Home
Add Document
Sign In
Register
HUKUM WARISAN DI INDONESIA
Home
HUKUM WARISAN DI INDONESIA
1 HUKUM WARISAN DI INDONESIA Oleh Mr Wirjono Prodjodik oro K etu a M ahkam ah Agung di Indonesia K A A N Ml U»l» 5. PENERBITAN VORKINK VAN...
Author:
Harjanti Lie
136 downloads
397 Views
3MB Size
Report
DOWNLOAD PDF
Recommend Documents
MULTIKULTURALISME DI INDONESIA MENGHADAPI WARISAN KOLONIAL
Warisan Penyiksaan dan Tantangan Reformasi di Indonesia
Kearifan Hukum Warisan Leluhur Dayak
BAB II KAJIAN TENTANG WARISAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT. A. Pengertian Warisan Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat
PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA TERHADAP WARISAN BUDAYA BANGSA INDONESIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI
MENURUT HUKUM DI INDONESIA
HUKUM ABORSI DI INDONESIA
KETIDAKADILAN HUKUM DI INDONESIA
PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
RESTORASI HUKUM DI INDONESIA
REFORMASI HUKUM DI INDONESIA
WARISAN BUDAYA UNTUK SEMUA: ARAH KEBIJAKAN PENGELOLA WARISAN BUDAYA INDONESIA DI MASA MENDATANG 1
HUKUM RESPONSIF DAN PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
Hukum Islam sebagai Hukum Negara di Indonesia
PRODUK HUKUM DI INDONESIA PERSPEKTIF POLITIK HUKUM
HUKUM DAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA
HUKUM DAN KEBIJAKAN HUKUM AGRARIA DI INDONESIA
Pembaruan Hukum Perwakafan di Indonesia
PENEGAKAN HUKUM LAUT DI INDONESIA
Politik Hukum Perburuhan di Indonesia
LEGISLASI HUKUM KEWARISAN DI INDONESIA
Bagaimana Praktek Hukum di Indonesia?
MAKALAH KETIDAKADILAN HUKUM DI INDONESIA
Penalaran Hukum: Politik Hukum Terhadap Legislasi Hukum Islam di Indonesia
HUKUM
WARISAN DI INDONESIA O leh
Mr Wirjono Prodjodik’oro K e tu a M ahkam ah A gung d i Indonesia
KAAN Ml U »l»
5. PEN ER B ITA N VORKINK — VAN HOEVE BANDUNG — ’s-GRAVENHAGE
m Ut 200 26
í* lü
2004
d is
^í •i Ç- £
26 »"to ÜU05 f r . ^ . f t
2 7 Ah< 2005 p / -s
~>
0
j
2 1 FF8 ™ñfr“ A
28 lc
-t*1*
* H U KU M W A RISA N D I INDONESIA \
-i
2 9 ,—
1 tU M JU
■% j * # *
V
EC Q3&8
4 6 . o rr-s *?
h
^
ï , *•„/» *-• » £ =} ':i J « J * * K ' ) <■?'<-* !*-•'' * * »t1 *■ -*
¿ :^ U
.-j"
HUKUM WARISAN DI INDONESIA
Oleh
Mr W irjono Prodjodikoro
Ketua Mahkamah Agung di Indonesia
Dikeluarkan dari koleksi 'erpustakaan UI
9 JUW 2012
P E N E R B IT A N V O R K IN K -V A ® T iH © E ^ i > C T A & BANDUNG, — ’B GRAVENHAGH’ ’ - 1 * '
•*' * 'N ^ ’ “1 M ij.l.
•*NC
uku
0 .0 - 1 0 '2 ; 0 0 0 ! ?>. ( \ o h f a C & o o p
...................
H ak Pengarang dilindungi oleh undangi
KA TA PEMBUKAAN
Dalam tahun 1924 pernah saja ikuti suatu college dari Prof. Mr. E. M. Meyers di Perguruan Tinggi di Leiden, dalam mana guru-besar ini menga takan, bahwa manakala ia dalam udjian doktoral dalam ilmu Hukum menanjakan kepada seorang candidaat hal sesuatu tentang Hukum Warisan, maka tidak pernah ada jang lulus dalam udjian itu. Ini menandakan betapa sulit Hukum Warisan untuk dipeladjari. Djuga Dr. Th. W . Juynboll dalam bukunja „Handleiding tot de kennis van de Mohammedaanse W et volgens de leer der Sjafi’itische School”, tjetakan ke-4 (1 9 3 0 ) halaman 249 menundjukkan pada amat sukarnja hal mempeladjari Hukum Warisan diantara orang-orang Islam ditanah Arab sedjak dahulu kala, sehingga Nabi Mohammad s.a.w. pernah berkata : „Hukum Warisan meliputi separoh dari seluruh ilmu-pengetahuan”. Kalau saja sekarang mentjoba memberi gambaran dari Hukum W a risan, jang berlaku di Indonesia, maka saja melakukan pekerdjaan ini dengan keinsjafan bahwa berhubung dengan sulit persoalannja, hasil pe kerdjaan saja ini akan djauh dari pada sempurna. Meskipun demikian, sekiranja ada baik dan faedahnja, apabila ada suatu buku dalam bahasa Indonesia diterbitkan tentang Hukum Warisan jang berlaku di Indonesia. Mudah-mudahan pentjurahan tenaga saja dengan menulis buku ini ada sekadar manfaatnja bagi masjarakat Indonesia. W .P.
B A G IA N
I
PENGERTIAN WARISAN
Berbitjara tentang warisan menjalurkan pikiran dan perhatian orang kearah suatu kedjadian penting dalam suatu masjarakat tertentu, jaitu ada seorang anggota dari masjarakat itu meninggal dunia. Seorang manusia selaku anggota masjarakat, selama masih hidup,. mempunjai tempat dalam masjarakat dengan disertai pelbagai hak-hak dan kewadjiban-kewadjiban terhadap orang-orang anggota lain dari ma sjarakat itu dan terhadap barang-barang jang berada dalam masjarakat itu. Dengan lain perkataan : ada pelbagai perhubungan-hukum antara seorang manusia itu disatu pihak dan dunia luar disekitarnja dilain pihak sedemikian rupa bahwa ada saling mempengaruhi dari kedua belah pihak itu berupa kenikmatan atau beban jang dirasakan oleh masing2 pihak. Apabila seorang manusia tadi pada suatu waktu meninggal dunia, djadi apabila pihak satu dari dua pihak itu lenjap, maka dengan sendirinja timbul pertanjaan, apakah jang akan terdjadi dengan perhubungan-perhubungan-hukum tadi, jang mungkin sekali sangat erat sifatnja pada waktu si manusia itu masih hidup. Tidak tjukup dikatakan, bahwa perhubungan-perhubungan-hukum itu d juga lenjap seketika itu, oleh karena biasanja pihak jang ditinggal kan oleh pihak jang lenjap itu, tidak merupakan seorang manusia sadja atau sebuah barang sadja, dan djuga oleh karena hidupnja seorang manusia jang meninggal dunia itu, berpengaruh langsung pada kepentingan-kepentingan beraneka warna dari pelbagai orang anggota lain dari masjarakat, dan kepentingan-kepentingan ini, selama hidup seorang itu, membutuhkan pemeliharaan dan penjelesaian oleh orang itu, kalau tidak dikehendaki kegontjangan dalam masjarakat. Maka dari itu, ditiap-tiap masjarakat dibutuhkan suatu peraturanhukum jang mengatur bagaimana tjara kepentingan-kepentingan dalam masjarakat itu diselamatkan, agar masjarakat sendiri selamat djuga selaku tudjuan dari segala Hukum. Kinilah timbul pengertian „warisan”, jaitu suatu tjara penjelesaian perhubungan-perhubungan-hukum dalam masjarakat, jang melahirkan sedi kit banjak kesulitan sebagai akibat dari wafatnja seorang manusia. Dimana perhubungan-hukum ini mengenai kerochanian seorang jang wafat itu, seperti misalnja hal ketjjntaan atau persahabatan, sudah barang tentu hal-hal ini tidak diliputi oleh pengertian „warisan”, oleh karena rnelu'u mengenai kepribadian seorang, jang tidak mungkin diatur dari luar perihal beralihnja kepada seorang lain. Tinggal hal-hal kedimiawian sadja dari seorang wafat, jang oleh masjarakat dapat diharapkan adanja suatu peraturan tentang warisan.
HU KUM W ARISAN D I INDONESIA
Dan njatanja dari hal-hal keduniawian ini, jang dapat dianggap de ngan sendirinja beralih kepada orang lain jang ditinggalkan oleh seorang wafat, ialah hanja hal-hal mengenai kekajaan (vermogen) sadja dari se orang jang wafat itu. Pada zaman dahulu di Indonesia seperti misalnja di Djawa dan Atjeh, ada kemungkinan suatu pangkat beralih dari ajah keanak pada waktu si ajah meninggal dunia. Sekarang dapat dikatakan, bahwa perhubungan-perhubungan-hukum jang berhubung dengan wafatnja seorang dibutuhkan diatur, adalah hanja jang mengenai kekajaan seoratig itu. (vermogensrechtelijke betrekkingen). Bahkan dari perhubungan-perhubungan-hukum sematjam ini tidak semua dapat diperalihkan, melainkan ada jang harus dianggap lenjap seketika wafatnja seorang itu, djadi tidak beralih kepada orang lain jang masih hidup. Misalnja dapat disebutkan : perhubungan-hukum jang berdasar atas suatu perdjandjian buruh-madjikan jang terhenti dengan wafatnja si buruh; hak-hak dari Burgerlijk Wetboek mengenai perbendaan jang terhenti pada waktu wafatnja seorang, .seperti hak-memetik hasil dari suatu barang (vruchtgebruik), hak-memakai suatu barang (gebruik), dan hak mendiami sebuah rumah (bewoning). Lihat pasal-pasal 807 dan 818 B .W . Maka dapat ditegaskan selaku pengertian „warisan” ialah, bahwa warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan
kewadjiban-kewadjiban tentang kekajaan seorang pada waktu ia m ening gal dunia akan beralih kepada orang lain jang masih hidup.
B A G IA N
II
S IFA T W A R ISA N
Pengertian warisan, seperti jang telah dikatakan diatas, memperlihatkan tiga unsur, jaitu : ke-1 : seorang peninggal warisan (erflater), jang pada wafatnja me ninggalkan kekajaan, ke-2 : seorang atau beberapa orang ahli-waris (erfgenaam), jang ber hak menerima kekajaan jang ditinggalkan itu, ke-3 : harta-warisan (nalatenschap), jaitu udjud kekajaan jang ditinggalkan dan sekali beralih kepada para ahli-waris itu. Unsur ke-1 menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana hubungan seorang peninggal warisan dengan kekajaannja dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, dimana si peninggal warisan berada. Unsur ke-2 menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana harus ada tali-kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli-waris, agar kekajaan si peninggal-warisan dapat beralih kepada si ahli-waris. Unsur ke-3 menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana udjud kekajaan jang beralih itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan keke luargaan, dimana si peninggal-warisan dan si ahli-waris bersama-sama berada. Hubungan erat dengan sifat kekeluargaan Maka dengan demikian, oleh karena tiap-tiap masjarakat didunia ini mempunjai matjam-matjam sifat-kekeluargaan, dapatlah dikatakan, bahwa sifat warisan dalam suatu masjarakat tertentu adalah berhubungan erat
dengan sifat kekeluargaan serta pengaruhnja pada kekajaan dalam masja rakat itu. Dalam buku Asser-Meyers tentang Hukum Perdata di Negeri Belanda bagian IV mengenai Hukum Warisan tjetakan ke-4 (tahun 1941) halaman 3 dan 4 ditjeriterakan, bahwa kebanjakan bangsa-bangsa didunia ini mulamula tidak mengenal hak-milik perseorangan (individueel eigendom) atas barang-barang kekajaan, melainkan hanja mengenal milik-bersama dari suatu bangsa atau suatu suku-bangsa atau suatu keluarga (stam- of familieeigendom). Pada keadaan semula itu, menurut Meyers, tiada tempat bagi suatu peraturan Hukum-Warisan dalam arti jang sebenarnja (eigenlijk erfrecht), oleh karena dengan wafat seorang bukan m ilik atas barang jang beralih, melainkan hanja hal mengurus barang itu sadja jang harus dilandjutkan oleh orang lain jang masih hidup. Pendapat Meyers ini adalah benar, apabila Hukum-Warisan hanja dianggap mengenai beralihnja hak-milik atas barang. 9
HUKUM W ARISAN D I IN DO NESIA
Tetapi pengertian warisan, seperti jang saja kemukakan diatas, me liputi djuga lain-lain hak dan kewadjiban dari pada jang melekat pada hak-milik atas barang. Maka dapat dikatakan, bahwa dengan pengertian warisan jang luas ini, djuga pada zaman purbakala, jang tidak mengenal hak-milik perse orangan atas barang, ada tempat bagi suatu peraturan Hukum-Warisan. Tjerita Meyers tentang zaman purbakala ini memperkuat apa jang saja katakan diatas, bahwa ada hubungan erat antara sifat kekeluargaan dan sifat warisan, artinja : sifat dari kekeluargaan tertentu menentukan batas-batas, jang berada dalam tiga unsur dari soal warisan tersebut diatas. Maka, kalau saja dalam buku ini akan membitjarakan hal HukumWarisan di Indonesia, perlulah diketahui sifat kekeluargaan jang terdapat di Indonesia. D i Indonesia diantara orang-orang lndonesia-asli tidak terdapat satu sifat kekeluargaan, melainkan dipelbagai daerah ada pelbagai sifat kekeluar gaan, jang dapat dimasukkan dalam tiga matjam golongan, jaitu : ke-1 ; sifat kebapakan (patriarchaat, vaderrechtelijk), ke-2 : sifat keibuan (matriarchaat, moederrechtelijk), ke-3 : sifat kebapak-ibuan (parenteel, ouderrechtelijk). Dalam kekeluargaan jang bersifat kebapakan seorang isteri oleh ka rena perkawinannja adalah dilepaskan dari hubungan kekeluargaan dengan orang tuanja, nenek-mojangnja, saudaranja sekandung, saudaranja sepupu dan lain-lain sanak-keluarganja. Sedjak .perkawinannja si isteri itu masuk sama sekali dalam lin g kungan kekeluargaan suaminja. Begitu djuga anak-anak keturunan- dari perkawinan itu, ketjuali dalam hal seorang anak-perempuan sudah kawin, jaitu ia masuk dalam lingkungan kekeluargaan suaminja pula. Maka tjorak jang utama'A&n perkawinan dalam kekeluargaan jang bersifat kebapakan, ialah perkawinan dengan djudjuran, dimana si isteri dibeli oleh keluarga suaminja dari keluarga si isteri itu dengan sedjumlah uang harga pembelian,, jang ditanah Batak dinamakan djudjuran atau perundjuk atau antaran atau tuhor boli, dan ditanah G ajo dinamakan ondjog. Kekeluargaan, jang bersifat kebapakan ini di Indonesia terdapat di tanah Gajo, Alas, Batak, Ambon, Irian, Timor dan Bali. Kekeluargaan jang bersifat keibuan di Indonesia hanja terdapat di satu daerah sadja, jaitu ditanah Minangkabau. Setelah suatu perkawinan didaerah itu terdjadi, maka si suami turut berdiam dirumah si isteri atau keluarganja. Si suami sendiri tidak masuk keluarga si isteri, tetapi anak-anak keturunannja dianggap kepunjaan ibunja sadja, bukan kepunjaan ajahnja. Dan si ajah pada hakekatnja tidak mempunjai kekuasaan terhadap anak-anaknja. Pengertian pembelian si isteri oleh si suami atau oleh keluarga si suami, sama sekali tidak dikenal di Minangkabau. Sebaliknja si suamilah jang mendapat penghibahan dari isterinja berwudjud uang atau barang. Kekajaan jang dipergunakan untuk keperluan rumahtangga suamiisteri dan anak-anak keturunannja biasanja diambil dari milik keluarga si 10
SIFA T W ARISAN
isteri. Dan milik ini dikuasai oleh seorang jang dinamakan mamak-kepalawaris, jaitu seorang lelaki jang tertua pantjer laki-laki dari keluarga si isteri. Kekeluargaan jang bersifat kebapak-ibuan adalah jang paling merata terdapat di Indonesia, jaitu di Djawa, Madura,. Sumatera-Timur, Riau, Atjeh, Sumatera-Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate dan Lombok. Dalam kekeluargaan sematjam ini pada hakekatnja tiada perbedaan antara suami dan isteri perihal kedudukannja dalam keluarga masingmasing. Si suami sebagai akibat dari perkawinan mendjadi anggota keluarga si isteri, dan si isteri djuga mendjadi anggota keluarga si suami. Dengan demikian, sebagai akibat suatu perkawinan, seorang suami dan seorang isteri masing-masing mempunjai dua kekeluargaan, sedang dalam kekeluargaan orang-orang tuanja mereka masing-masing djuga mempunjai dua kekeluargaan, jaitu dari ajahnja dan dari ibunja. Begitu seterusnja untuk anak-anak keturunannja tiada perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan, antara tjutju laki-laki dan tjutju pe rempuan. Djuga disini tiada pengertian pembelian si isteri oleh suami atau oleh keluarga si suami. Kalau disini dalam permulaan perkawinan si suami memberi atau menjanggupkan akan memberi sedjumlah uang kepada si isteri, maka uang ini tidaklah berarti suatu uang-harga pembelian, melain kan berarti matjam-matjam, seperti misalnja uang untuk keperluan rumahtangga dari suami-isteri, atau penghibahan belaka. Mudah dapat dimengerti, bahwa melihat perbedaan dari tiga matjam sifat kekeluargaan tadi, ada perbedaan pula dalam sifat warisan dalam tiga matjam kekeluargaan itu. Tetapi apabila tiga matjam sifat kekeluargaan jang terdapat diantara orang-orang Indonesia-asli ini, dilihat pada keseluruhannja dan diban dingkan dengan sifat kekeluargaan jang terdapat diantara orang-orang warganegara Indonesia jang bukan Indonesia-asli, misalnja mereka jang dalam hal ini takluk pada Hukum Burgerlijk Wetboek, jaitu orang-orang Tionghoa dan Eropah, maka nampak ada persamaan sifat dari kekeluargaan dan warisan diantara orang-orang Indonesia-asli itu, jang memperbedakannja dari sifat kekeluargaan dan warisan diantara orang-orang Tionghoa dan Eropah tadi. Perbedaan jang terpenting ialah terletak pada adanja pasal 1066 B .W ., jang tidak terdapat didalam Hukum Adat diantara orang-orang Indonesia.-asli. Pasal 1066 B .W . ini menentukan adanja bak-mutlak dari para ahli' waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari hartawarisan, sedang dalam Hukum Adat diantara orang-orang Indonesia-asli agak banjak kalanja harta-warisan itu tidak diubah-ubah dan tidak boleh dipaksakan untuk dibagi antara para ahliwaris. Bagi orang-orang Indonesia-asli jang takluk pada Hukum Adat, harus diingat semula, bahwa bagian sangat terbesar dari mereka adalah beragama 11
HUKUM WARISAN D I INDONESIA
Islam, maka bagi golongan terbesar ini tidak dapat diabaikan pengaruh dari Peraturan Warisan jang terdapat dalam Hukum Agama Islam. Pengaruh ini tidak begitu dapat dikatakan dari Agama Hindu dan Agama Keristen terhadap Hukum Adat perihal Hukum Warisan. Bagi satu golongan warganegara Indonesia, jaitu orang-orang Arab, dapat dikatakan, bahwa bagi mereka pada umumnja berlakulah Peraturan Warisan dari Hukum Agama Islam, oleh karena Hukum Adat mereka boleh dibilang pada umumnja sama dengan Hukum jang berlaku di Negara Arab, dimana sekiranja Hukum Agama Islam berlaku penuh atau hampir penuh. Maka dari itu, apa jang nampak dari Hukum Warisan jang berlaku di Indonesia untuk para warganegara Indonesia, ialah bahwa : a. bagi orang-orang Indcmesia-asli pada pokoknja berlakulah Hukum Adat, jang seperti telah saja katakan, berbeda dalam pelbagai daerah dan jang ada hubungan rapat dengan tiga matjam sifat kekeluargaan tersebut diatas, jaitu sifat kebapakan, sifat keibuan dan sifat kebapakibuan; b. bagi orang-orang Indonesia-asli jajjg beragama Islam dipelbagai daerah ada pengaruh jang njata dari Peraturan Warisan dari Hukum Agama Islam; c. bagi orang-orang Arab sekiranja pada umumnja berlaku seluruh Hukum Warisan dari Agama Islam; d. bagi orang-orang Tionghoa dan Eropah berlaku Hukum Warisan dari Burgerlijk Wetboek (Buku II titel 12 s/d 18, pasal-pasal 830 s/d 1 1 3 0 ). Mengingat hal ini, maka dapat dimengerti, bahwa dalam uraian selandjutnja dalam buku ini tentang Hukum Warisan jang berlaku di Indonesia, terutama tiga matjam Peraturan Hukum Warisan jang akan ditindjau, jaitu ke-1 Hukum Adat, ke-2 Hukum Agama Islam dan ke-3 Hukum
Burgerlijk Wetboek.
12
B A G IA N
I II
H A L PEMBAGIAN H ARTA-W ARISAN ATAU D IPERTAH AN KAN UDJUD KESELURUHANNJA
Soal seperti jang saja sebutkan dalam kepala Bagian ini, saja dahulukan dalam mengupas hal Hukum Warisan, oleh karena sangat penting. Bahkan menurut Meyers tiada Hukum Warisan dalam arti jang sebenarnja, apabila Harta-Warisan tidak dapat atau tidak boleh dibagi-bagi. Diatas sudah disinggung sebentar adanja pasal 1066 B .W ., jang dapat dikata merupakan salah suatu „soko-guru” atau suatu sendi-pokok dari pada Hukum Warisan menurut Burgerlijk Wetboek. Pasal itu berbunji demikian : (1 ) Dalam hal seorang mempunjai hak atas sebagian dari sekumpulan Harta-Benda, seorang itu tidak dapat dipaksa membiarkan HartaBenda itu tetap tidak dibagi-bagi diantara orang-orang jang bersamasama berhak atasnja. (2 ) Pembagian Harta-Benda ini selalu dapat dituntut, meskipun ada suatu perdjandjian jang bertentangan dengan itu. (3 ) Dapat diperdjandjikan, bahwa pembagian Harta-Benda itu dipertangguhkan selama waktu tertentu. ( 4 ) Perdjandjian sematjam ini hanja dapat berlaku selama lima tahun, tetapi dapat diadakan lagi, kalau tenggang lima tahun itu telah lalu. Dengan demikian bagi orang-orang Tionghoa dan Eropah (warganegara) di Indonesia ada penentuan pokok, bahwa segala Harta-Warisan pada umumnja harus selekas mungkin dibagi-bagi. Dan membiarkan HartaWarisan tidak dibagi-bagi hanja dapat terdjadi dengan persetudjuan bulat dari para jang berhak atas Harta-Warisan itu. Ini berarti, bahwa apabila seorang ahliwaris menuntut pembagian Harta-Warisan dimuka Pengadilan, maka tuntutan ini pada hakekatnja tidak dapat ditolak. Hakekat ini djuga dianut dalam Hukum Agama Islam (lihat Juynboll halaman 2 51) djadi tegasnja pada: umumnja bagi orang-orang Arab di In donesia. Lain halnja dalam Hukum Adat bagi orang-orang Iridonesia-asli. Kini ada kemungkinan pada hakekatnja bagi Pengadilan untuk menolak pem bagian suatu Harta-Warisan, jaitu apabila menurut Hukum Adat disuatu tempat, Harta-Warisan tertentu tidak dapat dibagi-bagi atau belum tiba saatnja untuk pembagian itu.
H al Harta-Warisan jang tidak dapat dibagi-bagi Mr. T e r Haar dalam bukunja „Beginselen en stelsel van het Adatrecht” halaman 196-197 menjebutkari dua tjontoh, jaitu : 13
HU KUM W A RISA N D I IN DO NESIA
ke-1 : Harta-Pusaka di Minangkabau, ke-2 : Tanah-Dati di Ambon.
Harta-Pusaka d i Minangkabau Sifat keibuan dari kekeluargaan di Minangkabau memperlihatkan adanja sekumpulan barang-barang jang merupakan Harta-Pusaka kepunjaan suatu Keluarga, jang hanja dapat dipakai oleh segenap anggota dari K e luarga itu, tidak dim iliki oleh mereka masing-masing. Akibatnja ialah bahwa hal wafatnja seorang anggota dari Keluarga itu sama sekali tidak berpengaruh atas hubungan-hukum tentang HartaPusaka itu dengan anggota-anggota lain jang masih hidup dari Keluarga tadi. Malahan dengan wafatnja seorang anggota suatu Keluarga tadi, HartaPusaka dari Keluarga itu ditambah dengan barang-barang jang diperoleh seorang jang wafat tadi (harta-pentjaharian), jaitu setelah dikurangi de ngan pembajaran. hutang-hutang si wafat itu. Perlu sekiranja dikatakan, bahwa barang-barang pentjarian dari seorang suami jang, seperti diketahui, tidak mendjadi anggota Keluarga isterinja, pada waktu wafat seorang suami itu, masuk Harta-Pusaka dari Keluarga si suami itu, djadi tegasnja mendjadi harta-pusaka dari suadara-saudaranja sekandung dan anak-anak turunannja dari saudara-saudara perempuan. Ada kalanja suatu Keluarga mendjadi amat besar djumlah anggotanja. Dalam hal ini ada kemungkinan Keluarga itu dipetjah mendjadi dua, dan Harta-Pusaka dipetjah djuga mendjadi dua. Kedjadian ini dinamakan
gadang manjimpang. Ada kalanja djuga suatu Keluarga punah atau habis, oleh karena tiada orang-orang keturunan, maka Harta-Pusaka djatuh ketangan keluarga jang terdekat pada Keluarga jang punah tadi. Maka dengan demikian dapat dikatakan, bahwa di Minangkabau tidak ada Hukum Warisan antara orang-orang perseorangan (erfrecht tussen individúen), melainkan Hukum Warisan antara beberapa Keluarga. Perlu dikatakan djuga, bahwa kini pengertian Keluarga adalah ber tingkat-tingkat, mulai dengan Keluarga jang terdiri dari suami-isteri dengan anak-anaknja. Kalau si isteri ini meninggal dunia dengan meninggalkan sebidang sawah misalnja, maka sawah ini mendjadi harta-pusaka dari anakanaknja, dengan dinamakan harta pusaka rendah. Disamping ini ada barang-barang jang sebagai harta pusaka Unggi adalah milik Keluarga jang lebih besar, dibawah pimpinan seorang mamak-
kepala-waris. Prof. Mr. C. van Vollenhoven dalam bukunja „H et Adatrecht van Nederlandsch-Indié” djilid I halaman 263 , mentjeriterakan, bahwa ruparupanja dibeberapa daerah di Minangkabau ada mulai timbul Hukum W a risan perseorangan terhadap barang-barang pentjarian. Dan sekiranja ini terutama dapat dikatakan diantara orang-orang Minangkabau jang sudah lama merantau diluar daerah Minangkabau. 14
H A L . PEM BA G IA N
H A R TA -W ARISA N
Tim¿7h-Dati di Ambon ' .~ Sifat kebapakan dari kekeluargaan di Ambon memperlihatkan suatu adat kebiasaan disana, bahwa tanah-tanah jang didapat seorang setjara membeli atau setjara membuka hutan, sepeninggalnja seorang itu tidak dibagi-bagi diantara para ahliwaris, melainkan tetap tersedia untuk dipakai oleh segenap anggota dari „dati” atau Keluarga seorang jang wafat tadi, dibawah pimpinan atau pengurusan seorang „Kepala-Dati”, jang se rupa dengan „Mamak-Kepala-Waris” di Minangkabau. Seperti halnja di Minangkabau, oleh Ter Haar ditjeriterakan, bahwa apabila Dati jang menguasai tanah itu „linnjap” (habis), maka tanah itu djatuh ketangan Keluarga jang terdekat. Mr. C. van Vollenhoven dalam bukunja tersebut halaman 413 ada ragu-ragu, apakah tanah-dati ini merupakan tanah-milik dari Keluarga Dati itu seperti halnja dengan Harta-Pusaka di Minangkabau, ataukah kini hanja terdjadi pertangguhnja agak lama dari pembagian tanah-dati itu diantara para ahliwaris. Kalau memang hanja terdjadi pertangguhan sadja dari pembagian tanah, maka sekiranja akan mudahlah timbulnja di Ambon pula Hukum Warisan perseorangan terhadap tanah djuga.
Harta-Warisan jang hanja dapat dibagi-bagi dengan persetudjuan semua ahliwaris Ter Haar dalam bukunja tersebut diatas halaman 199 hanja menjebutkan satu tjontoh, jaitu barang kalakeran di Minahasa. Hukum Adat tentang barang kalakeran ini adalah sebaliknja dari pada peraturan pasal 1066 B .W . Pasal 1066 B .W . menentukan selaku hakekat-pokok, bahwa Harta Warisan biasanja harus dibagi-bagi, ketjuaLi apabila semua ahliwaris menjetudjui tidak diadakan pembagian, sedang barang kalakeran di Minahasa biasanja tidak dibagi-bagi, ketjuali apabila semua ahliwaris menghendaki pembagian.
Harta Warisan jang pembagiannja biasanja dipertangguhkan dan oleh kare na itu sementara dapat ditolak oleh Hakim Keadaan ini dapat dilihat didaerah-daerah dengan sifat kebapak-ibuan dari kekeluargaan, seperti misalnja di Djawa. Pertangguhan pembagian Harta Warisan kini pada pokoknja berdasar atas kebutuhan menegakkan langsung hidupnja suatu Keluarga jang terketjil, jaitu suatu somah jang terdiri dari suami-isteri dan anak-anak (gezin, household). Kalau suami atau isteri meninggal dunia, maka dirasakan keinginan agar Keluarga sesomah ini dapat hidup terus dari harta kekajaan jang ada seperti sebelum peristiwa kematian itu terdjadi. Mungkin sekali hidup terus seperti dulu itu akan terganggu, apabila harta-kekajaan jang ditinggalkan oleh jang wafat tadi, seketika dibagi-bagi diantara para ahliwaris. 15
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
Bagi djanda, baik perempuan maupun lelaki, dianggap lajak, djika ia dari harta kekajaan jang ditinggalkan itu, dapat terus hidup setjara pantas sampai wafatnja. Bagi anak-anaknja dianggap lajak, djika mereka tetap memperguna kan harta kekajaan itu sampai mereka mampu mentjari sendiri bekal untuk hidup setjara pantas. Menurut Ter Haar dalam bukunja tadi halaman 198 dulu di Lampong dan sekarang masih di Bali biasanja Harta Warisan tetap dipegang oleh anak laki-laki jang tertua, jang sebaliknja berkewadjiban untuk memeli hara adik-adiknja jang tetap bernaung didalam rumah orang tuanja. Tjara hidup jang pantas ini harus diartikan setjara djudjur dan tidak boleh disalah-gunakan untuk menghalang-halangi suatu pembagian harta warisan, jang dibutuhkan oleh seorang atau lebih ahliwaris tertentu. Kalau misalnja Keluarga jang ditinggalkan oleh wafatnja seorang suami atau isteri, adalah tjukup kaja, maka pembagian harta warisan tidak akan mengganggu si djanda untuk hidup setjara pantas dari bagian kekajaan jang ditinggalkan oleh jang wafat itu, sedang dilain keadaan mungkin sekali seorang ahliwaris amat membutuhkan menerima bagian kekajaan itu untuk memperbaiki perekonomiannja, jang barangkali kebetulan sangat buruk. Didaerah-daerah, dimana pengaruh Agama Islam ada agak besar, sekiranja orang lebih didorong untuk menerima pembagian harta warisan, oleh karena seperti diatas telah dikatakan, Hukum Islam tidak mengenal pertangguhan harta warisan seperti jang dikenal dalam Hukum Adat.
16
B A G IA N
IV
UDJUD HARTA W'ARISAN
Tentang udjud Harta Warisan ini nampak suatu perbedaan antara Hukum Adat serta Hukum Islam disatu pihak dan Hukum Burgerlijk Wetboek dilain pihak, jaitu perihal hutang-hutang dari si peninggal warisan. Menurut Hukum Adat serta Hukum Islam, apa jang pada hakekatnja beralih dari tangan jang wafat kepada para ahliwaris ialah barang-barang tinggalan dalam keadaan bersih, artinja : setelah dikurangi dengan pembajaran hutang-hutang dari si peninggal warisan dan dengan pembajaranpembajaran lain jang diakibatkan oleh wafatnja si peninggal warisan. Sebaliknja Hukum Burgerlijk Wetboek memandang selaku hakekat, bahwa jang diwaris oleh para ahliwaris itu, tidaklah hanja hal-hal jang bermanfaat sadja bagi mereka, melainkan djuga hutang-hutang dari si peninggal warisan, dalam arti bahwa kewadjiban membajar hutang-hutang itu pada hakekatnja beralih djuga kepada para ahliwaris. Seperti dikatakan diatas, dua-duanja ini mengenai hakekat. Dalam Hukum Adat pembagian Harta Warisan tidak selalu dipertangguhkan sampai semua hutang-hutang dari si peninggal warisan dibajar. Djuga apabila para ahliwaris sudah menerima bagiannja dari HartaWarisan, dapatlah mereka ditegor oleh para berpihutang (créditeur) untuk membajar hutangnja si peninggal warisan. Tentang hal ini Mr. Ter Haar dalam bukunja halaman 215 mengadjarkan, bahwa dikebanjakan daerah-daerah di Indonesia, terutama di Djawa, hutang-hutang ini harus dibajar oleh para ahliwaris sekadar barangbarang warisan jang mereka terima, adalah mentjukupi untuk membajai hutang-hutang itu. Tentang daerah Gianjar dipulau Bali oleh Dr. V. E. Korn dalam bukunja „Het Adatrecht van Bali halaman 519 ditjeriterakan, bahwa r u p a - r u p a n j a hutang-hutang si peninggal warisan hanja beralih dari orangorang tua kepada anak-anaknja dan dari suami kepada isteri atau sebaliknja, dan tidak kepada lain-lain sanak-keluarganja. Bagi Bali pada umumnja dikatakan oleh Korn, bahwa penagihan hutang si wafat terhadap para ahliwaris hatfus diadjukan dalam waktu 40 hari sesudah wafat si peninggal warisan, atau pada waktu diadakan slamatan bagi si wafat. Dalam praktek dilingkungan Hukum Adat diseluruh Indonesia sering ierdjadi, bahwa hutang-hutang dari si peninggal warisan dibajar semuanja oleh para ahliwaris tanpa memandang udjud harta benda jang ditinggalkan oleh si peninggal warisan. Ini tentunja tergantung dari hubungan perseorangan antara si pening 17
H U K U M W A R ISA N D I IN D O N ESIA
gal warisan dan para ahliwaris, dan djuga tergantung dari kemampuan para ahliwaris. Menurut Hukum Agama Islam, jang dalam hal ini kadang-kadang diturut dibeberapa daerah di Indonesia, misalnja di Djawa, dari HartaWarisan harus disampingkan sedjumlah uang untuk menebus kelalaian si wafat dalam hal melakukan salat dan hadji ke Mekkah. Uang ini lantas dimaksudkan akan diberikan kepada orang-orang, baik ahliwaris maupun orang luar, untuk melakukan salat-salat dan/atau hadji atas nama si wafat. Djuga ada penafsiran Hukum Agama Islam, jang menghendaki, bahwa sedjumlah uang jang dikesampingkan itu, tidak perlu selalu diperguna kan untuk menebus kelalaian tentang salat dan hadji tadi, melainkan djuga dapat diberikan selaku pitrah kepada orang-orang miskin. Perlakuan uang setjara jang tersebut belakangan ini, menurut hemat saja, adalah lebih memuaskan, oleh karena sukar untuk mengawasi, bahwa orang jang diberi uang untuk melakukan salat dan hadji itu, akan benarbenar melakukannja atas nama si wafat. Hakekat dalam Burgerlijk Wetboek, bahwa djuga hutang-hutang dari si peninggal warisan beralih kepada para ahliwaris, diterobos oleh penen tuan dalam B .W . sendiri, bahwa para ahliwaris dapat menghindarkan peralihan itu dengan dua djalan, jaitu ke-1 menolak harta-warisan, dan ke-2 menerima harta-warisan dengan sjarat diadakan perintjian udjud ba rang-barang warisan, hal mana berarti, bahwa hutang-hutang si peninggal warisan hanja dibajar sekadar dapat dipenuhi dengan mempergunakan barang-barang-warisan itu (lihat B .W . pasal 1023 dst., pasal 1044 dst., pasal 1057 dst.).
Biaja mengkuburkan majat Tentang pembajaran biaja mengkuburkan majat ada persamaan antara Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum B .W ., jaitu, bahwa Harta-Warisan pertama-tama harus dipergunakan untuk membajar biaja mengkuburkan majat itu. Hal ini dalam Hukum Adat dimengertikan demikian rupa, bahwa salah seorang ahliwaris dapat mendjual suatu bagian dari Harta-Warisan untuk membiajai penguburan itu. (Lihat Ter Haar halaman 213 dan putusan Landraad Purworedjo tanggal 15 Nopember 1934 dan putusan Raad van Justitie Semarang tanggal 5 April 1935, termuat dalam madjalah „Indisch Tijdschrift van het Recht” bagian 143 halaman 2 6 9 ). Untuk Hukum Agama Islam lihatlah Juynboll halaman 246. H al ini dalam Burgerlijk Wetboek tidak termuat dalam Bagian W a risan, melainkan dalam pasal 1149 ke-2, jang menundjuk biaja meng kuburkan majat itu selaku hutang jang „preferent” jaitu dapat didahulu kan pembajarannja dari harta-warisan sebelum lain-lain hutang dibajar. Hanja satu matjam hutang jang dapat didahulukan pembajarannja sebelum biaja mengkuburkan tadi, jaitu biaja untuk mensita barang-barang jang bersangkutan guna kemudian mendjual barang-barang itu dimuka umum untuk membajar semua hutang-hutang dari si peninggal warisan. 18
UD JU D H ARTA-W'ARI SAN
Kalau biaja mengubur ini terlalu tinggi, maka Hakim leluasa untuk menguranginja mengenai „preferensi” ini. Djadi djuga harus dibajar, tetapi bersama-sama dengan hutang-hutang lain, dengan kemungkinan hanja sebagian dapat dibajar, jaitu apabila harta-warisan tidak mentjukupi untuk membajar semua hutang-hutang. Bagi daerah Bali istilah „mengkuburkan majat” harus dibatja „mengabeni majat” (membakar m ajat). Berhubung biaja pengabenan ini ada sangat tinggi, maka disitu terutama nampak pentingnja memperlakukan majat menurut adat kebiasaan.
Tiada kesatuan pada Harta-Warisan Tentang hal ini Hukum Adat berbeda dari pada Hukum Islam dan Hukum Burgerlijk Wetboek. Dalam pandangan Hukum Islam dan Hukum B .W . Harta-Warisan dari siapa pun djuga merupakan kesatuan, jang dalam keseluruhannja ber alih dari tangan si peninggal warisan kepada para ahliwaris. Artinja : tiada perbedaan peraturan berdasar atas matjam atau asal barang-barang jang ditinggalkan itu. Hal ini ditegaskan dalam pasal 849 B .W ., jang mengatakan, bahwa Hukum dalam mengatur hal warisan tidak memperhatikan sifat (matjam) dan asal dari barang-barang jang ditinggal kan oleh si peninggal warisan. Bahkan ada pasal 833 B .W . jang menentukan, bahwa para ahliwaris dengan sendirinja („van rechtswege”) sedjak waktu wafatnja si peninggal warisan dianggap memiliki „segala barang-barang, hak-hak dan pihutang” milik si wafat. Djadi seolah-olah para ahliwaris melandjutkan kedudukan si wafat dalam masjarakat terhadap harta kekajaannja. Ini dalam Hukum Adat adalah berlainan. K ini tergantung dari matjam dan asal dari barang jang ditinggalkan itu, apakah atau bagaimanakah kekuasaan atas barang itu akan beralih kepada para ahliwaris atau beberapa orang dari mereka. Tentang tanah sawah didesa misalnja sering ada peraturan Hukum Adat, jang memberi kuasa kepada Desa untuk tjampur tangan dalam hal menguasai tanah itu, apabila jang berhak meninggal dunia. Ada kalanja tanah itu tidak beralih sama sekali kepada salah seorang ahliwaris dari si wafat, melainkan diserahkan kepada orang lain, jaitu menurut peraturan Hukum Adat jang berlaku ditempat itu. Menurut Ter Haar dalam bukunja halaman 211, di Atjeh pekarangan jang mendjadi tempat kediaman orang tua, pada waktu mereka meninggal dunia, seberapa boleh („bij voorkeur”) beralih kepada anak perempuan jang tertua, ditanah Batak kepada anak laki-laki jang tertua atau jang termuda. Kalau orang jang wafat itu, tidak meninggalkan anak, tetapi lain sanak keluarga selaku ahliwaris, maka didaerah-daerah dengan sifat kebapak-ibuan seperti di Djawa, mungkin ada adat-kebiasaan jang memperbedaan pewarisan a. barang-barang jang asal dari famili si suami, atau b. barang-barang jang asal dari famili si isteri, jaitu barang-barang sub a 19
HU KU M W ARISAN D I INDONESIA
beralih kembali kepada famili si suami dan barang-barang sub b beralih kembali kepada famili si isteri. Hanja barang-barang tinggalan jang diperoleh si suami atau si isteri itu sendiri selaku hasil pekerdjaannja sendiri, beralih kepada ahliwarisahliwaris mereka. Diantara barang-barang sematjam ada djuga perbedaan antara barangbarang milik-bersama dari suami dan isteri (gono-gini) disatu pihak dan barang-barang milik si suami atau si isteri masing-masing dilain pihak. D i Djawa misalnja barang gono-gini itu, apabila tidak ada anak, seh/ruhnja beralih kepada d j anda. Djuga sering diperlakukan setjara istimewa barang-barang seperti keris atau tumbak pusaka, jang ada kalanja hanja beralih kepada anak lelaki jang tertua atau kepada anak jang menggantikan ajah (jang wafat) dalam suatu djabatan Negeri. Sikap Hakim Perdata terhadap persoalan ini harus sangat berhatihati. Ia harus mulai dengan 'menjelami sampai dimana peraturan Hukum Adat itu masih hidup ditempat tertentu. Mungkin sekali alam pikiran dan alam perasaan orang-orang disitu sudah berubah selaku akibat perubahan zaman. Tekanan ekonomi pun dari para ahliwaris dapat merupakan alasan untuk menindjau sedalam-dalamnja arti jang sebenarnja dari pelbagai adat-kebiasaan tadi.
