II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengelolaan Persampahan Kota Sampah adalah buangan yang ditimbulkan dari aktivitas manusia dan hewan, berbentuk padat, dan dibuang karena sudah tidak berguna atau tidak diinginkan keberadaannya
Pengelolaan sampah dilakukan dengan tujuan
mengendalikan secara sistematik semua kegiatan yang berhubungan dengan timbulnya sampah, penanganan sampah di sumbernya; penanganan, pemilahan, dan pengolahan sampah di sumbernya; pengumpulan; pengolahan dan daur ulang sampah; pemindahan dan pengangkutan; dan pembuangan akhir (Tchobanoglous et. al. 1993). Timbulnya sampah merupakan salah satu konsekuensi dari kegiatan kota. Sampah berasal dari daerah permukiman, pasar, pertokoan, fasilitas umum, dan sebagainya. Secara umum, sebagian besar dari sampah kota berasal dari permukiman yaitu berupa sampah dapur (garbage). Hal inilah yang menyebabkan lebih dari 60% volume sampah kota bersifat organik atau dapat membusuk. Terhadap sampah dapat dilakukan usaha daur ulang, misalnya pembuatan kompos dari sampah organik dan pemanfaatan barang bekas dari sampah anorganik (kertas, plastik, dan sebagainya). Sampah yang tidak didaurulang harus dibuang ke tempat pembuangan sampah (TPA). Pengelolaan sampah di Indonesia secara umum terdiri dari lima aspek, yaitu teknik operasional, organisasi, pembiayaan, peraturan, dan peranserta masyarakat. Kelima aspek tersebut diharapkan dapat berjalan secara terintegrasi sehingga diperoleh hasil pengelolaan persampahan yang optimal. Pada tahun 1997, Yayasan Kirai Indonesia bersama
UNESCO
menganalisis dan mendata timbulan sampah di Jakarta, berdasarkan data yang diperoleh dari pemerintah kota. Jumlah sampah penduduk kota Jabotabek (Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang) mencapai lebih dari 35.000 m3 per hari, 26.000 m3 diantaranya berasal dari Jakarta (CSI 2003). Sebesar 83% sampah dikumpulkan oleh masyarakat lokal, pemulung, pemerintah lokal dan perusahaan swasta. Sisanya sebesar 17% dibuang ke sungai. Di luar kota Jakarta, hanya sekitar 50% sampah yang dikumpulkan, dan 20% diantaranya tidak sampai ke tempat
9 pembuangan akhir sampah, kemungkinan besar dibuang di tempat pembuangan liar (Gambar 2).
SUMBER
PENGELOLAAN SAMPAH DI JAKARTA
Rumah tangga 52%
Pasar lokal
Anorganik
Pasar tradisional 17%
Pemulung
Anorganik
25.58 m3/hr Pasar moderen 15%
Industri 15%
Pengelolaan oleh DKI 21.741 m3/hr
Organik dan anorganik
Usaha daur ulang
Lapak
Pasar produk daur ulang
Pengolahan
Industri daur ulang
Tempat Pembuangan Sementara atau Tempat Pembuangan Akhir
85%
Perusahaan swasta untuk jalan protokol
1.400 m3/hr Jalan 1%
Organik
5%
Dikumpulkan dari sungai (DKI) 400 m3/hr Sampah terbuang ke sungai Ke Teluk Jakarta 1.000 m3/hr
Gambar 2 Produksi dan pengelolaan sampah di Jakarta (CSI 2003)
Pembuangan sebagian sampah Jakarta ke laut mengakibatkan tertutupnya dasar laut Kepulauan Seribu dengan plastik. Keadaan ini mengganggu kehidupan bentos seperti terumbu karang, rumput laut dan spesies lain yang berkembang biak di dasar laut. Kerugian ekonomi akan dirasakan oleh para nelayan dan semua kehidupan dalam laut. Untuk menghadapi sampah yang timbul setiap hari di Jakarta, kota ini membutuhkan organisasi dengan program manajemen dan infrastruktur persampahan yang baik.
2.1.1. Aspek Teknik Operasional Aspek teknik operasional pengelolaan persampahan terdiri dari pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, dan pembuangan akhir. Diagram alir aspek teknik operasional tersebut digambarkan pada Gambar 3. Pewadahan
10 dilakukan oleh sumber sampah, yaitu rumah tangga, toko, pedagang pasar, pengelola sekolah, dan sebagainya. Bentuk wadah yang digunakan ditentukan sendiri sesuai selera dan kemampuan pemiliknya, dapat berupa tong logam, bin plastik, kotak kayu, atau bak pasangan bata. Setelah terkumpul di dalam wadah, sampah dapat diolah sendiri oleh pemiliknya, misalnya dijadikan kompos, atau menunggu untuk diambil oleh petugas. Pada beberapa tahun terakhir ini, terdapat gerakan dunia berupa 3R (reduce, reuse, recycle) terutama untuk sampah rumah tangga. Gerakan ini diharapkan bisa menekan persen pertumbuhan jumlah sampah.
