I.
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan nasional. Salah satunya sebagai sumber penerimaan negara. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 1 yaitu besarnya kontribusi sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan menurut lapangan usaha terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang berada pada urutan ketiga pada tahun 2002 sampai 2006 setelah industri pengolahan dan perdagangan, hotel, dan restoran.
Tabel 1. Perkembangan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut Lapangan Usaha Tahun 2002-2006 (Miliar Rupiah) Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan
2002 231.613,5
2004 247.163,6 (2,8)
2005 253.726,0 (2,6)
2006 261.296,8 (0,30)
167.603,8 160.100,5 (-1,4) (-4,5) 419.387,8 441.754,9 469.952,4 (5,3) (6,4) Listrik, Gas, dan Air 9.868,2 10.349,2 10.897,6 Bersih (4,9) (5,3) Konstruksi 84.469,8 89.621,8 96.334,4 (6,1) (7,5) Perdagangan, Hotel, 243.266,6 256.516,6 271.142,2 dan Restoran (5,4) (5,7) Pengangkutan dan 76.173,1 85.458,4 96.896,7 Komunikasi (12,2) (13,4) Keuangan, Real Estate 131.523,0 140.374,4 151.123,3 dan Jasa Perusahaan (6,7) (7,7) Jasa-jasa 138.982,4 145.104,9 152.906,1 (4,4) (5,4) Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan pertumbuhan (%) Sumber : Badan Pusat Statistik, 2007 (Angka diolah)
165.085,4 (3,1) 491.421,8 (4,6) 11.584,1 (6,3) 10.483,7 (-89,1) 293.877,2 (8,4) 109.467,1 (13,0) 161.384,3 (6,8) 160.626,5 (5,0)
168.729,9 (2,2) 514.192,2 (4,6) 12.263,6 (5,9) 112.762,2 (97,57) 311.903,5 (6,1) 124.399,0 (13,6) 170.495,6 (5,6) 170.612,1 (6,2)
169.932,0
2003 240.387,3 (3,8)
2
Dalam jangka panjang, pengembangan lapangan usaha pertanian difokuskan pada produk-produk olahan hasil pertanian yang memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional, seperti pengembangan agroindustri. Salah satu lapangan usaha pertanian yang berorientasi ekspor dan mampu memberikan nilai tambah adalah tanaman perkebunan. Hal ini terlihat pada kontribusi tanaman perkebunan menurut lapangan usaha terhadap PDB. Tanaman perkebunan menurut lapangan usaha tahun 2002 sampai 2006 memberikan kontribusi terbesar kedua setelah tanaman bahan makanan setiap tahunnya. Hal ini ditunjukan pada Tabel 2.
Tabel 2. Perkembangan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan Tahun 2002-2006 (Miliar Dolar) Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan
2002
115.925,5
2003
2004
119.164,8 122.611,7 (2,8) (2,9) 36.585,6 38.693,9 38.849,3 (5,8) (0,4) Peternakan dan Hasil29.393,5 30.647,0 31.672,5 hasilnya (4,3) (3,3) Kehutanan 17.986,5 17.213,7 17.433,8 (-4,3) (1,3) Perikanan 33.082,3 34.667,9 36.596,3 (4,8) (5,6) Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan pertumbuhan (%) Sumber : Badan Pusat Statistik, 2007 (Angka diolah)
2005
125.801,8 (2,6) 39.810,9 ( 2,5) 32.346,5 (2,1) 17.176,9 (-1,4) 38.589,9 (5,4)
2006
129.211,2 (2,7) 41.081,5 (3,2) 33.309,9 (2,9) 16.784,1 (-2,3) 40.909,8 (6,0)
Persentase nilai PDB tanaman perkebunan berfluktuasi pada kurun waktu 2002 hingga tahun 2006. Hal ini tidak terlepas dari besarnya persentase ekspor pada tanaman tersebut. Pada Tabel 3, menjelaskan bahwa volume ekspor untuk
3
tanaman perkebunan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dari 11.974.201.918 kg pada tahun 2003 menjadi 18.579.806.335 kg pada tahun 2006.