20
B A G IA N
V
PARA AH LIW ARIS
Salah satu dari tiga unsur dari pengertian Warisan ialah „ahliwaris” selaku orang-orang manusia jang berkepentingan atas peristiwa wafatnja seorang berhubung dengan adanja suatu harta kekajaan jang tersedia untuk dipergunakan akan keperluan keselamatan masjarakat. W afat seorang selalu mengakibatkan gangguan keseimbangan pada alam kerochanian dalam masjarakat (verstoring van magisch evenwicht in de maatschappij). Melihat atau mendengar chabar seorang manusia meninggal dunia, selalu mendorong pikiran dan perasaan mereka jang masih hidup kealam keadjaiban. Orang dapat bilang, bahwa keadjaiban ini hanja dapat dimengerti serta dirasakan, apabila dihubungkan dengan kemauan Tuhan Jang Maha Esa, tetapi wafat seorang manusia tetap merupakan suatu keadjaiban. Djustru oleh karena keadjaiban ini maka wafat seorang manusia se lalu mengakibatkan sekedar kegontjangan dalam suasana hidup diantara anggota-anggota suatu masjarakat, lebih-lebih diantara anggota-anggota suatu Keluarga, jang merasa dirinja masih „waris” dari si wafat itu. Kegontjangan suasana ini mula-mula melulu berupa rasa sedih diantara para „waris”. Kemudian taraf penuh perasaan belaka ini diikuti oleh taraf ketenangan’ pikiran, jang berkisar pada hal memperlakukan majat sebaikbaiknja. Maka hal mengkuburkan majat itulah menuntut perhatian penuh, djuga selaku penghormatan terachir terhadap si wafat. Setelah taraf penguburan ini lampau, dan kita menjampingkan ke gontjangan kerochanian jang tentunja masih ada diantara para waris, maka muntjullah suatu kegontjangan diantara para waris itu mengenai keduniawian. Kebutuhan akan menghilangkan kegontjangan ini menim bulkan dalam tiap-tiap masjarakat suatu peraturan Hukum Warisan. Dan dalam hal ini persoalan jang sangat penting ialah : siapa dari manusia-manusia jang masih hidup dianggap berhak atas harta-warisan jang ditinggalkan oleh si wafat. Diatas, dalam Bagian II, telah saja katakan, bahwa unsur „ahliwaris” dari pengertian Warisan menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana harus ada tali-kekeluargaan antara si peninggal warisan disatu pihak dan para ahliwaris dilain pihak, agar harta-kekajaan si peninggal warisan dapat beralih kepada para ahliwaris. Tentang soal ini ternjata ada perbedaan antara Hukum Adat, Hukum Agama Islam dan Hukum Burgerlijk Wetboek, maka soal ini saja kupas setjara selalu memperbandingkan tiga lingkungan Hukum tadi. 21
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
Anak
i Dalam tiga-tiganja lingkungan Hukum tadi (Hukum Adat, Hukum Agama Islam dan Hukum B .W .) anak-anak dari si peninggal warisan merupakan golongan ahliwaris jang terpenting, oleh karena mereka pada hakekatnja merupakan satu-satunja golongan ahliwaris; artinja lain-lain sanak-keluarga tidak mendjadi ahliwaris, apabila si peninggal warisan me ninggalkan anak-anak. Dilingkungan Hukum Adat tiada persamaan berhubung dengan ber lainan sifat kekeluargaan dipelbagai daerah. D i Minangkabau dengan sifat keibuan dari kekeluargaannja, apabila jang wafat itu seorang lelaki, maka anak-anaknja tidak merupakan ahli waris dari harta pentjariannja, oleh karena anak-anak itu merupakan se bagian dari Keluarga ibunja, sedang ajahnja tidak, melainkan tetap me rupakan sebagian dari kekeluargaannja sendiri. Maka harta pentjarian dari seorang lelaki jang meninggal dunia, diwaris oleh saudara-saudaranja sekandung. Mungkin sekali pada zaman sekarang keadaan ini sudah berubah, terutama dikalangan keluarga-keluar ga Minangkabau jang merantau diluar daerah aslinja. Dimana perubahan keadaan ini belum terdjadi, Ter Haar dalam bukunja halaman 206 mentjeriterakan, bahwa dalam praktek seorang lelaki jang mempunjai harta pentjarian jang agak Iumajan, memperbaiki sendiri hukum warisan di Minangkabau ini dengan sebelum meninggal, sudah menghibahkan barang-barang dari harta-pentjariannja kepada anak-anaknja. Di Lampong dan di Batak dengan sifat kebapakan dari kekeluargaan nja, seorang perempuan jang sudah kawin setjara djudjuran dan oleh karena itu masuk Keluarga suaminja dan dilepaskan dari Keluarganja sendiri, tidak merupakan ahliwaris dari orang-tuanja, jang meninggal dunia. Kinipun ada praktek penghibahan sebelum wafat. Di Bali jang kekeluargaannja djuga bersifat kebapakan, hanja anak lelaki jan g tertua sering mewarisi seluruh harta-warisan, tetapi dengan kewadjiban memelihara adik-adiknja serta mengawinkan mereka. Di Batak ada terdjadi anak lelaki jang termuda mewarisi seluruh harta-warisan, jaitu seorang ahliwaris jang paling lama berdiam bersama dengan orang-tua (lihat Ter Haar halaman 198). Di Savu dengan sifat kebapak-tbuan dari kekeluargaannja, hartawarisan dari seorang ibu hanja diwaris oleh anak-anak perempuan dan harta-warisan dari seorang ajah hanja diwaris oleh anak-anak lelaki, (lihat Ter Haar halaman 2 0 7 ). Kini pun ada praktek penghibahan sebelum wafat. Diiain-Iain daerah dengan sifat kebapak-tbuan, anak-anak, baik lelaki maupun perempuan, bersama-sama merupakan ahliwaris dari segala barangbarang warisan orang-orang-tuanja, baik ajah maupun ibu. Dilingkungan Hukum Islam ada perbedaan prinsipiil antara anak lelaki dan anak perempuan. Sekedar selaku landjutan dari keadaan pada waktu sediakala ditanah Arab dengan sangat kuat sifat kebapakan dalam kekeluargaannja, maka dalam Hukum Islam pada hakekatnja hanja anak22
PARA AHLI-W'ARIS
anak lelaki dianggap sebagai ahliwaris jang berhak atas harta-warisan si wafat. Sekedar selaku tambahan atau keketjualian dari Hukum Warisan jang berasal dari keadaan sediakala ditanah Arab ini, maka dalam kitab Sutji Qur'an dalam hal tiada anak lelaki, seolah-olah setjara belas kasihan, di tentukan harus diberikan kepada anak perempuan bagian tertentu dari hartawarisan, jaitu bagian separoh dari segenap barang-barang warisan, apabila hanja ada seorang anak perempuan, dan bagian dua pertiga, apabila ada lebih dari seorang anak perempuan. Sekedar selaku tambahan lagi dari peraturan ini, ditetapkan dalam Qur'an, bahwa apabila ada anak-anak lelaki dan perempuan, maka anakanak perempuan akan bersama-sama dengan anak-anak lelaki mewarisi harta-warisan ajahnja, tetapi bagian setiap anak perempuan adalah hanja separoh dari bagian setiap anak lelaki. Maka, menurut Hukum Islam, apabila si peninggal warisan hanja meninggalkan anak-anak perempuan sadja dan tiada anak lelaki, maka saudara-saudara sekandung dari si peninggal warisan merupakan ahli-waris disamping anak-anak perempuan, sedemikian rupa, bahwa, dengan adanja hanja seorang anak perempuan, ia mewarisi separoh, dan dengan adanja lebih dari seorang anak perempuan, mereka mewarisi dua-pertiga dari se luruh harta-warisan, sedang sisanja djatuh ditangan saudara-saudara sekan dung dari si peninggal warisan. Mr. Djojodiguno dan Mr. Tirtawinata dalam penjelidikannja di Djawa-Tengah menjatakan, bahwa diseluruh Djawa-Tengah penentuan dari Hukum Islam ini tidak dianut dalam praktek Hukum Adat, dengan akibat, bahwa di Djawa-Tengah djuga dengan adanja hanja anak-anak perempuan, saudara-sudara sekandung dari si peninggal warisan tidak turut mewarisi harta-warisan si wafat. Pengaruh Hukum Agama Islam tentang hal ini ternjata terlihat hanja perihal pembagian harta-warisan antara anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan, jaitu bahwa anak lelaki mendapat dua kali lipat dari bagian anak perempuan, dan kebiasaan ini di Djawa-Tengah hanja diketemukan dibeberapa desa sadja oleh Mr. Djojodiguno dan Mr. Tirtawinata (lihat bukunja halaman 330). Dilingkungan Hukum Burgerlijk W etboek tentang hal ini terdapat persamaan dengan Hukum Adat, djadi berlainan dengan Hukum Islam. (lihat pasal 852 B .W ., jang menjebutkan : „Kinderen ........ zonder onderscheid van kunne”, anak2 dengan tidak diperbedakan perihal kelaminnja).
Anak angkat Anak angkat adalah seorang bukan turunan dua orang suami-'isteri, jang diambil, dipelihara dan diperlakukan oleh mereka sebagai anak-turunannja sendiri. Hukum Islam tidak mengenal pengangkatan anak itu, maka didaerahdaerah jang ada tebal pengaruh Hukum Agama Islam dalam masjarakat, ada kemungkinan tidak dikenal pula anak angkat.
HU KUM W A RISAN D I IN DO NESIA
Di Minangkabau misalnja rupa-rupanja tidak dikenal anak-angkat, tetapi tidak terang apakah ini disebabkan oleh pengaruh Hukum Agama Islam atau disebabkan oleh adanja sifat keibuan dari kekeluargaan disitu. Didaerah-daerah lain jang mengenal adanja anak-angkat, anak-angkat itu pada hakekatnja mempunjai kedudukan-hukum sebagai anak-turunan, djuga mengenai harta-warisan. „Pada hakekatnja” saja katakan, oleh karena dibeberapa daerah nam pak kedudukan anak-angkat perihal warisan tidak tepat sama dengan ke dudukan anak turunan. Pengadilan Negeri Purworedjo dalam putusannja tanggal 25 Agustus 1937, dimuat dalam madjalah „Indisch Tijdschrift van het Recht" bagian 148 halaman 299, menetapkan, bahwa barang pentjarian dan barang gonogini djatuh pada djanda dan anak-angkat, sedang barang asal kembali pada saudara-saudara si peninggal warisan, djikalau jang wafat itu tidak mempunjai anak keturunannja sendiri. Djustru berhubung dengan disamakan atau hampir disamakan anakangkat dengan anak-kandung ini, maka para Hakim harus awas-awas dalam menentukan, apakah betul-betul ada terdjadi suatu pengangkatan anak atau hanja pemeliharaan belaka dari seorang anak orang lain. Pada hakekatnja seorang baru dapat dianggap anak-angkat, apabila orang jang mengangkat itu, memandang dalam lahir dan batin anak itu sebagai anak keturunannja sendiri. Di Minahasa ada suatu adat-kebiasaan jang kelihatannja mirip dengan pengangkatan anak, tetapi sebetulnja bersifat lain sekali. Adat-kebiasaan itu ialah, bahwa sering terdjadi suatu perdjandjian, bahwa si A berdjandji akan memelihara si B jang sudah agak tua, sampai si B itu meninggal dunia, dan djuga akan mengurus penguburan si B itu, sedang sebaliknja si B berdjandji, bahwa si A akan mewarisi barang-barang kepunjaan si B, jang akan ditinggalkan, apabila ia, si B, meninggal dunia. Burgerlijk W etboek tidak kenal anak-angkat. Berhubung dengan ini bagi orang-orang Tionghoa jang pada umumnja takluk pada Burgerlijk Wetboek, diadakan peraturan tersendiri dalam Staatsblad 1917-129 bagian II mengenai pengangkatan anak (adopsi). Menurut pasal 12 dari peraturan itu, anak-angkat itu disamakan sama sekali dengan seorang anak kandung. Ada perbedaan antara adopsi diantara orang-orang Tionghoa ini dan pengangkatan anak menurut Hukum Adat bagi orang2 Indonesia-asli, jaitu perihal perhubungan-hukum antara anak-angkat dan orang-tuanja sendiri. Pada adopsi bagi orang-orang Tionghoa perihal warisan terputuslah hubungan-hukum itu (pasal 14 ), sedang dilingkungan Hukum Adat sudah pernah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Purworedjo tanggal 6-10-1937 (T . 148 halaman 3 0 7 ), bahwa seorang anak-angkat menurut Hukum Adat tetap berhak atas harta-warisan jang ditinggalkan oleh orang-tuanja sendiri. Tentang pengangkatan anak dan adopsi ini saja menulis lebih pandjang dalam buku saja jang berkepala „Hukum Perkawinan di Indonesia halaman 78 s/d 82. 24
PARA A H LI-W ARIS
D j mula perempuan Kedudukan djanda perempuan dari seorang lelaki jang meninggal dunia, pantas mendapat perhatian dan ternjata diperlakukan setjara istimewa dalam tiga-tiganja lingkungan Hukum, jaitu Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Burgerlijk Wetboek. Dalam hubungan dengan si wafat, sudah terang ada perbedaan antara djanda-perempuan disatu pihak dan anak-anak si wafat dilain pihak, jaitu dilihat dari sudut tali-kekeluargaan berdasar atas persamaan-darah (bloedverwantschap). Tali-kekeluargaan semat jam ini pada hakekatnja dan pada umumnja sama sekali tidak ada antara si wafat dan djanda-perempuan. Kalau pengertian ahliwaris melulu dihubungkan dengan persamaan darah-asal ini, maka sudah terang, bahwa djanda-perempuan pada hakekat nja tidak mungkin merupakan ahliwaris dari si wafat. Tetapi sebaliknja ada kenjataan djuga, bahwa pada umumnja dalam suatu perkawinan hubungan lahir dan batin antara oknum suami dan oknum isteri dapat dikatakan sedemikian eratnja, sehingga m elebihi hu bungan antara si wafat dan para sesama darah-asal. Kenjataan ini menimbulkan suatu rasa-keadilan, jang perihal warisan si wafat harus memberi kepada djanda-perempuan suatu kedudukan jang pantas disamping kedudukan anak-anak keturunan si wafat.
Menurut Hukum Adat Di Minangkabau dengan sifat keibuan kekeluargaan, sebetulnja ke dudukan djanda perempuan terhadap harta-warisan suaminja jang wafat, tidak merupakan soal, oleh karena harta-pentjarian jang ditinggalkan oleh suami itu, beralih kepada saudara-saudara sekandung dari suami itu, djadi kembali kepada Keluarganja sendiri. Terhadap Harta-Pusaka si suami sudah sedjak semula tidak mempunjai hak, maka sudah semestinja Harta-Pusaka itu, sekedar dipakai oleh suami itu selama masih hidup, pada waktu wafatnja kembali kepada kekuasaan mamak-kepala-waris dari Keluarga si isteri. Didaerah-daerah dengan sifat kebapakan kekeluargaan seperti di Batak dan Bali, sekedar masih kuat anggapan bahwa setjara djudjuran seolah-olah si isteri oleh Keluarga si suami dibeli dari Keluarga si isteri, maka mungkin djuga seorang djanda-perempuan dianggap selaku bagia)! dari HartaW arisan, jang beralih djuga kepada para ahliwaris dari suaminja, dengan akibat, bahwa tidak djarang djanda-perempuan mendjadi isteri dari saudara lelaki dari almarhum suaminja (leviraatshuwelijken). Kalau perkawinan dengan saudara lelaki dari suami ini tidak terdjadi, maka di Batak dan Bali dan dilain-lain daerah dengan sifat kebapakan kekeluargaan, seperti di Lampong, djanda-perempuan tetap merupakan se bagian dari Keluarga si suami, dan dengan demikian pada umumnja djandaperempuan itu tidak akan terlantar dan akan tetap menikmati barangbarang jang ditinggalkan oleh suami jang wafat itu. 25
H U KU M W A R ISA N D I IN D O N ESIA
Oleh Korn dikatakan dalam bukunja halaman 521, bahwa di Bug-bug djanda-perempuan bukanlah ahliwaris dari suaminja, tetapi harus tetap mendapat nafkah jang diambil dari harta-warisan almarhum suaminja. Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi dengan putusannja tang gal 30-11-1955 No. 90 K/Sip/1952, selaku hasil dari suatu penjelidikan Hukum Adat di Lom bok-Barat, menganggap, bahwa menurut Hukum Adat di Lombok-Barat, apabila seorang peninggal warisan hanja meninggalkan djanda-djanda dan seorang saudara kakak-perempuan, maka kakak-perempuan itu adalah satu-satunja ahliwaris, tentang barang-aslinja, tetapi ber hubung ada wadjib djanda untuk memelihara dan membereskan lwrtawarisan seluruhnja, termasuk pengabenan djenazah, maka kepada djandadjanda itu harus diberi pesangon, jang meliputi hasil dari sepertiga bagian dari Harta-Warisan. Bagaimanakah halnja didaerah-daerah bagian terbesar di Indonesia, dimana ada sifat kebapak-ibuan kekeluargaan ? Sekedar didaerah itu pengaruh Hukum Islam ada kuat, maka mungkin sekali didaerah itu peraturan Hukum Islamlah jang diturut, jaitu seperti halnja dengan seorang anak perempuan, dalam Qur’an kepada si djandaperempuan diberi bagian tertentu jang tetap dari harta-warisan; bagian ini adalah seperdelapan dari segenap harta-warisan, apabila ada anak-anak keturunan dari si wafat, dan seperempat, apabila tidak ada anak-anak ke turunan itu. Didaerah jang pengaruh Hukum Islam dalam hal warisan tidaklah kuat, dan djuga diantara orang-orang Indonesia-asli jang beragama Keristen, maka keadaannja adalah sebagai berikut. Pada pokoknja dianggap lajak, bahwa seorang djanda-perempuan se telah ditinggalkan oleh suaminja, seberapa boleh dapat meneruskan penghidupannja setjara jang pantas sampai ia meninggal dunia. Untuk keperluan hidup ini dianggap lajak pula, bahwa harta-warisan almarhum suaminja dipergunakan untuk itu, dimana dan sekedar perlu. Kalau disamping djanda-perempuan ada ditinggalkan anak-anak ke turunan suami-isteri berdua, maka biasanja tidak mendjadi soal, apakah djanda-perempuan itu mendapat bagian dari harta-warisan atau tidak, oleh karena biasanja suasana kerumah-tanggaan diantara ibu dan anak-anaknja sendiri itu tetap berlangsung seperti pada waktu suami/ajah belum wafat. Dengan dilandjutkannja suasana kerumah-tanggaan ini maka hartabenda jang sebelum wafat suami/ajah dipergunakan untuk hidup keluarga sesomah sehari-hari itu, tetap dipergunakan untuk itu, dengan tidak begitu dihiraukan, siapa jang mengurus harta-benda itu. Mungkin si djanda, mungkin djuga salah seorang anak, biasanja jang tertua. Dengan demikian djuga, harta-warisan itu biasanja tidak dibagi-bagi antara ibu dan anak-anaknja itu. Tetapi ada kalanja tentunja diantara anak-anak itu ada jang kemudian minta, supaja diadakan pembagian harta-warisan itu, mungkin terdorong oleh tekanan ekonomi. Dalam hal ini pembagian harta-warisan, sukar dapat dihalang26
PARA AHLI-W'ARIS
halangi oleh si djanda, asal sadja tetap diingat, bahwa si djanda itu mene rima bagian sekian banjaknja, sehingga ia dengan mempergunakan bagian itu dapat melandjutkan penghidupannja setjara pantas. Oleh karena untuk hidup itu sjarat pertama adalah tempat kediaman jang lajak, maka biasanja rumah dan pekarangan kediaman keluarga tetap diserahkan kepada djanda untuk terus didiami dan dipergunakan seperlunja. Disamping rumah dan pekarangan ini biasanja djuga diserahkan sebidang sawah, jang hasilnja tjukup untuk makan sehari-hari. Kalau harta-warisan hanja berupa rumah dan pekarangan dan sebidang sawah itu sadja, maka konsekwensinja ialah bahwa permo honan anak jang minta pembagian harta-warisan itu pantas ditolak, djuga oleh Hakim, apabila soalnja dihadapkan dimuka Pengadilan. Lain halnja, apabila disamping rumah, pekarangan dan sebidang sawah itu masih ada sisa barang-barang lain jang tjukup berharga. Dalam hal jang sedemikian ini, adalah lajak, apabila pembagian sisa dari harta-warisan itu dilakukan. Dalam hal ini harus diperlakukan setjara istimewa barang-barang milik bersama dari suami isteri, jaitu jang dinamakan misalnja : barangbarang perpantangan di Kalimantan, barang-barang tjakkara di SulawesiSelatan, barang-barang gono-gini di Djawa Tengah, barang-barang gunakaja atau tjampur-kaja di Djawa Barat. Separoh atau dibeberapa tempat sepertiga dari barang-barang milik bersama ini adalah bagian djanda perempuan dan sisanja dibagi diantara anak-anak, seperti halnja dengan barang-barang milik suami sendiri, baik jang asal dari leluhurnja, maupun jang ia peroleh dengan pekerdjaannja sendiri. Pembagian harta-warisan ini akan lebih terdorong terdjadinja, apabila diantara anak-anak itu ada jang bukan anaknja si djanda, melainkan anak tirinja, jaitu anak keturunan dari almarhum suami dengan isteri lain. Masih mendjadi pertanjaan, apakah setelah harta-warisan dikurangi dengan bagian jang lajak bagi penghidupan si djanda dan bagiannja dari barang-barang milik-bersama tadi, dalam membagi sisa dari harta-warisan tadi si djanda masih mendapat bagian atau tidak. Jurisprudensi dari Kamar ke-III Raad Djustisi di Djakarta dulu dizaman Belanda jaitu dari Pengadilan jang pada zaman Belanda ditugaskan selaku Pengadilan Tunggal untuk membanding putusan-putusan Pengadilan Negeri jang mengenai Hukum Adat, tjenderung pada pendapat, bahwa
pada hakekatnja seorang djanda perempuan bukanlah seorang ahli-ivaris terhadap harta-warisan almarhum suaminja. (lihat misalnja putusan-putusan Pengadilan „adatkamer” tadi : tanggal 17 Nopember 1939 (T . 153 halaman 148), tanggal 24 Nopember 1939 (T . 152 halaman 140), tanggal 26 Nopember 1939 (T . 151 halaman 193). Kalau memang demikianlah halnja, maka pada hakekatnja si djanda tidak berhak menerima bagian lagi dari „sisa” harta-warisan tadi. 27
v L
- i. r » U i\ w * v»
H U KU M W A RISA N D I IN D O N ESIA
Saja sedjak dulu sampai sekarang djuga belum dapat menjatakan ke benaran pendapat „Adatkamer” tadi setjara kaku dengan konsekwensi, bahwa si djanda tidak berhak menerima bagian lagi dari „sisa” harta warisan tadi. Dalam penjelidikan jang saja sendiri pernah lakukan didaerah Kabu paten Sidoardjo (Djaw a-Tim ur) dalam tahun 1937, jang hasilnja dimuat dalam karangan saja dimadjalah „Indisch Tijdschrift van het Recht" Ba gian 149 halaman 148, saja ketemukan disitu keadaan, bahwa dalam kebanjakan hal-hal jang in concreto terdjadi dalam pembagian harta-warisan seorang suami, si djanda-perempuan mendapat bagian dari harta-warisan tadi sedjumlah sama dengan bagiannja anak keturunan si wafat. Ter Haar dalam salah satu tjatatannja dibawah putusan-putusan Penga dilan dimadjalah „Indisch Tijdschrift van het Recht” djuga mengatakan, bahwa masih harus diselidiki lebih mendalam, apakah si djanda-perempuan tidak berhak menerima bagian dari „sisa” harta-warisan tadi, apabila „sisa” itu merupakan kekajaan jang amat besar nilai-harganja. Tjatatan Ter Haar ini memang tepat, oleh karena dalam hal seorang suami jang amat kaja, meninggal dunia, konsekwensi pendapat „adatkamer” tadi ialah bahwa anak-anak keturunan si wafat tetap kaja-raja, sedang si djanda-perempuan hanja mendapat harta-benda jang sekedar tjukup untuk hidup sehari-hari sadja. Bahwa hal ini merupakan hal jang sangat gandjil, sekiranja dapat dimengerti oleh siapapun djuga. Kegandjilan ini lebih-lebih nampak, apabila disamping djanda-pe rempuan itu tidak ada ditinggalkan seorang anak, djadi apabila selaku ahliwaris tampil kemuka saudara-saudara atau anak-anak saudara dari si wafat tadi. Sekiranja djuga kegandjilan inilah jang menjebabkan adanja kebiasaan, bahwa apabila tidak ada anak-anak dari si wafat itu, barang-barang milik bersama dari suami-isteri seluruhnja dianggap djatuh ketangan si djandaperempuan selaku milik-pribadi, sehingga para ahliwaris dari si wafat sama sekali tidak dapat mengutik-ngutik barang-barang gono-gini tadi dari tangannja si djanda-perempuan.
D janda lelaki Kedudukan djanda lelaki terhadap harta-warisan almarhum isterinja didaerah-daerah dengan kekeluargaan kebapak-ibuan, djadi dibagian ter besar dari wilajah Indonesia, pada hakekatnja adalah satna dengan kedu dukan djanda perempuan. Tetapi jang njata terdjadi didalam praktek, adalah berlainan, oleh karena biasanja djanda lelaki tidak akan terlantar perihal kehidupannja selaku akibat dari wafatnja si isteri. Maka biasanja tidak ternjata perlulah untuk memikirkan bagi si djanda lelaki bagaimana ia dapat melandjutkan penghidupannja sampai wafat. Dengan sendirinja si djanda lelaki dengan hasil pekerdjaannja sehari-hari dapat melandjutkan penghidupannja itu. 28
PARA A H LI-W A R IS
Dan lagi patut diingat, bahwa disegala lingkungan Hukum, baik dilingkungan Hukum Adat maupun ailingkungan Hukum Islam serta dilingkungan Hukum Burgerlijk Wetboek, selama suami dan isteri masih hidup berdampingan, si suami berkewadjiban memperlindungi si isteri dan memberi nafkah kepadanja menurut kedudukan dan kekajaan si suami (lihat pasal 45 ajat 2 dari Staatsblad 1933-74 tentang orang-orang Indonesia-asli jang beragama Keristen, dan pasal 107 ajat 2 Burgerlijk W etboek). Dengan demikian pula adalah sudah selajaknja, apabila dengan wafatnja si suami, dari harta-warisannja diambil sebagian jang tjukup untuk melandjutkan pemberian nafkah kepada si isteri jang mendjadi djanda. Didaerah Minangkabau dengan kekeluargaan jang bersifat keibuan, keadaannja adalah berlainan, oleh karena sudah pada hakekatnja si suami tidak masuk Keluarga si isteri, dengan akibat, bahwa pada hakekatnja djanda lelaki tidak berhak menerima apa-apa dari harta-warisan si isteri. Didaerah-daerah dengan kekeluargaan jang bersifat kebapakan, keada annja adalah berlainan lagi. Di Bali misalnja oleh Korn dalam bukunja halaman 519 dinjatakan dengan tegas, bahwa djanda lelaki mendapat bagian dari harta-warisan jang ditinggalkan oleh almarhum isterinja, jaitu barang-barang jang dulu oleh isteri pada waktu nikah dibawa dari rumah-aslinja, barang-barang jang diperoleh si isteri selaku hasil pekerdjaannja sendiri, dan barang-ba rang bagian si isteri dari harta-milik-bersama suami-isteri. Dikatakan pula oleh Korn, bahwa selaku keketjualian di Buleleng dan Djembrana barang-barang asal dari famili si isteri kembali kepada famili si isteri itu, apabila si isteri wafat sebelum lampau lima tahun setelah per nikahan, sedang di Giwang dikatakan, bahwa djanda lelaki hanja mewarisi barang-barang harta-warisan dari almarhum isterinja, apabila ada anakketurunan dari mereka berdua. Menurut Hukum Islam kedudukan djanda lelaki ada sedikit berlainan dari pada kedudukan djanda perempuan. Diatas telah dikatakan, bahwa djanda perempuan mendapat seperdelapan bagian dari harta-warisan al marhum suaminja, apabila ada anak-keturunan, dan seperempat bagian, apabila tiada anak-keturunan. Bagian-bagian ini bagi djanda lelaki adalah seperempat dan separoh, djadi pokoknja bagian djanda lelaki adalah ber lipat dua kali dari bagian djanda perempuan (lihat Juynboll halaman 2 4 4 ). Dilingkungan Hukum Burgerlijk W etboek, djadi 'bagi orang-orang Tionghoa dan Eropah, warganegara Indonesia, diseluruh wilajah Indonesia, sama sekali tiada perbedaan- antara kedudukan djanda perempuan dan kedudukan djanda lelaki. Untuk dua-duanja diadakan peraturan jang pada hakekatnja lain sifatnja dari pada peraturan di Hukum Adat jang telah diuraikan diatas. Burgerlijk Wetboek memandang djanda, baik perempuan maupun lelaki, selaku ahliwaris belaka dengan tiada perbedaan dari ahliwaris lain seperti anak-anak keturunan atau saudara-saudara sekandung dari si wafat. Pasal 852a B .W . menentukan, bahwa seorang djanda mendapat bagian dari harta-warisan almarhum suami atau isteri, seperti halnja dengan se 29
H U K U M W A R ISA N D I IN D O N E SIA
orang anak. Djadi apabila misalnja ada dua orang anak atau keturunan dari anak itu, maka djanda mendapat sepertiga bagian dari harta-warisan (lihat pasal 852 B .W .). Pasal 852a B .W . ini baru ditambahkan oleh Staatsblad 1935-486. Sebelum Staatsblad ini ada, pasal 832 ajat 1 B .W . menentukan, seorang djanda baru mendapat bagian dari harta-warisan almarhum suami atau isteri, apabila tidak ada ditinggalkan sanak-sanak-keluarga dari si wafat sampai tingkat ke-12, jang tentunja djarang sekali terdjadi. Djadi dulu praktis seorang djanda menurut B .W . bukanlah ahliwaris. Peraturan jang dulu itu, jang sesuai dengan Burgerlijk W etboek di Negeri Belanda dulu, adalah tiruan dari Hukum Romawi dan Code Civil dari Radja Napoleon di Perantjis. D i Perantjis sendiri sistim ini sudah dalam tahun 1891 diubah sede mikian rupa, bahwa djanda mendapat hak-menarik-hasil (recht van vruchtgebruik) jang meliputi seperempat bagian dari seluruh harta-warisan, apabila ada anak-anak keturunan dari si wafat, dan separoh bagian, apabila tiada anak-anak keturunan. Peraturan ini hampir sama dengan peraturan dalam Hukum Islam tentang hal ini. Dalam hal seorang dua kali kawin dan dari perkawinan jang pertama ada anak, maka, dalam B .W . hak dari seorang djanda selaku suami atau isteri kedua terhadap harta-warisan si wafat, diatur dalam pasal 852a dan pasal 181 setjara agak terbelit-belit. Pasal 852a B .W . mengatakan, bahwa bagian-warisan dari djanda tidak boleh melebihi bagian terketjil dari seorang anak-tiri tadi, dan setidak2nja tidak boleh lebih dari seperempat bagian dari seluruh harta-warisan. Pasal 181 B .W . mengatakan, bahwa selaku akibat dari tjampur-kekajaan antara suami dan isteri kedua atau antara isteri dan suami kedua sedang ada anak dari perkawinan pertama, maka orang-tua tiri tidak boleh mendapat keuntungan jang melebihi bagian terketjil dari seorang anaktiri itu dalam harta-warisan orang-tuanja sendiri, sedang keuntungan itu djuga tidak boleh lebih dari pada seperempat bagian dari seluruh hartawarisan orang-tua sendiri itu. Apabila misalnja harta-warisan berdjumlah Rp. 36.000,— dan oleh si wafat ditinggalkan djanda dan dua anak dari perkawinan pertama, djadi anak-tiri dari si djanda tadi, maka dua anak dan djanda seharusnja masing-masing mendapat sepertiga dari Rp. 36.000,— , djadi Rp. 12.000,— , tetapi si djanda menurut pasal 852a B .W . tidak boleh menerima lebih dari pada seperempat dari Rp. 36.000,-— , djadi Rp. 9.000,— . Kalau dalam hal ini Rp. 36.000,— itu adalah harta-tjampur-kekajaan (goederen in huwelijksgemeenschap), dan terdiri dari Rp. 30.000,— asal dari si wafat dan Rp. 6.000,— asal dari si djanda, maka menurut pasal 181 B .W . harus diperhitungkan sebagai berikut. Dari milik-bersama ini djanda berhak:atas separoh, djadi Rp. 18.000,— dan dengan demikian keuntungannja adalah Rp. 12.000,— . Dari hartawarisan jang berasal dari si wafat sedjumlah Rp. 30.000,— itu, dua anak 30
PARA A H LI-W ARIS
dan djanda masing-masing berhak atas sepertiga bagian, dari Rp 3 6 0 0 0 __ djadi Rp. 12.000,— . r•», Maka keuntungan djanda tidak boleh melebihi Rp. 12.000,__, tetapi djuga tidak boleh melebihi seperempat bagian dari Rp. 30.000* * diadi Rp. 7.500,— , maka djanda itu dapat menerima dari milik-bersama’ itu hanja Rp. 6 . 000,— ditambah Rp. 7.500,— djadi Rp. 1 3 . 500,— , tidak boleh Rp. 18.000,— . Dengan demikian timbul pertanjaan, pasal mana jang harus diturut, pasal 181 atau pasal 852a B.W . Assers-Meyers dalam bukunja dari tahun 1941 halaman 45 memberi djalan-keluar dari kesulitan ini jaitu, bahwa dalam hal ini, oleh karena untuk djanda pasal 181 B .W . adalah lebih menguntungkan baginja, supaja ia menolak harta-warisan (nalatenschap verwerpen). Pada hal apabila seandainja pasal 852a B.W . lebih menguntungkan baginja, sebaiknja si djanda itu menerima warisan dan mengichlaskan bagian dari milik-bersama dari perkawinan (afstand doen van de huwelijksgemeenschap). Agak mirip dengan peraturan tentang kedudukan djanda dalam Hukum Adat adalah pasal 852b B.W . Salah suatu hakekat dari kedudukan djanda selaku ahliwaris menurut Hukum Adat ialah, bahwa seberapa boleh tjara hidup si djanda dilandjutkan seperti dulu sebelum wafatnja si peninggal warisan. Dalam hal melandjutkan tjara hidup ini, jang biasanja nampak ialah, bahwa si djanda terus mendiami rumah-kediaman suami-isteri dengan perabot-perabot rumah itu. Artinja : rumah dan perabot-perabot rumah itu seberapa boleh tidak dibagi-bagi, melainkan tetap dipertahankan untuk terus dipakai oleh si djanda. Demikian pun halnja dalam pasal 852b B .W ., akan tetapi hanja, apa bila tiada anak, tjutju atau keturunan seterusnja dari si peninggal warisan. Dalam hal ini oleh pasal 852b B.'W. ditentukan, bahwa djanda berhak m e n g a m b i l dan terus memegang apa jang dinamakan „inboedel” dari harta-warisan. Dan „inboedel” ini menurut pasal 514 B.W . adalah barangbarang bergerak (roerende goederen), ketjuali uang kontan, pihutangpihutang, saham-saham pada pelbagai perseroan, barang-barang dagangan, a l a t - a l a t paberik, kapal-kapal dan lain-lain sebagainja. Dari pasal 515 B.W . dapat disimpulkan selaku pendjelasan, bahwa „inboedel” itu meliputi mebel-mebel dan perabot-perabot rumah (huisraad), kuda-kuda dan ternak lain, kereta-kereta dengan perabotnja, batu-batu per mata, buku-buku, tulisan-tulisan, gambar-gambar, lukisan-lukisan, patungpatung, sendjata-sendjata, barang-barang makanan. Djadi barang-barang ini jang merupakan isi rumah dan perabot-pera bot untuk hidup sehari-hari dapat dikekangi oleh djanda, meskipun seba gian dari barang-barang itu menurut Hukum Warisan dari Burgerlijk W etboek harus diwaris oleh lain-lain ahliwaris. Misalnja dalam hal ada tjampur-kaja diantara suami dan isteri (hu welijksgemeenschap van goederen) barang-barang itu hanja separoh adalah milik si djanda, sedang separoh jang lain adalah harta-warisan jang sebetul31
H U K U M W'ARISAN D I IN D O N ESIA
nja harus dibagi diantara para ahliwaris, jang mungkin sekali meliputi lain-lajn orang dari pada si djanda, misalnja orangtua atau saudara-saudara dari si peninggal warisan. Dalam hal ini oleh ajat 2 dari pasal 852b B .W . ditentukan, bahwa separoh dari „inboedel" jang merupakan harta-warisan itu diperhitungkan dengan bagian si djanda dari harta-warisan seluruhnja. Artinja : apabila harta-warisan terdiri dari separoh inboedel itu dan lain barang-barang kekajaan, maka harus dihitung berapa bagian dari harta-warisan seluruhnja itu jang harus djatuh pada djanda. Apabila nilai-harga dari bagian itu sama dengan nilai-harga dari separoh „inboedel” tadi, maka djanda, apabila ia mempergunakan haknja dari pasal 852b B. W . untuk mengambil seluruh „inboedel” itu, maka djanda itu tidak menerima lagi bagian dari barang-barang harta-warisan jang tidak merupakan „in boedel”. Apabila nilai-harga separoh inboedel itu melebihi nilai-harga bagian si djanda selaku ahliwaris almarhum suaminja, maka kelebihannja ini harus dikembalikan kepada para ahliwaris lain berwudjud uang atau barangbarang lain. Pasal 852b B .W . ini tidak berlaku, djadi djanda tidak berhak meng ambil „inboedel” ini, apabila si djanda mendjadi ahliwaris bersama-sama dengan anak-anak dan keturunan lain dari almarhum suaminja, djuga dari perkawinan jang duluan, djadi anak tiri dari si djanda. Dengan demikian dihindarkan, bahwa si djanda mungkin akan meng ambil barang-barang jang digemari oleh anak-anak tiri tadi. Dan lagi, sekiranja apabila si djanda berdiam bersama-sama dengan anak-anak almarhum suaminja, terutama kalau anak-anak itu adalah anaknja sendiri si djanda itu, maka biasanja keluarga sesomah (gezin) dari djanda itu terus berlangsung setjara terus melandjutkan hidup si djanda dalam rumah-kediaman suami-isteri dengan perabot-perabot rumah. Djadi dengan sendirinja sekiranja adalah biasa, bahwa rumah kediam an dengan perabot-perabot rumah itu tetap tertahan dan tidak terbagi-bagi antara para ahliwaris. Sedang apabila si djanda mendjadi ahliwaris bersama-sama dengan misalnja saudara-saudara atau kemanakan-kemanakan dari almarhum suami nja, ada kemungkinan besar ahliwaris-ahliwaris lain itu akan menuntut pembagian harta-warisan.
Ahliuaris-ahliwaris lain dari pada anak dan djanda Ahliwaris-ahliwaris lain ini baru 'berhak atas harta-warisan, apabila peninggal warisan tidak meninggalkan anak. Dalam hal ini harus dinjatakan semula, bahwa apabila seorang anaK lebih dulu meninggal dunia dari pada si peninggal warisan dan si anak itu meninggalkan anak-anak, maka tjutju-tjutju dari peninggal warisan ini mengganti orang-tuanja, djadi bersama-sama berhak atas 'bagian dari hartawarisan, jang sebenarnja harus djatuh pada anak peninggal warisan jang sudah wafat lebih dulu itu (plaatsvervulling). 32
PARA A H LI-W A R IS
Hal ini sudah pernah diputuskan pula oleh Bagian Adat (Adatkamer) dari Raad Djustisi Djakarta dulu pada tanggal 1 6 Desember 1938 ter muat dalam „rndisch Tijdschrift van het Recht” bagian 150 halaman ’ 239 Perlu kini diterangkan bahwa Hukum Islam tidak kenal penggantian warisan (plaatsvervulling) ini, maka didaerah-daerah jang pengaruh Hukum Islam ada agak kuat, mungkin masih mendjadi persoalan, apakah penggan tian warisan ini diakui dalam masjarakat. Dengan adanja penggantian warisan ini, maka kalau menindjau ahliwaris-ahliwaris lain dari pada anak si peninggal warisan, hal tjutjunja tidak perlu ditindjau. Sudah pernah diputuskan oleh Bagian Adat dari Raad Djustisi di Djakarta (tanggal 20-1-1939 termuat dalam T . 150 halaman 2 3 2 ), bahwa, apabila si peninggal warisan tidak meninggalkan anak atau tjutju dan tu runan seterusnja kebawah, maka orang-tua dari peninggal warisan adalah berhak atas harta-warisan, tentunja bersama-sama dengan djanda, kalau ada, dan apabila orang-tua itu sudah wafat lebih dulu, maka jang berhak atas harta-warisan ialah saudara-saudara sekandung dari si peninggal wa risan. D juga kini terdjadi penggantian warisan (plaatsvervulling), jaitu kalau saudara itu wafat lebih dulu dari pada si peninggal warisan, maka ia selaku ahliwaris diganti oleh anak-anaknja, kalau ada. Apabila anak dari saudara ini djuga sudah wafat lebih dulu, maka ia diganti oleh anak-anaknja, kalau ada. Begitu seterusnja. Dalam Hukum Islam hak-mewaris dari pada ahliwaris lain dari anak ini adalah begitu erat hubungannja dengan besar ketjilnja bagiannja, se hingga sebaiknja hal ini akan saja bitjarakan dalam bagian lain dari buku ini, jang mengenai besar ketjilnja bagian itu (erfporties). Dilingkungan Burgerlijk W etboek ada beberapa golongan ahliwaris, jang bertingkat dalam haknja atas harta-warisan, jaitu demikian : Golongan ke-1 jang bersama-sama berhak atas harta-warisan, ialah anak-anak dan/atau keturunannya dan djanda. Hukum Burgerlijk Wetboek djuga mengenal penggantian warisan atau „plaatsvervulling’'. Kalau golongan ini tidak ada, maka harta-warisan djatuh pada go longan ke-2, jaitu orang-tua dan saudara-saudara sekandung dan/atau anak-
anak keturunannja.
Kalau golongan ke-2 ini tidak ada, maka jang mendapat giliran ialah golongan ke-3, jaitu kakek-kakek dan nenek-nenek dan leluhur seterusnja keatas dari si peninggal warisan. Golongan ke-4 ialah sanak-sanak-keluarga jang lebih djauh dalam garis kesamping (in de zijlinie) sampai tingkat ke-6. Hal ini lebih djauh akan saja kupas dalam bagian „erfporties” dari Buku ini.
33
B A G IA N
D JU M LAH BA G IA N
VI
D ARI H ARTA-W ARISAN
( „ERFPORTIES")
Dalam hal ada lebih dari seorang ahliwaris, apabila suatu harta-warisan harus dibagi-bagi antara beberapa orang ahliwaris, maka pada hakekatnja ada perbedaan antara Hukum Adat disatu pihak dan Hukum Islam serta Hukum Burgerlijk Wetboek dilain pihak. Hukum Islam dan Hukum Burgerlijk Wetboek memungkinkan pem bagian harta-warisan tanpa memandang udjud dari barang-barang jang merupakan harta-warisan itu. Dan lagi ditetapkan semula bagian berapa dengan angka tertentu tiap ahliwaris akan menerima. Lain halnja dalam Hukum Adat, jang dalam pembagian harta-warisan melihat pada udjud barang-barang jang ditinggalkan oleh si wafat. Saja mulai dengan menindjau Hukum Adat tentang hal ini.
Menurut Hukum Adat Berhubung dengan sifat Hukum Adat jang pada umumnja bersandar pada tjara berpikir jang konkreet, tidak abstract, maka soal pembagian harta-warisan biasanja merupakan penjerahan barang warisan tertentu ke pada seorang ahliwaris tertentu, seperti misalnja sebidang sawah tertentu diserahkan kepada ahliwaris si A, sebidang pekarangan atau suatu rumah tertentu diserahkan kepada ahliwaris si B, suatu keris tertentu diserahkan kepada ahliwaris si C (biasanja seorang lelaki), suatu subang atau kalung tertentu diserahkan kepada ahliwaris si D (biasanja seorang perempuan).
Pengaruh Hak-pertuanan Desa Dimana ikatan Desa masih kuat berupa hak-pertuanan dari Desa itu atas tanah (beschikkingsrecht van de desa over grond), hampir-hampir tidak dapat dikatakan ada hak-waris dari para ahliwaris atas tanah itu. Artinja : tanah itu, kalau jang menguasainja wafat, pada hakekatnja terserah pada Pemerintah Desa atau pada Rapat Desa untuk ditentukan siapa jang akan mengganti si wafat selaku penguasa dan pengolah tanah itu. Tetapi biasanja, seperti di Djawa, tanah itu diserahkan kepada anak lelaki jang tertua dari si wafat, sekadar anak itu tjukup kuat tenaganja untuk mengerdjakan tanah itu. Kalau kekuatan tenaga jang tjukup itu tidak ada pada anak lelaki jang tertua, maka anak lelaki jang kedua men dapat giliran untuk diberi hak menguasai dan mengolah tanah itu, begitu seterusnja. Kebiasaan ini melahirkan sekedar suatu hak-waris dari anak-lelaki jang tertua dan jang tjukup kuat tenaga itu atas tanah jang ditinggalkan oleh si wafat jang menguasai tanah itu. Lambat-laun, dengan terus berkembangnja adat-kebiasaan itu, hak34
D JU M LA H B A G IA N DARI H ART AAV ARISAN
pertuanan dari Desa atas tanah itu dengan sendirinja mendjadi kurang kuat dan mendekati musnahnja sama sekali. Kalau ini terdjadi, maka hak si wafat atas tanah itu mendjadi hak-milik jang hampir terlepas dari suatu ikatan Desa. Meskipun demikian halnja, hak-pertuanan dari Desa masih mungkin terlihat, apabila dalam suatu Desa ada kebiasaan, jang membatasi djumlah luas tanah jang dapat dikuasai oleh seorang. Apabila misalnja anak-lelaki jang tertua pada waktu ajahnja masih hidup sudah mendapat hak-milik atas sebidang tanah lain di Desa itu setjara misalnja membeli atau mewaris dari mertua, sehingga apabila tanah itu ditambah dengan tanah-warisan dari ajahnja, ia akan mendapat seluas tanah jang melebihi batas jang ditentukan dalam Desa itu, maka tanah tinggalan ajah ini tidak diserahkan kepada anak lelaki jang tertua itu, melainkan kepada adiknja lelaki atau kepada orang lain. Djuga tidak diperbolehkan tanah-warisan itu djatuh ketangan -seorang anak, jang tidak lagi bertempat-tinggal diwilajah Desa jang bersangkutan. Tjontoh dari tanah jang terikat oleh hak-ketuanan-desa ini terdapat didaerah Tjirebon dengan nama tanab-kesikepan. Disamping tanah sematjam ini, daerah Tjirebon mengenal djuga tanah jang pewarisannja tidak dipengaruhi oleh hak-pertuanan-desa, jaitu jang dinamakan tanah-
jasan. Tjontoh lain terdapat dibeberapa tempat didaerah Djawa-Tengah de ngan nama tanah-pekulen atau tanah-plajangan, dan' orang jang menguasai tanah sematjam itu ada jang dinamakan knli-kentjeng, tetapi kini tanahpekulen itu sewafatnja si pemegang tanah itu ada kebiasaan diserahkan kepada djanda-perempuan, ketjuali apabila djanda itu sudah memegang tanah-pekulen sendiri, dalam hal mana tanah-pekulen almarhum suaminja itu djatuh pada anak si wafat, jaitu anak jang lebih tua mendapat prioriteit, begitu anak lelaki didahulukan dari pada anak perempuan. D i Djawa-Tengah tanah dengan hak-milik jang dapat diwaris tanpa pengaruh hak-pertuanan-desa dinamakan tanah-jasan atau tanah-pusaka. Di Bali ada terdapat nama tanah-padesaan untuk tanah jang pewarisan nja masih dipengaruhi oleh hak-pertuanan-desa, disamping nama bcuigket luput untuk sawah dan tegai luput untuk tanah tegalan, selaku tanah jang „luput” (lepas) dari pengaruh hak-pertuanan-desa.
