i
IDENTIFIKASI DAN PATOGENISITAS CENDAWAN PENYEBAB PRIMER PENYAKIT MATI PUCUK PADA BIBIT JABON (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq)
AI ROSAH AISAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Identifikasi dan Patogenisitas Cendawan Penyebab Primer Penyakit Mati Pucuk pada Bibit Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2014 Ai Rosah Aisah NIM A352100041
iv
RINGKASAN AI ROSAH AISAH. Identifikasi dan Patogenisitas Cendawan Penyebab Primer Penyakit Mati Pucuk pada Bibit Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq). Dibimbing oleh BONNY PW SOEKARNO dan ACHMAD. Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq) merupakan tanaman asli Indonesia yang saat ini banyak diminati masyarakat karena dapat memberi keuntungan, baik secara ekonomi maupun ekologi. Seiring dengan pengembangan dan budidayanya, permintaan pasar terhadap jabon akan mengalami peningkatan. Usaha pembibitan jabon berpotensi menghadapi gangguan penyakit di areal persemaian. Hal ini dikarenakan bibit yang tersedia di areal persemaian berpotensi menjadi inang bagi patogen dan kondisi bibit yang masih sukulen relatif rentan terhadap gangguan penyakit. Gejala penyakit yang sering ditemui di areal pembibitan jabon dan berpotensi menyebabkan kematian bibit adalah mati pucuk. Penelitian dilakukan dengan tujuan mengisolasi dan mengidentifikasi cendawan penyebab mati pucuk pada bibit jabon, menentukan penyebab primer penyakit mati pucuk dan menguji tingkat virulensi isolat patogen penyebab primer tersebut, serta mempelajari mekanisme infeksi patogen terhadap inang dan mekanisme pertahanan inang terhadap infeksi patogen. Penelitian terdiri atas pengamatan gejala dan pengambilan tanaman contoh sakit dari lokasi persemaian, isolasi dan identifikasi cendawan, uji patogenisitas isolat cendawan, analisis aktivitas pektinase dan selulase yang dihasilkan cendawan patogen, dan analisis aktivitas peroksidase pada tanaman jabon. Berdasarkan pengamatan gejala di lokasi persemaian, bibit jabon yang terinfeksi penyakit mati pucuk memiliki gejala nekrosis pada batang atau daun, batang layu atau mengerut. Sebanyak 21 isolat cendawan berhasil diisolasi dari tanaman sakit yang menunjukkan gejala nekrosis pada bagian ujung tanaman. Hasil identifikasi berdasarkan karakter morfologi, isolat-isolat tersebut diketahui sebagai Botryodiplodia spp. sebanyak 9 isolat, Fusarium spp. 9 isolat, Colletotrichum sp., Curvularia sp., dan Pestalotiopsis sp. masing-masing 1 isolat. Berdasarkan postulat Koch, isolat cendawan yang patogenik terhadap jabon adalah Botryodiplodia spp. Fusarium spp., dan Colletotrichum sp.. Adapun cendawan yang diduga berperan sebagai penyebab primer penyakit mati pucuk adalah Botryodiplodia spp.. Hal ini dikarena inokulasi isolat Botryodiplodia spp. dapat menghasilkan gejala identik dengan gejala mati pucuk yang terjadi secara alami di lapangan. Hasil uji patogenisitas 5 isolat Botryodiplodia spp. menunjukkan bahwa isolat-isolat tersebut memiliki derajat patogenisitas yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari besarnya persentase keparahan penyakit yang ditimbulkan. Berdasarkan uji selang berganda Duncan (α 5%) pada tingkat keparahan penyakit, dapat diketahui bahwa 3 dari 5 isolat Botryodiplodia spp. yang diuji sangat virulen terhadap bibit jabon, sedangkan isolat lainnya kurang virulen. Mekanisme yang digunakan isolat Botryodiplodia spp. untuk menginfeksi inang diduga dilakukan dengan menggunakan kekuatan mekanik dan biokimia. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya gejala nekrotik pada titik inokulasi yang tidak dilukai dan terdeteksinya aktivitas pektinase dan selulase dari isolat Botryodiplodia spp. yang dikulturkan pada media CMS (Corn Meal Sand). Aktivitas pektinase yang dihasilkan isolat Botryodiplodia spp. yaitu berkisar
v
18.131 sampai 26.083 U ml-1, sedangkan selulase sebesar 0.014 sampai 0.023 U ml-1. Adapun mekanisme pertahanan tanaman jabon terhadap infeksi patogen salah satunya dilakukan dengan cara menghasilkan peroksidase yang berperan dalam proses lignifikasi dan pembentukan senyawa metabolit sekunder. Aktivitas peroksidase yang terdeteksi pada tanaman jabon setelah inokulasi patogen yaitu berkisar 0.0006 sampai 0.0012 UAE g-1. Cendawan Botryodiplodia spp. diduga sebagai penyebab penyakit mati pucuk pada bibit jabon dan mampu menimbulkan tingkat keparahan penyakit yang berbeda pada bibit jabon bergantung pada tingkat virulensinya. Isolat Botryodiplodia spp. dapat melakukan penetrasi secara aktif dan pasif, dan mekanisme infeksi salah satunya dilakukan melalui sekresi enzim. Adapun mekanisme pertahanan jabon terhadap infeksi patogen ditunjukkan melalui aktivitas peroksidase. Kata kunci: Botryodiplodia spp., Fusarium spp., nekrosis, persemaian, postulat Koch
vi
SUMMARY AI ROSAH AISAH. Identification and Pathogenicity of Primary Fungi Causing Dieback Disease on Jabon Seedlings (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq). Supervised by BONNY PW SOEKARNO and ACHMAD. Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq) is indigenous plant of Indonesia which is currently attracted by many people due to able provide benefits, both economical and ecological. Along with its development and cultivation, the market demand of jabon will get increase. Propagation of jabon potentially facing diseases disorders in the nursery area. This is because of available seedlings in the nursery area have the potential to be a host for the pathogens and the succulent seedling conditions are relatively vulnerable to disease attacks. The disease symptoms are often found in the jabon nursery areas and potentially leading to death of seedlings are dieback diseases. This study was conducted with the aim to isolate and identify the fungal pathogen cause of dieback diseases on jabon seedlings, determine the primary cause of dieback diseases and test the virulence levels of those isolates, and to study the mechanisms of pathogen infection and host defense mechanisms to against pathogens. The study consisted of the observation of symptoms and sampling diseased plants from the nursery locations, isolation and identification of fungi, pathogenicity assay of fungal isolates, analysis of pectinase and cellulase activities produced by fungal pathogens, and analysis of peroxidase activity on jabon. Based on observation of symptoms at the nursery sites, jabon seedlings infected dieback disease had necrotic symptoms on stems or leaves, withered or shriveled on stems. A total of 21 isolates of the fungus could be isolated from diseased plants showed necrotic symptoms at the plant tips. Identification based on morphological characters, these isolates were known as Botryodiplodia spp. as much as 9 isolates, Fusarium spp. 9 isolates, Colletotrichum sp., Curvularia sp., and Pestalotiopsis sp. each 1 isolate. Based on Koch's postulates, the fungal isolates which were pathogenic to jabon were Botryodiplodia spp., Fusarium spp., and Colletotrichum sp.. The fungus suspected as the primary cause of the dieback disease was Botryodiplodia spp. This is because of Botryodiplodia spp. isolates inoculation could produce identical symptoms with dieback symptoms that occur naturally in the field. The results of pathogenicity assay of 5 Botryodiplodia spp. isolates showed that these isolates had different degrees of pathogenicity. It could be seen from the percentage of disease severity caused. Based on Duncan's multiple interval test (α 5%) on the disease severity, could be seen that 3 of 5 Botryodiplodia spp. isolates tested were highly virulent to jabon seedlings, while the others were less virulent. The mechanisms used by Botryodiplodia spp. isolates to infect the hosts presumably performed using mechanical and biochemical forces. These were showed by the appearance of necrotic symptoms on unwounded inoculation sites and the pectinase and cellulase activities detectable from Botryodiplodia spp. isolates cultured in CMS (Corn Meal Sand) media. Pectinase activity produced by Botryodiplodia spp. isolates was ranging from 18.131 to 26.083 U ml-1, whereas cellulase from 0.014 to 0.023 U ml-1. The defense mechanism of jabon plant against pathogen infection, one of them was
vii
performed by produce peroxidase which plays role of lignification process and secondary metabolite compound formation. Peroxidase activity detectable on the jabon plants after pathogen inoculation was ranging from 0.0006 to 0.0012 UAE g-1. Botryodiplodia spp. was suspected as the cause of dieback disease on jabon seedlings and able to cause different levels of disease severity on jabon seedlings depend on its virulence level. Botryodiplodia spp. isolates could perform active and passive penetrations, and one of the mechanisms of infection was done through enzyme secretions. As for defense mechanisms of jabon against pathogen infection were demonstrated through peroxidase activity. Key words: Botryodiplodia spp., Fusarium spp., Koch’s postulate, necrotic, nursery
viii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ix
IDENTIFIKASI DAN PATOGENISITAS CENDAWAN PENYEBAB PRIMER PENYAKIT MATI PUCUK PADA BIBIT JABON (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq)
AI ROSAH AISAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
x
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Abdul Munif, MScAgr
xi
Judul Tesis
Nama NIM
: Identifikasi dan Patogenisitas Cendawan Penyebab Primer Penyakit Mati Pucuk pada Bibit Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq) : Ai Rosah Aisah : A352100041
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Bonny PW Soekarno, MS Ketua
Prof Dr Ir Achmad, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Fitopatolgi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal ujian: 30 Januari 2014
Tanggal Lulus:
Judul Tesis
Nama NIM
Identifikasi dan Patogenisitas Cendawan Penyebab Primer Penyakit Mati Pucuk pada Bibit Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Mig) Ai Rosah Aisah A352100041
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Achmad, MS Anggota
MS
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Fitopatologi
Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc
Tanggal ujian: 30 Januari 2014
Tanggal Lulus:
2 7 MAR 2014
xii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tesis dengan judul “Identifikasi dan Patogenisitas Cendawan Penyebab Primer Penyakit Mati Pucuk pada Bibit Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq)” dapat diselesaikan. Penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Bonny PW Soekarno, MS dan Prof Dr Ir Achmad, MS selaku komisi pembimbing atas bimbingan, masukan, arahan, dan nasihat selama proses penelitian sampai penulisan tesis. Selain itu, terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir Abdul Munif, MScAgr selaku penguji luar komisi atas masukan dan saran dalam penulisan hasil penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh staf dan rekan-rekan di Laboratorium Mikologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB dan Laboratorium Penyakit Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB atas segala bantuan, masukan, dan dukungan selama penyelesaian penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih tidak lupa penulis ucapkan kepada Mba Pepi dan Pak Eter atas bantuan yang diberikan selama penelitian. Rasa hormat dan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta atas segala dorongan, doa dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman Fitopatologi angakatan 2010 dan rekan-rekan Wisma Mardiyah yang senantiasa memberi semangat dari awal hingga akhir penelitian. Semoga tulisan ini dapat memberi manfaat bagi penulis dan yang memerlukan.
Bogor, Maret 2014 Ai Rosah Aisah
xiii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 2 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq) Deskripsi Umum Pohon Penyebaran Alami Klasifikasi Jabon Penyakit pada Tanaman Jabon Gejala dan Penyebab Penyakit Mati Pucuk Mekanisme Infeksi Patogen Mekanisme Pertahanan Inang terhadap Penyakit
4 4 5 5 6 6 7 8
3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Metode Pengamatan Gejala dan Pengambilan Tanaman Jabon Contoh Isolasi Cendawan dari Jaringan Tanaman Sakit Identifikasi Isolat Cendawan Postulat Koch Uji Patogenisitas Isolat Cendawan Analisis Mekanisme Infeksi Cendawan Patogen terhadap Tanaman Inang Analisis Mekanisme Pertahanan Inang terhadap Infeksi Patogen 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Gejala Penyakit Mati Pucuk pada Tanaman Jabon Isolasi dan Identifikasi Cendawan Postulat Koch Uji Patogenisitas Isolat Cendawan Botryodiplodia spp. Mekanisme Infeksi Cendawan Patogen terhadap Tanaman Inang Mekanisme Pertahanan Inang terhadap Infeksi Patogen Pembahasan Gejala Penyakit Mati Pucuk pada Tanaman Jabon Identifikasi Cendawan Postulat Koch
10 10 11 11 11 11 12 14 14
16 16 17 19 20 22 23 23 23 25 27
xiv
Uji Patogenisitas Isolat Cendawan Botryodiplodia spp. Mekanisme Infeksi Cendawan Patogen terhadap Tanaman Inang Mekanisme Pertahanan Inang terhadap Infeksi Patogen
29 30 32
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
34 34
DAFTAR PUSTAKA
35
LAMPIRAN
41
RIWAYAT HIDUP
54
xv
DAFTAR TABEL 1 Skor penyakit mati pucuk pada bibit jabon 2 Perolehan isolat cendawan berdasarkan lokasi pengambilan tanaman contoh jabon yang memperlihatkan gejala mati pucuk
14 18
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
Tanaman jabon: a) persemaian, b) lapangan 4 Peta penyebaran alami dan introduksi jabon (A. cadamba) 5 Urutan kegiatan penelitian 10 Skoring keparahan gejala penyakit mati pucuk pada bibit jabon; a) 0 = tanaman tidak bergejala, b-c) 1 = tanaman terlihat layu atau ≤ 25% bagian tanaman mengalami nekrosis; d) 2 = 26-50% bagian tanaman mengalami nekrosis;e) 3 = > 50% bagian tanaman mengalami nekrosis; dan f) 4 = tanaman mati 13 5 Gejala penyakit mati pucuk pada bibit jabon di lokasi persemaian: a) nekrotik pada batang, (b) nekrotik pada daun, dan (c) batang mengerut 16 6 Bibit jabon yang terserang penyakit mati pucuk pada beberapa tingkatan umur: a) nekrosis pucuk pada bibit ± 2 bulan, b-d) nekrosis batang dan daun pada bibit ± 3, 4, dan 5 bulan secara berturut-turut 17 7 Penampilan koloni isolat cendawan berdasarkan warna koloni: a) warna putih, b) putih kehitaman, c) putih keunguan, dan d) abu-abu kehitaman 17 8 Konidia isolat cendawan yang diperoleh dari bibit jabon yang memperlihatkan gejala mati pucuk: a) konidia muda dan konidia matang Botryodiplodia spp., b) makrokonidia Fusarium spp., c) konidia Colletotrichum sp., d) konidia Pestalotiopsis sp., dan e) konidia Curvularia sp. 18 9 Gejala penyakit pada bibit jabon setelah inokulasi pada tahap postulat Koch: a) Botryodiplodia spp., b) Fusarium spp., c) Colletotrichum sp., dan d) kontrol 19 10 Persentase kejadian dan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon setelah diinokulasi 5 isolat cendawan Botryodiplodia spp. 21 11 Gejala nekrosis yang muncul pada bibit jabon setelah inokulasi isolat Botryodiplodia spp. 22 12 Aktivitas pektinase (A) dan selulase (B) 3 isolat Botryodiplodia spp. setelah 2 minggu masa inkubasi pada media CMS 22 13 Aktivitas peroksidase bibit jabon setelah diinokulasi 5 isolat Botryodiplodia spp. dan kontrol 23
xvi
DAFTAR LAMPIRAN 1 Bibit jabon yang digunakan sebagai tanaman contoh dalam tahap isolasi 2 Kondisi penyakit mati pucuk pada tanaman jabon di 5 lokasi persemaian 3 Karakter morfologi isolat-isolat cendawan yang diperoleh dari bibit jabon yang mengalami mati pucuk 4 Gejala mati pucuk pada bibit jabon setelah diinokulasi lima isolat Botryodiplodia spp.: a) isolat A1, b) isolat A5, c) isolat E2, d) isolat E4, e) isolat B2, dan f) kontrol 5 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan kejadian penyakit mati pucuk pada bibit jabon setelah diinokulasi isolat Botryodiplodia spp. 6 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon setelah diinokulasi isolat Botryodiplodia spp. 7 Gejala kehitaman pada bagian dalam batang bibit jabon yang telah berkayu
42 43 44
50 51
52 53
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq) merupakan tanaman asli Indonesia yang saat ini tengah dikembangkan dan dibudidayakan. Tanaman ini mulai diminati masyarakat atau perusahaan karena memiliki banyak keunggulan, seperti penyebaran yang luas, pertumbuhan yang cepat, pemeliharaan mudah, prospek pemasaran cukup tinggi, dan dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah. Berdasarkan keunggulan-keunggulan tersebut jabon dapat ditanam sebagai bahan investasi atau usaha konservasi lingkungan. Jabon sebagai bahan investasi dapat ditanam di areal hutan rakyat untuk memperoleh hasil berupa kayu. Karena jabon termasuk jenis cepat tumbuh, maka daur hidupnya pendek. Sudarmo (1957) dalam Krisnawati et al. (2011) menyatakan bahwa jabon memiliki riap diameter rata-rata 1.2 sampai 11.6 cm tahun-1 dengan riap tinggi rata-rata 0.8 sampai 7.9 m tahun-1. Kondisi tersebut memungkinkan jabon dapat dipanen pada umur 6 tahun. Kayu jabon yang diperoleh dapat digunakan sebagai bahan baku industri, seperti industri pulp dan kertas, korek api, dan kayu lapis. Hal ini menunjukkan bahwa jabon memiliki nilai ekonomi tinggi. Herusansono dan Wahono (2011) menyatakan bahwa harga kayu jabon siap panen bisa mencapai 1.2 sampai 1.4 juta m-3. Selain dapat dijadikan bahan investasi, jabon juga dapat digunakan untuk konservasi lingkungan, misalnya kegiatan penghijauan atau reklamasi areal bekas tambang. Penanaman jabon di areal bekas tambang telah dicoba, contohnya di pertambangan batubara PT Kaltim Prima Coal yang memiliki persen tumbuh bibit sebesar 85 sampai 100% (Safriati 2012). Kemudian hasil penelitian Setyaningsih (2012) menunjukkan bahwa semai jabon bersifat toleran menengah terhadap logam berat timbal yang terdapat dalam limbah kegiatan pertambangan. Seiring dengan pengembangan dan budidayanya, permintaan pasar terhadap jabon akan mengalami peningkatan. Oleh sebab itu, usaha pembibitan jabon telah banyak dilakukan, baik dalam skala kecil maupun besar. Sejauh ini, usaha pembibitan jabon belum menghadapi kendala yang berarti. Namun, usaha ini tetap berpotensi menghadapi kendala berupa gangguan penyakit di areal persemaian. Hal ini dapat terjadi karena bibit jabon yang tersedia di areal persemaian berpotensi menjadi inang bagi patogen dan kondisi bibit yang masih sukulen relatif rentan terhadap gangguan penyakit. Gangguan penyakit merupakan salah satu hambatan dalam proses regenerasi tanaman hutan, karena dapat mengurangi kuantitas dan kualitas bibit. Berdasarkan pengamatan pada 5 lokasi persemaian, gejala penyakit yang sering ditemui menyerang bibit jabon adalah mati pucuk. Penyakit ini berpotensi mengurangi kuantitas dan kualitas bibit, karena selain dapat menginfeksi beberapa tingkatan umur bibit juga dapat menyebabkan kematian terhadap bibit jabon dengan presentase 5 sampai 15% (Cahyadi E 27 Maret 2013, komunikasi pribadi). Sampai saat ini, gangguan penyakit terhadap bibit jabon di persemaian belum banyak dilaporkan. Akan tetapi, kejadian penyakit yang pernah dilaporkan di antaranya adalah bercak daun yang disebabkan Colletotrichum sp. (Anggraeni
2 2009) dan mati pucuk yang disebabkan Rhizoctonia solani Kuhn. (Rahman et al. 1997). Penyakit mati pucuk dapat terjadi pada banyak tanaman dan disebabkan oleh satu atau beberapa cendawan patogen. Sebagai contoh, penyakit mati pucuk pada mangga (Mangifera indica L.) disebabkan oleh Lasiodiplodia theobromae (Pat.) Griffon & Maubl. (Khanzada et al. 2004), pada tanaman shisham (Dalbergia sissoo Roxb.) disebabkan oleh Botryodiplodia theobromae Pat., Fusarium solani (Mart.) Sacc., F. oxysporum Schlecht., R. solani, dan Curvularia lunata (Wakker) Boedijn. (Ahmad et al. 2012), dan pada akasia (Acacia koa A. Gray) disebabkan oleh F. oxysporum f. sp. koae (Anderson et al. 2002). Penyakit mati pucuk dapat menyebabkan gugur daun (Ahmad et al. 2012), layu (Muehlbach et al. 2010), dan kematian tanaman (Khanzada et al. 2004). Penyakit mati pucuk pada bibit jabon berpotensi menimbulkan masalah serius, karena selain dapat menimbulkan kerusakan pada berbagai tingkatan umur bibit jabon, penyakit ini juga berpotensi menyebabkan kematian pada bibit. Karena gangguan penyakit mati pucuk pada bibit jabon belum banyak dilaporkan, maka perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk mengidentifikasi dan menguji patogenisitas agen penyebab penyakit. Informasi yang diperoleh dari kegiatan identifikasi dan uji patogenisitas dapat digunakan untuk menentukan tindakan pengendalian. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan pengamatan gejala penyakit mati pucuk, isolasi dan identifikasi patogen, postulat Koch, uji patogenisitas isolat cendawan, dan mempelajari mekanisme infeksi patogen serta mekanisme pertahanan inang.