Pewadahan
à
Pengumpulan
à
Pemindahan â Pengangkutan â Pembuangan akhir
Sumber
Masyarakat / Pengelola
Pengelola
Gambar 3 Diagram alir teknik operasional pengelolaan sampah (PD Kebersihan 2005)
Pengumpulan sampah adalah mengambil sampah dari sumber untuk dikelola lebih lanjut. Pekerjaan pengumpulan sampah di daerah permukiman umumnya dikelola dan dilakukan oleh organisasi masyarakat, misalnya RT/RW (Rukun Tetangga/Rukun Warga), LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), dan sebagainya. Kegiatan ini dibiayai dari iuran yang dipungut dari masyarakat yang dilayani. Pengumpulan sampah di daerah non permukiman, termasuk penyapuan jalan, umumnya dilakukan oleh pengelola persampahan kota, misalnya pada daerah komersial, taman kota, pasar, dan sebagainya. Selain oleh masyarakat dan pengelola persampahan kota, pengumpulan sampah juga dapat dilakukan oleh perusahaan swasta yang bekerja sesuai kontrak kerja.
11 Teknis pengumpulan adalah dengan cara mendatangi sumber untuk mengambil sampah. Pengumpulan dilakukan secara manual dengan peralatan bantu berupa gerobak atau sejenisnya. Bila sampah dari suatu sumber jumlahnya cukup tinggi, misalnya dari pasar atau supermarket, pengumpulan dilakukan dengan truk yang akan langsung mengangkut sampah tersebut ke tempat pembuangan akhir. Pemindahan sampai dengan pembuangan sampah umumnya dilakukan oleh pengelola persampahan. Sampah hasil pengumpulan akan dikumpulkan di lokasi pemindahan (transfer depo) untuk nantinya diangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA). Lokasi pemindahan secara prinsip berupa area tempat menumpahkan sampah dari alat pengumpul (gerobak). Untuk menjaga kebersihan, lokasi pemindahaan saat ini umumnya berupa kontainer tertutup yang selanjutnya akan diangkut ke TPA. Pengangkutan sampah dapat dilakukan dengan berbagai jenis truk, mulai dari truk terbuka sampai truk yang dilengkapi dengan alat pemadat (kompaktor). Metode pembuangan akhir yang umum dipakai di Indonesia adalah open dumping (penimbunan terbuka). Mengingat akibat yang banyak timbul, yaitu bau dan pencemaran air tanah oleh leachate, metode ini secara berangsur telah diganti dengan sanitary atau controlled landfill (Schubeler 1996).
2.1.2. Aspek Organisasi
Organisasi pengelola persampahan di Indonesia tampak cukup beragam, umumnya disesuaikan dengan jumlah sampah yang harus ditangani. Beberapa bentuk organisasi yang dikenal ada Seksi, Sub Dinas, Dinas, dan Perusahaan Daerah Kebersihan. Organisasi tersebut bisa khusus menangani sampah atau campuran. Kabupaten Sleman, misalnya, pengelolaan persampahan dilakukan oleh Seksi Kebersihan dan Pertamanan Sub Dinas Cipta Karya - Dinas Pekerjaan Umum, Pengairan dan Pertambangan (PUPP) Kabupaten Sleman. Penangan secara tercampur juga ditemui di Kota Balikpapan, yaitu pengelolaan persampahan yang berada dibawah tanggung jawab Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman. Namun ada pula kota-kota yang sudah mempunyai organisasi yang khusus menangani sampah, misalnya Kota Bekasi yang sampahnya dikelola
12 oleh Sub Dinas Kebersihan DPU, atau sampah Kota Mataram dan Palembang yang dikelola oleh Dinas Kebersihan. Di Kota Makassar, pengelolaan sampah dilakukan oleh 3 badan, yaitu Dinas Keindahan untuk kota Makassar, Perusahaan Daerah Kebersihan untuk Kecamatan Tamalan Rea dan Kecamatan Birikanay, dan perusahaan swasta untuk daerah permukiman (real estate). Ada pula kerjasama antara beberapa kota dalam pengelolaan persampahan, misalnya dalam hal pembuangan akhir. Sebagai contoh adalah TPA Piyungan yang berada di Kabupaten Bantul yang berfungsi sebagai TPA gabungan dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. Semula, Kabupaten Sleman mempunyai TPA sendiri yang berada di Tambak Boyo. Namun TPA ini berada pada elevasi tinggi, sedemikian rupa sehingga berpotensi mencemari daerahdaerah yang lebih rendah. Penggunaan TPA Piyungan merupakan solusi yang paling aman karena terletak pada elevasi terendah terhadap Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. Kota Bandung telah memiliki organisasi yang lebih mandiri, yaitu Perusahaan Daerah Kebersihan (Departemen Kimpraswil 2003). Kondisi yang beragam dari organisasi pengelolaan persampahan secara langsung juga memperlihatkan adanya keragaman dalam lingkup tanggung jawab dan kewenangan. Organisasi dengan bentuk Seksi, misalnya, memperlihatkan relatif kecilnya kewenangan yang dimiliki dan panjangnya jalur birokrasi yang harus dilalui dalam pengajuan sarana untuk pelaksanaan operasi dilapangan. Perusahaan Daerah lebih memiliki keleluasaan namun pada umumnya belum mampu mandiri, terutama dalam hal pendanaan mengingat terbatasnya kemampuan masyarakat dalam membayar retribusi sampah. Bentuk badan pengelola persampahan dan dasar hukum pembentukan badan pengelola umumnya sesuai dengan kategori kota berdasarkan kriteria Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) yaitu untuk kota besar & metropolitan (dengan jumlah penduduk antara 500.000 sampai dengan 1.000.000 jiwa) bentuk organisasi pengelola adalah Perusahaan Daerah atau Dinas Kebersihan dan Pertamanan; untuk kota sedang (dengan jumlah penduduk antara 200.000 sampai 500.000 jiwa) bentuk organisasi pengelola adalah Dinas Kebersihan dan Pertamanan; untuk kota kecil (dengan jumlah penduduk sebesar
13 antara 20.000 sampai 200.000 jiwa) bentuk organisasi pengelola Suku Dinas Kebersihan dan Pertamanan atau Seksi dibawah Dinas PU.
