4
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hepatitis C Hepatitis merupakan penyakit yang menyebabkan pembekakan pada hati. Penyakit hepatitis terdiri atas beberapa jenis yaitu Hepatitis A, B, C, D, E, dan non-(A-E). Keenam hepatitis ini disebabkan oleh virus yang berbeda (Solga et al. 2007). Hepatitis C merupakan penyakit hati yang disebabkan oleh virus hepatitis C (HCV). Penyakit ini pertama kali diidentifikasi pada tahun 1989 dan dikenal sebagai hepatitis non-A, non-B. Pada manusia normal, organ hati bersifat halus dan kenyal bila disentuh (Gambar 1). Jika hati terinfeksi oleh suatu penyakit maka hati akan membengkak. Kerusakan hati dapat ditandai dengan adanya konsentrasi enzim alanin aminotransferase (ALT) yang lebih tinggi dari normal. Pada penyakit hepatitis C, setelah terjadinya infeksi (tahap infeksi akut), 15-40% penderita akan sembuh dengan sendirinya dalam waktu 6 bulan dan tidak beresiko menderita penyakit hati melalui hepatitis C serta tidak menularkan kepada yang lainnya. Pada tahap ini, hati dapat melawan patogen dan mengembalikan fungsinya yang terganggu dengan membentuk fibrosis (luka kecil atau parut). Namun, sekitar 60-80% penderita hepatitis C akut ini tidak dapat sembuh dan berkembang menjadi hepatitis kronis. Pada tahap ini, penderita akan rentan terhadap sirosis hati, kegagalan fungsi hati, dan kanker hati (hepatocellular carcinoma, HCC), tetapi untungnya, perkembangan ini terjadi sangat lambat. Hanya 10 hingga 15% penderita kronis yang mengalami sirosis hati dalam jangka waktu 20 tahun (Shiffman 2006; Solga et al. 2007). Penderita hepatitis C seringkali tidak menunjukkan gejala khusus walaupun telah bertahun-tahun terinfeksi. Gejala yang ditunjukkan sangat umum seperti lelah, hilangnya selera makan, mual, sakit perut, urin menjadi gelap dan kulit atau mata berwarna kuning (Solga et al. 2007). Karenanya, hepatitis C dikenal sebagai ‟silent killer‟ sehingga penderita baru menyadari terinfeksi HCV ketika berada pada tahap sirosis lanjut (Frick 2007; DepKes-RI 2009).
5
Gambar 1. Tahap perkembangan kerusakan hati (Solga et al. 2007)
Untuk mendiagnosis adanya infeksi HCV dapat dilakukan dengan 2 pendekatan yaitu serologi dan virologi. Dengan serologi digunakan antibodi dengan tingkat sensitivitas lebih dari 95%, namun spesifitas bervariasi dan metode ini dapat dilakukan setelah 2-6 bulan terinfeksi HCV. Dengan virologi digunakan virus sebagai agen deteksi dengan metode PCR (polymerase chain reaction). Metode ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 98% serta dilakukan setelah 2-6 minggu terinfeksi HCV (Moradpour et al. 2001; Shiffman 2006; Solga et al. 2007). Penularan hepatitis C dapat terjadi melalui darah dan cairan tubuh manusia, antara lain melalui hubungan seksual dengan penderita hepatitis tanpa pengaman, transfusi darah, suntikan, alat tato atau tindik yang tercemar virus (Shiffman 2006; Solga et al. 2007; DepKes-RI 2009).
2.2 Virus Hepatitis C Virus hepatitis C (HCV) merupakan anggota group IV berdasarkan klasifikasi Baltimore dengan RNA utas tunggal bersense positif sebagai materi genetiknya. HCV juga termasuk famili Flaviviridae (Voyles 1993; Drazan 2000; Brass et al. 2006; Frick 2007). HCV termasuk virus yang berenvelope dengan ukuran 50 nm (Gambar 2). Genomnya berukuran ~9600 nukleotida dan open reading frame-nya (ORF) mengkode ~3000 asam amino. ORF diapit oleh daerah yang tidak ditranslasi (untranslated region, UTR) pada tiap ujungnya. UTR ini merupakan daerah yang sangat lestari dari genom HCV. Ujung 5‟UTR berperan penting dalam
6
menginisisasi translasi dari genom viral, sedangkan ujung 3‟UTR berperan dalam sintesis RNA dan pengemasan genom (Drazan 2000; Moradpour et al. 2001; Brass et al. 2006). Poliprotein HCV dipecah secara co- dan post-translasi oleh proteinase sel dan viral ke dalam 10 produk (Gambar 3), yaitu protein struktural yang terletak pada N-terminal 1-3 yang akan membentuk virion dan sisanya protein nonstruktural akan membentuk perangkat replikasi. RNA HCV memiliki waktu paruh 2,5 jam dengan produksi virion sebanyak 1012 virion per hari (Brass et al. 2006). Protein struktural terdiri atas protein core yang merupakan protein kapsid, dan protein E1 & E2 yang merupakan glikoprotein envelope yang membentuk heterodimer. Protein F/ARFP merupakan protein frameshift/alternative reading frame yang berperan dalam replikasi (Drazan 2000; Brass et al. 2006; Frick 2007).
Gambar 2. Model virus hepatitis C manusia (Solga et al. 2007)
Protein non-struktural HCV terdiri atas protein P7 yang berperan sebagai kanal ion kalsium (anggota famili viroporin). Protein NS2 dan domain N-terminal protein NS3 membentuk proteinase dan akan memecah protein-protein virus pada proses pascatranslasi. C-terminal protein NS3 merupakan NTPase/Helikase. Protein NS4A merupakan kofaktor proteinase. Protein NS4B merupakan protein yang belum diketahui perannya tetapi kemungkinan berperan dalam pembentukan kompleks replikasi viral dengan memodulasi aktivitas NS5B dan beberapa
7
lintasan transduksi sinyal. Protein NS5A merupakan fosfoprotein yang berperan dalam replikasi. Protein NS5B merupakan RNA-dependent RNA polymerase (RdRp) – kompleks RNA polimerase (Drazan 2000; Moradpour et al. 2001; Brass et al. 2006; Frick 2007).