Perumusan Masalah Gangguan penyakit di areal persemaian merupakan salah satu kendala yang umum dihadapi dalam usaha regenerasi tanaman hutan. Hal ini dikarenakan gangguan penyakit dapat mengurangi kualitas maupun kuantitas bibit. Contoh penyakit yang umum mengganggu tanaman di areal persemaian adalah layu, rebah kecambah, bercak dan hawar daun, busuk akar, serta mati pucuk. Penyakit tersebut dapat mengganggu pertumbuhan tanaman atau bahkan menyebabkan kematian. Penyakit mati pucuk pada tanaman jabon dapat menyebabkan kematian terhadap bibit. Kondisi ini berpotensi menghambat usaha penyediaan bibit jabon yang saat ini tengah banyak diminati masyarakat. Penyakit mati pucuk dapat berasosiasi dengan beberapa macam cendawan patogen, sedangkan informasi mengenai serangan penyakit mati pucuk pada bibit jabon belum banyak diketahui. Hal ini dikarenakan tanaman jabon baru dikembangkan dan dibudidayakan secara luas di Indonesia. Karena informasi tersebut masih kurang, maka dalam penelitian ini dilakukan identifikasi dan uji patogenisitas terhadap agen penyebab penyakit mati pucuk pada bibit jabon.
3 Tujuan Penelitian 1 2
3
Mengisolasi dan mengidentifikasi cendawan penyebab penyakit mati pucuk pada bibit jabon Menentukan penyebab primer penyakit mati pucuk pada bibit jabon dengan metode postulat Koch serta menentukan tingkat virulensi isolat tersebut melalui uji patogenisitas Mempelajari mekanisme infeksi patogen terhadap inang dan mekanisme pertahanan inang terhadap infeksi patogen
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi awal mengenai agen penyebab penyakit mati pucuk pada bibit jabon dan kemampuannya untuk menimbulkan penyakit, mekanisme patogen untuk menginfeksi inang dan mekanisme pertahanan inang terhadap infeksi patogen. Informasi tersebut diperlukan untuk menentukan tindakan pengendalian penyakit.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq) Deskripsi Umum Pohon Jabon merupakan salah satu jenis tanaman yang memiliki prospek tinggi untuk dikembangkan di hutan tanaman industri dan digunakan sebagai tanaman penghijauan. Hal ini dikarenakan karakteristik yang dimilikinya, yaitu pertumbuhannya cepat, mampu beradaptasi pada berbagai kondisi tempat tumbuh, dan perlakuan silvikultur yang relatif mudah. Jenis ini diharapkan dapat menjadi komoditas penting bagi industri perkayuan di masa yang akan datang, terutama ketika bahan baku kayu dari hutan alam akan semakin berkurang (Krisnawati et al. 2011). Jabon termasuk jenis tanaman pionir yang dapat membentuk kelompok hutan alam murni pada tempat yang bebas persaingan cahaya. Perbanyakan jabon dapat dilakukan melalui biji atau stek. Biji yang digunakan sebagai benih, perlu disemaikan terlebih dahulu dalam bak kecambah. Semai yang telah mencapai ukuran tinggi 3 cm dapat dipindah ke bedeng penyapihan. Setelah mencapai tinggi 20 sampai 30 cm, semai dapat ditanam di lapangan pada awal musim hujan (Martawijaya et al. 1981). Secara umum, jabon tumbuh pada tanah aluvial, liat, lempung podsolik coklat, dan tanah tuf halus. Kisaran suhu maksimum untuk pertumbuhan jabon yaitu 32 sampai 42 °C, sedangkan kisaran suhu minimum yaitu 3 sampai 15.5 °C. Jabon dapat tumbuh pada daerah kering dengan curah hujan tahunan paling sedikit 200 mm, sedangkan pada habitat alaminya rata-rata curah hujan tahunan berkisar antara 1500 sampai dengan 5000 mm (Martawijaya et al. 1981; Krisnawati et al. 2011).
Gambar 1 Tanaman jabon: a) persemaian, b) lapangan.
5 Penyebaran Alami Menurut Orwa et al. (2009), spesies A. cadamba tersebar di beberapa negara, yaitu Australia, India, Cina, Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Singapura, dan Vietnam. Jenis ini sudah diintroduksi ke beberapa negara, yaitu seperti Costa Rica, Puerto Rico, Afrika Selatan, Taiwan, dan Venezuela. Adapun sebaran tumbuh di Indonesia menurut Martawijaya et al. (1981), yaitu meliputi seluruh Sumatera, Kalimantan Selatan dan Timur, seluruh Sulawesi, Jawa Timur, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Papua.
Gambar 2 Peta penyebaran alami dan introduksi jabon (A. cadamba) (Sumber: Orwa et al. 2009) Klasifikasi Jabon Tanaman jabon memiliki banyak nama lokal di beberapa negara, di antaranya yaitu common bur-flower (Inggris), kaatoan bangkal (Filipina), kadam (Prancis), kalempayan (Malaysia), jabon (Indonesia), dan takoo (Thailand). Di Indonesia sendiri, jabon memiliki beberapa nama lokal, antara lain hanja, kelampeyan, jabon (Jawa); galupai, kelampai, johan (Sumatera); ilan, kelampayan, taloh (Kalimantan); sugi mania, pekaung, pute (Sulawesi); gumpayan, kelapan, mugawe (NTB); dan aparabire, masarambi (Papua) (Martawijaya et al. 1981; Orwa et al. 2009). Berdasarkan sistem klasifikasi, jabon digolongkan sebagai berikut (Gautam et al. 2012; Soerianegara dan Lemmens 1994): Kingdom : Plantae Sub Kingdom : Tracheobionta Kelas : Asteridae Ordo : Rubiales Famili : Rubiaceae Genus : Neolamarckia F. Bosser Spesies : Neolamarckia cadamba (Roxb.) Sinonim : Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq Anthocephalus indicus A. Rich
6 Penyakit pada Tanaman Jabon Soerianegara dan Lemmens (1994) menyebutkan bahwa penyakit yang mengganggu tanaman jabon yaitu berupa rontoknya sebagian atau seluruh daun dan mati pucuk yang disebabkan oleh Gloeosporium anthocephali. Sementara itu, penyakit yang ditemukan mengganggu jabon di persemaian yaitu bercak daun yang disebabkan oleh Colletotrichum sp. (Anggraeni 2009) dan mati pucuk yang disebabkan oleh Rhizoctonia solani (Rahman et al. 1997). Anggraeni (2009) menjelaskan bahwa kerusakan akibat penyakit bercak Colletotrichum bergantung pada jenis tanaman inangnya. Apabila tanaman inang rentan, maka tanaman tidak hanya mengalami kerontokan daun tetapi mengalami mati pucuk atau bahkan mati total. Adapun kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit mati pucuk pada tanaman jabon belum banyak dilaporkan. Akan tetapi, gangguan penyakit ini pada tanaman lain dapat menurunkan produksi karena tanaman mengalami kematian. Nasution (2010) menyatakan bahwa gangguan penyakit mati pucuk pada tanaman alpukat (Persea americana Mill.) telah menurunkan produksi buah alpukat sebesar 20 sampai 80%. Gejala dan Penyebab Penyakit Mati Pucuk Penyakit mati pucuk memiliki gejala berupa nekrotik ekstensif yang dimulai dari bagian ujung tanaman dan berkembang menuju bagian pangkal. Biasanya terjadi secara tiba-tiba dan kerusakan berupa kematian dapat terjadi pada pucuk serta bagian ujung pertumbuhan. Gejala lain dari penyakit ini adalah terjadi perubahan warna daun dari hijau tua menjadi kuning, pengurangan ukuran daun, pengguguran daun, dan gumosis. Penyakit mati pucuk dapat menyerang tanaman kayu dan semak, dan dapat terjadi di area pertanaman atau persemaian (Agrios 2005; Douglas 2009; Ahmad et al. 2012). Penyakit mati pucuk telah dilaporkan menyebabkan kerusakan terhadap tanaman kayu pada area hutan tanaman di Asia dan Eropa, misalnya tanaman shisham (D. sissoo) di Banglades (Rajput et al. 2008) dan Pakistan (Ahmad et al. 2012), akasia (A. mangium Willd.) di Indonesia (Tarigan et al. 2011), dan ash (Fraxinus excelsior L.) di Eropa (Kräutler dan Kirisits 2012). Sementara itu, penyakit mati pucuk yang menyerang tanaman pada fase semai di antaranya terjadi pada tanaman karet (Hevea brasiliensis Müll. Arg.), jabon (A. cadamba), keora (Sonneratia apetala Buch.-Ham.) (Rahman et al. 1997), dan ash (Kirisits et al. 2012). Penyakit mati pucuk dapat mengancam usaha produksi kayu karena berpotensi menyebabkan kematian pada tanaman, baik pada fase semai maupun pohon. Anderson et al. (2002) melaporkan bahwa kejadian penyakit mati pucuk pada tanaman akasia (A. koa) di Mauna Loa, Hawaii berkisar antara 66 sampai 86%. Sementara itu, Muehlbach et al. (2010) menyatakan bahwa penyakit mati pucuk pada tanaman shisham sudah dikenal sejak tahun 1993 sebagai ancaman dramatis terhadap hutan dan produksi kayu di India dan sekitarnya. Gejala mati pucuk umumnya disebabkan oleh parasit-parasit lemah. Infeksi patogen sangat dipengaruhi oleh kondisi tanaman inang. Beberapa patogen yang dilaporkan menyebabkan gejala mati pucuk yaitu Rhizoctonia spp., F. oxysforum, dan L. theobromae (Semangun 2006; Muehlbach et al. 2010). Genus Rhizoctonia merupakan kumpulan heterogen dari cendawan berfilamen yang tidak menghasilkan spora aseksual dan memiliki ciri-ciri yang
7 umum pada bentuk anamorfnya. Organisme yang termasuk ke dalam spesies kompleks ini umumnya adalah cendawan penghuni tanah dan berisfat patogenik. Cendawan R. solani merupakan spesies yang umum diperoleh dari tanah dan dikenal sebagai patogen tumbuhan yang sangat merusak dan memiliki kisaran inang yang luas (García et al. 2006). Cendawan R. solani biasanya menginfeksi jaringan tanaman muda sehingga menyebabkan penyakit rebah kecambah. Selain itu, cendawan ini sering menginfeksi bagian daun yang berada di dekat tanah sehingga menyebabkan hawar atau bercak daun. Infeksi Rhizoctonia spp. yang menyebabkan penyakit mati pucuk ditemukan pada tanaman kopi (Coffea sp.) dan jabon (Semangun 2006; Rahman et al. 1997). Cendawan Fusarium spp. merupakan salah satu patogen yang berasosiasi dengan berbagai gejala penyakit seperti aborsi benih, busuk pada benih, akar, batang dan semai, rebah kecambah, kerdil, layu pembuluh, dan mati pucuk (Bashir dan Tahira 2012). Spesies yang berasosiasi dengan penyakit mati pucuk diantaranya adalah F. solani dan F. oxysporum pada shisham (Ahmad et al. 2012; Muehlbach et al. 2010), dan F. solani dan F. sterilihyphosum Britz, Marasas & MJ Wingf. pada alpukat (Nasution 2010). Lasiodiplodia sp. merupakan cendawan yang umum, terutama di daerah tropis dan subtropis yang dapat menyebabkan berbagai jenis penyakit pada tanaman. Cendawan L. theobromae merupakan anggota dari Botryosphaeriaceae, dikenal sebagai patogen dengan lebih dari 500 inang (Abdollahzadeh et al. 2010; Ismail et al. 2012). Cendawan ini dilaporkan telah menyebabkan penyakit mati pucuk pada tanaman mangga (Khanzada et al. 2004), shisham (Muehlbach et al. 2010), pir (Prunus sp.) (Shah et al. 2010), karet (Rahman et al. 1997) dan kakao (Theobromae cocoa L.) (Mbenoun et al. 2008).
Mekanisme Infeksi Patogen Patogen tumbuhan umumnya merupakan mikrooragnisme yang tidak dapat menggunakan kekuatan sendiri untuk menginfeksi inang. Patogen yang dapat menginfeksi atau memenetrasi tanaman inang secara langsung dapat menggunakan kekuatan mekanik. Mekanisme lain yang digunakan patogen untuk menyebabkan penyakit pada tanaman inang adalah kekuatan kimia seperti enzim, toksin, zat pengatur tumbuh, dan polisakarida (Agrios 2005). Penetrasi secara langsung terhadap tanaman inang di antaranya dapat dilakukan oleh cendawan patogen. Untuk melewati rintangan fisik pada tanaman inang, cendawan membentuk struktur infeksi yang memungkinkan dia untuk memenetrasi dinding sel. Sekresi enzim atau peningkatan tekanan pada struktur infeksi dapat membantu proses penetrasi (Mendgen et al. 1996). Banyak dari cendawan patogen tumbuhan membentuk apresorium untuk memenetrasi jaringan tanaman. Selama proses penetrasi, apresorium akan menempel dengan kuat pada permukaan inang, kemudian menghasilkan kapak penetrasi untuk menembus kutikula dan dinding sel tanaman. Kebanyakan apresorium dalam proses penetrasi mengandung melanin yang berwarna gelap (Agrios 2005; Huang 2001). Enzim merupakan protein dengan molekul besar yang berfungsi sebagai biokatalisator dalam reaksi-reaksi yang terjadi di dalam sel. Setiap reaksi di dalam
8 sel dilakukan oleh enzim tertentu. Secara umum, enzim patogenik tumbuhan menghancurkan komponen struktural sel inang, kemudian memecah substansi di dalam sel atau mempengaruhi komponen dari membran dan protoplas. Enzim yang digunakan oleh patogen untuk menginfeksi tanaman inang di antaranya adalah protease, pektinase, selulase, dan ligninase (Semangun 2006; Agrios 2005). Kebanyak enzim degradatif adalah glikosida hidrolase yang mendegradasi matriks selulosa dan pektat dengan tambahan air untuk memecah ikatan glikosida. Jaringan pektat juga didegradasi oleh polisakarida liase yang memecah ikatan glikosida melalui mekanisme eliminasi ikatan β (Mendgen et al. 1996). Toksin bertindak langsung dalam protoplas inang hidup dengan cara merusak atau mematikan sel tumbuhan. Toksin dapat bersifat umum atau spesifik. Toksin yang bersifat umum dapat mempengaruhi banyak spesies tumbuhan, sedangkan toksin yang spesifik hanya bersifat toksik terhadap beberapa spesies tumbuhan atau varietas. Toksin merupakan substansi yang sangat beracun dan berfungsi efektif dalam konsentrasi yang sangat rendah (Agrios 2005). Contoh toksin yang diproduksi oleh cendawan patogen yaitu fusaric acid yang dihasilkan oleh genus Fusarium dan Giberella. Beracunnya fusaric acid terutama karena pengaruhnya terhadap respirasi (Huang 2001). Zat pengatur tumbuh utama pada tumbuhan yaitu meliputi auksin, giberelin, dan sitokinin. Zat pengatur tumbuh bekerja pada konsentrasi rendah. Selain tumbuhan, patogen tumbuhan juga menghasilkan zat pengatur tumbuh. Patogen ini mungkin menghasilkan zat pengatur tumbuh yang baru dan berbeda. Dengan adanya zat pengatur tumbuh dari patogen, maka sistem hormonal tumbuhan inang menjadi tidak seimbang sehingga menghasilkan pertumbuhan abnormal (Agrios 2005).
