat berlangsung.