Gambar 3. Organisasi genom HCV (Chevaliez & Pawlotsky 2006)
Virus hepatitis C memiliki karakter yang heterogen. HCV memiliki laju mutasi yang sangat tinggi. Daerah yang relatif lestari yaitu 5‟-UTR, C, E1 dan NS5B digunakan sebagai dasar klasifikasi genotipe HCV pada manusia. Bervariasinya genotipe HCV juga dipengaruhi oleh daerah geografis dan cara transmisi. HCV dibedakan ke dalam 6 kelompok utama (1,2, 3, 4, 5, dan 6) dan ratusan subtipe (a, b,c dst). Genotipe 1-3 menginfeksi secara umum, sedangkan genotipe 4 biasanya menginfeksi daerah Timur Tengah dan Afrika, genotipe 5 ditemukan di Afrika Selatan dan genotipe 6 ditemukan di Asia Tenggara. Di Indonesia, genotipe 1-3 ditemukan dalam donor darah dan penderita yang terdiagnosa hepatitis kronis, sirosis, dan kanker hati (HCC) (Utama et al. 2008). Secara umum terdapat 3 tahap siklus hidup HCV, yaitu (1) virus entry yaitu proses masuknya virus ke sel inang, (2) virus replication yaitu proses terjadinya duplikasi (perbanyakan) virus dalam sel inang, (3) virus budding yaitu proses keluarnya virus dari dalam sel untuk menginfeksi sel lain (Gambar 4).
8
Tahapan pertama dalam siklus hidup virus adalah penangkapan partikel penginfeksi oleh sel inang melalui interaksi spesifik antara reseptor pada permukaan sel inang dengan protein spesifik dari viral. Penangkapan viral dilakukan melalui mekanisme fusi yang dimediasi oleh glikoprotein spesifik viral yang menyebabkan envelop virus berfusi secara langsung pada membran plasma pada pH tertentu dan melepaskan nukleokapsid di sitoplasma sel. Protein E2 HCV yang merupakan reseptor viral berikatan dengan afinitas yang tinggi pada loop bagian luar CD81 (reseptor dari sel inang). Interaksi CD81 dengan E2 dimediasi oleh LDL (low density lipoprotein) dan reseptor scavenger kelas B tipe I (SR-BI) sebagai kofaktor (Bartenschlager & Lohmann 2000; Drazan 2000, Moradpour et al. 2001; Brass et al. 2006).
Gambar 4. Siklus hidup HCV (Chevaliez & Pawlotsky 2006)
9
RNA virus yang masuk akan ditranslasi secara langsung dalam sitoplasma sel inang. Virus RNA utas tunggal dengan sens positif, secara langsung berperan sebagai mRNA pada sel eukaryot atau sebagai templat untuk translasi. RNA ini tidak mengalami proses pascatranslasi yaitu penambahan poli A pada ujung 3‟, penambahan tudung pada ujung 5‟, dan splising (penghilangan intron). Mekanisme translasi RNA viral yang masuk tidak dimediasi melalui mekanisme yang bergantung cap, tetapi dimediasi oleh IRES (internal ribosome entry site) yang berada pada ujung 5‟UTR. Subunit kecil ribosom 40S dari sel inang akan mengenali sekuen IRES. Translasi HCV diregulasi oleh protein seluler yang berlimpah atau yang memiliki aktivitas selama siklus sel (Bartenschlager & Lohmann 2000; Drazan 2000, Moradpour et al. 2001; Brass et al. 2006). Viral RNA bersifat polisistronik yang ditranslasi ke dalam poliprotein dan kemudian dipecah secara proteolitik untuk menghasilkan produk akhir. Translasi polipeptida terjadi dalam ER kasar serta mengalami co- dan post translasi melalui sinyal sel inang dan 2 proteinase viral. Daerah core-NS2 dipecah oleh signal peptidase sel inang yang memecah ikatan peptida pada situs C/E1, E1/E2, E2/p7, p7/NS2. Pemecahan NS2 dan NS3 melalui reaksi intramolekular dan bantuan enzim proteinase NS2-3. Pemecahan daerah NS3-NS5B dimediasi oleh proteinase NS3 dengan urutan NS3/4A → NS5A/B → NS4A/B →NS4B/5A (Bartenschlager & Lohmann 2000; Drazan 2000, Moradpour et al. 2001; Brass et al. 2006). Replikasi RNA viral utas tunggal bersens positif meliputi sintesis RNA komplemen yang bersens negatif, yang selanjutnya menjadi templat untuk mensintesis RNA komplemen yang bersens positif. RNA positif yang baru digunakan untuk tiga fungsi yaitu (1) sebagai templat untuk proses translasi protein viral, (2) sebagai templat untuk proses replikasi RNA negatif, dan (3) sebagai perlengkapan virion. Apabila protein kapsid telah terakumulasi maka RNA utas tunggal positif yang utuh dikemas dalam nukleokapsid (Bartenschlager & Lohmann 2000; Drazan 2000, Moradpour et al. 2001; Brass et al. 2006). HCV membentuk kompleks replikase yang terasosiasi pada membran, untuk membentuk protein viral dan replikasi RNA. Membran sel memiliki peran yang sangat penting dalam proses replikasi RNA HCV. Tahapan-tahapan dalam proses replikasi RNA HCV belum diketahui secara jelas. NS5B RdRp merupakan protein
10
yang berperan penting dalam proses ini. Protein ini mengkatalisis sintesis RNA utas positif dan negatif. RNA polimerase memulai transkripsi dari ujung 3‟ genom dengan sekuen promotor sebagai awal transkripsi. Proses ini juga membutuhkan peran helikase (NS3) yang mengurai RNA utas ganda yang terbentuk menjadi utas tunggal, sehingga utas negatif dapat dijadikan templat dalam mensintesis utas positif yang baru (Bartenschlager & Lohmann 2000; Drazan 2000, Moradpour et al. 2001; Brass et al. 2006). Pembentukan partikel virion diinisiasi melalui protein core yang berinteraksi dengan genom RNA. Namun, perakitan virion HCV belum dipelajari secara detail. Partikel virion yang terbentuk berada dalam membran intraseluler dan tidak ditranspor keluar sel. RNA yang telah ditranslasi di ER kasar yang kemudian ditranspor ke badan golgi untuk diproses pascatranslasi misalnya dengan glikosilasi protein envelope. Selanjutnya virion dibawa ke membran intraseluler melalui vesikel. Virion HCV dilepas melalui eksositosis (Bartenschlager & Lohmann 2000; Drazan 2000, Moradpour et al. 2001; Brass et al. 2006).