2.1.3. Aspek Pembiayaan
Aspek pembiayaan meliputi sumber dana dan biaya pengelolaan persampahan yang terdiri dari biaya operasi, pemeliharaan dan administrasi. Mengingat adanya dua tahap pengelolaan sampah, yaitu pengumpulan oleh RT/RW atau organisasi masyarakat dan pengelolaan selanjutnya oleh pengelola persampahan kota, maka terdapat dua macam pungutan yang harus dibayar oleh masyarakat. Masyarakat membayar iuran sampah kepada RT/RW, dan membayar retribusi kepada pengelola persampahan. Selain dari retribusi, sumber dana lainnya adalah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pemungutan retribusi dapat dilakukan secara langsung kepada masyarakat, misalnya melalui RT/RW yang membuang sampahnya ke lokasi pemindahan. Namun dapat pula dipungut secara tidak langsung dengan cara ‘menumpang’ pada pungutan lain. Di Bandung, misalnya, retribusi sampah dipungut pada saat rumah tangga membayar rekening listrik. Di Bekasi, pemungutan retribusi dilakukan langsung dari masyarakat oleh petugas atau pengemudi truk sampah yang bekerja sama dengan RT/RW. Hasil pemungutan kemudian disetorkan kepada Badan Keuangan dan Kekayaan Daerah (Bakukeda) yang kemudian memasukkannya ke kas daerah.
Anggaran biaya rutin dan pembangunan kemudian dialokasikan
dalam DIPDA. Retribusi sebagai sumber dana belumlah mampu membiayai seluruh kegiatan pengelolaan persampaha n. Pemungutan retribusi sampah di Kota Bekasi pada tahun 2002, misalnya, baru terealisasi sebesar 81% dari target sesuai wajib retribusi. Retribusi tersebut diperoleh dari daerah permukiman (71%), pertokoan/ komersial (25%), dan lainnya (4%). Bila dibandingkan dengan besarnya kebutuhan biaya pengelolaan persampahan maka masih dibutuhkan subsidi yang harus ditanggung oleh Pemerintah Daerah. Subsidi pada tahun 2002 adalah sebesar 40% dari biaya pengelolaan (Departemen Kimpraswil 2003).
14 2.1.4. Aspek Peratura n Peraturan yang hampir selalu ada meliputi peraturan tentang organisasi pengelola persampahan dan tarif retribusi yang umumnya berupa Peraturan Daerah (Perda). Peraturan lainnya biasanya tidak banyak berfungsi dikarenakan kurangnya kekuatan hukum yang me nyertai pemberlakukan suatu peraturan. Hal yang terjadi di Kota Bekasi, misalnya, peraturan tentang K3 (Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan) dan peraturan tentang larangan dan sanksi yang berkaitan dengan persampahan belum dapat berfungsi. Hal ini dikarenakan belum adanya badan hukum yang mengawasi pelaksanaan Perda dan dapat melakukan tindakan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat atau badan usaha berkaitan dengan Perda tentang K3.
2.1.5. Aspek Peranserta Masyarakat
Peranserta masyarakat yang sudah berjalan relatif baik sampai saat ini adalah melakukan pengumpulan sampah yang dikoordinasi oleh organisasiorganisasi kemasyarakatan dan membayar retribusi sampah. Sejalan dengan gerakan 3R, kampanye dan penyuluhan kepada masyarakat sudah banyak dilakukan dengan tujuan agar masyarakat mau mengurangi sampahnya, menggunakan kembali barang-barang yang masih bisa dimanfaatkan, dan mendaur ulang sampahnya. Untuk tujuan ini masyarakat diminta kesediaannya untuk melakukan pemilahan sampah, yaitu memisahkan antara sampah basah (organik) dan sampah kering (anorganik). Sampah basah bisa dimanfaatkan untuk dijadikan kompos, sedangkan sampah kering berupa kertas, plastik, logam, kaca, dan sebagainya dapat dijadikan bahan baku industri daur ulang. Di Kota Bandung, misalnya, pada tahun 1999 telah dilakukan Program Peningkatan Kesadaran Masyarakat dalam Hal Pengelolaan dan Daur Ulang Sampah yang merupakan kerjasama antara PD Kebersihan dengan GTZ. Program ini bertujuan mengubah perilaku masyarakat terhadap sampah berkenaan dengan terus meningkatnya jumlah sampah, salah satunya adalah mengajak masyarakat untuk mau memilah sampahnya. Melalui program ini, masyarakat diharapkan akan sadar atas konsekuensi dari terus meningkatnya jumlah sampah, yaitu akan
15 terus meningkatnya kebutuhan lahan untuk TPA, masalah pencemaran tanah dan air tanah, masalah kesehatan lingkungan, dan semakin tingginya biaya lingkungan dimasa yang akan datang. Konsekuensi tersebut juga mendorong keinginan Kota Bandung untuk mendirikan Pusat Daur Ulang Sampah Terpadu. Keinginan ini banyak disebabkan oleh komposisi sampah Kota Bandung yang berpotensi besar untuk didaur ulang, yaitu 70% berupa sampah basah dan hampir 30% berupa sampah kering (PD Kebersihan 2005). Kenyataan yang banyak ditemui dala m hal peranserta masyarakat adalah rendahnya kesadaran tentang persampahan dan tidak adanya perangkat hukum yang mampu mengatur perilaku masyarakat, misalnya sanksi terhadap orang yang membuang sampah secara tidak semestinya, sanksi terhadap rumah tangga yang tidak mau memilah sampahnya, atau penghargaan terhadap rumah tangga yang sudah melakukan daur ulang. Meskipun demikian telah mulai tampak adanya kegairahan masyarakat untuk melakukan pembuatan kompos. Di Jakarta, misalnya, kegiatan pembuatan kompos unt uk media tanaman telah dilakukan di daerah Cilandak dibawah pembinaan Ibu Bambang Wahono di daerah Banjarsari Cilandak. Melalui kegiatan tersebut masyarakat diajak untuk menanam tanaman obat untuk keperluan sendiri. Vermikomposting, yaitu pembuatan kompos dengan cacing,
telah
dilakukan
di
SMU
34
Pondok
Labu
Jakarta
Selatan.