Pengaruh Famili Menurut Van Vollenhoven dalam bukunja halaman 340, 390 dan 413, didaerah Minahasa, Ternate dan Ambon ada tanah jang apabila di tinggalkan oleh seorang wafat, djatuh pada fam ili si wafat, seperti di Minangkabau terhadap semua harta-warisan. Dipelbagai tempat di Indonesia ada beberapa barang tertentu, seperti keris dan tombak dianggap selaku barang-pusaka jang hanja dapat diserah kan kepada anak jang melandjutkan djabatan si wafat, atau kepada anak jang tertua atau kepada djanda, ketjuali apabila djanda oleh karena suatu 35
H U KU M TV ARISAN D I IN D O N ESIA
sebab berkeberatan untuk menjimpan barang-barang itu, dalam hal mana seorang ahliwaris lain diserahi barang itu. Tegasnja : barang itu tidak boleh djatuh pada orang lain jang bukan sanak keluarga si wafat, seperti didjual atau dihibahkan dan sebagainja. Diatas sudah dikatakan, kalau tidak ada anak jang ditinggalkan oleh si wafat, maka ada kalanja harta-warisan kembali kepada famili, dari mana barang-warisan itu berasal, djadi tidak diwaris oleh sanak-saudara jang tidak masuk famili itu.
Bermanfaat barang tertentu bagi jang mewaris Ukuran ini djuga sering dipergunakan dalam membagi barang-barang warisan diantara para ahliwaris, seperti misalnja suatu keris (bukan pusaka) didjatuhkan pada seorang ahliwaris lelaki dan suatu subang kepada seorang ahliwaris perempuan. D juga sering terdjadi sebidang sawah pada hakekatnja didjatuhkan pada seorang ahliwaris jang mampu mengerdjakannja. Berhubung dengan jang pernah dikatakan diatas, bahwa seorang djanda harus dapat meneruskan hidupnja setjara pantas, maka sudah masuk kebiasaan kepada seorang djanda itu diberikan rumah dan peka rangan jang dulu didiami olehnja bersama dengan si wafat. Dengan tjara-tjara pembagian harta-warisan seperti jang saja katakan diatas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa hal pembagian harta-warisan dilingkungan Hukum Adat pada hakekatnja adalah berdasar atas kerukunan
diantara para ahliwaris. Artinja : dalam membagi harta-warisan itu mereka tidak semata-mata memperhitungkan setjara ilmu pasti nilai-harga dari barang-barang ter tentu jang dibagikan kepada mereka masing2, asal mereka masing2 mene rima bagian jang lajak sadja. Kini menurut hemat saja tersimpul hakekat rasa-keadilan jang harus diperlakukan sedjauh mungkin dan jang sesuai dengan suatu adat-kebiasaan jang ternjata bertahun-tahun diudji bersama atas kebaikannja.
Pengaruh zaman \modern Pada berlakunja sedjarah dari zaman kuno sampai zaman modern, jang terutama disudut perekonomian menekan pada alam pikiran dan alam perasaan para ahliwaris berhubung dengan kebutuhan m a t j a m - m a t j a m se hari-hari, maka sudah sepatutnja nampak suatu gedjala dimasjarakat Indo nesia jang menudju kearah pembagian harta-warisan setjara ilmu-pasti. Kalau ini terdjadi, maka tidak boleh tidak harta-warisan harus didjual dan uang-harga-pendjualan dibagi-bagi diantara para ahliwaris jang berhak. Dalam hal ini dapat dikata, pada umumnja tidak diperbedakan antara ahliwaris lelaki dan ahliwaris perempuan, artinja bagian mereka masingmasing adalah sama. . Ini sesuai dengan merata aliran diseluruh dunia jang menghendaki persamaan hak antara wanita dan prija. Tetapi dibeberapa daerah di Indonesia masih ada terdapat kebiasaan 36
D JU M LA H B A G IA N D A RI H ARTA-W'ARISAN
seorang ahliwaris prija mendapat bagian berlipat dua kali dari pada bagian seorang ahliwaris wanita. Ini ternjata sisa dari pengaruh Hukum Agama Islam jang menentukan tjara pembagian sematjam itu.
Menurut Hukum Agama Islam Dalam Hukum Agama Islam ada dua golongan ahliwaris, jaitu ke-1 para asabat jang dianggap dengan sendirinja sedjak dahulu kala sebelum ada Agama Islam menurut Hukum Adat ditanah Arab, merupakan ahli waris, dan ke-2 : orang-orang jang oleh beberapa pasal dari Kitab Kur’cut ditambahkan selaku ahliwaris pula (koranische erfgenamen). Golongan ke-1, berhubung dengan adanja sifat kebapakan kekeluar gaan ditanah Arab, hanja terdiri dari anak-anak lelaki, tjutju-tjutju lelaki, anak dari anak lelaki, saudara-saudara lelaki, anak-anak lelaki dari saudarasaudara lelaki, ajah, kakek, begitu seterusnja. Golongan ke-2 jang oleh Kitab K ur’an ditambahkan selaku ahliwaris, ialah anak-anak perempuan, tjutju-tjutju perempuan, djanda perempuan, djanda lelaki, ibu dan nenek pantjer ibu, saudara perempuan, baik jang sebapak dan seibu maupun jang hanja sebapak atau hanja seibu. Disamping ibu disebut pula ajah, disamping saudara perempuan di sebut pula saudara lelaki, dan disamping saudara perempuan seibu disebut pula saudara lelaki seibu, sedang sebetulnja tiga orang lelaki itu sudah masuk ahliwaris-asabat (golongan ke-1). Sistim dari Hukum Islam tentang warisan ini ialah, bahwa untuk ahliwaris-ahliwaris tambahan menurut Kur’an ditentukan semula bagianbagian tertentu dari harta-warisan jang harus diberikan kepada mereka, sedang sisanja semua diserahkan kepada para asabat dengan tidak disebut bagian-bagian berapa mereka akan mendapat. Bagian-bagian tertentu jang harus diberikan kepada para ahliwaristambahan ini dinamakan Faraid, di Indonesia, terutama di Djawa lazimnja mendjadi parail. Bagi para asabat hanja ditentukan bagaimana giliran mereka akan me nerima harta-warisan, jaitu setjara berikut : ke-1 : anak-anak lelaki, ke-2 : turunan-turunan lelaki seterusnja, djadi tjutju-tjutju dengan pengertian, bahwa turunan jang lebih djauh tidak akan men djadi ahliwaris, apabila ada turunan jang lebih dekat, ke-3 : ajah, ke-4 : ajah dari ajah (kakek pantjer laki) bersama-sama dengan saudara lelaki. Kini setjara keketjualian disebutkan bagian ter tentu dari kakek pantjer lelaki ini, jaitu sedikit-sedikitnja se pertiga dari harta-warisan, djadi djuga apabila ada lebih dari pada dua saudara lelaki jang bersama-sama dengan kakek itu akan mewaris. Sistim faraid ditembus, apabila si peninggal warisan meninggalkan baik anak lelaki maupun anak perempuan. Dalam hal ini anak perempuan dianggap selaku asabat, djadi tidak mendapat bagian tertentu dari harta37
H U K U M i r A RISA N D I IN D O N ESIA
warisan, melainkan bersama-sama dengan anak lelaki menerima semua sisa dari harta-warisan setelah dikurangi dengan bagian-bagian tertentu dari ahliwaris-tambahan jang lain, seperti misalnja ibu dan djanda dari si wafat. H anja sadja ditentukan anak perempuan mendapat separoh dari bagian anak lelaki. Demikian djuga apabila si peninggal warisan meninggalkan baik sau dara lelaki maupun saudara perempuan. Faraid atau bagian tertentu dari para ahliwaris-tambahan adalah se perti berikut : Kalau hanja ada seorang anak, jaitu anak perempuan, maka ia men dapat 1/9 'bagian dari harta-warisan, apabila ada dua atau lebih anak pe rempuan, maka mereka mendapat dua-pertiga bagian, jang harus dibagi sama rata diantara mereka. Apabila disamping anak perempuan ada anak lelaki, maka anak pe rempuan itu tidak lagi menerima faraid y 2 bagian tadi, melainkan ia dianggap selaku asabat jang bersama-sama dengan anak lelaki mendapat sisa dari harta-warisan setelah dikurangi dengan faraid ahliwaris-tambahan lain, dengan pengertian bahwa bagian anak lelaki adalah dua kali lipat dari bagian anak perempuan. T ju tju perempuan, jaitu anak perempuan dari anak lelaki, kalau tidak ada anak lelaki lain jang masih hidup, mendapat y 2 bagian dari hartawarisan. Dua atau lebih tjutju perempuan mendapat dua-pertiga bagian. Kalau ada anak lelaki, tjutju perempuan tidak mendapat bagian sama se kali. Dengan demikian ternjata dalam Hukum Islam tiada sistim penggantian-warisan (plaatsvervulling), artinja : tjutju perempuan tadi tidak meng ganti ajahnja jang wafat lebih dulu dari pada si peninggal warisan. Kalau disamping tjutju perempuan tadi ada anak perempuan dari si peninggal warisan, maka mereka bersama-sama mendapat dua-pertiga ba gian dari harta-warisan. Apabila ada dua atau lebih anak perempuan, maka mereka mendapat dua-pertiga bagian, dan tjutju perempuan tidak mendapat apa-apa. Bapak dari si wafat mendapat faraid seperenam bagian dari hartawarisan. Apabila tidak ada keturunan lelaki (anak, tjutju dan seterusnja), maka si bapak mendjadi asabat. Kalau bapak si wafat sudah meninggal dunia lebih dulu, tetapi kakek lelaki masih ada, maka kakek lelaki ini mendapat faraid seperenam bagian. Tetapi apaibila si wafat djuga tidak meninggalkan keturunan lelaki, maka kakek lelaki itu mendjadi asabat pula. Ibu dari si wafat, apabila ada anak atau tjutju dari si wafat, atau apabila ada saudara dari si wafat, mendapat seperenam bagian dari hartawarisan (faraid ). Kalau tidak ada anak atau tjutju dari si wafat dan djuga tiada saudara dari si wafat, maka ibu mendapat faraid sepertiga bagian. ■ ' Apabila ibu sudah wafat lebih dulu, tetapi nenek-perempuan (ibu 38
D JU M LAH BA G IA N DARI HARTA-W'ARISAN
dari ibu) masih ada, maka nenek-perempuan ini selalu mendapat faraid seperenam bagian dari harta-warisan. Saudara peretnpuan dari si wafat mendapat faraid separoh bagian, dua atau lebih saudara perempuan mendapat dua-pertiga bagian dari hartawarisan. Tetapi apabila disampingnja ada saudara lelaki dari si wafat, maka saudara perempuan itu diperlakukan sebagai asabat, dan mendapat separoh dari bagian saudara lelaki. Kalau saudara perempuan itu hanja sebapak sadja dengan si wafat, dan ada dua atau lebih saudara perempuan jang seibu dan sebapak dengan si wafat, maka saudara perempuan jang hanja sebapak tadi, tidak men dapat apa-apa. Saudara lelaki jang hanja seibu dan saudara perempuan jang hanja seibu dengan si wafat, masing-masing mendapat faraid seperenam bagian. Apabila djumlah mereka ada lebih dari dua, maka mereka semua hanja mendapat sepertiga bagian. Tetapi mereka tidak mendapat apa-apa, apabila disamping mereka ada anak atau ajah atau kakek dari si wafat. Djanda-Ielaki mendapat separoh bagian, apabila tidak ada anak atau tjutju. Kalau ada, djanda lelaki hanja mendapat seperempat bagian dari harta-warisan. Djanda-perempuan mendapat seperempat bagian, apabila tidak ada anak atau tjutju dari si wafat. Kalau ada, maka bagian djanda perempuan mendjadi seperdelapan bagian dari harta-warisan. Dengan memperlakukan peraturan warisan dari Hukum Islam tersebut dialas, ada kalanja djumlah faraid jang harus dibagikan,, adalah lebih dari 100% dari harta-warisan. Juynboll dalam bukunja halaman 257 memberi selaku tjontoh seperti berikut : Tiada anak lelaki jang ditinggalkan, melainkan dua atau lebih anak perempuan jang mendapat dua-pertiga bagian atau 16/24 bagian, ajah jang mendapat seperenam bagian atau 4/24 bagian, ibu jang mendapat seperenam bagian atau 4/24 bagian, djanda perempuan jang mendapat se perdelapan bagian atau 3/24 bagian, ini semua berdjumlah 27/24 bagian djadi lebih dari 100% . Kalau ini terdjadi, maka harta-warisan harus dibagi mendjadi 27 bagian dan masing-masing mendapat : anak-anakperempuan .......... 16 bagian ajah .......................... ............. 4 bagian ibu ................ ....................... 4 bagian djandaperempuan ............... 3 bagian djumlah ........ 27 bagian Pada waktu di Djawa perkara warisan masih harus diputuskan oleh Raad Agama (Priesterraad), maka oleh Pengadilan itu biasanja dipakai 39
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
suatu tabel, jang menundjuk seketika bagian berapa masing-masing ahliwaris akan mendapat menurut Hukum Islam. Tabel sematjam ini djuga dipakai oleh para notaris dalam hal para ahliwaris minta pembagian dimuka notaris menurut Hukum Islam.
Menurut Hukum Burgerlijk Wetboek Di Bagian V dari buku ini telah dikatakan, bahwa Hukum Burgerlijk Wetboek mengenai 4 golongan ahliwaris jang bergiliran berhak atas hartawarisan, dengan pengertian apabila ada golongan ke-1, maka golongangolongan jang lain tidak berhak, dan apabila golongan ke-1 tidak ada, maka golongan ke-2 sadjalah jang berhak, begitu seterusnja. Dalam hal ada golongan ke-1, jaitu anak-anak dan\atau kelurunannja serta djanda, maka harta-warisan seluruhnja menurut pasal 852 B .W . harus dibagi seperti berikut: Apabila anak-anak dari si wafat masih hidup, maka anak-anak itu serta djanda mendapat masing-masing suatu bagian jang sama, djadi apa bila ada misalnja 4 anak dan djanda, maka mereka masing-masing mendapat 1/5- bagian. Apabila salah seorang anak sudah meninggal lebih dulu, dan ia mcmpunjai anak (djadi tjutju dari si peninggal warisan), misalnja 4 tjutju, maka 4 tjutju itu semuanja mendapat 1/5 bagian selaku pengganti-waris (plaatsvervulling) menurut pasal 842 B.W ., djadi masing-masing tjutju mendapat 1/20 bagian. Dalam hal ini ditekankan, bahwa tidak dipedulikan apakah anak-anak itu adalah lelaki atau perempuan, anak tertua atau termuda (zonder onderscheid van kunne of eerstgeboorte). Sampai sekian udjud Hukum Warisan dari Burgerlijk Wetboek ini banjak persamaan dengan Hukum Adat, sedang dari Hukum Islam ada perbedaannja sekedar menurut Hukum Islam tiada penggantian-warisan (plaatsvervulling) dan lagi menurut Hukum Islam ajab mendapat faraid 1/6 bagian disamping djanda. Suatu hakekat jang dalam golongan ke-1 ini diturut, ialah kalau ada seorang anak, maka anaknja anak itu tidak mendapat warisan; baru kalau anak itu wafat lebih dulu, maka ia diganti oleh anak-anaknja (tjutjutjutju dari si peninggal warisan); kalau pada waktu wafat si peninggal warisan sudah ada anak-anak dari tjutju itu, maka anak-anak ini tidak menerima apa-apa. Hakekat ini tidak diturut dalam golongan ke-II jang akan dibitjarakan dibawah. Diantara golongan ke-II ini ada kalanja seorang bersama-sama dengan anak-anaknja mendapat bagian dari suatu harta-warisan.
Golongan ke-II Golongan ke-II ini terdiri dari orang-iua (ajah dan/atau ibu) dan saudara-saudara sekandung (kakak dan/atau adik) dari si .wafat. ' Mereka bersama-sama mendapat warisan, meskipun saudara-saudara 40
D JU M LAH BA G IA N DARI HARTA-W ARISAN
itu adalah anak dari orang-tua si wafat; djadi lain dari pada hakekat jang diturut dalam golongan ke-I tadi. Pembagian harta-warisan untuk ahliwaris-ahliwaris dari golongan ke-II ini diatur dalam pasal-pasal 854, 855 dan 856 B.W . Menurut pasal-pasal ini apabila ahliwaris-ahliwaris terdiri dari ajah, ibu dan beberapa saudara sekandung dari si wafat, maka mereka masingmasing mendapat bagian jang sama, akan tetapi bagian dari ajah dan ibu masing-masing tidak boleh kurang dari 1/4 bagian dari seluruh harta-warisan. Djadi kalau misalnja ada ditinggalkan ajah, ibu dan seorang saudara, maka masing-masing mendapat 1/3 bagian. Apabila ada dua saudara, maka mereka masing-masing mendapat 1/4 bagian. Apabila ada tiga saudara, maka ibu dan ajah masing-masing tetap mendapat 1/4 bagian, dan sisanja, jaitu 1/2 bagian dibagi rata diantara 3 saudara, maka masing-masing dari mereka mendapat 1/6 bagian. Apabila ibu atau bapak sudah wafat lebih dulu, maka bapak atau ibu jang masih hidup, mendapat 1/2 bagian, kalau hanja ada seorang saudara (lelaki atau perempuan sama sadja); ibu atau ajah itu akan men dapat 1/3 bagian, kalau ada dua saudara; kemudian 1/4 bagian, kalau ada tiga atau lebih saudara-saudara. Apabila ajah dan ibu dua-duanja sudah wafat lebih dulu, maka semua harta-warisan djatuh ketangan saudara-saudara tadi. Apabila diantara saudara-saudara ini ada jang hanja sebapak atau hanja jang seibu sadja dengan si wafat, maka pasal 857 B.W . memberi peraturan istimewa. Dalam hal ini harta-warisan dibagi dua dulu, bagian ke-1 untuk sau dara-saudara jang sebapak, bagian ke-2 untuk saudara-saudara jang seibu, sedang saudara-saudara jang sebapak-seibu mendapat bagian dari duaduanja bagian tadi. Bagi saudara-saudara jang telah wafat lebih dulu dari pada si peninggal warisan, maka menurut pasal 844 B.W . ada terdjadi penggantian-warisan (plaatsvervulling), dan bagian saudara jang wafat lebih dulu itu, djatuh pada anak-anaknja dan/atau tjutjunja, kalau ada.
Golongan ke-I 11 Dari pasal 853 dan pasal 859 B.W . dapat disimpulkan, apabila si peninggal warisan tidak meninggalkan anak-anak, tjutju-tjutju, keturunan seterusnja, saudara-saudara, djanda atau orang-tua (ajah dan ibu), maka harta-warisan harus dibagi dua dulu (kloving). Bagian separoh jang satu diperuntukkan bagi sanak-keluarga dari pantjer ajah si wafat jang lebih djauh dari pada jang tidak ada tadi, dan bagian separoh jang lain diperuntukkan bagi sanak-sanak-keluarga dari pantjer ibu si wafat. Tiap-tiap bagian separoh ini djatuh dulu kepada golongan ke-III. jaitu kakek dan nenek dari si wafat, artinja : bagian dari pantjer ibu djatuh pada ajah dan ibu dari si ibu, dan bagian dari pantjer ajah djatuh pada ajah dan ibu dari si ajah. 41
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
Apabila kakek dan nenek ini djuga tidak ada, sedang ada ajah dan ibu dari kakek dan nenek itu, maka kakek dan nenek bujut inilah jang mendapat warisan.
Golongan ke-IV Kalau golongan ke-III pun tidak ada, maka tiap-tiap bagian separoh dari pantjer ajah atau dari pantjer ibu tadi djatuh pada saudara-saudara se pupu dari si wafat, jaitu jang sekakek atau jang senenek dengan si wafat (keluarga tingkat ke-4) setjara sama rata (bij hoofden). Kalau ini pun tidak ada, maka harta-warisan djatuh pada sanakkeluarga jang sekakek-bujut atau senenek-bnjnt dengan si wafat (keluarga tingkat ke-6 ). Dalam hal ini akan ada penggantian-warisan (plaatsvervulling), apa bila ahliwaris ini wafat lebih dulu dari pada si peninggal warisan, artinja : mereka diganti oleh anak-anaknja, kalau ada. Kalau dalam bagian pantjer ibu misalnja sama sekali tidak ada ahli waris sampai tingkat ke-6, maka bagian separoh ini djatuh djuga pada ahliwaris dari pantjer ajah, atau sebaliknja. Pada achirnja pasal 861 B.W . ajat 1 menegaskan, sanak-sanak ke luarga dari si wafat jang lebih djauh dari pada tingkat ke-6, tidak akan mewaris harta-warisan. Kalau menurut pasal-pasal B.W . tersebut sama sekali tidak ada ahli waris jang berhak atas harta-warisan, maka harta-warisan ini mendjadi milik Negara, jang djuga berwadjib membajar hutang-hutang si wafat sepandjang harta-warisan mentjukupi untuk itu (pasal 832 ajat 2 B .W .).
BA G IA N
V II
AN AK JA N G LAHIR DILUAR PERKAW INAN (NATUURL1JKE KINDEREN)
Menurut Hukum Adat Ada kalanja seorang ibu jang tidak kawin, melahirkan anak. Kalau ini terdjadi, maka dalam hubungan-hukum seorang anak itu hanja mempunjai ibu, tidak mempunjai bapak. Hal jang sedemikian ini sangat ditjela dalam masjarakat Indonesia, maka dari itu selalu diusahakan keras agar hal itu djangan sampai terdjadi. Usaha ini adalah demikian bahwa apabila seorang gadis atau seorang djanda terdapat hamil, maka diusahakan supaja seorang itu selekas mung kin kawin, agar pada waktu ia melahirkan anak, ia sudah kawin. Biasanja diusahakan seorang hamil itu kawin dengan seorang lelaki, jang menjebabkan hamil itu. Ini tidak selalu mungkin, akan tetapi ma sjarakat menganggap tjukup asal kawin sadja, meskipun orang laki jang mengawin itu, sudah terang benderang bukan jang menjebabkan hamil. Dan djuga tidak diadakan tenggang jang harus sekurang-kurangnja ada antara waktu kawin dan waktu melahirkan anak. Djadi asal pada waktu melahirkan anak, si ibu sudah mempunjai suami, maka si anak itu adalah anak sah, bukan anak jang lahir diluar perkawinan (bukan natuurlijk kind). Ada kalanja seorang suami meninggal dunia pada waktu isterinja hamil. Dalam hal ini anak jang akan lahir kemudian, dianggap anak dari perkawinan itu, djadi anak sah. Ini tidak mendjadi soal, apabila sudah terang benderang si isteri itu hamil pada waktu suaminja meninggal dunia. Ada kalanja tidak kelihatan si isteri itu hamil dan kemudian melahir kan anak. Dalam hal ini si anak itu dianggap anak sah dari perkawinan si ibu dengan suami jang telah wafat tadi, apabila tenggang antara wafatnja itu dan lahirnja anak sama dengan tenggang hamil jang biasa, jaitu S, 9 atau 10 bulan. Dengan demikian dan terutama dengan usaha tersebut diatas untuk sedapat mungkin mengawinkan si ibu sebelum melahirkan anak, maka dapat dikatakan dilingkungan Hukum Adat djarang sekali ada anak diluar perkawinan. Kalau ini toh terdjadi, maka seperti telah dikatakan diatas, seorang anak Itu hanja mempunjai ibu dan tidak mempunjai bapak. Maka dengan demikian seorang anak itu hanja dapat mewaris hartatinggalan ibunja dan keluarga dari ibunja. Dan sebaliknja kalau anak itu jang wafat, maka harta-peninggalannja hanja diwaris oleh ibunja dan keluarga ibunja. 43
S»
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
Mr. Djojodigino dan Mr. Tirtawinata dalam bukunja „Adatprivaatrecht van Midden-Java” halaman 296 mengatakan, bahwa dari penjelidikan jang mereka adakan didaerah Djawa-Tengah tidak dapat diketemukan suatu petundjuk, bahwa perihal warisan terhadap harta peninggalan ibu ada perbedaan antara anak sah dan anak diluar perkawinan. Sekiranja hal ini djuga Japat dikatakan untuk seluruh Indonesia.
Menurut Hukum Islam Hukum Islam menentukan tenggang jang sekurang-kurangnja harus ada antara waktu kawin si isteri dan lahir si anak, dan lagi suatu tenggang, jang selama-lamanja harus ada antara putusnja perkawinan dan lahirnja si anak. Tenggang jang sekurang-kurangnja antara kawin si ibu dan lahir si anak adalah 6 bulan, sedang tenggang jang selama-lamanja harus ada antara putus perkawinan dan lahir anak adalah tenggang iddah, jaitu 4 bulan dan 10 hari. Hal jang belakangan ini oleh setengah orang penganut Agama Islam diartikan sedemikian rupa, bahwa apabila seorang perempuan, setelah putus perkawinannja, tidak mendapat kotoran-bulan selama lebih dari tenggangiddah tadi, dan kemudian melahirkan anak, maka anak ini masih dianggap anak sah dari perkawinan jang putus tadi. Dalam hal ini ditentukan teng gang selama-lamanja 4 tahun. Dengan adanja tenggang-tenggang tertentu ini, maka dilingkungan Hukum Islam akan lebih sering ada kemungkinan seorang anak lahir di luar perkawinan dari pada dilingkungan Hukum Adat di Indonesia. Dr. Juynboll mentjeriterakan dalam bukunja halaman 217-218, bahwa apabila seorang lahir dalam suatu perkawinan, jang oleh ajah dan ibu di kira perkawinan sah sedang kemudian ternjata tidak sah (nietig), maka anak itu harus dianggap sah, djadi anak itu mempunjai ibu dan ajah. Seperti dalam Hukum Adat, dalam Hukum Islam pun seorang anak jang lahir diluar perkawinan, hanja dianggap mempunjai ibu sadja dan tidak mempunjai bapak, djuga dalam hal warisan. Dan dalam hal hubunganhukum dengan ibu, tiada perbedaan antara anak jang sah dan anak jang lahir diluar perkawinan, djuga dalam hal warisan.
Menurut Hukum Burgerlijk Wetboek Dalam Burgerlijk Wetboek ada peraturan istimewa mengenai hubungan-hukum tentang warisan antara si ibu dan si anak diluar perkawinan, termuat dalam pasal-pasal 862 s/d 873 B.W . Bagi orang-orang jang takluk pada Burgerlijk Wetboek ini, djadi pada umumnja bagi para warganegara Indonesia jang berbangsa Eropah dan Tionghoa, Burgerlijk Wetboek tentang anak diluar perkawinan ini menganut suatu sistim jang berlainan dari pada Hukum Adat dan Hukum Islam. Menurut Burgerlijk Wetboek ada kemungkinan seorang anak tidak 44
A N A K JA N G LAHIR DILUAR PERKAW IN A N
hanja tidak mempunjai bapak, melainkan djuga tidak mempunjai ibu dalam arti, bahwa antara anak dan seorang perempuan jang melahirkannja itu, tiada perhubungan-hukum sama sekali mengenai pemberian nafkah, warisan dan lain-lain. Perhubungan-hukum ini antara anak dan ibu baru ada apabila si ibu mengakui anak itu sebagai anaknja, pengakuan mana harus dilakukan de ngan tjara tertentu, jaitu menurut pasal 281 B.W . dalam akte-kelahiran si anak atau dalam akte-perkawinan bapak dan ibu dimuka Pegawai Tjatatan Sipil (ambtenaar bij de Burgerlijke Stand), atau setjara akte-authentiek tersendiri, jaitu dengan akte-notaris atau dengan akte dimuka Pegawai Tjatatan Sipil. Pengakuan anak jang tidak sah ini djuga dimungkinkan dilakukan oleh seorang laki-laki jang mengakui menjebabkan lahirnja anak itu. Tjara Pengakuan ini adalah sama dengan pengakuan oleh ibu. Pengakuan oleh bapak hanja mungkin, apabila si ibu menjetudjuinja (pasal 284 B .W .). Dengan demikian dilingkungan Hukum Burgerlijk Wetboek ada tiga matjam anak, jaitu ke-1 anak sah, ke-2 anak diluar perkawinan jang diakui selaku anak, dan ke-3 anak diluar perkawinan jang tidak diakui. Peraturan istimewa dari B.W . tentang warisan adalah mengenai go longan ke-2 , jaitu anak diluar perkawinan jang diakui, baik oleh ibunja sadja maupun oleh ibu dan bapak dua-duanja, tetapi jang tetap tidak merupakan anak jang sah atau jang disahkan dengan penetapan Menteri Kehakiman berupa surat-pengesahan (lihat pasal 274 B .W .). Peraturan istimewa dari pasal-pasal 862 s/d 873 B.W . adalah sebagai berikut : Pasal 862 B.W . hanja merupakan permulaan dan menundjuk pada pasal-pasal jang berikut. Pasal 863 ajat 1 B.W . menentukan demikian : Apabila anak diluar perkawinan itu mewaris bersama-sama dengan anak-anak sah serta djanda dari si wafat, maka bagian anak-anak diluar perkawinan itu adalah 1/3 dari bagiannja anak sah. Apabila mereka mewaris bersama-sama dengan orang-tua atau kakek, nenek dan seterusnja pantjer keatas, serta saudara sekandung dan turunannja, maka bagian mereka adalah ]/2 dari bagian anak sah. Apabila mereka mewaris bersama-sama dengan sanak-keluarga jang lebih djauh (sampai tingkat ke-6 ), maka bagian mereka adalah % dari bagian anak sah. Ajat 2 dari pasal 863 B.W . menundjuk pada keadaan, bahwa hartawarisan dibagi dua (gekloofd) jaitu menurut pasal 853 B.W ., apabila si wafat tidak meninggalkan keturunan, djanda, orang-tua atau saudara atau keturunannja. Dalam hal ini ada separoh bagian dari harta-warisan jang diperuntukkan bagi para ahliwaris dari pantjer bapak si wafat, dan separoh bagian lain bagi para ahliwaris dari pantjer ibu si wafat. Pada keadaan ini mungkin sekali separoh bagian jang satu akan diwaris hanja oleh kakek dan nenek (golongan ke-III), dan separoh bagian 45
HUKUM WARISAN D I INDONESIA
jang lain hanja untuk saudara-saudara sepupu atau sanak-keluarga jang lebih djauh (golongan ke-IV ). Kalau ini terdjadi, maka menurut pasal 863 ajat 2 B.W . bagian anak diluar perkawinan ditetapkan oleh adanja kakek dan nenek, djadi V2 dan tidak % dari bagian anak sah. Pasal 864 B.W . menekankan, apabila bagian dari anak-anak diluar perkawinan sudah diambil, maka sisanja harus dibagi antara ahliwarisahliwaris lain, seolah-olah sisa ini merupakan harta-warisan seluruhnja. Apabila tidak ada ahliwaris-ahliwaris lain ini jang berhak atas warisan, maka, menurut pasal 865 B.W ., harta-warisan seluruhnja djatuh pada tangan anak-anak diluar perkawinan. Pasal 866 B.W . menentukan adanja penggantian warisan (plaatsvervulling) apabila anak diluar perkawinan itu sudah wafat lebih dulu dari pada si peninggal warisan. Mereka dalam hal ini akan diganti oleh keturunannja jang sah. Dalam hal ini harus diingat adanja pasal 285 B.W . jang menentukan, apabila ada pengakuan (erkenning) oleh suami atau isteri pada waktu perkawinan mereka masih berlangsung („staand huwelijk”) dari seorang anak jang suami atau isteri mendapat dari orang lain (pada suatu waktu sebelum perkawinan mereka), maka pengakuan anak ini tidak dapat merugi kan si isteri atau si suami serta anak-anak sah dari perkawinan mereka. Arti dari pasal 285 B.W . dalam hal warisan adalah demikian, bahwa dalam hal itu anak diluar perkawinan tidak berhak sama sekali atas harta warisan dari ajah dan ibu, apabila ada anak sah dari perkawinan jang berlangsung ini atau apabila isteri atau suami dan ajah atau ibunja itu mendjadi ahliwaris. Asser-Meyers dalam bukunja tentang Hukum Perdata di Negeri Be landa halaman 56 menafsirkan pasal ini sedemikian rupa, bahwa apabila orang jang mengakui anak itu, kemudian mendjadi djanda dan kawin lagi, dan djuga mendapat anak sah dari perkawinan jang kedua kali itu, sehingga ada dua perkawinan dengan anak sah dari pada masing-masing, maka jang tidak boleh dirugikan itu, hanja anak-anak sah dari perkawinan jang pertama, dengan akibat bahwa anak diluar perkawinan itu mendapat bagian dari harta-warisan. Tjontoh jang dikemukakan adalah demikian : Dari perkawinan jang pertama ada seorang anak sah, kemudian si ibu mengakui seorang anak diluar perkawinan. Kemudian suami dalam per kawinan jang pertama itu, meninggal dunia dan si ibu kawin lagi. Dalam perkawinan jang kedua ini ada lahir lagi seorang anak sah, sehingga dari ibu itu ada dua anak sah dan seorang anak diluar perkawinan, jang hanja diakui sebagai anak (natuurlijk erkend kind). Dalam hal ini harus dipikirkan dulu andaikata pasal 285 B .W . itu tidak ada. Maka menurut pasal 863 ajat 1 B.W . anak diluar perkawinan akan mendapat 1/3 dari bagian seorang anak sah, djadi l j 3 dari ^3 men djadi , /9 bagian dari harta-warisan, dan sisanja jaitu 8¡g bagian dibagi 46
A N A K JA N G LAHIR DILUAR PERKAW IN A N
rata antara dua orang anak sah, maka masing-masing mendapat 4/g bagian. Sekarang bagaimana dengan adanja pasal 285 B .W . Menurut pasal ini anak sah dari perkawinan jang pertama tidak boleh dirugikan, maka ia mewaris dengan seolah-olah hanja ada dua orang anak.
Djadi ia harus mendapat l/2 bagian dari harta-warisan. Maka kalau ia mendapat 4/9 bagian, kurangnja adalah l/2, dikurangi 4/g mendjadi i/1R bagian. Dan i /18 bagian inilah jang harus diambil dari pada bagian si anak diluar perkawinan, jang dengan demikian hanja mendapat i /9 di kurangi 1I1S mendjadi i /18 bagian dari harta-warisan. Dengan demikian harta-warisan harus dibagi sedemikian rupa, bahwa anak sah dari perkawinan pertama mendapat 3^ bagian, anak sah dari per kawinan kedua mendapat 4/9 bagian dan anak diluar perkawinan mendapat l/is bagian.
Anak lahir dari zina, (overspelige kinderen) Anak dari[vi]ah dan ibu jang tidak boleh kawin oleh karena sangat eratnja tali kekeluargaan antara ajah dan ibu (in bloedschande geteelde kinderen). Anak sematjam ini, menurut pasal 867 B.W ., sama sekali tidak berhak atas harta-warisan dari orang-tuanja, dan sebanjak-banjaknja hanja men dapat sekedar nafkah jang tjukup untuk hidup (het nodige levensonderhoud). Pasal ini adalah sesuai dengan pasal 283 B.W ., jang melarang penga kuan anak sematjam ini. Kemungkinan anak sematjam ini untuk mendapat nafkah untuk hidup dari ajah atau ibu sangat ketjil dengan adanja pasal 289 B.W . jang tidak mengidzinkan si anak untuk menjelidiki siapakah ajahnja atau ibunja. Menurut pasal 868 B.W . nafkah untuk hidup harus diatur menurut kekajaan ajah atau ibu dan djuga menurut djumlah dan keadaan para ahliwaris jang berhak atas harta-warisan. Djadi apabila ada banjak ahliwaris ini, atau apabila para ahliwaris tadi agak miskin, maka makin sedikitlah jang dari harta-warisan boleh diberikan selaku nafkah untuk hidup si anak jang tidak dapat diakui selaku anak tadi. Perlu ditegaskan, bahwa tuntutan anak sematjam ini akan menerima sesuatu dari harta-warisan, tidaklah suatu tuntutan selaku ahliwaris, melain kan merupakan suatu tuntutan seperti dari seorang pihutang (créditeur). Ada kalanja seorang anak sematjam ini oleh si ibu atau oleh si bapak pada waktu mereka masih hidup, sudah didjamin penghidupannja. Kalau ini terdjadi, maka, menurut pasal 869 B.W ., bagi anak sematjam ini sama sekali tidak ada kemungkinan untuk mendapat barang sesuatu, bagaima napun sedikitnja, dari harta-warisan si ibu atau si bapak. Pasal ini menurut hemat saja, tidak perlu dimuat, oleh karena isinja sudah dapat disimpulkan dari isi pasal-pasal 867 dan 868 B.W . Kemungkinan seorang anak diluar perkawinan akan mendapat bagian harta-warisan jang ditinggalkan oleh sanak-sanak-keluarga dari bapak atau ibu, dibuka oleh pasal 873 B.W ., jang menentukan, apabila harta-warisan itu dengan tiadanja ahliwaris sampai tingkat ke-6 dan dengan tiadanja 47
IIU K U M W A RISA N D I IN DO NESIA
d j anda, akan djatuh ditangan Negara, maka anak diluar perkawinan inilah ja n g akan mendapat harta-warisan itu. Dengan ini seorang anak diluar perkawinan itu tidak dapat menuntut harta-warisan itu, apabila tali-kekeluargaan antara bapak atau ibunja dan si peninggal warisan itu adalah lebih dari tingkat ke-5. Sebab kalau tidak demikian, seorang anak diluar perkawinan itu, akan mendapat harta-warisan dalam hal seorang anak sah tidak akan mendapat. Pasal-pasal 870 dan 871 B .W . mengatur harta-warisan jang ditinggal kan oleh seorang anak-diluar-perkawinan. Harta-warisan ini pertama-tama djatuh pada keturunan dan djanda si anak itu. Apabila ini tidak ada, maka jang mendapat giliran ialah bapak danjatau ibu jang mengakuinja. Kalau ini pun tidak ada, maka harta-warisan harus dibagi dua dulu. Bagian jang satu berupa barang-barang jang ia mendapat dari harta-warisan ibu atau bapaknja, sekedar barang-barang itu masih utuh seperti sediakala, atau masih dapat dikembalikan oleh jang memegangnja. Apabila barang-barang itu sudah didjual dan harga-pendjualan belum dibajar, maka kalau kemudian harga-pendjualan itu telah dibajar, uang itu djuga masuk bagian ini dari harta-warisan. Bagian ini djatuh pada ke turunan dari bapak atau ibu. Sisa dari harta-warisan djatuh pada saudara-saudara dari anak diluar perkawinan itu serta keturunan dari saudara-saudara itu. Kalau ini tidak ada, maka harta-warisan djatuh pada sanak-sanakkeluarga dari bapak atau ibu jang mengakui si peninggal warisan sebagai anak. Apabila ia diakui oleh bapak dan ibu dua-duanja, maka separoh dari harta-warisan mendjadi bagian sanak-sanak-keluarga dari si bapak, dan separoh mendjadi bagian sanak-sanak-keluarga dari si ibu.
Ini ditentukan dikm ¡nsd
48
87 i
ajat 2 B .w .
BA G IA N
V III
PEMBERIAN-PEMBERIAN OLEH SI PENINGGAL WARISAN PADA W AKTU IA MASIH HIDUP
Pada suatu keluarga serumah jang berupa suami, isteri dan anak-anak, ada lajak, bahwa diantara mereka saling diadakan pemberian barang atau uang, jang maksudnja akan saling menjenangkan belaka. Pemberian-pemberian ini nilai-harga dan djumlahnja tergantung dari kekajaan mereka. Dalam keluarga jang kaja-raja, sama sekali tidak dilihat pada harga barang-barang jang diberikan, bagaimanapun mahalnja barangbarang itu. Sebaliknja, dalam keluarga jang kekajaannja tjukupan sadja, pembe rian-pemberian ini sudah dengan sendirinja kurang nilai-harga dan djum lahnja. Sedang keluarga jang lebih mendekati keadaan miskin, pemberianpemberian ini merupakan keketjualian. Pemberian-pemberian sematjam ini pada umumnja tidak disertai pan dangan si pemberi jang ditudjukan kepada keadaan dalam waktu ia dikemudian hari akan meninggal dunia. Dan biasanja pemberian-pemberian ini tidak akan ditjela oleh sanaksanak-keluarga jang tidak menerima pemberian itu, oleh karena seorang niilik barang kekajaan berhak dan leluasa untuk memberikan barang itu i-epada siapapun djuga. Bahkan tiaJd seorangpun berhak menghalanghalangi seorang pemilik barang melemparkan barang itu didalam laut. Apa lagi apabila barang itu diberikan kepada badan-badan sosial iang bertudjuan mengedjar perbaikan nasib sesama manusia. Akan tetapi ada kalanja seorang melakukan pemberian barang kepada seorang sanak-keluarga selaku permulaan dari pada peninggalan barangbarang harta-warisan dikemudian hari, apabila si pemberi itu akan me n in g g i dunia-
L e b i h - l e b i h pemberian ini akan dilakukan, apabila si pemberi ada hawa t ir, bahwa pada waktu setelah ia wafat, harta-tinggalannja akan di¡.bagi diantara para ahliwaris, maka seorang jang mendapat pemberian itu sekiranja akan tidak mendapat bagian jang lajak. Dalam hal pemberian ini merupakan permulaan dari pembagian hartakekajaan seorang, jang akan dilandjutkan setelah si pemberi meninggal dunia, maka keadaan wafat seorang itu kurang merupakan suatu titikperubahan terhadap keadaan-hukum dari barang-barang kekajaan si pem
?
beri itu. Kalau misalnja seorang petani di Djawa menghibahkan sebidang saWah-jasan kepada anaknja tertua pada waktu anak itu mulai kuat un49
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
tuk mengerdjakan sawah itu, maka, apabila kemudian si bapak meninggal dunia dengan meninggalkan dua anak lagi dan dua bidang sawah, anak jang tertua tadi tidak akan minta pembagian sisa kekajaan si bapak berupa dua bidang sawah tadi. Dianggap lajak, bahwa dua bidang sawah itu djatuh pada dua anak jang pada waktu si bapak masih hidup, belum menerima penghibahan dari bapaknja. Titik-waktu jang djuga dianggap lajak untuk melakukan penghibahan, ialah misalnja apabila seorang anak perempuan kawin dan dengan demikian turut suaminja, djadi mentjar keluar dari kalangan keluarga sesomah. Dalam pada itu sering terdjadi kepada si anak perempuan jang kawin itu, dihibahkan sepasang subang jang agak berharga serta sedjumlah uangtunai untuk dipakai selaku bahan-hidup seterusnja disamping suaminja selaku keluarga sesomah baru. Ada kalanja harta kekajaan seorang pada waktu ia masih hidup, dibagi-bagi olehnja diantara anak-anaknja. Ini terutama akan terdjadi untuk menghindarkan pertjektjokan jang ia chawatirkan diantara anak-anak itu, apabila pembagian barang-barang ini diserahkan kepada mereka sendiri, kalau si pemilik barang-barang itu sudah wafat. Lebih-lebih pembagian kekajaan semasa hidup si pemilik ini dilaku kan, apabila isterinja adalah ibu-tiri dari anak-anaknja, atau apabila di samping anak-anak ini ada djuga seorang anak-angkat, jang mungkin ke mudian akan disangkal keangkatannja. Pada waktu seorang pemilik membagi-bagi barang-barang kekajaannja diantara orang-orang jang mungkin akan mendjadi ahliwarisnja, pada hakekatnja tidak mungkin ada tjektjok, oleh karena masuk hak-kekuasaan seorang pemilik barang-barang untuk memperlakukan barang-barang itu menurut kehendaknja sendiri. Tetapi adalah bidjaksana, dan dalam praktek biasanja terdjadi, bahwa dalam membagi-bagi barang-barang kekajaan itu si pemilik mengumpulkan para ahliwaris tadi untuk mengetahuinja. Mungkin muntjul pelbagai ke beratan dari pihak mereka terhadap tjara membagi-bagi itu oleh karena tidak adil dan sebagainja. Faedah jang njata dari pengumpulan para ahliwaris ini ialah, bahwa mereka kemudian apabila si pemilik sudah wafat, tidak mudah akan me nentang pembagian ini, oleh karena mereka dapat dianggap telah menjetudjuinja. Djuga sering terdjadi pembagian barang-barang milik seorang ini di lakukan dimuka seorang Kepala Desa agar mendjadi lebih terang. Pada zaman modern sekarang ini akan lebih sering diminta perto longan seorang notaris. Pembagian barang-barang milik seorang ini tidak selalu diikuti penjerahan seketika itu djuga dari barang-barang itu kepada jang mendapat bagian masing-masing. Mungkin pembagian ini disertai penentuan, bahwa barang-barang itu 50
PEMBERIAN-PEMBERIAN OLEH SI PEN IN GG AL W ARISAN
baru akan diserahkan kepada orang-orang jang diberi bagian, apabila si pemberi sudah meninggal dunia. Kalau ini terdjadi, maka perbuatan sipemilik barang-barang ini men dekati merupakan suatu hibah-wasijat, jang baru akan saja kupas dibagian berikut dari buku ini. Diatas telah saja katakan, bahwa sering terdjadi pemberian barangbarang kepada anak-angkat. Ini terutama akan dilakukan didaerah-daerah jang orang-orang dalam hal warisan merasa takluk pada Hukum Islam, jang tidak kenal adanja anak-angkat itu. Sering kali anak-angkat itu demikian sangat disenangi oleh bapakangkat sehingga bapak-angkat ini tjenderung akan melakukan pemberian kepada anak angkat itu setjara liwat batas, dengan akibat bahwa bagianbagian dari harta-warisan jang akan djatuh pada anak-anaknja sendiri, akan sedikit sekali. Sekiranja dapat dikatakan, menurut rasa-keadilan dilingkungan Hukum Adat anak-anaknja sendiri ini selajaknja harus mendapat bagian dari harta warisan jang sekurang-kurangnja sepadan dengan barang-barang jang telah diberikan kepada anak-angkat tadi. Djuga diantara anak-anaknja sendiri mungkin sekali si pemilik barangbarang mengadakan perbedaan tentang banjak sedikitnja barang jang di berikan itu. Ini tidak akan ditjela oleh siapapun djuga, apabila perbedaan ini tidak keterlaluan dan tidak menjolok mata. Mr Djojodiguno dan Mr Tirtawinata dalam bukunja halaman 378 mengemukakan suatu dalil, bahwa dalam Hukum Adat di Djawa-Tengah pemberian setjara berbeda-beda kepada anak-anak ini tidak boleh sedemikian rupa, sehingga seorang anak jang tidak disenangi oleh ajahnja, tidak mendapat barang-barang kekajaan jang tjukup utnuk mendjadi bahan hidup jang pantas menurut keadaan bagi keluarga-sesomah si anak tadi. Seringkah djuga suatu pemberian barang semasa hidup si peninggal warisan, adalah bermaksud untuk menjimpang dari hukum-warisan jang berlaku dan jang tentunja akan dilakukan setelah seorang itu wafat. Misalnja di Toba-Batak dengan kekeluargaan jang bersifat kebapakan, harta-warisan menurut hukum-warisan disitu akan djatuh pada anak-anak lelaki sadja. Maka ada kalanja terdjadi seorang disitu selama masih hidup, memberi sebidang tanah jasan atau sedjumlah ternak kepada anak-perempuan, baik waktu masih gadis maupun pada waktu anak perempuan itu mau kawin. Misalnja lagi di Minangkabau dimana berhubung dengan adanja keke luargaan jang bersifat keibuan, harta-warisan seorang lelaki hanja akan diwaris oleh anak-anak dari ibunja seorang itu (djadi saudara-saudara pantjer ibu), maka sering terdjadi seorang lelaki itu selama masih hidup memberi barang-barang miliknja, jang bukan barang-pusaka, djadi jang ia dapat dengan usaha sendiri, kepada anak-anaknja, ada kalanja sampai habis. 51
HUKUM WARISAN D I INDONESIA
Misalnja lagi di Djawa sering orang memberi banjak dari barangbarang miliknja kepada anak-angkat, oleh karena dichawatirkan anakangkat tidak diakui berhubung ditempat itu agak kuat pengaruh Agama Islam, jang tidak kenal sama sekali adanja anak-angkat. Dalam Burgerlijk Wetboek ada termuat pasal 1678 ajat 1 , jang me larang penghibahan antara suami dan isteri selama perkawinan masih ada. Dalam sistim Burgerlijk Wetboek pasal ini ada artinja, oleh karena disitu ada tjampur kekajaan setjara bulat antara suami dan isteri, apabila pada permulaan perkawinan tidak diadakan perdjandjian-perkawinan jang menentukan pemisahan kekajaan. Kalau pemberian-pemberian diantara suami dan isteri diperbolehkan, maka mereka akan leluasa setjara praktis mengadakan keketjualian dalam hal tjampur kekajaan setjara bulat ini, sedang ini sama sekali tidak di perbolehkan oleh Burgerlijk Wetboek. Djuga dapat dikatakan, bahwa alasan untuk mengadakan larangan pemberian antara suami dan isteri ini sekiranja terletak pada keinginan pembentuk undang-undang akan menghindarkan penipuan dan korrupsi perihal pemindahan hak-milik dari suami kepada isteri atau sebaliknja dengan merugikan orang-orang berpihutang (crediteur). Ajat 2 dari pasal 1678 B.W . mengetjualikan dari larangan ini hal penghibahan ketjil-ketjilan mengenai barang-barang bergerak dan bertubuh (roerende lichamelijke goederen) jang tidak tinggi harga-nilainja. Ukuran ini tidak ditegaskan. Menurut hemat saja, batas antara boleh atau tidak diadakan penghibahan diantara suami dan isteri ini sangat ter gantung dari besar ketjilnja kekajaan mereka dan dari kedudukan mereka dalam masjarakat.