2.3 Upaya Penanggulangan Penyakit Hepatitis C Hepatitis C merupakan penyakit yang sulit disembuhkan hingga saat ini karena belum ditemukannya vaksin maupun obat yang spesifik. Pengembangan vaksin masih sulit dilakukan karena tingginya heterogenisitas dari HCV dan sulitnya membuat sistem sel kultur yang sesuai atau model hewan kecil seperti tikus atau kelinci (Moradpour et al. 2001). Pengobatan hepatitis C saat ini dilakukan dengan terapi interferon-α, PEGinterferon-α, dan ribavirin (Moradpour et al. 2001; Shepard et al. 2005). Terapi dilakukan secara individual maupun kombinasi ketiganya. Interferon-α merupakan sitokinin yaitu suatu protein yang dibuat secara alami oleh tubuh manusia untuk meningkatkan sistem daya tahan tubuh/imunitas dan mengatur fungsi sel lainnya. Terapi interferon bekerja melalui tiga cara yaitu, pertama menangkap sel sehat dan melindunginya dari infeksi virus. Kedua, membantu sistem imun untuk menghentikan perbanyakan virus. Dan ketiga, membantu tubuh
untuk
meningkatkan ketahanannya terhadap infeksi virus (Cutler 2006). Obat yang direkomendasikan untuk penyakit hepatitis C kronis adalah interferon-α baik
11
dalam bentuk alami ataupun sintetisnya. PEG-interferon-α dibuat dengan menggabungkan molekul yang larut air yang disebut polyethylene glycol (PEG) dengan molekul interferon-α. Modifikasi interferon-α ini lebih lama ada dalam tubuh dan lebih efektif dalam membuat respon bertahan terhadap virus dari pasien hepatitis C kronis dibandingkan interferon-α biasa (Moradpour et al. 2001). Ribavirin adalah obat anti virus yang termasuk dalam kelompok nukleosida anti metabolit. Ribavirin bekerja dengan mengganggu sistem duplikasi materi genetik virus. Penggunaan ribavirin secara tunggal, tidak efektif melawan virus sehingga dikombinasikan dengan PEG-interferon-α. Terapi ketiga obat ini kurang efektif menyembuhkan hepatitis C. Ketiga obat ini digunakan dalam jangka waktu yang lama (minimal 6 bulan), namun penggunaan jangka panjang tersebut akan memberikan efek samping yang dapat menimbulkan berbagai penyakit. Interferon-α dan ribavirin memiliki sejumlah kontraindikasi antara lain pembusukan sirosis hati, autoimun terhadap hepatitis, depresi, leukopenia, trombositopenia (Moradpour et al. 2001). Selain itu, terapi ini sangat bergantung pada genotipe HCV (Moradpour et al. 2001; Shepard et al. 2005). Studi untuk mendapatkan obat antivirus hepatitis C terus dilakukan. Obat antivirus ini digunakan untuk menghambat siklus hidup HCV. Beberapa target penghambatan yang dilakukan adalah: (1) menghambat infeksi sel hepatosit dengan memblokir reseptor viral dan membran sel inang. Terapi yang digunakan adalah antibodi poliklonal dan monoklonal sehingga diperoleh vaksin anti glikoprotein E1E2, (2) menghambat transpor RNA ke retikulum endoplasma sehingga tidak terjadi translasi dan protein prosesing. Terapi yang digunakan adalah menggunakan oligonukleotida yang berperan sebagai ribozim yaitu enzim RNA yang dapat mendegradasi RNA, antisens oligos yaitu RNA komplemen dengan RNA virus sehingga RNA virus tidak dapat diproses lebih lanjut, dan siRNA yaitu RNA yang ditambahkan yang memiliki aktivitas bloking, (3) menghambat proses translasi dan protein prosesing. Pada tahap ini enzim proteolitik berperan memecah polipeptida yang disintesis menjadi protein-protein yang memiliki aktivitas tertentu. Karena itu dalam terapi ini yang digunakan adalah senyawa baik protein maupun senyawa kimia, yang dapat menghambat
12
enzim protease ini, (4) menghambat proses transkripsi yaitu perbanyakan RNA virus. Pada proses ini enzim yang berperan adalah RNA polimerase dan helikase. Terapi yang digunakan adalah pemanfaatan senyawa yang dapat menghambat aktivitas kedua enzim tersebut, (5) menghambat tahapan terakhir siklus hidup virus yaitu perakitan virion. Pada tahap ini protein E1 dan E2 mengalami proses pascatranslasi yaitu dengan penambahan senyawa-senyawa seperti glukosa atau karbodirat sederhana, gugus-gugus fungsi tertentu seperti amino yang berperan sebagai reseptor, pelipatan protein, antigen. Maka terapi yang digunakan adalah senyawa-senyawa yang dapat memodifikasi proses tersebut sehingga virus tidak memiliki reseptor yang cocok dengan inang atau pelipatan protein yang tidak sesuai dengan stereokimianya (Davis 2006). Beberapa antiviral telah ditemukan dan diujicobakan hingga fase klinis II yaitu
VP
50406
yang
merupakan
inhibitor
polimerase,
antisens
oligodeoksinukleotida, dan ribozim (Moradpour et al. 2001).
