I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pertanian ke depan diharapkan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap peningkatan pertumbuhan perekonomian nasional (pro growth), penciptaan lapangan kerja bagi penduduk pedesaan (pro job), pengurangan kemiskinan (pro poor), serta pelestarian lingkungan (pro environment), dengan visi pertanian 2010-2014, yaitu “terwujudnya pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis sumberdaya lokal untuk meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, daya saing, dan kesejahteraan petani” (Rusmono, 2010). Sehubungan dengan kebijakan sektor pertanian tersebut, maka peran penyuluh dalam pembangunan pertanian dewasa ini kian diperlukan dan menempati posisi yang strategis dan menentukan bagi keberhasilan pembangunan. Penyuluh sebagai mitra kerja (partner), sebagai guru, motivator dan fasilitator, konsultan petani, penganalisis serta pengorganisasian dituntut mampu memberikan: (1) kondisi kondusif sehingga berbagai kegiatan penyuluhan sebagai proses pembelajaran petani berjalan optimal, (2) menjawab tuntutan dan tantangan dalam berbagai hal, (3) menggali dan meningkatkan kemampuan petani dalam memajukan usahataninya. Pada era otonomi daerah, secara teoritis memberi ruang inovasi bagi daerah untuk merevitalisasi kinerja penyuluhan pertanian tetapi kinerja penyuluh pertanian rendah. Hal ini disebabakan karena rendahnya pengelolaan sistem penyuluhan, profesionalisisme dan mobilisasi para penyuluh terhambat oleh aturan dan kebijakan pemerintahan setempat, administrasi sistem penyuluh yang hampir tidak ada yang berpihak kepada petani.
1
2
Kelembagaan penyuluh tidak didukung oleh dana yang memadai, pemerintah daerah cenderung mengalokasikan infrakstruktur yang dapat dilihat secara fisik dibandingkan dengan kegiatan penyuluhan yang hasilnya tidak dapat dilihat seketika itu, kemudian adanya persepsi para pengambil kebijakan bahwa kegiatan penyuluhan tidak menyumbang pendapatan asli daerah (PAD). Dampak yang timbul adalah menurunnya kinerja penyuluh pertanian. Di sisi lain klasifikasi pendidikan bagi para penyuluh ditingkatkan statusnya tetapi tidak ada kompensasi yang diberikan kepada mereka seperti tunjangan profesi, dan biaya operasional penyuluh (Kasiyani, 2007). Menurut Pusat Bina Penyuluhan Departemen Kehutanan (2005), kinerja penyuluh pertanian di Indonesia sangat rendah karena minimnya perhatian pemerintah terhadap kebutuhan penyuluh seperti tidak diberikan dana operasional penyuluh, status penyuluh pertanian belum ditetapkan, insentif dan penghargaan tidak diberikan, pembinaan karir (penetapan angka kredit) tidak terurus, penyusunan program penyuluhan tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan, sarana dan prasarana penyuluh belum memadai, kelembagaan penyuluh pertanian banyak yang dibubarkan, perekrutan penyuluh jarang dilakukan dan banyak penyuluh pertanian yang berumur tua, di sisi lain tidak ada upaya untuk pengangkatan dan penggantian tenaga penyuluh yang telah pensiun. Penyuluh banyak yang beralih status ke jabatan struktural, alokasi anggaran (pembiayaan) penyuluh pertanian sangat terbatas melalui anggaran pendapatan dan biaya negara (APBN), anggaran pendapatan dan biaya daerah (APBD) dan dana alokasi umum (DAU). Lebih lanjut dikatakan bahwa kontribusi dari petani dan swasta relatif masih kecil, motivasi dan kemampuan penyuluh baik di bidang materi maupun
3
metode masih sangat lemah karena seringnya pergantian kebijakan, koordinasi, keterpaduaan dan kemitraan antar pihak-pihak terkait belum berjalan dengan baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Swanson (1997), yang menyatakan bahwa rendahnya motivasi kerja dan moral penyuluh adalah kurangnya insentif, kurangnya fasilitas, kurangnya kesempatan promosi, dan kurangnya penghargaan yang diberikan terhadap penyuluh. Pada masa sekarang ini telah dilakukan berbagai upaya pembaharuan menuju terciptanya sistem penyuluhan pertanian yang profesional, dinamis dan efisien, yang diarahkan pada pengembangan profesionalisme penyuluh sebagai profesi yang mandiri, perwujudan jati diri penyuluh sebagai pendidik, dan mitra kerja
petani.