Permasalahannya adalah bahwa kegiatan masyarakat tersebut belum mampu bersinergi dengan pengelolaan persampahan kota, selain itu relatif masih sangat kecilnya jumlah sampah yang diolah oleh masyarakat terhadap jumlah sampah secara keseluruhan.
2.2. Teori Kelembagaan
2.2.1. Lembaga/ Institusi
Menurut Scott (2001) institusi atau lembaga memiliki tiga pilar. Tiga pilar dari institution adalah sistem regulasi, sistem norma dan sistem kultur kognitif. Pilar regulatif dari institusi adalah institusi menjaga dan mengatur perilaku (behaviour).
Proses pengaturan atau regulasi meliputi keadaan aturan (rule-
16 setting), pemantauan (monitoring) dan sanksi. Proses regulasi meliputi penetapan peraturan, pemeriksaan, penentuan sanksi (rewards dan punishment) dalam rangka mempengaruhi perilaku di masa datang. Proses ini akan terjadi melalui mekanisme difusi informal maupun dengan secara formal. Pilar normatif meliputi dimensi ketentuan (prescriptive), penilaian (evaluative) dan kewajiban (obligatory) dalam kehidupan sosial. Sistem normatif meliputi nilai dan norma. Nilai merupakan konsep disukai atau diinginkannya sesuatu, sesuai dengan standar yang ada dalam struktur atau perilaku yang berlaku.
Norma menjelaskan bagaimana sesuatu harus dilakukan, norma
menetapkan atau mensahkan maksud untuk mengejar nilai. Pilar kultural kognitif dari institution adalah dengan menjembatani antara dunia luar dari stimulus dan respons dari organisme (individu).
Hal ini
merupakan internalisasi simbolis dari hal- hal yang merepresentasikan objek yang ada.
Simbol, kata-kata, tanda-tanda, gesture memiliki pengaruh dengan
menentukan maksud yang ditentukan terhadap objek dan kegiatan. Kelembagaan
dan
kebijakan
selalu
menjadi
isu
penting
dalam
pembangunan. Sejarah menunjukkan bahwa di negara-negara maju kelembagaan yang baik merupakan kunci dari keberhasilan pengelolaan negara, pembangunan, pasar, perdagangan atau bisnis. Selama ini pemerintah Indonesia cenderung lebih menekankan pada pembangunan ekonomi dengan mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik, teknologi, ekonomi dan politik. Sangat sedikit diperhatikan pembangunan infrastruktur kelembagaan (institusi). Di lain pihak kebijakan pemerintah cenderung tidak kons isten selalu berubah dan sulit dilaksanakan secara utuh. Ini memerlukan perhatian yang serius, karena pada dasarnya hampir semua kegagalan pembangunan bersumber dari dua persoalan fundamental yaitu kegagalan kebijakan dan kegagalan kelembagaan. Institusi atau kelembagaan adalah pusat dari teori kebijakan dan institusi dianggap sebagai unsur untuk pembuatan dan pembentuk kebijakan. Misalnya kebanyakan kebijakan ditetapkan dalam bentuk aturan dan ketetapan yang merupakan unsur-unsur utama dalam kelembagaan. Kebijakan yang dibuat pemerintah biasanya disebut kebijakan publik karena dibuat untuk kepentingan publik (rakyat atau masyarakat banyak). Analisis tentang keterkaitan dan dampak
17 institusi pada kebijakan publik dianggap tidak lengkap atau dapat dikatakan pincang tanpa memperhatikan perpaduan antara analisis kebijakan publik dan analisis kelembagaan. Menurut Djogo et. al. (2003), unsur-unsur dan aspek kelembagaan antara lain meliputi: (a) institusi merupakan landasan untuk membangun tingkah laku sosial masya rakat; (b) norma tingkah laku yang mengakar dalam masyarakat dan diterima secara luas untuk melayani tujuan bersama yang mengandung nilai tertentu dan menghasilkan interaksi antar manusia yang terstruktur; (c) peraturan dan penegakan aturan/ hukum; (d) aturan dalam masyarakat yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama dengan dukungan tingkah laku, hak dan kewajiban anggota; (e) kode etik; (f) kontrak; (g) pasar; (h) hak milik (property rights atau tenureship) (i) organisasi; (j) insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan Dari unsur dan aspek kelembagaan tersebut di atas tampak bahwa lingkup kajian kelembagaan cukup luas.
Karena itu pembatasan atau pendefinisian
wilayah kajian kelembagaan perlu ditentukan.
Hal ini penting agar dalam
pengembangan kelambagaan yang akan dilakukan menjadi lebih terarah.