Mekanisme Pertahanan Inang terhadap Penyakit Tumbuhan merupakan objek untuk diinfeksi dan diserang oleh berbagai mikroorganisme patogen dan serangga. Oleh sebab itu, untuk merespon infeksi patogen, tumbuhan mengekspresikan sejumlah mekanisme pertahanan. Tumbuhan secara umum mempertahankan dirinya dari infeksi patogen melalui kombinasi dua sistem pertahanan. Pertama adalah karakteristik struktural yang bertindak sebagai rintangan fisik dan menghambat patogen untuk memasuki jaringan dan menyebar di dalam sel, dan yang ke dua adalah reaksi biokimia yang terjadi di dalam jaringan dan sel tumbuhan, menghasilkan substansi toksik bagi patogen atau menciptakan kondisi yang dapat menghambat pertumbuhan patogen di dalam tanaman (Glazebrook 2005; Agrios 2005). Bentuk rintangan fisik contohnya adalah kutikula. Struktur ini penting untuk menghambat proses penetrasi patogen yang akan menempel dan mensekresikan enzim pendegradasi kutin. Secara fisik, ketebalan kutikula mungkin dapat mencegah pemunculan sporofor dan mengeluarkan spora. Selain itu, lilin pada kutikula dan daun yang berorientasi vertikal mungkin mencegah terciptanya lapisan yang lembab pada permukaan daun (Guest dan Brown 1997). Apabila patogen telah memasuki jaringan maka pertahanan aktif tumbuhan akan teraktivasi. Mekanisme molekuler sebagai respon pertahanan sering diawali dengan pengenalan gen (gene-for-gene) patogen. Virulensi tertentu yang
9 dihasilkan patogen menyebabkan tumbuhan inang mengenali patogen. Hal ini akan menginduksi inang untuk menghasilkan ketahanan yang sesuai, atau gen R. Ketahanan yang dimediasi gen R biasanya disertai suatu ledakan oksidatif, yaitu produksi cepat dari spesies oksigen reaktif (Reactive Oxygen Species/ROS). Produski ROS diperlukan untuk respon kematian sel hipersensitif (HR), program kematian sel yang diduga untuk membatasi akses patogen terhadap air dan makanan (Glazebrook 2005). Menurut Guest dan Brown (1997), kematian sel hipersensitif dalam beberapa kasus dapat mematikan invasi patogen, sedangkan dalam kasus yang lain hanya bersifat fungistatis. Keberhasilan kematian sel hipersensitif sebagai mekanisme pertahanan bergantung pada kebutuhan nutrisi dari patogen, waktu, lokasi, dan besarnya respon inang dalam menghadapi perkembangan patogen. Tumbuhan inang yang telah terinfeksi akan menghambat patogen untuk berkembang atau menyebar ke jaringan yang lain. Hal ini bisa dilakukan dengan pertahanan histologi seperti membentuk lapisan gabus, lapisan absisi, dan tilose, atau pertahanan biokimia seperti PR (Pathogensis-Related) protein, senyawa fenolik, dan fitoaleksin (Agrios 2005). PR protein terakumulasi secara lokal di sekeliling jaringan yang terinfeksi dan juga di daerah yang tidak terinfeksi. Produksi PR protein pada bagian tanaman yang tidak terinfeksi dapat mencegah terpengaruhnya tanaman dari infeksi lanjut. Kebanyakan PR protein di dalam sepesies tanaman merupakan asam terlarut, bobot molekul rendah, dan protein tahan protease. PR protein dikatagorikan menjadi 17 famili sesuai sifat dan fungsinya, di antaranya adalah β1,3- glukanase, kitinase, peroksidase, dan thionin (Ebrahim et al. 2011). Aktivitas polifenol oksidase, pada umumnya lebih tinggi pada jaringan varietas tahan yang terinfeski dibandingkan dengan jaringan terinfeksi pada tanaman rentan atau tanaman sehat. Pentingnya aktivitas polifenol oksidase dalam ketahanan penyakit memungkinkan batang untuk mengoksidasi senyawa fenolik menjadi quinon yang sering lebih toksik terhadap mikroorganisme daripada fenol original. Enzim pengoksidasi fenol dan peroksidase keduanya mengoksidasi fenolik menjadi quinon dan menghasilkan hidrogen peroksidase (Agrios 2005). Fitoaleksin harus terakumulasi untuk menghambat perkembangan lanjut dari patogen di tempat infeksi. Struktur kimia fitoaleksin bermacam-macam, tapi dengan satu pengecualian, mereka merupakan senyawa organik kecil yang disintesis dari satu atau tiga jalan senyawa metabolit (acetate mevalonate, acetatemalonate, atau shikimic acid) (Guest dan Brown 1997).
10
3 BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai bulan Desember 2012 sampai Agustus 2013. Kegiatan isolasi dan identifikasi dilakukan di Laboratorium Mikologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor; kegiatan postulat Koch dan uji patogenisitas dilakukan di rumah paranet Bagian Perlindungan Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor; dan kegiatan analisis mekanisme infeksi patogen terhadap inang dan mekanisme pertahanan inang terhadap infeksi patogen dilakukan di Laboratorium Rekayasa Bioproses, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Metode Penelitian ini terdiri atas 7 kegiatan, yaitu: (1) pengamatan gejala dan pengambilan tanaman jabon contoh yang memperlihatkan gejala mati pucuk dari 5 lokasi persemaian di sekitar kampus IPB Dramaga, (2) isolasi cendawan dari jaringan tanaman yang memperlihatkan gejala sakit, (3) identifikasi berdasarkan karakter morfologi, (4), postulat Koch, (5) uji patogenisitas isolat cendawan, (6) analisis mekanisme infeksi patogen, dan (7) analisis mekanisme pertahanan inang terhadap infeksi patogen. Tahapan kegiatan ditunjukkan dalam Gambar 3. Pengamatan gejala dan pengambilan tanaman jabon contoh sakit dari lokasi persemaian Isolasi cendawan dari jaringan tanaman sakit Identifikasi cendawan berdasarkan karakter morfologi Postulat Koch Uji patogenisitas isolat cendawan
Analisis mekanisme infeksi patogen
Analisis mekanisme pertahanan inang
Gambar 3 Urutan kegiatan penelitian
11 Pengamatan Gejala dan Pengambilan Tanaman Jabon Contoh Tanaman jabon contoh adalah bibit jabon yang memperlihatkan gejala mati pucuk dan diambil dari 5 lokasi persemaian, yaitu 2 persemaian berlokasi di daerah Situ Gede (A dan B), 1 persemaian di daerah Jampang (C), 1 persemaian di daerah Cilubang (D), dan 1 persemaian di Fakultas Kehutanan IPB (E). Jumlah tanaman contoh yang diambil dari lokasi persemaian disesuaikan dengan kondisi persemaian (skala produksi dan ketersediaan tanaman sakit). Tanaman jabon contoh yang terinfeksi penyakit mati pucuk (Lampiran 1) kemudian dibawa ke laboratorium sebagai bahan untuk tahapan selanjutnya dalam penelitian. Isolasi Cendawan dari Jaringan Tanaman Sakit Isolasi cendawan dari jaringan tanaman dilakukan berdasarkan metode Akrofi dan Amoah (2009) dengan modifikasi pada penggunaan bahan disinfektan untuk sterilisasi permukaan jaringan tanaman. Langkah pertama, jaringan yang memperlihatkan gejala sakit diambil dari tanaman dengan cara dipotong. Potongan jaringan kemudian disterilisasi permukaan dengan cara direndam dalam larutan NaOCl 1% selama ± 2 menit, lalu dicuci dengan air steril sebanyak 3 kali, selanjutnya dikeringkan di atas kertas saring steril yang ada di dalam cawan petri. Jaringan tanaman sakit tersebut kemudian dipotong pada bagian antara yang sehat dan sakit, lalu dimasukkan ke dalam cawan petri berisi media PDA (Potato Dextrose Agar). Potongan jaringan tanaman pada media PDA selanjutnya diinkubasi selama ± 6 hari di bawah pencahayaan NUV (Near Ultra Violet) dengan periode 12 jam terang dan 12 jam gelap pada suhu ruang. Koloni miselium yang tumbuh dari potongan jaringan yang diisolasi kemudian dimurnikan dan diperbanyak pada media PDA. Isolat cendawan yang diperoleh selanjutnya digunakan sebagai bahan untuk identifikasi dan sumber inokulum. Identifikasi Isolat Cendawan Identifikasi cendawan dilakukan berdasarkan karakter morfologi secara makroskopis dan mikroskopis, yaitu meliputi warna koloni, tekstur dan topografi koloni, serta ukuran dan bentuk konidia. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan buku kunci identifikasi untuk genus imperfect fungi (Barnet dan Hunter 1998) dan untuk cendawan tanah dan benih (Watanabe 1994). Postulat Koch Uji postulat Koch bertujuan membuktikan bahwa isolat yang diperoleh merupakan agen penyebab dari gejala penyakit yang diamati. Kegiatan ini terdiri atas inokulasi isolat pada tanaman contoh, reisolasi jaringan tanaman yang memperlihatkan gejala, dan identifikasi isolat hasil reisolasi. Sebelum tahap inokulasi, ada 2 hal yang perlu disiapkan yaitu bibit jabon dan sumber inokulum. Tanaman contoh yang digunakan untuk inokulasi merupakan bibit jabon umur ± 4 bulan dari penyapihan. Setiap isolat cendawan diinokulasikan terhadap 5 bibit jabon dan setiap bibit diberi 2 perlakuan, yaitu dilukai dan tidak dilukai. Inokulasi dilakukan pada sore hari dengan menggunakan 2 metode, yaitu injeksi suspensi konidia dan penempelan blok agar. Penentuan metode inokulasi yang digunakan bergantung pada kemampuan isolat cendawan untuk bersporulasi. Perlakuan pelukaan pada bibit jabon dilakukan dengan bantuan jarum suntik
12 steril. Bagian tanaman yang akan diinokulasi sebelumnya disterilisasi permukaan dengan alkohol 70%. Penyiapan sumber inokulum dan injeksi suspensi konidia dilakukan berdasarkan metode Ahmad et al. (2012) dengan modifikasi pada masa inkubasi isolat dan kepadatan konidia sebagai sumber inokulum. Sumber inokulum diperoleh dengan cara menambahkan 10 ml akuades steril pada kultur isolat cendawan umur 10 hari. Permukaan kultur isolat selanjutnya dikikis secara perlahan dengan menggunakan spatula gelas (glass rod), setelah itu disaring dengan kertas saring whattman no.1. Suspensi konidia yang diperoleh kemudian, dihitung kepadatannya dengan haemocytometer, lalu sebanyak 0.1 ml suspensi konidia dengan kepadatan ± 1 x 106 konidia ml-1 diinjeksikan pada bagian daun (dilukai dan tidak dilukai) dan batang bagian atas bibit jabon. Sebagai kontrol, bibit jabon diinjeksi dengan akuades steril. Bibit jabon kemudian ditutup dengan plastik dan dibuka setelah muncul gejala. Evaluasi gejala penyakit dilakukan setiap hari selama 14 hari setelah inokulasi. Penyiapan sumber inokulum dan penempelan blok agar dilakukan berdasarkan metode Ismail et al. (2012) dengan modifikasi pada masa dan tempat inkubasi tanaman. Sumber inokulum diperoleh dengan cara memotong bagian ujung koloni isolat cendawan umur 7 hari dengan cork borer (Ø 7 mm). Setelah itu, potongan agar ditempel pada batang bagian atas (dilukai dan tidak dilukai). Sebagai kontrol, bagian batang ditempeli dengan blok agar tanpa koloni isolat cendawan. Potongan blok agar yang ditempel pada bagian batang selanjutnya ditutup dengan kapas lembab dan alumunium foil selama ± 7 hari atau sampai muncul gejala. Evaluasi gejala penyakit dilakukan dengan cara yang sama seperti metode injeksi suspensi konidia. Gejala penyakit yang muncul pada titik inokulasi selanjutnya direisolasi, kemudian isolat hasil reisolasi diidentifikasi dan dibandingkan dengan isolat sebelumnya. Apabila isolat cendawan yang diinokulasikan menghasilkan gejala yang identik dengan gejala mati pucuk dan teridentifikasi sebagai cendawan yang identik dengan isolat sebelumnya, maka cendawan tersebut merupakan agen penyebab dari penyakit mati pucuk. Isolat yang diduga sebagai penyebab primer penyakit mati pucuk selanjutnya digunakan untuk uji patogenisitas. Uji Patogenisitas Isolat Cendawan Uji patogenisitas dilakukan terhadap 5 isolat cendawan yang mampu menghasilkan gejala identik dengan gejala alami penyakit mati pucuk dan memiliki masa inkubasi relatif cepat. Tahapan ini dilakukan dengan metode yang sama seperti pada tahap postulat Koch. Tanaman contoh yang digunakan adalah bibit jabon umur ± 4 bulan dari penyapihan. Tanaman yang telah diinokulasi selanjutnya diinkubasi di rumah paranet dengan menggunakan rancangan percobaan acak kelompok lengkap dengan satu faktor, yaitu macam isolat cendawan. Parameter yang diamati dari kegiatan ini adalah kejadian penyakit dan keparahan penyakit. Kejadian penyakit ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Ahmad et al. 2012):
13 KjP =
n × 100% N
Keterangan: KjP = Kejadian Penyakit n = Jumlah tanaman yang sakit N = Jumlah tanaman yang diamati Keparahan penyakit ditentukan dengan menggunakan skoring dari 0-4 (Gambar 4 dan Tabel 1). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (Townsend dan Heurberger 1943 dalam Stević et al. 2010): KpP =
n×v × 100% N×V
Keterangan: KpP = Keparahan Penyakit n = Jumlah tanaman yang tergolong ke dalam suatu kategori infeksi v = Skor pada setiap kategori infeksi N = Jumlah tanaman yang diamati V = Skor untuk kategori infeksi terberat
a
d
b
c
e
f
Gambar 4 Skoring keparahan gejala penyakit mati pucuk pada bibit jabon: a) 0 = tanaman tidak bergejala; b-c) 1 = tanaman terlihat layu atau ≤ 25% bagian tanaman mengalami nekrosis; d) 2 = 26-50% bagian tanaman mengalami nekrosis; e) 3 = > 50% bagian tanaman mengalami nekrosis; dan f) 4 = tanaman mati.
14 Tabel 1 Skor penyakit mati pucuk pada bibit jabon Penyakit 0 1 2 3 4
Uraian tanaman tidak bergejala tanaman terlihat layu atau ≤ 25% bagian tanaman mengalami nekrosis 26-50% bagian tanaman mengalami nekrosis > 50% bagian tanaman mengalami nekrosis tanaman mati
Analisis Mekanisme Infeksi Cendawan Patogen terhadap Tanaman Inang Mekanisme infeksi patogen terhadap tanaman inang dipelajari melalui inokulasi batang tanpa pelukaan dan pengukuran aktivitas pektinase dan selulase. Inokulasi batang tanpa pelukaan sebelumnya telah dilakukan pada kegiatan postulat Koch. Pengukuran aktivitas enzim diawali dengan mengulturkan isolat cendawan Botryodiplodia spp. pada media CMS (Corn Meal Sand). Hal tersebut dilakukan berdasarkan metode Achmad (1997) dengan modifikasi pada jumlah potongan batang bibit jabon yang ditambahkan pada media CMS dan masa inkubasi isolat. Satu potongan isolat cendawan Botryodiplodia spp. (Ø 7 mm) ditumbuhkan pada media CMS steril yang diberi tambahan 1 g potongan batang bibit jabon (umur ± 4 bulan dari penyapihan). Batang bibit jabon yang digunakan disterilisasi permukaan terlebih dahulu dengan cara direndam dalam NaOCl 1% selama ± 2 menit, kemudian dicuci dengan air steril sebanyak 3 kali. Media CMS terdiri atas campuran pasir, hancuran biji jagung, dan air (96:4:20 g:g:ml). Media CMS yang telah diinokulasi cendawan selanjutnya diinkubasi selama 2 minggu pada suhu ruang, lalu dilakukan ekstraksi enzim. Ekstraksi dan analisis aktivitas enzim dilakukan di Laboratorium Rekayasa Bioproses, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Adapun aktivitas enzim yang dianalisis adalah pektinase dan selulase. Analisis Mekanisme Pertahanan Inang terhadap Infeksi Patogen Mekanisme pertahanan inang terhadap infeksi patogen dipelajari melalui pengukuran aktivitas peroksidase. Kegiatan ini dilakukan di Laboratorium Rekayasa Bioproses, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor dengan menggunakan metode Simon dan Ross (1970). Kegiatan diawali dengan mempersiapkan bagian tanaman contoh (tanaman telah diinokulasi isolat patogen), yaitu daun sebanyak 0.5 g. Potongan daun selanjutnya dimasukkan ke dalam mortar steril, kemudian ditambah dengan 0.01 M buffer fosfat pH 6.0 dengan perbandingan 1:4 (g:ml) dan digerus. Larutan hasil gerusan disaring dengan kain kasa dan disentrifugasi dengan kecepatan 8000 rpm selama 10 menit pada suhu 4 °C. Supernatan yang dihasilkan selanjutnya diencerkan dengan 0.01 M buffer fosfat pH 6.0 (1:3), kemudian dihomogenkan dan digunakan sebagai sediaan enzim. Sediaan enzim sebanyak 0.1 ml dimasukkan ke dalam kuvet, lalu ditambah dengan 2.5 ml 0.5 M pirogalol (terbuat dari 10 ml 0.5 M pirogalol ditambah dengan 12.5 ml 0.066 M buffer fosfat pH 6.0) dan 0.25 ml H 2O2 1%. Campuran bahan-bahan tadi dihomogenkan, kemudian diamati absorbansinya dengan
15 spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm. Sebagai blanko, ke dalam kuvet dimasukkan bahan-bahan yang sama kecuali sediaan enzim. Nilai absorbansi diamati setiap 30 detik selama 2.5 menit. Nilai absorban yang diperoleh selanjutnya dikurangi dengan blanko, kemudian rata-rata nilai absorban ditentukan dengan menggunakan persamaan regresi (y = a + bx). Selanjutnya, unit aktivitas enzim dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: UAE =
∆ OD × sediaan enzim (ml) bobot basah contoh (gram)
Keterangan: UAE = unit aktivitas enzim ∆ OD = optical density (nilai absorban) rata-rata/slope
16
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Gejala Penyakit Mati Pucuk pada Tanaman Jabon Berdasarkan pengamatan gejala penyakit di lokasi persemaian, bibit jabon yang terinfeksi penyakit mati pucuk memiliki gejala berupa nekrosis pada batang bagian tengah atau atas dan daun. Gejala nekrosis yang berkembang pada bagian batang akan menyebabkan batang mengering dan tidak mampu menopang bagian atas tanaman sehingga tanaman terkulai (Gambar 5a). Sementara itu, gejala nekrosis pada bagian daun akan menyebabkan daun kering dan menggulung (Gambar 5b). Selain nekrosis, penyakit mati pucuk dapat diawali dengan gejala layu dan mengerutnya bagian batang (Gambar 5c). Meskipun batang masih terlihat berwarna hijau, tapi batang menjadi lebih sukulen dari kondisi normal sehingga tidak mampu menopang bagian atas tanaman.
a
b
c
Gambar 5 Gejala penyakit mati pucuk pada bibit jabon di lokasi persemaian: a) nekrosis pada batang, (b) nekrosis pada daun, dan (c) batang mengerut. Gejala penyakit mati pucuk pada bibit jabon ditemukan mulai dari bibit muda (bentuk sosisan dengan umur ± 2 bulan) sampai dengan bibit siap tanam (umur 5 sampai 6 bulan) (Gambar 6). Bagian atas atau ujung tanaman biasanya lebih cepat mengalami nekrosis jika dibandingkan bagian pangkal tanaman. Gejala penyakit akan terhambat atau berhenti pada bagian batang yang telah mengeras, sehingga bibit yang telah memiliki batang cukup keras terkadang masih bisa bertahan hidup dengan cara menghasilkan tunas baru. Perkiraan persentase tanaman yang terinfeksi penyakit mati pucuk pada bibit jabon di 5 lokasi tempat pengambilan contoh berkisar 1 sampai 15% (Lampiran 2).
17
a Gambar 6
b
c
d
Bibit jabon yang terserang penyakit mati pucuk pada beberapa tingkatan umur: a) nekrosis pucuk pada bibit ± 2 bulan, b-d) nekrosis batang dan daun pada bibit ± 3, 4, dan 5 bulan secara berturut-turut.
