BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Hukuman Mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan
(atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya. Pidana mati dapat dikatakan satu jenis pidana yang tertua dan yang paling kontroversial di dunia, dalam hal itu, pidana mati dikatakan sebagai hukuman yang paling kejam1. Negara Amerika Serikat (AS) adalah salah satu yang masih menggunakan hukuman mati sebagai hukuman maksimal pokok dalam hukum pidana disana. Namun sejak 1973, 123 terpidana mati dibebaskan di AS setelah ditemukan bukti baru bahwa mereka tidak bersalah atas dakwaan yang dituduhkan kepada mereka. Dari jumlah itu 6 kasus di tahun 2005 dan 1 kasus di tahun 2006. Beberapa diantara mereka dibebaskan di saat-saat terakhir akan dieksekusi. Kesalahan-kesalahan ini umumnya terkait dengan tidak bekerja baiknya aparatur kepolisian dan kejaksaan, atau juga karena tidak tersedianya pembela hukum yang baik.2 Sejarah mencatat pada tahun 2005 terdapat 2.148 orang yang telah di eksekusi di 22 negara, termasuk di Indonesia. Hingga Februari 2007 tercatat hanya 69 negara yang masih menerapkan hukuman mati dari 197 negara di dunia. Sebanyak 1 Djoko Prakoso, 1986, Masalah Pidana Mati (soal jawab).Bina Aksara Indonesia: Jakarta, Hlm: 32-33. 2 Wikipedia, 2011, Hukuman Mati, diunduh pada tanggal 14 Aguatus 2011, didapatkan dari: URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati.
1
2
88 negara telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan sebelas negara menghapus hukuman mati untuk kejahatan pidana biasa dan 29 negara melakukan moratorium hukuman mati. Hingga Juni 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktik hukuman mati, termasuk Indonesia, dan lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktik hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara negara malakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati.3 Di dalam sejarah dunia, terdapat beberapa cara yang digunakan untuk melakukan eksekusi hukuman mati, diantaranya adalah : 1. Hukuman Pancung : Hukuman dengan cara potong kepala 2. Sengatan Listrik : Dengan cara didudukan di kursi lestrik kemudian di aliri listrik bertegangan listrik 3. Hukuman Gantung : hukuman dengan cara digantung ditiang gantungan 4. Suntik Mati : Hukuman dengan cara menyuntikan obat yang dapat membunuh 5. Hukuman tembak : Hukuman dengan cara menembak ke arah jantung seseorang. 6. Rajam : Hukuman dengan cara dilempari dengan batu hingga mati.4 Studi ilmiah yang dilakukan gagal menunjukan bahwa hukuman mati dapat menurunkan angka kejahatan atau dapat memberikan efek jera kepada pelaku tindak kejahatan. Survey PBB yang dilakukan tahun 1998 dan 2000 tentang hubungan hukuman mati dengan praktek tindak kejahan, hasilnya menunjukan bahwa hukuman
3 R Widjojo Hartono, 2011, Islam dan Demokrasi, diunduh pada tanggal 14 Aguatus 2011, didapatkan dari: URL: http://nuraulia.multiply.com/journal?&page_start=20. 4 Wikipedia, Op.Cit. Hal 1
3
mati memberikan hasil yang buruk dalam hal pemberian efek jera dibandingkan dengan hukuman seumur hidup.5 Penyelenggaraan hukuman mati didukung pada argumen antara lain bahwa bila pembunuh sadis dihukuman seumur hidup dapat berefek pelaku akan tidak akan melakukan lagi perbuatan tersebut atau pelaku tidak merasa jera. Namun bila pada hukuman mati, pelaku tidak akan pernah lagi melakukan kejahantan tersebut dan hal tersebut hakikatnya memelihara kehidupan yang lebih luas. Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya hukuman. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban sendiri,keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban. Lain halnya bila memang keluarga korban sudah memaafkan pelaku tentu vonis bisa diubah dengan prasyarat yang jelas.6 Praktek hukuman mati di juga kerap dianggap bersifat bias, terutama bias kelas dan bias ras. Di AS, sekitar 80% terpidana mati adalah orang non kulit putih dan berasal dari kelas bawah. Sementara di berbagai negara banyak terpidana mati yang merupakan warga negara asing tetapi tidak diberikan penerjemah selama proses persidangan. Dalam rangka menghindari kesalahan vonis mati terhadap terpidana mati, sedapat mungkin aparat hukum yang menangani kasus tersebut adalah aparat yang mempunyai pengetahuan luas dan sangat memadai, sehingga Sumber Daya manusia yang disiapkan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan adalah sejalan dengan tujuan hukum yang akan menjadi pedoman didalam pelaksanaannya, dengan 5 6
Wikipedia, Op.Cit. Hal 1 Wikipedia, Op.Cit. Hal 1
4
kata lain khusus dalam penerapan vonis mati terhadap pidana mati tidak adalagi unsur politik yang dapat mempengaruhi dalam penegakan hukum dan keadilan dimaksud. Di Indonesia, sejak jaman Belanda masalah hukuman mati telah menjadi persoalan tersendiri. Margadant mengungkapkan, bahwa “De Vermoedens, Warden Ver Dacht Makingen”, yang dapat diartikan kecerugaan yang terdapat pada penegak hukum (sipir). Hal tersebut menjadi masalah karena di Belanda sendiri hukuman mati telah dihapuskan sejak tahun 1870, bahkan sejak tahun 1524 sudah dipersoalkan Alasan dari penggunaan hukuman mati oleh Rombout Hogerbeets.7 Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik. Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD '45, Pasal 28 ayat 1, menyebutkan "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati. Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati. Hingga 2006 tercatat ada 11 peraturan perundangundangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti: KUHP, UU 7
Wahw33d, 2011, Sejarah Singkat Hukuman Mati, diunduh pada tanggal: 14 Agustus 2011 diunduh dari: URL: http://wahw33d.blogspot.com/2010/06/sejarah-singkat-hukuman-mati.html.
5
Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara. 8 Vonis atau hukuman mati mendapat dukungan yang luas dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Pemungutan suara yang dilakukan media di Indonesia pada umumnya menunjukkan 75% dukungan untuk adanya vonis mati.9 Kasus hukuman mati yang pernah di Putuskan oleh pengadilan di Indonesia antara lain adalah kasus Tibo Cs. Kasus Tibo adalah sebuah kasus mengenai penyelesaian Kerusuhan Poso. Tibo sendiri merupakan salah satu terdakwa dari tiga terdakwa dalam kasus ini. Tiga orang terdakwa dalam kasus ini adalah Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Mereka ditangkap pada Juli dan Agustus 2000. Dan dijatuhi vonis mati pada April 2001 di Pengadilan Negeri Palu, dan ditegaskan kembali dengan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara pada 17 Mei 2001. Pengadilan memutuskan bahwa mereka bersalah atas tuduhan pembunuhan, penganiayaan, dan perusakan di tiga desa di Poso, yakni Desa Sintuwu Lemba, Kayamaya, dan Maengko Baru.10 Kasus vonis mati mereka menimbulkan banyak kontroversi sehingga menyebabkan rencana vonis mati mereka tertunda beberapa kali. Ketiganya dieksekusi mati pada dinihari 22 September 2006 di Palu.11 Kasus lain yang telah diputus dan di eksekusi, seperti kasus Sumiarsih dan Sugeng yang diputus pidana mati pada tahun 2008 silam dalam kasus pembunuhan berencana. Dan putusan mati kepada pelaku Bom Bali pertama, Amrozi, CS yang di eksekusi pada tahun 2008, 8
Ibid, hal 1. Wikipedia, Op.Cit. hal 1. 10 Wikipedia, 2011, Kasus Tibo, diunduh pada tanggal : 14 November 2011, diunduh dari: URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Kasus_Tibo. 11 Ibid. 9