2.2.2. Organisasi
Organisasi adalah jaringan dari peran yang diatur dalam hirarki dengan tujuan membatasi kewenangan individual dan mengkoordinasi kegiatan sesuai dengan sistem aturan dan prosedur (Bandaragoda 2000). Organisasi adalah kelompok individu dengan peran tertentu dan terikat oleh beberapa kebutuhan, peraturan, dan prosedur untuk mencapai suatu tujuan. Seperti halnya lembaga, organisasi juga membentuk kegiatan manusia. Scott (2001) mendefinisikan organisasi sebagai sesuatu yang diciptakan untuk memaksimalkan kesejahteraan, pendapatan, atau tujuan lainnya dengan cara menciptakan kesempatan melalui struktur kelembagaan dalam masyarakat. Hubungan antar lembaga dan organisasi dapat dilihat dengan dua cara yaitu: (1) Melihat bagaimana suatu organisasi tumbuh menjadi mantap dan bagaimana organisasi tersebut tumbuh dengan dipengaruhi oleh suatu kerangka kerja
18 kelembagaan; dan (2) Organisasi yang telah mapan, yang didalamnya telah berlaku norma dan kebiasaan, pada kenyataannya adalah sebuah lembaga. Berdasarkan definisinya, lembaga adalah alat yang mengatur terbentuknya kegiatan manusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa lembaga dapat berfungsi memberikan batasan dan sekaligus keleluasaan bagi suatu kelompok untuk melakukan suatu kegiatan (Scott 2001). Sebagai contoh adalah sistem hukum dan pengadilan yang membatasi tingkah laku manusia namun sekaligus juga membebaskan manusia untuk melakukan kegiatan yang tidak melawan hukum. Fungsi lembaga ini juga berlaku dibidang persampahan. Masyarakat mempunyai keleluasaan untuk melakukan berbagai kegiatan yang menghasilkan sampah. Namun untuk hal tersebut terdapat batasan norma yang membatasi masyarakat untuk tidak membuang sampahnya secara sembarangan. Norma ini diperkuat dengan peraturan tentang tata cara membuang sampah dan sanksi hukum bagi masyarakat yang melanggar peraturan tersebut (Moningka 2000).
2.2.3. Kelembagaan Lingkungan
Menurut Muller-Glodde (1994) kelembagaan lingkungan (environmental institution) merupakan norma dan nilai sosial, kerangka politis, program-program lingkungan, pola perilaku dan komunikasi serta pergerakan sosial, yang membentuk interaksi sosial dari individu-individu yang menyusun organisasi dan kelompok secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi peraturan yang mengatur sumber daya alam. Individu- individu menciptakan bentuk dan substansi dari lembaga- lembaga melalui perilaku dan permintaan mereka, sementara lembaga (institusi) pada gilirannya mempengaruhi kehidupan individu dan pilihan-pilihan yang ada. Struktur kelembagaan merupakan kaitan (links), saluran komunikasi, yang memfasilitasi interaksi yang kompleks dari tiga variabel sistem yaitu individu, organisasi dan norma sosial. Hal ini menggambarkan hubungan antara variabel dan cara berinteraksi. Pengembangan kelembagaan dalam bidang lingkungan harus dilihat sebagai proses supra-sektoral dan supra- media, yang menghasilkan struktur kelembagaan yang memperbaiki sinergi dan komunikasi antara variabel
19 dalam sistem. Pengembangan kelembagaan dalam bidang lingkungan merupakan prosedur metodologis untuk mengembangkan dan memperluas pengetahuan, keterampilan, norma- norma, dan struktur.
2.2.4. Penelitian Aspek Kelembagaan
Institutional assessment (pengkajian kelembagaan) merupakan pendekatan komprehensif untuk menggambarkan kapasitas dan kinerja kelembagaan. Pendekatannya dapat berupa pendeskripsian dari beragam faktor yang berperan dalam pengembangan kelembagaan yang meliputi : (1) kekuatan dari faktor luar lingkungan (administrasi dan hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya yang termasuk dalam analisis stakeholder); (2) faktor kelembagaan (sejarah, misi, budaya, kepemimpinan, struktur, sumberdaya manusia & finansial, sistem pengelolaan formal & informal, dan pengkajian kinerja); (3) keterkaitan antar lembaga (Morgan & Taschereasu 1996). Penelitian di Jamaika mengamati perilaku institusi dan warganegara atau rumahtangga berkaitan dengan pengelolaan persampahan. Penelitian ini juga meneliti
hubungan
warganegara
dan
pemerintah
lokal
dalam
mengimplementasikan teknologi pengelolaan persampahan. Juga memeriksa penataan dan hubungan antara pemerintah pusat dan lokal dalam merumuskan teknologi-teknologi baru (Pap 2003). Secara
umum
penelitian
hubungan
dan
perilaku
institusi
sektor
persampahan di Jamaika meneliti tiga hal yang meliputi : (1) Apa perspektif warga
lokal
dalam
pengelolaan
persampahan
dan
bagaimana
hal
ini
mempengaruhi kebijakan dan praktek pengelolaan persampahan.; (2) Bagaimana hubungan kelembagaan saat ini mempengaruhi kebijakan dan praktek pengelolaan persampahan; (3) Apa hubungan antara pemerintah pusat dan pemimpin lokal dan bagaimana
hal
ini
mempengaruhi
kebijakan
dan
praktek
pengelolaan
persampahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku di level rumah tangga dalam pengelolaan persampahan tergantung pada hubungan dan perilaku dalam lingkup kelembagaan yang lebih luas.
