I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam dua dasawarsa terakhir perkembangan perekonomian dunia telah mengalami perubahan relatif pesat. Beberapa perubahan tersebut ditandai oleh: (1) mulai bergesernya gravitasi perekonomian dari kawasan Atlantik yang lebih didominasi oleh Amerika Serikat dan Eropa, ke kawasan Pasifik yang yang dimotori oleh Jepang dan diikuti oleh kekuatan-kekuatan baru (Asia Timur dan Asia Tenggara), (2) semakin lancarnya pergerakan produk dan jasa antar negara sebagai dampak dari liberalisasi perdagangan, dan (3) berdirinya organisasi perdagangan dunia (OPD) atau World Trade Organisation (WTO). OPD adalah suatu lembaga yang bertujuan untuk menciptakan liberalisasi perdagangan terutama di sektor pertanian. Negara-negara yang tergabung dalam OPD dituntut untuk menghapus semua hambatan perdagangan atau setidaktidaknya dilakukan secara bertahap. Saat ini hampir semua negara mulai mengurangi tarif terhadap produk dan jasa yang masuk dari negara lain. Bersamaan dengan dilaksanakannya liberalisasi perdagangan, tingkat keterbukaan setiap negara di dunia pun semakin meningkat. Salah satu indikasinya terlihat dari proporsi ekspor terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) setiap negara (Tabel 1). Berdasarkan tabel tersebut, 103 dari 160 negara di dunia memiliki proporsi ekspor diatas 35 persen dari PDB masing-masing, 35 negara memiliki proporsi ekspor antara 25 persen s/d 34 persen dari PDB, dan 20 negara memiliki proporsi 10 persen s/d 24 persen dari PDB mereka dan hanya dua negara yang memiliki proporsi di bawah 10 persen (World Bank, 2008).
2
Tabel 1. Rasio Ekspor terhadap Produk Domestik Bruto Negara-negara di Dunia No 1
Rasio Ekspor terhadap PDB >35 persen
Jumlah Negara 103
2 3 4
25 s/d 34 10 s/d 24 persen <10 persen
35 20 2
Sumber: World Bank (2008) Sudah banyak peneliti yang mengkaji dan menganalisis dampak liberalisasi perdagangan internasional terhadap perekonomian antara lain: Michaely (1977), Heller dan Porter (1978), Balassa (1982), Tyler (1981), Kavoussi (1984), Devaragan et al. (1990), Feder (1992), Matusz et al. (1999), Anggarwal dan Agmon dalam Wijaya (2000), Wijaya (2000), Oktaviani (2000), Paulino (2000), Lopez (2003) , Jensen and Tarp (2003) , Hakim (2004), Walsh et al. (2005), Matthews (2005), dan Brooks dan Sugiyarto (2005). Dari survey literatur diatas dapat diketahui bahwa temuan tentang dampak liberalisasi perdagangan ternyata masih beragam.