B A G IA N
IX
HIBAH WASIAT (TESTAMENT)
Seorang pemilik kekajaan sering mempunjai keinginan, supaja 'harta-kekajaannja dikemudian hari, setelah wafat, akan diperlakukan menurut tjara tertentu. Lebih-lebih keinginan ini akan terasa, apabila hukum warisan jang akan dilaksanakan, menentukan suatu tjara pembagian harta-warisan, jang sama sekali tidak tjotjok dengan keinginannja. Kalau dalam hal ini Hukum mengidzinkan si peninggal warisan untuk menentukan tjara pembagian harta-warisan jang menjimpang dari pada hukum warisan biasa, maka ini adalah lajak, kalau diingat, bahwa pada hakekatnja seorang pemilik barang-barang kekajaan adalah berhak penuh untuk memperlakukan miliknja menurut kehendaknja sendiri. Dan lagi kemauan terachir dari seorang manusia adalah pantas di hormati dan seberapa boleh dipenuhi. Djuga, dengan adanja kemauan terachir dari si wafat ini sering ter hindar pertjektjokan antara para ahliwaris dalam hal membagi hartawarisan, djustru oleh karena dengan sendirinja ada ketjenderungan dari para ahliwaris untuk menghormati kemauan terachir ini, terutama apabila kemauan terachir ini menghendaki suatu pembagian harta-warisan setjara praktis dan jang sesuai dengan rasa-keadilan, sekurang-kurangnja tidak banjak menjimpang dari rasa-keadilan. Tetapi ada kemungkinan tentunja kemauan terachir ini menghendaki suatu pembagian harta-warisan jang tidak adil, dan mungkin sekali si wafat untuk melahirkan kemauan terachir ini didorong oleh paksaan atau tipu-muslihat dari lain orang jang menurut kemauan terachir itu akan sangat untung. Maka tidak aneh, apabila Hukum membatasi kekuasaan untuk .menen tukan kemauan terachir ini. Perbuatan menetapkan kemauan terachir ini di Indonesia biasanja di namakan hibah wasiat, diambil dari bahasa Arab dalam Hukum Agama Islam. Dalam bahasa Belanda orang menamakannja testament (lihat pasal 875 B .W .). Apabila testament itu menentukan pemberian barang ter tentu, maka dipakai nama „legaat” sedang nama „erfstelling” dipakai untuk pemberian seluruh harta-warisan atau bagian tertentu (seperberapa) dari harta-warisan itu kepada orang tertentu.
Pembatasan dalam hal membuat hibah-wasiat Dalam Hukum Adat dapat dikatakan, bahwa tidak diperbolehkan se orang peninggal warisan dalam hibah-wasiat menjampingkan seorang anak sama sekali dari pembagian harta-warisan (onterfd). 53
HUKUM WARISAN D I INDONESIA
Diatas sudah dikemukakan, bahwa menurut penjelidikan jang dilaku kan oleh Mr Djojodiguno dan Mr Tirtawinata bagi Djawa-tengah larangan „onterving” ini harus diartikan sedemikian rupa, bahwa hibah-wasiat itu sekurang-kurangnja harus memberi kepada seorang anak sedjumlah barang jang tjukup untuk mendjadi bahan-hidup setjara pantas. Djuga harus diperhatikan, bahwa meskipun ada hibah-wasiat, tetap berlaku penentuan bahwa dari harta-warisan harus dibajar dulu hutanghutang dari si peninggal warisan, jang mungkin sekali demikian banjaknja, sehingga tidak ada sisa jang masih dapat dibagi-bagi menurut kehendak si peninggal warisan. Menurut Hukum Islam sebanjak-banjaknja 1/3 bagian dari harta warisan, setelah dikurangi dengan hutang-hutangnja si peninggal warisan, dapat diberikan kepada orang lain dari pada ahliwaris menurut Hukum warisan dalam Hukum Agama Islam atau jang menjimpang dari pembagian harta-warisan menurut Hukum Warisan itu (ahliwaris ab intestato, artinja ahliwaris tanpa hibah-wasiat). Dengan lain perkataan, 2/3 bagian dari harta-warisan harus tersedia untuk para ahliwaris. Malahan apabila para ahliwaris itu miskin, diandjurkan (sunnah) supaja bagian harta-warisan jang diberikan kepada orang lain tadi, diperketjil sangat kurang dari 1/3 bagian. Sering terdjadi seorang muslimin menjerahkan sebagian dari harta warisannja supaja dipergunakan untuk mendirikan suatu wakaf. Kalau ini terdjadi, maka tudjuan dari wakaf ini harus sesuai dengan Hukum Islam, misalnja untuk mendirikan suatu mesdjid atau langgar, dan tidak diperbolehkan misalnja untuk keperluan ummat Keristen atau Jahudi. Kalau orang sakit keras sehingga dichawatirkan akan meninggal dunia, maka pembatasan sampai 1/3 bagian ini harus dipergunakan dalam hal penghibahan biasa (schenking). Dari penentuan-penentuan dalam Hukum Islam dapat disimpulkan, bahwa larangan untuk memasukkan lebih dari 1/3 bagian dari harta warisan dalam suatu hibah wasiat untuk diserahkan kepada orang-orang bukan ahliwaris atau setjara menjimpang dari Hukum Islam tentang warisan, praktis dapat diterobos, apabila seorang pemilik barang-barang kekajaan pada waktu masih segar-bugar, djadi tidak dalam keadaan sakit keras, menghibahkan setjara biasa barang-barangnja kepada siapa sadja jang di kehendaki. Artinja barang-barang jang dihibahkan itu seketika itu djuga sudah beralih mendjadi milik orang atau badan jang dihibahi. Djadi larangan tersebut hanja meliputi hibah wasiat dan penghibahan biasa pada waktu ia sakit penghabisan jang menjebabkan wafatnja atau dalam keadaan sakit keras jang mengchawatirkan akan wafatnja. Dengan demikian, dalam hal ini ada perbedaan besar antara Hukum Adat dan Hukum Islam. Dalam Hukum Adat ada kalanja suatu penghibahan pada waktu seorang pemilik barang masih segar bugar, dianggap selaku permulaan 54
H IBA H W ASIAT
dari pembagian harta warisan si penghibah itu kelak pada waktu ia mening gal dunia. Dalam hal ini harus diingati suatu perbedaan besar antara suatu peng hibahan biasa dan suatu hibah wasiat, jaitu, bahwa penghibahan biasa pada umumnja tidak dapat ditarik kembali, sedang suatu hibah wasiat dapat ditarik kembali oleh si penghibah. Hal jang belakangan ini adalah lajak, oleh karena suatu hibah wasiat merupakan ke mauan terachir dari seorang manusia sebelum wafat. Maka hibah wasiat jang ditarik kembali itu, sebetulnja tidak merupakan kemauan terachir. Perbedaan ini antara penghibahan biasa dan hibah wasiat dapat menjulitkan si penghibah sendiri, apabila misalnja ia telah ketelandjur mem beri banjak barang-barang kepada seorang anak angkat, sedang kemudian ada muntjul tjektjok besar antara si penghibah dan si anak angkat tadi. Pada waktu saja masih mendjadi Ketua Pengadilan Negeri di Purworedjo dalam tahun 1930 ada terdjadi disitu suatu penghibahan dari seorang perempuan kepada seorang anak angkat, jang meliputi hampir semua harta kekajaan si perempuan tadi, termasuk djuga rumah jang ia diami. Kemudian ada tjektjok antara dua orang tadi sedemikian hebatnja, sehingga si pe rempuan diusir oleh si anak angkat tadi dari rumah kediamannja. Pengalaman saja ini memberi petundjuk kepada saja untuk memikir kan, apakah dalam kedjadian sematjam ini ada alasan tjukup untuk meng anggap penghibahan ini selaku suatu hibah wasiat, jang dapat ditarik kembali oleh si penghibah. Djuga suatu penghibahan sematjam ini dapat ditafsirkan sedemikian rupa, bahwa penghibahan itu dengan sendirinja harus dianggap disertai sjarat, bahwa si penghibah masih dapat menikmati sendiri barang-barang jang dihibahkan itu sekedar perlu untuk hidup tenis setjara pantas, ter masuk terus langsung mendiami rumah kediamannja.
Menurut Hukum Burgerlijk Wethoek Pertama-tama perlu dinjatakan, bahwa bagi orang-orang warganegara Indonesia jang berbangsa Arab, India, Pakistan dan lain-lain Timur Asing, bukan Tionghoa, adalah berlaku titel 13 dari Burgerlijk Wetboek Buku II mengenai hibah wasiat, jaitu menurut Staatsblad 1924-556. Tjara pembatasan menurut Burgerlijk Wetboek dalam hal membikin hibah wasiat jang mengenai besar ketjilnja bagian jang akan diperoleh para ahliwaris, adalah jang mengenai „legitieme portie” atau „wettelijk erfdeel” (djumlah jang ditentukan oleh undang-undang). Soal ini diatur dalam pasal-pasal 913 s/d 929 B.W .
„Legitieme portie ” Asser-Meyers dalam bukunja tentang Hukum Warisan di Negeri Be landa halaman 148 mengatakan, bahwa tudjuan dari Pembuat undangundang dalam menentukan legitieme portie ini ialah untuk memperlindungi 55
HUKUM IVARISAN D I INDONESIA
anak si peninggal warisan terhadap ketjenderungan si wafat akan mengun tungkan orang lain. Djadi sebetulnja sama dengan alasan dalam Hukum Adat dan Hukum Islam untuk mengadakan pembatasan dalam kekuasaan si peninggal warisan untuk membikin hibah wasiat. Asser-Meyers mentjeriterakan djuga, bahwa tentang bagian legitiem ini ada dua sistim, jaitu ke-1 sistim Perantjis-Djerman dizaman dahulu kala jang seperti Hukum Islam melarang si peninggal warisan menentu kan hibah wasiat tentang bagian tertentu jaitu 4/5 bagian dari seluruh harta warisan, dan ke-2 sistim Romawi jang menentukan bagian seorang anak jang sekurang-kurangnja harus diberikan kepada seorang anak itu dari harta warisan ajahnja. Sistim ke-2 ini diturut dalam Burgerlijk Wetboek di Negeri Belanda dan di Indonesia. Pasal 913 B.W . mulai dengan mengatakan, jang berhak atas bagian legitiem ini ialah para ahliwaris dalam garis lurus, djadi anak-anak dan keturunannja, serta orang-tua dan leluhurnja keatas. Ditentukan pula, bahwa bagian legitiem itu tidak boleh diserahkan kepada orang lain, baik setjara penghibahan selama hidup maupun setjara hibah wasiat. Dengan demikian ternjata djanda tidak berhak atas suatu.bagian legitiem. Djadi dalam Burgerlijk Wetboek djanda tidak diperlakukan sebaik seperti dalam Hukum Islam, jang mengenal seperti bagian legitiem bagi djanda, dan djuga tidak sebaik seperti dalam Hukum Adat jang pada pokoknja mendjamin kepada si djanda agar dapat meneruskan hidupnja setjara pantas, berhak atas bagian dari harta warisan si peninggal warisan. Bagian legitiem menurut pasal 914 B.W . untuk anak si peninggal warisan, apabila hanja ada seorang anak, adalah seperdua dari bagian si anak itu menurut Hukum Warisan tanpa hibah wasiat (ab-intestato). Djadi apabila ada djanda, maka bagian tertentu dari anak jang tidak dapat dikurangi itu, ialah 1/4 bagian dari harta warisan. Bagian ini adalah 2/3 apabila ada dua orang anak, dan 3/4 apabila ada tiga orang anak atau lebih. Anak ini diganti oleh keturunannja, apabila ia wafat lebih dulu dari pada si peninggal warisan. Bagi orang-tua dan leluhurnja keatas bagian tertentu ini adalah selalu 1/2 dari bagian masing-masing menurut Hukum Warisan tanpa hibah wasiat (pasal 915 B .W .). Demikian djuga bagi anak diluar perkawinan jang diakui, bagian tertentu ini adalah seperdua (pasal 916 B .W .). Oleh pasal 917 B.W . ditegaskan lagi, apabila diantara para ahliwaris tidak ada anak, anak diluar perkawinan jang diakui atau orang-tua atau leluhurnja keatas, maka si peninggal warisan leluasa untuk menentukan kemauannja terachir terhadap seluruh barang-barang kekajaannja dengan menjimpang dari Hukum Warisan tanpa hibah wasiat, sedang ditegaskan lagi dalam pasal 919 B.W ., bahwa bagian harta warisan jang melebihi 56
H IBA H W ASIAT
bagian legitiem itu, dapat dihibah-wasiatkan kepada orang ketiga atau kepada anak-anaknja. Sebetulnja dua-duanja pasal ini tidak perlu dimuat, oleh karena sangat nampak lajaknja. Jang agak perlu adalah pasal 920 B.V(^. jang menentu kan, bahwa memperbaiki hal meliwati batas bagian legitiem ini hanja dapat dilakukan oleh para ahliwaris jang berhak atas bagan legitiem itu atau oleh ahliwaris mereka atau oleh orang2 jang mendapat hak dari mereka. Bagi orang-orang warganegara Indonesia berbangsa Arab, menurut pasal 3 dari Staatsblad 1924-556 Hukum Warisan jang menentukan bagian, apabila tiada hibah wasiat (ab-intestato) ialah Hukum Islam, bagi orangorang Timur-Asing lain Hukum Adat mereka. Ada kalanja diantara beberapa ahliwaris ada jang mendapat bagian legitiem ada jang tidak. Misalnja seorang anak disamping djanda, atau orang-tua disamping saudara sekandung dari si peninggal warisan. Dalam tjontoh ke-1 jaitu si wafat meninggalkan seorang anak dan seorang djanda, maka bagian masing2, apabila tiada hibah wasiat, adalah V2 bagian dari harta warisan. Bagian legitiem dari anak adalah *4 bagian. Dan sisanja, jaitu 1/4 bagian dapat diberikan kepada orang lain. Tetapi kalau si djanda, jang menurut Hukum Warisan tanpa hibah wasiat harus mendapat 1/2 bagian, oleh si wafat dalam hibah wasiat sama sekali tidak diberi apa-apa (onterfd), maka jang dapat diberikan kepada seorang ketiga mendjadi 3/4 bagian. Ini adalah gandjil, oleh karena, kalau tidak ada djanda, maka si anak akan mendapat harta warisan seluruhnja dan bagian legitiem adalah 1/2 bagian, dan hanja 1/2 bagian dapat di berikan kepada orang lain. Untuk menghilangkan kegandjilan ini, maka 9 l6 a B.W . menentukan, dalam hal ini bagian jang dalam hilbah wasiat dapat diberikan kepada se orang ketiga, adalah sama dengan apabila tidak ada djanda, djadi 1/2 'ba gian dan tidak 3/4 bagian. Apabila peraturan ini dilanggar, djadi apabila seorang ketiga dalam hibah wasiat diberi lebih dari pada 1/2 bagian, maka seorang ahliwaris jang berhak atas bagian legitiem, djadi in casu si anak, atau keturunannja, dapat menuntut, supaja bagian jang diberikan kepada seorang ketiga itu, dikurangi mendjadi 1/2 bagian. Kalau ada dua orang anak dan seorang djanda, maka, apabila tidak ada hibah wasiat, mereka masing-masing akan mendapat 1/3 bagian, dan bagian legitiem dari anak-anak masing-masing adalah 1/6 bagian, djadi untuk dua anak 1/3 bagian, maka jang dapat diberikan kepada orang ketiga ialah 2/3 bagian, kalau tidak ada pasal 9 l 6a B.W . Dengan adanja pasal ini maka harus dipikirkan dulu, andaikata djanda tidak ada, artinja sudah wafat lebih dulu dari pada si' peninggal warisan. Maka dalam hal ini tiap-tiap anak akan mendapat 1/2 bagian, dan bagian legitiem adalah 1/4 bagian untuk masing-masing, djadi untuk dua anak 1/2 bagian. Maka jang boleh diberikan kepada orang ketiga dalam hibah wasiat adalah 1/2 bagian, tidak 2/3 bagian. 57
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
Seorang „ketiga” ini mungkin sekali salah seorang dari dua orang anak itu. Maka si peninggal warisan leluasa untuk dalam hibah wasiat memberi 1/4 + 1/2 mendjadi 3/4 bagian kepada seorang anak dan hanja 1/4 bagian kepada anak jang lain. Djuga mungkin sekali si peninggal warisan ingin memberi kepada djanda lebih dari pada menurut Hukum Warisan ab-intestato. Dalam hal itu si djanda djadi seorang „ketiga”, maka dapat diberi sampai 1/2 bagian, dan dua orang anak masing-masing mendapat 1/4 bagian.
T jam menghitung bagian legitiem Pengertian bagian legitiem tidak berarti, bahwa dari tiap barang terten tu tidak boleh bagian tertentu diberikan kepada orang lain dari pada jang berhak atas bagian legitiem (legitimaris), melainkan berarti, bahwa ahliwaris jang berhak atas bagian legitiem itu, adalah berhak atas sedjumlah barang-barang dari harta warisan, jang harga-nilainja merupakan bagian tertentu dari harga-nilai seluruh harta warisan. Djadi mungkin sekali pemberian barang-barang tertentu kepada orang ketiga tidak perlu dikembalikan, apabila harga-nilai dari sisa harta warisan masih mentjukupi bagian legitiem. Pasal 921 B.W . menentukan tjara menghitung bagian legitiem ini sebagai berikut. Barang-barang dari harta warisan jang ditinggalkan oleh si peninggal warisan dihitung nilai harganja seluruhnja. Ini ditambah dengan nilaiharga dari barang-barang jang dihibahkan oleh si peninggal warisan pada waktu ia masih hidup. Kemudian dikurangi dengan djumlah hutang-hutang dari si peninggal warisan. Dari sisanja dihitung bagian jang menurut B.W . masuk bagian legitiem. Meskipun pasal 921 B.W . memakai istilah „giften” (penghibahan), para ahli-hukum di Negeri Belanda sependapat, bahwa istilah ini tidak hanja meliputi penghibahan biasa, melainkan meliputi segala perbuatanhukum jang bermaksud menguntungkan orang lain. Kalau tidak demikian, orang dapat mengakali setjara memindjamkan uang kepada seorang ketiga dan kemudian hutang itu dibebaskan. Maka hal membebaskan hutang termasuk „penghibahan” ini. Begitu djuga lain-lain perbuatan jang bermaksud menguntungkan, seperti misalnja mendjual barang dengan harga jang sengadja ditetapkan sangat rendah. Ada berlainan pendapat tentang suatu perdjandjian antara suami dan isteri, jang dikalangan para ahli-hukum Belanda dinamakan „verblijvensbeding”, jaitu bahwa dalam hal ada pertjampuran kekajaan antara suami dan isteri didjandjikan dalam „perdjandjian-perkawinan” (huwelijksvoorwaarden), bahwa apabila salah seorang dari suami-isteri meninggal dunia, maka milik-bersama atas 'barang-barang rumah-tangga seketika itu djuga beralih mendjadi milik-pribadi dari jang masih hidup. Menurut Asser-Meyers halaman 167-168 perdjandjian ini masuk „peng hibahan” dari pasal 921 B.W ., oleh karena perdjandjian ini terang meng untungkan suami atau isteri jang masih hidup. 58
H IBA H WASIAT
Menurut Klaassen-Eggens dalam bukunja „Huwelijks-goederen- en erfrecht tjetakan ke-7 halaman 263, perdjandjian ini tidak masuk „peng hibahan dari pasal 921 B.W ., oleh karena perdjandjian ini dianggap suatu tjara membagi suatu tjampur-kaja (verdeling van een gemeenschap van goederen). Terhadap Asser-Meyers dapat diakui, bahwa pada achimja suami atau isteri jang masih hidup, diuntungkan, tetapi apabila ia jang wafat lebih dulu, maka pihak jang lain jang diuntungkan. Djadi semula belum dapat dikatakan, apakah ada suatu keuntungan bagi masing-masing pihak. Dalam hal ini, menurut hemat saja, harus dipertimbangkan kepen tingan djanda disatu pihak dan kepentingan anak dilain pihak. Alasan terpenting dari „verblijvensbeding” ini ialah untuk menghin darkan, bahwa setelah suami atau isteri wafat, lekas-lekas si djanda disuruh serahkan barang-barang rumah-tangga kepada para ahliwaris untuk dibagibagi. Kalau diingat, bahwa Hukum Adat di Indonesia menghendaki pada umumnja tetap pemakaian barang-barang rumahtangga itu oleh si djanda, maka sekiranja beralasan tjukup, apabila Burgerlijk Wetboek Indonesia ditafsirkan setjara jang lebih mendekati Hukum Adat. Dengan demikian, menurut hemat saja, pendapat Klaassen-Eggens bagi Indonesia lebih dapat disetudjui dari pada pendapat Asser-Meyers. Tentang taksiran dari harga-nilai barang-barang jang dihibahkan itu, pasal 921 B.W . mengatakan, bahwa harus dilihat keadaan dari barangbarang ipada waktu penghibahan dilakukan, tetapi menurut harga-nilai pada waktu wafatnja si peninggal warisan. Harga-nilai ini mungkin sekali sangat berbeda dari pada harga-nilai pada waktu penghibahan dilakukan. Menurut pasal 922 B.W . dianggap ada suatu penghibahan, apabila suatu barang diberikan kepada seorang ketiga dengan perdjandjian, bahwa kepada ahliwaris oleh seorang ketiga itu harus diberikan sedjumlah uangbunga selama hidup si ahliwaris itu, atau dengan perdjandjian, bahwa si ahliwaris mendapat hak-memetik-hasil (vruchtgebruik) dari barang-barang jang diberikan itu. Pasal 923 ajat 1 B.W . menundjuk pada keadaan barang-barang jang dihibahkan itu, kemudian hilang tanpa salah seorang ketiga jang diuntung kan itu. Dalam hal ini ditentukan, harga-nilai dari barang-barang itu tidak ditambahkan pada nilai-harga harta warisan. Apabila barang-barang itu hanja tidak dapat dikembalikan, oleh karena seorang ketiga itu tidak mampu untuk itu, misalnja apabila barang jang dihibahkan itu berupa uang-tunai, maka harga-nilai dari barang itu, me nurut ajat 2 dari pasal 923 B.W ., harus ditambahkan guna menghitung bagian legitiem. Kalau menurut perhitungan tersebut diatas ternjata si peninggal wa risan melanggar bagian legitiem ini, maka, menurut pasal 924 B.W ., jang harus diserang dulu ialah barang-barang jang dihibahkan dalam hibah wasiat, dan kemudian, apabila 'barang-barang itu belum mentjukupi, baru 59
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
lah mendapat giliran barang-barang jang dihibahkan pada waktu si pening gal warisan masih hidup, mulai dengan barang-barang jang terbelakang dihibahkan dan begitu seterusnja diarahkan kepada barang-barang jang lebih dulu dihibahkan. Bagaimanakah halnja apabila si peninggal warisan membajar hutang, jang menurut Hukum tidak dapat dituntut pembajarannja (natuurlijke verbintenis) seperti misalnja hutang sebagai akibat kalah dalam pendjudian. Jurisprudensi di Negeri Belanda menganggap pembajaran hutang sematjam ini tidak sebagai penghibahan jang dapat diutik-utik. Demikian djuga pendapat Asser-Losecaat Vermeer bagian III halaman 39, KlaassenEggens halaman 2 6 1 . Suyling-Dubois halaman 465 memperluas hal tidak dapat diutik-utik ini sampai kepada segala perbuatan murah hati jang dapat diharapkan dari seorang jang sopan. Tentang tjara menuntut supaja barang-barang jang telah dihibahkan, itu, dikembalikan, ada dua pendapat. Asser-Meyers (halaman 149 dan 173) berpendapat, bahwa peng hibahan jang meliwati batas itu, harus dituntut supaja dibatalkan, sedang Suyling-Dubois (halaman 455 dan seterusnja) menghendaki tuntutan per seorangan (persoonlijke vordering) terhadap jang diberi hibah, supaja ia mengembalikan barang jang melebihi batas bagian legitiem itu. Bagi saja perbedaan pendapat ini tidak begitu penting, dan saja menjenderung untuk memperbolehkan dua-duanja tjara tuntutan ini. Berhubung dengan ini, pasal 925 B.W . ajat 1 mengatakan, apabila jang harus dikembalikan itu adalah barang-barang jang tidak bergerak, djadi jang seluruhnja harus dikembalikan, seperti tanah, rumah dan sebagainja, maka barang ini dapat dituntut kembalinja „in natura”, artinja : tidak dapat diganti dengan uang. Tetapi, menurut ajat 2 dari pasal tersebut, apabila barang-tak-bergerak itu hanja harus dikurangi sadja, maka pengembalian hal kelebihan jang meliwati batas itu, dapat dilakukan setjara pemberian uang-tunai. Selandjutnja pasal 926 B.W . memberi kesempatan kepada si penghibah wasiat untuk menentukan, bahwa suatu barang tertentu mendapat prioriteit untuk diberikan kepada jang dihibahi, artinja bahwa lain barang dulu jang harus dikembalikan untuk memenuhi bagian legitiem. Baru apabila barang ini belum menjukupi, maka barang jang tersebut pertama itu, dapat pula dituntut pengembaliannja. Pasal 918 B.W . menundjuk kepada suatu hibah wasiat atau suatu penghibahan biasa, jang meliputi suatu hak-memetik-hasil (recht van vruchtgebruik) atau suatu uang-bunga selama hidup (lijfrente). Kalau dengan demikian diliwati batas bagian legitiem, maka si berhak atas bagian legitiem itu dapat memilih antara dua, jaitu ke-1 melaksanakan penghibahan itu, atau ke -2 memberi hak-milik atas barang jang menghasilkan itu kepada orang jang dihibahi. Jang kini agak aneh ialah bahwa apabila pemberian hak-memetik60
H IBA H W ASIAT
hasil ditiadakan, maka orang jang berhak atas bagian legitiem, diharuskan memberi hak-milik atas barang itu kepada orang jang dihibahi. Kini jang dipersoalkan ialah apakah dalam udjud barang itu termasuk bagian legitiem, dan tidak dipedulikan, berapa harga-nilai dari hasil atau tumg-bunga itu; djadi meskipun mungkin hasil atau uang-bunga itu hanja sedikit sekali harganja. Pasal 928 B.W . menundjuk pada keadaan orang jang dihibahi suatu barang tak-bergerak kemudian sudah ketelandjur mengikat barang itu de ngan misalnja suatu hypotheek. Kalau ini terdjadi dan barang itu harus dikembalikan, maka, menurut pasal tersebut, barang itu dibebaskan dari ikatan hypotheek itu. Pasal ini hanja menjebutkan hal adanja penghibahan biasa (giften), tetapi, menurut Asser-Meyers dalam bukunja halaman 187, pasal ini djuga berlaku bagi penghibahan wasiat terhadap barang tak-bergerak. AsserMeyers berkata, bahwa pasal ini adalah djaplakan belaka dari pasal jang bersangkutan dari Code Civil di Perantjis, jang dalam hal ini tidak perlu menjebutkan penghibahan wasiat, oleh karena menurut sistim Code Civil seorang jang dihibahi harus selalu minta penjerahan barang jang dihibah kan itu dari ahliwaris jang berhak atas bagian legitiem. Sedang menurut sistim B.W . seorang jang dihibahi wasiat, adalah ahliwaris djuga, djadi dapat seketika memegang barang jang dihibahkan, dengan akibat bahwa ahliwaris jang berhak atas bagian legitiem, dapat minta kembali barang jang penghibahannja setjara hibah wasiat meliwati batas bagian legitiem. Hal ini dapat djuga dikatakan tentang istilah „giften” (penghibahan biasa) jang dipakai dalam pasal 927 dan pasal 929 B.W . Pasal 927 B.W . menentukan, apabila barang jang harus dikembalikan itu, menghasilkan bunga, maka hasil itu harus diserahkan pula kepada ahliwaris jang berhak atas bagian legitiem, jaitu hasil jang dipetik sedjak wafatnja si peninggal warisan, apabila tuntutan untuk pengembalian ini dimadjukan dalam tenggang satu tahun setelah wafat si peninggal warisan. Apabila tuntutan ini dimadjukan setelah tenggang ini lampau, maka jang harus diserahkan kembali, adalah hasil jang dipetik sedjak tuntutan di madjukan dimuka Pengadilan. Pasal 929 B.W . menundjuk pada keadaan barang-barang tak-bergerak jang harus dikembalikan itu, sebelum dituntut kembali, sudah didjual atau ditukarkan atau dihibahkan oleh jang dihibahi kepada orang ketiga, jang djuga telah menerima dan memegangnja. Dalam hal ini pasal tersebut menentukan, bahwa terhadap seorang pemegang ketiga itu dapat dilakukan tuntutan untuk mengembalikan ba rang tadi, jaitu setjara jang ditentukan terhadap orang jang dihibahi. Djadi jang didahulukan harus dikembalikan ialah barang-barang jang dihibah-wasiatkan, kemudian baru barang-barang jang dihibahkan biasa, kalau barang-barang jang pertama belum mentjukupi. Apabila ada lebih dari satu barang jang didjual kepada seorang ketiga dan pendjualan ini dilakukan ‘dalam waktu-waktu jang berlainan, 61
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
maka jang harus dulu dikembalikan ialah barang jang terbelakang didjual. Dan lagi, apabila jang dihibahi oleh si peninggal warisan masih memegang barang-barang lain jang dihibahkan pula dan jang belum didjual kepada seorang ketiga, maka barang-barang inilah jang harus da hulu dikembalikan. Djuga ditentukan oleh pasal 929 ajat 3 B.W ., bahwa barang-barang ini tidak perlu dikembalikan, apabila orang jang dihibahi itu, mempunjai sendiri barang-barang jang dapat di'pergunakan untuk mengembalikan harga-nilai dari pada barang-barang jang didjual kepada orang ketiga itu. Pada achirnja ajat 4 dari pasal ini menentukan tenggang tiga tahun, dalam mana tuntutan pengembalian terhadap pemegang ketiga dapat diadjukan, terhitung dari hari si ahliwaris menjatakan bersedia menerima harta warisan (erfenis aanvaarden). Pasal 920 ajat 2 B .W . menundjuk pada keadaan si peninggal warisan mempunjai hutang-hutang jang belum dibajar, dalam hal mana si berpihutang tidak boleh dirugikan dengan adanja pengembalian barang-barang ini.
Pasal ini hanja dapat berarti, apabila sesuai dengan pendapat AsserMeyers halaman 189, pasal ini ditafsirkan sedemikian rupa, bahwa si berpihutang dapat meminta supaja barang-barang jang dikembalikan itu, dipergunakan untuk membajar kembali hutang-hutang itu.
62
BA G IA N
X
TJARA PENGHIBAHAN WASIAT
Menurut Hukum Adat Dalam Hukum Adat sama sekali tidak ditentukan tjara tertentu untuk mengadakan hibah wasiat. Sering kemauan terachir ini diutjapkan pada waktu si peninggal warisan sudah sakit keras jang kemudian menjebabkan adjalnja. Biasanja kalau ini terdjadi, utjapan ini dihadiri oleh beberapa orang dari sanakkeluarga jang agak dekat tali-kekeluargaannja. Menurut Van Vollenhoven dalam bukunja tentang Hukum Adat ba gian I halaman 342, diantara orang-orang muslim di Tondano kadangkadang ada suatu utjapan kemauan terachir oleh orang jang tidak mempunjai anak dengan cunadiri oleh Kepala Desa dan beberapa orang dari desa itu. Dikota-kota besar tidak djarang utjapan kemauan terachir ini disaksi kan oleh seorang notaris, jang diundang untuk mendengarkan utjapan itu. Kalau ini terdjadi, notaris tentunja akan mentjatat utjapan itu sebaik-baiknja dengan disaksikan oleh dua orang saksi, ketjuali apabila si peninggal warisan ingin merahasiakan utjapan itu sehingga wafatnja. <■ Utjapan kemauan terachir ini di Djawa dinamakan wekas, di Minang kabau wnanat, di Atjeh peuneitsan, di Batak ngeudeskan. Utjapan ini sering djuga hanja merupakan penegasan udjud dari ba rang-barang jang akan mendjadi harta warisan, dan disamping itu disebut kan barang-barang jang tidak merupakan harta warisan, melainkan milik orang lain, misalnja milik pribadi dari isterinja atau anaknja. D jadi pada umumnja maksud dari utjapan-utjapan ini ialah usaha un tuk menghindarkan keributan dan tjek-tjok dalam membagi harta warisan dikemudian hari diantara para ahliwaris. Sering djuga utjapan kemauan terachir ini mengandung andjuran be laka kepada para ahliwaris untuk dengan ichlas hati memberikan sebagian dari harta warisan kepada orang-orang sanak-keluarga jang agak djauh tali kekeluargaannja dan oleh karena itu tidak berhak atas suatu bagian dari harta warisan, tetapi ada tali persahabatan jang erat antara ia dan si peninggal warisan. Ada mungkin pula seorang peninggal warisan itu mengeluarkan ke inginan akan menundjuk seorang tertentu untuk memelihara seterusnja anak-anak si peninggal warisan jang masih ketjil, terutama kalau anak-anak itu sudah tidak mempunjai orang-tua. Sering seorang peninggal warisan menuliskan kemauan terachir dalam suatu surat, jang dibatjakan dimuka beberapa orang sanak-keluarga jang diminta turut menanda-tangani surat itu. 63
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
Menurut Hukum islam Menurut Juynboll dalam bukunja halaman 263, djuga dalam Hukum Islam tidak ditentukan tjara tertentu untuk mentjiptakan kemauan terachir dari si peninggal warisan. Hanja ditentukan, bahwa utjapan itu harus tegas dan terang dengan dihadiri oleh orang-orang jang dikemudian hari, kalau perlu, dapat mendjadi saksi untuk membenarkan adanja utjapan itu. Kalau kemauan terachir ini ditulis dalam suatu surat, maka surat hibah wasiat ini hanja sah, apabila isinja diberitahukan dengan lisan kepada orang-orang saksi. Seperti dalam penghibahan biasa, penghibahan wasiat ini memperlukan kabul, jaitu kesediaan orang jang dihibahi akan menerima barang jang dihibahkan itu. Kabul ini dilakukan setelah si penghibah meninggal dunia, oleh karena sampai wafatnja si penghibah dapat menarik kembali penghibahan ini.
Menurut Hukum Burgerlijk W etboek Burgerlijk Wetboek mengenal tiga matjam tjara membikin hibah wasiat, jaitu : ■ ke -1 testament rahasia (geheim), • ke -2 testament tak-rahasia (openbaar), ke-3 testament tertulis sendiri (olografis), jang biasanja bersifat ra hasia tetapi mungkin djuga tak-rahasia. Dalam tiga-tiganja tjara membikin testament ini diperlukan tjampur
tangan seorang notaris. Pasal 931 B.W . hanja menjebutkan adanja tiga matjam testament tadi.
Testament olografis Testament sematjam ini ‘jang mulai diatur oleh Burgerlijk Wetboek, jaitu dalam pasal 932 dan seterusnja. Ditentukan, testament ini selurtthnja harus ditulis dan ditanda-tangani oleh si peninggal warisan dan kemudian disimpan oleh seorang notaris; hal menjimpan ini harus disaksikan oleh dua orang saksi. Pada waktu menjerahkan testament jang telah tertulis ini, kepada notaris untuk disimpan, testament mungkin sudah tertutup dalam suatu sampul jang disegel. Dalam hal ini si peninggal warisan harus dimuka notaris dan para saksi mentjatat pada sampul, bahwa sampul itu berisi testamentnja. Kemudian tjatatan itu harus ditanda-tangani olehnja. Kemudian notaris bikin akte tersendiri dari hal menerima testament ini untuk disimpan, akte mana harus ditandatangani oleh notaris, saksi-saksi dan si peninggal warisan. Mungkin testament diserahkan kepada notaris dengan tidak tertutup dalam sampul, djadi tidak rahasia. Kalau ini terdjadi, maka akte penerimaan untuk disimpan (akte van bewaargeving) tadi oleh notaris ditulis pada testamentnja sendiri, dibawah tulisan si peninggal warisan jang mengandung kemauan terachir. Kemudian akta itu harus ditanda-tangani oleh' notaris, saksi2 dan si peninggal warisan. 64
TJARA PEN GH IBAH AN W ASIAT
Ajat 2 dari pasal 932 BAV. memmdjuk kepada kemungkinan, bahwa setelah si peninggal warisan menulis dan menanda-tangani testamentnja, kemudian berhalangan untuk menanda-tangani sampulnja atau akta-penerimaan. Kalau ini terdjadi, maka notaris harus mentjatat hal ini serta sebabnja berhalangan ini. Pasal 933 B.W . menentukan, kekuatan testament olografis ini sama dengan kekuatan testament tak-rahasia jang dibikin dimuka notaris, dan
dianggap terbikin pada tanggal dari akta-penerimaan oleh notaris. Djadi tidak dipedulikan tanggal jang ditulis dalam testamentnja sen diri. Ajat 2 dari pasal tersebut mengandung suatu peraturan mengenai terbuktinja hal, bahwa testament itu betul-betul ditulis dan ditanda-tangani oleh si peninggal warisan, jaitu bahwa ini dianggap demikian sampai di
buktikan sebaliknja. Dengan ini dihindarkan tjek-tjok dimuka Hakim mengenai pembagian kewadjiban membuktikan hal sesuatu (bewijslast-verdeling). Menurut pasal 934 B.W . si peninggal warisan dapat meminta kembali testamentnja. Untuk pertanggung-djawabnja notaris, maka permintaan kem bali ini harus dinjatakan dalam suatu akta authentiek, biasanja tentunja akta-notaris. Ditegaskan oleh ajat 2 dari pasal tersebut, bahwa dengan menerima kembali testament olografis ini, hibah wasiat harus dianggap seperti ditarik-kembali (herroepen). Oleh pasal 937 B.W . ditentukan, apabila testament olografis ini di serahkan kepada notaris setjara tertentu dalam suatu sampul jang tersegel, maka notaris tidak berhak membuka segel ini, melainkan harus, setelah wafatnja si peninggal warisan, menjerahkannja kepada Balai Harta Pening galan (Weeskamer) untuk dibuka dan diperlakukan seperti halnja dengan testament rahasia (pasal 942 B .W .), jaitu dengan membikin procesverbaal dari (pembukaan ini dan dari keadaan testament jang diketemukan. Kemu dian testamentnja harus dikembalikan lagi kepada notaris.