Tabel 3. Perkembangan Ekspor-Impor Tanaman Perkebunan, Tahun 20032006 Tahun 2003
Ekspor 11.974.201.918
Volume (Kg) Impor 2.088.748.566
15.556.889.495 1.353.601.447 (299) (-35,1) 18.579.806.335 2.091.654.011 2005 (19,4) (54,5) 15.150.170.864 1.346.496.425 2006* (18,5) (53,6) Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan pertumbuhan (%) Sumber : Badan Pusat Statistik, 2007 (Angka diolah) *) Angka Sementara 2004
Neraca 9.885.453.352 14.203.288.048 (43,6) 16.488.152.324 (16,0) 13.803.674.439 (16,2)
Minyak aromatik merupakan salah satu olahan tanaman perkebunan. Minyak aromatik memiliki aroma yang kuat karena sifatnya yang mudah menguap pada suhu ruang. Minyak aromatik banyak digunakan untuk bahan dasar wewangian dan minyak gosok. Salah satu olahan tanaman perkebunan penghasil minyak aromatik adalah minyak atsiri dan minyak jarak. Minyak jarak yang dimanfaatkan dalam berbagai industri seperti: sabun, pelumas, minyak rem dan hidrolik, cat, pewarna, plastik tahan dingin, pelindung (coating), tinta, malam dan semir, nilon, farmasi, dan parfum. Tahun 2003 sampai 2006, ekspor minyak atsiri menunjukan trend yang meningkat. Sedangkan volume ekspor minyak jarak menunjukan adanya fluktuasi. Volume ekspor minyak atsiri lebih besar setiap tahunnya dibandingkan dengan minyak jarak. Hal ini menunjukan permintaan minyak atsiri lebih besar dibandingkan dengan minyak jarak. Hal ini dapat dilhat pada Tabel 4.
4
Tabel 4. Perbandingan Ekspor dan Impor Tanaman Perkebunan Penghasil Minyak Aromatik Indonesia, Tahun 2003-2006 (Kg)
Tahun 2003
Minyak Atsiri Volume (Kg) Ekspor Impor 1.967.736 321.333
Minyak Jarak * Volume (Kg) Ekspor Impor 200.622 2.489.689
3.230.401 1.596.474 1.019.176 (64,1) (396,8) (408,0) 3.767.561 942.860 16.112 2005 (16,6) (-40,9) (-98,4) 2.945.384 1.233.938 32.856 2006** (-21,8) (30,8) (103,9) Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan pertumbuhan (%) Sumber : Badan Pusat Statistik, 2007 (Angka diolah) *) Termasuk Bahan Baku Minyak Aromatik **) Angka Sementara
4.504.806 (80,9) 3.985.890 (11,5) 2.952.866 (-25,9)
2004
Pasar minyak atsiri sangat potensial bagi Indonesia. Indonesia menjadi salah satu negara pengekspor minyak atsiri dunia yang berada pada urutan ketiga di dunia. Ekspor minyak atsiri Indonesia tahun 2002 menghasilkan nilai sebesar US$ 47.940.000 atau 17,6 persen dari total nilai ekspor minyak atsiri di pasar dunia. Hal ini dapat ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Negara-Negara Pengekspor Minyak Atsiri Dunia, Tahun 2002 Negara pengekspor Perancis China Indonesia USA Inggris Singapura Total Sumber: ITC/Comtrade Statistic, 2003
Nilai (Ribuan US$) 93.842 50.517 47.940 34.011 24.346 21.090 271.746
(%) 34,5 18,6 17,6 12,5 8,9 7,9 100
5
Berdasarkan nilai impor tahun 2002, permintaan terhadap minyak atsiri dari semua negara pengimpor cukup tinggi. Indonesia hanya menghasilkan nilai US$ 47.940.000 padahal total nilai impor minyak atsiri dari negara- negara pengimpor mencapai US$ 354.496.000. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Negara-Negara Pengimpor Minyak Atsiri Dunia, Tahun 2002 Negara pengimpor USA Perancis Inggris Swiss Jerman Spanyol Total Sumber: ITC/Comtrade Statistic, 2003
Nilai (Ribuan US$) 120.220 87.573 48.149 36.237 32.906 29.411 354.496
(%) 33,9 24,7 13,6 10,2 9,3 8,6 100
Minyak atsiri dihasilkan dari proses pengolahan secara penyulingan dari tanaman atsiri. Berbagai jenis minyak atsiri dikembangkan di Indonesia salah satunya minyak akarwangi yang dikembangkan di Provinsi Jawa Barat. Tahun 2004, produktivitas tanaman akarwangi paling rendah bila dibandingkan dengan jenis tanaman penghasil minyak atsiri lain. Hal ini dapat ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7. Jenis Minyak Atsiri yang Diusahakan di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2004 Luas Areal (Ha) No Komoditas Produksi (Ton) 2.250,00 72,00 1. Akarwangi 32.549,99 12.683,42 2. Cengkeh 4.023,01 30.860,43 3. Jahe Kayu Manis 74,50 21,78 4. 231,16 25,89 5. Kenanga 3.364,53 1.064,35 6. Lada 1.442,75 3.283,52 7. Nilam 2.658,39 604,06 8. Pala 492,50 776,54 9. Sereh Wangi Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, 2005
Produktivitas(Kg/Ha) 32,00 606,59 11.045,25 792,00 444,23 778,80 4.082,68 309,25 1.584,78
6
Perkembangan luas lahan di Jawa Barat tahun 2000 hingga 2006 berfluktuatif. Tahun 2004 merupakan tahun yang memiliki luas lahan terbesar yaitu 32 kg/Ha dan 2.250 Ha. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 8. Akar wangi sebagai salah satu tanaman perkebunan yang bernllai ekonomis tinggi selayaknya terus dikembangkan agar dapat meningkatkan pendapatan petani, peningkatan kesempatan kerja, dan peningkatan penerimaan devisa.