6
dan berbagai kasus lainnya.12 Sementara ini, belum ada kasus tindak pidana korupsi yang mendapatkan hukuman mati, pelaku tindak pidana korupsi hanya terkena sanksi pidana penjara saja. Pengadilan
Tindak
Pidana
Korupsi
(Tipikor)
di
Indonesia
telah
menyelesaikan beberapa kasus tindak pidana korupsi. Beberapa putusan yang dikeluarkan pengadilan tipikor adalah putusan pidana penjara namun ada juga yang dibebaskan. Kasus yang divonis dengan pidana penjara tetapi terpidana masih buronan negara adalah Sudjiono Timan dan Eko Edi Putranto dan masih ada beberapa terpidana lagi yang masih buron. Sudjiono Timan adalah seorang pengusaha asal Indonesia. Dari tahun 1995 hingga 1997 ia menjabat sebagai Direktur Utama PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Ia saat ini merupakan seorang buronan karena melarikan diri dari hukuman pengadilan. Oleh pengadilan, Timan telah diputuskan bersalah karena telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai direktur utama BPUI dengan cara memberikan pinjaman kepada Festival Company Inc. sebesar 67 juta dolar AS, Penta Investment Ltd sebesar 19 juta dolar AS, KAFL sebesar 34 juta dolar AS, dan dana pinjaman Pemerintah (RDI) Rp 98,7 miliar sehingga negara mengalami kerugian keuangan sekitar 120 juta dolar AS dan Rp 98,7 dolar singapura. Pada pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Timan dibebaskan dari tuntutan hukum karena perbuatannya dinilai bukan tindak pidana. Menanggapi vonis bebas itu, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi dan meminta Majelis Kasasi menjatuhkan pidana sebagaimana tuntutan terhadap terdakwa yaitu pidana delapan
12
Ibid.
7
tahun penjara, denda Rp30 juta subsider enam bulan kurungan, serta membayar uang pengganti Rp1 triliun. Pada Jumat, 3 Desember 2004, Majelis Kasasi Mahkamah Agung (MA) yang dipimpin oleh Ketua MA Bagir Manan memvonis Sudjiono Timan dengan hukuman 15 tahun penjara, denda Rp50 juta, dan membayar uang pengganti sebesar Rp 369 miliar. 13 Terpidana yang telah diputus dan telah menjalani masa pidananya contohnya terpidana Fransiska Riana Sari yang divonis 2 Tahun penjara dan denda Rp. 100.000.000,00. Dakwaan jaksa menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti dan sah melakukan tindak pidana penyertaan korupsi dalam kasus korupsi subsidi pembagunan perumahan Griya Lawu Sari (GLS).14 Terdapat juga kasus tindak pidana korupsi yang terdakwanya mendapat putusan bebas dari pengadilan tindak pidana korupsi, seperti Frid Atok yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tiga empat unit mobil ambulance pada Dinas Kesehatan kabupaten Belu, tahun 2008.15 Dari beberapa kasus yang pernah diputus maupun dalam proses penyidikan oleh pengadilan, belum pernah ada yang dikenakan dakwaan pidana mati hingga saat ini, walaupun terdapat aturan dalam dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan perubahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 yang berisi ketetuan pemberian pidana mati.
13
Wikipedia, 2011, Sudjiono Timan, diunduh pada tanggal 20 Desember 2011, diunduh dari: URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Sudjiono_Timan. 14 Bambang Aris Sasoko, 2011, Kasus korupsi GLA, divonis 2 Tahun penjara, diunduh pada tanggal 20 Desember 2011, diunduh dari: URL: http://www.solopos.com/2011/patroli/kasus-korupsigla-fransiska-divonis-2-tahun-penjara-96261. 15 Junaedi Abdilah, 2011, Terdakwa Kasus Korupsi Di Belu Divonis Bebas, diunduh pada tanggal 20 Desember 2011, diunduh dari: URL: http://beritanda.com/nusantara/kolomnusantara/nusa-tenggara-timur/3698-terdakwa-kasus-korupsi-di-belu-divonis-bebas.html.