Testament tak-rahasia (openbaar) Ini diatur dalam pasal 938 dan seterusnja dari B.W . Pasal 938 B.W . menentukan, testament tak-rahasia ini harus dibikin
dimuka seorang notaris dengan dihadiri dua orang saksi. Selandj'itnja seorang peninggal warisan menjatakan kemauannja ke pada notaris setjara setjukupnja („zakelijk”), maka notaris harus menulis atau menjuruh menulis pernjataan ini dalam kata-kata jang terang. Ada berlainan pendapat tentang soal apakah pernjataan oleh si pening gal warisan ini harus setjara lisan atau dapat setjara tertulis atau setjara menggerakkan badan (gebaren). Asser-Meyers (halaman 198 ), Suyling-Dubois (Nomer 9 9 ), Ktaassen-Eggens (halaman 314 dan 315) dan Hoge Raad di Negeri Belanda (putusan tanggal 27-11-1908 W . 8773) berpendapat, bahwa pernjataan ini 65
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
harus setjara lisan, oleh karena hanja dengan demikian dapat dikatakan, bahwa pernjataan ini dilakukan dengan dihadiri oleh dua orang saksi. Dikatakan oleh Asser-Meyers, bahwa lazimnja testament tak-rahasia ini sedjak dahulu kala dinamakan testament lisan. Dan lagi istilah pernjataan „zakelijk” ini dimuatkan dalam pasal B.W . ini untuk menegaskan, bahwa notaris tidak perlu menulis semua kata-kata jang dipakai oleh si peninggal warisan, melainkan dapat dipergunakan kata-kata jang dipilih oleh notaris agar jang ditulis itu mendjadi terang maksudnja. Menurut Asser-Meyers pendapat jang lain, jaitu jang tidak meng anggap tjara lisan sebagai sjarat-mutlak, adalah dianut oleh penulis-penu lis Uierhuis, Opzoomer dan Land. Menurut hemat saja, jang perlu dalam hal ini ialah, bahwa si nota ris mengerti apa jang dinjatakan oleh si peninggal warisan. Tentunja lazim tjara menjatakan ini adalah tjara lisan, tetapi ada kalanja seorang peninggal warisan itu sakit tenggorokannja sehingga tidak dapat bitjara, dan ia lantas menulis kemauannja diatas kertas. Kemudian tulisan dibatja oleh notaris dengan suara keras. Kalau si peninggal warisan setelah mendengarkan pembatjaan ini, menganggukkan kepalanja, maka tjara pernjataan ini tidak kurang terangnja dari pada dengan tjara lisan. Maka saja dapat menjetudjui pendapat Diephuis, Opzoomer dan Land. Ajat 2 dari pasal 939 B.W . membuka kemungkinan, bahwa pernja taan si peninggal warisan tentang kemauan terachir ini dilakukan kepada notaris diluar hadir saksi-saksi dan kemudian oleh notaris ditulis pula. Kalau ini terdjadi, maka sebelum tulisan notaris ini dibatjakan, lebih dulu si peninggal warisan harus menjatakan lagi kemauannja setjara pendek-pokok (zakelijk) dimuka saksi-saksi. Kemudian, menurut ajat 3 , barulah tulisan notaris dapat dibatjakan dan ditanjakan kepada si peninggal warisan, apakah betul jang dibatjakan itu adalah kemauannja terachir. Pembatjaan dan tanja-djawab ini djuga harus dilakukan, apabila per njataan si peninggal warisan semula sudah dilakukan dimuka saksi-saksi. Kemudian akta-notaris harus ditandatangani oleh notaris, si pening gal warisan dan saksi-saksi. Kalau si peninggal warisan menjatakan tidak dapat menanda-tangani atau berhalangan untuk itu, maka satu sama lain harus disebutkan setjara terang dalam akta-notaris. Djuga harus disebutkan dalam akta-notaris ini, bahwa atjara selengkapnja jang diperlukan ini telah dilakukan semuanja.
Testament rahasia Sjarat-sjarat untuk testament rahasia ini ditentukan dalam pasal 940 dan pasal 941 B.W . Ditentukan, si peninggal warisan harus menulis sendiri atau menjuruh ditulis oleh orang lain kemauannja terachir itu. Kemudian ia harus me nandatangani tulisan itu. 66
T J ARA PEN GH IBAH AN W ASIAT
Kemudian tulisan dapat ditutup dalam sampul dan sampulnja disegel, dan kemudian baru diserahkan kepada notaris, tetapi djuga diperbolehkan penutupan dan penjegelan itu dilakukan dimuka notaris dan 4 orang saksi. Kemudian si peninggal warisan harus membikin suatu keterangan dimuka notaris dan saksi-saksi itu, bahwa jang termuat dalam sampul itu, adalah testamentnja dan bahwa ia sendiri jang menulisnja serta menandatanganinja, atau bahwa ia menjuruh orang lain untuk menulisnja, dan ia telah menanda-tangani. Kemudian notaris membikin akta „superscriptie”, jaitu untuk mem benarkan keterangan itu, akta mana dapat ditulis dalam surat jang memuat keterangan itu sendiri, atau pada sampulnja. Akta „superscriptie” ini harus ditanda-tangani oleh notaris, pening gal warisan dan saksi-saksi. Kalau si peninggal warisan tidak dapat menanda-tangani atau ber halangan untuk itu, maka satu dan lain harus disebutkan dalam akta super scriptie itu. Pada achirnja ditentukan pada ajat penghabisan dari pasal 940 B.W ., bahwa testament rahasia ini harus disimpan oleh notaris bersama-sama dengan orisinil-orisinil dari akta-akta notaris lain. Pasal 941 B.W . menundjuk kepada kemungkinan si peninggal warisan tidak dapat bitjara (bisu), tetapi dapat menulis. Dalam hal ini testament tetap harus ditulis, diberi tanggal dan ditandatangani oleh si peninggal warisan. Kemudian testament itu harus diserahkan kepada notaris, dan diatas akta superscriptie harus ditulis oleh si peninggal warisan dimuka notaris dan para saksi, bahwa surat tulisan jang ia serahkan itu, adalah testament nja. Kemudian notaris bikin akta superscriptie dan menjebutkan didalamnja, bahwa keterangan si peninggal warisan itu ditulis dihadapan notaris dan saksi-saksi. Djuga kini ditetapkan, harus dianggap terbukti penulisan dan penanda-tanganan oleh peninggal warisan ini, sehingga terbukti jang sebaliknja. Pasal 943 B.W . menjebutkan kewadjiban notaris untuk memberita hukan adanja testament-testament ini kepada orang-orang jang berkepen tingan, apabila si penghibah wasiat meninggal dunia. Menurut pasal 935 B.W . si peninggal warisan diperbolehkan menulis kemauan terachir dalam surat dibawah tangan, djadi tidak dengan tjampur tangan seorang notaris, tetapi hanja tentang pengangkatan orang-orang jang diwadjibkan melaksanakan testament (executeur testamentair), ten tang pemesanan hal penguburan dan tentang penghibahan pakaian, barang perhiasan dan mebel-mebel. Penarikan kembali dari kemauan terachir ini dapat dilakukan dengan akta dibawah tangan djuga. Ada dua pasal dari B.W . jang berlaku bagi semua matjam testament tersebut, jaitu pasal 930 dan pasal 944. 67
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
Menurut pasal 930 B.W . tidak boleh satu testament dibikin oleh dua orang, baik untuk seorang ketiga maupun untuk saling menguntungkan. Alasan dari adanja larangan ini terletak pada hakekat, bahwa testa ment dapat ditarik kembali. Penarikan kembali ini akan dipersukar 'dengan adanja testament jang dibikin bersama-sama ini. Pasal 944 B.W . menentukan sjarat-sjarat bagi orang-orang jang akan mendjadi saksi dalam hal pembikinan testament. Mereka harus dewasa, djadi harus berumur 21 tahun keatas atau sudah kawin, dan harus penduduk di Indonesia. Djuga mereka harus mengecti bahasa jang dipakai dalam pembikinan testament ini. Ajat 2 dari pasal 944 itu menambahkan sjarat-sjarat bagi saksi-saksi dalam pembikinan testament tak-rahasia (openbaar testament), jaitu tidak diperbolehkan mendjadi saksi : a. para ahliwaris atau orang-orang jang dihibahi barang-barang atau sanak-sanak-keluarga mereka sampai tingkat ke-4, b. anak-anak, tjutju-tjutju serta anak-anak-menantu atau tjutju-tjutju me nantu dari notaris, c. pelajan-pelajan dari notaris.
Pembikinan testament diluar Negeri Pasal 945 B.W . mengatakan, seorang warganegara Indonesia jang takluk pada Burgerlijk Wetboek diluar Negeri dapat membikin testament, tetapi hanja dengan suatu akta-authentiek dan dengan memperhatikan atjara-atjara jang lazim ditempat tertentu diluar Negeri itu. Tetapi pasal 935 B.W . tentang kemungkinan pembikinan testament tertentu dengan akta dibawah tangan, berlaku djuga bagi orang-orang jang berada diluar Negeri itu. Dimana diluar Negeri ada konsul dari Republik Indonesia, maka kon sul itu dapat melakukan tindakan-tindakan jang lazim masuk kekuasaan seorang notaris di Indonesia.
Pembikinan testament dalam keadaan luar biasa Ini diatur dalam pasal-pasal 946, 947 dan 948 B.W . Menurut pasal 946 B.W . dalam keadaan perang seorang pradjurit atau seorang jang bekerdja pada ketentaraan, dapat membikin testament dimuka seorang perwira dengan pangkat letnan ke atas, atau, apabila ti dak ada perwira, dimuka seorang pedjabat tertinggi ditempat itu, satu sama lain dengan dihadiri dua orang saksi. Menurut pasal 947 B.W . seorang jang baru berlajar ditengah-tengah lautan, dapat membikin testament dimuka Kapten kapal dengan dihadiri dua orang saksi. Menurut pasal 948 B.W ., disuatu tempat terpentjil, dengan terputusnja hubungan lalu lintas dengan lain daerah oleh karena penjakit pes atau dimana ada pemberontakan atau bentjana alam, orang dapat mem bikin testament dimuka seorang pegawai Pamong-Pradja. Ditentukan dalam pasal 949 B.W ., bahwa testament sematjam jang 68
TJARA PEN GH IBAH AN W ASIAT
dimaksudkan dalam pasal-pasal 946, 947 dan 948 B.W . ini, harus ditanda-tangani oleh si peninggal warisan dan sekurang-kurangnja seorang saksi. Kalau mereka tidak dapat menulis, maka ini harus disebutkan dalam testament itu. Dalam hal ini perlu ditundjuk pada pasal 4 dari Staatsblad 1924-556 jang menentukan, bahwa bagi orang-orang Arab dan lain-lain bangsa Timur-Asing, jang bukan Tionghoa, pembikinan testament dalam keadaan luar biasa tersebut, harus selalu dilakukan dengan akta „openbaar” (takrahasia) menurut pasal-pasal 938 dan 939 B.W . Ratio dari pasal 4 ini bagi saja tidak terang. Mengingat sifat luar biasa dari keadaan jang dimaksudkan, maka pasal 950 B.W . menentukan, bahwa testament jang dibikin dalam keadaan luar biasa menurut pasal-pasal 946, 947 dan 948 ajat 1 tadi, mendjadi tidak berharga lagi (krachteloos) setelah lampau 6 bulan sesudah hal jang menjebabkan sifat luar biasa tadi, terhenti. Mengenai keadaan luar biasa jang dimaksudkan dalam pasal 948 ajat 2 (pemberontakan atau bentjana alam) tenggang 6 bulan ini dihitung dari tanggal pembikinan akta. Pasal 951 B.W . membuka kemungkinan, dalam keadaan luar biasa tersebut diatas, testament dapat dibikin dengan akta dibawah tangan, asal sadja ditulis, diberi tanggal dan ditandatangani oleh si peninggal warisan sendiri. Akta sematjam ini hanja berlaku selama 3 bulan terhitung dari waktu hal jang menjebabkan sifat luar biasa dari keadaan itu, terhenti, ketjuali apabila akta itu diserahkan kepada seorang notaris untuk disimpan setjara jang ditentukan bagi suatu testament olografis (pasal 952 B .W .). Pada achirnja pasal 953 B.W . menentukan, suatu testament jang tidak memenuhi sjarat-sjarat tersebut diatas, adalah batal (nietig). Menurut Asser-Meyers (halaman 217) hal batal ini adalah dengan sendirinja, dengan tidak perlu diminta pembatalannja oleh siapa pun djuga. Djadi Hakim harus menganggap testament ini batal, kalau diketahui dengan djalan apapun djuga, bahwa tidak dipenuhi sjarat-sjarat jang di tentukan oleh pasal-pasal B.W . tersebut diatas. Pendapat Asser-Meyers ini, menurut hemat saja, sukar untuk disetudjui, oleh karena bersifat sangat kaku dan menutup pintu bagi Hakim untuk mendjalankan kebidjaksatiaan dimana perlu.
,,Ordonnantie Noodtestamenten” Staatsblad 1947-75 memuat suatu ordonnantie (undang-undang) tangal 3 Mei 1947 jang mulai berlaku pada tanggal 14 Mei 1947 dan jang setjara singkat dinamakan „Ordonnantie Noodtestamenten” (Peratur an tentang hibah wasiat dalam keadaan luar biasa). Mengingat keadaan luar biasa di Indonesia sedjak tanggal 8 Desem ber 1941 sebagai akibat antara Hindia-Belanda dan Djepang, maka diang gap tidak mustahil, bahwa pada masa sedjak tanggal tersebut di Indonesia 69
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
sering dibikin testament setjara jang menjimpang dari peraturan dalam Burgerlijk W etboek. Dianggap perlu untuk-mengesahkan testament-testament itu. Pasal 1 menundjuk pada keadaan suatu hibah wasiat jang setelah tanggal 8 Desember 1941 sampai tanggal jang akan ditentukan oleh Gubernur-Djenderal, pembikinan dan penjimpanannja sama sekali diluar tjampur tangan seorang notaris atau pedjabat lain. Ditentukan oleh pasal tersebut, bahwa hibah wasiat ini toh sah dan berharga, asal sadja selunthnja ditulis sendiri oleh si peninggal warisan serta diberi tanggal dan ditanda-tangani olehnja.
Pasal 2 menundjuk pada keadaan suatu hibah wasiat jang dalam tenggang tersebut diatas, dibikin oleh atau dimuka beberapa pedjabat tertentu, jaitu seorang Kepala kamp, seorang Kepala rumah-sakit, atau jang ditundjuk oleh mereka, seorang perwira dari Negara-negara Sekutu, seorang pedjabat umum, seorang notaris atau seorang tabib. Ditentukan oleh pasal tersebut, bahwa hibah wasiat ini adalah sah dan berharga, asal sadja ditanda-tangani oleh si peninggal warisan dan salah seorang dari pedjabat-pedjabat tadi, atau oleh pedjabat itu sadja dengan diterangkan sebabnja si peninggal warisan tidak turut menanda tangani. Pasal-pasal ini djuga berlaku bagi orang-orang jang diantara tanggal 10 Mei 1940 dan 8 Maret 1942 berdiam di Indonesia dan pada waktu membikin testament itu berada diluar Indonesia. Tanggal jang akan ditetapkan oleh Gubernur-Djenderal ini, kemudian telah ditetapkan, jaitu :
a.
b.
tanggal 1 Desember 1946 untuk daerah-daerah Riau, Bangka, Biliton dan Borneo, untuk Negara Indonesia-Timur, untuk keresidenan IrianBarat, dan untuk daerah-daerah Djawa dan Sumatera, dimana pada tanggal 30 Nopember 1946 Pemerintah Belanda dapat berdjalan (Staatsblad 1947-81), tanggal 1 Oktober 1948 untuk daerah-daerah diluar Indonesia dan untuk daerah Djawa dan Sumatera, dimana antara 1 Desember 1946 dan 5 Agustus 1947 Pemerintahan Belanda mulai lagi bekerdja.
Menurut pasal 4, kalau surat-asli (origineel) dari testament itu hilang, maka adanja testament dapat dibuktikan dengan suatu turunan jang dibikin oleh pedjabat jang pernah menjimpan testament itu. Kalau si peninggal warisan kemudian pada suatu waktu sudah berdaja untuk membikin atau menjuruh bikin testament dengan akta-authentiek, maka sedjak waktu itu harus dihitung suatu tenggang selama enam bulan. Apabila si peninggal warisan baru setelah lampau tenggang itu me ninggal dunia, maka menurut pasal 5, testament jang dimaksudkan oleh pasal 1 dan pasal 2 itu, tidak mempunjai kekuatan (krachteloos). Pasal 6 membuka kemungkinan suatu testament jang pembikinannja tidak menurut pasal 1 dan pasal 2 tadi, dapat disahkan oleh Hakim, apa 70
TJARA PEN GH IBAH AN W ASIAT
bila menurut pendapat Hakim tjukup terang, bahwa testament itu betul memuat kemauan terachir dari si peninggal warisan. Hakimnja adalah Pengadilan Negeri setempat kediaman si pemohon atau, apabila pemohon itu tidak mempunjai rumah kediaman di Indonesia, Pengadilan Negeri di Djakarta. Menurut pasal 7, dalam hal ini pasal 936 B.W . adalah berlaku, djadi testament itu pembukaannja harus diserahkan kepada Balai Harta Pening galan (Weeskamer). Perlu kini ditundjuk pula pada ordonnantie 22 Des. 1 949, termuat dalam Staatsblad 1949-448 dan mulai berlaku pada tanggal 25 Desember 1949, jang memberi peraturan dalam hal suatu testament adalah hilang. Dalam pasal 1 ditentukan, seorang jang berkepentingan dapat mohon kepada Pengadilan Negeri ditempat kediaman terachir dari si peninggal warisan, supaja ditentukan siapa jang harus mewaris harta-tinggalan se orang wafat, jaitu apabila agak dapat dibuktikan (aannemelijk gemaakt), bahwa tidak dapat ditundjukkan suatu testament atau turunannja resmi oleh karena hilang. Dalam hal ini Hakim hanja dapat menjimpang dari Hukum Warisan tanpa testament, apabila dan sekedar dibuktikan dengan surat-surat jang dapat dipertjaja, bahwa dengan suatu testament atau dengan suatu peng hibahan biasa oleh si peninggal warisan dikehendaki penjimpangan dari pada Hukum Warisan tersebut. Apabila ada testament lain jang diadakan sebelum testament termak sud, maka testament jang lain itu, harus dianggap ditjabut oleh si pening gal warisan, sekedar tidak dibuktikan sementara dimuka Pengadilan, bahwa testament jang lain itu dipertahankan oleh testament jang baru. Seorang jang turut mengakibatkan pemisahan (scheiding en deling) harta warisan dari si peninggal warisan, tidak masuk orang jang berke pentingan memadjukan permohonan kepada Hakim jang dimaksudkan diatas. Kalau Hakim sudah mengambil suatu keputusan jang kini dimaksud kan, keputusan ini tidak mengurangi kekuasaan seorang ahli-waris jang berhak atas suatu bagian legitiem, untuk menuntut haknja. Pasal-pasal 3, 4 dan 5 menentukan atjara perdata tersendiri untuk pemeriksaan perkara sematjam ini. Permohonan harus tertulis dan disertai alasan-alasan. Seorang pemohon jang tidak berdiam diwilajah Negara Indonesia, harus memilih suatu tempat tertentu diwilajah Indonesia, dimana panggil an dan lain-lain dapat dilakukan. Hakim berwadjib memuatkan permohonan ini dalam Berita Negara dan disurat-surat kabar, baik didalam Negeri maupun diluar Negeri, seke dar ini dianggap perlu. Kemudian harus ditunggu selama 90 hari, terhitung dari hari keluarnja Berita Negara itu, dan Hakim bara dapat mengambil keputusan setelah lampau tenggang 90 hari tadi. 71
HUKUM WARISAN D I INDONESIA
Selama tenggang itu setiap orang dapat memadjukan keberatan kepada Hakim untuk menentang permohonan ini. Selama pemeriksaan berlangsung, Hakim dapat mengidzinkan diada kan perubahan dalam isi permohonan. Hakim dnvadjibkan mendengar Balai Harta Peninggalan dan diwe nangkan mendengar siapa sadja jang dianggap perlu, untuk memberi pe nerangan kepadanja.Selandjutnja ditundjuk kepada peraturan atjara perkara perdata jang biasa. Kalau Hakim sudah mengambil keputusan, maka Panitera harus memberitahukannja kepada Balai Harta Peninggalan, pemohon, orang-orang jang memadjukan keberatan, pihak-pihak jang menghadap dimuka Hakim, dan djuga kepada pedjabat jang memegang Daftar Testament di Djakarta (Centraal testamentair register), sedang suatu petikan dari keputusan harus dimuat dalam Berita Negara. Dalam tenggang 30 hari terhitung dari hari pengiriman pemberitahuan itu, maka tiap orang jang berkepentingan dapat mohon banding dari kepu tusan Hakim itu kepada Pengadilan Tinggi jang bersangkutan. Tenggang 30 hari ini didjadikan 60 hari, apabila si Pembanding ber diam diluar Indonesia. Kalau keputusan Hakim sudah mendjadi tetap, maka dalam 3 bulan kemudian para ahliwaris harus membikin perintjian barang-barang dari Harta Warisan (boedelbeschrijving). Perintjian ini harus dalam satu bulan sesudah dibikin, diserahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri jang mengambil keputusan. Hakim Pengadilan Negeri ini atau Hakim Pengadilan Negeri ditempat kediaman orang jang membikin perintjian ini, harus mengambil sumpah kepada si pembikin ini untuk meneguhkan kebenaran perintjian itu. Kalau ada ahliwaris jang tidak mau disumpah, maka ia dapat dianggap tidak djudjur (te kwader trouw) dan mungkin kemudian dapat dituntut mengganti kerugian jang akan diderita selaku akibat dari tidak benarnja perintjian itu.
72
BA G IA N
PENENTUAN-PENENTUAN
XI
TERTENTU
DALAM
TESTAMENT
¡.Erfstelling” dan „legaal” Perbedaan antara erfstelling dan legaat ialah bahwa erfstelling adalah pe nentuan dalam testament, jang maksudnja bahwa seorang tertentu ditundjuk oleh si peninggal warisan untuk menerima seluruh harta warisan atau sebagian tertentu, misalnja seperdua, sepertiga dan sebagainja (pasal 954 B .W .), sedang dengan legaat seorang peninggal warisan dalam testament menundjuk seorang tertentu untuk mewaris barang tertentu atau sekum pulan barang tertentu, seperti misalnja suatu rumah tertentu, atau suatu mobil tertentu atau semua barang-barang bergerak milik si peninggal warisan, atau hak-memetik-hasil atas seluruh harta warisan atau sebagian (pasal 957 B .W .). Dari pasal 955 dan pasal 958 B.W . dapat disimpulkan perbedaan lain antara erfstelling dan legaat. Orang jang mendapat erfstelling mempunjai kedudukan sebagai seorang ahliwaris ab-intestato, dalam arti bahwa duaduanja ahliwaris itu tidak hanja menerima hak-hak jang melekat pada harta warisan, melainkan djuga kewadjiban-kewadjiban, antara lain .untuk membajar hutang dari si peninggal warisan. Seorang jang mendapat legaat, tidak berkedudukan sebagai ahliwaris ab-intestato dalam arti, bahwa seorang legataris oleh si peninggal warisan diberi hak untuk menerima barang tertentu dari harta warisan. Bahkan legataris itu dapat menuntut dari ahliwaris supaja barang tertentu itu diserahkan kepadanja (lihat pasal 959 ajat 1 B .W .). Kedudukan seorang legataris adalah seperti kedudukan seorang berpihutang (créditeur) dari si peninggal warisan. Dengan demikian ia tidak bertanggung djawab atas liutang-hutang si peninggal warisan. Ada berlainan pendapat tentang persoalan apakah seorang legataris dengan adanja testament itu, semendjak wafatnja si peninggal warisan, mendjadi pemilik barang jang diberikan, ataukah ia hanja berhak untuk menuntut penjerahan barang itu kepadanja, dan baru dengan penjerahan ini ia mendjadi pemilik. Pendapat pertama dianut oleh jurisprudensi Hoge Raad di Negeri Belanda (putusan 4 Maret 181 W . 46 2 2 ), sedang kebanjakan penulispenulis ahlihukum Belanda menganut pendapat ke-II, misalnja AsserMeyers (halaman 391 dst.), Suyling-Dubois No. 328, Klaassen-Eggens (halaman 318). Djuga Hooggerechtshof dari Hindia-Belanda dulu pernah memutuskan demikian pada tanggal 5 Maret 1936 T. bagian 143 halaman 453, dan djuga ibeberapa Hakim rendahan di Negeri Belanda. Pendapat jang ke-II ini memang lebih tjotjok dengan sistim B.W . jang misalnja dalam hal djual-beli menghendaki peralihan hak-milik baru 73
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
terdjadi setelah barangnja diserahkan (geleverd) kepada jang membeli sebagai pihak jang berhak untuk menerima barang itu. Apabila barang jang diberikan setjara legaat mengeluarkan hasil (vruchten), maka, menurut pasal 959 ajat 2 B.W ., si legataris dapat me nuntut penjerahan hasil itu jang dipetik sedjak wafatnja si peninggal wa risan, apabila barangnja dituntut penjerahannja dalam satu tahun, atau diserahkan setjara suka rela dalam satu tahun. Apabila tuntutannja dilakukan setelah lampau tenggang satu tahun tadi, maka hanja dapat dituntut hasil jang dipetik sedjak waktu tuntutan dimadjukan dimuka Pengadilan. Pasal 960 B.W . menentukan, si penerima legaat dapat menerima se mua hasil sedjak wafatnja si peninggal warisan, dengan tidak dipedulikan, kapan barangnja diserahkan, dalam dua hal, jaitu : ke -1 apabila hal itu ditentukan oleh si peninggal warisan dalam testamentnja, ke -2 apabila jang diberikan sebagai legaat adalah suatu bunga selama h i dup (lijfrente) atau suatu gadji tahunan, bulanan atau mingguan, dengan dinamakan nafkah untuk keperluan hidup sehari-hari. Staatsblad 1926-253 memuat firman Radja Belanda tanggal 23 April 1926 No. 17, jang memungkinkan Hooggerechtshof dulu, djadi sekarang Mahkamah Agung, untuk kepentingan umum, mengubah atau menghapus kan suatu perdjandjian jang ditetapkan dalam suatu testament, apabila sudah lampau 40 tahun setelah wafat si peninggal warisan, jaitu mengenai : a. tempat dan tjara hasil kesenian atau barang atau surat ilmu pengeta huan harus disimpan dalam suatu pengumpulan barang-barang jang terbuka untuk umum, b. sampai dimana dan dengan sjarat-sjarat apa umum diberi kesempatan untuk melihat dan memakai hasil kesenian dan barang-barang tadi, c. tudjuan jang harus diberikan kepada sedjumlah uang untuk keperluan kesenian atau ilmu pengetahuan. Permohonan untuk perubahan perdjandjian ini harus dimadjukan oleh pihak jang diwadjibkan menepati perdjandjian itu, setjara tulisan dengan disertai alasan-alasan. Sebelum memberi putusan, Mahkamah Agung harus mendengar ketu runan-keturunan jang sah serta djanda dari peninggal warisan, dan ber kuasa pula untuk mendengar saksi-saksi dan 'ahli-ahli. Putusan Mahkamah Agung baru mendapat kekuatan, apabila sudah disahkan oleh „Gubernur-Djenderal” djadi sekarang menurut hemat saja, Menteri Kehakiman. Perdjandjian jang sudah diubah ini, dapat kemudian diubah lagi se tjara jang sama, kalau sudah lampau 10 tahun sesudah putusan jang dulu itu mendapat kekuatan. Perdjandjian jang sudah diubah tadi, dapat dituntut penghapusannja, apabila perdjandjian itu ternjata tidak dipenuhi. 74
PENENTUAN-PENENTUAN TERTENTU DALAM TESTAM ENT
Keiuadjiban (last) Suatu legaat dapat disertai suatu k e wmIjibán, jang dibebankan ikepada si legataris. Burgerlijk Wetboek sendiri dalam pasal 961 membebani seorang le gataris dengan kewadjiban membajar padjak-padjak jang dengan nama apa pun djuga melekat pada legaatnja untuk dibajar kepada Kas Negeri. Selandjutnja pasal 962 B.W . menentukan, apabila kepada beberapa legataris oleh si peninggal warisan dibebani pelbagai kewadjiban, maka para legataris harus memenuhi kewadjiban itu, masing-masing seimbang dengan djumlah barang-barang legaat jang mereka akan menerima. Ketjuali apabila si peninggal warisan menentukan lain dan membebankan kewa djiban itu misalnja hanja kepada sailah seorang legataris sadja. Kewadjiban ini jang dibebankan kepada legataris, dapat bermatjammatjam isinja. Malahan oleh pasal 967 B.W . diperbolehkan seorang lega taris diwadjibkan melakukan pembajaran uang kepada seorang ketiga, atau untuk membajar hutang-hutang dengan uang kepunjaan si legataris sendiri. Dalam hal ini seorang ketiga itu bukan legataris, melainkan seorang jang hanja ada hubungan dengan legataris tadi dan jang hanja dapat menegor si legataris itu untuk memenuhi kewadjiban membajar uang tadi. Akan ada persoalan, apablia seorang legataris A diwadjibkan mem beri sebagian dari barang-barang legaat kepada seorang ketiga B, jaitu apakah si B ini djuga merupakan seorang legataris jang dapat menuntut langsung penjerahan sebagian dari barang-barang 'legaat tadi, ataukah ia hanja dapat menuntut itu dari si legataris A. Menurut Klaassen-Eggens (halaman 344), ini tergantung dari katakata jang dipakai oleh si peninggal warisan dalam testamentnja. Kalau misalnja legaat itu merupakan suatu kumpulan buku-buku (bibliotheek) dan ditentukan pula, bahwa salah suatu buku dari kumpulan itu harus diberikan kepada si B tadi, maka kini ada kewadjiban Ibelaka dan B bu kanlah merupakan legataris. Sebaliknja apabila dalam testament ditentukan, bahwa jang diberi selaku legaat itu suatu kumpulan buku, ketjuali satu buku tertentu, buku mana harus diberikan kepada si B, maka kini si B merupakan legataris tersendiri. Saja lebih setudju, apabila ukuran tidak ditjari pada kata-kata, jang dipakai dalam testament, melainkan pada maksud sebenarnja dari si peninggal warisan. Dalam tjontoh ke-2 dari Klaassen-Eggens adalah terang maksud dari si peninggal warisan untuk memberi buku tertentu seorang legataris tersendiri. Dalam kewadjiban jang dibebankan kepada seorang legataris, tidak selalu tersangkut seorang ketiga. Misalnja si /legataris dibebani untuk memelihara kuburan dari si peninggal warisan. Bahkan mungkin sekali si legataris diwadjibkan membajar sed jumlah uang tunai untuk dimasukkan dalam harta warisan, agar dapat dibagi-bagi antara para ahliwaris lain. Kalau sedjumlah uang tunai ini sama dengan harga-nilai dari barang 75
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
legaat, maka sebetulnja si legataris disuruh membeli belaka barang legaat itu.
Udjud barang legaat Pasal 968 B.W . memungkinkan barang legaat tidak berwudjud barang tertentu, melainkan sedjumlah barang-barang dari d jenis tertentu, seperti uang tunai, atau buah-buahan dan sebagainja. Kalau ini terdjadi, maka tidak dipedulikan, apakah diantara harta warisan ada benar-benar sedjumlah uang tunai atau sedjumlah buah-buahan itu. Ini berarti, bahwa apabila sedjumlah uang atau buah-buahan itu tidak ada, maka ahliwaris jang harus melaksanakan testament itu, harus meng ambil uang atau buah-buahan itu dari sumber lain dari pada harta warisan, misalnja dari uangnja sendiri dulu. Ini sesuai dengan 'sifat legataris seperti seorang berpihutang lainnja. Dalam hal ini oleh pasal 969 B.W . ditentukan, kepada legataris tidak perlu diberi barang jang terbaik dari djenis jang ditentukan itu, tetapi djuga tidak seharusnja diberi barang jang terdjelek dari djenis itu. Ini sesuai dengan pasal 1391 B.W . mengenai perdjandjian pada umumnja. Pasal 966 B.W ., jang melarang menghibahkan barang jang bukan milik si peninggal warisan, dengan menjatakan batal penghibahan itu, !sebetulnja tidak perlu dimuat, oleh karena sudah semestinja. Pasal 963 B.W . menentukan, barang legaat harus diserahkan kepada legataris dengan disertai segala sesuatu jang dapat dikatakan merupakan bagian dari barang legaat itu, seperti m’isalnja alat-alat suatu pabrik, apa bila pabriknja diberikan sebagai legaat. Djuga ditentukan dalam pasal tersebut, barang legaat harus diserahkan dalam keadaan sewaktu si peninggal warisan wafat. Ini berarti, bahwa apabila 'setelah testament dibikin, kemudian barang legaat itu diperbaiki atau diperbesar dan sebagainja, maka perbaikan dan perbesaran ini masuk keuntungan si legataris. Ini ditegaskan lagi dalam pasal 964 ajat 2 B.W . Ajat 1 dari pasal 964 B.W . menundjuk pada keadaan si peninggal warisan setelah bikin legaat berupa sebidang tanah, kemudian membeli sebidang tanah lagi berbatasan dengan tanah jang pertama itu. Kalau ini terdjadi, maka tanah jang kemudian dibeli itu, tidak masuk legaat, ketjuali tentunja si peninggal warisan menentukan lain. Tetapi ajat 2 dari pasal tersebut menentukan, apabila pembelian tanah ini hanja merupakan memperbesar luasnja sadja dari sebidang tanah jang dulu sudah terkurung (ingesloten), maka tanah jang kemudian dibeli ini, masuk legaat jang diberikan. Penentuan ini bagi saja tidak begitu terang. Saja rasa, penafsiran dari penentuan ini harus berkisar pada maksud jang sebenarnja dari si pening gal warisan. Dan maksud ini dapat disimpulkan dari pelbagai hal, jang tidak mungkin ditentukan semula. Pasal 965 B .W . menundjuk pada keadaan si peninggal warisan setelah menghibahkan dalam testament sebidang tanah kepada seorang, kemudian 76
PENENTUAN-PENENTUAN TERTENTU DALAM TESTAM ENT
membebani tanah itu dengan liypoihcck. Dalam hal ini ditentukan, hypotheek tetap ,ada, ketjuali si peninggal warisan menentukan lain. Dikatakan dalam ajat 2 , bahwa apabila ¿i iegataris melunasi 'hutang jang dikuatkan oleh hypotheek itu, ia dapat menuntut pembajaran kembali dari ahliwaris jang berwadjib melaksanakan testament. Pasal 970 B.W . hanja menegaskan, bahwa apabila jang dihibahkan itu hanja hasil dari 'barang rtertentu tidak disebittkcui kata-kata „vruchtgebruik” (memetik hasil) atau „gebruik” (memakai), maka ini berarti, bah wa barangnja sendiri harus tetap ditangan ahliwaris, dan ahliwaris hanja berwadjib memberi hasil itu kepada si Iegataris. Lain halnja apabila kepada Iegataris diberi hak-memetik-hasil (recht van vruchtgebruik) atau hak-memakai (recht van gebruik) jang diatur dalam Burgerlijk Wetboek, dalam hal mana barangnja harus diserahkan kepada Iegataris, agar ia dapat sendiri memetik hasil atau memakai barang itu. Kalau suatu legaat diberikan kepada seorang jang mempunjai pihutang terhadap si peninggal warisan, atau kepada pelajan-buruh dari si peninggal warisan, maka ini Fidak ‘berarti, .bahwa pemberian itu diperuntuk kan membajar hutang itu atau membajar upah si pelajan itu. Demikian di katakan oleh pasal 971 B .W ., jang sebetulnja tidak perlu dimuat, oleh karena sudah amat lajak. Pada achirnja pasal 972 B.W . menundjuk pada keadaan harta warisan tidak atau hanja sebagian diterima baik (aanvaard) oleh para ahliwaris, atau diterima baik dengan sjarat perintjian barang-barang harta warisan (aanvaard met recht van boedelbeschrijving) 'dengan akibat, bahwa dari harta warisan harus diambil 'dulu seberapa ,bag'ian jang tjukup untuk melunasi hutang2 dari si peninggal warisan, dengan kemungkinan, bahwa sisanja adalah tidak tjukup untuk memberikan legaat2 sepenuhnja kepada para Iegataris. Kalau ini terdjadi, maka barang2 jang setjara legaat akan diserahkan, harus dikurangi, seimbang dengan djumlah nilai masing2 legaat.
.¡Tidei-Commis" Pasal 879 ajat 1 B.W . melarang „erfstelling over de hand” atau ,,fidei-commissaire substitutien”. Dari ajat 2 dapat (diketahui arti dari istilah-istilah ini. Disitu ditegas kan, bahwa adalah batal setiap penetapan oleh si peninggal warisan, bahwa seorang ahliwaris dibebani kewadjiban untuk menjimpan harta warisan atau barang tertentu dari harta warisan itu, dan kemudian untuk menje rahkan barang-barang itu kepada iseorang ketiga. Menurut pasal 880 B.W ., dari larangan ini diketjualikan apa jang diperbolehkan dalam afdeling 7 dan 8 titel 13 Buku II B. W . Dalam fidei-commis 'ini sebetulnja ada dua orang penerima wausan, jang berturut-turut akan mendjadi pemilik dari barang-barang warisan. Misalnja s1! A adalah ahliwaris jan g pertama, jang dibebani untuk kemu dian memberikan barang warisan- kepada si B, jang selaku ahliwaris ke-2 mempunjai harapan akan mendapat barang warisan itu. 77
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
Penjerahan oleh si A kepada si B ini dapat digantungkan pada waktu tertentu, atau pada suatu peristiwa tertentu, misalnja apabila si B sudah dewasa atau sudah kawin. Maka kepada si A diberi sedikit banjak kepertjajaan (fid ei), bahwa ia akan memenuhi kewadjiban jang dibebankan kepadanja (komisi) untuk kemudian menjerahkan barang warisan 'itu kepada orang lain. Alasan untuk melarang fidei-commis ini ialah, bahwa dirasakan se bagai keberatan besar, apabila sebagai akibat -dari fidei-commis ini akan ada barang-barang jang mungkin dalam waktu jang agak lama sama sekali tidak dapat diperdagangkan. Dan ini akan menghalang-halangi lalu-lintas per ekonomian dalam masjarakat. Sesuai dengan larangan ini adalah Staatsblad 1852-74. Menurut staatsblad ini di Indonesia semua ¡penetapan jang mengakibatkan ada barang-barang tak-bergerak (vaste goederen) untuk waktu lama atau pendek tidak dapat didjual atau diasingkan pada umumnja, atau jang ditentukan akan dipakai selaku kuburan atau tempat menjimpan abu majat, adalah
batal. Sebetulnja staatsblad ini hanja merupakan pemberian pengertian ke pada „fidei-commissaire banden of dispositien”, jang dilarang dalam pengumuman Gubernur-Djenderal Mossel tanggal 27 September 1757, jang mula-mula hanja berlaku didaerah sekitar Djakarta, tetapi dengan staatsblad 1838-45 dinjatakan berlaku djuga untuk seluruh Indonesia. Dapat dipersoalkan apakah larangan dalam dua staatsblad ini tidak bertentangan dengan kemungkinan mendirikan wakaf dilingkungan Hukum Islam dan Hukum Adat. Dengan adanja dua orang ahliwaris jang dalam fidei-commis berturut-turut berhak menguasai barang harta warisan selaku pemilik, maka menurut pendapat kebanjakan ahli-hukum dan jurisprudensi Hoge Raad di Negeri Belanda .(putusan tanggal 4 Mei 1893 B.W . 6343), tidaklah dilarang suatu penetapan dalam testament, bahwa seorang ahliwaris diwadjibkan menggunakan sedjumlah uang atau barang-barang dari harta wa risan untuk mendirikan suatu jajasan, oleh karena kini tidak ada seorang ahliwaris pertama seperti si A tadi, jang untuk sementara waktu berhak menguasai barang-barang harta Warisan selaku pemilik. Djuga dengan demikan dapat dianggap tidak dilarang oleh staatsblad 1852-74 apa jang terdjadi di Indonesia dengan pembentukan suatu wakaf oleh seorang peninggal warisan, antara lain untuk mendirikan dan meme lihara sebuah mesdjid atau untuk menolong orang-orang miskin. Asser-Meyers dalam bukunja halaman 122-124 mengadakan perban dingan antara fidei-commis jang dilarang ini disatu pihak ¡dan testament bersjarat (voorwaardelijke making) jang diperbolehkan oleh pasal 889 B.W . Sjarat ini dapat demikian rupa, bahwa si B ditundjuk selaku ahli waris dengan sjarat bahwa ia baru akan berhak menguasai barang-barang harta warisan selaku pemilik, apabila ia sudah dewasa atau sudah kawin. 78
PENENTUAN-PENENTUAN TERTENTU DALAM TESTAM ENT
Sebelum sjarat ini dipenuhi, barang warisan akan dikuasai oleh ahliwaris si A jang berkewadjiban melaksanakan testament. Perbedaan dengan fidei-commis ialah, bahwa dalam fidei-commis si A tadi berhak menguasai barang warisan selaku petnilik, dan baru kemudian diganti oleh si B selaku pemilik, sedang testament bersjarat, apabila tiba waktunja si B berhak menguasai barang warisan selaku pemilik, kedudukan si B terhadap barang ini berlaku surut sampai wafatnja si peninggal wa risan, djadi si A dianggap bukan petnilik mulai semula; dengan akibat bahwa ia harus mengembalikan segala hasil jang ia telah petik dari barang warisan itu. Maka, apabila dalam testament bersjarat itu oleh si peninggal warisan ditentukan, bahwa si A tadi tidak perlu mengembalikan hasil jang ia petik dari barang warisan itu, maka sebetulnja ditentukan, hak ¿i B tidak berlaku surut, dan oleh karena ini kini sebetulnja ada fidei-commis jang dilarang. Tetapi ketentuan istimewa dari si peninggal warisan tersebut tidak dapat begitu sadja dianggap terlarang. Maka menurut Asser-Meyers, sebaiknja hal fidei-kommis ini dilenjapkan sadja sama sekali dari Burgerlijk Wetboek, dan diganti dengan ,p er aturan tertentu tentang testament bersjarat. Pendapat Meyers ini patut diperhatikan oleh pembuat undang-undang
di Indonesia. Kembali kepada fidei-kommis jang selaku keketjualian diperbolehkan oleh B.W ., jaitu jang diatur dalam pasal-pasal 973 s/d 991. Oleh pasal 881 B.W . diperbolehkan sematjam fidei-commis, dalam mana ahliwaris si A tadi diberi hak mengasingkan dan menghabiskan ba rang-barang warisan, maka jang harus diserahkan kepada si B, hanja sisa barang-barang jang tidak diasingkan atau dihabiskan (onvervreemd of onverteerd). Fidei-commis sematjam ini lazimnja dinamakan fidei-commis
de residuo.
Pasal-pasal 973 s/d 988 B.W . mengenai fidei-commis jang diperboleh kan untuk keperluan tjutju-tjutju dan keturunan dari saudara-saudara se kandung selaku ahliwaris jang mempunjai harapan seperti ahliwaris si B tadi. Menurut pasal 973 jo. pasal 976 B.W ., seorang peninggal warisan dapat dalam testament memberikan barang-barang tinggalannja jang tidak masuk bagian legitiem, kepada seorang anak dengan beban supaja barang itu disimpan dan kemudian diserahkan kepada semua anak-anaknja si anak tadi (djadi tjutju-tjutjunja si peninggal warisan), baik jang sudah maupun jang belum lahir. Djadi tidak diperbolehkan pembebanan supaja barang itu kemudian diserahkan kepada tjutju tertentu. Kalau salah seorang anak si peninggal warisan wafat lebih dulu dari pada si peninggal warisan, maka penghibahan dengan pembebanan sema tjam itu dapat dilakukan kepada anak-anak dari anak jang wafat lebih dulu itu. Pasal 974 B .W . memuat peraturan seperti pasal 973 tadi mengena.i saudara-saudara sekandung dari si peninggal warisan, djadi jang dapat 79
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
diberi barang warisan dengan beban untuk menjimpannja dan kemudian menjerahkan kepada anak-anaknja. Pasal 975 B .W . menentukan selandjutnja, apabila pihak jang meng harapkan barang, wafat lebih dulu dari pada pihak jang dibebani menjimpan barang tadi, maka hak dari pihak jang mengharapkan tadi, beralih kepada anak-anaknja. Tjontoh : si A ada seorang peninggal warisan, memberi hibah wa siat kepada anaknja bernama si B, dan B ini mempunjai dua anak, jaitu C dan D. Setelah A wafat, barang jang diberikan itu, dikuasai oleh B dengan beban untuk menjimpan barang tadi, agar kemudian diberikan kepada C dan D. Tetapi C wafat lebih dulu dari pada B. maka hak si C beralih kepada anak-anaknja si C itu. Djadi kalau B kemudian wafat, maka barangnja harus diserahkan kepada D dan anak-anaknja si C. Begitu djuga apabila djuga D wafat lebih dulu dengan meninggalkan anak-anak, maka barangnja beralih kepada anak-anak dari C dan anakanak dari D. (ajat 2 dari pasal 975 B .W .). Akibat dari fidei-commis jang diperbolehkan ini ialah, bahwa ahliwaris jang dibebani itu, tidak dapat mendjual atau mengasingkan barang warisan itu. Perlu diingatkan, bahwa oleh karena fidei-commis sematjam ini me rupakan keketjualian dari pada larangan membuat fidei-commis pada umumnja, maka penentuan-penentuan mengenai fidei-commis jang diper bolehkan ini, harus ditafsirkan sempit, keras dan kaku. Apabila misalnja pihak jang dibebani itu, lain dari pada anak atau saudara sekandung, atau apabila ditetapkan sebagai pihak jang mengharap kan barang itu, bukan semua anak-anak dari jang dibebani, melainkan misalnja seorang anak tertentu, maka berlakulah pasal 879 ajat 2 B.W ., jang menentukan, bahwa penghibahan setjara fidei-commis ini adalah batal sama sekali, djadi djuga mengenai pihak jang dibebani, tidak hanja mengenai pihak jang mengharapkan barang. Dan dengan pembatalan ini djuga si ahliwaris jang dibebani itu, tidak mendapat apa-apa. Tentunja ia mungkin mendapat bagian harta warisan, tetapi selaku ahliwaris tanpa hibah wasiat (ab intestato). Pasal 977 B.W . mengatakan, bahwa hak2 dari pihak jang mengharap kan, mulai berlaku pada waktu pihak jang dibebani, berhenti dalam menik mati barangnja. Biasanja waktu ini adalah wafatnja pihak jang dibebani. Ajat 2 dari pasal tersebut memungkinkan pihak jang dibebani, sebelum wafat, sudah dengan suka-rela menghentikan pemakaian barang itu dan menjerahkan milik atas barang itu kepada pihak jang mengharapkan. Dalam hal ini ditentukan, perbuatan ini tidak boleh merugikan para berpihutang, jang pihutangnja sudah ada pada waktu perbuatan itu dila kukan. Artinja : apabila hutang itu tidak dibajar dan dituntut pembajarannja pada waktu pihak .jang dibebani itu masih hidup,maka barang itu da pat disita dan dilelang untuk membajar hutang itu. 80
PENENTUAN-PENENTUAN
TERTENTU DA LA M TESTAM ENT
Djuga perbuatan pihak jang dibebani itu, tidak boleh merugikan anakanaknja jang baru kemudian akan lahir. Oleh karena pihak jang dibebani ini, diwadjibkan menjimpan barang warisan ini, maka untuk kepentingan pihak jang mengharapkan, oleh B.W . dalam pasal-pasal 978 s/d 988 diadakan pelbagai peraturan, jang maksudnja supaja seberapa boleh didjaga agar barang itu utuh sampai diserahkan kepada jang mengharapkan. Pihak jang dibebani, diharuskan mengurus barang tadi sebaik-baiknja dan diharuskan mengadakan djaminan untuk meneguhkan itu. Djaminan ini dapat berupa tanah atau barang perhiasan, jang dipegangkan pada pi hak jang mengharapkan, atau dapat ditundjuk searang pendjamin (borg) jang menanggung, bahwa barang tadi akan betul-betul diurus sebaik-baik nja. Oleh pihak jang berkepentingan dan oleh Penuntut Umum dapat di tuntut, supaja barang itu pengurusannja diserahkan kepada pengurus chusus jang tanggung djawab. Djuga ditentukan, pada waktu si peninggal warisan wafat, harus diadakan perintjian barang-barang jang dihibahkan setjara fidei-commis ini. Kalau barang-barang ini berupa tanah atau barang-tak-bergerak lain, maka harus dibikin akta-penjerahan dimuka Kepala Kantor Pendaftaran Tanah. Ada kalanja pihak jang dibebani, terpaksa mendjual atau membebani dengan hypotheek barang jang dihibahkan. Ini diperbolehkan, tetapi harus ada idzin dari Hakim Pengadilan Negeri. Demikian 'isi jang penting dari pasal-pasal 978 s/d 988 B.W . tadi.