Isolasi dan Identifikasi Cendawan Sebanyak 21 isolat cendawan (Lampiran 3) berhasil diisolasi dari tanaman sakit yang menunjukkan gejala nekrosis pada bagian ujung tanaman. Berdasarkan pengamatan warna koloni pada umur 2 minggu, isolat-isolat tersebut dapat dikelompokkan menjadi 4, yaitu kelompok isolat berwarna putih, putih keabuan, putih keunguan, dan abu-abu kehitaman (Gambar 7). Hasil identifikasi berdasarkan karakter morfologi, isolat-isolat tersebut diketahui sebagai Botryodiplodia spp., Fusarium spp., Colletotrichum sp., Curvularia sp., dan Pestalotiopsis sp.. Isolat Botryodiplodia spp. diperoleh sebanyak 9 isolat dari 4 lokasi, Fusarium spp. diperoleh 9 isolat dari 4 lokasi, Colletotrichum sp. diperoleh 1 isolat dari 1 lokasi, Curvularia sp. dan Pestalotiopsis sp. masing-masing diperoleh 1 isolat dari 1 lokasi yang sama (Tabel 2). Isolat Botryodiplodia dan Fusarium yang diperoleh dalam studi ini diduga lebih dari 1 spesies jika dilihat berdasarkan karakter morfologi koloni.
a
b
c
d
Gambar 7 Penampilan koloni isolat cendawan berdasarkan warna koloni: a) warna putih, b) putih keabuan, c) putih keunguan, dan d) abu-abu kehitaman.
18 Tabel 2 Perolehan isolat cendawan berdasarkan lokasi pengambilan tanaman jabon contoh yang memperlihatkan gejala mati pucuk No 1 2 3 4 5
Isolat Botryodiplodia spp. Fusarium spp. Colletotrichum sp. Curvularia sp. Pestalotiopsis sp.
Asal Lokasi
Jumlah Isolat
A, B, D, E A, C, D, E D A A
9 9 1 1 1
Keterangan: A, B = persemaian di daerah Situ Gede; C = daerah Jampang; D = daerah Cilubang; dan D = Fakultas Kehutanan IPB
Pengamatan makroskopis menunjukkan koloni isolat cendawan Botryodiplodia spp. memiliki warna putih pada permukaan atas yang selanjutnya berubah menjadi abu-abu atau hijau kehitaman, sedangkan koloni pada bagian bawah media dalam cawan petri memiliki warna abu-abu, hijau kehitaman atau hitam. Morfologi koloni miselium Botryodiplodia spp. memiliki tekstur seperti benang halus (fluffy) dengan miselium udara yang tebal dan koloni menyebar dari bagian tengah dengan alur tidak beraturan (rugose). Isolat memiliki pertumbuhan radial yang cepat, yaitu dapat memenuhi cawan petri (Ø 9 cm) setelah 2 sampai 4 hari masa inkubasi. Sementara itu, berdasarkan pengamatan mikroskopis isolat Botryodiplodia spp. memiliki hifa bersekat, hialin pada hifa muda dan berwarna coklat pada hifa tua. Konidia pada awalnya hialin dan tidak bersekat, kemudian berubah menjadi berwarna kecoklatan dan bersekat 1. Konidia berbentuk ellipsoid atau ovoid dengan ukuran 26 sampai 32 x 13 sampai 17 µm (Gambar 8a).
c
e a Gambar 8
b
d
Konidia isolat cendawan yang diperoleh dari bibit jabon yang memperlihatkan gejala mati pucuk: a) konidia muda dan konidia matang Botryodiplodia spp., b) makrokonidia Fusarium spp., c) konidia Colletotrichum sp., d) konidia Pestalotiopsis sp., dan e) konidia Curvularia sp..
Koleksi isolat Fusarium spp. menunjukkan warna putih atau putih keunguan pada permukaan bagian atas dan bawah media dalam cawan petri. Warna ungu yang terlihat pada bagian bawah petri memiliki pola warna yang berbeda, yaitu warna ungu pada bagian tengah koloni miselium dan warna ungu yang diselingi oleh warna putih. Morfologi koloni miselium Fusarium spp. memiliki sedikit miselium udara (velvety), koloni berkerut dengan permukaan kusut (verrucose) atau menyebar dengan alur tidak beraturan. Koloni isolat dapat memenuhi cawan petri setelah 7 sampai 10 hari masa inkubasi. Konidia Fusarium
19 spp. terdiri atas mikrokonidia bersekat dan tidak bersekat serta makrokonidia dengan sekat 1 sampai 4. Mikrokonidia memiliki bentuk yang beragam, yaitu reniform, allantoid, oval, ovoid, dan fusiform dengan ukuran 6 sampai 10 x 2 sampai 3 µm. Adapun makrokonidia berbebntuk lunate atau filiform dengan ukuran sekitar 16 sampai 43 x 3 sampai 4 µm (Gambar 8b). Klamidospora hialin, tunggal atau berpasangan, terminal atau interkalar, dan memiliki ukuran sekitar 8 µm. Koloni isolat Colletotrichum sp. berwarna putih pada permukaan bagian atas dan putih keabuan pada bagian bawah media dalam cawan petri. Morfologi koloni berupa miselium udara yang tebal dan berkerut dengan permukaan kusut. Koloni memiliki tingkat pertumbuhan radial sedang dengan 6 hari masa inkubasi dapat memenuhi cawan petri. Konidia berbentuk oblong dengan ukuran 14 sampai 16 x 4 sampai 5 µm (Gambar 8c). Koloni Pestalotiopsis sp. berwarna putih pada permukaan bagian atas dan putih kekuningan pada bagian bawah media dalam cawan petri. Morfologi koloni isolat memiliki sedikit miselium udara, berkerut dengan permukaan kusut, dan isolat dapat memenuhi cawan petri setelah 13 hari masa inkubasi. Konidia berwarna coklat, bersekat, berbentuk fusiform dengan ukuran 25 sampai 27 x 5 µm, dan memiliki embelan pada kedua ujung konidia (Gambar 8d). Isolat Curvularia sp. memiliki koloni berwarna gelap, baik pada bagian permukaan atas maupun bagian bawah media dalam cawan petri. Morfologi koloni isolat memiliki sedikit miselium udara dan bagian tengah koloni mengalami peninggian sehingga berbentuk seperti kancing (umbonate). Koloni isolat dapat memenuhi cawan petri setelah 6 hari masa inkubasi. Konidia berbentuk inequilateral, berwarna coklat, berukuran 26 sampai 30 x 7 sampai 8 µm, dan bersekat 2 sampai 4 (Gambar 8e). Postulat Koch Gejala yang muncul setelah tanaman jabon diinokulasi adalah berupa nekrosis pada titik inokulasi. Nekrosis selanjutnya menyebar ke bagian lain sehingga bagian yang terinfeksi akan terlihat berwarna kecoklatan. Penyakit yang terus berkembang akan menyebabkan bagian atas tanaman terkulai dan kering. Isolat yang mampu menghasilkan gejala pada tanaman jabon yang diinokulasi adalah Botryodiplodia spp., Fusarium spp., dan Colletotrichum sp. (Gambar 9). Isolat Botryodiplodia spp. secara umum dapat menghasilkan gejala pada bagian yang dilukai dan tidak dilukai, sedangkan isolat Fusarium spp. dan Colletotrichum sp. hanya pada bagian yang dilukai.
a
b
c
d
Gambar 9 Gejala penyakit pada bibit jabon setelah inokulasi pada tahap postulat Koch: a) Botryodiplodia spp., b) Fusarium spp., c) Colletotrichum sp., dan d) kontrol.
20 Inokulasi isolat Botryodiplodia spp. pada bagian batang menimbulkan gejala nekrosis setelah masa inkubasi 2 sampai 3 hari. Nekrosis yang cepat berkembang ke bagian atas tanaman, menyebabkan batang bagian atas dan daun menjadi berwarna kecoklatan dan selanjutnya mati. Nekrosis yang tidak berkembang umumnya hanya mengalami perubahan warna dari coklat menjadi coklat kehitaman dengan arah penyebaran melintang. Inokulasi suspensi konidia Fusarium spp. pada bagian batang dan daun menimbulkan gejala yang berbeda, yaitu berupa busuk basah pada bagian batang, dan nekrosis atau gugur pada bagian daun. Masa inkubasi untuk menimbulkan gejala pada tanaman jabon, bervariasi antara satu isolat dengan isolat lainnya. Masa inkubasi yang cepat berkisar 3 sampai 4 hari, sedangkan yang relatif lama lebih dari 10 hari. Gejala busuk basah pada batang biasanya lebih cepat terlihat jika dibandingkan dengan gejala nekrosis pada daun. Gejala busuk menyebabkan batang menjadi lunak dan basah sehingga tanaman akan terkulai, sedangkan nekrosis pada daun akan menimbulkan warna kecoklatan pada bagian yang dilukai. Gejala yang muncul lebih dari 10 hari, biasanya diawali dengan kelayuan atau mengerutnya bagian batang, sehingga batang terlihat berwarna pucat dan lama-kelamaan akan menyusut. Gejala yang berkembang ke bagian daun akan menyebabkan daun berwarna pucat dan menggulung. Gejala yang timbul pada tanaman jabon setelah diinokulasi isolat Colletotrichum sp. berupa nekrosis yang muncul pada bagian tangkai daun yang dilukai, sedangkan inokulasi yang dilakukan pada batang dan helai daun tidak memperlihatkan gejala. Masa inkubasi untuk menimbulkan gejala yaitu sekitar 7 hari. Gejala yang sudah muncul umumnya tidak berkembang sehingga tanaman tidak mengalami mati pucuk. Inokulasi isolat Pestalotiopsis sp. dan Curvularia sp. tidak menimbulkan gejala. Bagian tanaman dilukai yang dijadikan titik inokulasi mengalami penebalan dan luka akan tertutup kembali. Selain kedua isolat di atas, inokulasi blok agar yang merupakan kontrol juga tidak menimbulkan gejala penyakit (Gambar 9d). Meskipun demikian, hasil reisolasi menunjukkan bahwa cendawan Botryodiplodia sp., Fusarium sp., dan Colletotrichum sp. juga berhasil diperoleh dari jaringan tanaman kontrol yang tidak memperlihatkan gejala sakit. Hasil reisolasi dari bagian tanaman yang bergejala tidak hanya diperoleh cendawan yang diinokulasikan, akan tetapi juga cendawan lain. Meskipun demikian, isolat-isolat yang diinokulasikan umumnya dapat direisolasi dari tanaman contoh. Walaupun sebagian besar isolat yang diinokulasikan dapat menimbulkan gejala, akan tetapi isolat yang dapat menghasilkan gejala identik dengan gejala alami mati pucuk adalah isolat Botryodiplodia spp.. Oleh karena itu, isolat Botryodiplodia spp. selanjutnya digunakan untuk uji patogenisitas. Uji Patogenisitas Isolat Cendawan Botryodiplodia spp. Cendawan yang digunakan dalam uji patogenisitas adalah Botryodiplodia spp. yang terdiri atas isolat A1, A5, B2, E2, dan E4. Kelima isolat tersebut mampu menimbulkan gejala nekrosis pada titik inokulasi yang selanjutnya berkembang menjadi penyakit mati pucuk (Lampiran 4). Masa inkubasi sampai timbul gejala adalah 2 hari untuk isolat A1, A5, B2, dan 3 hari untuk isolat E2 dan E4. Gejala berkembang relatif cepat sehingga pada inkubasi hari ke-4 atau ke-5, tanaman mulai terlihat terkulai karena batang yang merupakan titik inokulasi mengalami
21 nekrosis dan menyusut. Gejala yang terus berkembang menyebabkan bagian atas tanaman mati dan batang menyusut. Perkembangan nekrosis atau menyusutnya batang biasanya menjadi lebih lambat ketika sudah mencapai pangkal batang. Jika batang pada tanaman yang sudah mati dipotong secara membujur atau melintang, maka akan terlihat bahwa bagian dalam batang tersebut berwarna kecoklatan atau justru sudah tidak berisi. Kejadian penyakit yang ditimbulkan kelima isolat Botryodiplodia spp. cukup beragam. Persentase kejadian penyakit paling tinggi dihasilkan isolat A1 dan B2 (100%), kemudian diikuti isolat A5 (80%), isolat E4 (35%), dan E2 (20%) (Gambar 10). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan inokulasi 5 isolat Botryodiplodia spp. berpengaruh nyata terhadap persentase kejadian penyakit (Lampiran 5). Sementara itu, hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa isolat E2 berbeda nyata dengan isolat A1, A5, B2 dan kontrol, tetapi tidak berbeda nyata dengan isolat E4. Isolat E4 tidak berbeda nyata dengan isolat E2, tetapi berbeda nyata dengan isolat A1, A5, B2, dan kontrol. Adapun isolat A1, A5, dan B2 ketiganya tidak berbeda nyata, tetapi ketiga isolat tersebut berbeda nyata dengan isolat E2, E4, dan kontrol.
Intensitas Penyakit (%)
120 100 a 80 a
80
Kejadian Penyakit
100 a
100 71.25 a
Keparahan Penyakit
71.25 a
60 a 60 35 b
40
16.25 b 8.75 bc
20 b
20
0c
0c
0 A1
A5
B2
E2
E4
K
-20 Isolat Cendawan Botryodiplodia spp.
Gambar 10 Persentase kejadian dan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon setelah diinokulasi 5 isolat cendawan Botryodiplodia spp. Persentase keparahan penyakit paling tinggi dihasilkan isolat A5 dan B2 (71.25%), kemudian diikuti isolat A1 (60%), isolat E2 (16.25%), dan E4 (8.75%) (Gambar 10). Isolat dengan keparahan penyakit paling tinggi (A5 dan B2) dapat menyebabkan kematian bibit lebih dari 50%, sedangkan isolat dengan keparahan penyakit paling rendah (E4) tidak dapat menyebabkan kematian terhadap bibit. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan inokulasi 5 isolat Botryodiplodia spp. terhadap bibit jabon memberi pengaruh nyata terhadap keparahan penyakit (Lampiran 6). Berdasarkan uji lanjut Duncan, isolat E2 tidak berbeda nyata dengan E4, sedangkan isolat E4 tidak berbeda nyata dengan isolat E2 dan kontrol. Adapun isolat A1, A5, dan B2 tidak berbeda nyata antara satu
22 dengan yang lain, namun ketiga isolat tersebut berbeda nyata dengan isolat E2, E4, dan kontrol. Mekanisme Infeksi Cendawan Patogen terhadap Tanaman Inang Berdasarkan postulat Koch, isolat Botryodiplodia spp. dapat menimbulkan gejala pada tanaman jabon, baik pada bagian yang dilukai mau pun tidak dilukai (Gambar 11). Munculnya gejala pada bagian yang tidak dilukai menunjukkan bahwa isolat Botryodiplodia spp. dapat melakukan penetrasi langsung pada jaringan inang. Σ Batang yang bergejala setelah inokulasi (14 hsi)
6
Dilukai Tidak dilukai
5 4 3 2 1 0 A1
Gambar 11
A5
A8 B2 D1 E1 E2 Isolat Botryodiplodia spp.
E4
E5
Gejala nekrosis yang muncul pada batang bibit jabon setelah inokulasi isolat Botryodiplodia spp.
Analisis aktivitas pektinase dan selulase dilakukan untuk mempelajari mekanisme infeksi cendawan terhadap inang melalui kekuatan biokimia. Cendawan yang diuji merupakan 3 isolat Botryodiplodia spp. (A1, A5, dan B2) yang sangat virulen terhadap bibit jabon berdasarkan uji patogenisitas. Hasil analisis enzim menunjukkan bahwa isolat Botryodiplodia spp. yang sangat virulen terhadap bibit jabon, memiliki aktivitas pektinase dan selulase (Gambar 12).
25.000 20.000
26.083 21.311
18.131
15.000
10.000 5.000
0.023
0.020 0.015
0.014
0.015
0.010 0.005 0.000
0.000 A
0.025 Aktivitas enzim (U ml-1)
Aktivitas enzim (U ml-1)
30.000
A1 A5 B2 Isolat Botryodiplodia spp.
A1 A5 B2 B Isolat Botryodilodia spp.
Gambar 12 Aktivitas pektinase (A) dan selulase (B) 3 isolat Botryodiplodia spp. setelah 2 minggu masa inkubasi pada media CMS
23 Aktivitas pektinase paling tinggi dihasilkan isolat B2, kemudian diikuti isolat A1 dan A5 dengan nilai sebesar 26.083, 21.311 dan 18.131 U ml-1 secara berturut-turut. Sementara itu, aktivitas selulase tertinggi dihasilkan isolat B2, lalu diikuti isolat A5 dan A1 dengan nilai sebesar 0.023, 0.015, dan 0.014 U ml-1 secara berturut-turut. Mekanisme Pertahanan Inang terhadap Infeksi Patogen Mekanisme pertahanan inang terhadap infeksi patogen dipelajari melalui analisis aktivitas peroksidase yang dihasilkan tanaman inang. Tanaman yang dijadikan contoh uji untuk analisis aktivitas peroksidase adalah bibit jabon yang diinokulasi cendawan Botryodiplodia spp. (isolat A1, A5, B2, E2, dan E4). Secara umum, tanaman contoh yang diinokulasi dapat menunjukkan aktivitas peroksidase (Gambar 13). Aktivitas peroksidase paling tinggi dihasilkan tanaman jabon yang diinokulasi isolat A1 dan A5 dengan nilai sebesar 0.0012 UAE g -1. Tanaman yang diinokulasi isolat B2 dan E2 memperlihatkan aktivitas peroksidase yang sama dengan kontrol, yaitu sebesar 0.0008 UAE g -1. Sementara itu, tanaman jabon yang diinokulasi isolat E4 memiliki aktivitas peroksidase lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol, yaitu sebesar 0.0006 UAE g-1. Aktivitas Peroksidase (UAE g-1)
0.0014
0.0012
0.0012
0.0012 0.0010
0.0008
0.0008
0.0008
0.0008 0.0006
0.0006 0.0004 0.0002
0.0000 A1
Gambar 13
A5 B2 E2 E4 Isolat Cendawan Botryodiplodia spp.