8
Dewasa ini dibuatlah pengaturan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi yang memasukan pidana mati dalam pengaturannya. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diatur mengenai pemberian pidana mati. Ketentuan tersebut dikenakan pada pelaku yang melakukan tindak pidana korupsi pada keadaan tertentu. Keadaan tertentu tersebut dijelasakan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Pada UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 pada Pasal 1 Angka 1 ditambahkan ketentuan yang memberatkan hukuman, yakni bila pelaku korupsi melakukan pengulangan tindak pidana korupsi. Dalam tujuan pemidanaan, terdapat beberapa teori yang dikenal yakni, pertama
Teori
Absolut
atau
(vergerldinstheorien). Menurut
teori
Teori
retributive,
Absolut
atau
atau
teori
pembalasan
teori
retributive
pidana
dimaksudkan untuk membalas tindakan pidana yang dilakukan seseorang. Jadi, pidana dalam teori ini hanya untuk pidana itu sendiri. Teori ini dikenal pada akhir abad ke-18 dan mempunyai pengikut-pengikutnya dengan jalan pikirannya masingmasing, seperti: Imanuel Kant, Hegel, Herberet, dan Sthal. Kedua adalah teori relatif atau yang di kenal dengan teori tujuan. Menurut teori ini tujuan pemidanaan bukan
9
hanya untuk pembalasan kepada orang yang melakukan tindak kejahatan, namun lebih untuk memberi tujuan-tujuan yang bermanfaat. Selanjutnya dikemukakan juga oleh Muladi mengenai Nigel Walker yang berpendapat bahwa bahwa teori ini lebih tepat disebut sebagai teori atau aliran reduktif (the reductive point of view), karena dasar pembenaran menurut teori ini adalah untuk mengurangi frekwensi kejahatan. Teori yang ketiga adalah Teori Retributive Teleologis (Teleological Retributivist) / Teori Gabungan. Di samping pembagian secara tradisional terhadap teori-teori pemidanaan seperti yang dikemukakan di atas, yaitu teori absolut dan teori relatif, terdapat lagi teori ketiga yang merupakan gabungan. Menurut Andi Hamzah, teori gabungan ini bervariasi juga. Ada yang menitikberatkan pembalasan dan ada pula yang menginginkan supaya unsur pembalasan seimbang dengan unsur prevensi.16 Di Indonesia pemidanaan yang digunakan adalah pemidanaan gabungan, karena menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan,
pemberian
pemidanaan
bukan
hanya
memberikan
suatu
kenestapaan tetapi juga memberi suatu pembinaan agar terpidana tersebut dapat kembali kemasyarakat dan tidak melakukan tindak pidana yang sama maupun jenis tindak pidana yang lain. Namun pada Pasal 10 dan Pasal 11 KUHP terdapat ketentuan pidana mati yang berlaku di Indonesia. Hal tersebut juga terdapat dalam undang-undang yang bersifat pidana khusus, seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan perubahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 dan UndangUndang tentang Narkotika. Pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 terdapat sebuah ketentuan pemberian pidana mati. Dengan adanya ketentuan
16
Andi Hamzah, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 31.
10
pidana mati maka terlihat adanya pertentangan antara ketentuan perundang-undangan dengan tujuan pemidanaan yang dianut oleh Indonesia, disamping terdapatnya ketentuan Pasal 28 I ayat (1) UUD RI 1945, tentang hak untuk hidup yang dilindungi negara, walaupun pada Pasal 28 J UUD RI 1945 menentukan aturan tersebut dapat diabaikan apabila ketentuan undang-undang mengatur secara berbeda, namun hak hidup dari setiap warga harus terlebih dahulu di utamakan. Undang-undang lain yang menjadi pertentangan dengan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption, 2003, undang-undang ini meratifikasi tentang Konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi yang disahkan pada tahun 2003, dalam ketentuan dari pasal-pasal yang ada dalam Konvensi ini tidak ada yang memuat tentang pemberian hukuman mati kepada pelaku tindak pidana korupsi, hal tersebut menunjukan bahwa dunia internasional sudah tidak menginginkan adanya hukuman mati tersebut. Dengan alasan yang telah dipaparkan diatas tersebut, maka penulis ingin membuat skripsi dengan judul “Tinjauan Terhadap Peraturan Pidana Mati Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