Tabel 8. Perkembangan Luas Lahan Akar Wangi di Jawa Barat, Tahun 2002-2006 Tahun Luas Lahan (Ha) 2002 2003 2004 2005 2006 Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, 2006
(%) 1.253 1.917 2.250 2.035 2.045
52,9 17,3 -9,5 0,49
1.2. Perumusan Masalah Akarwangi merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan Kabupaten Garut yang memiliki arti penting bagi perekonomian daerah. Sekitar 89 persen produksi minyak akarwangi Indonesia dihasilkan dari Kabupaten Garut (Bappeda Kabupaten Garut, 2005). Hal ini didukung oleh potensi areal seluas 2.400 Ha dan realisasi luas tanam mencapai 1.733 Ha pada tahun 2006 yang tersebar di empat kecamatan. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 9.
Tabel 9. Penyebaran Luas Tanam Akarwangi di Kabupaten Garut Potensi Realisasi Luas Produksi Produktivitas Areal (Ha) Tanam (Ha) (Ton) (Ton/Ha) 1. Leles 750 683 8.196 12 2. Samarang 1.200 850 10.200 12 3. Bayongbong 250 85 1.020 12 4. Cilawu 200 115 1.380 12 Jumlah 2.400 1.733 20.796 12 Sumber: Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Garut, 2006 No
Kecamatan
7
Penanaman akarwangi dan pemberian izin usaha penyulingan minyak akarwangi diatur dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Barat No.249/A.II/5/SK/1974 dan SK Bupati Garut No.125/HK.021.1?SK/1978 jo. SK Bupati Garut No.191/HK.021.1/SK/1978. Berdasarkan SK tersebut, luas lahan penanaman akarwangi di Kabupaten Garut tidak boleh melebihi 2.400 Ha. Namun, pada tahun 2006 realisasi luas lahan yang digunakan untuk menanam akarwangi baru mencapai 1.733 Ha. Oleh karena itu, masih tersedia potensi lahan yang dapat dikembangkan sesuai dengan SK.Bupati KDH Garut No.520/SK.196HUK/90 tentang penanaman dan penyulingan akarwangi di Kabupaten Garut seluas 2.400 Ha yang tersebar di empat kecamatan. Meskipun prospek akarwangi cukup cerah, namun pada kenyataannya di lapangan upaya pengembangan usaha akarwangi masih mengalami kendala. Pengusahaan budidaya akarwangi masih dijalankan secara sederhana/tradisional oleh petani dan luas lahan yang diusahakan baru mencapai 1.733 Ha. Padahal potensi areal mencapai 2.400 Ha sesuai dengan SK Bupati KDH Garut No.520/SK.196-HUK/90. Hal ini mengindikasikan areal penanaman seluas 667 Ha belum termanfaatkan dan masih berpotensi untuk dikembangkan. Selain itu, dibutuhkan modal yang besar dalam melakukan pengembangan usaha akarwangi. Kendala lain yaitu dalam melakukan budidaya dan penyulingan yaitu adanya fluktuasi harga dan produksi. Gambar 1 merupakan gambar yang menunjukkan adanya fluktuasi harga akarwangi di Kabupaten Garut tahun 1996 hingga 2000.
8
Harga Akarwangi (Rp/kg)
450 400 350 300 250 200
19 96
1997
1998 Year
199 9
20 00
Gambar 1. Perkembangan Harga Akarwangi di Kabupaten Garut Pada Tahun 1996-2000 Selain fluktuasi harga akarwangi, adanya fluktuasi harga minyak akarwangi tahun 1996 hingga 2000 menyebabkan adanya risiko produksi. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2. Selama kurun waktu 1996 hingga 1998 terjadi peningkatan harga minyak akarwangi, namun tahun 1996 hingga tahun 1999 terdapat penurunan akarwangi. Tahun 1999 hingga tahun 2000 terdapat kenaikan harga minyak akarwangi hingga mencapai Rp.220.000/kg. g
g
y
g
p
Harga Minyak Akarwangi (Rp/ltr)
220000 200000 180000 160000 140000 120000 100000 1996
1997
1998 Year
1999
2000
Gambar 2. Perkembangan Harga Minyak Akarwangi di Kabupaten Garut Pada Tahun 1996-2004
9
Selain adanya risiko harga, terdapat risiko produksi yang menyebabkan berfluktuasinya produksi akarwangi dan minyak akarwangi. Gambar 3 menunjukkan bahwa terdapat risiko produksi akarwangi. Tahun 2002 hingga tahun 2004 terjadi peningkatan produksi akarwangi. Namun, tahun 2004 hingga 2005 terdapat penurunan produksi. Tahun 2005 hingga tahun 2006 terdapat peningkatan produksi meskipun peningkatannya cenderung kecil.