K
Aktivitas peroksidase bibit jabon setelah diinokulasi 5 isolat Botryodiplodia spp. dan kontrol
Pembahasan Gejala Penyakit Mati Pucuk pada Tanaman Jabon Gejala penyakit pada tanaman merupakan bentuk penyimpangan baik morfologi atau fisiologi sebagai respon dari adanya gangguan patogen (Widyastuti et al. 2005). Respon yang dihasilkan tanaman berbeda-beda, bergantung pada jenis tanaman inang dan patogennya. Penyakit mati pucuk memiliki gejala yang relatif sama pada beberapa jenis tanaman inang, yaitu berupa matinya bagian ujung tanaman. Sebagai contoh, gejala penyakit mati pucuk pada tanaman mangga yaitu berupa matinya bagian
24 ranting, daun menggulung dan mengering yang diikuti gugur daun (Khanzada et al. 2004), kemudian pada tanaman ash (Fraxinus spp.) berupa nekrosis pada daun yang diikuti layu (Kräutler dan Kirisits 2012). Bibit jabon yang mengalami mati pucuk juga menunjukkan gejala kematian pada bagian ujung tanaman. Kematian jaringan pada ujung tanaman ini diawali dengan adanya nekrosis pada bagian batang atau daun. Gejala nekrosis yang diawali dari bagian batang umumnya akan menyebar ke arah daun dengan menginfeksi bagian tulang daun utama terlebih dahulu. Setelah tulang daun utama terinfeksi, selanjutnya daun akan kering dan menggulung, lalu gugur. Selain menyebar ke bagian daun, nekrosis pada batang juga akan menyebar ke batang bagian bawah. Bagian batang yang mulai terinfeksi, pada awalnya akan terlihat mengerut, kemudian mengering, lalu mati. Gejala pada batang akan terhambat atau terhenti pada bagian yang sudah berkayu. Oleh sebab itu, tanaman masih mampu bertahan hidup. Tanaman dengan kondisi seperti ini biasanya akan mengeluarkan tunas baru sehingga terbentuk percabangan. Bagian batang yang sudah berkayu akan terlihat berwarna kehitaman apabila dipotong secara melintang (Lampiran 7). Gejala mati pucuk pada bibit jabon juga dapat diawali dengan adanya kerutan pada bagian batang. Tanaman pada umumnya akan terkulai karena bagian batang tidak mampu menopang bagian atas tanaman. Batang yang terinfeksi selanjutnya akan terlihat menyusut, sehingga apabila batang ditekan akan terasa kosong atau hampa. Gejala kerutan yang menyebar ke bagian daun akan mengakibatkan daun berwarna pucat dan layu. Perkembangan penyakit di areal persemaian dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah aktivitas budi daya. Adanya kegiatan pemindahan tanaman secara periodik di areal persemaian dapat menimbulkan luka mekanis pada tanaman. Luka tersebut tidak hanya dapat menyebabkan tanaman stress, tetapi juga dapat menjadi titik masuk bagi patogen untuk menginfeksi jaringan tanaman. Selain itu, penempatan tanaman dengan jarak yang cukup rapat dapat menciptakan kondisi lembab di sekitar tanaman. Oleh karena itu, dengan terciptanya kondisi lingkungan yang lembab, adanya luka mekanis, dan kondisi tanaman yang stress dapat memudahkan patogen untuk menginfeksi inang. Berdasarkan pengamatan gejala di lokasi persemaian, dapat diketahui bahwa patogen umumnya menginfeksi bagian tanaman yang lebih sukulen terlebih dahulu. Hal ini dapat dilihat dari gejala penyakit yang berkembang relatif cepat menuju bagian atas tanaman dibandingkan menuju bagian pangkal. Jaringan pangkal batang relatif lebih keras jika dibandingkan dengan jaringan bagian ujung tanaman. Pangkal batang yang keras telah mengalami proses lignifikasi, sehingga patogen tidak mudah menginfeksi tanaman. Campbell dan Sederoff (1996) menjelaskan bahwa lignin merupakan polimer fenolik kompleks yang penting untuk sokongan mekanik, transportasi air, dan pertahanan dalam vaskular tanaman. Selain itu, Novaes et al. (2010) menyatakan bahwa sifat fisik dan kimia lignin bertindak sebagai barrier dalam melawan serangan hama dan penyakit. Kandungannya di dalam tanaman bervariasi pada jaringan yang berbeda, contohnya kandungan lignin pada pucuk muda sangat rendah, sedangkan pada kayu sangat tinggi.
25 Identifikasi Cendawan Cendawan yang dapat diisolasi dari tanaman jabon yang menunjukkan gejala mati pucuk adalah Botryodiplodia spp., Fusarium spp., Colletotrichum sp., Curvularia sp., dan Pestalotiopsis sp.. Hal ini sesuai dengan penelitian Muehlbach et al. (2010) yang berhasil mendeteksi beberapa isolat cendawan seperti L. theobromae, F .oxysporum, C. affinis, dan Bipolaris sp. dari tanaman shisham (D. sissoo) yang memperlihatkan gejala mati pucuk. Selain itu, Rajput et al. (2008) berhasil mengisolasi cendawan F. solani dari tanaman shisham dengan gejala yang sama. Cendawan yang sering muncul hampir di setiap lokasi pengambilan tanaman contoh adalah Botryodiplodia spp. dan Fusarium spp.. Kedua cendawan ini muncul pada 3 lokasi yang sama (A, D, dan E) dan berhasil diisolasi dari 1 tanaman contoh yang sama. Selain dengan Botryodiplodia spp., Fusarium spp. juga berhasil diisolasi dengan Colletotrichum sp. dari 1 tanaman contoh yang sama di lokasi D. Jika dilihat berdasarkan lokasi pengambilan tanaman contoh, maka lokasi yang memiliki isolat beragam adalah lokasi A. Empat dari 5 macam cendawan berhasil diisolasi dari tanaman jabon contoh yang berasal dari lokasi tersebut. Hal ini diduga karena jenis tanaman yang tersedia di lokasi A lebih banyak dan beragam jika dibandingkan dengan 4 lokasi lain. Secara umum, setiap persemaian (tempat pengambilan contoh) membudidayakan beberapa jenis tanaman selain jabon, kecuali lokasi D. Jenis tanaman lain yang dibudidayakan di antaranya adalah sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen), jati (Tectona grandis Linn. f.), ekaliptus (Eucalyptus sp.), dan akasia (A. mangium). Tanaman yang berada di persemaian berpotensi menjadi inang bagi patogen. Semakin beragam tanaman yang tersedia di lokasi persemaian, maka diduga akan beragam pula patogen yang dapat menginfeksi. Selain jenis tanaman, faktor yang diduga mempengaruhi keragaman cendawan di persemaian adalah kultur teknis dan lokasi persemaian. Kultur teknis meliputi metode penyemaian benih, pemupukan, penyiraman, pengaturan jarak antar tanaman, pemilihan jenis tanaman, penggunaan jenis media tanam, dan usaha pengendalian hama dan penyakit. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat membantu introduksi dan penyebaran suatu mikroorganisme di lokasi persemaian. Lokasi persemaian dapat mempengaruhi kondisi lingkungan, misalnya suhu udara dan kelembaban. Kondisi lingkungan merupakan salah satu komponen dari segitiga penyakit. Oleh karena itu, apabila kondisi lingkungan mendukung, maka patogen dapat menginfeksi tanaman inang dan menyebabkan penyakit. Tiga dari 5 persemaian dalam studi ini, memproduksi bibit jabon dengan cara membeli bibit dari produsen lain, sedangkan 2 persemaian lainnya di samping mendatangkan bibit dari produsen lain juga memproduksi bibit sendiri dengan cara menyemai benih. Beberapa kultur teknis yang umum dilakukan di setiap persemaian adalah penggunaan bahan kimia untuk pengendalian hama dan penyakit, serta penggunaan kembali media tanah yang sebelumnya ditumbuhi tanaman sakit. Adapun kondisi fisik dari 5 lokasi persemaian dalm studi ini cukup beragam jika dilihat berdasarkan tingkat ketinggian dan kondisi lingkungan sekitar persemaian. Kelima macam cendawan yang diperoleh dalam studi ini merupakan patogen yang memiliki kisaran inang luas. Oleh karena itu, sumber inokulum
26 penyakit mati pucuk pada bibit jabon dapat berasal dari bibit jabon itu sendiri atau dari tanaman lain. Serangan Botryodiplodia spp. dapat menghasilkan gejala yang berbeda pada tanaman inang yang berbeda. Serangan B. theobromae pada tanaman shisham dapat menyebabkan penyakit mati pucuk dan decline (Ahmad et al. 2012; Khan et al. 2004), kemudian pada tanaman karet muda menyebabkan tekstur permukaan batang menjadi kasar dan berwarna coklat (Nurhasanah 2012). Khanzada et al. (2004) menyebutkan bahwa serangan cendawan L. theobromae pada tanaman mangga, selain mati pucuk juga dapat menyebabkan gummosis dan browning pada jaringan pembuluh. Isolat Botryodiplodia spp. dalam studi ini berhasil diperoleh dari bibit jabon yang mengalami mati pucuk dengan gejala nekrosis pada bagian ujung tanaman. Cendawan Botryodiplodia spp. umumnya akan mengalami perubahan warna koloni menjadi lebih gelap, seiring dengan lamanya waktu inkubasi. Perubahan warna secara mikroskopik dapat dilihat pada bagian hifa yang pada awalnya terlihat hialin, selanjutnya akan berubah menjadi coklat tua. Isolat yang ditumbuhkan pada media PDA dapat membentuk piknidia setelah lebih kurang 21 hari masa inkubasi. Hal ini hampir sama dengan hasil penelitian Shah et al. (2010) yang menunjukkan bahwa 13 isolat B. theobromae yang ditumbuhkan pada media PDA dapat membentuk piknidia setelah 20-34 hari masa inkubasi. Seperti halnya Botryodiplodia spp., spesies Fusarium juga dapat menghasilkan berbagai tipe gejala pada inangnya. Sebagai contoh adalah F. solani dan F. oxysporum yang dapat menyebabkan beberapa penyakit seperti layu pembuluh, busuk benih, rebah kecambah, busuk akar, batang, dan tajuk (Agrios 2005). Rajput et al. (2008) menyebutkan bahwa sebagian besar F. solani berasosiasi dengan tanaman shisham dan menyebabkan mati pucuk. Selain itu, Ahmad et al. (2012) menyatakan bahwa F. solani diduga sebagai kontributor utama terhadap penyakit mati pucuk pada tanaman shisham. Berdasarkan warna koloni, isolat Fusarium spp. dalam studi ini dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu isolat berwarna putih kekuningan dan putih keunguan. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, cendawan Fusarium spp. yang telah diketahui berasosiasi dengan penyakit mati pucuk adalah F. oxysforum dan F. solani. Rajput et al. (2008) memperoleh cendawan F. solani dari bagian akar, kulit, dan batang pohon shisham yang memperlihatkan gejala mati pucuk, sedangkan dalam studi ini isolat Fusarium spp. diperoleh dari bagian batang bibit jabon yang mengalami mati pucuk. Cendawan lain yang berhasil diisolasi dari bibit jabon yang memperlihatkan gejala mati pucuk adalah Colletotrichum sp.. Karakter koloni isolat Colletotrichum sp. yang berasal dari tanaman jabon tersebut hampir sama seperti yang disebutkan oleh Anggraeni (2009), yaitu berwarna putih yang selanjutnya berubah menjadi abu-abu. Colletotrichum sp. pada umumnya menyebabkan penyakit antraknosa. Antraknosa dapat menyebabkan daun, pucuk atau bunga mudah gugur dan cabang layu (Li dan Zhu 2012). Bibit jabon yang rentan, apabila terserang penyakit bercak daun Colletotrichum, maka tidak hanya akan mengalami kerontokan pada bagian daun, tetapi bibit juga dapat mengalami mati pucuk atau bahkan mati total (Anggraeni 2009). Cendawan Curvularia sp. dan Pestalotiopsis sp. juga dapat diisolasi dari bibit jabon yang menunjukkan gejala mati pucuk, meskipun frekuensi
27 kemunculannya rendah. Isolat Curvularia sp. yang diperoleh menunjukkan karakter morfologi yang tidak jauh berbeda dengan penelitian Sharma et al. (2012), yaitu memilki koloni berwarna pucat hingga gelap dan konidia berukuran 25 sampai 40 x 8 sampai 15 µm dengan jumlah sekat 3 sampai 4. Penyakit bercak daun yang disebabkan Curvularia sp. pernah dilaporkan Utami et al. (2009) menyerang tanaman meranti merah (Shorea Ovalis (Korth.) Blume dan Shorea balangeran (Korth.) Burck). Serangan Curvularia sp. terhadap tanaman meranti dapat menyebabkan daun menjadi berwarna abu-abu, mengerut dan mati. Sementara itu menurut Wei dan Xu (2004), cendawan Pestalotiopsis sp. sebagian besar merupakan patogen tumbuhan, sedangkan yang lainnya merupakan endofit atau saprofit di dalam tanah. Cendawan Curvularia sp. juga dapat menyebabkan gejala penyakit lain disamping bercak daun. Sharma et al. (2012) menyebutkan bahwa C. lunata menyebabkan penyakit mati pucuk pada tanaman akasia. Kemudian penelitian Rajput et al. (2008) menunjukkan bahwa Curvularia sp. berasosiasi dengan gejala mati pucuk pada tanaman shisham. Sementara itu, Espinoza dan Briceño (2008) mengatakan bahwa Pestalotiopsis spp. dapat menyebabkan kanker dan mati ranting pada tanaman blueberry (Vaccinium spp.). Cendawan ini tidak hanya patogenik pada ranting tanaman blueberry tapi juga patogenik pada buah. Isolat Curvularia sp. dan Pestalotiopsis sp. dalam studi ini diperoleh dari bagian batang bibit jabon yang memperlihatkan gejala awal berupa nekrotik pada bagian pucuk. Postulat Koch Postulat Koch merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk membuktikan faktor penyebab primer suatu penyakit pada tanaman. Suatu mikroba dapat dikatakan sebagai agen penyebab penyakit bila memenuhi kaidah postulat Koch sebagai berikut: 1) Patogen membentuk asosiasi yang tetap dengan penyakit, 2) Patogen dapat diisolasi dari jaringan sakit dan dapat ditumbuhkan pada media buatan, 3) Kultur murni hasil isolasi dapat diinokulasikan pada tanaman sehat dan menghasilkan gejala yang sama seperti penyakit sebelumnya 4) Patogen dapat direisolasi dari tanaman sakit dan memiliki karakter yang sama dengan patogen sebelumnya (Agrios 2005) Berdasarkan hasil inokulasi pada rangkain postulat Koch dapat diketahui bahwa sebagian besar isolat yang diuji bersifat patogenik terhadap bibit jabon. Meskipun demikian, tidak semua isolat dapat menghasilkan gejala yang identik dengan gejala mati pucuk. Isolat-isolat Botryodiplodia spp. secara umum menimbulkan gejala pada titik inokulasi. Hal ini menunjukkan bahwa cendawan ini dapat memasuki jaringan inang melalui luka atau penetrasi langsung. Berdasarkan pengamatan gejala, inokulasi isolat cendawan Botryodiplodia spp. menimbulkan gejala yang identik dengan gejala alami mati pucuk pada tanaman jabon. Masa inkubasi cendawan Botryodiplodia spp. untuk menimbulkan gejala, relatif lebih pendek jika dibandingkan dengan cendawan lainnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa Botryodiplodia spp. dapat berkembang dengan cepat dalam jaringan inang. Hal ini juga didukung oleh pertumbuhan radial isolat Botryodiplodia spp. pada media buatan (PDA) yang dapat memenuhi cawan petri
28 dengan masa inkubasi yang relatif pendek. Penelitian Shah et al. (2010) menunjukkan bahwa 13 isolat cendawan B. theobromae yang berasal dari tanaman pir dapat memenuhi cawan petri setelah 4 hari masa inkubasi dengan kecepatan tumbuh berkisar 19.1 sampai 24.9 mm hari-1. Berbeda dengan Botryodiplodia spp., isolat-isolat Fusarium spp. hanya menimbulkan gejala pada titik inokulasi yang dilukai. Gejala yang muncul cukup bervariasi, baik bentuk maupun masa inkubasi yang diperlukan. Gejala dengan masa inkubasi pendek biasanya menunjukkan gejala busuk basah, sedangkan gejala dengan masa inkubasi yang panjang umumnya berupa layu atau mengerutnya batang. Meskipun masa inkubasinya berbeda, kedua gejala tersebut dapat menyebabkan kematian terhadap tanaman. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Fusarium spp. memerlukan luka atau lubang alami untuk memasuki jaringan inang. Cendawan yang telah memasuki jaringan inang selanjutnya dapat menghancurkan dinding sel, sehingga jaringan tanaman menjadi lunak. Selain itu, adanya cendawan yang mampu mencapai jaringan pembuluh dapat menyebabkan tanaman menjadi layu. Hal ini terjadi karena adanya penghambatan proses transpotasi air dari akar menuju bagian atas tanaman. Penelitian Atia et al. (2003) menunjukkan bahwa fragmen miselium F. solani dapat ditemukan pada pembuluh xilem tanaman anggur (Vitis vinifera L.) setelah 21 hari masa inkubasi. Cendawan ini menyebar secara intra dan interseluler dalam seluruh jaringan dan pembuluh yang dikolonisasi oleh hifa dan tilosis. Gejala layu pada bibit jabon memerlukan masa inkubasi yang lebih lama jika dibandingkan dengan gejala busuk basah. Hal ini menunjukkan bahwa kelayuan pada bibit jabon merupakan gejala laten yang dihasilkan oleh Fusarium spp. yang selanjutnya akan berkembang menjadi mati pucuk. Atia et al. (2003) menyatakan bahwa munculnya gejala mati pucuk bisa jadi dikarenakan adanya nekrosis pada pembuluh, adanya hifa cendawan, induksi badan inklusi, dan tilosis yang menyebabkan tidak berfungsinya pembuluh xilem dan terganggunya aliran air. Isolat Colletotrichum sp. memiliki persamaan dan perbedaan dengan Fusarium spp.. Persamaan kedua cendawan ini adalah dalam hal kemampuan menimbulkan gejala, yaitu hanya muncul pada titik inokulasi yang dilukai. Sementara perbedaannya yaitu gejala oleh Colletotrichum sp. tidak berkembang menjadi mati pucuk. Meskpiun demikian, hal ini perlu diperhatikan karena menurut Anggraeni (2009), gejala nekrosis oleh Colletotrichum pada tanaman jabon rentan dapat menyebabkan mati pucuk. Cendawan Botryodiplodia spp., Fusarium spp., dan Colletotrichum sp. merupakan cendawan yang dapat terbawa benih. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya ketiga cendawan tersebut pada tanaman kontrol. Sering munculnya beberapa macam cendawan pada bibit jabon yang terserang mati pucuk, menunjukkan bahwa penyakit ini bisa disebabkan oleh 1 atau beberapa macam cendawan. Cendawan yang mampu menghasilkan gejala mati pucuk dengan inokulasi tunggal dapat diduga sebagai patogen primer, sedangkan cendawan lainnya merupakan patogen sekunder. Saeed et al. (2011) menyatakan bahwa cendawan patogen bisa menjadi lebih virulen ketika dikombinasikan dengan cendawan lain. Penelitian Khanzada et al. (2004) menunjukkan bahwa inokulasi cendawan L. theobromae pada tanaman mangga, baik sendiri atau bersama
29 F. solani dapat menyebabkan jaringan pembuluh berwarna kecoklatan, tanaman layu, dan kematian pada daun serta cabang. Postulat Koch dalam studi ini dilakukan melalui inokulasi secara tunggal. Oleh sebab itu, hubungan antara satu cendawan dengan cendawan lainnya tidak diketahui. Cendawan yang telah diinokulasi pada tanaman jabon, secara umum dapat direisolasi dari tanaman jabon yang menunjukkan gejala. Berdasarkan postulat Koch, cendawan yang diduga sebagai penyebab primer dari gejala penyakit mati pucuk pada bibit jabon adalah Botryodiplodia spp.. Uji Patogenisitas Isolat Cendawan Botryodiplodia spp. Isolat Botryodiplodia spp. yang diinokulasikan pada bibit jabon dapat berkembang dengan cepat di dalam jaringan tanaman. Cendawan ini dapat menyebabkan batang jabon menjadi menyusut dan kering serta daun menjadi berwarna kecoklatan dan menggulung. Atia et al. (2003) menjelaskan bahwa cendawan B. theobromae yang diinokulasikan pada tanaman anggur, dapat mengakibatkan sel epidermis dan korteks menjadi berwarna coklat tua. Sel mengalami plasmolisis dan kebanyakan sel floem dan xilem mengalami kerusakan. Berkas pembuluh merupakan jalan yang mudah dan cepat bagi hifa B. theobromae untuk menyebar. Inokulasi merupakan tahap awal dari suatu siklus penyakit. Tahap ini selanjutnya akan diikuti tahap penetrasi, infeksi, dan diseminasi. Inokulasi merupakan proses awal dari suatu patogen untuk melakukan kontak dengan inang. Menurut Hoch dan Staples (1991), sebelum hubungan patogen-inang berkembang lebih lanjut, beberapa tahap pengenalan harus terjadi selama tahap awal asosiasi. Hal yang paling penting adalah persepsi terhadap arah pertumbuhan hifa yang benar atau pergerakan patogen menuju tempat infeksi yang tepat, mengenali tempat infeksi, dan mengenali bahwa suatu interaksi telah berhasil terjadi antara inang-patogen. Apabila kondisi lingkungan mendukung, patogen selanjutnya akan memenetrasi jaringan inang melalui lubang alami, luka atau langsung menembus permukaan jaringan inang. Setelah berhasil masuk ke dalam jaringan inang, patogen akan mulai melakukan infeksi terhadap inang dengan cara hidup dan berkembang secara intra atau interseluler. Selama proses infeksi, patogen dapat mensekresikan toksin atau memproduksi enzim untuk merusak jaringan inang sehingga dapat mengambil zat makanan dari inang. Proses infeksi yang berhasil ditandai dengan munculnya gejala pada tanaman inang sebagai respon dari infeksi patogen. Waktu yang dibutuhkan patogen mulai dari tahap inokulasi hingga munculnya gejala merupakan masa inkubasi. Panjang atau pendeknya masa inkubasi bergantung pada interaksi inang-patogen dan kondisi lingkungan. Ketika penyakit sudah berkembang, inokulum patogen akan disebarkan melalui udara, air, atau vektor. Apabila inokulum tersebut sampai atau mendarat pada permukaan inang, maka patogen akan melalui siklus penyakit berikutnya (Agrios 2005). Inokulasi isolat Botryodiplodia spp. dalam studi dilakukan secara buatan. Cendawan ini dapat memasuki jaringan tanaman jabon melalui luka atau penetrasi langsung. Hal ini sudah terbukti pada tahap postulat Koch. Masa inkubasi yang dibutuhkan Botryodiplodia spp. untuk menimbulkan gejala pada bibit jabon relatif pendek dan penyakit dapat berkembang dengan cepat. Penelitian Atia et al. (2003) menunjukkan bahwa pucuk tanaman anggur yang diinokulasi B. theobromae
30 sudah mengalami kerusakan jaringan pada 7 hari setelah inokulasi, yaitu berupa plasmolisis sel dan kerusakan sel floem dan kambium. Hal ini mengakibatkan pucuk terlihat lebih pucat, kurang vigor, dan kurang keras dibandingkan dengan pucuk yang tidak diinokulasi. Perkembangan penyakit tumbuhan bergantung pada interaksi antara 3 komponen, yaitu tanaman inang, patogen, dan lingkungan. Perubahan salah satu dari komponen-komponen tersebut akan mempengaruhi keparahan penyakit pada individu atau populasi tanaman inang. Inokulasi isolat Botryodiplodia spp. dalam studi ini menghasilkan persentase keparahan penyakit yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa isolat Botryodiplodia spp. memiliki derajat patogenisitas yang berbeda, dengan asumsi kondisi tanaman inang dan lingkungan homogen. Berdasarkan uji selang berganda Duncan pada keparahan penyakit dapat diketahui bahwa 3 dari 5 isolat Botryodiplodia spp. bersifat sangat virulen terhadap bibit jabon, sedangkan 2 isolat lainnya kurang virulen. Isolat sangat virulen tidak hanya dapat menimbulkan gejala lebih cepat pada tanaman inang, tapi juga menghasilkan persentase kematian bibit lebih tinggi jika dibandingkan dengan isolat kurang virulen. Perbedaan tingkat virulensi isolat Botryodiplodia spp. diduga disebabkan oleh faktor genetik atau lingkungan. Faktor genetik dapat mempengaruhi tingkat virulensi cendawan patogen, karena untuk menimbulkan penyakit diperlukan interaksi gen antara patogen dengan inangnya. Menurut Agrios (2005), patogen tumbuhan memiliki beberapa golongan gen yang penting untuk menyebabkan penyakit atau meningkatkan virulensi terhadap satu atau beberapa tumbuhan inang. Mekanisme Infeksi Cendawan Patogen terhadap Tanaman Inang Tumbuhan merupakan sumber makanan bagi sejumlah parasit, termasuk cendawan. Karena tumbuhan inang memiliki berbagai rintangan, maka cendawan patogen akan melibatkan beberapa mekanisme untuk dapat mengatasi rintangan tersebut. Mekanisme tersebut dapat berupa kekuatan mekanik atau biokimia. Isolat Botryodiplodia spp. dapat menghasilkan gejala identik dengan gejala alami mati pucuk pada bibit jabon. Berdasarkan postulat Koch, cendawan ini mampu menimbulkan gejala nekrosis pada titik inokulasi, baik pada bagian yang dilukai maupun tidak dilukai. Hal ini menunjukkan bahwa cendawan Botryodiplodia spp. dalam studi ini, selain dapat melakukan penetrasi secara pasif juga dapat melakukan penetrasi secara aktif terhadap bibit jabon. Mekanisme penetrasi secara aktif yang dilakukan cendawan patogen terhadap inangnya dapat dilakukan melalui kekuatan mekanik atau enzimatik. Cendawan patogen yang menggunakan kekuatan mekanik akan membentuk struktur apresorium dan kapak penetrasi untuk menembus kutikula dan dinding sel tanaman inang. Mendgen et al. (1996) menyebutkan bahwa beberapa cendawan patogen tidak melakukan diferensiasi apresorium, sehingga memerlukan enzim pendegradasi dinding sel untuk proses penetrasi. Menurut Agrios (2005), penetrasi barrier tanaman inang oleh cendawan patogen hampir selalu disertai dengan sekresi enzim pada titik penetrasi. Pembentukan apresorium diinduksi oleh sinyal kimiawi, seperti ion potassium dan kalsium, gula sederhana, gradien pH, dan perubahan temperatur. Ada pun sinyal yang diberikan inang yaitu berupa hidropobisitas, kekerasan,
31 komponen permukaan inang, dan karakter topografi. Cendawan yang melakukan penetrasi dari apresorium yang berkembang menunjukkan adanya melanisasi pada dinding apresorium, sehingga dapat terbentuk tekanan turgor untuk memenetrasi dinding sel inang. Apresorium yang berkembang akan membentuk hifa penetrasi yang berdinding tipis tetapi kuat. Penetrasi yang dilakukan hifa penetrasi kemungkinan didukung oleh kerja enzim untuk membantu melunakkan dinding sel inang (Mendgen et al. 1996). Kubo dan Furusawa (1991) menjelaskan bahwa spora Colletotrichum lagenarium (Pass.) Ellis & Halst. yang ditumbuhkan pada membran selulosa dapat berkecambah dan membentuk apresorium bermelanin. Apresorium berkembang membentuk hifa infeksi dan berhasil memenetrasi membran selulosa. Ketika membrane diberi larutan ZnCl2/KI/I2, zona bening tampak pada titik penetrasi apresorium. Zona bening tersebut dihasilkan dari degradasi selulosa oleh enzim yang disekresikan dari apresorium. Pembentukan apresorium dan kapak penetrasi tidak menunjukkan kebergantungan pada sintesis protein, termasuk sintesis selulase. Ketika perkecambahan C. lagenarium diinkubasi pada inhibitor sintesis protein, apresorium dan struktur infeksi dapat terbentuk secara normal. Berdasarkan percobaan tersebut, proses penetrasi oleh apresorium hingga kapak penetrasi tampaknya terjadi secara mekanik. Mekanisme infeksi isolat cendawan Botryodiplodia spp. terhadap bibit jabon dalam studi ini juga dipelajari melalui analisis aktivitas enzim, yaitu pektinase dan selulase. Kedua enzim tersebut merupakan enzim pendegradasi dinding sel yang dapat digunakan cendawan patogen untuk proses penetrasi atau kolonisasi. Herron et al. (2000) menyatakan bahwa kebanyakan enzim degradatif merupakan glycoside hydrolases yang mendegradasi matrik selulosa dan pektat melalui penambahan air untuk memecah ikatan glikosida. Struktur dinding sel terus menerus dimodifikasi untuk menyesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan kondisi lingkungan. Selama awal pertumbuhan dan pengembangan sel, tumbuhan membentuk lamela tengah dan dinding sel primer. Komponen dinding sel terdiri atas selulosa, hemiselulosa atau pektin (Caffall dan Mohnen 2009). Pektin banyak terdapat pada dinding sel primer dan lamela tengah (Caffall dan Mohnen 2009). Pektin merupakan kelompok polisakarida yang berasosiasi dengan residu asam D-galactosyluronic. Homogalacturonan, rhamnogalacturonan I dan II, dan galacturonan substitusi umumnya terdapat dalam pektin. Cendawan patogen menghasilkan enzim pektik yang berbeda. Aktivitas enzim ini berbeda dalam spesifisitasnya terhadap substrat, mekanisme untuk memotong ikatan α-1,4-glycosidic, dan tipe pembelahan. Enzim pektik dikelompokkan sebagai pectin methylesterase (PME), exo-polygalacturonase (exo-PG), dan endo-polygalacturonase (endo-PG). Kelompok PME mengubah pektin menjadi asam poligalakturonat, kemudian asam poligalakturonat dipecah exo-PG pada bagian terminal, melepaskan produk monomer asam galakturonat. Kelompok endo-PG memotong asam poligalakturonat dengan cara acak melepaskan asam oligogalakturonat (Vidhyasekaran 2008). Enzim pektinolitik merupakan enzim pertama yang disekresikan oleh kebanyakan cendawan ketika menyerang dinding sel tanaman (Ramos et al. 2010). Selulosa merupakan homopolisakarida yang tersusun atas unit-unit β-Dglukopiranosa yang terikat oleh ikatan glikosida (Sjostrom 1995). Hidrolisis
32 enzimatik selulosa memerlukan aksi endo-glucanase (endo-β-1,4-glucanase) dan exo-glucanase (β-1,4-cellobiohydrolase dan β-glucosidase) (Vidhyasekaran 2008). Secara umum, isolat Botryodiplodia spp. dalam studi ini dapat menghasilkan pektinase dan selulase. Aktivitas pektinolitik berupa pektinesterase dapat terdeteksi dari B. theobromae yang diinkubasi pada media pektin (Ugwuanyi dan Obeta 1997), sedangkan aktivitas enzim selulolitik berupa selulase dan β-glucosidase dapat terdeteksi dari filtrat B. theobromae yang diinkubasi pada media kapas (Umezurike 1970). Selain itu, penelitian Saldanha et al. (2007) menunjukkan bahwa 6 isolat L. theobromae yang diinkubasi pada media dasar dengan atau tanpa veratyl alcohol dapat menghasilkan aktivitas enzim berupa lakase, pektinase, dan β-1,3-glucanase. Aktivitas enzim isolat Botryodiplodia spp. dalam studi ini memperlihatkan aktivitas pektinase yang lebih tinggi jika dibandingkan selulase. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme infeksi isolat Botryodiplodia spp. terhadap bibit jabon juga melibatkan kekuatan biokimia, yaitu dengan cara menghasilkan pektinase untuk mendegradasi pektin yang terletak pada lamela tengah. Mekanisme Pertahanan Inang terhadap Infeksi Patogen Tumbuhan dapat diserang oleh sejumlah parasit melalui berbagai mekanisme. Oleh karena itu, tumbuhan memiliki sistem pertahanan baik yang bersifat pasif mau pun aktif. Pertahanan pasif dapat berupa rintangan fisik atau kimia. Lapisan lilin, kutikula dan dinding sel merupakan contoh rintangan fisik yang dimiliki tumbuhan inang, sedangkan adanya senyawa penghambat atau ketiadaan senyawa stimulator yang diperlukan untuk perkembangan patogen merupakan rintangan pasif yang bersifat kimiawi. Pertahanan pasif harus diatasi terlebih dahulu oleh patogen agar dapat memasuki jaringan inang untuk mengambil nutrisi (Guest dan Brown 1997). Apabila patogen berhasil memasuki jaringan inang, maka inang akan mengaktifkan mekanisme pertahanan lain sebagai respon terhadap infeksi patogen. Karena bentuk pertahanan ini mucul setelah adanya infeksi patogen, maka mekanisme ini dikenal dengan pertahanan aktif. Pertahanan aktif inang dapat berupa ledakan oksidatif, perubahan dasar dinding sel, akumulasi metabolit sekunder, aktivasi dan atau sintesis peptida dan protein pertahanan (Ashry dan Mohamed 2011). Tanaman jabon yang diinokulasi isolat Botryodiplodia spp. secara umum dapat mengalami gejala mati pucuk. Infeksi patogen terhadap tanaman inang dapat menginduksi respon ketahanan inang. Aktivitas peroksidase umum digunakan untuk mengetahui respon ketahanan dari suatu tanaman inang. Allison dan Schultz (2004) menyatakan bahwa aktivitas peroksidase berkorelasi dengan berbagai proses fisiologi tanaman, seperti lignifikasi, suberisasi, metabolisme auksin, pelukaan dan ketahanan terhadap penyakit. Sementara itu, Ashry dan Mohamed (2011) menjelaskan bahwa peroksidase merupakan enzim oxidoreductive yang terlibat dalam proses pembangunan dinding seperti oksidasi fenol, suberisasi dan lignifikasi sel tanaman inang selama reaksi pertahanan melawan patogen. Salah satu peranan penting dari enzim ini adalah sintesis polimer dinding sel (lignin dan suberin) yang merupakan barrier fisik terhadap stress biotik dan abiotik.
33 Aktivitas peroksidase terdeteksi pada semua tanaman jabon contoh yang diinokulasi isolat Botryodiplodia spp., dan beberapa tanaman menunjukkan aktivitas yang lebih tinggi dibanding tanaman kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman jabon memiliki sistem pertahanan terhadap infeksi patogen. Penelitian Zen et al. (2002) menunjukkan bahwa aktivitas peroksidase pada tanaman cabai mengalami peningkatan setelah terinfeksi penyakit antraknosa. Sementara itu, penelitian Ashry dan Mohamed (2011) menunjukkan bahwa infeksi powdery mildew pada tanaman rami (Linum usitatissimum L.) mampu meningkatkan aktivitas peroksidase, polifenil oksidase, dan katalase secara signifikan. Menurut Stermer (1995), peningkatan aktivitas peroksidase dapat terjadi karena adanya infeksi patogen, luka mekanis, mikroorganisme nonpatogenik atau senyawa kimia. Peningkatan aktivitas peroksidase setelah pemberian senyawa kimia terjadi pada bibit red oak (Quercus rubra L.) (Allison dan Schultz 2004). Penelitian Hassan et al. (2007) menunjukkan bahwa pemberian senyawa kimia berupa asam sitrat dan asam benzoate dapat meningkatkan aktivitas peroksidase tanaman kacang faba (Vicia faba L.). Peningkatan aktivitas peroksidase diikuti dengan penurunan kejadian dan keparahan penyakit bercak coklat pada tanaman kacang faba. Peningkatan aktivitas peroksidase pada tanaman tahan lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanaman rentan. Penelitian Rai et al. (2010) menunjukkan bahwa perlakuan inokulasi buatan PepLCV (Pepper Leaf Curl Virus) terhadap 2 genotipe cabai menghasilkan aktivitas peroksidase yang berbeda. Aktivitas peroksidase tanaman cabai genotipe tahan mengalami peningkatan sebesar 25% dibanding kontrol, sedangkan tanaman genotipe rentan mengalami penurunan sebesar 37% dibanding kontrol. Selain itu, tanaman genotipe tahan tidak memperlihatkan adanya gejala penyakit, sedangkan tanaman genotipe rentan mengalami gejala keriting daun dengan serangan berat. Meskipun peroksidase memiliki peranan penting dalam pertahanan tanaman, namun aktivitas enzim ini tidak selalu berkorelasi positif dengan tingkat ketahanan inang. Hasil penelitian Zen et al. (2002) menunjukkan bahwa aktivitas peroksidase yang tinggi pada tanaman cabai tidak diikuti oleh peningkatan ketahanan tanaman terhadap penyakit antraknosa. Hal ini diduga karena mekanisme pertahanan tanaman terhadap pelukaan oleh infeksi patogen tidak hanya disebabkan oleh aktivitas enzim peroksidase, tapi juga oleh aktivitas senyawa lain.
34 5
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Sebanyak 21 isolat cendawan dapat diisolasi dari bagian tanaman jabon yang menunjukkan gejala mati pucuk. Berdasarkan karakter morfologi, isolat tersebut diketahui sebagai cendawan Botryodiplodia spp. (9 isolat), Fusarium spp. (9 isolat), Colletotrichum sp. (1 isolat), Curvularia sp. (1 isolat), dan Pestalotiopsis sp. (1 isolat). Berdasarkan postulat Koch, Botryodiplodia spp. diduga sebagai penyebab primer penyakit mati pucuk pada bibit jabon. Sementara itu, berdasarkan uji patogenisitas 5 isolat Botryodiplodia spp. terhadap bibit jabon menunjukkan bahwa kelima isolat tersebut memiliki derajat patogenisitas yang berbeda, 3 isolat bersifat sangat virulen, sedangkan lainnya kurang virulen. Isolat Botryodiplodia spp. dapat melakukan penetrasi secara aktif dan pasif terhadap bibit jabon, dan proses infeksi salah satunya dilakukan melalui sekresi enzim. Ada pun mekanisme pertahanan tanaman jabon terhadap infeksi patogen di antaranya dilakukan dengan menghasilkan peroksidase.
Saran Pengamatan gejala penyakit mati pucuk dan pengambilan tanaman contoh perlu dilakukan di daerah sentra pembibitan jabon. Hal ini akan memberi informasi mengenai asal dan penyebaran penyakit, serta kerusakan yang ditimbulkan. Selain itu, analisis molekuler perlu dilakukan untuk mengidentifikasi spesies patogen dan mengetahui keragaman genetik isolat-isolat patogen.