2.4 Inhibitor RNA Helikase Sebagai Target Obat Helikase berasal dari kata “helix” yang berarti struktur pasangan DNA “double helix” dan “ase” yang berarti enzim, sehingga helikase berarti enzim yang memisahkan pasangan rantai DNA (DNA helikase) atau RNA (RNA helikase). Helikase pertama kali ditemukan dalam proses replikasi DNA bakteri Escherichia coli. Penelitian selanjutnya menemukan hampir semua organisme, mulai dari virus hingga manusia memiliki helikase yang berperan penting dalam proses replikasi DNA atau RNA. Helikase bekerja secara katalitik dengan menggunakan energi yang dihasilkan dari hidrolisis nukleosida trifosfat (NTP) untuk memisahkan untai ganda asam nukleat (DNA atau RNA), memisahkan asam nukleat yang terasosiasi dengan protein atau mengkatalisis rekombinasi DNA homolog. Pada umumnya helikase bekerja lebih efektif dengan membentuk kompleks protein yang lebih besar dengan enzim-enzim lainnya. Karena itu, selain berperan dalam replikasi genom, helikase juga dibutuhkan dalam perbaikan dan rekombinasi genom (Patel and Donmez 2006). Berdasarkan
sekuen
asam
amino
yang
lestari
(motif),
helikase
diklasifikasikan ke dalam superfamili (SF). Helikase yang tergolong SF1 dan SF2
13
memiliki kedekatan struktur yaitu mengandung beberapa domain yang tidak membentuk cincin dan sisi pengikatan NTP tunggal. SF3 dan SF4 mengandung domain yang membentuk cincin dan sisi pengikatan NTP pada sisi antarmuka dari setiap subunit. Berdasarkan studi terhadap sekuen, struktur dan sifat biokimia, helikase yang berada pada satu SF menunjukkan spesifisitas yang berbeda terhadap substrat (DNA atau RNA) dan arah translokasi (3‟ ke 5‟ atau 5‟ ke 3‟) (Patel and Donmez 2006). Pada HCV, helikase disandikan oleh gen NS3. Protein matur NS3 terdiri atas 5 domain, 2 domain pada N-terminal membentuk serin protease dan 3 domain pada C-terminal membentuk helikase (Gambar 3) (Frick 2007). Struktur tersier helikase HCV tampak sebagai molekul berbentuk Y (Gambar 5). Domain 1 berada pada ujung N-terminal, domain 2 berada ditengah dan domain 3 berada pada ujung C-terminal. Sisi pengikatan substrat berada pada klef antara domain 1 dan 2 dengan domain 3, sedangkan sisi pengikatan dan hidrolisis ATP berada pada antarmuka domain 1 dan 2 (Gambar 5A). Domain 2 dihubungkan oleh suatu penghubung yang fleksibel sehingga dapat berotasi antara domain 1 dan 3. Pergerakan domain 2 ini menyebabkan perubahan konformasi enzim, yaitu ketika bergerak ke arah domain 1 akan membentuk konformasi “buka” dan sebaliknya ke arah domain 3 akan membentuk konformasi “tutup” (Gambar 5B). Model konformasi “buka tutup” ini akan digunakan dalam mekanisme katalitik (Kim et al. 1998; Kwong et al. 2005; Frick 2007). Helikase HCV termasuk ke dalam RNA helikase karena genom HCV berupa RNA dan bergerak sepanjang 3‟ ke 5‟. Helikase HCV juga digolongkan ke dalam SF2 bersama faktor translasi eIF-4A, enzim repair DNA UvrB, Rad-3 dan Ercc-3, helikase A berperan dalam proses RNA manusia, RNA helikase NPH-II virus vaccinia. Helikase SF2 ini mengandung 7 motif lestari yang berperan dalam pengikatan dan hidrolisis NTP serta pengikatan asam nukleat (Gambar 6) (Kim et al. 1998).
14
B
Gambar 5. Model RNA helikase HCV (Frick 2007). A. Model disertai dengan sisi pengikatan substrat (DNA) dan ATP (model struktur Kim et al. (1998), PDB file 1A1V). B. Model „buka tutup‟ memperlihatkan mekanisme katalitik
Gambar 6. Motif (sekuen lestari) pada helikase. RNA helikase HCV pada baris pertama (NS3) (Kim et al. 1998) Klasifikasi SF didasarkan pada sekuen lestari yang dikenal sebagai Walker A/motif I. Walker A/motif I ini berperan dalam pengikatan gugus fosfat pada NTP. Helikase SF2 diklasifikasi menjadi 3 kelompok berdasarkan sekuen lestari pada residu D-E, yang dikenal sebagai Walker B/motif II, yaitu D-E-A-H box, DE-A-D box dan D-E-X-H box. Walker B/motif II ini berperan dalam pengkelatan kofaktor (ion Mg2+) pada kompleks Mg-NTP. Motif lainnya yang berperan penting yaitu motif VI yang kaya akan gugus arginin (Arg-rich) dan berperan dalam pengikatan RNA (Borowski et al. 2002).