1.2
Rumusan Masalah
Dan dengan hal tersebut penulis merumuskan masalah yang akan diangkat
1. Bagaimana pengaturan pidana mati dalam tindak pidana korupsi di indonesia?
11
2. Bagaimana sebaiknya pengaturan pidana mati dalam tindak pidana korupsi di indonesia di masa yang akan datang?
1.3
Ruang Lingkup Masalah Agar tidak menyimpang dari pokok permasalahan sebagaimana yang telah
diuraikan di atas, maka berikut akan dipaparkan mengenai batasan-batasan yang menjadi ruang lingkup permasalahan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Mengenai bagaimana pengaturan tentang pidana mati dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia 2. Mengenai bagaimana pengaturan pidana mati yang tepat dan efektif digunakan untuk pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia di masa yang akan datang. 1.4
Tujuan Penulisan a. Tujuan Umum Berikut ini merupakan beberapa tujuan umum yang ingin dicapai dari penelitian ini, yaitu: Untuk menambah pengetahuan hukum pidana mengenai pemberlakuan hukuman mati dan juga untuk memberikan sumbangan pemikiran mengenai pidana mati di Indonesia.
12
b. Tujuan Khusus Tujuan khusus yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana pengaturan pidana mati dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia 2. Untuk mengetahui dan memahami penerapan pidana mati dalam peraturan pemberantasan tindak pidana korupsi di masa yang akan datang. 1.5 Manfaat Penulisan a. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan wawasan dalam bidang hukum khususnya hukum pidana yaitu yang berkaitan dengan pemberian pidana mati kepada pelaku tindak pidana korupsi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pengembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana. b. Manfaat Praktis 1. Diharapkan memberikan acuan bagi penegak hukum mengenai pidana mati yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi. 2. Diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para pembuat undang-undang dalam mengkaji permasalahan pidana mati di dalam peraturan perundangundangan.
13
1.6
Landasan Teoritis Dalam mengkaji
bagaimana sebenarnya kaidah-kaidah hukum pidana
didalam peraturan perundang – undangan yang ada dan yang tidak diatur dalam peraturan perundang undangan yang ada, beberapa teori dan asas hukum, yaitu: 1. Teori Pemidanaan Teori dalam pemidanaan, biasanya digunakan berbagai macam teori. Dari mulai teori pembalasan, teori tujuan sampai ke teori gabungan. Pertama, dalam teori pemidanaan dikenal dengan Teori absolute, atau teori retributive, atau teori pembalasan (vergerldingstheorien). Menurut teori ini, pidana dimaksudkan untuk membalas tindakan pidana yang dilakuakn seseorang. Jadi, pidana dalam teori ini hanya untuk pidana itu sendiri. Teori ini dikenal pada akhir abad ke-18 dan mempunyai pengikut-pengikutnya dengan jalan pikirnya masing-masing, seperti: Imanuel Kant, Hegel, Herberet, dan Sthal. Pada dasarnya aliran teori ini dibedakan atas corak subjektif (subjective vergelding) yang pembalasannya ditujukan pada kesalahan pembuat karena tercela. Dan corak objektif (objective vergelding) yang pembalasannya dilakukan oleh orang yang bersangkutan.17 Teori yang kedua yang digunakan adalah teori tujuan (doeltheorien). Teori ini lahir sebagai kritik atas teori pembalasan. Teori pembalasan kurang memuaskan, kemudian timbullah teori tujuan. Teori ini memberikan dasar pemikirannya bahwa dasar hukuman dari pidana adalah terletak dari tujuannya sendiri. Teori ini terbagi menjadi dua bagian, pertama teori 17
Bambang Poernomo, 1976, Asas-asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia: Jakarta. Hal 27-28.
