Policy Brief
Hukuman Mati: Praktik Kejam yang Tak‐sejalan dengan Kemanusiaan
Pendahuluan Baru‐baru ini, publik dikejutkan oleh kebijakan pemerintahan Joko Widodo yang mencabut moratorium terhadap eksekusi pidana mati. Pilihan tindakan ini bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah terdahulu, serta tren global yang cenderung untuk menghapuskan praktik pidana mati. Laporan Amnesty International menyebutkan, sampai dengan April 2015, sedikitnya 140 negara telah menerapkan kebijakan abolisionis terhadap hukuman mati, baik secara hukum (de jure) maupun secara praktik (de facto). Sedangkan yang masih menerapkan dan menjalankan praktik hukuman mati, tinggal 55 negara. Makin sedikitnya negara yang mempraktikan hukuman mati, sejalan dengan turunnya prosentase pelaksanaan eksekusi hukuman mati yang mencapai 22% jika dibandingkan dengan praktik pada tahun 2013. Tontonan serial drama penggantungan (the spectacle of the scaffold) diperlihatkan oleh pemerintahan Jokowi‐JK dengan pelaksanaan eksekusi terhadap 6 terpidana mati untuk kasus narkoba pada Januari 2015 lalu. Serial ini berlanjut dengan rencana Kejaksanaan Agung untuk melakukan eksekusi terhadap 11 terpidana mati lainnya, dari total 158 terpidana mati yang belum dieksekusi. Pemerintah beranggapan, penerapan eksekusi ini diperlukan karena Indonesia tengah berada pada fase “darurat narkoba”. Selain itu, pemerintah acapkali menjustifikasi tindakannya pada sejumlah peraturan perundang‐undangan yang masih memberlakukan hukuman mati, serta legitimasi putusan Mahkamah Konstitusi pada 2007, yang menegaskan konstitusionalitas hukuman mati di Indonesia. Ironisnya, kebijakan eksekusi tersebut justru kian memperlihatkan ketegasan semu pemerintah Indonesia, oleh karena bertentangan dengan pendirian pemerintah yang mengecam penjatuhan sanksi hukuman mati kepada 229 Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri, berdasarkan data Kementerian Luar Negeri hingga Februari 2015. Secara umum, tindakan eksekusi terhadap terpidana mati dan masih berlakukanya sejumlah ketentuan peraturan perundang‐undangan nasional yang memberikan ancaman hukuman mati, juga mengingkari kewajiban internasional pemerintah Indonesia terhadap sejumlah traktat internasional yang telah diratifikasi. Sebagai pembahasan dari kebijakan dan praktik tersebut, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) akan memaparkan sejumlah pandangan terhadap penerapan eksekusi hukuman mati berdasarkan perspektif hak asasi manusia (HAM). Dari paparan ini pada akhirnya diharapkan dapat ditemukan suatu kesimpulan, apakah eksekusi dan pemberlakuan hukuman mati ini dapat menjadi solusi bagi tertib sosial atau justru malah melahirkan masalah yang dapat memperburuk kondisi, khususnya hak asasi manusia? Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) | 1
Pengingkaran terhadap hak asasi manusia Merujuk kepada hukum internasional hak asasi manusia, ELSAM menilai penerapan eksekusi pidana mati adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan kewajiban internasional Indonesia, untuk menghormati hak hidup setiap orang. Praktik ini juga sekaligus langkah mundur pemerintah Indonesia dalam memajukan hak asasi manusia di tanah air. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Kovenan Internasional Hak‐hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah disahkan dalam hukum nasional Indonesia, melalui UU No. 12 Tahun 2005, hak hidup telah dirumuskan sebagai suatu hak yang melekat kepada setiap individu atau tanpa memandang perbedaan status kewarganegaraan. Selain itu, sifatnya juga tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non‐derogable right). Oleh karenanya, penghormatan dan perlindungan hak hidup ini telah menjadi kewajiban mutlak (erga omnes) bagi seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia dan berlaku bagi warga negara manapun. ICCPR memberikan pembatasan yang sangat ketat terhadap penerapan praktik pidana mati. Pemberlakuan sistem ini hanya dimungkinkan untuk kejahatan yang paling serius (the most serious crimes) semata, seperti kejahatan genosida (genocide), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Dalam perumusannya, pengakuan jaminan penghormatan hak hidup tersebut memang memiliki standar yang berbeda antara ICCPR dan sejumlah instrumen hukum nasional Indonesia, seperti tercermin di bawah ini: INSTRUMEN
PENJELASAN
ICCPR [Pasal 6 ayat (1)]
“Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang‐wenang.”