15
Mekanisme kerja RNA helikase HCV secara umum (Gambar 7) adalah pertama-tama helikase akan berikatan pada ujung 3‟ RNA utas ganda (dupleks RNA+ dan RNA-). Tahap kedua, ATP akan berikatan pada sisi aktif RNA helikase dan dihidrolisis pada gugus fosfat terluar menghasilkan ADP dan fosfat anorganik (Pi). Pada proses hidrolisis ATP ini mengeluarkan energi yang cukup besar dan digunakan untuk memisahkan RNA utas ganda menjadi utas tunggal. Pemisahan RNA utas ganda dilakukan dengan pemutusan ikatan hidrogen yang mengikat kedua utas tersebut (Utama et al. 2005). Helikase Step 1
5’
3’
3’
5’ Helikase
5’
3’
Step 2
ATP 3’
5’ Helikase
5’
3’
Step 3 3’
5’ ADP Helikase
Pi +
5’
3’
Step 4
3’
5’
Gambar 7. Mekanisme kerja RNA helikase HCV (Utama et al. 2005)
Berdasarkan mekanisme kerja tersebut, selain memiliki aktivitas untuk memisahkan utas ganda RNA (RNA helikase), juga memiliki aktivitas untuk menghidrolisis ATP (ATPase) dan aktivitas pengikatan RNA (RNA-binding). Ketiga aktivitas ini saling berpengaruh satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, helikase menjadi target yang potensial untuk penemuan obat antiviral. Obat antiviral ini dapat dikembangkan dengan suatu senyawa yang dapat menghambat (inhibitor) aktivitas helikase. Beberapa inhibitor untuk helikase telah ditemukan dan dikelompokkan sebagai molekul sederhana, asam nukleat, atau antibodi (Tabel 1). Namun, masih
16
diperlukan studi lebih lanjut untuk mengembangkan inhibitor tersebut sebagai antiviral.
Tabel 1. Inhibitor RNA helikase HCV Kelompok Molekul Sederhana
Asam nukleat
Inhibitor Ribavirin-triphosphate Ring-expanded (“fat”) nucleosides and nucleotides - 5‟-O-(4Fluorosulphonylbenzoyl) -ester of ribavirin (FSBR) - Adenosine (FSBA) - Guanosine (FSBG) - Inosine (FSBI) Tetrabromobenzotriazole (TBBT) aminopenylbenzimidazole - Turunan piperidine, heterocyclic carboxamide, antibiotik antracycline - Paclitaxel, trifluoperazine RNA aptamer
Antibodi Epitope Hfab-aNS3 Sumber: Frick (2007)
Referensi Borowski et al. 2001 Zhang et al. 2003 Bretner et al. 2004
Borowski et al. 2003 Phoon et al. 2001 Borowski et al. 2002a
Borowski et al. 2002b Fukuda et al. 2004; Nishikawa et al. 2004; Hwang et al. 2004; Umehara et al. 2005 Prabhu et al. 2004
Pada umumnya molekul sederhana merupakan nukleosida analog yang dapat menghambat aktivitas helikase secara non-kompetitif dengan berikatan pada daerah yang mengandung sekuen lestari Walker site. Sisi pengikatan inhibitor ini berbeda dengan sisi pengikatan substrat nukleotida (RNA atau DNA) (Frick 2007). Molekul sederhana juga diidentifikasikan sebagai molekul yang mengandung nukleoside seperti TBBT (Borowski et al. 2003). Selain itu, molekul sederhana merupakan molekul kimiawi yang gugusnya mengandung nukleosida. Helikase HCV memiliki kekhasan, yaitu memiliki tempat yang dapat mengikat asam nukleat lain selain substrat sebagai stimulator, seperti poli(U) RNA yang dapat menstimulasi hidrolisis ATP. Namun, pada kejenuhan konsentrasi asam nukleat tertentu mengakibatkan perubahan konformasi helikase. Berdasarkan studi tersebut maka dikembangkan inhibitor dari asam nukleat
17
(Fukuda et al. 2004; Nishikawa et al. 2004; Hwang et al. 2004; Umehara et al. 2005). Interaksi inhibitor ini bergantung pada banyaknya basa dan jenis asam nukleat. Seleksi inhibitor ini menggunakan metoda SELEX (systematic evolution of ligands by exponential amplification). Inhibitor helikase berdasarkan asam nukleat ini dikenal sebagai aptamer (Frick 2007). Inhibitor antibodi merupakan molekul yang menyerupai antibodi, yang dikembangkan untuk menghambat helikase HCV. Ketika diekspresikan secara intraseluler, molekul ini akan mengikat helikase dan menghambat aktivitasnya. Terdapat dua metode yang digunakan yaitu penggunaan fragmen antibodi berantai tunggal (ScFv) dan penggunaan fragmen antibodi (Fab) yang mengandung light chain yang lengkap dan heavy chain yang bervariasi. Molekul Fab lebih besar dan stabil dibandingkan ScFv (Frick 2007). Prabhu et al. (2004) telah berhasil mengisolasi Fab dari manusia yang memiliki aktivitas inhibisi terhadap helikase HCV yaitu HFab-aNS3. Fab ini dapat menginhibisi sintesis RNA yang diujicobakan pada replikon HCV baik dalam subgenom maupun genom lengkap. Inhibitor dapat bekerja secara dapat balik (reversible) dan tidak dapat balik (irreversible). Inhibitor tidak dapat balik terjadi karena proses destruksi atau modifikasi sebuah gugus fungsi atau lebih yang terdapat pada molekul enzim sehingga merubah konformasi enzim dan menyebabkan aktivitas katalitiknya berkurang atau hilang. Inhibitor dapat balik dapat berupa inhibitor kompetitif dan inhibitor non-kompetitif. Inhibitor kompetitif terjadi karena molekul yang mirip dengan substrat sehingga ada kompetisi antara inhibitor dengan substrat pada sisi aktif enzim. Inhibitor non-kompetitif yaitu inhibitor yang dapat berikatan pada sisi lain dari sisi aktif enzim. Pengikatan inhibitor pada enzim dapat terjadi ketika enzim telah mengikat substrat ataupun dalam keadaan bebas (Lehninger 1982).