35
DAFTAR PUSTAKA
Abdollahzadeh J, Javadi A, Goltapeh EM, Zare R, Phillips AJL. 2010. Phylogeny and morphology of four new spesies of Lasiodiplodia from Iran. Persoonia [internet]. 25:1-10. Tersedia pada: http://scolaris.beta. semantico.com/media//data/0a/37/_extracted/Persoonia_2010_Dec_27_25 _1-10/per-25-1.pdf. DOI: 10.3767/003158510X524150. Achmad. 1997. Mekanisme serangan patogen dan pertahanan inang serta pengendalian hayati penyakit lodoh pada Pinus merkusii [Disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Agrios GN. 2005. Plant Pathology. 5th ed. New York (US): Elsevier Academic Pr. Ahmad I, Khan RA, Siddiqui MT. 2012. Incidence of dieback disease following fungal inoculations of sexually and asexually propagated shisham (Dalbergia sissoo). For Path [internet]. 43:77-82. Tersedia pada: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/efp.12001/pdf. DOI: 10.1111/ efp.12001. Akrofi AY, Amoah FM. 2009. Pestalotia spp. causes leaf spot of Vitellaria paradoxa in Ghana. Afr J Agric Res [internet]. [diunduh 2013 Mar 17]; 4(4):330-333. Tersedia pada: www.academicjournals.org/article/article 1380793191_Akrofi and Amoah.pdf. Allison SD, Schultz JC. 2004. Differential activity of peroxidase isozymes in response to wounding, gypsy moth, and plant hormones in northern red oak (Quercus lubra L.). Journal of Chemical Ecology [internet]. [diunduh 2013 Sep 17]; 30(7):1363-1379. Tersedia pada: https://webfiles. uci.edu/allisons/public/Pubs/allison2004b.pdf. Anderson RC, Gardner DE, Daehler CC, Meinzer FC. 2002. Dieback of Acacia koa in Hawaii: ecological and pathological characteristics of affected stands. Forest Ecology and Management [internet]. [diunduh 2013 Apr 11]; 162:273-286. Tersedia pada: www.agriculture.purdue.edu/fnr/htirc tropical/pdf/Pubs/Anderson 2002 dieback of Acacia koa FEM.pdf. Anggraeni I. 2009. Colletotrichum sp. penyebab penyakit bercak daun pada beberapa bibit tanaman hutan di persemaian. Mitra Hutan Tanaman [internet]. [diunduh 2012 Feb 9]; 4(1):29-35. Tersedia pada: http://forplan.or.id/images/File/Mitra/MITRA HT Vol4 No1 th 2009.pdf. Ashry NA, Mohamed HI. 2011. Impact of secondary metabolite and related enzyme in flax resistance and or susceptibility to powdery mildew. World J Agric Sci. [internet]. [diunduh: 2013 Januari 23]; 7(1):78-85. Tersedia pada: www.idosi.org/wjas/wjas7(1)/13.pdf. Atia MMM, Aly AZ, Tohamy RMA, El-Shimi H, Kamhawy MA. 2003. Histopathological studies on grapevine die-back. Journal of Plant Diseases and Protection [internet]. [diunduh 2012 Jun 19]; 110(2):131142. Tersedia pada: www.jpdp-online.com/artikel.dll/2003-02-s131-142atia-histo_NTc3NJA.PDF. Barnet HL, Hunter BB. 1998. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. 4th ed. Minessota (US): APS Pr. Bashir U, Tahira JJ. 2012. Evaluation of Eucalyptus camaldulensis against Fusarium solani. Int J Agric Biol [internet]. [diunduh 2012 Okt 30];
36 14:675-677. Tersedia pada: http://www.fspublishers.org/ijab/pastissues/IJABVOL_14_NO_4/36.pdf. Caffall KH, Mohnen D. 2009. The structure, function, and biosynthesis of plant cell wall pectic polysaccharides. Carbohydrate Research [internet]. 344:1879-1900. Tersedia pada: http://public.wsu.edu/~langem/Documnets/ Teaching 2011/Caffall2009.pdf. Campbell MM, Sederoff RR. 1996. Variation in lignin content and composition. Plant Physiol [internet]. [diunduh 2013 Oktober 22]; 110:3-13. Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC157688/pdf/1100003 . pdf. Douglas SM. 2009. Combating plant diseases in the nursery [internet]. New Haven (US): Departement of Plant Pathology and Ecology, The Connecticut Agricultural Experiment Station. [diunduh 2012 Jul 7]. Tersedia pada: http://www.newenglandgrows.org/handouts/2009/Sharon DouglasHandout.pdf. Ebrahim S, Usha K, Singh B. 2011. Pathogenesis related (PR) proteins in plant defense mechanism. Di dalam: A Méndez-Vilas, editor. Science Against Microbial Pathogen: Communicating Current Research and Technological Advances, FORMATEX, Mycrobiology Series No. 3 Vol 1 [internet]. Badajoz (ES): FORMATEX. hlm 1043-1054. [diunduh 2013 Jan 22]. Tersedia pada: http://www.formatex.info/microbiology3/book /1043-1054.pdf. Espinoza JG, Briceño EX. 2008. Canker dan twig dieback of blueberry caused Pestalotiopsis spp. and a Truncatella sp. in Chili. Plant Disease [intrenet]. 92:1407-1414. Tersedia pada: http://naldc.nal.usda.gov/download/25641/ PDF. DOI: 10.1094/PDIS-92-10-1407. García VG, Onco MAP, Susan VR. 2006. Review Biology and systematics of the form genus Rhizoctonia. Span J Agric Res [internet]. [diunduh 2012 Okt 30]; 4(1):55-79. Tersedia pada: http://www.inia.es/gcontrec/pub/ GONZALEZ-PORTAL-RUBIO_1141287571531.pdf. Gautam R, Irchhaiya R, Swarnakar R. 2012. Anthocephalus cadamba (Roxb): an overview. IJPRD [internet]. [diunduh 2013 Mar 2]; 4(04):169-173. Tersedia pada: http://www.ijprd.com/ANTHOCEPHALUS CADAMBA ROXB AN OVERVIEW.pdf. Glazebrook J. 2005. Contrasting menchanisms of defense against biotrophic and necrotrophic pathogens. Ann Rev Phytopathol [internet]. 43:205-227. Tersedia pada: http://www.unine.ch/nccr/pages/education/gs/courses 2005_2006/13-MH.pdf. DOI: 10.1146/annurev.phyto. 43.040204.135923. Guest DI, Brown JF. 1997. Plant defences against pathogens. Di dalam: Brown JF dan Ogle HJ, editor. Plant Pathogens and Plant Diseases [internet]. Armidale (AU): Rockvale Publications. hlm 263-286. [diunduh 2012 Nov 30]. Tersedia pada: http://www.appsnet.org/Publications/ Brown_Ogle/17 Defence mechanisms (DIG JFB).pdf. Hassan MEM, El-Rahman SSA, El-Abbasi IH, Mikhail MS. 2007. Changes in peroxidase activity due to resistance induce against faba bean chocolate spot disease. Egypt J Phytopathol [internet]. [diunduh 2013 Sep 18]; 35(1):35-48. Tersedia pada: www.ejp.eg.net/Vol. 35 (No.1) 2007/4-ELABBASY.pdf.
37 Herron SR, Benen JAE, Scavetta RD, Visser J, Jurnak F. 2000. Structure and function of pectic enzymes: virulence factors of plant pathogens. PNAS [internet]. [diunduh 2013 Jan 21]; 97(16):8762-8769. Tersedia pada: http://www.pnas.org/content/97/16/8762.full.pdf. Herusansono W, Wahono T. 2011 Feb 10. Kayu jabon jadi tanaman penghijauan [internet]. [diunduh 2012 Apr 11]. Kompas.com. Tersedia pada: http://regional.kompas.com/read/2011/02/10/2027540/Kayu.Jabon.Jadi.Ta naman.Penghijauan. Hoch HC, Staples RC. 1991. Signaling for infection structure formation in fungi. Di dalam: Garry TC, Harvey CH, editor. The Fungal Spore and Disease Initiation in Plants and Animals. New York (US): Plenum Pr. hlm 25-46. Huang JS. 2001. Plant Pathogenesis and Resistance: Biochemistry and Physiology of Plant-Microbe Interaction. London (GB): Kluwer Academic Publisher. Ismail AM, Cirvilleri G, Polizzi G, Crous PW. 2012. Lasiodiplodia species associated with dieback disease of mango (Mangifera indica) in Egypt. Australasian Plant Pathol [internet]. 41:649-660. Tersedia pada: http://www.plantmanagementnetwork.org/pub/php/diagnosticguide/2004/ mango/. DOI: 10.1007/s13313-012-0163-1. Khan SH, Idrees M, Muhammad F, Mahmood A, Zaidi SH. 2004. Incidence of shisham (Dalbergia sissoo Roxb.) decline and in vitro response of isolated fungus spp. to various fungicide. Int J Agri Biol [internet]. [diunduh 2012 Nov 21]; 6(4):611-614. Tersedia pada: http://www.fspublishers. org/ijab/past-issues/IJABVOL_6_NO_4/4.pdf. Khanzada MA, Lodhi AM, Shahzad S. 2004. Mango dieback and gummosis in Sindh, Pakistan caused by Lasiodiplodia theobromae. PHP [internet]. [diunduh 2013 Feb 22]. Tersedia pada: http://www.plantmanagement network.org/pub/php/diagnosticguide/2004/mango/. DOI: 10.1094/PHP2004-0302-01-DG. Kirisits T, Kritsch P, Kräutler K, Matlakova M, Halmschlager E. 2012. Ash dieback associated with Hymenoscyphus pseudoalbidus in forest nurseries in Austria. J Agric Ext Rural Dev [internet]. 4(9):230-235. Tersedia pada: www.academicjournals.org/article/article 1379689263_Kirisits et al.pdf. DOI: 10.5897/JAERD12.057. Kräutler K, Kirisits T. 2012. The ash dieback pathogen Hymenoscyphus pseudoalbidus is associated with leaf symptoms on ash species (Fraxinus spp.). J Agric Ext Rural Dev [internet]. 4(9):261-165. Tersedia pada: cademicjournals.org/article/article1379691895_Kraeutler and Kirisits.pdf. DOI: 10.5897/JAERD12.065. Krisnawati H, Kallio M, Kanninen M. 2011. Anthocephalus cadamba (Miq.) Ekologi, Silvikultur, dan Produktivitas [internet]. Bogor (ID): Center of International Forestry Research. [diunduh 2011 Okt 11]. Tersedia pada: http://www.cifor.org/publications/pdf_files/Books/Bkrisnawati1108 .pdf. Kubo Y, Furusawa I. 1991. Melanine biosynthesis: prerequisite for successful invasion of the plant host by appressoria of Colletotrichum and Pyricularia. Di dalam: Garry TC, Harvey CH, editor. The Fungal Spore and Disease Initiation in Plants and Animals. New York (US): Plenum Pr. hlm 205-218.
38 Li Sj, Zhu Th. 2012. Biochemical responseand induced resistance against anthracnose (Colletotrichum camelliae) of camellia (Camellia pitardii) by chitosan oligosaccharide application. For Path [internet]. Tersedia pada: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1439-0329.2012.00797.x/pdf. DOI: 10.1111/j.1439-0329.201200797.x. Martawijaya A, Kartasujana, Kadir K, Prawira SA. 1981. Atlas Kayu Indonesia. Jilid 2. Bogor (ID): Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Mbenoun M, Zeutsa EHM, Samuels G, Amougou FN, Nyasse S. 2008. Dieback due to Lasiodiplodia theobromae, a new constraint to cocoa production in Cameroon. Plant Pathology [internet]. 57:381. Tersedia pada: http:// cocoaschool.org/scientific-research/research-library/documents/Mbenoun 2008.pdf. DOI: 10.1111/j.1365-3059.2007.01755.x. Mendgen K, Hahn M, Deising H. 1996. Morphogenesis and mechanisms of penetration by plant pathogen fungi. Ann Rev Phytopathol [internet]. [diunduh: 2013 Jan 22]; 34:364-386. Tersedia pada: www.annualreviews. org.ezproxylocal.library.nova.edu/doi/pdf/10.1146/annurev.phyto.34.1.367 Muehlbach HP, Tantau H, Renk S, Schultz D, Woelki S, Meyer H, Schulze J, Palm D, Stubbe A, Fennemann M, Valdez N, Sarker RH, Alam SkS, Saha ML, Khan MS, Hoque MI. 2010. Molecular detection and characterization of biotic agents associated with dieback disease of Dalbergia sissoo Roxb. in Bangladesh. di dalam: Islam AS et al., editor. Role of Biotechnology in Food Security and Climate Change. Proc. Sixth Intl. Plant Tissue Cult. & Biotech; 2010 Desember 3-5; Dhaka. Dhaka (BD): Bangladesh Assoc. Plant Tissue Cult. & Biotech. hlm 131-143. Nasution R. 2010. Survei dan identifikasi penyebab kematian (dieback) pada tanaman alpukat (Persea americana Mill.) di Kabupaten Garut, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Novaes E, Kirst M, Chiang V, Sederoff HW, Sederoff R. 2010. Lignin and biomass: a negative correlation for wood formation and lignin content in trees. Plant Physiol [internet]. [diunduh 2013 Okt 22]; 154: 555-561. Tersedia pada: http://www.plantphysiol.org/content/154/2/555.full.pdf+ html. Nurhasanah YS. 2012. Karakterisasi cendawan Botryodiplodia theobromae dan Rhizoctonia solani dari berbagai tanaman inang berdasarkan morfologi dan pola RAPD-PCR [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Orwa C, Mutua A, Kindt R, Jamnadass R, Anthony S. 2009. Agroforestry database: a tree reference and selection guide version 4.0 [internet]. Kenya (KE): World Agroforestry Centre. [diunduh 2011 Jun 15]. Tersedia pada: http://www.worldagroforestry.org/resources/databases/ agroforestree. Rahman MA, Baksha MW, Ahmed FU. 1997. Diseases and pests of tree species in forest nurseries and plantations in Bangladesh [internet]. Dhaka (BD): Bangladesh Agricultural Research Council. [diunduh 2013 Jan 21]. Tersedia pada: mapbangla.com/mapadmin/publication/149_040_Diseases and pests of tree species in forest nurseries and plantations in Bangladesh.pdf.
39 Rai VP, Jaiswal N, Kumar S, Singh SP, Kumar R, Rai AB. 2010. Response of total phenols and peroxidase activity in chilli exposed to pepper leaf curl virus disease. Veg Sci [internet]. [diunduh 2014 Jan 6]; 37(1):78-80. Tersedia pada: www.researchgate.net/Response_of_total_phenols_and _peroxidase _act. Rajput NA, Pathan MA, Jiskani MM, Rajput AQ, Arain RR. 2008. Pathogenicity and host range of Fusarium solani (Mart.) Sacc. causing dieback of shisham (Dalbergia sissoo Roxb.). Pak J Bot [internet]. [diunduh 2012 Nov 20]; 40(6):2631-2639. Tersedia pada: www.pakbs.org/pjbot/PDFs/40 (6)/PJB40(6)2631.pdf. Ramos AM, Gally M, García MC, Levin L. 2010. Pectinolytic enzyme production by Colletotrichum truncatum, causal agent of soybean antrachnose. Rev Iberoam Micol [internet]. 27(4):186-190. Tersedia pada: www.revibero ammicol.com/2010-27/186190.pdf. DOI: 10.1016/j.riam.20 10.06.002. Saeed S, Khan MI, Masood A. 2011. Symptom development after artificial inoculation of Botryodiplodia theobromae, a possible causal organism to quick decline in mango trees. Pak J Agri Sci [internet]. [diunduh 2012 Jun 28]; 48(4):289-294. Tersedia pada: http://pakjas.com.pk/papers|1960. pdf. Safriati. 2012. Respon pertumbuhan jabon terhadap sumber benih dan dosis pupuk yang berbeda pada daerah bekas tambang batubara di PT Kaltim Prima Coal, Sangatta, Kalimantan Timur [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Semangun H. 2006. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. Setyaningsih L. 2012. Adaptabilitas semai tanaman hutan terhadap timbal pada media tailing dengan aplikasi kompos aktif dan fungi mikoriza arbuskula [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Shah MD, Verma KS, Singh K, Kaur R. 2010. Morphological, pathological and molecular variability in Botryodiplodia theobromae (Botryosphaeriaceae) isolates associated with die-back and bark canker of pear trees in Punjab, India. Genet Mol Res [internet]. 9(2):1217-1228. Tersedia pada: http://www.sumarios.org/sites/default/files/pdfs/gmr812.pdf. DOI: 10.423 8/vol9-2gmr812. Sharma P, Singh N, Verma OP. 2012. First report of Curvularia leaf spot, caused by Curvularia affinis on Dalbergia sissoo. For Path [internet]. 42:265266. Tersedia pada: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.14390329.2011.00745.x/pdf. DOI: 10.1111/j.1439-0329.2011.00745.x. Simon TJ, Ross AF. 1970. Enhanced peroxidase activity associated with induction of resistance to Tobacco Mosaic Virus in hypersensitive tobacco. Phytopathology. 60:383-384. Sjostrom E. 1995. Kimia Kayu, Dasar-Dasar dan Penggunaan. Ed ke-2. Sastrohamidjojo H, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. Terjemahan dari: Wood Chemistry, Fundamentals and Applications. Soerianegara I, Lemmens RHMJ. 1994. Plant Resources of South-East Asia 5(1). Timber Trees: Major Commercial Timbers. Wageningen (NL): Pudoc Scientific Publishers.