UUD 1945 [Pasal 28I ayat (1)]
“Hak untuk hidup ... adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
UU No. 39/1999 (UU HAM) [Pasal 4]
“Hak untuk hidup ... adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”
Namun demikian, meski UUD 1945 dan UU HAM memberikan standar yang tinggi bagi jaminan hak hidup dari praktik pidana mati, situasinya justru bertolak belakang dengan realita, bahwa sedikitnya 13 peraturan perundang‐undangan nasional masih menyantumkan sanksi pidana mati dan tetap berlaku hingga saat ini. Bahkan, hal ini diperburuk dengan lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 2‐3/PUU‐V/2007, yang menafsirkan pemberlakuan hukuman mati di Indonesia tidak bertentangan dengan Pasal 28A dan 28I UUD 1945, dengan alasan pasal‐pasal tersebut memiliki limitasi seperti tertuang dalam Pasal 28J UUD 1945. Selain itu, MK juga menilai bahwa kejahatan narkoba telah masuk dalam kategori kejahatan luar biasa. Dengan masih adanya pengaturan hukuman mati dalam hukum positif Indonesia, sering kali hal ini dipergunakan pemerintah sebagai tameng untuk tetap melanggengkan praktik ini, padahal sebaliknya, praktik eksekusi hukuman mati malah bertentangan dengan kewajiban erga omnes Indonesia untuk menghormati dan melindungi HAM.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) | 2
Pelanggaran kewajiban internasional Indonesia ini nampak jelas pada kesimpulan akhir observasi (Concluding Observation) terhadap laporan pemerintah Indonesia pada bulan Juli 2013. Dalam dokumen tersebut, Komite HAM Perserikatan Bangsa‐Bangsa (PBB) menyesalkan tindakan pemerintah Indonesia yang kembali mengeksekusi terpidana mati, khususnya dalam kasus kejahatan narkoba. Menurut Komite, kejahatan narkoba tidak memenuhi ambang kejahatan yang paling serius berdasarkan Pasal 6 ICCPR, sehingga tidak seharusnya diancam dengan hukuman mati. Komite juga merekomendasikan pemerintah untuk kembali melakukan moratorium praktik hukuman mati dan harus mempertimbangkan penghapusan hukuman mati dengan meratifikasi Second Optional Protocol to the ICCPR. Bahkan, pelanggaran kewajiban internasional Indonesia tersebut pun terlihat pula dengan diberikannya predikat “E” – sebagai predikat terburuk – kepada Indonesia saat penyelenggaraan evaluasi lanjutan (Follow‐Up Evaluation) untuk Indonesia pada awal April 2015. Komite memberikan penilaiannya tersebut berdasarkan pada kegagalan Indonesia dalam menjalankan rekomendasi‐rekomendasi yang diberikan saat Concluding Observation 2013. Sebagai tambahan, seperti terlukiskan dalam kasus Ng v. Canada pada Komite HAM PBB, kasus Georgia v. Furman pada Mahkamah Agung Amerika Serikat dan kasus S v. Makwanyane pada Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, pelaksanaan eksekusi hukuman mati dianggap sebagai tindakan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan derajat dan martabat seseorang. Dengan pertimbangan demikian, ELSAM berpandangan bahwa pelaksanaan eksekusi pidana mati di Indonesia dapat pula dikategorikan sebagai pelanggaran hak terpidana mati untuk terbebas dari perlakuan kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat mereka, sebagaimana termaktub pada Pasal 7 ICCPR, Pasal 28G ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (1) UU HAM, sekaligus pelanggaran terhadap Konvensi Anti‐Penyiksaan (CAT), yang telah diratifikasi melalui UU No. 5 Tahun 1998.
Rentannya sistem peradilan pidana Dari kacamata filosofis, pemberlakuan pidana mati dinilai cenderung lebih menunjukkan aspek balas dendam (retributive) atas tindakan yang dilakukan terpidana. Padahal di sisi lain, paradigma dalam tatanan hukum pidana telah mengalami perubahan ke arah keadilan restoratif (restorative justice) bagi pelaku tindak pidana, dan tidak lagi menggunakan filosofi pemidanaan retributif. Secara formal hal ini seperti mengemuka di dalam UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), maupun penegasan‐penegasan rumusan di dalam Rancangan KUHP dan Rancangan KUHAP yang akan segera dibahas oleh pemerintah dan DPR. Dalam tatanan praktis, pemberlakuan pidana mati juga berdampak buruk kepada terpidana mati, bila ditinjau dari besarnya potensi terjadinya kesalahan dalam penghukuman (wrongful conviction), yang tidak mungkin lagi dapat dikoreksi, atau bersifat irreversible, sebagai akibat pelaksanaan eksekusi hukuman mati tersebut. Banyak fakta menunjukkan, para terdakwa yang diancam dengan hukuman mati, tidak mendapatkan pembelaan hukum yang memadai dan sebanding dengan tingkat ancaman hukuman yang akan mereka terima. Pengalaman di banyak negara, termasuk yang sistem peradilan pidananya lebih maju dari Indonesia, seperti di Amerika Serikat dan Inggris, menunjukkan bahwa kesalahan dalam penghukuman atau terjadinya suatu peradilan yang sesat menjadi fakta yang tak‐terhindarkan. Bahkan Jepang, sebagai salah satu negara dengan sistem hukum tercanggih di Asia, serta sumberdaya yang sangat baik, tak‐lepas dari parktik miscarriage of justice. Kombinasi dari kurangnya kontrol peradilan yang efektif, khususnya terhadap panjangnya masa penahanan pra‐ persidangan, tiadanya suara bulat untuk suatu putusan hukuman mati, kurangnya mekanisme banding yang efektif, serta kebutuhan atas suatu proses peradilan yang fair trial, telah membuka peluang terjadinya kesalahan penghukuman (wrongful conviction), khususnya hukuman mati. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) | 3
Di Indonesia sendiri, keberadaan peradilan sesat (miscarriage of justice) pun masih sangat mudah ditemui, di masa lalu seperti terungkap pada kasus Sengkon‐Karta (1974), yang menjadi salah satu landmark dalam peradilan kita, dan menghadirkan mekanisme Peninjauan Kembali (PK). Baru‐baru ini misalnya dalam kasus Ruben Pata Somba dan Markus Pata Somba, yang dijatuhi pidana mati atas dasar pembunuhan berencana terhadap Andrias Pandin di Tana Toraja. Padahal, pada tahun 2006 pelaku yang sebenarnya telah ditangkap dan juga telah mengakui perbuatannya tersebut. Meskipun demikian, pengakuan dari tersangka ini tidak serta‐merta membuat Ruben dan Markus terbebas dari vonis pidana mati. Dari gambaran tersebut, meski hukum (termasuk hukum HAM internasional), memaksakan bahwa suatu hukuman harus bersandarkan pada penyidikan, penuntutan dan peradilan yang sempurna, sesuai prinsip fair trial, keyakinan yang salah dan gugurnya keadilan tak‐akan bisa dihindarkan, kendati jaminan prosedural ditingkatkan sekalipun. Sistem peradilan pidana memiliki sifat yang sangat rapuh, hanya karena kekeliruan satu orang polisi, jaksa, pengacara, hakim atau saksi, dapat berakibat pada kegagalan untuk memberikan keadilan. Tidak ada sistem peradilan yang sempurna dan kesalahan tidak bisa dihindari. Oleh karenanya, dimanapun hukuman mati dijatuhkan, selalu ada risiko bahwa orang yang tidak bersalah akan dihukum dan dieksekusi, sebab tidak ada sistem peradilan yang sempurna.