Fidei-commis de residuo (pasal-pasal 989 s/d 991 B.W .) Ini jang dimaksudkan dalam pasal 881 B.W ., jang memperbolehkannja jaitu penghibahan wasiat kepada seorang ahliwaris jang leluasa untuk mendjual atau menghabiskan barang warisan itu, dan hanja dengan beban untuk menjerahkan sisanja kepada orang lain (pihak jang mengharapkan). D jadi kini tidak ada kewadjiban untuk menjimpan barang itu. Tetapi sebetulnja dengan demikian sudah dengan sendirinja fidei-commis ini ti dak masuk arti-kata dari fidei-commis jang oleh pasal 879 B.W . dilarang. Maka djuga amat lajak, bahwa fidei-commis de residuo ini tidak diperbatasi pada anak dan saudara sekandung dari si peninggal warisan. ^ Menurut pasal 990 B.W ., dalam hal fidei-commis de residuo ini masih diperlukan kewadjiban mengadakan perintjian barang-barang (boedelbeschrijving), tetapi tidak diperlukan lagi diadakan djaminan oleh pihak jang dibebani, agar barang-barang itu diurus sebaik-baiknja.
SI
BA G IA N
X II
PENARIKAN KEMBALI DAN GUGURNJA HIBAH WASIAT
Diatas sudah pernah dikatakan, bahwa suatu hibah wasiat pada umumnja, djadi dilingkungan Hukum Adat maupun dilingkungan Hukum Islam dan dilingkungan Hukum Burgerlijk Wetboek, dapat ditarik kembali oleh penghibah. Ini sesuai dengan sifat hibah wasiat gelaku kemauan terachir. Kalau hibah wasiat ditarik kembali 'oleh penghibah, maka jang ditarik kembali itu, sudah terang benderang tidak merupakan lagi kemauan terachir. Djuga dapat dikatakan, bahwa dalam tiga-tiganja lingkungan Hukum tadi penarikan kembali ini dapat dilakukan setjara tegas (uitdrukkelijk) atau setjara diam-diam (stilzwijgend). Penarikan kembali setjara diam-diam ini terdjadi, apabila hal itu dapat disimpulkan dari perbuatan si penghibah jang dilakukan setelah hibah wasiat itu dibikin. Artinja : dari perbuatan itu dapat disimpulkan adanja maksud dari si penghibah untuk menarik kembali hibah wasiat itu, seluruhnja atau sebagian. Perbedaan antara Hukum Adat dan Hukum,Islam disatu pihak, dan Hukum B.W . dilain pihak, ialah bahwa Burgerlijk Wetboek dalam bebe rapa pasal (994 dan 996) menundjuk setjara tegas kepada beberapa tindak an tertentu, dari mana dapat disimpulkan maksud si penghibah untuk menarik kembali hibah wasiatnja.
disebutkan oleh
pc-rbuaU n-piA uu,, , e [ t o tu ¡ « g
Wetboek Uuli, hanja merupakan M o h - t j o » ! *
sad/a dan pac/a pen m km kembali sc-tjm diam-d iam. _ , Dan pula, tidak ada keberatan untuk mengambil pasal-pasal dari Btadi selaku/pedoman dalam melaksanakan Hukum Adat,dan Hukum Marilah kita sekarang menindjau pasal-pasal dari B .W . tadi, djug jang mengenai penarikan kembali setjara tegas.
Penarikan kem bali'setjara tegas Ini diatur dalam pasal 992 dan pasal 993 B.W . ^ enurut pasal 992 B.W ., penarikan kembali setjara tegas ini dapa i akukan a. dalam suatu hibah wasiat haru, jang diadakan menurut Pas^ pasal dari B.W . atau b. dalam suatu akta notaris chusus (bijzondere no tvele a k te ^ .
^
‘ktJnbjzJ/ ( f f t t e a n
M m / / penarikan kembali ini sadja.
su a tu
'“ kil bri a 's a“, ‘t/ iS
n o ta r is
letapi dalam hal ada suatu hibaH ■wasiat baru jang tulak mcinenuhi sjarat-sjarat atjara jang ditentukan oleh B.W . sehingga testament jang 82
PENARIKAN KEMBALI DAN GUGURNJA HIBAH-W'ASI A ’T
baru itu batal selaku testament, tetapi sah selaku akta-notaris, pasal 993 B.W . menundjuk kepada suatu kemungkinan, bahwa akta-notaris tidak hanja memuat suatu penarikan kembali, melainkan djuga mengulangi be berapa penetapan dalam testament jang lama. Dan dalam hal ini, menurut pasal 993 itu, penetapan-penetapan jang diulangi itu, tetap 'berlaku. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa istilah „chusus” ini harus diartikan lebih luas, jaitu bahwa suatu testament dapat ditarik kembali djuga dengan suatu akta-notaris biasa, jang tidak hanja melulu memuat penarikan sadja, melainkan djuga memuat penetapan-penetapan lain me ngenai kemauan terachir dari si peninggal warisan. (Lihat Asser-Meyers halaman 221 dan 222 , dan Klaassen-Eggens ha laman 385).
Penarikan kembali setjara diam-diam Dalam Burgerlijk Wetboek ada termuat tiga tjontoh dari penarikan kembali testament setjara diam-diam jaitu : Ke-1 Mungkin seorang peninggal warisan membikin dua testament ber turut-turut, jang isinja tidak tjotjok satu sama jang lain. Dalam hubungan ini oleh pasal 994 B.W . ditentukan, bahwa pene tapan-penetapan dari testament pertama, jang bertentangan dengan penetapan-penetapan testament kedua, dianggap ditarik kembali. Ajat 2 dari pasal tersebut mengatakan selandjutnja, bahwa penarik an kembali setjara diam-diam ini tidak dianggap ada, apabila testa ment jang baru itu batal oleh karena tidak dipenuhi atjara-atjara jang ditentukan dalam B.W . Dalam hal ini tidak dipedulikan, apa kah testament jang baru itu selaku akta-notaris sah atau tidak. Adanja pertentangan antara dua testament, mungkin terang ben derang. Misalnja dalam testament pertama seorang A diberi sebuah rumah tertentu, dan dalam testament kedua rumah itu diberikan kepada seorang B. Tetapi djuga mungkin adanja pertentangan ini tidak begitu terang. Dalam hal ini harus diteliti maksud sebenarnja dari si peninggal warisan. Kalau misalnja dalam testament pertama suatu rumah diberikan kepada seorang A dan dalam testament kedua hak-memetik-hasil atas rumah itu diberikan kepada seorang B, maka ada pertentangan, apabila maksudnja ialah bahwa si A hanja mendapat hak-milik sadja atas rumah dengan tidak mempunjai hak memakai dan me metik hasil dari rumah itu. Ke-2 Apabila suatu barang jang dalam suatu testament sudah diberikan kepada seorang A, kemudian oleh si penghibah, sebelum wafat, didjual atau ditukarkan kepada seorang B, maka penghibahan kepada si A harus dianggap ditarik kembali. Demikian dikatakan oleh pasal 996 B.W . Ke-3 Apabila suatu testament olografis diminta kembali dari notaris oleh si pembikin testament itu, maka testament ini dianggap ditarik kem bali. Demikian dikatakan oleh pasal 934 B.W . 83
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
Pasal 995 B.W . memuat suatu peraturan mengenai baik penarikan kembali setjara tegas maupun penarikan kembali setjara diam-diam, jaitu bahwa penarikan kembali dua-duanja itu tetap berlaku meskipun kemudian ternjata, bahwa seorang jang selaku akibat penarikan kembali itu, akan mendapat warisan, tidak akan mendapat warisan itu, oleh karena dilarang oleh undang-undang atau ia kemudian menolak penerimaan warisan itu. Dalam tjontoh jang menurut testament kesatu si A mendapat suatu barang dan menurut testament kedua si B-lah mendapat barang itu, dan kemudian ternjata si B itu menurut undang-undang dilarang mendjadi ahliwaris atau menolak warisan itu, maka tetap si A tidak mendapat barang itu. Djadi tentang barang itu dianggap sama sekali tidak ada testament, dan barang itu harus diwaris menurut Hukum Warisan tanpa testament.
Gugurnja suatu testament Menurut pasal 997 B.W ., apabila suatu pemberian barang dalam testament disertai suatu sjarat, jang pemenuhannja tergantung dari suatu keadaan jang belum tentu akan terdjadi, dan ahliwaris jang diberi barang itu kemudian wafat sebelum keadaan itu terdjadi, maka penghibahan itu adalah gugur (vervallen), artinja : tidak berlaku. Ini ada berlainan dengan peraturan B.W . tentang perdjandjian bersjarat, jang dalam pasal 1261 menentukan, bahwa dalam perdjandjian bersjarat itu hak bersjarat (voorwaardelijk recht), kalau si pemilik hak itu wafat, beralih kepada ahlhvarisnja. Pasal 998 B.W . menundjuk pada suatu pemberian dalam testament jang hanja pelaksanaannja sadja dipemngguhkan. Dalam hal ini hak dari orang jang mendapat pemberian barang itu, beralih kepada ahliwarisnja, apabila ia wafat sebelum pemberian itu dapat dilaksanakan. Pasal ini ditafsirkan oleh kebanjakan ahli-hukum (Asser-M^eyers ha laman 109, Klaassen-Eggens halaman 392, Suyling-Dubois No. 142) se demikian rupa, bahwa jang dimaksudkan dalam pasal 998 B.W . itu ialah suatu pemberian jang pelaksanaannja tergantung dari suatu keadaan jang pada wafatnja si peninggal warisan belum terdjadi tetapi sudah tentu akan terdjadi, seperti misalnja wafatnja seorang tertentu. Pemberian barang dalam testament gugur djuga, apabila a barangnja lenjap pada waktu penghibah masih hidup (pasal 999 ajat 1 B .W .), atau b. barang 'itu kemudian, setelah wafatnja si penghibah, baru lenjap diluar salahnja seorang ahliwaris jang harus melaksanakan testament itu (pasal 999 ajat 2 B .W .). Pasal 1000 B.W . menundjuk pada penghibahan suatu pihutang, jang djuga dianggap gugur, apabila hutang itu kemudian dibajar kepada si penghibah pada waktu ia belum wafat. Djuga oleh pasal 1001 ajat 1 B.W . suatu hibah wasiat adalah diang gap gugur, apabila ahliwaris jang diberi barang warisan itu, menolak akan menerima barang itu atau oleh B.W . dilarang mendjadi ahliwaris. Ini adalah lajak, tetapi arti peraturan ini terletak pada ajat 2 dari 84
PENARIKAN KEM BALI DAN GUGURNJA H IBA H W ASIAT
pasal tersebut, jang mengatakan, apabila dengan penghibahan ini dimaksud kan akan memberi keuntungan kepada seorang ketiga, maka penghibahan ini Jidak gugur, artinja : kewadjiban menguntungkan seorang ketiga ini tetap melekat pada ahliwaris jang akan menggantikan jang menolak itu menurut Hukum Warisan tanpa testament. Misalnja orang ketiga itu adalah si A dan ahliwaris jang mendapat penghibahan itu adalah si B, maka, meskipun si B itu menolak penerimaan warisan ini atau dilarang oleh undang-undang untuk mendjadi ahliwaris, si C selaku ahliwaris tanpa testament sebagai pengganti dari si B, tetap berkewadjiban menguntungkan si A. Si C dapat melepaskan diri dari kewadjiban ini, apabila ia melepaskan sama sekali haknja selaku ahliwaris, untuk keuntungan si A itu. Pasal 1004 B.W . menundjuk pada kemungkinan ada penuntutan supaja suatu penghibahan dalam testament oleh Hakim dinjatakan gugur, jaitu apabila jang dihibahi itu tidak memenuhi sjarat-sjarat jang ditentukan oleh si penghibah. Dalam hal ini barang jang sudah diserahkan kepada orang jang men dapat hibah itu, dapat diminta kembali, bebas dari hypotheek atau lainlain ikatan. Permintaan kembali ini dapat dilakukan djuga terhadap seorang ke tiga, kepada siapa barangkali barang itu kemudian sudah diserahkan oleh si penerima hibah tadi. ,, Aamvas” (penambahan) Kalau harta warisan diberikan bersama-sama kepada beberapa orang ahliwaris, misalnja si A, B dan C, dan penghibahan ini tidak dapat dilak sanakan terhadap salah seorang dari mereka, misalnja si A, maka bagiannja ditambahkan pada bagian si B dan si C. Demikian dikatakan oleh pasal 1002 ajat 1 B.W . „Pemberian bersama” ini, menurut ajat 2, tidak dianggap ada, apabila kepada masing-masing A, B dan C tadi ditetapkan berapa bagiannja se perti seperdua, sepertiga dan sebagainja. _ Selandjutnja oleh ajat 3 ditentukan, bahwa pemberian bersama ini dianggap ada, apabila harta warisan tadi diberikan kepada si A, si an si C untuk bagian-bagian jang sama. Bagi saja tidak nampak, karena alasan apa diadakan perbedaan antara dua peristiwa jang dikatakan oleh ajat 2 dan ajat 3 dari pasa 1002 Pada achirnja pasal 1003 B.W . menganggap ada pemberian bersama apabila kepada beberapa orang diberikan suatu barang, jang su ar apa dibagi-bagi tanpa merugikan, seperti misalnja satu rumah, satu u, sa lemari dan lain-lain sebagainja.
85
BA G IA N
SJARAT-SJARAT
X I II
UMUM TENTANG ORANGNJA }}r/ARISAN DAN AHLI W'ARIS
PENINGGAL
Sjarat-sjarat bagi si peninggal warisan Kalau kini akan dibentangkan hal sjarat-sjarat umum tentang orang pribadi si peninggal warisan, maka jang dimaksud ialah hanja si peninggal warisan dalam hal membikin suatu hibah W’asiat. Bukankah bagi seorang jang meninggal dunia tanpa hibah wasiat .tidak lajak adanja sjarat-sjarat untuk dapat mendjadi peninggal warisan, oleh karena tiap-tiap orang jang me ninggal dunia, dengan sendirinja merupakan peninggal warisan bagi ba rang-barang miliknja jang ditinggalkan. Sjarat-pokok bagi seorang untuk dapat membikin hibah wasiat pada umumnja adalah sama dengan sjarat-pokok bagi orang untuk melakukan perbuatan-hukum pada umumnja, jaitu bahwa orang itu harus mampu
menentukan kemauann j a setjara bebas dan merdeka. Sekiranja dapat dikatakan, bahwa dalam hal ini tiada perbedaan antara Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Burgerlijk Wetboek.
Pikiran sehat Sekadar selaku penegasan adalah penentuan dalam pasal 895 B.W ., bahwa untuk dapat membikin suatu hibah wasiat, orang harus mempunjai daja berpikir setjara sehat. Berdaja berpikir setjara sehat ini tidak ada terutama pada seorang jang sakit gila, dan djuga tidak ada pada seorang jang dalam keadaan sakit demam jang sangat, mengatakan hal matjam-matjam (ijlende koorts), atau pada seorang jang baru mabok setelah minum minuman keras. Djadi, kalau orang dalam keadaan demikian membikin suatu hibah wasiat maka sahnja hibah wasiat itu dapat ditentang oleh orang-orang jang berkepentingan, jaitu para ahliwaris dan para berpihutang dari si pening gal warisan. Dari pasal 446 ajat 3 B.W ., jang menentukan, bahwa seorang jang berada dibawah pengawasan curatele oleh karena pemborosan, adalah berkuasa untuk bikin hibah wasiat, dapat disimpulkan, bahwa seorang curandus jang diawasi berhubung dengan sakit gila, sama sekali tidak dapat membikin hibah wasiat, djuga tidak dalam saat ia kadang-kadang dapat berpikir setjara agak sehat. Djuga tidak berkuasa untuk bikin hibah wasiat adalah seorang jang dirawat dalam rumah-sakit-gila. Ini dapat disimpulkan dari pasal-pasal 37, 41 dan 43 dari Staatsblad 1897-54 (Reglement Krankzinnigen Wezen atau Peraturan mengenai hal orang gila). 86
SJARAT-SJARAT UMUM TEN TAN G ORANGNJA PEN IN GG AL
W ARISAN
Umur Ada suatu ketentuan umum dalam B.W ., bahwa hanja seorang dewasa sadja adalah berdaja untuk melakukan perbuatan-hukum. Menjimpang dari ketentuan umum ini, pasal 897 B.W . menentukan, bahwa djuga seorang jang belum dewasa, dapat bikin testament, asal ia sudah berumur 18 tahun atau lebih. Menurut pasal 898 B.W\, untuk menentukan, apa seorang adalah berdaja membikin testament, harus dilihat pada keadaan pada waktu tes tament itu dibikin. Tetapi dapat dikatakan, bahwa mana kala terang se orang itu sebelum atau sesudah bikin testament adalah sakit gila, maka mudaih dapat disimpulkan, bahwa seorang djuga sakit gila pada waktu testament dibikin. Tetapi ini mengenai pembuktian suatu keadaan, jang takluk pada peraturan umum tentang pembuktian.
Tiada kekeliruan Pasal 890 B.W . memungkinkan suatu testament dianggap tidak sah atau batal, apabila didalamnja disebutkan suatu sebab jang mendorong si peninggal warisan untuk memberi sesuatu kepada seorang, sedang kemu dian ternjata bahwa ada kekeliruan dalam hal sebab itu, dan lagi kalau ternjata, bahwa penghibahan tidak akan dilakukan, andai kata si pening gal warisan tahu tentang kekeliruan itu. Pada umumnja ,bagi suatu testament tidak dipedulikan, sebab apa jang mendorong si peninggal warisan untuk memberi hibah itu. Tetapi kini sebab itu perlu dengan sjarat tersebut diatas. Misalnja seorang peninggal warisan dalam testament memberi suatu barang kepada seorang A, oleh karena A itu adalah anak-angkatnja. Tetapi kemudian ternjata, bahwa jang diangkat itu bukan si A melainkan si B, maka dengan demikian dapat dikatakan, bahwa ada kekeliruan jang me nurut pasal 890 B.W . dapat mengakibatkan batalnja penghibahan itu.
Tiada paksaaan atau penipuan Tentang hal ini pasal 893 B.W . mengatakan suatu testament bata , apabila dibikin setjara paksaan atau penipuan. Tetapi hal ini harus di buktikan. . , . Sampai dimana dianggap ada paksaan, Hakim harus setjara ana ogi memperhatikan hal jang tentang ini berlaku bagi perdjandjian pada umumnja (lihat pasal-pasal 1324, 1325 dan 1326 B.W . dan buku saja „Azasazas Hukum Perdjandjian" tjetakan kedua halaman 27 dan 28). Djuga pasal 1327 B.W . dapat diperlakukan,,jang menentukan bahwa pembatalan tidak dapat dituntut, apabila hal paksaaan suda er en i dan kemudian si peninggal warisan menjetudjui penghibahan itu, setjara tegas atau setjara diam-diam.
Sjarat-sjarat bagi ahlitvaris
. . . Para ahliwaris ini harus sudah ada pada waktu wafatnja si peninggal warisan. 87
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
Hal ini ditentukan bagi ahliwaris tanpa testament dalam pasal 836 B.W . dan bagi ahliwaris setjara testament dalam pasal 899 ajat 1 B.W . „Harus ada” ini berarti tidak hanja „sudah dilahirkan”, tetapi tjukup, apabila sudah ada dalam gua-garba ibu, oleh karena dua pasal tersebut menundjuk pada pasal 2 B.W ., jang berbunji : ( 1 ) Seorang anak jang dikandung oleh seorang perempuan jang hamil, dianggap sudah lahir, apabila kepentingan si anak itu menuntutnja. ( 2 ) Apabila seorang anak itu, pada waktu kemudian dilahirkan, ternjata sudah mati, maka anak itu dianggap tidak pernah ada. Tentang hal ini djuga penting pasal 831 B.W ., jang menentukan, apabila si peninggal warisan dan si ahliwaris meninggal dunia dalam satu ketjelakaan, atau dalam satu hari, dengan tidak dapat ditentukan, siapa dari mereka wafat lebih dulu, maka mereka dianggap meninggal dunia pada satu saat jang sama. Dengan demikian tidak mungkin ada peralihan barang warisan dari satu pihak kepada pihak jang lain. Menurut Juynboll (halaman 247), peraturan sematjam ini tentang ahliwaris jang masih berada dalam kandungan ibu dan tentang keraguraguan siapa jang lebih dulu meninggal dunia, djuga terdapat dalam Hukum Islam.
Tidak pantas mendjadi ahliwaris (onwaardig) Hal tidak pantas ini dalam Burgerlijk Webboek diatur a. dalam pasalpasal 838, 839 dan 840 untuk ahliwaris tanpa testament, dan b. dalam pasal 912 untuk ahliwaris setjara testament. Dari dua peraturan ini ada jang sama, ada jang berbeda. Jang sama ialah, bahwa seorang dianggap tidak pantas mendjadi dua matjam ahliwaris itu : ke -1 apabila ia dihukum oleh Hakim, oleh karena membunuh si pening gal warisan, djadi harus ada putusan Hakim, jang menghukumnja, ke -2 apabila ia dengan paksaaan menghalang-halangi si peninggal warisan akan membikin, mengubah atau mentjabut testament, ke-3 apabila ia menghilangkan, membinasakan atau memalsu testament dari si peninggal warisan. Hal jang berbeda ialah, bahwa disamping tiga hal ini ahliwaris tanpa testament djuga dianggap tidak pantas, ke -1 apabila ia dihukum oleh Hakim, oleh karena ia mentjoba membunuh si peninggal warisan, ke-2 apabila ia oleh Hakim dianggap bersalah mendakwa si peninggal warisan setjara palsu, bahwa ia melakukan kedjahatan jang dapat didjatuhi hukuman pendjara selama lima tahun atau lebih. Alasan dari perbedaan ini ialah, bahwa kalau setelah seorang men tjoba membunuh si peninggal warisan atau setelah menghinanja, kemudian si peninggal warisan tetap menghibahkan sesuatu kepada seorang itu, ma ka si peninggal warisan dapat dianggap memberi ampun kepada orang itu. Timbul pertanjaan apakah hal tidak pantas ini harus ditetapkan dalam 88
SJARAT-SJARAT UMUM TEN TAN G ORANGNJA PEN IN GGAL
W ARISAN
putusan Hakim atau sudah dapat dianggap ada /tanpa putusan Hakim itu (van rechtswege). Kebanjakan dari para penulis ahli-hukum, diantaranja Meyers dalam bukunja tentang Hukum Warisan (halaman 23) berpenda pat, bahwa tidak perlu ada putusan Hakim untuk menetapkan seorang ahliwaris adalah tidak pantas. Akibat dari pendapat ini ialah, bahwa semua perbuatan dari ahliwaris jang tidak pantas itu jang mengenai barang-warisan, adalah batal dan bahwa seorang Hakim dapat menjatakan „tidak pantas” ini dalam djabatannja dengan tidak perlu menunggu penuntutan dari pihak apapun djuga. Lihatlah djuga pasal 839 B.W ., jang mewadjibkan seorang ahliwaris jang tidak pantas itu untuk mengembalikan hasil jang ia telah petik dari baraog-barang-warisan. Menurut pasal 840 B.W ., anak-anak dari ahliwaris jang tidak pantas itu, tidak boleh dirugikan oleh salahnja orang-tua, apabila anak-anak itu mendjadi ahliwaris atas kekuatan sendiri („uit eigen hoofde”) , artinja, apabila menurut Hukum Warisan anak-anak itu tanpa perantaraan orangtuanja mendapat hak selaku ahliwaris. Menurut Asser-Meyers (halaman 24) penentuan ini djuga berlaku, apabila anak-anak itu setjara penggantian-warisan (plaatsvervulling) men djadi ahliwaris, oleh karena pada hakekatnja tidak ada perbedaan antara dua tjara mendjadi ahliwaris ini. Klaassen-Eggens (halaman 160 ) berpendapat lain, oleh karena tidak lajak seorang anak menggantikan seorang ahliwaris jang dipetjat dari haknja selaku ahliwaris. Saja lebih menjetudjui pendapat Meyers dengan alasan, bahwa se orang anak tidak lajak boleh dirugikan oleh perbuatan-salah dari orangtua. Pada achirnja pasal 840 B.W . menentukan, apabila seorang anak itu mendjadi ahliwaris, maka orang-tuanja jang tidak pantas tadi, tidak men dapat hak-memungut-hasil (vruchtgenot) dari barang-warisan itu dalam hal anak itu masih belum dewasa. Seperti diketahui, barang-barang milik orang jang belum dewasa, harus diurus oleh orang-tuanja. Perihal ahliwaris setjara testament, pasal 912 B.W . menentukan, anakanak dan suami atau isteri dari ahliwaris jang tidak pantas itu, djuga tidak boleh mendapat manfaat dari testament itu. Menurut Juynboll dalam bukunja halaman 248, Hukum Islam menge nal tiga matjam ahliwaris >jang tidak pantas, jaitu : ke-1 jang mengakibatkan wafatnja si peninggal warisan, ke-2 jang murtad, jaitu jang meninggalkan Agama Islam masuk Agama lain, ke-3 jang sudah sedjak semula tidak menganut Agama Islam. Sekiranja dapat dikatakan, bahwa Hukum Adat dimana pun djuga di Indonesia tidak mengetial alasan ke -2 dan ke-3 ini untuk menjampingkan seorang selaku ahliwaris, sedang alasan ke-1 untuk Indonesia sekiranja hanja dapat dianggap berlaku dalam hal pembunuhan, djadi dalam hal ada kesengadjaan untuk mengakibatkan wafatnja si peninggal warisan. 8.9
HUKUM WARISAN D I INDONESIA
Hibah wasiat antara suami dan isteri Kalau perkawinan antara suami dan isteri pada waktu suami atau isteri wafat, masih dapat dibatalkan oleh karena untuk perkawinan itu tidak ada idzin jang diperlukan, seperti misalnja dari orang-tua untuk orang jang belum dewasa, atau dari curator dalam hal seorang berada dibawah pengawasan curatele, maka isteri atau suami jang ditinggalkan, tidak dapat menerima warisan setjara testament dari si peninggal warisan. Ini diten tukan dalam pasal 901 B.W . Pasal 902 B.W . mengenai hal seorang djanda mempunjai anak, ke mudian kawin lagi. Dalam hal ini suami atau isteri jang kedua tidak dapat diberi setjara testament suatu hak-eigendom atas barang-barang jang meli puti lebih dari pada bagiannja dalam hal tidak ada testament. Djadi tidak lebih dari pada bagian tiap-tiap anak. Kalau jang diberikan setjara testament ini merupakan hak-memetikhasil (recht van vruchtgebruik) atas barang-warisan, maka hak-memetikhasil ini dapat meliputi sampai separoh dari semua harta warisan. Kalau melebihi bagian separoh ini, maka harus dihitung nileu-harga dari hak-memetik-hasil ini dan ini tidak boleh melebihi bagian suami atau isteri itu, andai-kata tidak ada testament. Apabila kepada suami atau isteri jang ditinggalkan itu, diberi setjara testament hak-eigendom dan hak-memetik-hasil dua-duanja atas suatu ba rang, maka harga-nilai dari dua-duanja harus ditetapkan dan harga-nilai ini tidak boleh melebihi batas tersebut. Kalau batas ini dilampaui, maka si ahliwaris dapat memilih, mana jang harus dikurangi : hak-eigendom atau hak-memetik-hasil. Dengan peraturan demikian ini ada kemungkinan, apabila kepada suami atau isteri jang ditinggalkan itu, diberi dengan djalan testament hak-memetik-hasil atas separoh dari seluruh harta warisan dan ada banjak anak jang ditinggalkan oleh si peninggal warisan, maka nilai-harga dari jang dihibahkan itu, mungkin sekali melebihi bagian suami atau isteri selaku ahliwaris tanpa testament. Ini, menurut hemat saja, tidak mengapa, oleh karena sesuai dengan hakekat, bahwa dari searang djanda sebaiknja didjamin hidupnja jang lajak sampai wafatnja, dan ini tjatjok dengan sifat hak-memetik-hasil jang hanja berlangsung sampai wafat seorang jang mempunjai hak itu. Menurut pasal 902a B.W ., pasal 902 tidak berlaku, apabila suami dan isteri 'bertjerai dan kemudian kawin lagi, dan ada anak dari perkawinan jang pertama. Ini adalah sangat lajak, oleh karena anak-anak dari perka winan pertama djuga anak-anak dari suami dan isteri dalam perkawinan kedua. Pasal 903 B.W . pada bagian permulaan menentukan hal jang sudah semestinja, jaitu apabila, diantara suami dan isteri ada suatu t j arnpur-k ck ajaan (gemeenschap van goederen), maka masing-masing hanja dapat meng hibahkan bagian masing-masing. Jang perlu diatur ialah hal berikut: Apabila suami atau isteri menghibahkan suatu barang jang merupakan 90
SJARAT-SJARAT UMUM TEN TAN G ORANGNJA PEN IN GGAL
W ARISAN
milik-bersama dari suami dan isteri, maka ahliwaris jang mendapat hibah itu, tidak dapat menuntut penjerahan barang itu ,,in natura” (dalam udjudnja), apabila barang itu dalam pembagian harta warisan tidak mendjadi bagian si peninggal warisan. Tetapi dalam hal ini orang legataris itu dapat menuntut ganti-kerugian dari ahliwaris jang wadjib menjerahkan legaat itu. Ganti-kerugian ini dapat diambil dari bagian ahliwaris tadi. Kalau bagian ini tidak mentjukupi untuk itu, maka ahliwaris itu harus .memberi ganti-kerugian setjara mengambilnja dari kekajaan-pribadi, djadi harus menoroki. Si ahliwaris dapat menghindarkan penorokan ini dengan menolak warisan jang djatuh padanja itu.
Wii/i ( voogd) selaku ahliwaris Pasal 904 B.W . melarang seorang jang belum dewasa, meskipun sudah berumur 18 tahun, akan memberi suatu barang setjara testament kepada walinja (voogd), ketjuali wali ini adalah orang-tua atau kakek atau nenek atau leluhurnja selandjutnja., Alasan dari larangan ini ialah untuk menghindarkan pengaruh jang tidak baik dari si wali itu. Djuga kalau seorang jang belum dewasa itu, kemudian mendjadi de wasa, ia baru dapat memberi hibah wasiat kepada bekas walinja, apabila si wali sudah memberi pertanggungan djawab atas hal mengurus barangbarang kekajaan si pupil. Bagaimanakah, apabila pertanggungan djawab ini, menurut pasal 414 B.W . sudah tidak dapat dituntut lagi berdasar atas lampau waktu 10 tahun, dihitung dari waktu seorang pupil mendjadi dewasa, apabila ia sudah berumur 31 tahun ? Tentang hal ini ada dua pendapat. Jang satu, antara lain dianut oleh Meyers (halaman 134) dan SuylingDubois No. 131, menghendaki pasal 904 B.W . tetap berlaku, oleh karena ternjata pertanggungan djawab tidak diberikan dan lagi oleh karena dengan lampau waktu ini kewadjiban wali untuk memberi pertanggungan djawab tetap ada, hanja ia tidak dapat dituntut dimuka Hakim untuk memberikannja. Pendapat jang lain menghendaki larangan dari pasal 904 B.W . tidak berlaku lagi, oleh karena kalau seorang pupil sampai umur 31 tahun mem biarkan walinja tidak memberi pertanggungan djawab, maka si wali itu dapat dianggap diberi ampun tentang kelalaian itu oleh bekas pupil. Pen dapat ini dianut oleh Hoge Raad Belanda (putusan 7-12-1877 W . 4196) dan oleh Klaassen-Eggens (halaman 228). Saja dapat menjetudjui pendapat kesatu, oleh karena ternjata larang an dari pasal 904 B.W . itu digabungkan erat dengan hal pertanggungan djawab si wali.
Guru dari si peninggal warisan Pasal 905 ajat 1 B.W . melarang penghibahan wasiat kepada gurunja, 91
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
jang berdiam bersama-sama dengan si murid, baik si guru berdiam dirumah orang-tua si murid, maupun si murid berdiam dirumah si guru dengan membajar uang-upah. Alasan dari larangan ini adalah sama dengan larangan dari pasal 904 B.W . mengenai wali (voogd). Menurut ajat 2 dari pasal 905 B.W . larangan ini tidak berlaku, apa bila penghibahan wasiat dapat diartikan selaku ganti-kerugian untuk djasadjasa tertentu dari si guru terhadap muridnja, tetapi harus ada imbangan jang pantas antara kekajaan si murid dan sifat djasa si £uru. Dokter, apotheker dan lain-lain orang jang merawat si peninggal wa risan selama sakitnja jang menjebabkan wafatnja, menurut pasal 906 B.W . tidak boleh diberi hibah wasiat oleh si sakit pada waktu ia sedang sakit, ketju ali: a. untuk memberi ganti-kerugian bagi djasa-djasa tertentu, b. untuk djandanja, c untuk sanak-keluarga sampai tingkat ke-4, apabila si peninggal wa risan tidak meninggalkan leluhur atau keturunan. Apabila ada leluhur atau keturunan jang ditinggalkan, maka terhadap mereka larangan ini tidak berlaku djuga. Notaris dan saksi-saksi jang memberi pertolongan dalam membikin suatu testament dengan akta-terbuka (tak-rahasia),'tidak boleh diberi hibah dalam testament itu. Demikian bunji pasal 807 B.W .
Anak diluar perkawinan Apabila ada anak diluar perkawinan, maka, menurut pasal 908 B.W ., kepada seorang anak itu tidak boleh diberi hibah wasiat jang melebihi bagiannja, kalau tidak ada testament. Ini untuk menghindarkan, bahwa anak diluar perkawinan itu akan diberi untung lebih dari pada anak jang sah.
Berzina Apabila ada dilakukan suatu perzinahan (overspel), jaitu seorang suami atau isteri bersetubuh dengan orang lain, dan hal zina ini ditentu kan telah terdjadi oleh Hakim, maka mereka jang melakukan 2ina itu, tidak boleh saling memberi .hibah wasiat. Demikian ditentukan dalam pasal 909 B.W . Perantaraan orang lain tidak diperbolehkan untuk memberi hibah wasiat kepada seorang jang menurut B.W . tidak boleh diberi hibah wasiat. Selalu dianggap selaku seorang perantara ialah ajah, ibu, anak, keturunan dan suami atau isteri dari ahliwaris jang tidak boleh diberi hibah wasiat itu (pasal 911 B .W .).
Jajasan jang didirikan dalam suatu hibah wasiat Sering terdjadi suatu ketentuan dalam hibah wasiat, bahwa sedjumlah uang diperuntukkan bagi suatu tudjuan sosial.
SJARAT-SJARAT UMUM TENTANG ORANGNJA PEN IN GG AL
W ARISAN
Timbul pertanjaan, apakah jajasan ini dapat dianggap ahliwaris atau tidak. Kalau ja, maka jajasan itu menurut pasal 899 ajat 1 B.W . harus sudah ada pada waktu wafatnja si peninggal warisan. Dan memang jajasan diang gap sudah ada pada waktu itu, oleh karena pada waktu itu djuga mulai berdiri jajasan itu. Oleh pasal 899 ajat 1 B.W . tidak ditentukan, bahwa ahliwaris harus ada sebelum wafat si peninggal warisan. Pendapat ini dianut antara lain oleh Meyers (halaman 15 dan 16 ), jang oleh karena itu menganggap B.W . memperbolehkan seorang pening gal warisan dalam testament mendirikan suatu jajasan (stichting). Ada pendapat lain jang dulu dianut oleh Hoge Raad Belanda (antara lain putusan 11-12-1914 N.J. 1915, 238 , W . 9755) jang mengatakan, bahwa kini pada waktu wafatnja si 'peninggal warisan, jajasan belum terdiri. Baru apabila berdirinja jajasan itu dilaksanakan, jajasan itu mulai berdiri. Maka untuk memperbolehkan testament jang mendirikan jajasan itu, tidak lah dipergunakan pasal 899 ajat 1 B.W ., dan jajasan tidak dianggap selaku ahliwaris, sedang tiada suatu pasal dari B.W . jang melarang suatu penen tuan dalam testament untuk mendirikan jajasan. Perbedaan jang njata antara dua pendapat ini ialah, bahwa menurut pendapat ke-1 jajasan jang didirikan itu, selaku badan-hukum dapat me nuntut supaja harta warisan diserahkan kepadanja selaku ahliwaris, sedang menurut pendapat ke-2 jang dapat menuntut itu, bukan jajasannja, melain kan ahliwaris lain. Saja dapat lebih menjetudjui pendapat ke-1, oleh karena lebih praktis.
93
K w L L .V jl
' J'. !
F a i VJLT a S riu iW i't u .i
B A G IA N
X IV
KEDUDUKAN AHLIWARIS MENURUT BURGERL1JK WETBOEK
Diatas dalam Bagian IV tentang udjud harta warisan telah dinjatakan perbedaan antara Hukum Adat serta Hukum Islam disatu pihak dan Hu kum B.W . dilain pihak mengenai sifat harta warisan jang beralih dari si peninggal warisan kepada ahliwaris. Menurut Hukum Adat serta Hukum Islam, jang beralih ini pada hakekatnja hanja sisa dari harta warisan setelah dikurangi dengan hutanghutang dari si peninggal warisan. Menurut Hukum B.W ., jang beralih ini pada hakekatnja semua harta warisan, jang meliputi djuga hutang-hutang dari si peninggal warisan. Dengan demikian adalah lajak, bahwa B.W . mengenal tiga matjam sikap dari ahliwaris terhadap harta warisan, artinja : ia dapat memilih diantara tiga sikap jaitu : ke-1 : ia dapat menerima harta warisan seluruhnja menurut hakekat ter sebut dari B.W ., djadi jang meliputi djuga hutang-hutang dari si peninggal warisan (zuivere aanvaarding), ke-2 : ia dapat menerima harta warisan dengan sjarat, bahwa harus diperintjj barang-barangnja dengan pengertian, bahwa hutang-hutang hanja dapat ditagih sekedar harta warisan mentjukupi untuk itu (aanvaarding onder voorrecht van boedelbeschrijving), ke-3 : ia dapat menolak harta warisan dengan akibat bahwa ia sama se kali tidak tahu menahu tentang pengurusan harta warisan itu. Dalam hal ini harus diingat semula pada suatu hakekat, jang dianut oleh B.W . mengenai warisan dan jang termuat dalam pasal 833 ajat l dan pasal 955 ajat 1. Hakekat ini ialah bahwa hak-hak dan kewadjiban-kewadjiban si pe ninggal warisan mengenai kekajaannja sedjak wafatnja dengan sendirinja (van rechtswege) beralih pada para ahliwaris. Maka apabila ahliwaris mengambil sikap ke-1 atau ke-2 , djadi tidak menolak harta warisan, maka penerimaan harta warisan, baik untuk selu ruhnja maupun- dengan sjarat, selalu berlaku surut sampai detik wafatnja si peninggal warisan (lihat pasal 1047 B .W .). Oleh karena pemilihan satu dari tiga sikap itu dapat berpengaruh besar terhadap ahliwaris, maka oleh B.W . kepada mereka setjara tegas diberi kesempatan untuk berpikir dulu (beraad) sebelum memilih salah suatu sikap itu.
Hak berpikir Hal hak berpikir ini .(recht van beraad) diatur dalam pasal-pasal 1023 s/d 1029 B.W . 94
KEDUDUKAN AHLIW ARIS MENURUT BU RGERLIJK W ETBO EK
Untuk berpikir ini si ahliwaris harus membikin suatu keterangan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri agar dimasukkan dalam daftar. Tenggang berpikir ini oleh pasal 1024 ditetapkan 4 bulan terhitung dari saat membikin keterangan tadi. Tenggang ini kalau perlu dapat diperpandjang oleh Pengadilan Negeri. Tenggang 4 bulan dapat dipergunakan oleh si ahliwaris untuk mem bikin suatu perintjian dari barang-barang warisan. Menurut pasal 1025 B.W ., selama tenggang ini si ahliwaris tidak dapat dipaksakan untuk menerima kedudukannja selaku ahliwaris, dan pula terhadap ahliwaris itu tidak mungkin didapatkan suatu keputusan Hakim, jang memuat suatu penghukuman perihal harta warisan ini, sedang putusan Hakim jang sudah diutjapkan terhadap si peninggal warisan, dipertangguhkan pelaksanaannja. Tetapi si ahliwaris diwadjibkan memelihara harta warisan sebaikbaiknja („als een goed huisvader”). Berhubung dengan ini, maka pasal 1026 B .W. menentukan, si ahli waris dapat minta idzin dari Pengadilan Negeri untuk mendjual barangbarang dari harta warisan jang tidak perlu atau jang tidak mungkin dapat disimpan, atau untuk melakukan perbuatan terhadap barang-barang itu jang tidak dapat dipertangguhkan lagi. Dan Hakim dapat memerintah kan supaja diambil tindakan-tindakan jang perlu untuk menjelamatkan harta warisan (pasal 1027 B .W .). Kalau tenggang 4 bulan tadi sudah lampau, maka si ahliwaris dapat dipaksakan untuk mengambil salah satu dari tiga matjam sikap tersebut diatas (pasal 1029 B .W .).