Masalah kelembagan dari
pemerintah pusat dan lokal mempengaruhi kebijakan dan praktek pengelolaan
20 persampahan yang selanjutnya mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah lokal dan teknologi baru. Teknologi dalam bentuk kebijakan baru dan teknik pembuangan baru tidak dapat mengatasi masalah lingkungan. Hal ini harus diikuti dengan analisis kelembagaan dan dilakukan reformasi agar teknologi baru cocok dengan situasi lokal dan dapat diimplementasikan. Pada tingkat lokal hubungan antara warganegara dan pemerintah pusat perlu perbaikan.
Reformasi kelembagaan
antara pemerintah pusat dan lokal perlu diperlihatkan perbaikannya. Pemerintah pusat harus diberikan kekuatan untuk mengatasi masalah persampahan yang berbeda di setiap area. Karena itu perlu dilibatkan perwakilan lembaga lokal di dalam perencanaan nasional.
2.2.5. Pengembangan Kelembagaan
Menurut Peters (2000) terdapat dua jenis perubahan kelembagaan yaitu pengembangan internal atau disebut institutionalization dan perubahan dalam nilai dan struktur. Tipe pertama, yaitu pengembangan internal melalui empat faktor yaitu otonomi, kemampuan beradaptasi, kompleksitas dan kohernsi. Otonomi berhubungan dengan lembaga atau institusi untuk dapat mengimplementasikan keputusannya sendiri, atau tanpa ketergantungan pada institusi lainnya. Kemampuan beradaptasi mengandung arti sejauh mana institusi dapat beradaptasi dengan adanya perubahan dari lingkungannya. Kompleksitas menggambarkan kapasitas institusi dalam membangun struktur internal yang dapat memenuhi tujuan.
Koherensi menggambarkan kapasitas institusi untuk dapat mengelola
beban kerja dan mengembangkan prosedur kerja. Tipe kedua, adalah perubahan nilai dan struktur yang meliputi perubahan isi atau kandungan dari institusi dan apa yang dipercaya/dianut oleh institusi. Proses pengembangan kelembagaan, memiliki lima tahapan yang meliputi (1) Analisis dan diagnosis kerangka kerja kelembagaan, (2) Analisis dan diagnosis organisasi dalam konteks kelembagaan, (3) desain, (4) implementasi dan (5) monitoring dan evaluasi. Tahapan tersebut berjalan sesuai siklus terus menerus, seperti disajikan pada Gambar 4 (DFID 2003).
21
(1) Analisis dan diagnosis: kerangka kerja kelembagaan secara keseluruhan
(2) Analisis dan diagnosis: organisasiorganisasi dalam konteks
Pengembangan kelembagaan
(3) Desain
(5) Monitoring dan evaluasi (4) Implementasi
Gambar 4 Proses pengembangan kelembagaan (DFID 2003)
Pada tahap pertama ini, kerangka kerja kelembagaan dianalisis untuk melihat tujuan apa yang ingin dicapai dan mengapa termasuk peran para stakeholder. Kelemahan dan kekurangan dari kelembagaan perlu diidentifikasi. Tahap kedua adalah melihat organisasi-organisasi yang terlibat dalam kerangka kerja kelambagaan. Masalah- masalah dalam organisasi-organisasi diidentifikasi dalam lingkungan kelembagaan. Tahap ketiga adalah merancang intervensi. Dicari cara yang terbaik dalam menentukan perubahan. Ditentukan alternatifalternatif intervensi dengan panduan untuk pemilihan alternative. Tahap keempat adalah implemantasi, bagaimana mengimplementasikan program perubahan. Harus ditekankan bahwa kepentingan pengelolaan intervensi merupakan suatu proses dan faktor yang penting yang menentukan keberhasilan atau kegagalan. Tahap kelima adalah monitoring dan evaluasi untuk melihat bagaimana tujuan telah dicapai dengan menetapkan proses untuk pemantauan.
22 Wenban-Smith (2002) menyebutkan bahwa pengembangan kelembagaan merupakan proses yang terus menerus seperti siklus. Faktor- faktor yang membantu pengembangan kapasitas kelembagaan adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi modal sosial, politik dan intelektual yang diekpresikan dengan kemampuan untuk menentukan konsensus terhadap isu tertentu, pemahaman terhadap persepsi dan nilai yang berlaku di masyarakat, tingkat kepercayaan yang cukup antar stakeholder, adanya keyakinan pihak lain akan menjaga komitmen, dukungan organisasi dan sumberdaya untuk melakukan hubungan terus menerus, tantangan dari luar.
