[56] Menuju Kobe, Hatinya Berlabuh pada Islam Thursday, 14 July 2011 17:37
I Gusti Oka, Mualaf Asal Bali
Kapal pun berlabuh di Bahrain. Salah seorang penduduk Bahrain menanyakan darimana asalnya. Ia menjawab “ I’m from Indonesia.” Kemudian si penyapa pun berkata, “Indonesia? Oh, you are my brother!” Ia bingung, kenapa dirinya dianggap saudara. Kebingungannya terjawab kelak setelah ia masuk Islam.
Ia mengarungi perjalanan berliku hingga sampai mengantarkannya pada Islam. Berbagai profesi ia geluti. Mulai dari seorang guru di Jakarta hingga menjadi anak buah kapal yang membawanya pergi jauh ke Kobe, Jepang. Di tengah lautan yang luas inilah ia mendapat cahaya Islam.
Saat itu dalam usia 30 tahun nama Gusti Shalih pun disematkan kepada lelaki yang bernama asli I Gusti Oka atau akrabnya dipanggil Pak Oka. Ia mengucapkan dua kalimat syahadat pada tahun 1982.
Pengalaman Spiritual Terlahir pada tanggal 30 Desember 1952, perjalanan spiritualnya dimulai pada saat ia memutuskan untuk merantau ke Jakarta pada tahun 1972 dan tinggal bersama kakaknya di Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Dengan latar belakang pendidikan Sekolah Menengah Olahraga Atas (SMOA), maka pekerjaan menjadi seorang guru dia lalui antara tahun 1974-1976. Di sela-sela kesibukannya dalam
1/5
[56] Menuju Kobe, Hatinya Berlabuh pada Islam Thursday, 14 July 2011 17:37
mengajar, dia manfaatkan waktunya untuk memberikan les privat renang kepada sejumlah murid sekolahnya. Rupanya profesi ini tak bertahan lama. Ia ingin mencoba profesi yang lain yang lebih menjanjikan.
Ini didorong pula karena rasa penasarannya ingin naik pesawat terbang. Pekerjaan guru pun ia tinggalkan. Entah bagaimana, ia kemudian mendedikasikan diri menjadi seorang anak buah kapal alias pelaut di sebuah kapal kargo.
Pada suatu kesempatan kapal membawanya berlabuh di Bahrain. Pengalaman spiritual pertama yang dirasakannya adalah saat bertemu dengan salah seorang penduduk Bahrain yang menanyakan darimana asalnya. Pak Oka menjawab “ I'm from Indonesia.” Kemudian si penyapa pun menjawab, “Indonesia? Oh, you are my brother!”
Ia bingung, kenapa dirinya dianggap saudara. Kebingungannya terjawab kelak setelah ia masuk Islam.
Suatu ketika Pak Oka mendengarkan lagu-lagu kristiani di kapal. Perasaannya tersentuh. Ada keinginan untuk memeluk agama Kristen ketika itu. Tetapi kejernihan pikirannya membuat dirinya membatalkan niatan itu. Hal ini dikarenakan pikiran, perasaan, dan fitrahnya menolak konsep ketuhanan yang menyatakan Yesus anak Tuhan.
Entah kebetulan atau memang itulah jalan hidayah, suatu waktu di atas meja kabin temannya di kapal, Pak Oka melihat sebuah buku yang menceritakan tentang Alam barzah, siksa kubur. Ia penasaran dengan buku tersebut. Ia ingin tahu apa isinya. Ia buka dan baca halaman demi halaman. Tersentak perasaannya saat dirinya menyadari segala kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan. Ia membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya kelak. Bacaan ini membuat dirinya terus berpikir dan gelisah.
Pengalaman menarik lainnya juga dirasakan Pak Oka saat dirinya hampir berkelahi dengan temannya sesama ABK saat dikatakan bahwa hanya orang Islam-lah yang masuk surga. Pergulatan pemikiran terjadi di dalam dirinya. Ia pun terus berusaha mencari jawaban demi jawaban atas pergulatan itu.
2/5
[56] Menuju Kobe, Hatinya Berlabuh pada Islam Thursday, 14 July 2011 17:37
Akhirnya segenap jiwa dan raganya dilabuhkan pada Islam pada tahun 1982 atas bimbingan dua ustadz dan seorang kyai di daerah pesisir utara Jawa Barat. Dan ia pun baru menyadari pernyataan orang Bahrain itu ketika membaca ayat Alquran Surat Al Hujurat Ayat 10, Innamal mukminuuna ikhwah (sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara).
“Rupanya ia mengira saya orang Islam, karena penduduk Indonesia mayoritas Islam. Alhamdulillah sekarang saya sudah menjadi saudaranya,” kenangnya.
Kembali ke Bali Seiring berjalannya waktu, proses mendalami Islam dilakukannya dengan banyak membaca dan diskusi, hingga ia mengakhiri aktivitas sebagai ABK karena kapalnya terbakar di Taiwan pada tahun 1984. Takdir Allah SWT mengantarkan ia kembali pulang ke Singaraja, Bali, setelah sempat setahun tinggal di Jawa.