Penerimaan haria warisan tanpa sjarat Penerimaan harta warisan tanpa sjarat ini, menurut pasal 1048 B.W . dapat terdjadi a. setjara tegas dengan membikin suatu surat resmi (authentiek) atau surat dibawah tangan, atau b. setjara diam-diam, jaitu apabila ahliwaris melakukan perbuatan, dari mana dapat disimpulkan maksudnia untuk menerima warisan tanpa sjarat. Oleh pasal 1049 B.W . disebutkan beberapa perbuatan jang tidak me rupakan penerimaan warisan tanpa sjarat, jaitu ke-1 segala apa jang ber hubungan dengan hal mengubur majat, ke-2 perbuatan jang hanja ber maksud menjimpan atau mengawasi atau mengurus sementara barang-barang tertentu dari harta warisan. Ini hanja merupakan tjontoh, maka dalam praktek masih ada banjak kesulitan serta keragu-raguan, apa suatu perbuatan tertentu merupakan penerimaan warisan setjara diam-diam atau tidak. Tidak ada kewadjiban untuk menerima harta warisan. Ini ditegaskan dalam pasal 1045 B.W . Kalau barangkali seorang peninggal warisan dalam testament menen tukan, bahwa ahliwaris dilarang mempergunakan hak untuk berpikir-pikir atau untuk menerima warisan dengan sjarat, maka, menurut pasal 1043 B.W ., penentuan si peninggal warisan itu adalah batal dan tidak berharga. 95
H U K U M W A R ISA N D I IN D O N ESIA
Apabila si ahliwaris adalah seorang perempuan jang bersuami atau seorang jang belum dewasa atau 'seorang dibawah pengawasan curatele, maka berlaku peraturan mengenai kemampuan mereka untuk melakukan perbuatan-hukum, jaitu seorang jang bersuami dalam hal memilih salah suatu sikap terhadap harta warisan, harus dibantu atau dikuasakan oleh suaminja, seorang belum dewasa harus diwakili oleh orang-tua atau wali, seorang curandus harus diwakili oleh curatornja. Demikian ditegaskan lagi oleh pasal 1046 ajat 1 B .W . Kalau seorang ahliwaris meninggal dunia sebelum menjatakan mene rima atau menolak warisan, maka, menurut pasal 1051 B .W ., ahliw'aris dari ahliwaris itu masih dapat memilih salah satu sikap itu. Ada kemungkinan seorang ahliwaris dengan paksaan atau dengan penipuan didorong untuk menerima suatu warisan. Dalam hal ini si ahliwaris itu dapat menuntut pembatalan dari penerimaan itu (pasal 1053 ajat 1 B .W .). Djuga mungkin seorang ahliwaris mengira, bahwa tidak ada testament dan oleh karena itu menerima harta warisan. Kemudian tem jata ada testa ment jang mengakibatkan- bagian dari ahliw'aris itu mendjadi sangat kurang sehingga ia ada rugi dengan kewadjiban membajar hutang-hutang dari si peninggal warisan. Kalau ini terdjadi, maka, menurut pasal 1053 ajat 2 B .W ., ahliwaris itu hanja boleh menarik kembali penerimaan warisan itu, apabila selaku akibat dari testament itu harta warisan dikurangi sampai separoh. Diluar hal paksaan, penipuan atau kekeliruan ini, seorang ahliwaris jang sudah memilih salah suatu sikap terhadap harta warisan, pada umumnja tidak dapat mengubah sikap itu. Ada keketjualian termuat dalam pasal 1056 B .W . jang menentukan bahwa seorang ahliwaris jang telah menolak warisan, kemudian masih dapat menerima warisan itu, tetapi hanja selama harta warisan itu belum dite rima oleh ahliwaris lain. Pasal 1055 B. W . mengenai lampau waktu (verjaring) selama 30 tahun dihitung fdari .wafatnja si peninggal wai'isan, jaitu apabila waktu itu sudah lampau, seorang ahliwaris tidak dapat menerima lagi harta warisan, ketjuali apabila dalam waktu itu lain-lain ahliwaris djuga tidak menerima harta warisan itu. Kalau selaku akibat dari penolakan warisan oleh seorang ahliwaris ahliwaris lain mendapat tambahan bagian dengan bagian ahliwaris jang menolak itu, maka ahliwaris lain itu harus menerima tambahan itu, ketjuali apabila tambahan itu disebabkan oleh penarikan kembali suatu penerimaan selaku akibat dari paksaan atau penipuan atau kekeliruan. Demikianlah di tentukan oleh pasal 1052 dan pasal 1054 B.W . Mevers (halaman 2 8 2 ) menganggap keketjualian jang tersebut bela kangan itu tidak beralasan. Saja pun tidak dapat menemukan suatu ratio dari pembentuk B .W . untuk menentukan keketjualian itu A kibat dari penerimaan warisan tanpa sjarat ialah, bahwa harta wa risan dan harta-kekajaan pribadi dari ahliwaris ditjampin mendjadi satu. 96
KED U D U K A N A H LIW A R IS M EN U RU T B U R G E R L IJ K
W ETBO EK
Ini berarti terutama, bahwa semua hutang-hutang dari si peninggal warisan diambil oper oleh ahliwaris. Dan lagi ia tidak dapat kemudian menolak warisan itu.
Penerimaan warisan dengan sjarat perintjian barang-barang warisan Sifat pokok dari penerimaan bersjarat ini ialah bahwa dengan demi kian tiada pertjampuran harta warisan dan kekajaan pribadi si ahliwaris. Ini berarti, bahwa hutang-hutang dari si peninggal warisan tidak di ambil oper oleh ahliwaris, melainkan hutang-hutang itu hanja dapat dibajar sepandjang barang-barang dan pihutang-pihutang jang ditinggalkan oleh peninggal warisan, tjuknp untuk itu (lihat pasal 1032 B .W .). Ini berarti djuga, bahwa kalau hutang-hutang itu melebihi nilai-harga barang-barang warisan, sebetulnja tidak ada harta warisan jang beralih dari si peninggal warisan kepada ahliwaris. Apabila dari beberapa ahliwaris ada jang menerima warisan dengan bersjarat dan ada jang menerima tanpa bersjarat, maka, menurut pasal 1050 iat 2 B.W ., harta warisan seluruhnja dianggap diterima dengan sjarat. Dengan demikian hak memilih diantara tiga sikap terhadap warisan, / niaP bagi seorang ahliwaris, apabila ada ahliwaris lain menerima warisan jtu dengan sjarat. Artinja : ia terpaksa djuga menerima warisan itu dengan sjarat^ia^n j apat timbul kesulitan, apabila seorang ahliwaris A dah menerima warisan tanpa sjarat dan baru kemudian ada ahliwaris fU-n si B jang menerima dengan sjarat. Setelah A menerima tanpa sjarat, para berpihutang dan para legataris . penuntut haknja terhadap kekajaan pribadi dari si A. pjak ini akan lenjap, apabila sebagai akibat dari penerimaan bersjatat dari B, penerimaan tanpa sjarat dari A sekaligus rnendjelma mendjadi penerimaan bersjarat. pelenjapan hak para créditeur dan para legataris ini oleh semua enulis-ahli-hukum di Negeri Belanda dianggap tidak adil, maka dari itu k o n s e k w e n s i ini tidak ditarik oleh mereka, melainkan dianggap si A tetap diperlakukan sebagai ahliwaris jang menerima warisan tanpa-sjarat, tetapi hanja sekedar mengenai bagiannja dalam harta warisan. Artinja : créditeur dan legataris dapat menuntut haknja terhadap barang-barang milik pribadi si A, tetapi hanja sebagian sadja. Kalau misalnja s - a hanja berhak atas separoh bagian dari harta warisan, maka hanja separoh dari hutang-hutang si peninggal warisan dapat dituntut pembajarannja kembali dari si A. Asser-Meyers (halaman 2 44) dan Klaassen-Eggens (halaman 4 4 l dan 4 4 2 ) malahan berpendapat, bahwa hal ini djuga berlaku, apabila si B lebih dulu sudah menerima warisan itu dengan sjarat dan baru kemudian si A jrienerima tanpa sjaiat. Demikian djuga Suyling (halaman 258 No. 206) jang menegaskan, bahwa selajaknja tidak ada halangan si A dengan menerima warisan tanpa 97
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
sjarat, sebetulnja dengan suka-rela mengizinkan créditeur dan legataris menuntut haknja terhadap barang-barang milik pribadi dari si A itu. Pandangan Suyling ini dapat saja setudjui dan sebetulnja sesuai de ngan Hukum ;Adat di Indonesia, jang meskipun tidak mengenal pertjampuran dari harta warisan dengan kekajaan pribadi si ahliwaris, memandang selaku hal jang baik, apabila ahliwaris itu membajar segala hutang dari si peninggal warisan, meskipun barang-barang warisan tidak mentjukupi un tuk itu.
Tjara menerima warisan dengan sjarat Menurut pasal 1029 B.W . jang menundjuk pada pasal 1023 B .W ., tjara ini ialah memberi suat» keterangan dikepaniteraan Pengadilan Negeri, untuk kemudian didaftarkan disitu. Dari pasal 1042 B.W . dapat disimpulkan, bahwa keterangan ini dapat diberikan setelah atau dengan tidak mempergunakan hak-berpikir-pikir selama empat bulan. „Sjarat”nja dinamakan : perintjian barang-barang harta warisan. Te tapi ahliwaris dapat melakukan perintjian atau inventarisasi ini sebelum atau sesudah ia memberi keterangan menerima warisan dengan sjarat. Tjara perintjian barang-barang ini tidak ditentukan oleh B.W ., maka dapat dengan akta-notaris atau dengan akta dibaivah tangan. Djuga tidak ditentukan tenggang tertentu, dalam mana perintjian itu harus dilakukan. Hanja dalam pasal 1031 B.W . ditentukan, bahwa seorang ahliwaris kehilangan hak untuk menerima warisan dengan sjarat dan dianggap menerimanja tanpa sjarat : ke-1 apabila ia sengadja dan dengan itikad-djelek (te kwader trouw) tidak menjebutkan beberapa barang warisan dalam inventarisasi itu ke -2 apabila ia menggelapkan barang harta warisan. Istilah „mengge lapkan” ini lebih luas artinja dari pada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (K .U .H .P.) dan meliputi djuga hal menghilangkan atau menjembunjikan ¡barang itu.
Akibat penerimaan warisan dengan sjarat Akibat ini, seperti diatas telah disinggung, dalam pasal 1032 B .W . ditegaskan seperti berikut : ke-1 : ahliwaris ini berwadjib membajar hutang-hutang dari si peninggal warisan dan memenuhi beban-beban lain, hanja sampai nilai-harga dari barang-barang warisan; bebanjbeban ini meliputi djuga legaatlegaat, jaitu pemberian barang-barang tertentu dalam testament ke pada orang-orang tertentu. ke-2 : barang-barang kekajaan pribadi dari ahliwaris tidak ditjampur de ngan barang-barang warisan, dan apabila si peninggal warisan mempunjai hutang kepada si ahliwaris, hutang ini dapat ditagih setjara diambilkan dari barang-barang warisan. Dari akibat-akibat ini Asser-Meyers (halaman 260) menarik kesim 98
KED UD UKAN A H LIW A RIS MENURUT BU R G ER LIJK W ETBO EK
pulan bahwa si ahliwaris tidak mendjadi debiteur dari para crediteurnja si peninggal warisan. Créditeur ini hanja dapat menuntut supaja hutangnja dibajar dari barang-barang warisan. Klaassen-Eggens (halaman 447 dan 448) berpendapat lain dan me ngatakan, bahwa biasanja si ahliwaris jang menerima warisan dengan bersjarat ini dipandang selaku debiteur untuk djumlah sepenuhnja, tetapi ia hanja berwadjib membajar hutang itu sampai barang-barang warisan mentjukupi. Saja dapat menjetudjui pendapat Meyers, oleh karena lebih mudah dapat dimengerti dan tjotjok pula dengan Hukum Adat di Indonesia, menurut mana jang diwaris oleh ahliwaris ialah hanja sisa dari barang warisan setelah dikurangi dengan hutang-hutang dari si peninggal warisan. Oleh karena ahliwaris jang menerima warisan setjara bersjarat ini, bukan debiteur dari crediteurnja si peninggal warisan (si A ), maka apabila créditeur si A itu adalah debiteur dari ahliwaris-pribadi, si A tidak dapat menghindarkan diri dari pembajaran hutangnja kepada si ahliwaris setjara kompensasi atau perdjumpahan-hutang, jaitu memperhitungkan pihutangnja terhadap si peninggal warisan. Kalau si ahliwaris membajar hutangnja si peninggal warisan kepada si A itu, maka ahliwaris itu menggantikan si A sebagai créditeur dari si peninggal warisan. Ini ditegaskan dalam pasal 1402 ke-4 B.W . tentang
subrogatie. Dengan penerimaan warisan setjara bersjarat ini, ahliwaris tetap me rupakan ahliwaris, maka ia berwadjib untuk mengurus pembajaran hutanghutang dari si peninggal warisan dan untuk mengurus djuga penjerahan barang-barang jang setjara legaat diberikan kepada orang-orang tertentu. Tetapi ia dapat melepaskan diri dari kewadjiban mengurus ini, apa bila ia menjerahkan semua barang-barang dari harta warisan kepada para créditeur dan para legataris, agar mereka sendiri dapat mengurus hal sesuatu. Ini ditentukan dalam pasal 1032 ke-1 bagian penghabisan.
Pemberesan harta warisan (vereffening) Kalau penjerahan barang-barang warisan kepada para créditeur dan legataris ini tidak terdjadi, maka berlakulah pasal 1033 dst B.W . menge nai kewadjiban-kewadjiban si ahliwaris jang semua ditudjukan untuk membereskan harta warisan. Menurut pasal 1033 B .W . si ahliwaris harus mengurus barang-barang warisan sebaik-baiknja („als een goed huisvader ) dan ia tentang hal ini harus memberi pertanggungan djawab kepada para créditeur dan legataris. Dalam membereskan harta warisan ini mungkin sekali si ahliwaris harus mendjual barang warisan, agar dengan uang-pendjualan itu dapat dibajar hutang-hutang dari si peninggal warisan. Menurut pasal ,1034 B.W . pendjualan ini harus dilakukan dunuka umum menurut adat-kebiasaan ditempat. 99
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
Kalau jang didjual itu tanah atau rumah dan atas barang itu ada hypotheek, maka si ahliwaris harus melunasi pula créditeur jang mempunjai hypotheek itu setjara mengalihkan pihutang itu kepada jang membeli barang itu. Apabila para créditeur atau lain-lain orang jang berkepentingan menganggap perlu, mereka dapat menuntut, supaja si ahliwaris memberi djaminan (zekerheidsstelling) sampai nilai-harga dari barang-barang ber gerak dari harta warisan dan nilai-harga barang-barang tak-bergerak dari harta ^warisan jang tidak diserahkan kepada créditeur jang mempunjai Ini ditentukan dalam pasal 1035 ajat 1 B.W . ? menentukan selandjutnja, apabila djaminan ini tidak diberi, ma a Hakim dapat diminta tjampur-tangan sedemikian rupa, bahwa semua arang-barang bergerak itu didjual dan kemudian uang-pendjualan ini ersama-sama dengan barang-barang tak-bergerak jang termaksud harus iserahkan kepada seorang jang ditundjuk oleh Hakim, agar seorang itu apat melunasi hutang-hutang dari si peninggal warisan dan memenuhi egaat- egaat sampai barang-barang dari harta warisan itu mentjukupi.
Pemberian pertanggungan d jawab Pasai 1036 B.W ., dalam 3 bulan sesudah lampau 4 bulan 1111, ■er^T-lr"P'kir> djadi 7 bulan sesudah wafat si peninggal warisan, m a -a si a iwaris diwadjibkan memanggil para berpihutang jang tidak ena se jara memasukkan iklan dalam Berita Negara, agar kepada mereka an epa a para berpihutang jang dikenal serta kepada para legataris dieri an pertanggungan djawab dari hal mengurus harta warisan. er anSSunSan djawab ini dapat diberikan kepada mereka bersamasama, atau -epada masing-masing tersendiri, andaikata ada jang minta pertanggungan djawab lebih dulu. pertanggungan djawab ini dilakukan, maka, menurut pasal ni a i ’ j , a Para berpihutang jang dikenal, harus dibajar hutangan epa a egataris diserahkan barang-barang legaat sekedar ini semuanja dapat dipenuhi dari barang-barang warisan. ri'k • ken™dian ada 'muntjul seorang berpihutang, maka hutangnja ajar ari sisa barang-barang warisan, sekedar sisa itu mentjukupi. , , Pa , 1 ,a arang-barang warisan tidak mentjukupi, maka jang didahu lukan untuk dibajar ialah para berpihutang. Kalau masih ada sisa, baru kepada para-legataris diberikan legaat-legaatnja. Kalau diantara para berpihutang ada jang mempunjai hypotheek atau pand, maka mereka didahulukan. Apabila sisanja tidak tjukup untuk membajar semua hutang, dan hu tang-hutang ini tidak dikuatkan dengan hypotheek atau pand, maka masingmasing hanja mendapat bajaran sebagian dari hutangnja. diperhitungkan menurut besar ketjilnja hutang. Kalau dalam hal ini ada diantara para berpihutang jang tidak setudju dengan tjara pembajaran hutang, maka, menurut pasal 1038 B .W ., harus 100
KED UD UKAN A H LIW A RIS M ENURUT BU R G ER LIJK W ETBO EK
diminta tjampur tangan dari Hakim, jang akan menentukan tjara pembajaran. Ada kalanja legataris sudah dipenuhi, dan kemudian ada muntjul beberapa berpihutang, sedang tidak ada atau tidak ada tjukup sisa dari harta warisan untuk membajar hutang-hutang ini. Kalau ini terdjadi, maka, menurut pasal 1039 ajat 2 B.W ., si ber pihutang hanja dapat menuntut pembajaran dari legataris jang sudah di penuhi. Tuntutan ini tidak dapat dilakukan lagi setelah lampau 3 tahun, di hitung dari saat si legataris dipenuhi oleh ahliwaris. Kalau masih ada sisa barang ditangan ahliwaris, maka para berpihu tang tentunja dapat menuntut pembajaran hutang dari si ahliwaris itu. Dan tuntutan ini dapat dilakukan dalam djangka 30 tahun seperti biasa. Pasal 1040 B.W . menentukan, apabila seorang ahliwaris jang meneri ma warisan dengan bersjarat, tidak sadja melakukan pertanggungan djawab, meskipun sudah ditegor, maka sebagai hukuman ahliwaris itu harus mem bajar hutang-hutang itu dengan kekajaan sendiri („eigen goederen”). Apabila pertanggungan djawab sudah diberikan tetapi hutangnja tidak sadja dibajar oleh si ahliwaris, maka atas tuntutan si berpihutang si ahli waris hanja wadjib membajar hutang itu dari uang-uang tunai jang berasal dari harta warisan dan beralih ketangannja. Pada achirnja dalam pasal 1041 B.W . ditentukan, bahwa biaja-biaja jang diperlukan untuk penjegelan (verzegeling), untuk inventarisasi, untuk membikin surat pertanggungan djawab dan lain-lain sebagainja, harus dibajar dari barang-barang warisan, sebelum hutang-hutang dibajar dan legaat-legaat diserahkan kepada para legataris.
FaUlisement dari harta warisan Pasal 197 Faillisementsverordening membuka kemungkinan bagi para berpihutang untuk minta failitnja suatu harta warisan, jaitu menurut pasal 200, kalau sudah lampau 3 bulan sesudah harta warisan diterima, oleh ahliwaris, dan lagi kalau sudah lampau 6 bulan sesudah wafat si peninggal warisan. Alasan untuk minta pailitnja harta warisan ialah apabila si ipemohon dapat membuktikan setjara singkat (summier), bahwa si peninggal warisan pada waktu masih hidup, sudah berada dalam keadaan berhenti membajar hutang-hutangnja, atau bahwa barang-barang warisan tidak tjukup untuk membajar semua hutang dari si peninggal warisan. Sebetulnja, kalau harta warisan diterima dengan sjarat .perintjian barang-barang warisan, keadaannja sudah sama dengan keadaan pailit, melihat kewadjiban si ahliwaris untuk memberi pertanggungan djawab kepada para berpihutang. Tetapi ada bedanja, jaitu bahwa kedudukan si ahliwaris terhadap harta warisan adalah lain dari kedudukan curator dalam pailit. Si ahliwaris sendiri ada hak atas barang-barang warisan, maka dapat dimengerti, apabila dari pihak para berpihutang ada kechawatiran, djangan101
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
djangan si ahliwaris kurang djudjur dalam memperhatikan kepentingan para créditeur. Penolakan harta warisan (verwerpen)
Pasal 1057 B.W . mulai dengan mengatakan, bahwa penolakan warisan harus dilakukan setjara tegas (uitdrukkelijk) dengan memberi suatu kete rangan dikepaniteraan Pengadilan Negeri, jang didalam wilajahnja harta warisan itu berada. Oleh karena tidak dilarang, maka keterangan penolakan warisan ini dapat dilakukan oleh seorang kuasa dari si ahliwaris. Akibat penolakan warisan ialah, menurut pasal 1058 B.W ., bahwa seorang itu dianggap tidak pernah mendjadi ahliwaris, djadi penolakan ini berlaku surut sampai wafatnja si peninggal warisan. Pasal 1059 B.W . menegaskan lagi akibat penolakan ini dengan me ngatakan, bahwa bagian si penolak dalam harta warisan akan djatuh pada seorang jang akan mendjadi ahliwaris, andaikata si penolak tidak hidup pada waktu wafatnja si peninggal warisan. Ini tidak berarti, .bahwa seorang penolak itu dianggap wafat lebih dulu, maka dalam hal ini tidak ada penggantian warisan (plaatsvervulling) oleh anak-anaknja. Ini ditegaskan (meskipun tidak perlu) dalam pasal 1060 B.W . seperti berikut : Seorang peninggal warisan meninggalkan seorang bapak, seorang ibu dan 3 saudara sekandung. Menurut Hukum Warisan tanpa testament, ba gian ajah dan ibu masing-masing adalah 1/4 bagian dan dari saudara-sau dara masing-masing 1/6 bagian. Aipabila ajah tidak hidup lagi pada wafatnja si peninggal warisan, maka ibu dan 3 saudara akan menerima masing-masing 1/4 bagian. Apabila si ajah menolak warisan, maka ibu dan 3 saudara akan mene rima masing-masing 1/4 bagian djuga, djadi bagian si ajah (1/4 bagian) tidak dibagi empat lantas ditambahkan pada bagian ibu dan 3 saudara masing-masing.
Tidak boleh merugikan para berpihutang Apabila si Ahliwaris mempunjai hutang-hutang, maka ada kemung kinan para berpihutang akan dirugikan dengan penolakan warisan oleh si ahliwaris-debiteur, maka, menurut pasal 1061 B.W ., si berpihutang dapat mohon kepada Hakim smpaja diberi kuasa untuk menerima harta warisan itu atas nama dan untuk menggantikan si ahliwaris itu. Tuntutan dari si berpihutang ini mirip dengan actio pauliana dari pasal 1341 B.W ., jang memberi kuasa kepada si berpihutang untuk me nuntut pembatalan perbuatan si berhutang jang merugikan si berpihutang. Ada perbedaan antara dua peraturan ini, jaitu menurut pasal 1341 B.W . harus ada pengetahuan dari pihak si berhutang, bahwa si berpihu tang akan dirugikan, sedang pasal 1061 B.W . tidak mengatakan hal itu. Tjukuplah apabila si berpihutang dirugikan. 102
KEDUDUKAN AHLUVARIS MENURUT BU RGERLIJK W ETBO EK
Selandjutnja oleh ajat 2 dari pasal 1061 B.W . ditentukan, bahwa da lam hal ini penolakan warisan hanja dibatalkan untuk menguntungkan si berpihutang, dan djuga hanja sampai djumlah hutangnja, sedang si ahliwaris jang telah menolak itu, tidak boleh mendapat untung dari pada pembatalan penolakan itu. Djadi tegasnja, kalau permohonan si berpihutang dikabulkan oleh Hakim, maka ia dapat menagih hutangnja si ahliwaris setjara d5ambil dari barang-barang warisan, sekedar ini mentjukupi. Pasal 1063 B.W . melarang penolakan warisan pada waktu si pening gal warisan masih hidup. Ini djuga tidak diperbolehkan bagi bakal suami dan isteri dalam membikin perdjandjian-perkawinan. Sebaliknja, menurut pasal 1062 B.W ., kekuasaan untuk menolak warisan tidak dapat hilang oleh karena lampau waktu (verjaring). Kekuasaan untuk menolak warisan, menurut pasal 1064 B.W . lenjap, apabila si ahliwaris menghilangkan atau menjembunjikan barang-barang dari harta warisan. Seorang ahliwaris itu dianggap menerima warisan tanpa sjarat, dan lagi selaku hukuman ditentukan pula, bahwa si ahliwaris jang tjurang itu, tidak mempunjai hak apa pun djuga terhadap barang-barang jang dihilang kan atau jang disembunjikan itu. Perbuatan tjurang dari si ahliwaris ini oleh semua penulis ahli-hukum Belanda diartikan meliputi semua perbuatan jang maksudnja untuk mem beri gambaran dari djumlah harta warisan jang tidak sebenarnja, misalnja memberi keterangan palsu tentang apa jang si ahliwaris itu sebetulnja sudah menerima selaku hibah biasa dari si peninggal warisan. Pada achirnja pasal 1065 B.W . menentukan, bahwa seorang ahliwaris hanja dapat mentiadakan penolakan warisan, apabila penolakan itu terdjadi sebagai akibat dari suatu paksaan atau penipuan. Ini adalah lajak dan sesuai dengan pasal-pasal lain dari B.W . tentang Dalam hal ini tidak dipedulikan, dari pihak mana dilakukan paksaan atau penipuan itu.
103
BA G IA N
XV
PELAKSANA TESTAMENT DAN PENGURUS HARTA WARISAN
Titel 14 dari B.W . Buku I (pasal-pasal 1005 s/d 1022) mengatur hal dua orang jang mungkin ada berhubung dengan adanja harta warisan, jaitu : ke-1 Pelaksana testament (executeur testamentair), ke-2 Pengurus harta warisan (bewindvoerder van een nalatenschap). Kalau tidak ada penentuan apa-apa dari si peninggal warisan, maka para ahliwaris bersama-samalah jang berwadjib melaksanakan testament dan mengurus harta warisan, sebelum dibagi-bagi antara mereka. Mungkin sekali si peninggal warisan mengchawatirkan, djangan-djangan akan ada kekatjauan, apabila pelaksanaan testament dan pengurusan harta warisan diserahkan begitu sadja kepada para ahliwaris bersama. Sekiranja berhubung dengan inilah maka oleh Burgerlijk Wetboek dibuka kemungkinan bagi si peninggal warisan untuk menundjuk seorang pelaksana testament dan/atau seorang pengurus harta warisan.
Pelaksana testament (executeur testamentair) Tjara menundjuk Menurut pasal 1005 B.W . pelaksana testament dapat ditundjuk : dalam testament, dalam suatu akta dibawah tangan, jang ditulis, diberi tanggal dan ditandatangani oleh si peninggal warisan, jang dimaksudkan dalam pasal 925 B.W . dan jang dinamakan codicil, c. dalam suatu akta notaris istimewa. Istilah „istimewa” ini tidak berarti, bahwa dalam akta-notaris itu tidak boleh dimuat hal lain dari pada penundjukan seorang pelaksana testament. Menurut Meyers (halaman 408) istilah „istimewa" harus diartikan lebih luas, jaitu bahwa dalam akta-notaris djuga dapat dimuat lain-lain hal, tetapi terbatas pada hal-hal jang oleh si 'peninggal warisan ditentukan harus dikerdjakan setelah ia wafat (voorzieningen na dode). Djadi misalnja tidak diperbolehkan penundjukan pelaksana testament dalam suatu perdjandjian djual-beli. Menurut ajat 2 dari pasal 1005 B.W ., ada kemungkinan ditundjuk lebih dari seorang selaku pelaksana testament, dengan maksud, agar apa bila jang seorang berhalangan, ia dapat diganti oleh orang lain. Tetapi menurut pasal 10 16 B.W . si peninggal warisan dapat menentukan, bahwa para pelaksana testament itu bersama-sama bekerdja, jaitu masing-masing ada bagian sendiri dari testament untuk dilaksanakan. Dari adanja pasal-pasal ini biasanja disimpulkan, bahwa seorang pe laksana testament tidak berkuasa untuk sendiri menundjuk seorang peng-
a. b.
104
PELAKSANA TESTAMENT D A N PENGURUS HARTA-W ARISAN
ganti. Malahan Meyers (halaman 410) dan lain-lain penulis berpendapat, bahwa si peninggal warisan tidak boleh memberi kuasa kepada si pelaksana testament untuk, apabila ia berhalangan, menundjuk penggantinja. Menurut Klaassen-Eggens (halaman 401) ini diperbolehkan, oleh karena tidak dilarang. Ada kemungkinan selaku pelaksana testament ditundjuk seorang pedjabat, dengan tidak disebutkan namanja, seperti misalnja Direktur dari suatu Bank. Kalau ini terdjadi, maka dengan digantinja Direktur Bank itu, si pengganti akan menggantikan pula selaku pelaksana testament.
Siapakah dapat ditundjuk selaku pelaksana testament ? Tentang hal ini dalam pasal 1006 B.W . ditentukan siapa jang tidak dapat menundjuk pelaksana testament, jaitu : ke-1 orang perempuan jang bersuami, mungkin oleh karena seorang itu pada umumnja tidak dapat melakukan perbuatan-hukum tanpa ku asa atau bantuan dari suaminja. ke-2 orang belum dewasa, djuga apabila ia setelah berumur 18 tahun dengan suatu putusan Pengadilan Negeri dïberi beberapa kekuasaan seperti orang dewasa menurut pasal 426 B.W . („handlichting”). Burgerlijk Wetboek Jianja menjebutkan „handlichting”, tetapi se mua penulis ahli-hukum Belanda sependapat, bahwa jang dimaksud ialah hanja „handlichting” jang baru saja sebutkan tadi, djadi tidak hal seorang belum dewasa, jang sudah berumur 20 tahun, mendapat surat-pernjataan-dewasa (meerderjarig-verklaring atau venia aetatis) dari Pemerintah Pusat setelah ada pertimbangan dari Mahkamah Agung menurut pasal 420 B.W . Pendapat umum ini adalah lajak, oleh karena seorang belum de wasa jang termaksud belakangan ini, sudah disamakan dengan orang dewasa. ke -3 orang jang berada dibawah pengawasan curatele, ke-4 orang jang pada umumnja menurut Hukum tidak berkuasa untuk melakukan perbuatan-hukum jang sah. Orang-orang jang sematjam ini, jang belum masuk jang tersebut dalam ke-1 , ke-2 dan ke-3, sekiranja tidak banjak lagi, bahkan hampir tidak ada. Para penulis ahli-hukum seperti Meyers (halaman 410) dan Klaassen-Eggens (halaman 4 03) hanja dapat menjebutkan orang jang dirawat dalam suatu rumah-sakit-gila, dengan tidak ditempatkan dibawah penga wasan 'curatole. Harus diperhatikan, bahwa pasal 1006 B.W . tidak menjebutkan orang, jang tidak dapat mendjadi pelaksana testament. Tidaklah disebutkan, bah wa mereka tidak dapat ditundjuk selaku pelaksana testament. Maka dari itu tidak dilarang seorang lelaki selaku peninggal warisan menundjuk isterinja selaku pelaksana testament, oleh karena setelah ia wafat, isterinja dengan sendirinja tidak lagi mempunjai suami. Apabila 105
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
djanda ini kemudian kawin lagi, maka sedjak saat itulah .ia tidak boleh bertindak lagi selaku pelaksana testament. Demikian djuga seorang anak belum dewasa dapat ditundjuk selaku pelaksana testament, asal sadja pada saat testament harus dilaksanakan, orang itu sudah dewasa.
Lapangan kerdja dari pelaksana testanient Melihat istilah „pelaksana”, maka dapat dikatakan, bahwa pekerdjaanpokok dari seorang pelaksana testament ialah seperti jang dikatakan dalam pasal 1011 B.W . jang berbunji: „Si pelaksana testament harus berusaha, agar testament dilaksanakan”. Ditambahkan pula, apabila ada perselisihan, ia berkuasa untuk memadjukan hai sesuatu didepan Hakim guna mempertahankan sahnja testament. Kekuasaan jang diberikan oleh si peninggal warisan kepada si pelak sana testament ini sebetulnja tidak begitu berarti, apabila oleh si peninggal warisan dalam testament tidak disertai pemberian kekuasaan untuk, me nurut pasal 1007 B.W ., menguasai dan memegang semua atau sebagian dari barang-barang warisan (in bezitneming). Kalau kekuasaan jang tersebut belakangan ini tidak diberikan, maka si pelaksana testament hanja berkuasa untuk memperingatkan para ahliwaris akan kewadjibannja selaku ahliwaris serta memperingatkan para legataris akan hak-haknja terhadap harta warisan. Artinja : ia tidak dapat bertindak langsung. Lain halnja apabila si pelaksana testament diberi kekuasaan menguasai
barang-barang warisan. Kalau ini terdjadi, maka dari pasal 1008 B.W . dapat disimpulkan, bahwa si pelaksana testament berkuasa untuk menjerahkan atau memenuhi legaat-legaat menurut bunji testament, serta untuk memberi tanda, bahwa legaat-legaat itu sudah dipenuhi. Dan lagi dari pasal 10 12 B.W . dapat pula disimpulkan, bahwa, apa bila dari harta warisan tidak tersedia uang-tunai untuk memenuhi legaatlegaat, si pelaksana testament berkuasa mendjual barang-barang bergerak dari harta warisan, dan kalau perlu djuga barang-barang tak-bergerak, tetapi dalam hal belakangan ini harus dengan idzin dari para ahliwaris atau dari Hakim. Pendjualan ini harus dilakukan dimuka Umum dan menurut tjara jang lazim diturut ditempat. Selaku keketjualian, pendjualan ini dapat dilakukan dibawah tangan, tetapi harus dengan persetudjuan semtia ahliwaris. Dan dalam hal ini harus diperhatikan pasal2 Hukum tentang kekuasaan bertindak dari para ahliwa ris jang belum dewasa dan jang berada dibawah pengawasan curatele. Menurut pasal 1013 B.W ., si pelaksana testament djuga dikuasakan untuk menagih hutang-hutang dari para debiteur dari si peninggal warisan, sekedar hutang-hutang itu sudah harus dibajar. Lain-lain pekerdjaan dari pelaksana testament jang terlepas dari ke kuasaan menguasai barang-barang warisan, adalah sebagai berikut: 106
PELAKSANA TESTAMENT D A N PENGURUS H ARTA-W ARISAN
a.
menurut pasal 1009 B.W ., menjuruh mensegel (verzegelen) barangbarang warisan, apabila diantara para ahliwaris ada jang belum dewasa atau berada dibawah pengawasan curatele dan mereka pada waktu wafatnja si peninggal warisan tidak mempunjai wali atau curator, atau apabila diantara para ahliwaris ada jang tidak hadir pada waktu wafatnja si peninggal warisan, b. menurut pasal 1010 B.W., menjuruh membikin perintjian atau in ventarisasi dari barang-barang warisan, dengan dihadiri oleh para ahliwaris jang berada di Indonesia, atau setelah mereka dipanggil setjara pantas untuk hadir, c. menurut pasal 1007 ajat 3 B.W ., menghentikan menguasai barangbarang warisan setelah lampau satu tahun dihitung dari saat si pelak sana testament dapat mulai menguasai barang-barang itu, d. menurut pasal 1014 B.W ., memberi pertanggungan djawab kepada para ahliwaris, apabila hal mengurus harta warisan sudah selesai, an tara lain setelah lampau waktu satu tahun tersebut diatas. Pasal 1018 B.W . mengatakan, apabila si peninggal warisan dalam testament membebaskan si pelaksana testament dari kewadjiban untuk mengadakan perintjian barang-barang warisan atau untuk memberi per tanggungan djawab, maka penetapan dalam testament ini adalah batal. Ini berarti bahwa si pelaksana testament dapat dibebaskan dari pekerdjaan-pekerdjaan jang lain. Pasal 1015 B.W . menegaskan (menurut hemat saja tidak begitu per lu ), bahwa apabila si pelaksana testament meninggal dunia, kekuasaannja tidak beralih kepada ahliwarisnja. Dan djuga tidak mungkin oleh Hakim ditundjuk seorang lain selaku pelaksana testament. Ini dapat dalam hal
pengurus harta warisan. Pada achirnja dapat dikatakan lajak, apabila dalam pasal 1017 B.W . ditentukan, bahwa biaja-biaja untuk segel, perintjian barang-barang, per tanggungan djawab dan lain-lain jang berhubungan dengan pelaksanaan testament, dapat diambil dari barangJbarang warisan. Para penulis ahli-hukum Belanda memeras pikirannja tentang soal apakah kedudukan si pelaksana testament adalah seperti kedudukan seorang wakil dari para ahliwaris atau dari harta warisan (pendapat Meyers hala man 418 dst. dan Klaassen-Eggens halaman 404), ataukah kedudukannja adalah seperti orang jang mempunjai hak-perbendaan (zakelijk recht) atas barang-barang ;warisan (pendaipat Suyling-Dubois halaman 591), jaitu duaduanja untuk menentukan, bahwa akibat dari segala perbuatan jang sah dari si pelaksana testament daipat dipikulkan pada barang-barang warisan. Bagi saja tidak begitu nampak gunanja untuk menentukan, pendapat mana dari dua pendapat ini jang benar, oleh karena dari pasal-pasal B .W . jang bersangkutan sudah terang benderang, bahwa akibat dari segala per buatan jang sah dari si pelaksana testament, harus dipikulkan pada barangbarang warisan, dan kalau harta warisan itu diterima tanpa sjarat, djuga dipikulkan pada barang-barang milik pribadi dari para ahliwaris. 107
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
Pengurus Harta Warisan (Bewindvoerder) Hal ini oleh Burgerlijk Wetboek diatur dalam pasal-pasal 1019 s|d 1022 . Pasal 1019 B.W . menentukan, bahwa seorang peninggal warisan ber kuasa menundjuk seorang pengurus harta warisan untuk selama hidupnja si ahlhvaris atau untuk waktu tertentu. Dalam pasal itu diperingatkan pada hak si peninggal warisan untuk menundjuk seorang pengurus itu dalam hal lianja hak-memetik-hasil (vruchtgebruik) diberikan kepada ahliwaris, atau dalam hal para ahliwaris ada jang belum dewasa atau berada dibawah pengawasan curatele, atau dalam hal fidei-commis, jaitu apabila seorang ahliwaris diberi kewadjiban untuk kemudian menjerahkan barang-barang warisan kepada orang lain. Apa perlunja penundjukan pengurus harta warisan ini dilakukan, tidak begitu terang. Suyling-Dubois dalam bukunja halaman 606 menundjukkan suatu perbedaan-pokok perihal maksud si peninggal warisan untuk mengangkat seorang pelaksana testament atau untuk menundjuk seorang pengurus harta warisan. Menurut Suyling-Dubois pengangkatan seorang pelaksana testament ada maksud lebih terbatas, sedang maksud penundjukan seorang pengurus harta warisan ialah lebih luas jaitu untuk menghindarkan penghamburan harta warisan oleh para ahliwaris, maka dapat djuga dilangsungkan seumur
hidup si ahliwaris. Sekiranja berhubung dengan perbedaan inilah maka dalam pasal 1020 B.W . ditentukan (lain dari pada dalam hal pelaksana testament), bahwa apabila si pengurus berhalangan atau terpaksa menghentikan menguras barang-barang warisan, dan oleh si peninggal warisan tidak ditundjuk penggantinja, maka oleh Hakim harus ditundjuk seorang pengganti-pengurus, setelah mendengarkan pendapat Penuntut Umum.
Tjara menundjuk pengurus harta warisan Menurut pasal 1019 B.W . diperbolehkan dua tjara, jaitu a. dalam testament atau b. dalam suatu akta-notaris chusus. Djadi tidak diperbolehkaji penundjukan pengurus harta warisan de ngan suatu akta dibawah tangan, hal mana diperbolehkan dalam hal menundjuk pelaksana testament. Menurut pasal 10 2 1 B/W. seorang jang oleh si peninggal warisan ditundjuk selaku pengurus harta warisan, adalah berhak untuk menolak penundjukan itu. Tetapi kalau ia sudah mulai menerima baik penundjukan itu, ia wadjib menjelesaikan pengurusan harta warisan itu. Oleh Burgerlijk Wetboek tidak ditegaskan, sampai dimana meluas kekuasaan si pengurus harta warisan. Maka harus diturut apa jang biasanja ditentukan bagi seorang pengurus barang pada umumnja. Artinja : ia dapat menjewakan dan menarik segala hasil dari barangbarang warisan, tetapi pada umumnja ia tidak dapat mendjual barang-ba rang itu tanpa idzin para ahliwaris. 108
PELAKSANA TESTAMENT DA N PENGURUS HARTA-W ARISAN
Djuga lajak, apabila si pengurus harta warisan dianggap berwadjib mengadakan perintjian barang-barang warisan serta memberi pertanggungan djawab. Sebaliknja .bagaimanakah halnja dengan kekuasaan si ahliwaris untuk mendjual barang-barang warisan. Kalau diingat, bahwa maksud dari penundjukan pengurus harta warisan ialah djangan sampai barang-barang warisan itu dihambur-hambur kan oleh si ahliwaris, maka mudah dapat dimengerti, bahwa selajaknja si ahliwaris dibatasi dalam kekuasaan mendjual tadi. Artinja : ia hanja dapat melakukan pendjualan itu dengan idzin pengurus harta warisan.
Upah Menurut pasal 1021 B.W ., apabila si peninggal warisan tidak me nentukan upah bagi pengurus harta warisan atau djuga kepadanja tidak diberi suatu legaat jang dapat dianggap upah baginja, maka si pengurus harta warisan dapat memperhitungkan upah, seperti jang ditentukan dalam pasal 411 B.W . bagi wali (voogd) dari orang belum dewasa, jaitu 3% dari hasil, 2 % dari uang-keluaran, dan l)/2 % dari modal (kapital) jang diterima olehnja untuk harta warisan. Pada achirnja pasal 1022 B.W . menentukan, bahwa pelaksana testament dan pengurus harta warisan dapat dipetjat dengan alasan-alasan jang dapat dipergunakan untuk memetjat wali (voogd) dari seorang be lum dewasa (pasal 373 dan pasal 380 B .W .) jaitu : a. kalau tidak memberi pertanggungan 'djawab, b. apabila mereka berkelakuan djelek, c. apabila mereka menandakan tidak mampumelakukankewadjibannja setjara baik, atau mengabaikan kewadjibannja, d. apabila mereka djatuh pailit, e. apabila mereka atau keturunannja atau leluhurnia atausuami atau isterinja mempunjai perkara dimuka Hakim, jang didalamnja terlipat kekajaan dari harta warisan jang harus diurus itu, f. apabila mereka dihukum pendjara selama dua tahun atau lebih.
109
BA G IA N
XVI
PEMBAGIAN HARTA WARISAN (BOEDELSCHEIDING)
Diatas sudah pernah dikatakan, bahwa dalam Hukum Adat, lain dari pada dalam Hukum Islam dan Hukum B.W ., ada ketjenderungan untuk tidak membagi-bagi harta warisan, oleh karena harta warisan dalam keseluruhannja harus diperuntukkan guna suatu tudjuan tertentu, misalnja guna dipakai untuk keperluan hidup bagi djanda dan anak-anak jang belum dewasa. Ada kalanja sebagian dari harta warisan dibagi-bagi, terutama untuk diberikan kepada anak-anak jang sudah keluar dari keluarga sesomah (gezin) dan jang sudah mengadakan somah sendiri. Diatas (Bagian III) telah dikatakan, bahwa di Minangkabau ada barang-barang „Harta Pusaka” dan di Ambon ada tanah Dati, jang tidak dapat dibagi-bagi, sedang di Minahasa ada barang2 kelakeran, jang hanja dapat dibagi dengan persetudjuan semua ahliwaris. Dilain-lain daerah, jang memperbolehkan pembagian harta warisan pada suatu waktu, mungkin ada peraturan Hukiim Adat mengenai tanah di Desa, jang membatasi kemungkinan membagi-bagi bagian dari harta warisan jang berurpa tanah tertentu, seperti di Tjirebon ada tanah kesikepan, jang lain dari pada tanah jasan, tidak boleh djatuh pada orang bukan warga-desa atau pada orang warga-desa jang sudah mempunjai tanah kasikepan lain. Sekedar toh diadakan pembagian dari barang-barang harta warisan, maka dalam Hukum Adat masih tebal sifat kerukunan diantara para ahli waris, jang tidak selalu mewadjibkan supaja kepada tiap-tiap ahliwaris diberi bagian-bagian tertentu, seperti misalnja masing-masing harus men dapat 1/8 bagian atau 1/4 bagian, melainkan diperhatikan kebutuhan ma sing-masing. Misalnja kalau diantara barang-barang warisan ada berupa keris dan subang, maka seberapa boleh keris djatuh pada anak lelaki idan subang djatuh pada anak perempuan, dengan tidak dihitung berapa tepat nilaiharga dari barang-barang itu. Lain halnja dalam Hukum Islam dan Hukum B.W ., jang pada hakekatnja menjarankan supaja harga warisan ditudjukan kearah pembagian tepat menurut perhitungan jang ditentukan dalam Hukum Islam dan Hu kum Burgerlijk Wetboek itu. Terutama Burgerlijk Wetboek tentang hal ini adalah sangat tegas dengan adanja pasal 1066 , jang dari isinja dapat disimpulkan, bahwa : a. tiada seorang ahliwaris jang dapat dipaksakan membiarkan harta wa risan tidak terbagi-bagi, b. pembagian harta warisan dapat dituntut sewaktu-waktu, c. dibuka kemungkinan untuk mempertangguhkan pembagian harta wa110
PEMBAGIAN HARTA W ARISAN
risan itu, tetapi hanja untuk waktu lima tahun, tenggang mana dapat diperpandjang dengan lima tahun lagi, tetapi ini semua harus dengan persetudjuan semua ahliwaris. Marilah kita lihat peraturan selandjutnja .dalam Burgerlijk Wetboek jang seperti telah diketahui, berlaku bagi warganegara Indonesia, jang berturunan Eropah, Tionghoa, Arab, India dan lain-lain Timur-Asing. Pasal 1066 B.W . jang pada hakekatnja menjarankan suatu pembagian harta warisan, diikuti oleh pasal 1067 B.W . jang membuka kemungkinan bagi para berpihutang dan para legataris untuk melawan suatu pembagian harta warisan. Ini ada hubungan dengan pasal 1 1 0 1 B.W ., jang memberi hak kepada para berpihutang untuk mendapat pembajaran hutangnja dari seluruh harta
warisan selama belum dibagi. Dalam pasal 1067 B.W . ditentukan selandjutnja, bahwa apabila, mes kipun ada perlawanan dari pihak berpihutang dan legataris, toh diadakan pembagian harta warisan, maka pembagian ini sekedar mengenai mereka jang melawan itu, dianggap batal, ketjuali, tentunja, apabila hutangnja dibajar atau legaatnja dipenuhi. Siapakah jang dapat menuntut pembagian harta warisan ? Pertama-tama sudah barang tentu masing-masing ahliwaris. ke -2 : ahliwaris dari ahliwaris itu, ke -3 : seorang jang membeli hak seorang ahliwaris atas sebagian dari harta warisan. ke-4 : créditeur dari ahliwaris. Ini dapat disimpulkan dari pasal 494 Règ lement Burgerlijke Rechtsvordering. Jang tidak dapat menuntut pembagian harta warisan, ialah : a. legataris, b. créditeur dari si peninggal warisan. Mereka ini tidak membutuhkan pembagian harta warisan, oleh karena a. seorang legataris dapat menuntut penjerahan barang jang diberikan kepadanja setjara legaat, dan b. seorang créditeur dari si peninggal warisan dapat menagih pembajaran hutangnja setjara mensita dan melelang barang barang seluruhnja dari harta warisan, djuga sebelumnja dibagi-bagi antara para ahliwaris. Pasal 1070 B.W . mengenai orang-orang ahliwaris, jang kemampuannja untuk melakukan perbuatan-hukum setjara sah, dibatasi, jaitu orang belum dewasa, orang di'bawah curatele dan orang perempuan jang bersuami. Untuk orang belum dewasa dan seorang curandus oleh ajat 1 ditundjuk pada peraturan tentang hal mewakili mereka oleh wali (voogd) dan curator. Untuk perempuan jang bersuami harus dilihat apakah diantara suami dan isteri ada pertjampuran ,kekajaan atau tidak. Kalau ja, dan ada suatu harta warisan djatuh pada seorang perempuan itu, maka harta warisan itu djatuh pula dalam kekajaan-tjampuran tadi, maka menurut ajat 2 dari pasal 1070, si suami selaku Kepala dari keka jaan-tjampuran itu, dapat menuntut pembagian harta warisan. 111
H U KU M W A RISA N D I IN DO NESIA
Apabila diantara suami dan isteri tidak ada tjampuran-kekajaan, dan si isteri mendjadi ahliwaris, maka menurut ajat 3 dari pasal 1070 tadi, si isteri itu sendirilah jang dapat menuntut pembagian harta warisan, akan tetapi harus diberi kuasa atau dibantu oleh suaminja atau diberi kuasa oleh Hakim. Dengan demikian si suami dalam hal ini djuga tidak dapat mewakili isterinja dimuka Hakim. Djadi in adalah suatu keketjualian dari ketentuan dalam pasal 105 ajat 2 B .W ., jang menentukan pada umumnja, bahwa si isteri dimuka Hakim harus dibantu atau diwakili oleh suami.