Produksi Akarwangi (ton/ha)
70 60 50 40 30 20 10 2002
2003
2004 Year
2005
2006
Gambar 3. Perkembangan Produksi Akar Wangi di Jawa Barat, Tahun 2002-2006
Perkembangan harga akarwangi dan minyak akarwangi, pada dasarnya menunjukkan berfluktuasinya harga dari tahun ke tahun. Harga akarwangi tertinggi sebesar Rp.425/kg dan terendah Rp. 175/kg Sedangkan harga minyak akarwangi tertinggi sebesar yaitu Rp. 220.000/kg dan harga minyak akarwangi terendah sebesar Rp. 105.000/kg harga terendah. Data terakhir yang diperoleh dari kegiatan survei diperoleh informasi bahwa harga tertinggi pada tahun 2007 yang
10
diterima oleh penyuling adalah sebesar Rp.582.000/kg dan terendah Rp. 466.923/kg. Kendala-kendala yang dihadapi menjadi tantangan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Garut untuk berupaya mengembangkan tanaman akarwangi. Hal ini dikarenakan akarwangi menjadi salah satu komoditas unggulan tanaman perkebunan di Kabupaten Garut. Pengembangan usaha akarwangi merupakan bagian dari strategi pembangunan pertanian yang berwawasan agribisnis dan agroindustri (Bappeda Kabupaten Garut,1994). Berdasarkan
latar
belakang
dan
permasalahan
diatas,
maka
pengembangan usaha akarwangi, yang terdiri dari kegiatan budidaya dan penyulingan di Kabupaten Garut dilakukan dengan memanfaatkan lahan yang belum diusahakan seluas 667 Ha. Hal ini sesuai dengan kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Garut yaitu luas areal penanaman maksimal 2.400 Ha yang baru termanfaatkan seluas 1.733 Ha. Lahan yang belum diusahakan tersebut diharapkan dapat digunakan secara optimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi kelayakan pengembangan usaha yang memperhatikan aspek budidaya dan pasca panen yakni kegiatan penyulingan. Penyulingan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang tidak terpisahkan dari kegiatan usaha akarwangi. tanaman akar wangi akan diolah lebih lanjut menjadi minyak akar wangi yang dilakukan oleh beberapa petani penyuling yang memiliki modal yang relatif besar bila dibandingkan dengan petani lainnya. Perhitungan atau penilaian dilakukan agar menghindari kerugian dalam penanaman modal yang terlalu besar dan melihat sasaran dari kebijakan pemerintah dalam pengembangan usaha akar
11
wangi. Selain itu, studi kelayakan usaha akarwangi di Kabupaten Garut diperlukan untuk meminimalkan risiko dalam pengembangan usaha. Dengan melakukan analisis kelayakan usaha maka dapat membandingkan antara tingkat keuntungan yang diperoleh pada kondisi normal dengan kondisi risiko. Dengan demikian, diharapkan hasil studi kelayakan usaha ini dapat memberikan informasi kepada investor untuk menarik minatnya menanamkan modal pada usaha akarwangi. Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah usaha akarwangi di Kabupaten Garut layak diusahakan? 2. Bagaimana dampak adanya risiko volume produksi dan harga output terhadap kelayakan usaha akarwangi?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan: 1. Menganalisis kelayakan usaha akarwangi di Kabupaten Garut 2. Menganalisis dampak adanya risiko volume produksi dan harga output terhadap kelayakan usaha akarwangi di Kabupaten Garut.
1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi serta masukan bagi berbagai pihak yang berkepentingan, yaitu : 1. Bagi petani dan penyuling akarwangi, penelitian ini memberikan alternatif dalam meminimalkan risiko yang terjadi dalam pengembangan usaha akarwangi.
12
2. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Garut, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan yang terkait dengan pengembangan usaha akarwangi. 3. Bagi investor/masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu referensi dalam mempertimbangkan penanaman modal di usaha akarwangi. 4. Bagi penulis, penelitian ini berguna untuk mengembangkan daya analisis kelayakan usaha berdasarkan konsep studi kelayakan usaha.