2.5 Streptomyces chartreusis Streptomyces chartreusis merupakan bakteri dari kelompok aktinomisetes. Aktinomisetes termasuk dalam kelompok bakteri bergram positif dengan rasio asam nukleat G+C tinggi, bersifat saprofitik dan memproduksi sejumlah spora serta membentuk miselia yang stabil. Pada umumnya, bakteri ini hidup di dalam tanah yang bersifat basa atau netral daripada asam. Namun, berdasarkan beberapa
18
studi ada sebagian kecil aktinomisetes yang diisolasi dari perairan. Kelompok bakteri ini berperan penting dalam menguraikan materi organik di dalam tanah, seperti selulosa dan kitin, berperan pada siklus karbon, dan pembentukan humus. S. chartreusis pertama kali diidentifikasi oleh Leach et al. pada tahun 1953. S. chartreusis isolat 5-095 merupakan isolat yang diisolasi dari tanah di daerah Timor, Nusa Tenggara Timur (Ratnakomala 2009). Klasifikasi dari isolat 5-095 ini adalah sebagai berikut: Dunia Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: : : : : : :
Bacteria Actinobacteria Actinobacteridae Actinomycetales Streptomycetaceae Streptomyces chartreusis
Gambar 8. Streptomyces chartreusis NRRL 2287 (Wink 2009)
Galur S. chartreusis 5-095 memiliki miselium yang bercabang, membentuk hifa udara dengan rantai spora yang berbentuk spiral. Sel vegetatifnya berwarna pale vinaceous gray, dengan warna pigmen yang terlarut di dalam medium pertumbuhan yang berwarna umber. Analisis hidrolisat sel utuh menunjukkan adanya kandungan LL-diaminopimelic acid (LL-DAP) yang merupakan karakteristik dari genus Streptomyces (Ratnakomala 2009). Tabel 2 menunjukkan
19
karakteristik galur 5-095 yang dibandingkan dengan galur S. chartreusis yang telah dikenal umum (NRRL 2287).
Tabel 2. Karakterisasi fisiologis penggunaan gula oleh S. chartreusis 5-095 No
Gula
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Blanko Inulin Laktosa Dekstrosa Melibiosa Myo-inositol Starch D(+)Galaktosa Fruktosa Sorbosa Glukosa Arabinosa Manosa Rafinosa Ribosa Manitol Xilosa Melezitosa Salicin Cellobiosa Sorbitol Escullin Antron
Keterangan: +
= positif
-
= negatif
S. chartreusis 5-095 NRRL 2289 TD + + + TD TD + TD TD + + TD + + + + TD + TD TD + + + TD TD TD TD TD TD
TD = tidak dianalisis
Sumber: Ratnakomala (2009) S. chartreusis
juga menghasilkan berbagai senyawa aktif, antara lain
chartreusin yang merupakan antibiotik antineoplastik, cezomysin yang merupakan antibiotik polieter, N-deacetyltunicamycin yang merupakan inhibitor lipid Nacetylglucosamine pada prokariot, antibiotik tipe cephalosporin yang aktif melawan bakteri gram negatif, dan althiomycin yang merupakan antibiotik peptida. Althiomycin aktif melawan bakteri gram positif serta menunjukkan aktivitas anticoccidial dan antiherpes (Wink 2009).
20
2.6 Pemurnian Protein Inhibitor Pemurnian protein merupakan serangkaian proses yang dilakukan untuk mengisolasi suatu jenis protein dari campuran yang kompleks. Berbagai langkah dalam proses pemurnian akan melepaskan protein dari matriks yang mengikatnya dan memisahkan protein dan bagian yang bukan protein dari campuran larutan sehingga diperoleh protein yang diinginkan dan telah murni. Idealnya, pemurnian protein dilakukan dengan beberapa tahapan yang pendek dan rendemen yang tinggi untuk setiap tahapan. Jika rendemen sangat kecil (<50% tiap tahapan) berarti terdapat kesalahan dalam tahapan pemurnian tersebut. Hal yang sangat penting dalam mengindikasikan suatu pemurnian berjalan dengan baik, selain rendemen yang tinggi, yaitu reprodusibel metode yang dipilih (Coligan 1995). Pada umumnya, teknik yang digunakan untuk pemurnian protein adalah kromatografi. Metode ini telah dikembangkan dan terbukti dapat memurnikan protein dengan hasil yang diinginkan. Metode ini diklasifikasikan berdasarkan sifat protein, yaitu berdasarkan sifat permukaan protein, ukuran dan bentuk protein, muatan total protein dan sifat biokimia protein. Sifat permukaan protein meliputi distribusi muatan dan aksesibilitas, distribusi rantai asam amino yang bersifat hidrofobik pada permukaan protein, dan pengaruh pH terhadap muatan protein. Sifat-sifat permukaan protein ini akan menentukan kelarutan protein. Berdasarkan sifat permukaan protein ini, metode pemisahan dapat dilakukan dengan kromatografi interaksi hidrofobik. Berdasarkan ukuran dan bentuk protein, metode pemisahan dapat dilakukan dengan kromatografi gel filtrasi dan elektroforesis preparatif. Kromatografi gel filtrasi akan memisahkan protein dalam bentuk aslinya sedangkan metode elektroforesis akan memberikan distribusi dan denaturasi polipeptidanya. Muatan total protein sangat dipengaruhi oleh pH, pH rendah akan memberikan muatan positif, pH tinggi akan memberikan muatan negatif dan pada titik isoelektrik (pI) akan netral. Berdasarkan sifat muatan ini, protein dapat dipisahkan dengan metode kromatografi penukar ion (anion/kation) dan reversed phase-HPLC. Sifat biokimia protein memberikan metode pemisahan yang sangat spesifik yaitu dengan pendekatan afinitas. Pendekatan ini sangat bergantung pada sifat ikatan spesifik protein dengan ligannya antara lain ikatan spesifik antara enzim dengan substrat atau kofaktor, hormon dengan protein
21
pengikatnya, dan molekul reseptor yang didisain khusus untuk mengikat protein tertentu. Metode yang digunakan untuk protein ini adalah kromatografi afinitas (Coligan 1995).