Profesionalisme
penyuluh
pertanian
diarahkan
untuk
mengembangkan keahlian, keberpihakan kepada petani dan peningkatan citra penyuluh pertanian, pendekatan spesifik lokasi dan keunggulan kompetitif wilayah serta efisien dalam penggunaan sumberdaya (Rasyid, 2000). Salah satu upaya pemerintah untuk mendukung hal tersebut, ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (UU-SP3K) yang mengamanahkan lembaga penyuluhan berserta penyuluh. Peran penyuluh menurut UU-SP3K tersebut di masa depan tidak hanya menyediakan berbagai ilmu dan teknologi yang mampu menjawab permasalahan pelaku utama, transformasi teknis sosial dan ekonomi, hubunganhubungan dan informasi yang dibutuhkan pelaku utama, namun dituntut kehandalan dalam mengidentifikasi: (1) berbagai masalah yang semakin kompleks seperti optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam dengan memperhatikan kelestariannya, (2) kebutuhan informasi dan teknologi pelaku utama yang di masa
4
depan (3) rencana/program penyuluhan harus berdasarkan kebutuhan masyarakat tani, (4) perumusan rencana/program hingga implementasinya, (5) pengembangan dan pembinaan potensi sumberdaya manusianya. Oleh karena itu, maka diperlukan keterlibatan pemerintah, penyuluh dan pelaku utama. Pemerintah berperan sebagai penyelenggara kegiatan penyuluhan dengan menyediakan berbagai sarana dan prasarana yang diperlukan. Penyuluh pertanian harus mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi berbagai kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi, sementara itu pelaku utama sebagai khalayak sasaran harus mampu menerima
dan mengaplikasikan dalam kegiatan
usahataninya. Penyuluh pertanian dapat dikatakan mempunyai kemampuan dan berkinerja yang tinggi apabila telah melaksanakan tugas pokok dan fungsi sesuai dengan standar indikator yang telah ditentukan. Tugas pokok dan fungsi yang tercakup dalam indikator kinerja penyuluh pertanian telah ditetapkan dalam UUSP3K Nomor 16 Tahun 2006 (Departemen Pertanian, 2010). Dalam menjalankan amanah UU-SP3K tersebut, terdapat banyak faktor yang berpengaruh terhadap kinerja penyuluh pertanian, baik berupa faktor personal maupun faktor situasional penyuluh. Faktor personal sebagai karakteristik penyuluh yang didasarkan pada latar belakang pendidikan, kemampuan, motivasi, masa kerja dan kepangkatan yang membentuk peribadinya, dan juga didasarkan pada faktor situasional yang mempengaruhi kinerja yakni program pelatihan dan dukungan sarana dan prasarana yang mendorong atau menghambat penyuluh untuk berkinerja baik. Penelitian Warhani (2004), yang melihat faktor personal dari sisi
5
kemampuan, pengalaman, motif dan persepsi, sedangkan faktor situasional dilihat dari faktor teknologi menyangkut variabel sarana dan prasarana dan faktor sosial yang meliputi variabel kelembagaan penyuluhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor personal dan situasional terdapat pengaruh yang signifikan terhadap perilaku komunikasi penyuluh pertanian. Penelitian dengan hasil serupa, juga telah dilaporkan oleh (Suhanda, et al., 2008). Faktor personal dan situasonal ini sangat penting dan saling berhubungan satu sama lainnya dalam mempengaruhi perilaku penyuluh pertanian dalam melaksanakan tugasnya. Jika faktor personal dan situasional tersebut kurang memadai, maka fungsi dan hasil penyuluhan sulit mencapai maksimal. Salah satu faktor situasional yang mempengaruhi perilaku penyuluh pertanian dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi adalah kesediaan sarana dan prasarana pendukung penyuluh pertanian, misalnya kelembagaan penyuluh pertanian sehingga menjadi pendorong bagi penyuluh dapat bekerja dengan baik, karena merasa diperhatikan oleh pemerintah dan menjadi home-base atau wadah tempat berkumpulnya para penyuluh pertanian, dan petani para pemangku kepentingan lainnya dalam kegiatan penyuluhan. Dengan adanya UU-SP3K No. 16 Tahun 2006 yang mengamatkan pembentukan kelembagaan penyuluh pertanian mulai tingkat pusat sampai ke daerah, maka di Provinsi Sulawesi Tenggara ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur Nomor: 38 Tahun 2006 tanggal 12 Desember 2006, tentang pembentukkan Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Selanjutnya diikuti dengan peraturan personil yang menduduki struktur Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan melalui keputusan Gubernur Sulawesi Tenggara Nomor 652 Tahun 2006 Tanggal
6
30 Desember 2006, sedangkan di Kabupaten Konawe berdasarkan Peraturan Bupati No. 14/2008 tentang pembentukan ”Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP4K)”. Selanjutnya diikuti dengan penyusunan personil yang akan menduduki jabatan organisasi BP4K melalui keputusan Bupati Konawe No. 233 Tahun 2008 Tanggal 31 Maret 2008 tentang Tugas Pokok dan Fungsi Jabatan Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Konawe. Dalam rangka mendukung pelaksanaan operasional penyuluhan pertanian di Kabupaten Konawe, maka pada setiap tahunnya ditetapkan pembagian wilayah kerja penyuluh pertanian berdasarkan SK Bupati Konawe Nomor: 500 Tahun 2011 dan Nomor 01 Tahun 2012 tentang penempatan penyuluh pertanian, perikanan dan kehutanan Kabupaten Konawe. Hal ini dimaksudkan agar ada pembagian wilayah kerja yang jelas sesuai dengan jumlah penyuluh pertanian yang ada. Jumlah penyuluh pertanian di Kabupaten Konawe sejak otonomi daerah dan pasca pemberlakuan UU-SP3K, berdasarkan SK Bupati Konawe Nomor: 500 Tahun 2011 dan Nomor 01 Tahun 2012 tersebut cenderung menurun dimana pada tahun 2011 penyuluh PNS berjumlah 135 orang dan pada tahun 2012 menjadi 130 orang. Jumlah penyuluh pertanian saat ini berjumlah 264 orang, yang terdiri 130 orang penyuluh PNS dan 134 orang tenaga harian lepas, sedangkan untuk penyuluh swadaya dan swasta tidak ada, masih belum imbang dengan luas wilayah binaan yang mencapai 307 desa/kelurahan yang idealnya satu penyuluh membina satu desa/kelurahan (Anonim, 2011; Anonim, 2012).