informasi dasar dan adanya tanggapan terhadap
Faktor eksternal meliputi pemerintahan yang mengakui
adanya penghargaan dari masyarakat yang memberikan dukungan atau usaha kolaborasi. Kapasitas kelembagaan yang kuat
Pengelaman keberhasilan
Kapasitas untuk negosiasi trade-off
Modal sosial, politik, intelektual
Tantangan eksternal
Informasi, Sumberdaya, Keahlian,
Pengakuan eksternal Proses kolaborasi
Kapasitas untuk memperluas wawasan
Nilai masyarakat dan persepsi
Gambar 5 Pengembangan kelembagaan (Wenban-Smith 2002)
23 2.3. Peranserta (Partisipasi) Masyarakat Partisipasi masyarakat dalam sistem manajemen persampahan dapat berupa partisipasi langsung dan partisipasi tidak langsung pada sistem, selain itu juga dapat dilakukan secara individual atau berkelompok. Partisipasi langsung dapat berupa melakukan pengumpulan primer dan membayar retribusi. Masyarakat membentuk organisasi (misalnya Rukun Tetangga) yang salah satu tugasnya adalah mengumpulkan sampah dari rumah tangga di wilayahnya. Sampah yang terkumpul kemudian dibawa ke tempat pembuangan sementara (TPS). Pengelola sampah kota selanjutnya akan mengangkut sampah tersebut ke tempat pembuangan akhir (TPA). Untuk jasa ini masyarakat membayar retribusi pengelolaan sampah. Sementara partisipasi tidak langsung pada sistem merupakan upaya masyarakat untuk menurunkan tingkat timbulan sampah. Upaya ini akan menurunkan jumlah sampah sehingga akan meringankan beban kerja sistem manajemen persampahan. Tindakan yang dilakukan masyarakat dapat berupa upaya menghindari terjadinya sampah, penggunaan kembali, daur ulang, pengomposan, dan sebagainya. Setiap anggota masyarakat berperan dengan cara yang bervariasi dalam partisipasinya terhadap pengelolaan sampah. Pada tingkat individual, rumah tangga bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkannya. Kegiatan yang dilakukan dapat berupa menempatkan sampah di dalam wadah yang sesuai, memilah sampah, meletakkan wadah sampah pada tempat dan waktu yang tepat, dan
membersihkan
lingkungan
sekitar
rumahnya.
Secara
berkelompok,
masyarakat dapat membentuk organisasi untuk melakukan kegiatan kampanye kebersihan dan usaha meningkatkan kesadaran masyarakat. Selanjutnya, partisipasi masyarakat dapat berupa kontribusi secara fisik atau finansial, misalnya menjadi penyapu jalan atau me mbayar retribusi sampah. Pada tahap lebih lanjut lagi, partisipasi dapat berupa ikut serta dalam memformulasi proyek dalam arti mengikuti secara aktif mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan proyek pengelolaan persampahan. Bentuk partisipasi tertinggi adalah menjadi anggota dalam organisasi pengelolaan persampahan dengan kegiatan berupa pemantauan atas mutu pengelolaan (Moningka 2000).
24 Sejalan dengan Moningka (2000), Anschütz (1996) memberikan gambaran tentang jenis partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah kota berbasis partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah ada empat yaitu (1) dengan cara menunjukkan perilaku dalam menjaga kebersihan, (2) dengan memberikan kontribusi uang atau tenaga, (3) dengan memberikan bantuan dalam administrasi dan (4) memberikan kontribusi dalam jasa pelayanan. Perilaku menjaga kebersihan dengan cara mengikuti aturan (jadwal dan tempat) dalam pengumpulan sampah, membawa sampah ke tempat pengumpulan, menaruh sampah dalam kantung atau tong, mengikuti penyuluhan kebersihan, menjaga kebersihan rumah dan sekitarnya, memisahkan sampah basah dan kering, mengomposkan sampah halaman. Memberikan kontribusi uang atau tenaga dengan cara membayar iuran pengumpulan sampah, menyumbang atau meminjamkan peralatan, menyumbang tenaga untuk pengumpulan. Memberikan bantuan dalam administrasi dengan cara menjawab pertanyaan bila ada survey atau penelitian, mengikuti pertemuan, memilih pemimpin atau wakil yang akan mengelola sampah, memberikan umpan balik terhadap pengelola tentang sistem pengumpulan dan pelayanan. Memberikan bantuan dalam jasa pelayanan dengan cara menjadi anggota komite, menjadi anggota organisasi kemasyarakatan yang mengelola persampahan, berperan serta dalam pengambilan keputusan. Terdapat tiga manfaat yang diperoleh dalam pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah kota yaitu membangun kapasitas/ kemampuan lokal, melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan memberikan kesempatan pada masyarakat untuk merencanakan dan menentukan strategi dalam pengelolaan sampah kota. Partisipasi masyarakat dapat membantu terbentuknya integrasi antara perbedaan kebutuhan dan masalah dalam pengelolaan sampah kota (Moningka 2000). Menurut Bulle (1999) setiap anggota dari suatu komunitas mempunyai peran yang berbeda, maka terdapat banyak cara partisipasi dalam pengelolaan sampah kota.
Partisipasi masyarakat sebagai individu yang dapat dilakukan
adalah menyimpan sampah pada wadah yang tepat, memilah sampah yang dapat didaur ulang dengan bahan organik, meletakan sampah di tempat dan waktu yang telah tertentu, dan menjaga kebersihan lingkungan rumah. Partisipasi masyarakat
25 secara bersama-sama adalah dalam aktivitas organisasi untuk meningkatkan kepedulian terhadap kebersihan kota. Selanjutnya, partisipasi masyarakat dapat terlibat dalam manajemen persampahan dalam bentuk kontribusi misalnya bekerja sebagai penyapu atau membayar retribusi pengumpulan sampah. Partisipasi masyarakat yang lebih maju adalah dengan memberikan pendapat dan usulan untuk perbaikan pengelolaan persampahan kota.
Partsipasi masyarakat paling
tinggi adalah membentuk organisasi kemasyarakatan untuk memberikan masukan kepada pengambil keputusan dalam pengelolaan persampahan kota serta melakukan pengawasan. Menurut Wilson et.al. (2001), untuk mencapai keberhasilan kampanye diperlukan kemahiran dalam mengkombinasikan berbagai cara kampanye. Terdapat berbagai seni untuk mengkombinasikan cara yang sedemikian rupa sehingga dapat memaksimalkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat atau kelompok target terhadap isu manajemen persampahan.