2.6.1 Pengendapan Protein Pengendapan protein dilakukan pada tahap awal pemurnian dan didasarkan pada kelarutan protein. Pengendapan protein dapat dilakukan dengan cara penambahan garam, pelarut organik atau polimer organik dan mengubah pH. Teknik pengendapan protein yang paling umum dilakukan adalah dengan penambahan garam. Prinsip pengendapan dengan cara ini yaitu berdasarkan pada kelarutan protein yang berinteraksi polar dengan molekul air, interaksi ionik protein dengan garam, dan daya tolak menolak protein yang bermuatan sama. Kelarutan protein pada pH dan suhu tertentu, meningkat dengan kenaikan konsentrasi garam (salting in). Proses kenaikan kelarutan protein akan meningkatkan kekuatan ion larutan. Pada penambahan garam dengan konsentrasi tertentu kelarutan protein menurun (salting out). Molekul air yang berikatan dengan ion garam semakin banyak sehingga menyebabkan penarikan selubung air yang mengelilingi permukaan protein. Peristiwa ini mengakibatkan protein saling berinteraksi, beragregasi, dan kemudian mengendap. Pada salting in, garam yang ditambahkan tidak jenuh atau konsentrasinya rendah sehingga protein menjadi bermuatan dan larut dalam larutan garam. Kelarutan protein akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan konsentrasi garam. Bila konsentrasi garam ditingkatkan terus, maka justru kelarutan protein akan turun. Bahkan pada konsentrasi garam yang lebih tinggi atau jenuh, maka protein akan mengendap (salting out) (Widyarti 2006). Amonium sulfat merupakan garam yang paling banyak digunakan untuk mengendapkan protein. Keuntungan dengan menggunakan amonium sulfat diantaranya karena memiliki daya larut tinggi di dalam air, relatif tidak mahal, dan kestabilan protein di dalam larutah amonium sulfat (2 – 3 M) tahan selama bertahun-tahun (Scope 1994). Selain garam amonium sulfat, garam yang bersifat netral seperti garam sodium atau kalium klorida dapat digunakan untuk mengendapkan protein. Kelebihan garam amonium sulfat terletak pada ion sulfat,
22
SO4-2, yang memiliki kosmotrop Hofmeister terbesar dan dapat bekerja pada pH 2 hingga 10. Namun, pengendapan protein dengan amonium sulfat akan mengurangi jumlah protein jika protein tersebut mengikat ion kalsium, Ca2+, sebagai kofaktor. Ion sulfat akan membentuk garam dan mengendap dengan ion kalsium (Coligan 1995). Metode pengendapan protein lainnya yaitu menggunakan pelarut organik atau polimer organik. Prinsipnya, berdasarkan pada pengurangan kelarutan protein dan konstanta dielektrik pelarut. Semakin banyak pelarut organik yang ditambahkan maka semakin berkurang daya solvasi air dan muatan pada molekul permukaan protein hidrofilik. Hal ini akan menyebabkan molekul protein saling berinteraksi
dengan
sesamanya,
sehingga
protein
mengendap.
Prosedur
pengendapan protein dengan pelarut organik dilakukan pada suhu dibawah 0°C. Pada suhu di atas 10°C, konformasi protein berubah karena kinetika yang memungkinkan molekul-molekul pelarut organik mendapatkan jalan masuk ke dalam struktur protein, kemudian akan merusak interaksi hidrofobik dan akhirnya akan terjadi denaturasi (Scope 1994). Pelarut organik yang biasa digunakan adalah aseton atau etanol sedangkan polimernya adalah polietilenglikol (PEG). Metode pengendapan yang ketiga adalah dengan mengubah pH larutan. Perubahan pH akan menyebabkan perubahan muatan pada gugus fungsional protein hingga pada pH tertentu, muatan total protein menjadi nol yang dikenal sebagai titik isoelektrik (pI). Pada keadaan tersebut, protein akan mengendap (Young 1994).
2.6.2 Kromatografi Gel Filtrasi Kromatografi gel filtrasi merupakan suatu teknik pemisahan protein berdasarkan pada ukurannya. Kromatografi ini menggunakan bahan pengisi yang merupakan gel yang berpori. Gel filtrasi memiliki karakteristik tertentu antara lain ukuran pori pada rentang tertentu, stabil secara kimia dan fisika, serta inert yaitu tidak bersifat adsorpsi. Pori gel memiliki ukuran tertentu sehingga mencegah molekul-molekul besar masuk ke dalamnya, tetapi dapat menampung molekul-molekul yang lebih kecil. Molekul yang lebih kecil dari ukuran pori tersebut akan masuk ke dalam pori
23
dan tinggal lebih lama di dalam gel, sedangkan molekul yang lebih besar dari ukuran pori akan turun lebih cepat dan terelusi dari kolom. Ketika molekul besar telah terelusi dan volume larutan eluen lebih banyak maka molekul kecil yang berada dalam pori akan terdorong keluar dan terelusi dari kolom (Gambar 9).