Verjaring Pada umumnja hak seorang ahliwaris untuk menuntut pembagian harta warisan tidak dapat lenjap oleh karena lampau waktu (verjaring), oleh karena seperti diatas telah dikatakan, selaku hakekat pembagian harta warisan harus mungkin sewaktu-waktu. Pasal 1068 B .W . menjebutkan satu keketjualian, jaitu apabila seorang ahliwaris sudah memegang suatu barang warisan selama 30 tahun atau lebih.
Peranan Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) Menurut pasal 1071 B .W . oleh Hakim dapat ditentukan, bahwa Balai Harta Peninggalan akan mewakili ahliwaris jang tidak mau atau lalai turut serta dalam melakukan pembagian harta warisan.
Tjara pembagian harta warisan Hukum Adat dan Hukum Islam tidak menentukan tjara tertentu un tuk pembagian harta warisan, jang maka dari itu dapat dilakukan setjara bagaimana pun djuga, dengan tulisan atau dengan lisan. Kalau dengan tulisan, dapat dengan akta-notaris atau dengan akta dibawah tangan. Asal terang sadja. Dalam suasana desa adalah lajak, apabila pembagian harta warisan di lakukan dimuka Kepala Desa. Burgerlijk Wetboek pun tidak menentukan tjara tertentu, apabila para ahliwaris semua menurut Hukum mampu untuk melakukan perbuatan-hukum jang sah, dan apabila mereka semua ada hadir (pasal 1069 B .W .). Dalam pasal ini disebutkan istilah „akte”, tetapi ini tidak berarti tulisan, melainkan „perbuatan-hukum” (rechtshandeling). Semua penulis ahli-hukum Belanda sependapat tentang hal ini. Lain halnja, apabila diantara para ahliwaris ada jang belum dewasa atau berada dibawah pengawasan curatele, atau apabila ada ahliwaris jang tidak hadir atau tidak sudi turut serta dalam pembagian harta warisan. Dalam hal ini, menurut pasal 1071 ajat 2 B .W ., harus diturut tjara jang ditentukan dalam pasal 1072 dst., jaitu sebagai berikut : a. Pembagian harta warisan harus dihadiri oleh Balai Harta Peninggalan (ipasal 1072 B .W .). b. Pembagian harta warisan harus dilakukan dimuka seorang notaris jang 112
PEMBAGIAN HARTA W'ARISAN
dipilih oleh para ahliwaris, atau apabila mereka berbeda pendapat dalam hal memilih ini, notaris itu akan ditundjuk oleh Pengadilan Negeri. c Harus ada perintjian barang-barang dari harta warisan (boedelbeschrijving, inventarisasi). Apabila sedjak wafatnja si peninggal warisan keadaan barang-barang sudah berubah, maka harus dinjatakan keada an pada waktu wafat itu dan perubahan jang kemudian terdjadi. Kebenaran dari keterangan tentang keadaan barang-barang warisan ini harus dikuatkan dengan sumpah dimuka notaris oleh si ahliwaris jang memegang barang-barang itu. j Barang-barang warisan harus ditaksir harganja. Menurut pasal 1077 g effek-effek dan saham-saham harus ditaksir menurut tjatatan resmi, sedang harga dari barang-tak-bergerak harus ditaksir oleh tiga orang penaksir. Tjara mengangkat orang-orang penaksir ini ditentukan dalam pasal 1 0 7 8 B .W ., jaitu oleh orang-orang jang berkepentingan. Apabila ada per.. •. an diantara mereka, maka penaksir itu harus ditundjuk oleh Penga pi Negeri. Sebelum menaksir, si penaksir itu harus disumpah oleh sene Pedjabat Pamong Pradja ditempat. ° f Pasal 1075 B .W . menundjuk pada kemungkinan Balai Harta Peningtidak menjetudjui tjara membagi harta warisan. &a j£ aiau ini terdjadi, maka dengan atjara tertentu dapat dimintakan ke ausan dari Pengadilan Negeri. P A f e n u r u t pasal 1076 B .W ., idzin dari Pengadilan Negeri djuga harus • ta apabila menurut pendapat para ahliwaris ada barang-tak-bergerak d '01.10 ’ ta warisan jang harus ididjual untuk dapat medakukan pembagian dar* ^ arjsan. Pendjualan ini dapat dilakukan dimuka umum atau dibawah tangan. .k j aj am ^al ini seorang ahliwaris membeli sendiri barang jang j'd 'u a l itu maka ia dianggap memperolehnja selaku pembagian harta wa risan.
if "^ Is r ila h barang 1
Belanda ini berarti : memperhitungkan pemberian barangdilakukan oleh si peninggal warisan pada waktu ia masih ahliwaris.
hidup g w diatur dalam pasal-pasal 1086 s/d 1099. n 1 1086 B.W . mulai dengan mengatakan, bahwa perhitungan itu ... i ukan 0leh ahlhvaris-keturunan dari si peninggal warisan (anak, harUS A n seterusnja kebawah), ketjuali kalau si peninggal warisan setjara tjutiu * myebaskan mereka dari perhitungan ini, sedang perhitungan itu tegas ^ j j warjs lain hanja harus dilakukan, apabila ini dikehendaki oleh ° ^ 1
‘nggal warisan.
si Pe” ' perhitungan ini dilakukan, maka pemberian-pemberian jang du1 dilakukan oleh si peninggal warisan selama ia masih hidup, dianggap 113
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
sebagai pemberian dimuka (voorschot) dari bagian si ahliwaris itu dalam harta warisan. Menurut pasal 1087 B.W . bagi ahliwaris jang menolak warisan, tidak perlu diperhitungkan barang-barang jang dihibahkan kepadanja, ketjuali kalau dengan hibah itu, bagian legitiem dari ahliwaris lain mendjadi kurang. Tetapi, menurut pasal 1088 B.W ., apabila warisan diterima oleh ahli waris, maka barang jang diperhitungkan itu, tidak melebihi bagian legi tiem; djadi jang diperhitungkan, hanja jang dihibahkan sampai harga-nilai dari bagian legitiem.
Apakah jang harus diperhitungkan ? a. Menurut pasal 1086 B.W . : semua penghibahan (schenkingen) oleh si
b.
peninggal warisan pada waktu ia masih hidup. Menurut jurisprudensi dari Hoge Raad di Negeri Belanda penghibah an ini meliputi djuga lain-lain perbuatan jang menguntungkan ahli waris, seperti misalnja suatu pembebasan hutang. Para penulis ahli-hukum di Negeri Belanda djuga berpendapat demi kian (Asser-Meyers halaman 361, - Klaassen-Eggens halaman 557, Suyling-Dubois No. 310). Menurut pasal 1096 B.W . : ke-1 hal sesuatu jang dipergunakan untuk memberi suatu kedudukan dalam masjarakat atau suatu djabatan atau pekerdjaan kepada si ahliwaris, ke-2 hal sesuatu jang dimaksudkan untuk membajar hutang dari siahliwaris, ke -3 hal sesuatu jang diberikan kepada si ahliwaris pada waktu ia • ' '• kawin selaku bekal untuk hidup setelah kawin itu. Sebaliknja oleh pasal 1097 B.W . dikatakan apa jang tidak perlu di
perhitungkan, jaitu :
a. b.
bia'ja tintuk nafkah dan pendidikan si ahliwaris, biaja untuk beladjar guna perdagangan, kesenian, kerdja-tangan atau perusahaan, c. biaja untuk pengadjaran, d. biaja pada waktu kawin dan untuk pakaian jang perlu untukhidup setelah kawin (huwelijks-uitzet), e. 'biaja nntuk membajar orang jang menggantikan si ahliwaris selaku pewadjib dalam pertahanan Negara. Menurut pasal 1098 B.W ., dari barang-barang jang harus diperhitung kan itu, djuga harus diperhitungkan hasil-hasil jang dipetik dari barangbarang itu mulai hari wafatnja si peninggal warisan. Oleh pasal 1099 B.W . ditegaskan pula, bahwa kalau ada barangbarang jang musnah tidak dari kesalahan si ahliwaris, maka harga-nilai dari barang-barang itu tidak perlu diperhitungkan. Dari pasal 1089 dan pasal 1090 B.W . dapat disimpulkan, bahwa jang harus diperhitungkan itu hanja barang-barang jang langsung dihibahkan kepada si ahliwaris. 114
PEM BAGIAN HARTA W ARISAN
Menurut pasal 1089 B .W ., kalau seorang tjutju dari si peninggal warisan mendapat hibah, maka ajah dari tjutju itu perlu memperhitung kan penghibahan itu. Djuga apabila seorang tjutju langsung mendjadi ahliwaris, maka ia tidak perlu memperhitungkan barang-barang jang oleh si peninggal waris an dihibahkan kepada ajahnja si tjutju itu. Tetapi apabila tjutju itu mendjadi ahliwaris selaku pengganti dari orang-tua jang wafat lebih dulu dari si peninggal warisan (plaatsvervulling), maka ia harus memperhitungkan penghibahan kepada orang-tua itu, djuga apabila ia menolak warisan. Pasal 1090 B.W . menundjuk pada suatu penghibahan kepada orang lelaki jang beristeri atau kepada seorang perempuan jang bersuami, sedang diantara mereka ada tjampur-kekajaan (huwelijksgemeenschap). Apabila penghibahan itu dilakukan oleh ajahnja atau ibunja sendiri, maka penghibahan itu harus diperhitungkan. Apabila penghibahan itu dilakukan oleh mertuanja, maka barang itu tidak perlu diperhitungkan. Apabila penghibahan itu dilakukan kepada dua-duanja suami dan isteri, maka penghibahan harus diperhitungkan untuk separoh sadja. Oleh pasal 1091 B.W . ditegaskan, bahwa perhitungan ini hanja dila kukan untuk keperluan ahliwaris lain, tidak untuk keperluan legatàris atau para créditeur dari si peninggal warisan.
Tjara memperhitungkan Ini diatur dalam pasal-pasal 1092 s/d 1095 B.W . Pasal 1093 B.W . mengenai barang-barang tak-bergerak dan pasal 1095 mengenai barang-barang bergerak, seolah-olah ada perbedaan dalam peraturannja tentang dua djenis barang tadi, jaitu seolah-olah jperaturan dalam ajat 2 dan 3 dari pasal 1093 hanja berlaku bagi barang-tak-bergerak. Tetapi ratio untuk ajat 2 dan 3 itu djuga berlaku bagi barang-barang ber gerak, maka dari itu ajat-ajat itu harus dianggap berlaku djuga bagi ba rang-barang bergerak. Djadi harus dianggap, bahwa peraturan untuk dua djenis barang tadi adalah sama, jaitu : perhitungannja barang-barang itu jang dihibahkan kepada ahliwaris sebelum wafat si peninggal warisan, harus dilakukan setjara tiga matjam : ke-1 in natura, artinja barang:barang itu harus dikembalikan dalam udjud pada waktu barang-barang itu harus diperhitungkan. Apabila barang-barang itu sudah berkurang dari salahnja si ahliwaris, maka ia bertanggung djawab atas hal itu. Kalaii ada hypotheek atau beban lain oleh ahliwaris dilekatkan pada barang-barang itu, maka ia ha rus membersihkannja dari beban-beban itu. Sebaliknja kepada si ahliwaris harus diberi ganti-kerugian untuk biaja-'biaja jang ia perlu keluarkan guna mempertahankan barangbarang itu. Oleh pasal 1093 ajat 3 djuga disebutkan biaja untuk mempelihara 115
HUKUM W ARISAN D I INDONESIA
barang-barang itu seolah-olah djuga harus diganti kepada si ahli waris. Tetapi oleh ajat itu ditundjuk pada peraturan tentang hakmemetik-hasil (recht van vruchtgebruik), jang harus diperhatikan. Sedang menurut pasal 793 B.W . dalam hal hak-memetik-hasil ini praktis semua biaja untuk mempelihara (onderhoud) barangnja 'harus ditanggung oleh si memetik hasil, ke-2 Perhitungan setjara memberi harga-nilai dari barang-barang berwudjud uang-tunai dilakukan, apabila barang-barangnja sudah hilang, dihilangkan atau didjual oleh si ahliwaris. Harga-nilai ini harus dihitung pada waktu barang-barang itu dihibahkan kepada si ah liwaris. Apabila jang dihibahkan itu berupa uang-tunai, maka menurut pasal 1094 B.W ., perhitungan dapat dilakukan setjara memberi uang-tunai jang sedjumlah atau setjara imengurangi bagian si ahli waris dalam harta warisan dengan sedjumlah uang-tunai tadi, ke-3 Perhitungan dapat dilakukan pada umumnja setjara mengurangi bagian si ahliwaris dengan sedjumlah barang atau uang-tunai jang seharga-nilai dengan barang2 jang dihibahkan itu (pas. '1092 B .W .).
Pembajaran hutang-hutang dari si peninggal warisan Hal ini diatur dalam pasal-pasal 1100 s/d 1111 B.W . Peraturan-pokok dalam hal ini termuat dalam pasal 1100 B.W . jang menentukan, bahwa : . kewadjiban membajar hutang itu hanja dipikulkan pada ahliwaris jang menerima baik harta warisan (aanvaarden), b. kewadjiban masing-masing dari para ahliwaris untuk membajar hu tang, menjerahkan legaat-legaat dan memenuhi beban-beban lain, ha rus seimbang dengan apa jang mereka terima dari barang-barang warisan. . . Maka tidak perlu dalam akta-pembagian-warisan disebutkan adanja hutang-hutang itu, oleh karena sudah dengan sendirinja hutang-hutang itu harus dibajar oleh para ahliwaris. Hanja perlu disebutkan, apabila jang dimaksudkan ialah supaja salah seorang dari para ahliwaris diwadjibkan membajar suatu hutang seluruhnja. Dalam satu hal seorang ahliwaris harus membajar hutang seluruhnja, dengan tidak disebutkan demikian dalam akta pembagian warisan, jaitu jang dikatakan dalam pasal 1102 ajat 2 B.W . Ajat ini menundjuk pada peristiwa suatu barang-takbergerak dibagikan kepada seorang ahliwaris dengan penetapan, bahwa harga-nilai dari barang itu adalah harganilai biasa dikurangi dengan djumlah hutang-hypotheek jang dibebankan pada barang itu. Kalau ini terdjadi, maka si ahliwaris itu berwadjib membajar hutanghypotheek itu seluruhnja. Oleh pasal 1103 B.W . ditetapkan, bahwa apabila seorang ahliwaris membajar suatu hutang-hypotheek jang melebihi bagiannja, maka dapat menuntut pembajaran kembali kelebihannja itu dari ahliwaris lain.
a.
116
PEM BAGIAN HARTA W ARISAN
Sebetulnja ini tidak perlu dikatakan dan berlaku djuga bagi semua hutang, tidak hanja hutang-hypotheek sadja. Bagi para ahliwaris tentunja sebaiknja hutang-hutang itu dibajar dulu, sebelum harta warisan dibagi-bagi, terutama apabila ada hutang jang di kuatkan dengan hypotheek. Maka sudah lajak pasal 1102 ajat 1 B.W . memberi hak kepada para ahliwaris untuk menuntut supaja hutang-hypotheek itu dibajar dulu, sebe lum diadakan pembagian harta warisan. Ini djuga sesuai dengan pasal 1 1 0 1 B.W . jang memperingatkan ke pada semua créditeur dari isi peninggal warisan untuk 'minta pembajaran hutang diambil dari harta warisan seluruhnja, selama harta warisan itu belum dibagi-bagi. Pasal 1104 B.W . menundjuk pada hal seorang ahliwaris tidak mampu untuk turut membajar hutang-hypotheek. Dalam hal ini bagiannja dibe bankan kepada ahliwaris-ahliwaris lain, djuga seimbang dengan bagian masing-masing dalam barang-barang warisan. Pasal 1105 B.W . menegaskan, bahwa seorang legataris tidak berwadjib membajar hutang dari si peninggal warisan, tetapi kalau jang diberi kan setjara legaat itu adalah suatu barang-tak-bergerak jang dibebani suatu hypotheek, maka hypotheek itu dapat dilaksanakan atas barang itu, kalau perlu. Dalam hal ini pasal 1106 B.W . membuka kemungkinan si legataris membajar hutang jang dikuatkan dengan hypotheek itu. Kalau ini terdjadi, maka ia menggantikan kedudukan si créditeur terhadap ahliwaris-ahliwaris lain. Ini djuga sudah lajak.
Memperpisahkan pelbagai kekajaan (boedel-afscheiding) Tentang hal ini ada sekadar peraturan termuat dalahi pasal-pasal 1107 s/d 1111 B.W . Diatas sudah dikatakan, bahwa menurut sistim Burgerlijk Wetboek harta warisan dan kekajaan pribadi si ahliwaris jang menerima warisan tanpa sjarat, mendjadi satu (boedelmenging), artinja : semua hutang dari si peninggal warisan mendjadi hutang dari ahliwaris. Mungkin sekali si ahliwaris sudah mempunjai banjak hutang sedemi kian rupa, bahwa hutang-hutang itu tidak dapat dibajar penuh dari keka jaan si ahliwaris sendiri. Akibatnja ialah, bahwa harta warisan dapat di pergunakan untuk membajar hutang dari si ahliwaris, sehingga mungkin sekali sisanja tidak mentjukupi untuk membajar hutang-hutang dari si peninggal warisan. Untuk menghindarkan ini, maka pasal 1107 B.W . memberi hak kepa da créditeur dari si peninggal warisan dan kepada para legataris untuk menuntut terhadap créditeur dari si ahliwaris, agar harta warisan dipisah kan dari pada kekajaan pribadi dari si ahliwaris. Dengan demikian harta warisan pertama-tama dipergunakan untuk membajar hutang-hutang dari si peninggal warisan dan untuk memenuhi legaat-legaat. 117
HUKUM WARISAN D I INDONESIA
Kalau harta warisan tidak mentjukupi untuk ini, maka sisa hutanghutang dari si peninggal warisan masih dapat ditagih dari para ahliwaris, oleh karena mereka tetap merupakan ahliwaris jang berwadjib membajar hutang-hutang dari si peninggal warisan. Timbul pertanjaan, apakah sisa hutang-hutang dari si peninggal wa risan ini harus dibajar dari kekajaan pribadi si ahliwaris bersama-sama dengan hutang-hutang pribadi dari si ahliwaris, ataukah hutang-hutang pribadi dari si ahliwaris ini dulu jang harus dibajar dari kekajaan pribadi dari si ahliwaris. Tentang hal ini ada dua pendapat. Suyling-Dubois (no. 266) meng anggap : bersama-sama, dan Meyers (halaman 288-289) menganggap : tidak. Suyling-Dubois memandang pemisahan kekajaan ini selaku sesuatu melulu untuk kepentingan para berpihutang dari si peninggal warisan dan para legataris, sedang Meyers memandang pemisahan kekajaan ini betul-betul selaku pemisahan kekajaan. Meyers menjandarkan pendapatnja djuga pada pasal 1109 B.W ., jang mengatakan, bahwa hak untuk menuntut pemisahan kekajaan ini tidak dapat dilakukan, apabila si créditeur membaharui hutangnja setjara mene rima si ahliwaris selaku seorang jang berhutang langsung kepadanja, artinja : kekajaannja langsung diperuntukkan membajar hutang itu. Dan peruntukkan ini dalam sistim Meyers harus diartikan : didahulukan dari pada hutang-hutang dari si peninggal warisan. Hanja dengan demikian dapat dimengerti, kenapa lantas tidak diper bolehkan lagi bagi si créditeur itu untuk menuntut pemisahan kekajaan. Saja dapat menjetudjui pendapat Meyers ini. Menurut pasal 1108 B.W ., aipabila créditeur dari si peninggal warisan dan para legataris menuntut pemisahan kekajaan ini dalam .tempoh enam bulan sesudah wafat si peninggal warisan, maka mereka dapat menjuruh mentjatatkan penuntutan ini dalam daftar-tanah (kadaster) dengan akibat, bahwa setelah itu, tanah itu oleh ahliwaris tidak boleh didjual atau dibe bani dengan hypotheek atau sebagainja dengan merugikan si créditeur dan legataris tadi. Dengan demikian hak si créditeur dan legataris itu ada agak kuat. Pasal 1 1 1 0 B .W . menentukan waktu 3 tahun, setelah mana adalah lenjap hak si créditeur dan legataris untuk menuntut pemisahan kekajaan ini. Pada achirnja pasal 1 1 1 1 B.W . mengatakan, bahwa créditeur dari si ahliwaris tidak berkuasa menuntut pemisahan kekajaan ini.
Tjara membagi-bagi Apabila sudah selesai hal perhitungan (inbreng) dan hal pembajaran hutang2 dari si peninggal warisan, maka menurut pasal 1079 B.W ., sisa dari harta warisan harus dibagi-bagi antara para ahliwaris dengan perse-
tudjuan semua ahliwaris. 118
PEMBAGIAN HARTA WARISAN
Ajat 2 dari pasal tersebut menentukan dua tjara membagi-bagi, jaitu : ke-1 : masing-masing ahliwaris menerima barang-barang tertentu jang harga-nilainja tepat sama dengan bagiannja seperti separoh, seper tiga atau seperlima dan sebagainja dari harga-nilai seluruh harta warisan, ke-2 : diantara para ahliwaris ada jang menerima barang-barang jang harga-nilainja lebih dari bagiannja itu, dan ada jang kurang. Dalam hal ini ahliwaris jang mendapat lebih itu, diharuskan memberi sedjumlah uang-tunai kepada jang mendapat kurang dari bagiannja tadi. Kalau para ahliwaris berselisih tentang siapa dari mereka akan men dapat barang tertentu 'itu selaku bagiannja, maka hal ini harus diundi. Apabila tidak ada kata-sepakat mengenai penentuan barang-barang tertentu jang akan dibagikan kepada masing-masing ahliwaris itu, maka dapat diminta putusan dari Pengadilan Negeri dalam tingkatan pertama dan terachir pula. Kalau sudah terdjadi penentuan barang-barang jang masing-masing ahliwaris harus menerima, maka pasal 1080 B.W . membuka kemungkinan untuk tukar-menukar bagian masing-masing. Apabila ini semua sudah terdjadi, maka, menurut pasal 1081 B .W., kepada masing-masing ahliwaris harus diserahkan surat-surat bukti tentang hak-milik atas barang-barang jang dibagikan kepada masing-masing. Kalau beberapa orang ahliwaris bersama-sama mendapat sebidang ta nah selaku bagiannja, maka surat-surat tanda-milik harus diserahkan ke pada jang mendapat bagian terpenting dari tanah itu. Surat-surat jang mengenai harta warisan seluruhnja, harus diserahkan kepada seorang ahliwaris jang ditundjuk oleh para ahliwaris semua dengan suara terbanjak. Seorang penjimpan ini berwadjib untuk memperlihatkan surat-surat itu kepada ahliwaris-ahliwaris lain, kalau ini diperlukan. Pasal 1083 B.W . menegaskan, apabila suatu pembagian warisan sudah terdjadi, maka masing-masing ahliwaris dianggap pemilik barang jang dibagikan kepadanja semendjak wafatnja si peninggal warisan. Ini tidak berarti, bahwa sebelum ada pembagian harta warisan, masing-masing ahliwaris belum dapat dikatakan mempunjai hak-milik atas barang-barang warisan. Keadaan ialah bahwa sebelum ada terdjadi pembagian harta warisan, semua ahliwaris bersama-sama merupakan pemilik-bersama dari semua ba rang-barang warisan. Djadi sebelum ada pembagian harta warisan, perbuatan-hukum me ngenai barang2 warisan itu hanja sah apabila disetudjui oleh semua ahliwaris. Pasal 1084 dan pasal 1085 B.W . mengenai hal para ahliwaris setelah ada pembagian harta warisan, saling mendjamin hak masing-masing, apa bila ada gangguan terhadap barang-barang warisan 'itu atau terhadap pihutang-pihutang jang dibagikan kepada mereka masing-masing. Hak menuntut untuk saling didjamin (vrijwaring) ini adalah gugur 119
HUKUM WARISAN D I INDONESIA
setelah lampau waktu tiga tahun dihitung dari saat diadakan pembagian harta warisan. Apabila salah seorang ahliwaris tidak mampu untuk memberi djaminan ini, maka kewadjibannja dibagi-bagi diantara para ahliwaris lain.
Pembatalan suatu pembagian harta warisan Menurut pasal 1071 ajat 2 B .W., suatu pembagian warisan adalah batal apabila tidak diturut tjara-tjara jang ditentukan dalam pasal 1072 dst., misalnja apabila tidak dilakukan dimuka notaris atau tjdak dihadiri oleh Balai Harta Peninggalan (Weeskamer). Menurut pasal 1112 B.W . suatu pembagian harta warisan dapat di
batalkan : ke-1 apabila ada dilakukan paksaan, ke-2 apabila oleh seorang atau beberapa peserta dilakukan penipuan, ke-3
apabila seorang ahliwaris dirugikan dan kerugian ini meliputi 1/4 bagian. Kerugian ini dapat disebabkan oleh keliru menaksir harganilai barang-barang warisan. Ajat 2 dari pasal tersebut menegaskan, apabila ada beberapa barang tidak dimasukkan dalam pembagian, maka ini tidak merupakan alasan un tuk membatalkan pembagian harta warisan, melainkan hanja untuk meng adakan landjutan atau tambahan pembagian. Orang tidak dapat berdjandji untuk tidak akan menuntut pembatalan pembagian harta warisan. Kalau orang toh bikin perdjandijan sematjam itu, maka perdjandjian itu adalah tidak berharga (van onwaarde). Demi kian bunji pasal 1120 B.W . Pasal 1117 B.W . mendjelaskan, bahwa jang dapat dituntut pembatalannja itu adalah setiap perbuatan-huknm jang dimaksudkan untuk meng hentikan keadaan tak-terbagi dari suatu harta warisan, dengan diberi nama apapun djuga, seperti djual-beli, tukar-menukar, perdjandjian untuk meng hentikan perselisihan (dading) dan lain-lain sebagainja. Tetapi apabila diadakan dading dengan maksud untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan jang timbul dari suatu pembagian harta warisan, maka dading itu tidak dapat dibatalkan. Djuga oleh pasal 1118 B.W . didjelaskan, bahwa tidak dapat dituntut pembatalan dari pendjualan hak-mewaris, apabila tidak ada dilakukan pe nipuan oleh seorang ahliwaris terhadap seorang ahliwaris lain untuk merugikannja. Ada kalanja terdjadi suatu paksaan atau suatu penipuan, tetapi sete lah paksaan itu sudah terhenti atau penipuan itu sudah kelihatan, seorang ahliwaris baru mendjual barang warisan jang dibagikan kepadanja. Kalau ini terdjadi, maka seorang ahliwaris tidak boleh menuntut pembatalan dari pembagian harta warisan. Demikian ditentukan dalam pasal 1115 B.W . Djuga tidak dapat dimintakan pembatalan suatu pembagian harta wa risan, apabila kepada seorang jang akan minta pembatalan itu, oleh ahli waris lain sudah diberi penggantian dari jang ia merasa kurang diberi 120
PEMBAGIAN HARTA-WARISAN
bagian, baik berwudjud uang-tunai maupun berwudiud barang-barane ( na sal 1114 B .W .). e 6 U' Untuk dapat menetapkan apakah terdjadi suatu kerugian, maka hal sesuatu harus ditaksir dengan melihat pada keadaan pada waktu pembagian harta warisan dilakukan (pasal 1113 B .W .). Oleh pasal 1116 B.W . ditetapkan waktu tiga tahun terhitung dari saat diadakan pembagian harta warisan, dalam tenggang mana dapat dimadjukan tuntutan pembatalan suatu pembagian harta warisan. Kalau, setelah suatu pembatalan pembagian harta warisan, diadakan pembagian kedua, maka ini tidak boleh merugikan hak seorang ketiga jang didapatkan setjara sah (pasal 1119 B .W .).
Pembagian harta 'warisan oleh si peninggal warisan Pasal 1 1 2 1 B.W . membuka kemungkinan bagi seorang untuk sebelum wafat mengadakan pembagian bakal harta warisannja diantara anak-anaknja atau diantara mereka dan bakal-djandanja. Ini harus terdjadi dalam testament atau dalam suatu akta-notaris. Dengan demikian seorang itu dapat menghindarkan pelbagai kesulitan jang mungkin akan timbul, apabila pembagian harta warisan itu diserahkan sadja kepada para ahliwaris. Kalau pembagian harta warisan sematjam ini tidak meliputi semua barang-barang warisan, maka sisanja dapat dibagi-bagi menurut pasal-pasal dari Burgerlijk Wetboek (pasal 112 2 B .W .). Pasal 1123 B.W . menentukan, apabila dalam pembagian harta warisan sematjam ini dilupakan seorang atau beberapa orang ahliwaris, maka pem bagian harta warisan ini adalah batal, dan kemudian dapat diadakan pem bagian baru dari harta warisan. Menurut pasal 1124 B.W . suatu pembagian harta warisan sematjam ini dapat dibatalkan, apabila seorang ahliwaris dirugikan sampai seper empat dari bagiannja, atau apabila bagian legitiem dilanggar. Kini pun ditetapkan tenggang tiga tahun untuk dapat memadjukan penuntutan pembatalan pembagian harta warisan sematjam ini. Pada achirnja oleh pasal 1125 B.W . dikatakan, apabila penuntutan pembatalan ini dimadjukan, maka oleh penuntut harus dibajar dimuka biaja-biaja jang perlu untuk menaksir harga-nilai dari barang-barang wa risan. Dan biaja-biaja ini tidak dikembalikan, apabila si penuntut dikalah kan.
121
B A G IA N
X V II
HARTA W A RISAN JA N G TID A K TERURUS ( ONBEHEERDE NALATENSCHAP)
Ada harta warisan tak-terurus, apabila seorang meninggal dunia dengan meninggalkan barang-barang miliknja, sedang tidak ada seorang pun jang menamakan dirinja ahliwaris, atau apabila semua ahliwaris menolak harta warisan itu (pasal 1126 B .W .). Kalau ini terdjadi, maka Balai Harta Peninggalanlah jang berwadjib mengurus harta warisan itu. Menurut pasal 1127 B.W . Balai Harta Peninggalan itu harus setjara tertulis memberitahukan hal mulai mengurus harta warisan itu kepada Penuntut Umum dari Pengadilan Negeri. Kalau ada perselisihan paham tentang ada atau tidak adanja suatu harta warisan jang tidak terurus, maka hal ini harus diputuskan oleh Pengadilan Negeri atas permintaan orang jang berkepentingan atau atas tuntutan Djaksa dan setelah mendengar Balai Harta Peninggalan tentang hal ini. Dalam hal ini Pengadilan Negeri tidak terikat pada suatu atjara apapun. Selandjutnja oleh pasal 1128 B .W . ditentukan bahwa Balai Harta Peninggalan, kalau mulai mengurus harta warisan itu, harus mensegel barang-barang warisan, kemudian mengadakan perintjian dari barangbarang itu, lantas mengurus barang-barang itu dan selekas mungkin menjelesaikan pengurusan itu. Badan itu diwadjibkan pula untuk memanggil para ahliwaris setjara memasukkan iklan dalam surat-surat kabar atau dengan tjara lain jang tepat. Badan itu djuga harus menghadap dimuka Hakim, apabila harta wa risan jang diurus itu, digugat. Pendeknja harus dilakukan segala kekua saan dari si peninggal warisan terhadap barang-barang itu. Dari pengurusan ini harus diberikan pertanggungan djawab seperIunja. Menurut pasal 1129 B.W ., apabila tiga tahun sudah lampau terhitung dari saat wafatnja si peninggal warisan, dengan tidak ada seorangpun jang muntjul selaku ahliwaris, maka Balai Harta Peninggalan harus mem bikin pertanggungan djawab jang penghabisan kepada Negara. Dan N e gara ini kemudian berkuasa untuk menguasai harta warisan itu. Pada achirnja pasal 1130 B.W . menentukan, bahwa dalam hal ini berlaku pasal-pasal 1037, 1038, 1039 dan 1041 B .W . jaitu mengenai pembajaran hutang-hutang dari si peninggal warisan, pemenuhan legaat-legaat dan pembajaran biaja-b'iaja untuk verzegeling, perintjian barang-barang dan lain-lain sebagainja. 122
ISI
Halaman
Kata Pembukaan ......................................................................................... Bagian I Pengertian Warisan .................................................................. Bagian II Sifat Warisan ........................................................................... Hubungan erat dengan sifat kekeluargaan ...................... ........... Bagian III Hal pembagian Harta-Warisan atau dipertahankan udjud keseluruhannja .................................................................................... Hal Harta-Warisan jang tidak dapat dibagi-bagi ..................... Harta-Pusaka di Minangkabau ........................................................ Tanah-Dati di Ambon ...................................................................... Harta-Warisan jang hanja dapat dibagi-bagi dengan persetudjuan semua ahliwaris ............................................................. Harta Warisan jang pembagiannja biasanjadipertangguhkan Bagian IV .Udjud Harta warisan ............................................................. Biaja mengkuburkan majat ............................................................ . Tiada kesatuan pada Harta-Warisan ........................................... Bagian V Para Ahliwaris ...................................................................... Anak ....................................................................................................... Anak-angkat ........................................................................................ Djanda perempuan ..................... *................................................... Menurut Hukum Adat ...................................................................... D janda lelaki .................................................................................... Ahliwaris-ahliwaris lain dari pada anak dan djanda................... Bagian V I Djum lah bagian dari Harta Warisan ......................... Menurut Hukum Adat ...................................................................... Pengaruh Hak-pertuanan Desa .................................................... Pengaruh Fam ili ................................................................................ Bermanfaat barang tertentu bagi jang mewaris ......................... Pengaruh zaman modern .................................................................. Menurut Hukum Agama Islam .................................................... M enurut Hukum Burgerlijk Wetboek ....................................... Golongan ke-II .................................................................................... Golongan ke-III .................................................................................. Golongan ke-IV .................................................................................. Bagian V II Anak jang lahir diluar perkawinan .................................. M enurut Hukum Adat ................................................ ................. M enurut Hukum Islam .................................................................. Menurut Hukum Burgerlijk Wetboek ......................... ................. Anak lahir dari zina .................................... .................................. Bagian V I II Pemberian^ oleh si peninggal warisan pada waktu ia masih hidup ............................................................................... ••••
5 7 9 9 13 13 14 15 15 15 18 19 21 22 2^ 2 -* 2^ 28 32 34 ^ ^4 ^5 36 ^ 40 ^ 43 **3 “*4 44
^ 49 123
halaman
Bagian I X Hibah W asiat (testament) ............................................. 53 Pembatasan dalam hal membuat hibah-wasiat .......................... 53 Menurut Hukum Burgerlijk Wetboek ............................................. 55 „Legitieme portie” ............................................................................. 55 Tjara menghitung bagian legitiem ............................................. 58 Bagian X Tjara penghibahan wasiat ................................................. 63 Menurut Hukum Adat ........................................................................ 63 Menurut Hukum Islam .................................................................... 64 Menurut Hukum Burgerlijk W etboek ........................................ 64 Testament olografis ............................................................................. 64 Testament tak-rahasia (openbaar) ................................................. 65 Testament rahasia ................................................................................. 66 Pembikinan testament diluar Negeri ............................................. 68 Pembikinan testament dalam keadaan luar biasa .......................... 68 „Ordonnantie Noodtestamenten” .......................... ........................... 69 Bagian X I Penentuan2 tertentu dalam testament ............................... 73 „Erfstelling” dan „legaat” ............................................................... 73 Kewadjiban (last) ............................................................................ 75 Udjud barang legaat ............................................................................ 76 77 „Fidei-commis” ..................................................................................... Fidei-commis de residuo ................................................................... 81 Bagian X II Penarikan kembali dan gugurnja Hibah-wasiat ............ 82 Penarikan kembali setjara tegas ..................................................... 82 Penarikan kembali setjara diam-diam .......................................... 83 Gugurnja suatu testament ................................................................. 84 „Aanwas” (penambahan) ................................................................. 85 Bagian X III Sjarat2 umum tentang orangnja peninggal warisan dan ahliwaris .................................................................................................. 86 Sjarat-sjarat 'bagi si peninggal warisan ............................................ 86 Pikiran sehat .......................................................................................... 86 Umur ...................................................................................................... 87 Tiada kekeliruan ................................................................................... 87 Tiada paksaan atau penipuan .......................................................... 87 Sjarat-sjarat bagi ahliwaris ............................................................... ' 88 Tidak pantas mendjadi ahliwaris (onwaardig) .......................... 88 Hibah-wasiat antara suami dan isteri ............................................. 90 W ali (voogd) selaku ahliwaris ...................................................... 91 Guru dari si peninggal warisan ...................................................... 91 Anak diluar perkawinan ................................................................... 92 Berzina .................................................................................................... 92 Jajasan jang didirikan dalam suatu hibah-wasiat ...................... 92 Bagian X IV Kedudukan ahliwaris menurut B .W .............................. 94 Hak berpikir .................................................................................. 94 Penerimaan harta warisan tanpa sjarat ........................................ 95 124
halaman
Penerimaan warisan dengan sjarat perintjian barang-barang warisan ..................................................................................................... Tjara menerima warisan dengan sjarat ........................................ Akibat penerimaan warisan dengan sjarat ................................... Pemberesan harta warisan (vereffening) ........................................ Pemberian pertanggungan djawab ................................................. Faillisement dari harta warisan ..................................................... Penolakan harta warisan (verwerpen) ............................................ Tidak boleh merugikan para berpihutang ..................... ............. Bagian X V Pelaksana testament dan Pengurus Harta Warisan ... Pelaksana testament (executeur testamentair) ............................... Siapakah dapat ditundjuk selaku pelaksana testament ? ............ Lapangan kerdja dari pelaksana testament ................................... Pengurus harta warisan (bewindvoerder) ................................... Tjara menundjuk pengurus harta-warisan ................................... Upah ............................................................................. .......................... Bagian X V I Pembagian Harta Warisan (Boedelscheiding) ........ Verjaring ............................................................................................... Peranan Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) ..................... Tjara pembagian harta warisan ..................................................... „Inbreng” ................................................................................................ Apakah jang harus diperhitungkan ? ............................................ Tjara memperhitungkan .................................. ...........; .................... Pembajaran hutang-hutang dari si p e n i n g g a l warisan ........... Memperpisahkan pelbagai kekajaan (boedel-afsc ei ingj Tjara membagi-bagi ......................................................................... Pembatalan suatu pembagian harta warisan ............................ Pembagian harta warisan oleh si peninggal warisan ' Bagian X V I I Harta Warisan jang tidak terurus ( n e ee nalatenschap) ......................................................................................
97 98 98 99 100 101 102 102
104 104 105 106
108 108 109 110 112 112 112
113 114 115
116
117 118 120 121
122
125
RI W A J A T
HIDUP
PENULIS
Mr WIRJONO PRODJODIKORO bolehlah dipandang sebagai salah seorang ahli-hukum Indonesia jang sangat produktip. Sebelum perang dunia ke I beberapa buah tangannja dapat didjumpai didalam madjalah hukum masa itu (Indisch Tijdschcift voor het R ech t). Kini dalam tiap-tiap nomor dari Madjalah H ukum ■tentu orang dapat menjaksikan, bagaimana minatnja terhadap perkembangan serta usaha pem bangunan hukum di Indonesia malahan bertam bah besar adanja, baik didalam bentuk komentar pada keputusan-keputusan jang diumumkan, maupun didalam bentuk karangan. Diluarnja itu telah diterbitkan beberapa buku buah tangannja seperti H ukum Atjara Perdata di In do nesia, Azas-azas Hukum Perdata, Azas-azas H ukum Perdata Interna sional, Azas-azas Hukum Perdjandjian, H ukum Perkawinan di Indonesia, Hukum Perdata Tentang Persetudjuan Tertentu, Perbuatan M ela n gga r Hukum, Hukum Atjara Pidana. Selaku Ketua dari Panitia Pemulihan Hak bagian Peradilan-banding iapun beberapa kali memimpin usaha
mengambil keputusan-keputusan jang sangat menarik perhatian karena djelasnja tjorak didalam keputusan-keputusan peradilan itu : Mr Wirjono Prodjodikoro hendak menempuh djalan baru jang lebih sesuai dengan makna kemerdekaan bangsa Indonesia. Penulis telah mengikuti perkembangan hukum di Indonesia dengan njata semendjak tahun 1926 ; pada waktu itu ia dalam usia 23 tahun diangkat mendjadi pegawai diperbantukan pada Ketua Pengadilan Negeri di Klaten. Gelarnja telah diperolehnja di Leiden, setelah tamat dari Rechtsschool dalam tahun 1922. Pada bulan Mei 1928 ia d' k mendjadi Ketua luar biasa pada Pengadilan N e g e r i di M a k a sa r Kemu dian dari tahun 1929 sampai 1946 berturut-turut dipimpinnia P ,-r/ an Negeri di Purworedjo, Tuban, Sidoardjo, T u lu n g a g u n g ^ Malang. Dalam babak permulaan revolusi nasional, jaitu pada' i 1946, ia dipekerdjakan oleh Pemerintah di K em en teria n K ehakiniar publik Indonesia, jang dewasa itu berkedudukan di Klaten koti
batannja jang semula jaitu pada umumnja untuk membantu Mentet Menteri-muda dalam segala-galanja dan pada chususnja untuk nt tjangkan undang-undang tentang susunan dan kekuasaan PenfladiU" Indonesia. Pada tanggal 23 Djuli 1947 M r W irjono Prodjadikotl angkat mendjadi anggota Mahkamah A g u n g , sehingga de n ga n J tusan Presiden tanggal 13 Oktober 1952 pertanggungan-djav&ib dj an Ketua dari Badan Pengadilan ja n g T e rtin g g i itu’-di^ertjaj kepadanja. 1
*
PER FAK
34
UNI VERSI TAS INDONESIA ~ 5
PERPUSTAKAAN
TAN G G AL KEM BALI BUKU
1 6 FtB ¿°12
TANGGAL KEM BALI BUKU
Perpustakaan UI
×
Report "HUKUM WARISAN DI INDONESIA"
Your name
Email
Reason
-Select Reason-
Pornographic
Defamatory
Illegal/Unlawful
Spam
Other Terms Of Service Violation
File a copyright complaint
Description
×
Sign In
Email
Password
Remember me
Forgot password?
Sign In
Our partners will collect data and use cookies for ad personalization and measurement.
Learn how we and our ad partner Google, collect and use data
.
Agree & close