Mitos efek jera Menurut pandangan konvensional, hukuman mati dianggap perlu untuk mencegah seseorang agar tidak melakukan kejahatan. Pandangan ini seperti sering dikemukakan oleh aktor‐aktor pemerintah, dengan berasalan pada tekanan publik untuk mempertahankan hukuman mati sebagai tindakan pengendalian kejahatan. Sebaliknya, survey komprehensif yang dilakukan oleh PBB, pada 1988 dan 1996, untuk mengukur hubungan antara hukuman mati dan tingkat pembunuhan menemukan fakta tiadanya bukti ilmiah yang menunjukan bahwa eksekusi hukuman mati memiliki efek jera yang lebih besar dari hukuman penjara seumur hidup. Kesimpulan ini diperkuat oleh Dewan Riset Nasional Amerika Serikat, yang dalam kesimpulan studinya pada 2012 mengatakan tiadanya bukti pendukung yang memperlihatkan adanya efek jera (detterant effect) dari hukum mati. Mayoritas panelis dan hadirin pada OHCHR Event on Abolishing the Death Penalty 2012 bahkan mengatakan, alasan efek jera adalah sebagai suatu hal yang dibesar‐besarkan selama beberapa dekade terakhir. Situasi serupa juga nampak begitu nyata dari data yang dilansir oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2014, yang menunjukan peningkatan jumlah tersangka tindak pidana narkoba pada 2013, mencapai 13,73% jika dibandingkan tahun 2012. Secara berturut‐turut laporan tahunan BNN memperlihatkan tahun 2011 sebanyak 157 palaku tindak pindana narkotika ditangkap, tahun 2012 meningkat menjadi 202 orang, dan kembali meningkat pada 2013 menjadi 260 pelaku yang ditangkap. Hal ini memperkuat kenyataan bahwa efek jera terhadap hukuman mati, khususnya bagi terpidana narkoba, hanyalah sekedar mitos belaka. Secara umum statistik dari negara‐negara yang telah menghapuskan hukuman mati, menunjukkan bahwa tidak adanya hukuman mati ternyata tidak menghasilkan peningkatan kejahatan serius. Oleh karenanya, berdasarkan salah satu prinsip dalam sistem peradilan, in dubio pro reo (jika ragu maka jangan menyatakan bersalah), maka bila tidak ada bukti bahwa hukuman mati akan mencegah kejahatan, mengapa kita terus menerapkannya?
Penderitaan mendalam buah dari eksekusi Penderitaan yang dialami dalam pemberian hukuman mati tidak hanya dialami korban atau orang yang dieksekusi semata (terpidana), tetapi juga oleh keluarganya (co‐victims). Berdasarkan studi Granger E. Westberg, setidaknya ada sepuluh tahap bentuk penderitaan yang Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) | 4
menggambarkan suatu proses kedukaan bagi keluarga terpidana mati (co‐victims) setelah dilaksanakannya eksekusi hukuman mati. Sepuluh bentuk penderitaan tersebut berupa: (1) shock, (2) emosi, (3) depresi dan kesepian, (4) gejala fisik distress, (5) panik, (6) bersalah, (7) permusuhan dan kebencian, (8) ketidakmampuan untuk kembali ke kegiatan biasa, (9) harapan, dan (10) penegasan realitas baru mereka. Tahap awal penderitaan keluarga korban dimulai dengan perasaaan “syok” atas kehilangan salah satu anggota keluarganya. Keterkejutan ini kemudian ditunjukan dalam bentuk “emosi” tertentu, dan jelas membuat mereka “merasa tertekan dan sangat kesepian”. Selain itu, co‐victims juga akan menunjukkan “gejala‐gejala fisik bahwa mereka tertekan” yang ditandai dengan sikap mereka yang “mudah panik”, “memiliki rasa bersalah atas kehilangan tersebut”, dan untuk kasus yang paling ekstrim, keluarga korban akan “dipenuhi dengan amarah dan kekecewaan”. Gejala‐gejala ini berimplikasi kepada “penolakan” dari keluarga korban ini untuk kembali kepada kehidupan normal mereka. Seiring dengan berjalannya waktu, penolakan keluarga tersebut secara bertahap luntur dan mulai lahirlah satu “harapan” di dalam hidup mereka. Dengan adanya harapan baru ini, mereka kemudian baru bisa “menegaskan realitas baru mereka”. Pada kesimpulannya, pelaksanaan eksekusi hukuman mati justru malah akan berpengaruh negatif kepada co‐victims karena adanya penderitaan mendalam dan berkepanjangan yang mereka rasakan.
Implikasi terhadap hubungan internasional Penerapan eksekusi hukuman mati di Indonesia juga memberikan dampak negatif bagi hubungan bilateral antara Indonesia dengan beberapa negara yang warga negaranya dieksekusi dan/atau divonis pidana mati. Selain itu, secara makro, hubungan Indonesia dengan sejumlah organisasi internasional juga terkena imbas dari adanya pelanggengan praktik ini. Dalam kaitannya dengan hubungan bilateral, pelaksanaan eksekusi pidana mati kepada warga negara Brasil dan Belanda mengakibatkan penarikan diri Duta Besar Brasil dan Belanda untuk Indonesia, yang diikuti dengan penundaan penerimaan surat kepercayaan Duta Besar Designate Indonesia untuk Brasil oleh Presiden Brasil. Selain itu, dampak negatif juga muncul dengan meningkatnya tensi hubungan bilateral Indonesia‐Australia, sehubungan dengan masuknya dua warga negara Australia dalam daftar terpidana yang akan segera dieksekusi. Sejumlah organisasi internasional, khususnya PBB bahkan secara keras memprotes adanya pelanggengan praktik ini. Sekretaris‐Jenderal PBB, Ban Ki‐moon, hingga mendesak pemerintah Indonesia untuk membatalkan rencana eksekusi terhadap sebelas terpidana mati. Tidak hanya itu, pemberian predikat “E” dari Komite HAM PBB juga menjadi bukti konkrit bahwa komunitas internasional memiliki sentimen negatif atas kebijakan pemerintah Indonesia ini. Dengan besarnya desakan dari beberapa negara dan organisasi internasional, ELSAM melihat bahwa penerapan eksekusi pidana mati tersebut justru akan mempersulit posisi tawar pemerintah untuk berdiplomasi dalam upaya membebaskan WNI di luar negeri dari jerat hukuman mati. Laporan resmi Kementerian Luar Negeri mencatat sedikitnya 229 WNI terancam hukuman mati di luar negeri. Dari jumlah tersebut 131 orang diantaranya terjerat kasus narkotika, dan 77 orang lainnya didakwa kejahatan menghilangkan nyawa. Bahkan data yang dirilis Migrant Care mencatat lebih banyak, 360 WNI diancam hukuman mati di luar negeri, dan 230 orang diantaranya dalam kasus narkotika, yang tersebar di Malaysia, Arab Saudi, China, Singapura, dan beberapa negara lainnya. Sikap keras pemerintah Indonesia untuk terus melanjutkan praktik eksekusi hukuman mati, tentu akan berdampak besar dan mempengaruhi upaya advokasi untuk menyelematkan ratusan WNI yang terancam hukuman mati di atas. Faktanya, tindakan pemerintah Indonesia seringkali mendua, di satu sisi aktif mengeksekusi pidana mati warga negara asing di dalam negeri, di sisi lain mengecam dengan keras segala bentuk eksekusi mati terhadap WNI di luar negeri. Dengan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) | 5
sikap dan tindakan yang demikian, tentu akan semakin menyulitkan posisi terpidana mati WNI di luar negeri. Ketegasan semu pemerintah justru menjadi pertaruhan mereka dalam melawan eksekusi mati, dengan kata lain, secara tidak langsung negara kian mengorbankan mereka. Tentu masih segar dalam ingatan kita, sulitnya upaya dalam memperjuangkan Satinah atau terakhir Wilfrida Soik, untuk terbebas dari hukuman mati. Bahkan diantara mereka mengalami nasib yang lebih mengenaskan, dipancung dalam sunyi pemberitaan, tanpa upaya optimal dari negara, seperti yang dialami Ruyati, tenaga kerja perempuan asal Bekasi, yang dieksekusi mati pemerintah Arab Saudi pada 2011.
Penutup dan rekomendasi Dari pertimbangan‐pertimbangan di atas, bila dibandingkan dengan harapan yang ingin dicapai oleh pemerintah melalui pilihan kebijakan untuk melakukan eksekusi pidana mati ini, ELSAM justru melihat bahwa dampak negatif yang mungkin timbul malah cenderung lebih besar. Dampak negatif ini justru akan menggiring pemerintah kepada ranah permasalahan yang baru, seperti tidak terurainya akar masalah dari tingginya suatu kejahatan dikarenakan tewasnya terpidana itu sendiri, tidak tercapainya keadilan jika terjadi suatu wrongful conviction, hingga rusaknya hubungan antara Indonesia dengan negara‐negara lain yang warga negaranya menjadi korban dari kebijakan pemerintah tersebut. Pada intinya, pemberlakuan pidana mati justru tidak dapat menjadi langkah solutif untuk mengatasi besarnya angka kejahatan di Indonesia, malahan hal ini akan memperpanjang daftar problematika hak asasi manusia yang dihadapi Indonesia. Dengan berlandaskan kepada seluruh paparan di atas, maka ELSAM menggarisbawahi beberapa hal‐hal pokok sebagai rekomendasi untuk menanggapi kebijakan pemberlakuan eksekusi pidana mati ini, yaitu: 1. Pemerintah harus membatalkan rencana eksekusi terhadap sebelas terpidana mati, sebab dengan melakukan hal ini pemerintah akan melanggar kewajibannya untuk menghormati pemenuhan dan perlindungan HAM, termasuk hak hidup dan hak untuk terbebas dari perlakuan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabatnya; 2. Pemerintah harus menjalankan rekomendasi dari Komite HAM PBB yang mendesak Indonesia agar kembali melakukan moratorium pidana mati dan meratifikasi Second Optional Protocol to the ICCPR sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk mempertimbangkan penghapusan praktik pidana mati di Indonesia; 3. DPR dan Pemerintah untuk dapat meninjau ulang 13 peraturan perundang‐undangan yang masih memberlakukan sanksi pidana mati terhadap sejumlah kejahatan, termasuk kejahatan biasa (ordinary crimes) melalui mekanisme legislative review, khususnya di dalam proses pembahasan RKUHP yang akan segera dilangsungkan; dan 4. Institusi peradilan harus memerhatikan nilai‐nilai HAM sebelum menjatuhi sanksi pidana mati, dan meminimalisir pemutusan kasus kejahatan yang dikenakan sanksi hukuman mati, guna mencegah kemungkinan terjadinya peradilan sesat (miscarriage of justice) dan kesalahan penghukuman (wrongful conviction). Jakarta, 10 April 2015 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) | 6