Pemberlakuan perdagangan
bebas secara umum telah memunculkan dua pandangan yang berbeda. Sebagian peneliti menemukan bahwa perdagangan bebas dapat menguntungkan negaranegara yang melakukannya. Namun demikian terdapat pula peneliti yang menemukan dampak negatif dari liberalisasi perdagangan. Dari sejumlah peneliti yang telah disebutkan diatas, mereka yang menemukan dampak positif dari liberalisasi adalah Michaely (1977), Heller dan Porter (1978), Balassa (1982), Tyler (1981), Kavoussi (1984), Feder (1992), Wijaya (2000), Oktaviani (2000), dan Paulino (2000). Namun demikian, tidak
3
sedikit pula peneliti yang menemukan bahwa perdagangan bebas telah menimbulkan efek negatif pada perekonomian suatu negara. Temuan tersebut antara lain dikemukakan oleh Devaragan et al. (1990), Matusz et al. (1999), Anggarwal dan Agmon dalam Wijaya (2000), Paulino (2000), Lopez (2003), Jensen and Tarp (2003), Walsh at al. (2005), dan Brooks dan Sugiyarto (2005). Devaragan et al. (1990) menunjukkan bahwa perubahan term of trade (TOT) pada negara-negara Afrika telah menimbulkan efek pendapatan yang menyebabkan permintaan produk untuk kebutuhan domestik meningkat dengan kecendrungan impornya lebih tinggi. Menurut Devaragan, yang terjadi bukanlah perbaikan ekonomi negara-negara tersebut akan tetapi justru memperburuk neraca pembayaran (balance of trade) negara tersebut. Hasil penelitian ini kemudian diperkuat oleh Aggarwal dan Agmon dalam Wijaya (2000), yang menunjukkan bahwa justru negara investor asing di negara berkembang yang menikmati sukses, sedangkan manfaat bagi negara berkembang masih menjadi pertanyaan. Temuan Agmon dan Aggarwal konsisten dengan Tambunan (2008). Bila merujuk kepada peta perusahaan multinasional di dunia, sebagian besar perusahaan yang melakukan aktivitas di negara berkembang adalah perusahaan multinasional atau multinational corporations (MNCs). Sebagian besar rantai produksi dan pemasaran termasuk pangan dunia mulai dari industri input pertanian, usaha tani, pengolahan dan pedagang, dan pengecer pangan merupakan perusahan multinasional yang berasal dari negara maju. Kondisi ini sungguh ironis karena sebagian besar komoditi pangan adalah merupakan komoditi strategis di negara-negara berkembang. Negara berkembang hanyalah tempat
4
memperoleh bahan baku murah, tempat berproduksi dengan memanfaatkan tenaga kerja murah, serta menjadi konsumen terbesar dari produk MNCs. Menurut Muchtar (2004), terdapat berbagai konflik diantara negara-negara anggota. Masing-masing negara atau kelompok berupaya mempertahankan kepentingannya. Faktor ini pulalah yang diduga kuat menjadi penyebab pertemuan WTO seringkali gagal. Salah satu contoh konkrit kegagalan WTO terjadi pada pertemuan para perwakilan negara pada konferensi tahunan di Jenewa yang berlangsung dari tanggal 21 sampai dengan 27 Juli 2008. Di dalam tubuh WTO terdapat lebih dari 150 negara anggota dengan tingkat perekonomian yang beragam. Secara umum terdapat dua kelompok besar yang memiliki kepentingan yang seringkali berbeda. Dua kelompok tersebut adalah negara berkembang dan negara maju. Negara maju terutama dimotori oleh Uni Eropa, Amerika Serikat dan Jepang, sementara negara berkembang mengelompok kedalam beberapa group diantaranya adalah G33. Dalam hampir setiap perundingan, perdebatan antara dua kelompok tersebut selalu muncul. Negara-negara maju mendesak negara-negara berkembang untuk menghapus atau setidak-tidaknya mengurangi tarif impor produk-produk pertanian, sebaliknya negara berkembang menginginkan agar diberikan hak untuk memberlakukan tarif khusus pada komoditas strategis di negara masing-masing. Diantara Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang telah dilakukan oleh WTO, perundingan yang dinilai oleh banyak pihak cukup berhasil adalah KTM VI WTO di Hong Kong 2005. KTM tersebut menyepakati penghapusan 3 (tiga) pilar negosiasi di sektor pertanian yakni: dukungan domestik (domestic support), subsidi ekspor (export subsidy), dan akses pasar (market access) pada tahun 2013.