14
pencengahan umum (algemene preventive atau general preventive).18 Teori ini ingin mencapai tujuan dari pidana, yaitu semata-mata dengan membuat jera setiap orang agar mereka itu tidak melakukan kejahatan-kejahatan. Sementara teori tujuan khusus (bijondere preventie,atau Speciale Preventie) mempunyai tujuan agar pidana itu mencegah penjahat dalam mengulangi lagi kejahatannya, dengan memperbaikinya lagi. Dalam pencegahan ini yang diperbaiki penjahatnya itu sendiri. Berdasarkan tujuan pidana yang dimaksudkan untuk pencegahan kejahatan ini, selanjutnya dibedakan dalam prevensi khusus yang ditujukan terhadap terpidana dan prevensi umum yang ditujukan terhadap masyarakat pada umumnya. Van Hammel menunjukkan prevensi khusus suatu pidana ialah sebagai berikut : 1. Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan, untuk tidak melaksanakan niat buruknya. 2. Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana. 3. Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki. 4. Tujuan satu-satunya suatu pidana ialah memmpertahankan tata cara tertib hukum19 Teori yang ketiga adalah Teori Retributive Teleologis (Teleological Retributivist) / Teori Gabungan.Di samping pembagian secara tradisional terhadap teori-teori pemidanaan seperti yang dikemukakan di atas, yaitu teori 18
Teori tujuan dapat juga desebut sebagai teori Utilitarian, sebagai reaksi terhadap teori absolute. Secara garis besar tujuan pidana menurut teori ini bukanlah sekedar untuk pembalasan, akan tetapi juga untuk mewujudkan ketertiban dalam masyarakat. Akan tetapi, pidana mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat. Pada dasarnya pembenaran teori ini adalah terletak pada tujuannya itu sendiri. Pidana dilakukan supaya orang jangan melakukan kejahatan kejahatan. Periksa dalam, Muladi dan barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni,Bandung. hal 16. 19 Slamet Siswanta, Pidana Pengawasan dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Tesis Fakultas Hukum Universitas Diponogoro, Semarang, hal. 51
15
absolut dan teori relatif, terdapat lagi teori ketiga yang merupakan gabungan. Menurut Andi Hamzah, teori gabungan ini bervariasi juga. Ada yang menitikberatkan pembalasan dan ada pula yang menginginkan supaya unsur pembalasan seimbang dengan unsur prevensi.20 Van Bemmelen merupakan salah satu tokoh dari penganut teori gabungan yang menitikberatkan pada unsur pembalasan. Beliau mengatakan :“Pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan masyarakat.” 21 Dalam hal teori gabungan yang menginginkan supaya unsure pembalasan seimbang dengan unsur prevensi, maka Andi Hamzah mengemukakan bahwa teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar daripada yang seharusnya. Selanjutnya diketengahkan juga oleh beliau, bahwa teori ini sejajar dengan teori Thomas Aquino yang mengatakan bahwa kesejahteraan umum menjadi dasar hukum undang-undang pidana khususnya.22 Menurut Muladi, terdapat beberapa penulis-penulis lain yang berpendirian bahwa pidana mengandung berbagai kombinasi tujuan yaitu
20 21 22
Andi Hamzah, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 31. Ibid, Hal 32. Ibid.
16
pembalasan, prevensi general serta perbaikan sebagai tujuan pidana. Mereka adalah Binding, Merkel, Kohler, Richard Schmid dan Beling.23 Dengan demikian, pada umumnya para penganut teori gabungan mempunyai paham bahwa dalam suatu pidana terkandung unsur pembalasan dan unsur perlindungan masyarakat. Adapun titik berat maupun keseimbangan di antara kedua unsur tersebut tergantung dari masing-masing sudut pandang penganut teori gabungan ini. Di samping itu, menurut aliran ini maka tujuan pemidanaan bersifat plural (umum), karena menghubungkan prinsip-prinsip teleologis (prinsip-prinsip utilitarian) dan prinsip-prinsip retributivist di dalam satu kesatuan sehingga seringkali pandangan ini disebut sebagai aliran integrative. Pandangan ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus, misalnya pencegahan dan rehabilitasi, yang kesemuanya dilihat sebagai saran-saran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan.24 Berkaitan dengan masalah tujuan atau maksud diadakannya pidana, John Kaplan mengemukakan adanya beberapa ketentuan dasar-dasar pembenaran pidana, yaitu : 1. untuk menghindari balas dendam (avoidance of blood feuds); 2. adanya pengaruh yang bersifat mendidik (the education effect); 3. mempunyai fungsi memelihara perdamaian (the peace-keeping function).25
23 24 25
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit. Hal 16. Ibid. hal. 51. Ibid. hal. 20.