2.4. Metode Penelitian Analisis Kelembagaan dan Peranserta Masyarakat
Bandaragoda
(2000)
menjelaskan
panduan
dalam
menganalisis
kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya air. Terdapat tiga kompone n yang dianalisis yaitu hukum, kebijakan dan administrasi. Sedangkan langkah analisisnya adalah seperti ditunjukkan oleh Gambar 4 berikut.
26
(1) Evaluasi hasil dari studi diagnostik komponenkomponen
(2) Lakukan analisis tren untuk melacak perkembangan sejarah
(3) Melacak perkembangan dari kelembagaan
(4) Mengevaluasi implikasi kelembagaan dari kinerja saat ini
(5) Kaji secara tepat lembagalembaga yang ada
(6) Mengidentifikasi perubahan kelembagaan yang mungkin
Gambar 6 Diagram analisis kelembagaan (Bandaragoda 2000) Dari Gambar 6 tersebut di atas tergambar bahwa langkah pertama adalah evaluasi hasil studi sebelumnya terhadap komponen kelembagaan yaitu hukum, kebijakan dan administrasi. Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis kecenderungan (tren) untuk melihat perkembangannya. Kemudian melacak perkembangan kelembagaan yang diikuti dengan mengevauasi dari implikasi kinerja kembagaan saat ini.
Selanjutnya mengkaji secara tepat dan memadai
berdasarkan langkah 1 sampai 4 terhadap lembaga- lembaga yang ada. Kemudian pada akhirnya mengidentifikasi perubahan kelembagaan yang mungkin. Cullivan et. Al. (1988) menyusun panduan untuk pengkajian kelembagaan untuk bidang pengelolaan air dan air buangan. Pengkajian kelembagaan adalah prosedur yang sistematis dalam mengkaji kinerja suatu institusi berdasarkan pada indikator kinerja standar. Hasil pengkajian adalah profil kekuatan dan kelemahan dari kelembagaan yang telah dianalisis berdasarkan kategori utama dari fungsi
27 kelembagaan. Langkah pertama adalah melakukan studi lapangan langsung kepada lembaga yang akan dikaji. Hasil dari studi lapangan diperoleh kategori kinerja kelembagaan pengelolaan air dan air buangan. Untuk setiap kategori kinerja tersebut dilakukan interview dan pengamatan langsung. Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis. Analisis dilakukan oleh individual asesor dan asesor tim. Kemudian dilakukan presentasi atau lokakarya seluruh tim asesor. Hasil akhir berupa profil kelembagaan. Penelitian kelembagaan pada kehutanan masyarakat di di Nusa Tenggara Barat yaitu di Pulau Lombok dan Sumbawa (Awang et. al. 2000) menggambarkan potret kelembagaan masyarakat.
Unsur kelembagaan dalam kehutanan
masyarakat meliputi: (1) Organisasi terdiri dari ketertataan, keanggotaan, daya akomodasi aspirasi, kepengurusan, aturan organisasi dan aset organisasi; (2) Kepemimpinan yang digambarkan oleh gaya kepemimpinan. (3) Kegiatan produktif (4) Potensi konflik.
2.5. Model
Model
merupakan
usaha
untuk
menyederhanakan atau menunjukkan sistem.
menggambarkan,
menganalisis,
Suatu model dibuat berdasarkan
pada teori. Model yang baik harus dapat menggambarkan sifat penting dari sistem yang dimodelkan. Model merupakan pengganti dari suatu sistem yang nyata. Model digunakan bila bekerja dengan pengganti tersebut akan lebih mudah bila dibandingkan dengan sistem aktual. Contoh model adalah: blueprint untuk pekerjaan arsitektur, grafik untuk pekerjaan ahli ekonomi (Ford 1999). Secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abtraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik (sebab akibat). Oleh karena model merupakan abstraksi dari suatu realitas, maka pada wujudnya kurang kompleks daripada realitas itu sendiri. Model dapat dikatakan lengkap bila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas itu sendiri. Salah satu dasar utama dalam pengembangan model adalah guna menemukan peubah-peubah yang penting dan tepat. Klasifikasi dari jenis-jenis
28 model adalah sebagai berikut : (1) Model fisik atau model skala, merupakan perwakilan fisik dari bentuk ideal maupun dalam skala yang berbeda. Misalnya maket suatu bangunan; (2) Model diagramatik atau model konseptual, dapat mewakili situasi dinamik (keadaan yang berubah menurut waktu). Contoh dari model ini adalah kurva permintaan, kurva distribusi frekuensi dan diagram alir. ; (3) Model matematik, dapat berupa persamaan atau formula (rumus). Persamaan merupakan bahasa universal yang menggunakan suatu logika simbolis (Eriyatno 1999). Model matematik melibatkan fungsi dan angka dalam menggambarkan sistem, seringkali disebut dengan model komputer atau model numerik. Di lain pihak bila solusi analitis yang akan diperoleh dapat digambarkan dengan kombinasi dari berbagai fungsi matematis dasar, model ini disebut dengan model analitis. Model matematis ini dapat dikelompokan dalam dua bagian yaitu model statis dan dinamik. Model statik memberikan informasi tentang peubah-peubah model hanya pada titik tunggal dari waktu. Model dinamik mampu menelusuri jalur waktu dari peubah-peubah model. Model dinamik mempunyai kekuatan yang lebih tinggi dalam analisis dunia nyata.