Pulang ke kampung halaman dengan identitas baru merupakan tantangan tersendiri baginya. Awalnya, Pak Oka menyembunyikan status keislamannya di tengah keluarga dan masyarakat setempat.
Di banyak kesempatan, ia mencuri waktu untuk terus mempelajari Islam. Ia pun sering mengikuti pengajian maupun diskusi keislaman. Hingga akhirnya Allah SWT meneguhkan keimanannya, pada tahun 1985 ia sampaikan secara terbuka pada keluarga dan masyarakat bahwa ia seorang Muslim.
Pernyataannya ini membawa banyak konsekuensi. Di masyarakat setempat, ini berarti ia memutuskan garis keturunan dan tidak akan mendapat harta warisan dari keluarga besarnya. Tentu ini suatu yang berat bagi laki-laki Bali meninggalkan garis leluhur dan harta warisan keluarga. Tapi tekad dan keyakinannya yang sangat kuat tak bisa lagi dihalangi.
Pak Oka adalah anak laki-laki terkecil dalam keluarganya. Dalam ajaran Hindu, bungsu lelaki adalah penjaga leluhur, pengijang karang. Begitu beratnya ujian keimanan itu hingga ia bersedia mati daripada meninggalkan ke-islaman-nya, ketika ia diancam dibunuh kalau keluar
3/5
[56] Menuju Kobe, Hatinya Berlabuh pada Islam Thursday, 14 July 2011 17:37
dari Hindu. Melihat keteguhannya, keluarganya pun tidak bisa berbuat apa-apa. Ancaman bunuh, urung dilakukan.
Mengenal Islam Ideologis Di kalangan warga Muslim Singaraja, sosok Pak Oka sangatlah dikenal. Ia aktif mengikuti kajian-kajian Islam dan aktif di kepengurusan masjid. kecintaannya pada Islam menjadikannya banyak berinteraksi dengan aktivis-aktivis harakah di Singaraja.
Ia pun aktif mengikuti kajian keislaman yang digelar DPD Partai Keadilan Sejahtera. Pada 2007, PKS pun mengundang Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia Ustadz Harits Abu Ulya untuk mengisi pengajian dhuha di bulan Ramadhan. Saat itu aktivis muda ini menjelaskan tentang kewajiban menegakkan syariah Islam dalam naungan khilafah.
Pak Oka pun kaget. Kepada aktivis ini, ia menyatakan baru mendengar materi itu. Tausiyah itu benar-benar mengena pemikiran dan perasaannya sehingga mampu mendorong kerinduannya terhadap tegaknya Islam. Saat itu ia pun menangis.
Kerinduan itu tak terbendung lagi, ia semakin aktif dalam kajian dan diskusi. Kegelisahan dan kerinduan yang ada pada dirinya terjawab saat ia bertemu dengan aktivis HTI Bali. Ia sadar bahwa tegaknya syariah tidak akan terjadi tanpa institusi yang menerapkannya secara praktis, yaitu Khilafah Islam.
Berbekal bersihnya pemikiran, perasaan yang menumbuhkan kerinduan akan keridhaan Allah SWT, ia pun bersedia dibina oleh aktivis HTI Bali dan mendedikasikan kehidupannya dalam dakwah berjamaah.
Seiring dengan pemahaman Islamnya yang meningkat, bisnisnya pun ganti haluan menjadi pengelola tambak ikan lele. Sebuah pilihan yang jauh dari subhat-subhat dalam mengais rezeki.
Sebelumnya ia sibuk berbisnis daun tembakau. Bisnis ini sampai menjerumuskan dirinya dalam urusan riba bank ratusan juta rupiah. Hingga Pak Oka sadar dan paham seiring keterlibatannya dalam dakwah HTI, semuanya harus dihentikan dan dengan segala risikonya
4/5
[56] Menuju Kobe, Hatinya Berlabuh pada Islam Thursday, 14 July 2011 17:37
harus dijalani; aset-asetnya pun dilego untuk menghentikan putaran dosa riba ini.
Dan sesibuk apapun dengan urusan lele dan urusan dakwahnya selalu saja ia tidak lupa menautkan hatinya kepada masjid. Begitu seruan adzan berkumandang, Pak Oka bersegera menghampiri masjid terdekat dan kebiasaan Pak Oka selalu memanfaatkan dialog dengan jamaah yang dijumpainya di masjid.
Di balik kelembutan hatinya ada keteguhan sikap khususnya pada perkara-perkara yang menyangkut agama. Pesan sederhana ia sampaikan, “Islam itu agama yang sangat mudah dipahami, dengan pemikiran yang jernih maka tidak ada alasan bagi kita sebagai makhluk untuk tidak tunduk pada seluruh aturan yang ditetapkan oleh sang Khalik, Allah SWT. Karena hanya Sang Pencipta-lah yang paling tahu apa yang terbaik bagi makhluk-Nya.” [] yos, singaraja
5/5