7
Kelembagaan penyuluh pertanian di Kabupaten Konawe pada era otonomi daerah yang berbentuk Balai Informasi Penyuluhan Pertanian (BIPP), telah dibubarkan karena dianggap sentralistik, lemah dalam koordinasi dan tidak efisien dalam operasional, dan dibentuknya lembaga-lembaga baru yang menjadikan kebanyakan fungsi penyuluhan pertanian tidak jelas karena digabungkan menjadi sub dinas pertanian. Aset dari kelembagaan penyuluhan pada tingkat kecamatan (BPP) yang merupakan unit fungsional BIPP dalam bentuk gedung, terbengkalai dan terlantar karena tidak difungsikan lagi atau fungsinya dialihkan menjadi aset diluar keperluan penyuluhan pertanian. Fungsi dan Peran penyuluh pertanian yang ada pada umumnya telah dialihkan
atau
sengaja
untuk
dialihkan
seperti
mendampingi
pejabat,
melaksanakan proyek-proyek pemerintah, mengurus pupuk, benih, meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), bahkan menjadi tim sukses yang sebenarnya bertentangan dengan tugas seorang penyuluh pertanian. Kebanyakan penyuluh pertanian yang senior dan memenuhin syarat telah dipromosikan oleh pengambil kebijakan (penguasa setempat) untuk menduduki jabatan-jabatan struktural yang lowong pada berbagai perangkat SKPD, sehingga menyebabkan semakin berkurangnya tenaga penyuluh pertanian pada tingkat lapangan dan tidak ada upaya untuk prekrutan tenaga penyuluh baru. Lebih lanjut berdasarkan hasil informasi yang diperoleh dari Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara menyatakan bahwa kinerja penyuluh pertanian Sulawesi Tenggara termasuk Kabupaten Konawe belum sepenuhnya baik.
8
Beberapa hasil penelitian yang sejalan dengan pendapat tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh Rohmani (2001) di Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat; Bestina (2001) di Kecamatan Tambang Kabupaten Kempar Provinsi Jawa Barat; Jahi (2006) di Kabupten Jawa Barat yang menyatakan bahwa kinerja penyuluh pertanian adalah sedang (belum optimal). Selanjutnya hasil penelitian Mokhtar (2001) di Kabupaten Kota Waringin Timur Palangkaraya; Ibrahin (2001) di Kabupaten Malang, Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Pacitan menunjukkan bahwa kinerja penyuluh pertanian belum optimal yaitu masih tergolong rendah karena belum memenuhi kebutuhan petani. Selanjutnya menurut Ibrahin (2001), rendahnya kinerja penyuluh pertanian tersebut disebabkan oleh keistimewaan jasa penyuluhan (daya saing, keahlian fungsional dan kekritisan) yang merupakan kebutuhan paling penting bagi petani belum tercapai. Kesenjangan-kesenjangan tersebut akan berpengaruh terhadap kinerja penyuluh pertanian yaitu akan lebih baik (kinerjanya tinggi) atau mengalami kemunduran atau kinerjanya rendah. Selain itu belum pernah melakukan penelitian yang komprehensif tentang tingkat kinerja penyuluh pertanian di Sulawesi Tenggara, termasuk Kabupaten Konawe sebagai salah satu sentra produksi pertanian andalan. Sebagai salah satu produksi pertanian andalan, Kabupaten Konawe terus berbena diri pasca penerapan UU-SP3K Tahun 2006 dan terbentuknya BP4K tahun 2008, dimana terlihat ada perkembangan yang signifikan dalam pemberdayaan penyuluh pertanian yakni ditunjukkan dalam hal penetapan status
9
penyuluh, perekrutan tenaga penyuluh PNS, tenaga harian lepas, tim penetapan angka kredit, penempatan penyuluh di kelurahan/desa, biaya operasional penyuluh, adanya fasilitas kendaraan, dan adanya tabloid sinar tani meskipun masih beberapa diantaranya masih minim dari yang diharapkan. Hal-hal tersebut harus diketahui agar pelaksanaan tugas penyuluh dapat bekerja dengan baik, sehingga diharapkan dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap kinerja penyuluh pertanian. Berdasarkan pada latar belakang tersebut di atas, menunjukkan perlunya studi tentang “Kinerja Penyuluh Pertanian di Kabupaten Konawe”. 1.2 Perumusan Masalah Kabupaten Konawe yang merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara yang memiliki wilayah daratan dan kepulauan sehingga menghambat dalam pelaksanaan pengurusan administrasi penyuluh dan membutuhkan waktu cukup lama (sehari) untuk sampai pada ibu kota kabupaten. Di sisi lain biaya operasional penyuluh (BOP) yang diberikan oleh pemerintah pusat (sebelum tahun 2012) sebesar Rp.250.000/bulan yang disamakan secara nasional. Pada tahun 2012 BOP yang diterima oleh penyuluh pertanian di Kabupaten Konawe, didasarkan pada petunjuk pelaksanaan penggunaan dana dekonsentrasi penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang mulai diberlakukan pada bulan Januari 2012 yaitu sebesar Rp. 400.000/bulan yang diberikan secara merata di Indonesia Wilayah Tengah termasuk Kabupaten Konawe. Informasi dan pengamatan di lapangan BOP yang diterima penyuluh pertanian tersebut dibayarkan per tiga bulan. Menurut tanggapan penyuluh pertanian besaran BOP
10