5
Jika penghapusan hambatan perdagangan tersebut betul-betul dilakukan secara konsisten, maka kebijakan tersebut diperkirakan akan berdampak kepada perekonomian negara-negara anggota. Oleh karena itu perlu ditemukan jawaban tentang negara manakah yang akan diuntungkan oleh liberalisasi perdagangan pertanian ini. Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan suatu kajian ilmiah yang diharapkan bisa menjadi dasar pengambilan kebijakan, sehingga setiap negara dapat memperoleh manfaat dari liberalisasi perdagangan pertanian tersebut. Jawaban ini amat dibutuhkan, mengingat sebagian besar anggota WTO adalah negara berkembang yang rakyatnya hidup dari sektor pertanian dengan tingkat daya saing yang rendah. Kondisi ini akan menyebabkan negara berkembang rentan dengan serbuan impor. Dampak selanjutnya adalah sulitnya perkembangan produksi dalam negeri terutama untuk komoditi strategis, menurunnya permintaan akan tenaga kerja, yang akhirnya akan menyebabkan ketimpangan kesejahteraan antara negara maju dan berkembang semakin lebar. Atas alasan tersebut, penelitian tentang dampak liberalisasi perdagangan di sektor pertanian terhadap perekonomian negara maju dan berkembang termasuk Indonesia amat diperlukan. Alasan tersebut menjadi dasar munculnya penelitian ini. 1.2. Perumusan Masalah Kebijakan WTO yang masih memperkenankan negara maju memberikan dukungan domestik dan subsidi ekspor bagi produsen dan eksportir pertanian di negara-negara itu, serta menerapkan tarif terhadap produk impor pertanian yang berasal dari negara berkembang berpotensi untuk menciptakan ketimpangan
6
dalam peta aliran perdagangan pertanian dunia. Sebaliknya, liberalisasi perdagangan akan memunculkan dilema berupa peluang dan tantangan. Di satu sisi sebagian negara anggota mendapatkan peluang untuk meningkatkan ekspor, namun di sisi lain sebagian negara yang tidak memiliki keunggulan komparatif akan berperan sebagai pemasok produk impor sehingga akan cenderung dirugikan. Untuk mengetahui negara mana saja yang mendominasi perdagangan pertanian dunia perlu diketahui peta aliran perdagangan dunia saat ini. Data awal menunjukkan bahwa saat ini liberalisasi perdagangan pertanian yang berlangsung diantara negara maju dan berkembang belum berjalan sesuai harapan. Distorsi perdagangan yang menjurus kepada ketidak-adilan masih dilakukan negara maju dan masih diperkenankan pula oleh WTO. Negara maju terutama Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang memberikan bantuan domestik dan subsidi ekspor yang besar kepada produsen dan eksportir pertanian mereka. Disamping itu, negara maju ternyata menerapkan tarif impor yang besar terhadap komoditi yang berasal dari negara berkembang. Jepang bahkan merupakan negara yang paling memproteksi pertanian mereka dari impor. Negara ini bahkan menerapkan rata-rata tarif impor 80 persen (Database GTAP 6.2) dan merupakan tarif yang tertinggi di dunia. Kebijakan negara maju yang masih tetap bertahan dengan dukungan domestik, subsidi ekspor dan pengenaan tarif mengindikasikan adanya keraguan terhadap prospek komoditi pertanian mereka setelah penghapusan hambatan perdagangan. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah: jika kedua belah pihak meliberalisasi perdagangan pertanian, apakah semua negara bisa memperoleh dampak ekonomi yang positif? Jawaban ini penting agar dapat diketahui dampak liberalisasi yang sesungguhnya. Untuk
7
menjawab pertanyaan ini, perlu dilakukan analisis dampak penghapusan hambatan perdagangan terhadap perekonomian negara maju dan berkembang. Berbalikan dengan negara maju, negara berkembang yang umumnya berpendapatan rendah tidak mampu memberikan dukungan domestik dan subsidi ekspor kepada produsen dan eksportir di negara mereka. Negara berkembang mengajukan proposal agar diberikan perlakuan tarif khusus pada produk-produk tertentu atau Special Product (SP), namun usulan tersebut kurang direspon oleh negara maju. Kelompok negara ini malah mendesak negara berkembang agar menghapus
semua
tarif
impor,
padahal
negara
maju
sendiri
masih
menerapkannya. Perlakuan tidak adil seperti ini berpotensi menyebabkan semakin lebarnya ketimpangan kesejahteraan antara negara maju dan berkembang. Usulan negara berkembang agar diperkenankan memberlakukan tarif khusus pada produk tertentu menyiratkan adanya harapan agar mereka lebih mampu
memperkuat
ketahanan
pangan,
mengurangi
kemiskinan,
serta
membangun perdesaan. Harapan ini perlu ditemukan jawabannya agar dapat diketahui dampak ekonomi yang sebenarnya. Jika kebijakan SP dilakukan, apakah mampu berdampak positif terhadap perekonomian negara berkembang. Dalam konteks ini perlu dilakukan eksplorasi terhadap dampak penerapan tarif khusus pada perekonomian negara berkembang dengan mengambil kasus Indonesia. 1.3. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak liberalisasi perdagangan di sektor pertanian terhadap perekonomian negara maju dan berkembang termasuk Indonesia.
8
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis aliran perdagangan negara maju dan negara berkembang termasuk Indonesia. 2. Menganalisis dampak penerapan kesepakatan WTO tentang sektor pertanian yaitu dukungan domestik, subsidi ekspor dan akses pasar terhadap perekonomian negara maju dan negara berkembang termasuk Indonesia. 3. Menganalisis dampak pemberian perlakuan tarif khusus pada produk tertentu melalui penerapan SP terhadap kinerja perekonomian Indonesia. 1.4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak baik akademisi maupun pengambil kebijakan. Manfaat tersebut adalah: 1. Sebagai salah satu sumber literatur ilmiah terutama yang berkaitan dengan liberalisasi perdagangan sehingga dapat menjadi rujukan bagi para peneliti berikutnya. 2. Sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan dalam merumuskan kebijakan terutama menyangkut kebijakan perdagangan sektor pertanian. 3. Sebagai bahan rujukan bagi pengambil kebijakan dalam melakukan negosiasi dengan berbagai pihak termasuk dengan WTO. 1.5. Signifikansi Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan dan tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka penelitian ini amat mendesak untuk dilakukan. Pertimbangannya adalah bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang akan
9
terkena dampak liberalisasi perdagangan. Dampak itu sendiri bisa positif maupun negatif. Jika tidak dilakukan pengkajian ilmiah, dikhawatirkan akan terjadi salah antisipasi sehinga berpotensi untuk terjadinya pengambilan keputusan yang salah. 1.6. Ruang Lingkup Penelitian 1. Penelitan ini dibatasi pada analisis mengenai dampak yang berpotensi ditimbulkan oleh perwujudan penghapusan tiga pilar negosiasi sektor pertanian WTO yaitu: bantuan domestik, subsidi ekspor, dan akses pasar. 2. Kinerja Perekonomian yang dianalisis meliputi kinerja makroekonomi dan sektoral. 3. Kinerja makroekonomi mencakup PDB riil, tingkat kesejahteran, TOT, dan neraca perdagangan, sedangkan kinerja sektoral meliputi output, ekspor dan impor, TOT, penciptaan lapangan kerja dan sumber daya modal. 4. Negara maju yang dianalisis difokuskan pada 5 (lima) negara di 4 (empat) wilayah, dan 3 (tiga) diantaranya adalah wilayah yang paling banyak memberikan dukungan domestik dan subsidi ekspor yaitu wilayah Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Australia dan Selandia Baru 2 (dua) negara di (satu) wilayah yang merupakan salah satu produsen utama produk pertanian di dunia.. 5. Negara berkembang yang dianalisis adalah negara-negara yang menjadi partner dagang utama Indonesia khususnya di sektor pertanian yaitu Cina, Malaysia, Philipina, Thailand, Vietnam, dan Indonesia sendiri. 6. Produk-produk yang dianalisis difokuskan kepada produk pertanian yang termuat di dalam database GTAP 6.2. Pengelompokan dan pemisahannya
10
didasarkan pada produk pertanian yang mendapatkan tarif impor, subsidi ekspor dan bantuan domestik dari negara-negara maju dan negara berkembang, serta komoditi strategis Indonesia dan tersedia datanya dalam GTAP 6.2.