40 Stermer BA. 1995. Molecular regulation of systemic induced resistance. Di dalam: Hammerschmidt R, Kuc J, editor. Induce Resistance to Disease in Plant. Dordrecht (NL): Kluwer. hlm 111-140. Stević M, Pukša P, Elezović I. 2010. Resistance of Venturia inaequalis to demethylation inhibiting (DMI) fungicides. Žemdirbystė=Agriculture [internet]. [diunduh 2013 Mei 16]; 97(4):65-72. Tersedia pada: http:// www.lzi.lt/tomai/97(4)tomas/97_4_tomas_str7.pdf. Tarigan M, Roux J, Wyk MV, Tjahjono B, Wingfield MJ. 2011. A new wilt and die-back disease of Acacia mangium associated with Ceratocyctis manginecans and C. acaciivora sp. nov. in Indonesia. S Afr J Bot [internet]. 77:292-304. Tersedia pada: http://dx.doi.org/10.1016/j. sajb.2010.08.006. DOI: 10.1016/j.sajb.2010. 08.006. Ugwuanyi JO, Obeta JAN. 1997. Some pectinolytic and cellulolytic enzyme activities of fungi causing rots of cocoyams. J Sci Food Agric [internet]. [diunduh 2014 Jan 9]; 73:432-436. Tersedia pada: http://onlinelibrary. wiley.com.ezproxylocal.library.nova.edu/doi/10.1002/(SICI)1097-0010(19 9704)73:4<432::AID-JSFA744>E3.0.CO;2-O/pdf. Umezurike GM. 1970. Cellulases and β-glucosidases components in culture filtrates from Botryodiplodia theobromae Pat.. Journal of Experimental Botany [internet]. [diunduh 2013 Sep 23]; 21(68):639-650. Tersedia pada: http://jxb.oxfordjournals.org/content/21/3/639.full.pdf+ html. Utami S, Anggraeni I, Herdiana N. 2009. Hama dan penaykit pada tanaman meranti merah Shorea ovalis (Korth.) Blume dan Shorea balangeran (Korth.) Burk. Mitra Hutan Tanaman [internet]. [diunduh 2012 Feb 9]; 4(1):29-35. Tersedia pada: http://forplan.or.id/images/File/Mitra/ MITRA HT Vol4 No1 th 2009.pdf. Vidhyasekaran P. 2008. Fungal Pathogenesis in Plants and Crops: Molecular Biology and Host Defense Mechanisms. 2nd ed. New York (US): CRC Pr. Watanabe T. 1994. Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi Morphologies of Cultured Fungi and Key to Species. London (GB): CRC Pr. Widyastuti SM, Sumardi, Harjono. 2005. Patologi Hutan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. Wei JG, Xu T. 2004. Pestalotiopsis kunmingensis sp. nov., an endophyte from Podocarpus macrophyllus. Fungal Diversity [internet]. [diunduh 2012 Mar 20]; 15:247-254. Tersedia pada: http://www.fungaldiversity.org/fdp/ sfdp/15-13.pdf. Zen K, Setiamiharjda R, HK Murdaningsih, Suganda T. 2002. Aktivitas enzim peroksidase pada lima genotip cabai yang mempunyai ketahanan berbeda terhadap penyakit antraknosa. Zuriat. 13(2): 97-105
41
LAMPIRAN
42 Lampiran 1 Bibit jabon yang digunakan sebagai tanaman contoh dalam tahap isolasi A
B
1
2
3
Bibit jabon dari daerah Situ Gede (lokasi A): 1) umur > 6 bulan, 2) ± 2 bulan, dan 3) 4-5 bulan
C
Bibit jabon dari daerah Situ Gede (lokasi B): umur ± 5 bulan
D
1 Bibit jabon dari daerah Jampang: umur ± 6 bulan
2 Bibit jabon dari daerah Cilubang: 1) umur ± 3 bulan dan 2) ± 5 bulan
E
1
2
Bibit jabon dari Fakultas Kehutanan, IPB: 1) umur ± 4 bulan dan 2) ± 3 bulan
43 Lampiran 2 No 1
2
3
4 5
Kondisi penyakit mati pucuk pada tanaman jabon di 5 lokasi persemaian Jenis tanaman yang Perkiraan tanaman Lokasi tersedia terinfeksi (%) Situ Gede Jabon merah, jabon, akasia, (lokasi A) ekaliptus, kayu putih, jati, ± 15% trembesi, dll. Situ Gede Jabon merah, jabon, ekaliptus, (lokasi B) kayu afrika, sengon laut, ± 1% trembesi, dll. Jampang Jabon, gmelina, akasia, mahoni, sengon, jati, matoa, ± 1% mindi, dll. Cilubang Jabon ± 7% Fakultas Jabon Kehutanan ± 10% IPB
44 Lampiran 3 Karakter morfologi isolat-isolat cendawan yang diperoleh dari bibit jabon yang mengalami mati pucuk A. Asal lokasi: persemaian di daerah Situ Gede 1. Isolat A1: Botryodiplodia spp. Karakter makroskopis: Koloni pada awalnya berwarna putih, kemudian warna pada bagian bawah cawan perlahan-lahan akan berubah menjadi putih keabuan. Isolat memenuhi cawan petri (Ø 9 cm) setelah 2 hari inkubasi, dan memiliki morfologi koloni rugose dan fluffy. Karakter mikroskopis: Konidia pada awalnya hialin, selanjutnya akan berubah warna menjadi coklat dan memiliki sekat. Konidia berbentuk ellipsoid atau ovoid dan memiliki ukuran 26 sampai 29 x 13 sampai 16 µm. 2. Isolat A2: Fusarium spp. Karakter makroskopis: Koloni pada awalnya berwarna putih, kemudian warna koloni pada bagian bawah cawan lama-kelamaan berubah menjadi ungu dan membentuk pola konsentris. Koloni miselium verucose, velvety, dan isolat dapat memenuhi cawan petri setelah 15 hari inkubasi. Karakter mikroskopis: Terdapat mikrokonidia berbentuk oblong, ellipsoid, atau reniform dengan ukuran 8.2 sampai 8.7 x 2.6 sampai 2.9 µm. Makrokonidia berbentuk lunate dengan sekat 1 smapai 3, dan memiliki ukuran 14 smapai 16 x 3 sampai 5 µm. Klamidopsora tunggal atau ganda, terminal atau interkalar, dengan ukuran diameter 8 smapai 9 µm. 3. Isolat A3: Fusarium spp. Karakter makroskopis: Koloni berwarna putih, baik pada bagian permukaan atas maupun bagian bawah cawan. Morfologi koloni rugose, velvety, dan isolat dapat memenuhi cawan petri setelah 7 hari inkubasi. Karakter mikroskopis: Memiliki mikrokonidia berbentuk allantoid cylindrical, atau fusiform dengan ukuran 8 smapai 9 x 2.3 sampai 2.5 µm. Makrokonidia berbentuk lunate atau fusiform dengan ukuran 23 sampai 34 x 3 sampai 3.7 µm. Klamidospora tunggal, terminal, dengan
45 ukuran diameter 8 sampai 8.5 µm. 4. Isolat A4: Fusarium spp. Karakter makroskopis: Koloni berwarna putih pada bagian permukaan atas dan putih keunguan pada bagian bawah cawan. Koloni miselium rugose dan velvety, dan isolat dapat memenuhi cawan petri setelah 8 hari inkubasi. Karakter mikroskopis: Terdapat makrokonidia dengan sekat 1-3, berukuran 20 sampai 43 x 3 sampai 4 µm, dan memiliki bentuk fusiform. Mikrokonidia berentuk fusiform atau cylindrical dan memiliki ukuran 8 sampai 10 x 2.2 sampai 2.5 µm. Klamidospora tunggal, terminal, dengan ukuran diameter 8 sampai 9 µm. 5. Isolat A5: Botryodiplodia spp. Karakter makroskopis: Koloni miselium pada awalnya berwarna putih, kemudian akan berubah menjadi abuabu pada bagian permukaan atas, sementara pada bagian bawah cawan berubah menjadi hijau kehitaman. Koloni miselium rugose, cottony, dan isolat dapat memenuhi cawan petri setelah 2 hari inkubasi. Karakter mikroskopis: Konidia muda hialin dan akan berubah menjadi berwarna kecoklatan serta bersekat ketika menjadi konidia matang. Konidia berbentuk ellipsoid atau ovoid dengan ukuran 28 sampai 29 x 16 sampai 17 µm. 6. Isolat A6: Pestalotiopsis sp. Karakter makroskopis: Koloni miselium berwarna putih, baik pada permukaan bagian atas maupun bagian bawah cawan. Morfologi koloni verrucose dan velvety. Isolat dapat memenuhi cawan petri setelah 13 hari inkubasi. Karakter mikroskopis: Konidia berwarna kecoklatan, memiliki sekat berwarna hitam, dan terdapat embelan pada kedua ujung konidia. Konidia berukuran 25 sampai 27 x 5 sampai 5.2 µm, terdiri atas 4 sampai 5 sel dengan 3 sampai 4 sekat. 7. Isolat A7: Curvularia sp. Karakter makroskopis: Koloni miselium berwarna abuabu kehitaman, baik pada permukaan bagian atas maupun bagian bawah cawan. Morfologi koloni umbonate, velvety, dan isolat dapat memenuhi cawan petri setelah 10 hari inkubasi.
46 Karakter mikroskopis: Konidia berawrna kecoklatan, berbentuk inequilateral dan memiliki sekat. Konidia memiliki ukuran 26 sampai 30 x 7 sampai 8 µm dan terdiri atas 3 sampai 5 sel dengan sekat 2 sampai 4. 8. Isolat A8: Botryodiplodia spp. Karakter makroskopis: Koloni miselium pada awalnya berwarna putih, kemudian berubah menjadi abu-abu pada permukaan bagian atas, dan menjadi hijau kehitaman pada bagian bawah cawan. Koloni miselium rugose, velvety, dan isolat dapat memenuhi cawan petri setelah 4 hari inkubasi. Karakter mikroskopis: Konidia muda hialin dan konidia matang berwana coklat serta memiliki sekat. Konidia berbentuk ellipsoid atau ovoid dengan ukuran 28 sampai 32 x 17 sampai 20 µm. B. Asal lokasi: persemaian di daerah Situ Gede Isolat B2: Botryodiplodia spp. Karakter makroskopis: Koloni miselium pad awalnya berwarna putih, kemudian berubah menjadi abu-abu pada permukaan bagian atas, dan hijau kehitaman pada bagian bawah cawan. Koloni rugose, velvety, dan isolat dapat memenuhi cawan petri setelah 3 hari inkubasi. Karakter mikroskopis: Konidia hialin pada saat muda dan berwarna kecoklatan serta bersekat saat konidia matang. Konidia berbentuk ellipsoid atau ovoid dengan ukuran 27 sampai 30 x 13 sampai 14 µm. C. Asal lokasi: persemaian di daerah Jampang 1. Isolat C1: Fusarium spp. Karakter makroskopis: Koloni miselium berwarna putih pada permukaan bagian atas dan putih keunguan pada bagian bawah cawan. Koloni rugose, velvety, dan isolat dapat memenuhi cawan petri setelah 11 hari inkubasi. Karakter mikroskopis: Terdapat makrokonidia berbentuk lunate atau fusiform, memiliki 3 sekat, berukuran 19 sampai 21 x 3 sampai 4 µm. Mikrokonidia berbentuk oblong, cylindrical, ellipsoid, tidak bersekat, dan berukuran 6 sampai 8 x 2 sampai 3 µm. Klamidospora tunggal atau ganda, terminal, dengan ukuran diameter 9 sampai 10 µm. 2. Isolat C2: Fusarium spp. Karakter makroskopis: Koloni miselium berwarna putih keunguan, baik pada permukaan bagian atas maupun
47 bagian bawah cawan. Akan tetapi, warna ungu lebih jelas terlihat pada bagian bawah cawan. Koloni rugose, velvety, dan isolat dapat memenuhi cawan petri setelah 10 hari inkubasi. Karakter mikroskopis: Terdapat mikrokonidia dengan berbagai bentuk, yaitu oval, oblong, dan ellipsoid, serta memiliki ukuran 7 sampai 9 x 3 sampai 3.5 µm. Makrokonidia memiliki bentuk allantoid atau cylindrical, dengan ukuran 16 sampai 21 x 3 sampai 5 µm. Klamidospora tunggal atau ganda, terminal atau interkalar dengan ukuran diameter 7 sampai 8 µm. D. Asal lokasi: persemaian di daerah Cilubang 1. Isolat D1: Botryodiplodia spp. Karakter makroskopis: Koloni miselium pada awalnya berwarna putih, kemudian berubah menjadi abu-abu pada bagian bawah cawan, dan selanjutnya akan terlihat berwarna hitam. Koloni rugose, velevty, dan isolat dapat memenuhi cawan petri setelah 2 hari inkubasi. Karakter mikroskopis: Konidia muda hialin, sedangkan konidia matang berwarna kecoklatan dan bersekat. Konidia berbentuk ovoid atau ellipsoidal, dengan ukuran 24 sampai 27 x 16 sampai 17 µm. 2. Isolat D2: Fusarium spp. Karakter makroskopis: Koloni miselium berwarna putih pada permukaan bagian atas, dan putih keunguan pada bagian bawah cawan. Koloni rugose, velvety, dan isolat dapat memenuhi cawan petri setelah 8 hari inkubasi. Karakter mikroskopis: Terdapat makrokonidia bersekat 2-5 dengan ukuran 16 sampai 19 x 4 sampai 4.5 µm, dan memiliki bentuk lunate atau fusiform. Mikrokonidia berbentuk cylindrical, oval, atau obovoid dan berukuran 6 sampai 7 x 1 sampai 2 µm. Selain itu, terdapat klamidospora tunggal atau terminal dengan ukuran diameter 9 sampai 11µm. 3. Isolat D3: Fusarium spp. Karakter makroskopis: Koloni miselium berwarna putih, baik pada permukaan bagian atas maupun bagian bawah cawan. Koloni rugose, velvety, dan isolat dapat memenuhi cawan petri setelah 7 hari inkubasi.
48 Karakter mikroskopis: Terdapat mikrokonidia dan makrokonidia. Mikrokonidia tidak bersekat, berbentuk ellipsoid, cylindrical, atau ovoid, dengan ukuran 7 sampai 10 x 2 sampai 4 µm. Makrokonidia berbentuk lunate atau fusiform, bersekat 1 sampai 3, dan berukuran 16 sampai 24 x 3 sampai 4 µm. Klamidospora tunggal, terminal atau interkalar, dengan diameter 8 sampai 9 µm. 4. Isolat D4: Colletotrichum sp. Karakter makroskopis: Koloni miselium berwarna putih, baik pada permukaan bagian atas maupun bawah cawan. Koloni verrucose, velvety, dan isolat dapat memenuhi cawan petri setelah 6 hari inkubasi. Karakter mikroskopis: Terdapat konidia berbetuk oblong, dan pada kedua ujung konidia terlihat seperti ada lapisan minyak. Konidia berukuran 14 sampai 16 x 4 sampai 5 µm. E. Asal lokasi: persemaian di Fakultas Kehutanan IPB 1. Isolat E1: Botryodiplodia spp. Karakter makroskopis: Koloni pada awalnya berwarna putih kemudian akan berubah menjadi abu-abu, lalu menjadi hitam baik pada permukaan bagian atas maupun bagian bawah cawan. Koloni miselium rugose, cottony, dan isolat dapat memenuhi cawan setelah 2 hari inkubasi. Karakter mikroskopis: Konidia berbentuk ellipsoid atau ovoid, berwarna coklat dan bersekat pada konidia matang dan hialin pada konidia muda. Konidia memiliki ukuran 29 sampai 30 x 15 sampai 17 µm. 2. Isolat E2: Botryodiplodia spp. Karakter makroskopis: Koloni pada awalnya berwarna putih, kemudian berubah menjadi abu-abu dan lamakelamaan menjadi hitam baik pada permukaan bagian atas maupun bagian bawah cawan. Morfologi koloni rugose, velvety, dan isolat dapat memenuhi cawan petri setelah 3 hari inkubasi. Karakter mikroskopis: Konidia hialin ketika muda dan berwarna coklat serta bersekat ketika matang. Konidia berbentuk ellipsoid atau ovoid dengan ukuran 27 sampai 30 x 15 sampai 16 µm. 3. Isolat E3: Fusarium spp. Karakter makroskopis: Koloni isolat berwarna putih keunguan pada permukaan bagian atas, dan warna ungu
49 terlihat jelas pada bagian bawah cawan. Koloni miselium verrucose, velvety, dan isolat dapat memenuhi cawan petri setelah 20 hari inkubasi. Karakter mikroskopis: Mikrokonidia berbentuk oval, cylindrical, atau ovoid, dengan ukuran 7.6 sampai 7.8 x 2.3 sampai 2.8 µm. Makrokonidia berbentuk lunate, cylindrical, atau fusiform, dengan ukuran 16 sampai 20 x 3 sampai 4 µm. Klamidospora tunggal, terminal, dan memiliki ukuran diameter 8 sampai 9 µm. 4. Isolat E4: Botryodiplodia spp. Karakter makroskopis: Koloni isolat pada awalnya berwarna putih keabuan pada bagian permukaan atas dan hijau kehitaman pada bagian bawah cawan. Warna selanjutnya berubah menjadi abu-abu kehitaman pada permukaan atas dan hijau kehitaman pada bagian bawah cawan. Karakter mikroskopis: Konidia hialin pada saat muda, lalu berubah menjadi berwarna coklat dan bersekat ketika matang. Konidia memiliki ukuran 27 sampai 29 x 14 sampai 16 µm. 5. Isolat E5: Botryodiplodia spp. Karakter makroskopis: Koloni miselium berwarna putih pada awalnya, kemudian berubah menjadi abu-abu tua pada permukaan atas dan hijau kehitaman pada bagian bawah cawan. Morfologi koloni rugose, velvety, dan isolat dapat memenuhi cawan petri setelah 2 hari inkubasi. Karakter mikroskopis: Konidia muda hialin, kemudian setelah matang berubah mnejadi berwarna coklat dan bersekat. Konidia berbentuk ovoid atau ellipsoid, dengan ukuran 26 sampai 28 x 15 sampai 16 µm. 6. Isolat E6: Fusarium spp. Karakter makroskopis: Koloni berwarna putih keunguan pada permukaan atas dan bagian bawah cawan. Morfologi koloni verrucose, velvety, dan isolat dapat memenuhi cawan petri setelah 8 hari inkubasi. Karakter mikroskopis: Mikrokonidia berbentuk oval, ellipsoid, atau cylindrical dengan ukuran 7 sampai 9 x 3 sampai 3.2 µm. Makrokonidia berbentuk fusiform atau cylindrical, bersekat 3, dan memiliki ukuran 17 sampai 19 x 3.2 sampai 3.7 µm. Klamidospora tunggal atau ganda, terminal atau interkalar, dengan ukuran diameter 8 sampai 9 µm.
50 Lampiran 4 Gejala mati pucuk pada bibit jabon setelah diinokulasi 5 isolat Botryodiplodia spp.: a) isolat A1, b) isolat A5, c) isolat E2, d) isolat E4, e) isolat B2, dan f) kontrol.
b
a
c
e
d
f
51 Lampiran 5 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan kejadian penyakit mati pucuk pada bibit jabon setelah diinokulasi isolat Botryodiplodia spp. Sidik ragam kejadian penyakit mati pucuk pad bibit jabon Class Levels Values kelompok 4 1234 perlakuan 6 ABCDEF Number of observations 24 Dependent Variable: kejadian penyakit Sum of Mean Source DF squares squares Model 8 37333.33333 4666.66667 Error 15 5850.00000 390.00000 Corrected 23 43183.33333 total R-Square 0.864531
Coeff Var 35.37030
Source
Root MSE 19.74842
Pr > F
11.97
<.0001
Kejadian penyakit Mean 55.83333
DF
Type I SS
3 5
50.00000 37283.33333
Kelompok Perlakuan
F value
Mean square 16.66667 7456.66667
F value
Pr > F
0.04 19.12
0.9878 <.0001
Uji lanjut Duncan kejadian penyakit mati pucuk pada bibit jabon Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 15 Error Mean Square 390 Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range 29.76 31.20 32.09 32.70 33.14 Perlakuan
N
Kontrol E2 E4 A5 B2 A1
4 4 4 4 4 4
1
Rata-rata kejadian penyakit 1 (%) 0 ± 0.0 c 20 ± 0 b 35 ± 34.2 b 80 ± 28.3 a 100 ± 0.0 a 100 ± 0.0 a
nilai rata-rata dengan huruf mutu yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan α=0.05
52 Lampiran 6 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon setelah diinokulasi isolat Botryodiplodia spp. Sidik ragam keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon Class Levels Values kelompok 4 1234 perlakuan 6 ABCDEF Number of observations 24 Dependent Variable: keparahan penyakit penyakit Sum of Mean Source DF squares square Model 8 21891.66667 2736.45833 Error 15 3054.16667 203.61111 Corrected 23 24945.83333 total R-Square 0.877568
Coeff Var 37.63315
Source
DF
Kelompok Perlakuan
3 5
Root MSE 14.26924
F value
Pr > F
13.44
<.0001
keparahan penyakit Mean 37.91667
Mean square 20.83333 6.94444 21870.83333 4374.16667 Type I SS
F value
Pr > F
0.03 21.48
0.9912 <.0001
Uji lanjut Duncan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 15 Error Mean Square 203.6111 Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range 21.51 22.54 23.19 23.63 23.94 Perlakuan
N
Kontrol E2 E4 A1 B2 A5
4 4 4 4 4 4
1
Rata-rata keparahan penyakit 1 (%) 0 ± 0.0 c 16.25 ± 8.5 b 8.75 ± 7.5 bc 60 ± 14.7 a 71.25 ± 8.5 a 71.25 ± 24.6 a
nilai rata-rata dengan huruf mutu yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan α=0.05
53 Lampiran 7 Gejala kehitaman pada bagian dalam batang bibit jabon yang telah berkayu
54
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada tanggal 3 Juni 1985 di Tasikmalaya, Jawa Barat, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Tarman dan Ibu Een Kurniasih. Penulis menyelesaikan pendidikan tingkat menengah atas di MAN Cipasung pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB, di Fakultas Kehutanan, Departemen Manajemen Hutan, Program Studi Budidaya Hutan, dan lulus pada tahun 2009. Pada tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Magister Sains di Program Studi Fitopatologi. Selama mengikuti program S-2, penulis pernah aktif sebagai staf di Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana IPB dan Forum Wacana EntomologiFitopatologi. Selain itu, penulis pernah mengikuti kegiatan “Summer Course Sustainable Production of Tropical Agriculture” di IPB dan “Short Stay International Program in Agricultural-Education Sustainable Development (AgESD)” di Universitas Tsukuba, Jepang.