Gambar 9. Mekanisme kerja kromatografi gel filtrasi (Anonimous 2009)
Beberapa matriks yang digunakan dalam gel filtrasi adalah sephacryl HR, superdex, superose, sephadex, sepharose, dan sepharose CL. Karakteristik matriks ditunjukkan pada tabel 3. Pada filtrasi gel tidak terjadi ikatan antara matriks dengan protein yang akan dipisahkan sehingga komposisi bufer tidak mempengaruhi resolusi secara langsung. Filtrasi gel sangat sesuai untuk memisahkan biomolekul yang sensitif terhadap perubahan pH, konsentrasi ion logam atau kofaktor dan kondisi lingkungan (Harris, 1989).
24
Tabel 3. Jenis dan karakteristik matriks gel filtrasi Nama Matriks Sephacryl HR
Jenis ikatan silang kovalen Alil dekstran/ N,N‟-methylene bisacrylamid
Superdex
Dekstran/agaros
Superose
Agaros/agaros yang memiliki perbedaan ukuran dan fraksinasi
Sephadex
Dekstran/ epiklorhidrin
Sepharose
Agaros (terstabilkan oleh ikatan hidrogen bukan melalui ikatan silang)
Sifat kimia & fisika - Stabil pada semua buffer pH 3-11 - Autoklaf 121 o C, pH 7, 30 menit - Stabil pada semua buffer pH 3-12 - Dipacking pada suhu 4-40 oC - Stabil pada semua buffer pH 3-12 - Autoklaf 121 o C, pH 7, 30 menit - Dipacking pada suhu 4-40 oC
Sifat kromatografi Pemisahan peptida, protein, antibodi monoklonal, protein serum, polisakarida, asam nukleat, fragmen DNA atau plasmid Efisiensi dan selektifitas tinggi
Kurang selektif
Tingkat selektifitas rendah (coarse) hingga tinggi (superfine) -
- Larut dalam air dan garam pH 4-9 - Dipanaskan >40 o C - Autoklaf secara kimia dengan dietilpirokarbon at Sepharose CL Sepharose yang - Stabil pada direaksikan semua buffer dengan 2,3pH 3-11 dibromopropanol - Autoklaf 121 o pada kondisi C, pH 7, 30 basa kuat menit - Stabil pada pelarut organik Sumber: Anonimous (2009)
25
2.7 Penentuan Bobot Molekul Protein (Sodium Dedocyl Sulfate Poly Acrilamide Gel Electrophoresis/SDS PAGE) SDS PAGE merupakan teknik yang digunakan untuk memisahkan protein berdasarkan panjang rantai polipeptida atau bobot molekulnya. Pemisahan protein berdasarkan ukurannya ini dilakukan dalam medan listrik. Campuran protein yang akan dipisahkan dilarutkan dengan SDS (sodium dedocyl sulfate), suatu jenis detergen anionik. SDS ini akan mendenaturasi struktur sekunder dan ikatan nondisulfida dari struktur tersier menjadi struktur linear/primer. Selain itu, SDS juga akan memberikan muatan negatif pada struktur linier protein dengan perbandingan bergantung pada bobot protein.
Gambar 10. Teknik elektroforesis gel untuk memisahkan protein (Moleculardude 2008) Pemisahan protein dilakukan dengan menempatkan protein linier bermuatan negatif tersebut ke dalam gel poliakrilamid (PAGE) dan diberi muatan listrik. Gel poliakrilamida tersusun atas monomer akrilamid yang akan membentuk ikatan silang dengan bantuan amonium persulfat (APS) dan TEMED (N,N,N‟,N‟tetrametiletilendiamin) sehingga membentuk pori. Ukuran pori gel poliakrilamid bergantung pada konsentrasi akrilamid. Pada umumnya, untuk pemisahan protein digunakan konsentrasi akrilamid 5-25% (Moleculardude 2008). Pada konsentrasi gel rendah, digunakan untuk memisahkan protein dengan bobot molekul besar,
26
sedangkan konsentrasi gel tinggi dapat digunakan untuk memisahkan protein dengan bobot molekul rendah. Gel poliakrilamid dapat dibuat untuk satu konsentrasi atau beberapa konsentrasi (gel gradien). Gel gradien digunakan untuk memisahkan suatu campuran protein dengan bobot molekul bervariasi dari yang paling kecil hingga yang besar. Gel elektroforesis yang berisi sampel protein selanjutnya ditempatkan dalam medan listrik. Protein akan bergerak ke katoda, dan ukuran protein yang lebih kecil akan bergerak lebih cepat. Laju pergerakan protein bergantung pada ukuran pori dan kekuatan medan listrik. Setelah dilakukan elektroforesis, gel dapat divisualisasi dengan pewarnaan atau dapat digunakan untuk proses selanjutnya (western blot). Pewarnaan protein dalam gel dapat dilakukan dengan pewarna Coomassie Brilliant Blue R-250 atau pewarna perak (silverstain). Pewarna perak lebih
sensitif
50
kali
dibandingkan
Coomassie
Brilliant
Blue
klasik
(Moleculardude 2008). Setelah dilakukan, protein akan membentuk band pada gel dan ukuran protein tersebut dapat dibandingkan dengan suatu marker yang telah diketahui bobot molekulnya.