yang diterima belum layak dan belum menunjukkan asas keadilan, karena tidak mempertimbangkan kondisi topografi, tingkat kesulitan aksesibilitas dan luas wilayah binaan penyuluh pertanian, mengingat wilayah Kabupaten Konawe yang terdiri atas daratan dan kepulauan seharusnya diberikan biaya tambahan guna mendukung pelaksanaan penyuluhan pertanian. Kesulitan-kesulitan yang dialami terutama desa yang menjadi binaan penyuluh pertanian yang letaknya jauh dari ibu kota kecamatan (kantor BP3K), tidak seimbangnya jumlah penyuluh dengan jumlah desa/kelurahan binaan, tingginya ongkos transportasi mengakibatkan pelaksanaan penyuluhan pertanian di Kabupaten Konawe saat ini belum sepenuhnya optimal. Di sisi lain jumlah penyuluh cenderung mengalami penurunan, selain karena telah memasuki masa pesiun, juga karena permintaan sendiri pindah tugas ke kabupaten lain atau dipromosikan oleh pejabat yang berwewenang menjadi pejabat struktural. Data yang diperoleh dari Kantor BP4K Kabupaten Konawe menunjukkan bahwa jumlah penyuluh PNS pada tahun 2012 sebanyak 130 orang dimana pada tahun sebelumnya (tahun 2011) berjumlah 135 orang, sedangkan untuk penyuluh non PNS (tenaga harian lepas) sebanyak 134 orang, sehingga jumlah penyuluh yang ada sebanyak 264 orang belum imbang dengan luas wilayah binaan penyuluh pertanian yaitu sebanyak 307 desa/kelurahan. Dalam rangka mendukung program pemerintah sesuai dengan amanah UU-SP3K yakni satu desa satu penyuluh, maka Kabupaten Konawe pada saat ini masih kekurangan penyuluh pertanian sebanyak 43 orang. Dari segi kelembagaan BP3K yang ada di Kabupaten Konawe belum
11
sepenuhnya kondisinya baik dan sebagian status kepemilikannya masih pinjaman (ditempatkan pada kantar kecamatan). Data di Kantor BP4K menunjukan bahwa dari 30 Kecamatan yang ada, baru 19 Kecamatan yang memiliki kantor BP3K dengan kondisi bangunanan baik dan statusnya milik sendiri, 9 kecamatan yang memiliki kantor BP3K yang statusnya pinjaman dan 3 kecamatan yang memiliki kantor BP3K yang kondisinya rusak (Tabel 5.8). Kondisi status kepemilikan kantor BP3K, sangat mempengaruhi kenyamanan penyuluh pertanian di lapangan dalam berkantor karena kantor BP3K merupakan home-base bagi penyuluh pertanian PNS, penyuluh pertanian non PNS, petani dan institusi lainnya yang berkompeten dalam kegiatan penyuluhan pertanian. Keberadaan kantor BP3K yang didukung dengan sarana dan prasarana penyuluh yang memadai menjadi dorongan tersendiri bagi penyuluh pertanian dalam pelaksanaan tugasnya, dan sebaliknya ketidaktersediaan dukungan sarana dan prasarana penyuluh, akan mempengaruhi kemamnpuan dan motivasi penyuluh pertanian. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa ketersediaan dukungan sarana dan prasarana penyuluh belum sepenuhnya tersedia dan kalaupun ada kondisinya belum cukup baik, misalnya fasilitas internet di BP4K/BP3K, kesediaan alat bantu penyuluh pertanian dan sarana trasportasi baik dalam jumlah maupun dalam kualitas. Dari segi frekuensi pelatihan yang dikuti oleh penyuluh masih sangat rendah, hal ini disebabkan karena minim anggaran yang dikelalo oleh BP4K, mengakibatkan kemampuan penyuluh yang rendah pula. Rendanya frekuensi pelatihan juga mempengaruhi kepangkatan penyuluh, karena salah satu unsur penilaian angka kredit penyuluh adalah frekuensi pelatihan yang pernah diikuti oleh penyuluh pertanian.
12
Pemerintah daerah Kabupaten Konawe menyadari bahwa rendahnya dukungan sarana dan prasarana, dan frekuensi pelatihan penyuluh berdampak para kemampuan dan pelaksanaan kegiatan penyuluhan di lapangan. Para petani menginginkan penyuluh pertanian selalu hadir di lapangan, namun di sisi lain penyuluh pertanian juga terkendala keterbatasan anggaran yang dikelola oleh BP4K, sehingga penyuluh pertanian jarang mengunjungi petani. Dari segi pembinaan karir bagi penyuluh pertanian yang merupakan kewajiban Pemerintah Kabupaten Konawe, dengan maksud agar penyuluh pertanian dapat terwujud keseimbangan atau terjaminnya hak dan kewajiban bagi penyuluh pertanian dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Dalam pelaksanaan di lapangan belum berjalan dengan secara baik misalnya pemilihan penyuluh teladan. Ukuran yang selama ini digunakan untuk menentukan seorang penyuluh berprestasi atau tidak adalah daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan (DP3) yang dianggap oleh penyuluh masih bersifat subjektif. Demikian pula dengan promosi jabatan penyuluh, biasanya tidak sesuai dengan kepangkatan dan masa kerja misalnya sebagai koordinator penyuluh kecamatan (kepala BP3K). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, sering tidak sesuai dengan karir yang dimiliki, tingkat pendidikan, senioritas (masa kerja) dan kepangkatan penyuluh tetapi lebih berdasarkan keinginan atau kedekatan penyuluh dengan para pengambil kebijakan, sehingga menjadi kecemburuan bagi penyuluh lain yang memenuhi syarat, dampaknya adalah kurang termotivasinya penyuluh untuk melaksanakan kegiatan penyuluhan. Hal ini sejalan dengan pendapat Hadiyati (2008), yang menyatakan bahwa seorang akan termotivasi karena adanya harapan-harapan yang
13
ada padanya yang berkaitan dengan kebutuhannya yaitu gaji, jaminan pekerjaan, kondisi kerja, status kepegawaian, hubungan antar rekan kerja, pengakuan kemampuan, kesempatan untuk maju, adanya insentif, status kepegawaian, kepangkatan, penghargaan dan pembinaan karir. Tanpa adanya harapan-harapan menuju ke arah kemajuan, maka motivasi untuk bekerja dengan baik tidak mungkin akan dilakukan. Selanjutnya terungkap pula bahwa permasalahan pelaksanaan penyuluhan pertanian di Kabupaten Konawe dapat dilihat dari masalah perilaku dan non perilaku. Masalah perilaku antara lain: (1) keterampilan para penyuluh dalam pelaksanaan tugas pokok masih rendah, (2) pengetahuan, keterampilan dan sikap para penyuluh, pelaku utama, pelaku usaha dalam upaya pemberdayaan kelompoktani/gapoktan masih rendah, (3) belum ditetapkannya sistem kerja spesifik lokasi (4) metode penyuluhan yang dapat dilaksanakan oleh para penyuluh sebagian besar masih berupa kunjungan, ceramah, diskusi, (5) koordinasi, integrasi dan sinkronisasi penyelenggaraan penyuluhan dalam mendukung keberhasilan program pembangunan pertanian masih lemah, sedangkan masalah non perilaku antara lain: (1) keterbatasan sarana dan prasarana pengembangan usaha (banyak kerusakan jaringan jalan usahatani, belum jelasnya status kepemilikan lahan, rendahnya ketersediaan alat mesin pengolah lahan maupun pasca penen, rendahnya ketersediaan benih unggul bermutu, pupuk anorganik, pestisida, obat-obatan ternak, racun, vaksin), (2) keterbatasan modal petani dalam pengembangan usaha, (3) jaminan pemasaran dengan tingkat harga yang menguntungkan (Anonim, 2011). Berdasarkan kondisi kinerja penyuluh dan pemasalahan-permasalahan
14
yang ada pada latar belakang yang memperngaruhi kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten Konawe, maka pertanyaan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Seberapa besar tingkat kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten Konawe dan apa penyebabnya ? 2. Seberapa besar pengaruh faktor motivasi penyuluh, kemampuan penyuluh, tingkat pendidikan penyuluh, masa kerja penyuluh, kepangkatan penyuluh, frekuensi pelatihan penyuluh, serta dukungan sarana dan prasarana penyuluh terhadap tingkat kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten Konawe ? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk menganalisis tingkat kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten Konawe dan apa penyebabnya. 2. Untuk menganalisis pengaruh faktor motivasi penyuluh, kemampuan penyuluh, tingkat pendidikan penyuluh, masa kerja penyuluh, kepangkatan penyuluh, frekuensi pelatihan penyuluh, serta dukungan sarana dan prasarana penyuluh terhadap tingkat kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten Konawe. 1.4 Kegunaan Penelitian 1. Bagi penyuluh pertanian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kinerja penyuluh pertanian, sehingga di masa yang akan menjadi bahan masukan bagi instansi terkait sebagai dasar pembuatan kebijakan yang dapat meningkatkan kinerjanya. 2. Bagi lembaga penyuluhan pertanian, penelitian ini diharapkan berguna sebagai kontribusi pemikiran yang dapat dipertimbangkan oleh pengambil kebijakan di
15
dalam menyusun berbagai kebijakan yang relevan dengan permasalahan kinerja organisasi penyuluhan pertanian. 3. Bagi pemerintah daerah dan pihak yang berkompoten (Stakeholders), hasil penelitian diharapkan sebagai bahan masukan dan penentuan kebijakan penataan kelembagaan penyuluhan pertanian kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tenggara yang sesuai dengan amanah Undang-Undang No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. 4. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan referensi mengenai permasalahan kinerja penyuluh pertanian dan faktor-faktor yang mempengaruhi, dan juga menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya. 1.5 Keaslian Penelitian Berbagai teori yang menjelaskan mengenai kinerja individu dalam suatu organisasi seperti teori motivasi dan kepuasan kerja, teori kepemimpinan, dan teori peranan menyebutkan bahwa sejumlah variabel sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja. Sejauh ini, belum ada penelitian yang menunjukkan faktor-faktor yang berlaku umum untuk kinerja individu dalam segala jenis pekerjaan. Joyce dan Slocum (1984), menemukan bahwa iklim organisasi mempunyai potensi yang nyata mempengaruhi kinerja individu. Selanjutnya Schamidt, et al., (1986), yang menyatakan bahwa kinerja manusia terutama merupakan fungsi dari karakteristik individu, sedangkan pendapat lain, kinerja merupakan fungsi dari pengaruh-pengaruh situsional (Peters dan O’Conners, 1980). Penelitian Bestina dan Mokhtar menggunakan ukuran kinerja resposivitas,
16
resposibilitas dan kualitas layanan, sedangkan pada peneliti lainnya memfokuskan pada budaya organisasi, hubungan antar organisasi, persepsi penyuluh, prosedur penyuluhan, Mutu bahan penyuluhan, Mutu penyuluh, dan fasilitas penyuluhan, karakteristik pribadi petani, tuntutan kebutuhan memperoleh informasi pertanian, kekondusifan faktor lingkungan, kualitas sumber informasi pertanian, kemudahan mendapatkan informasi pertanian, dan penyediaan informasi pertanian. Variabel indikator kinerja bukan hanya mengacu pada buku kerja penyuluh pertanian 2010 melainkan dengan mengkobinasikan dengan indikator kinerja yang sesuai dan mencerminkan pelaksanaan penyuluhan menurut berbagai kajian pustaka (teori) dan indikator kinerja yang digunakan di lapangan. Indikator kinerja penyuluh pertanian yang dilakukan oleh penelitian sebelumnya yaitu responsivitas, responsibilitas, akuntabilitas, kualitas layanan, efektivitas dan efisiensi (Lenvine, et al., 1990; Swanson, 1997; Bestina, 2001; Mokhtar, 2001). Variabel motivasi pada penelitian sebelumnya mengunakan teori yang dikembangkan oleh Maslow, teori ERG (Alderfer), dan teori Herzberg, sedangkan pada penelitian ini menggunakan teori motivasi dari Mc Clelland. Variabel kemampuan penyuluh yang digunakan oleh Bestina (2001), ditinjau dari segi kemampuan penguasaan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan komunikator. Kemampuan komunikator dilihat dari kejelasan materi, sistematika penyajian, kemampuan menjawab pertanyaan dan solusinya. Dalam penelitian ini, variabel kemampuan penyuluh menggunakan konsep yang berbeda yakni (1) kemampuan penyuluh sebagai komunikator dilihat dari (a) penggunaan bahasa (bahasa Indonesia dan bahasa daerah), (b) menyampaikan pesan, dan (c) penguasaan khalayak/sasaran, (2) kemampuan penyuluh sebagai edukator yakni
17
(a) kemampuan menguasai materi, dan (b) kemampuan menerapkan metode penyuluhan, (3) kemampuan penyuluh sebagai motivator, (4) kemampuan penyuluh sebagai inovator, (5) kemampuan penyuluh sebagai fasilitator dan (6) kemampuan penyuluh sebagai organisator. Variabel lingkungan kerja yang mempengaruhi kinerja penyuluh sepengetahuan penulis belum banyak diteliti oleh penelitian sebelumnya. Para peneliti terdahulu lebih banyak meneliti lingkungan organisasi sektor publik dan swasta terutama pada iklim organisasi. Pada variabel yang sama yaitu dukungan sarana dan prasarana, pada panelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rohmani melihat pada ketersediaan sarana produksi yang diperlukan dalam kegiatan usahatani seperti pupuk, obat-obatan, benih, pestisida serta sarana fisik pertanian seperti saluran irigaasi, lembaga perkreditan, koperasi, dan penyalur sarana produksi. Selanjutnya hasil penelitian Wardhani, melihat lingkungan tempat penyuluh pertanian dari struktur kelembagaan dan sarana kerja. Pada penelitian ini lingkungan kerja lebih spesifik pada dukungan sarana dan prasarasa seperti kelayakan fisik kantor BP4K, BP3K dan RPH, kelayakan jumlah dan pakai perabot kantor, kelayakan alat tulis kantor, kelayakan alat transportasi penyuluh, kelayakan alat bantu audio, visual dan audio-visual, ketersediaan sumber informasi media cetak pertanian dan internet, ketersediaan mesin-mesin pertanian/peternakan, ketersedian sarana perghubungan, ketersediaan sarana transportasi publik, dan ketersediaan BOP yang bersumber dari APBN dan APBD. Variabel frekuensi pelatihan pada penelitian sebelumnya melihat pada kesempatan mengikuti pelatihan fungsional. Pada penelitian ini melihat aspek
18
yang lebih luas yaitu frekuensi pelatihan yang pernah diikuti baik pelatihan fungsional maupun pelatihan teknis pertanian lainnya yang pernah diikuti oleh penyuluh pertanian. Penyuluh pertanian dalam melaksanakan penyuluhan dipengaruhi oleh faktor personal yakni motivasi penyuluh, kemampuan penyuluh, tingkat pendidikan penyuluh, masa kerja penyuluh, dan kepangkatan penyuluh dan lingkungan kerja yakni frekuensi pelatihan penyuluh, dukungan sarana dan prasarana penyuluh. Faktor personal dan situasional penyuluh tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Variabel personal, peneliti berpendapat akan memberi kontribusi terhadap kinerja seseorang. Demikian pula dengan variabel situasional, akan memberi pengaruh yang bermakna terhadap kinerja penyuluh pertanian, memiliki kekuatan yang besar dalam menentukan perilaku manusia, bahkan terkadang kekuatannya lebih besar terhadap karakteristik individu seperti (variabel motif, nilai-nilai, dan sifat kepribadian). Sasaran penelitian ini adalah mengkaji kinerja penyuluh pertanian berdasarkan faktor personal yakni kemampuan, motivasi, tingkat pendidikan, masa kerja, dan kepangkatan dan faktor situasional yaitu frekuensi pelatihan dan dukungan sarana dan prasarana) dengan indikator yang berbeda dan belum diamati oleh peneliti terdahulu. Pada variabel yang sama yang sudah diteliti sebelumnya seperti motivasi, kemampuan penyuluh, pelatihan penyuluh, sarana dan prasarana, selain melengkapi penelitian terdahulu dengan menggunakan konsep operasional yang berbeda. Dengan demikian, penelitian ini bersifat spesifik dan baru karena mengkaji ”teori kinerja” yaitu merupakan fungsi dari
19
motivasi, kemampuan dan lingkungan. Adapun indikator kinerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) tersusunnya programa penyuluhan pertanian, (2) tersusunnya rencana kerja tahunan (RKT) penyuluh pertanian, (3) tersusunnya data peta wilayah untuk pengembangan teknologi spesifik lokasi, (4) terdiseminasinya
informasi
teknologi
pertanian
secara
merata,
(5)
tumbuhkembangnya keberdayaan dan kemandirian pelaku utama dan pelaku usaha, (6) ) terwujudnya kemitraan usaha pelaku utama dan pelaku usaha yang menguntungkan, (7) terwujudnya akses pelaku utama dan pelaku usaha kelembaga keuangan, informasi, sarana produksi, (8) responsivitas, (9) responsibilitas, (10) akuntabilitas, (11) kualitas layanan, (12) efisiensi dan (13) efektivitas (Departemen Pertanian, 2010; Lenvine, et al., 1990; Swanson, 1997; Bestina, 2001; Mokhtar, 2001). Memperhatikan indikator-indikator kinerja penyuluh pertanian yang ditetapkan oleh Departemen Pertanian (2010), hasil penelitian terdahulu, indikator yang digunakan di lapangan, maka perlu dijadikan sebagai indikator untuk mengukur kinerja penyuluh pertanian.
20
Untuk lebih jelasnya penelusuran terhadap hasil penelitian terdahulu dapat disajikan pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Matrik Hasil Penelusuran Penelitian Terdahulu No
Nama Peneliti
1.
Bestina, 2001
Judul Penelitian
Kinerja Penyuluh Pertanian dalam Pengembangan Agribisnis Nenas, Tahun 2001 2. Mokhtar Kinerja Lembaga , 2001 Penyuluhan Pertanian dan Adopsi Inovasi Kedelai Serta Implikasinya Pada Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Kabupaten Kotawaringin Timur, Tahun 2001 3. Rohmani, Kinerja Penyuluh 2001 Pertanian Dalam Pelaksanaan Tugas Pokoknya
Variabel Yang diamati Eksternal Internal 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Program Ketersediaan teknologi Pelatihan Sikap Petani Partisipasi Petani Status dan kedudukan Struktur organisasi Kualitas manajemen Kohesi organisasi Pembiayaan Sarana prasarana Daya dukung SDM
Pengguna (Petani): 1. Pola Usahatani 2. Ketersediaan sarana dan prasarana Pertanian 3. Komoditas utama yang diusahakan 4. Produktivitas
Penyuluh : 1. Ketersediaan sarana dan
1. Motivasi 2. Kemampuan penyuluh
1. Kebijaksanaan penyuluhan pert. 2. Dukungan pemda 3. Jaringan tugas 4. Peran BPTP 5. Peran lembaga saprodi (modal, pemasaran) 6. Karakteristik petani (Sikap, Pendidikan dan orientasi produksi) Pengguna (petani): 1. Umur 2. Pengalaman Petani 3. Posisi dalam kelompok Tani 4. Motivasi 5. Partisipasi 6. Tingkat kepuasan Petani Penyuluh : 1. Jabatan fungsional
Lokasi
Hasil Penelitian
Kec. Tambang Kab. Kampar Prov. Riau Kab. Kota Waringin Timur Palangkaraya
Kinerja penyuluh pertanian (sedang atau belum optimal) utamanya responsivitas, responsiblitas & kualitas layanan.
Kab. Cianjur Provinsi Jawa barat
(1) kinerja penyuluh dalam kategori sedang (40,66 %) yaitu kategori rendah yang diharapkan dalam SK. Menkowasbangpan No.19/kep.MK.Waspan/5/1999, (2) faktor internal penyuluh yang berpengaruh sangat nyata adalah jenjang jabatan fungsional, umur, gol, dan masa kerja penyuluh. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh adalah komoditi dominan dalam di wilayah binaan, (3) kinerja penyuluh menurut petani adalah kategori tinggi,
(1) kinerja lembaga (responsivitas, responsibilitas dan kualitas layanan) kepada petani belum optimal (sedang) (2) faktor internal (mendekati baik) (3) faktor eksternal (mendekati baik).
21
prasarana yang diperlukan 2. Sistem penghargaan (reward-System) 3. Komoditas dominan di wilayah kerja 4. Kondisi kerja
4.
2. Umur 3. Pendidikan formal 4. Golongan 5. Masa kerja 6. Motivasi 7. Persepsi terhadap tugas pokok 8. Persepsi tentang sistem penghargaan (reward-system) 9. Tingkat kepuasan sebagai penyuluh 10. Pelatihan penyuluh yang pernah diikuti Variabel yang diamati yang berhubungan dengan kinerja penyuluhan pertanian adalah persepsi penyuluh pada kebijakan organisai penyuluhan, prosedur-prosedur penyuluhan pertanian, Mutu bahan penyuluhan pertanian, Mutu penyuluh, dan fasilitas penyuluhan.
Ibrahim, Kajian Reorientasi 2001 Penyuluhan Pertanian ke arah pemenuhan Kebutuhan Petani di Provinsi Jawa Barat 5. Wardhani, Pengaruh Faktor Variabel yang diamati yaitu: 2004 Personal dan (1) faktor personal; kemampuan pengalaman, Faktor Situsional persepsi dan motif, terhadap Perilaku (2) faktor situsional; lingkungan tempat penyuluh Komunikasi pertanian yaitu struktur kelembagaan Penyuluh Pertanian penyuluhan dan sarana kerja, dan Efeknya (3) perilaku komunikasi penyuluh pertanian terhadap mencakup; pengetahuan, keterampilan Keberhasilan komunikasi, dan intensitas komunikasi. Penyuluh (Studi di Tiga Kab. di
(4) faktor internal petani yang berpengaruh nyata adalah partisipasi petani dan tingkat kepuasan petani. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh nyata adalah komoditas yang diusahakan dan produktivitas.
Kab. Malang, Kab. Lumajang, dan Kab. Pacitan
(1) kinerja penyuluhan pertanian belum memenuhi kebutuhan petani, (2) kinerja penyuluh masih rendah, (3) produk jasa penyuluhan pertanian sebagai jasa layanan publik belum bisa dikatakan bermutu.
Kab. (1) ada interaksi antar faktor personal dengan faktor Indramayu, situasional dan dipengaruhi oleh perilaku kab. komunikasi penyuluhan pertanian, Bandung (2) perilaku komunikasi penyuluh pertanian dan kab. berpengaruh terhadap keberhasilan penyuluh Tasikmapertanian, laya. (3) aksesiblitas penyuluh dan petani terhadap informasi pertanian masih didominasi oleh komunikasi interpersonal, (4) akses informasi pertanian terhadap media cetak dan media elektonik, baik penyuluh maupun
22
6.
7.
8.
9.
Provinsi Jawa Barat). Raya, Pengaruh Budaya 2006 Organisasi Terhadap Kinerja BIPP Kulon Progo Jahi, Kinerja Penyuluh Amri & Pertanian di Ani Beberapa Leilani Kabupaten di 2006. Jawa Barat Tamba, Kebutuhan 2007. Informasi Pertanian dan Aksesnya bagi Petani Sayuran : Pengembangan Model Penyediaan Informasi Pertanian dalam Pemberdayaan Petani, Kasus di Provinsi Jawa Barat. Suhanda, Kinerja Penyuluh 2008. Pertanian di Jawa Barat
petani sangat minim. Budaya Organisasi dan Hubungan Antar Organisasi.
Kab. Kulon Progo
Budaya organisasi BIPP mencapai 65,46 %, Hubungan antar organisasi 79,82, dan kinerja 68,96 %.
Kab. Di Jawa Barat.
Skor kinerja penyuluh pertanian di beberapa Kabupaten di Jawa Barat berada pada kategori sedang.
Variabel yang diamati yaitu : (1) karakteristik pribadi petani, (2) tuntutan kebutuhan memperoleh informasi pertanian, (3) kekondusifan faktor lingkungan, (4) kualitas sumber informasi pertanian, (5) kemudahan mendapatkan informasi pertanian, (6) penyediaan informasi pertanian, (7) tingkat keberdayaan petani sayuran terhadap kemampuannya kualitas SDM petani sayuran.
Kab. Bogor, Cianjur dan Bandung.
(1) penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Provinsi Jawa Barat mengalami distorsi, karena tidak adanya satu kesatuan kelembagaan manajemen penyuluhan, mengakibatkan rendahnya motivasi dan kinerja penyuluh, (2) kemampuan petani, kualitas mengakses informasi sangat rendah, (3) faktor lingkungan seperti: lingkungan fisik, lingkungan sosial, ketersediaan informasi, kondisi megapolitan, serta kebijakan bidang penyuluhan umumnya masih kurang kondusif.
Mengidentifikasi beberapa kinerja penyuluh: (1) sejauhmana karakteristik penyuluh pertanian, (2) berhubungan dengan kinerja penyuluh pada tipe kelembagaan dan wilayah komoditi yang berbeda
Di Provinsi (1) sebagian besar penyuluh di Jawa Barat pada usia Jawa menjelang pensiun dengan masa kerja 28 tahun, Barat. dan tingkat pendidikan S1/S2 swasta. (2) penyuluh pertanian sudah melaksanakan dengan baik pada bidang-bidang; pelibatan tokoh masyarakat, penumbuhan kelompoktani, penyusunan rencana kerja, penerapan metode penyuluhan, dan penyusunan program.
23
10.
Kusmiy ati, dkk, 2010
Kinerja Penyuluh (1) mengetahui faktor internal dan eksternal Pertanian PNS penyuluh yang mendukung pelaksanaan Dalam TUPOKSI sebagai penyuluh PNS Melaksanakan (2) mengetahui kinerja penyuluh pertanian PNS di TUPOKSI di BP3K Cibungbulang dalam melaksanakan Kabupaten Bogor TUPOKSI (Kasus di BP3K Cibungbulang).
Kab. Bogor (kasus di BP3K Cibungbulang)
Bidang-bidang yang lemah; penyusunan materi, penumbuhan keswadayaan, dan keswakarsaan petani, tata laksana kantor, penumbuhan kelembagaan ekonomi pedesaan, analisis potensi dan kebutuhan petani. Bidang yang relatif kurang baik; evaluasi dan pelaporan, pengembangan profesionalisme, serta pengembangan dan kemitraan. (3) terdapat perbedaan kinerja penyuluh pada kelembagaan kantor penyuluhan dan non kantor penyuluhan. (4) karakteristik penyuluh yang erat hubungan dengan kinerja adalah; usia, masa kerja, institusi sekolah, pelatihan, motivasi berprestasi, kesempatan pengembangan karir, tingkat kewenangan dan tanggungjawab, makna pekerjaan, insentif, pembinaan dan supervisi, serta kondisi kerja. Faktor internal penyuluh pertanian yang mendukung kinerja dalam melaksanakan tupoksi di BP3K Cibungbulang adalah tingkat pendidikan formal. Sebagian besar penyuluh pertanian PNS di BP3K Cibungbulang adalah berpendidikan DIV/S1. Sedang faktor usia penyuluh yang sebagian besar (50 %) berusia lebih dari 52 tahun masih produktif untuk mendukung kinerja. Dari 9 indikator keberhasilan penyuluh pertanian PNS dalam melaksanakan TUPOKSI, 7 indikator termasuk kategori baik, sedangkan kategori sedang ada dua inditator yaitu memotivasi petani dan meningkatkan peran dalam pembangunan pertanian dan pengembangan swadaya dan swakarsa petani.
24
11. Hamzah, 2011
Faktor Penentu Kinerja Penyuluh Pertanian di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara
Fariabel yang diamati adalah : (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi dan memiliki hubungan terhadap tingkat kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara, (2) merumuskan strategi penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara.
Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara
12.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Penyuluh Pertanian dan Dampaknya Pada Kompetensi Petani Kakao di Empat wilayah Sulawesi Selatan
Fariabel yang diamati adalah: (1) mengidentivikasi faktor-faktor individu penyuluh pertanian yang mempengaruhi kinerja mereka, (2) menjelaskan hubungan faktor-faktor individu penyuluh yang mempengaruhi kinerja mereka, (3) menjelaskan dampak kinerja penyuluh pertanian dan kompetensi ketua kelompok tani terhadap kompentensi petani kakao di Sulawesi Selatan.
Di Empat Wilayah Sulawesi Selatan
Sapar, 2011
(1) rendahnya kinerja penyuluh pertanian disebabkan oleh rendahnya aspek kompetensi perencanaan, pelaksanaan, dan pengevaluasian program penyuluhan, pemanfaatan media, kompetensi penerapan prinsip-prinsip belajar orang dewasa, persepsi penyuluh terhadap pekerjaan, dukungan penghargaan, masa kerja penyuluh, umur, kompetensi berkomunikasi, dukungan supervisi dan monitoring, partisipasi aktif masyarakat dan intensitas pelatihan. (2) strategi penyelenggaraan penyuluhan yang tepat adalah (a) meningkatkan kemampuan kelompok tani melalui peningkatan kompetensi penyuluh dalam pelaksanaan program penyuluhan, (b) meningkatkan kesadaran penyuluh dalam memanfaatkan media penyuluhan melalui pembuatan materi-materi penyuluhan, (c) meningkatkan persepsi penyuluh terhadap tugas melalui peningkatan kompentesi fungsional, (d) meningkatkan partisipasi aktif masyarakat melalui kegiatan penyuluhan secara partisipatif, demokratis dan kontinyu. Faktor-faktor individu penyuluh pertanian yang mempengaruhi kinerja mereka adalah : (1) kompetensi, motivasi dan kemandirian, (2) terdapat hubungan yang lemah antara faktorfaktor individu penyuluh yang mempengaruhi kinerja mereka (3) kinerja penyuluh pertanian dan kompetensi ketua kelompok tani berdampak pada kompetensi petani.