17
Tujuan pemidanaan yang sekarang digunakan di Indonesia terlihat dari rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Pasal 2 menyatakan: Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa sistem pemidanaan Gabungan antara pemidanaan Teori Absulut atau Pembalasan dan Teori Relatif atau Teori Tujuan, seperti juga yang terlihat dalam Pasal 3 undang-undang ini. Jadi selain ingin member pembalasaan berupa nestapa dalam penjara atau Lembaga Pemasyarakatan, terpidana juga di bina agar dapat kembali kemasyarakat dan tidak lagi mengulangi kesalahannya. 1.7 Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Penulisan skripsi yang berjudul tentang Pidana Mati Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini merupakan suatu penelitian Normatif. Penelitian normatif adalah penelitian yang menjelaskan tentang asas-asas hukum yang terdapat dalam ketentuan perundangan-undangan26 seperti UUD Republik Indonesia 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
26
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1994, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada, hal. 28.
18
dan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. b. Jenis Pendekatan Pendekatan yuridis normatif mengacu pada hukum atau norma yang meliputi asas hukum, kaedah dalam arti sempit, dan peraturan hukum kongkret. Penelitian yang berobjekan hukum normatif berupa asas-asas hukum, sistem hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal27 Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, yaitu pembahasan terhadap objek penelitian yang akan dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan yuridis normatif berupa perundang-undangan, yaitu undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pendekatan lainnya adalah pendekatan perbandingan antara UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 dengan perubahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perbandingan dengan negara-negara diluar Indonesia. b. Sumber Bahan Hukum Suatu penelitian hukum normatif mengandalkan pada penggunaan bahan hukum primer (bahan-bahan pengetahuan ilmiah yang bersifat mengikat), bahan hukum sekunder (bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer)28 dan bahan hukum tertier (bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder). 1. Bahan hukum primer yang digunakan dalam pembahasan ini meliputi : 27 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II). Hal 44. 28 Ibid. hal 113.
19
a. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; b. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 31 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; c. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) 2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan pustaka yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam skripsi ini
adalah berupa buku-buku atau literatur, hasil-hasil
penelitian dan hasil-hasil karya dari kalangan hukum serta pendapat-pendapat dari para ahli yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat pada skripsi ini 3. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus dan ensiklopedia. d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik
pengumpulan
data
dalam
penulisan
skripsi
ini,
penulis
mengumpulkan bahan hukum dengan cara, yaitu: 1. Mencatat melalui sistem kartu terhadap data kepustakaan (data sekunder) yaitu, berupa undang-undang, artikel-artikel, dan buku-buku referensi yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini.
20
2. Menggunakan kartu judul. Cara ini dapat dilakukan apabila penulis tida mengetahui secara pasti nama pengarang, namun penulis mengetahui judul bahan pustaka yang dicari; 3. Menggunakan kartu subyek. Kartu subyek adalah pokok bahasan atau bidang ilmu yang menjadi isi suatu bahan. Dari kata subyek ini, penulis tidak perlu mengetahui nama pengarang maupun judul dari suatu bahan pustaka. Setelah dilakukan sistem kartu (card system), kemudian dilanjutkan dengan kualifikasi fakta dan kualifikasi hukum. Kualifikasi fakta dan kualifkasi hukum ini dilakukan dengan
cara mengutip kepustakaan
yang berhubungan
dengan
pertanggungjawaban individu dalam hukum internasional. e. Teknik Analisis Teknik deskripsi adalah uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Teknik Interpretasi adalah penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, historis, sistimatis, teologis, kontektual, dan lain-lain, dan yang terakhir adalah teknik evaluasi, yakni penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder.29
29
Fakultas Hukum, 2009, Univesitas Udayana, Pedoman Pendidikan, Bali, hal.61
21
Bahan-bahan hukum yang diolah tersebut dianalisis lalu ditarik kesimpulan secara sistematis agar tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain.