HUBUNGAN HARGA DIRI DAN OPTIMISME DENGAN MOTIVASI BELAJAR PADA SISWA MAN MAGUWOHARJO SLEMAN YOGYAKARTA Andjarwati Noordjanah Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Abstrak Motivasi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, sebab motivasi akan mendorong tercapainya cita-cita dan harapan. Khusus bagi siswa-siswa yang masih harus menyelesaikan pendidikan formal, motivasi belajar adalah salah satu alat untuk mewujudkan harapan, impian dan cita-cita. Ada banyak variabel yang bisa mempengaruhi naik turunnya motivasi belajar seseorang. Dari beberapa literatur dan hasil penelitian, variabel harga diri dan optimisme mempunyai hubungan dengan tinggi rendahnya motivasi belajar siswa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara harga diri, optimisme dan motivasi belajar, dengan mengambil subjek penelitian siswa MAN Maguwoharjo Sleman Yogyakarta. Harga diri dan optimisme sebagai variabel bebas dan motivasi belajar sebagai variabel terikat. Metode penelitian menggunakan metode kuantitatif dengan hipotesis yang diajukan adalah pertama, ada hubungan antara harga diri dan optimisme terhadap motivasi belajar, kedua, ada hubungan antara harga diri dengan motivasi belajar dan ketiga, ada hubungan antara optimisme dengan motivasi belajar. Subjek penelitian yang diambil sebanyak 87 siswa dari kelas XI. Alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah skala harga diri, skala optimisme dan skala motivasi belajar. Ketiga skala ini menggunakan model skala likert yang terdiri dari empat alternatif jawaban. Hasil uji regresi menunjukkan koefisien (R) sebesar 0,310, dengan tingkat signifikansi 0,014 (p< 0,05). Karena nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 maka hipotesis pertama diterima. Sedangkan hubungan mandiri antara harga diri dengan motivasi belajar sebesar rxy= 0,253, p= 0,009 (p< 0,05) yang berarti hubungan yang signifikan. Hubungan antara optimisme dengan motivasi belajar juga memiliki hubungan yang signifikan dengan rxy= 0,306 , p= 0,002 (p< 0,05). Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah pertama, ada hubungan antara harga diri dan optimisme dengan motivasi belajar. Kedua, ada hubungan antara harga diri dengan motivasi belajar. Semakin tinggi harga diri siswa semakin tinggi pula motivasi belajarnya. Ketiga, ada hubungan antara optimisme dengan motivasi belajar, semakin tinggi rasa optimisme siswa akan semakin tinggi pula motivasi belajar mereka. Kata Kunci: harga diri, optimisme, motivasi belajar, MAN Maguwoharjo
Pendahuluan Pendidikan di Indonesia perlu penanganan yang sangat serius jika Indonesia ingin memiliki SDM yang berkualitas sehingga dapat bersaing di wilayah global. Kebijakan-kebijakan baru dari Dinas Pendidikan sekarang terus disosialisasikan, seperti Kurikulum baru 2013, ujian sertifikasi Guru, dan berbagai bentuk beasiswa bagi siswa tertentu. Namun salah satu masalah yang dihadapi para siswa adalah motivasi belajar. Hanya sebagian kecil saja siswa-siswa yang memiliki motivasi bagus dan bias mengelolanya sehingga bisa menjadikan itu sebagai alat untuk keberhasilan dalam studinya. Padahal motivasi memegang peranan penting hamper di semua kegiatan manusia. Tanpa motivasi manusia akan kehilangan arah, ibarat kapal di lautan yang kehilangan kompas sehingga tidak pernah bisa mencapai tujuan yang sesungguhnya. Demikian pula siswa, tanpa motivasi belajar – harapan, cita-cita dan impian mereka mustahil akan bisa tercapai. Motivasi bisa datang dari mana saja. Ibarat kata apapun yang ada di sekitar kita bisa menjadi motivasi untuk diri kita termasuk apapun yang kita miliki dalam diri kita. Motivasi dari luar diri dan yang berasal dari dalam diri jika dikelola dengan baik akan menjadi sumbe energy yang kuat untuk meraih tujuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, motivasi adalah usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendaki atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008). Dalam kamus psikologi, motivasi diartikan sebagai suatu variabel yang dapat menimbulkan faktorfaktor tertentu di dalam organisme, yang membangkitkan, mengelola, mempertahankan dan menyalurkan tingkah laku menuju satu sasaran (Chaplin, 2009). Sementara menurut Santrock (2009), motivasi (motivation) melibatkan proses yang memberikan energi, mengarahkan dan mempertahankan perilaku. Perilaku yang termotivasi tersebut adalah perilaku yang mengandung energi, memiliki arah untuk meraih tujuan dan dapat dipertahankan.
Harga Diri Menurut Coopersmith (dalam Kurniawati, 2006), harga diri adalah penilaian yang dilakukan oleh seorang individu terhadap dirinya sendiri karena berkaitan dengan dirinya sendiri. Penilaian tersebut biasanya mencerminkan penerimaan atau penolakan terhadap dirinya dan menunjukkan seberapa jauh individu itu percaya bahwa dirinya mampu akan berhasil, merasa penting, serta berharga. Lerner dan Spanier (1980) mendefinisikan harga diri adalah tingkat penilaian yang positif atau negatif yang dihubungkan dengan konsep diri seseorang. Harga diri
merupakan evaluasi seseorang terhadap dirinya sendiri secara positif dan juga sebaliknya dapat menghargai secara negatif (Ghufron, 2011). Menurut Branden (1987) harga diri merupakan aspek kepribadian yang paling penting dalam proses berpikir, tingkat emosi, keputusan yang diambil, nilai-nilai yang dianut serta penentuan tujuan hidup. Harga diri mencakup dua komponen yaitu perasaan akan kompetensi pribadi dan perasaan akan penghargaan diri pribadi. Seseorang akan menyadari dan menghargai dirinya jika ia mampu menerima diri pribadinya. Sedangkan menurut Ubaydillah (http://e-psikologi.com) harga diri secara bahasa pengertiannya adalah kehormatan-diri. Buss mendefinisikan harga diri sebagai hal yang memiliki dua makna yaitu kecintaan pada diri sendiri (self love) dan percaya diri (self confidence). Kedua makna tersebut terpisah tetapi saling berhubungan. Seseorang bisa menyukai dirinya, namun juga kurang percaya diri khususnya saat berhadapan dengan tugas tertentu. Di sisi yang lain seseorang bisa saja percaya diri tetapi tidak merasa berharga. Harga diri adalah salah satu aspek kepribadian yang merupakan kunci terpenting dalam pembentukan perilaku seseorang, karena hal ini sangat berpengaruh pada proses berpikir , tingkat emosi, keputusan yang diambil pada nilai-nilai dan tujuan hidup seseorang memungkinkan seseorang mampu menikmati dan menghayati kehidupan (Baron & Byrne dalam Ross, 2000). Harga diri juga bisa mempengaruhi prestasi seorang siswa karena keinginan untuk merasa berarti, dihargai dan diakui kemampuan dirinya akan mendorong siswa melakukan usaha bisa berprestasi di bidang akademik maupun non akademik. Prestasi yang berhasil diraihnya akan menaikkan harga dirinya tersebut baik dilingkungan sekolah maupun di lingkungan rumah. Beberapa penelitian yang dikutip dalam tulisan Elizabeth Pamela dan Fidelis E.Waruwu mengatakan bahwa dukungan guru (sekolah) dan orang tua dalam mengembangkan nilai-nilai yang dimiliki oleh anak (siswa) sejak dini sangat dibutuhkan, karena harga diri didasari oleh nilai-nilai yang terdapat pada diri seseorang. Kedekatan dan dukungan sekolah dan orangtua (keluarga) terhadap anak dapat menciptakan suatu lingkungan yang baik sehingga pada akhirnya anak (siswa) akan memiliki harga diri yang tinggi. Harga diri berhasil diperoleh jika individu mendapat dukungan dari orang lain yang menyatakan bahwa ia memiliki kemampuan dan berharga. Oleh sebab itu, remaja (siswa) yang dilaporkan tidak mengalami kenakalan remaja, tidak bertingkah laku buruk di sekolah serta tidak mengkonsumsi berbagai obat terlarang dan alkohol adalah remaja yang memiliki harga diri yang tinggi karena mereka mendapat dukungan dari lingkungannya. Remaja (siswa) yang memiliki partisipasi yang tinggi pada kegiatan di sekolah baik itu kegiatan intra maupun ekstrakulikuler, dapat memberikan keuntungan yang komplek pada perkembangan siswa termasuk perkembangan harga dirinya. Jay dan Wilson (dalam Elizabeth Pamela dan Fidelis E.Waruwu) menyatakan bahwa siswasiswa yang menyediakan waktunya untuk melakukan kegiatan tambahan di sekolah memiliki data statistik sebanyak 49% lebih kurang dari penggunaan obat-obat terlarang dan 37% terhindar dari kehamilan di luar nikah daripada siswa-siswa yang tidak berpartisipasi dalam kegiatan sekolah. Rosenberg (Gilmore, 1974) mengemukakan karakteristik individu yang memiliki harga diri mantap yaitu memiliki kehormatan dan
menghargai diri sendiri seperti apa adanya. Sebaliknya, individu yang memiliki harga diri rendah cenderung memiliki sikap penolakan diri, kurang puas terhadap diri sendiri, dan merasa rendah diri. Individu dengan harga diri yang tinggi mempunyai ciri-ciri di antaranya mampu menghargai dan menghormati dirinya sendiri, cenderung tidak menjadi perfect, mengenali keterbatasannya, dan berharap untuk terus tumbuh. Sebaliknya, individu yang memiliki harga diri rendah mempunyai ciri-ciri cenderung menolak dirinya dan cenderung tidak puas (Frey & Carlock dalam Koentjoro, 1989). Raharjo (2003) menyatakan seseorang yang memiliki harga diri yang tinggi biasanya mempengaruhi dirinya dan melihat dirinya dapat menghadapi dunia yang dihargainya. Sebaliknya, seseorang yang memiliki harga diri rendah biasanya tidak menyukai dirinya, merendahkan dirinya serta menganggap dirinya tidak cakap dalam menghadapi dan menguasai lingkungan. Lebih lanjut Darajat (1985) mengemukakan individu dengan harga diri yang rendah memiliki karateristik merasa rendah diri, lemah, tidak berdaya, malu-malu, benci kepada diri sendiri, patuh, menganggap segala ketidakenakan sebagai sesuatu yang menelan dirinya, tidak berani bertindak serta lekas marah. Berne dan Savary (dalam Pepi, 2006) menyebutkan bahwa orang yang memiliki harga diri yang tinggi adalah orang yang mengenal dirinya sendiri dengan segala keterbatasannya dan merasa tidak malu atas kekurangan yang ada pada dirinya. Kekurangan yang dimiliki adalah sebuah kenyataan yang harus diterima dan bukan sebagai penghambat untuk maju dan berkembang. Harga diri yang tinggi adalah kemampuan individu untuk melihat diri sendiri berharga, berkemampuan, penuh kasih sayang, memiliki bakat-bakat pribadi yang khas serta kepribadian yang berharga dalam hubungannya dengan orang lain. Sebaliknya, individu dengan rasa rendah diri yang menonjol memiliki gambaran negatif pada dirinya, sedikit mengenal dirinya sehingga menghalangi kemampuan untuk menjalin hubungan. Rasa rendah diri dan gambaran diri yang negatif tercermin pada individu yang merasa rendah kemampuan dirinya. Balnadi Sutadipura (1983) menyebutkan bahwa kebutuhan harga diri merupakan kebutuhan seseorang untuk merasakan bahwa dirinya adalah seorang yang patut dihargai dan dihormati sebagai manusia yang baik. Hal senada dikemukakan Abdul Aziz Ahayadi (1994), bahwa kebutuhan harga diri sebagai kebutuhan seseorang untuk dihargai, diperhatikan dan merasa sukses. Dari kedua pendapat di atas dapat dimaknai, bahwa setiap individu normal pasti berharap dan menginginkan dapat merasakan hidup sukses, dihormati dan dihargai sebagai manusia. Pentingnya pemenuhan kebutuhan harga diri individu, khususnya pada kalangan remaja, terkait erat dengan dampak negatif jika mereka tidak memiliki harga diri yang mantap. Mereka akan mengalami kesulitan dalam menampilkan perilaku sosialnya, merasa inferior dan canggung. Namun apabila kebutuhan harga diri mereka dapat terpenuhi secara memadai, kemungkinan mereka akan memperoleh sukses dalam menampilkan perilaku sosialnya, tampil dengan kayakinan diri (self-confidence) dan merasa memiliki nilai dalam lingkungan sosialnya (Jordan et.al dalam Aziz)
Optimisme Optimisme adalah sikap atau pandangan hidup yang memandang hal yang baik dan mengharapkan hasil yang baik saja (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008). Optimis berasal dari bahasa Latin, optimus, yang berarti the best, yang terbaik. Optimis sebagai sebuah isme pandangan metafisik, diperkenalkan oleh Gottfried Willhelm von Leibniz (1646-1716), seorang filsuf dan ahli matematika terkemuka Jerman. Optimisme, menurut Leibniz, adalah suatu doktrin yang menyatakan bahwa dunia sekarang ini adalah dunia yang terbaik dari kemungkinan- kemungkinan yang ada ( the best of all possible worlds) (Seligman, 2002). Pada umumnya optimis dimengerti sebagai keyakinan bahwa apa yang terjadi sekarang adalah baik, dan masa depan akan memberikan harapan yang kita angankan. Meski sedang menghadapi kesulitan, optimis tetap yakin bahwa kesulitan itu baik bagi pengembangan diri, dan di balik itu pasti ada kesempatan untuk mencapai harapan. Winston Churchill pernah berkata, Orang pesimis melihat kesulitan di setiap kesempatan, sedangkan orang optimis melihat kesempatan di setiap kesulitan. Ubaidy (2009) menjelaskan pengertian optimisme yang pertama sebagai doktrin hidup yang mengajarkan kita untuk meyakini adanya kehidupan yang lebih baik. Kedua, optimisme berarti kecenderungan batin untuk merencanakan aksi untuk mencapai hasil yang lebih bagus. Kedua pengertian optimisme tersebut jika digabungkan menjadi keyakinan adanya kehidupan yang lebih baik dan keyakinan itu dijadikan sebagai bekal untuk meraih hasil yang lebih baik. Siswa yang optimis tidak memandang masalah sebagai akhir dari usahanya tetapi justru akan berusaha menyelesaikan dan keluar dari masalah tersebut. Individu (siswa) dengan sifat optimisme yang tinggi cenderung lebih sehat karena memiliki keinginan untuk menjadi orang yang bisa menghasilkan sesuatu, memiliki harapan yang positif. Selain itu individu dengan optimisme tinggi lebih cerdas secara emosi, seperti tidak mudah putus asa, tidak merasa bodoh dan tidak mudah mengalami depresi sehingga ketika mengalami kegagalan akan direspon dengan positif dan lebih memilih untuk mencari jalan keluarnya. ciri-ciri individu yang optimis adalah mereka jarang menderita depresi dan lebih mudah mencapai kesuksesan dalam hidup, memiliki kepercayaan, dapat berubah ke arah yang lebih baik, adanya pemikiran dan kepercayaan mencapai sesuatu yang lebih, dan selalu berjuang dengan kesadaran penuh. McGinnis (dalam El-Anzy) menyatakan orang-orang optimis jarang merasa terkejut oleh kesulitan. Mereka merasa yakin memiliki kekuatan untuk menghilangkan pemikiran negatif, berusaha meningkatkan kekuatan diri, menggunakan pemikiran yang inovatif untuk menggapai kesuksesan, dan berusaha gembira, meskipun tidak dalam kondisi bahagia.
Menurut Scheiver dan Carter (dalam Nurtjahjanti, 2011) individu yang optimis akan berusaha menggapai pengharapan dengan pemikiran positif, yakni akan kelebihan yang dimiliki. Individu yang penuh optimis biasanya biasa bekerja keras menghadapi stres dan tantangan sehari-hari secara efektif, berdoa, dan mengakui adanya faktor keberuntungan dan faktor lain yang mendukung keberhasilannya. Individu yang optimis memiliki impian untuk mencapai tujuan, berjuang dengan sekuat tenaga, dan tidak ingin duduk berdiam diri menanti keberhasilan yang diberikan oleh orang lain. Individu optimis ingin melakukan sendiri segala sesuatunya dan tidak ingin memikirkan keberhasilan sebelum mencobanya.
Metode Variabel Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga diri dan optimisme sebagai variabel bebas. Variabel terikatnya adalah motivasi belajar.
Subjek Subjek dalam penelitian ini adalah siswa MAN Maguwoharjo Sleman Yogyakarta, Subjek peneilitian ini dikhususkan pada seluruh siswa kelas XI tahun ajaran 2010/2011semua jurusan, yaitu jurusan IPA, IPS dan Agama yang sehat jasmani dan rohani. Siswa yang difabel, yaitu tuna netra tidak diikutkan dalam penelitian ini karena keterbatasannya di dalam mencermati setiap pernyataan dalam skala.
Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini berupa kumpulan-kumpulan pernyataan yang ditulis, disusun sedemikian rupa sehingga respon individu terhadap pernyataan tersebut dapat diberi skor kemudian diinterpretasikan (Azwar, 2003). Alat ukur yang digunakan adalah skala. Skala merupakan metode yang cukup baik untuk pengambilan data karena seperangkat pernyataan yang ada dalam skala merupakan pernyataan yang secara logis berhubungan dengan masalah penelitian (Azwar, 2003). Model skala yang digunakan adalah model skala Likert, dengan empat alternatif jawaban, (SS) sangat sesuai, (S) sesuai , (TS) tidak sesuai, (STS) sangat tidak sesuai. Masing-masing skala diharapkan mampu mengungkap aspek yang hendak diukur sebagaimana yang dikehendaki. Penggunaan skala dalam penelitian ini didasari asumsi bahwa subjek adalah yang paling tahu tentang dirinya.
Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Alat ukur penelitian ini menggunakan validitas isi (Contens Validity), yakni alat ukur disusun dengan analisis bahwa seluruh aspek yang hendak diukur telah terungkap melalui aitem. Penyeleksian aitem pada skala didasarkan pada besarnya besarnya koefisien korelasi aitem total. Aitem yang memiliki koefisien korelasi minimal 0,250aitem tersebut dianggap memiliki daya beda yang baik. Koefisien korelasi aitem total pada skala motivasi belajar berkisar antara 0,284 sampai dengan 0,751. Koefisien korelasi aitem total pada skala harga diri berkisar antara 0,257 sampai dengan 0,653. Koefisien korelasi aitem total pada skala optimisme berkisar antara 0,374 sampai dengan 0,801. Uji reliabilitas skala menggunakan tehnik Alpha Cronbach, skala motivasi belajar memiliki koefisien alpha sebesar 0,889, skala harga diri memiliki koefisien alpha sebesar 0,876 dan skala optimisme memiliki koefisien alpha sebesar 0,949. Dengan demikian ketiga skala penelitian ini layak digunakan untuk mengungkap data.
Analisa Data dan Pembahasan Data yang terkumpul dianalisis lebih lanjut, hasil analisis data dapat dideskripsikan sebagai berikut Tabel 1: Rentang Nilai dan Kategorisasi Skor Subjek Variabel Motivasi Belajar Variabel Motivasi Belajar
Skor
Jumlah Subjek
Persentase
Kategori
X ≤ 31,5
15
17,24
Sangat Rendah
31,5<X≤40,5 40,5<X≤49,5 49,5<X≤58,5 58,5 < X
35 31 6 0
40,23 35,63 6,96 0
Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Tabel 2: Rentang Nilai dan Kategorisasi Skor Subjek Variabel Harga Diri
Variabel Harga Diri
Skor
Jumlah Subjek
Persentase
Kategori
X ≤ 26,25
-
0
Sangat Rendah
26,25<X≤ 33,75 33,75<X ≤41,25 41,25<X ≤48,75 48,75 < X
2 25 40 20
2,38 28,74 45,98 22,99
Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Tabel 3: Rentang Nilai dan Kategorisasi Skor Subjek Variabel Optimisme Variabel Optimisme
Skor
Jml. Subjek Persentase
Kategori
X ≤ 45,5
1
1,15
Sangat Rendah
45,5< X ≤ 58,5 58,5< X ≤ 71,5 71,5<X ≤84,5 84,5 < X
32 54
0 0 36,78 62,07
Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Uji Asumsi Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu perlu dilakukan uji asumsi terhadap data yang telah dikumpulkan. Uji asumsi yang digunakan adalah uji normalitas sebaran dan uji linieritas hubungan antara ketiga variabel penelitian. a. Uji Normalitas Analisis uji normalitas diketahui sebaran skor ketiga variabel dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4: Hasil Uji Normalitas Sebaran Variabel Motivasi Belajar, Harga Diri dan Optimisme Variabel Motivasi Belajar Harga Diri Optimisme
Skor KS-Z 0,515 0,606 0,822
Sig 0,95 0,86 0,51
Bentuk Normal Normal Normal
b. Uji Linieritas Uji linieritas bertujuan untuk melihat apakah dari sebaran titik-titik yang merupakan nilai dari variabel-variabel penelitian dapat ditarik garis lurus yang menunjukkan sebuah hubungan linier antara variabel tersebut. Adanya hubungan yang linier dapat dilihat dari indeks linierity, apabila p<0,05 maka hubungan antara ketiga
variabel adalah linier. Hasil pengujian menunjukan uji linieritas variabel harga diri dengan variabel motivasi belajar mempunyai nilai F lineritas sebesar 6,044 dan nilai p = 0,017 (p< 0,05) karena nilai p lebih kecil dari 0,05 hubungan kedua variabel tersebut linier. Analisis kedua, yaitu hubungan antara variabel optimisme dengan variabel motivasi belajar menghasilkan F linieritas sebesar 9,550 dengan nilai p= 0,003(p<0,05), artinya hubungan kedua variabel tersebut linier. Hasil analisis data tersebut menunjukkan adanya hubungan yang linier antara variabel harga diri dan optimisme dengan variabel motivasi belajar. Uji Hipotesis Pernyataan hipotesis pertama bahwa ada hubungan secara bersama-sama antara harga diri dan optimisme dengan motivasi belajar. Hasil analisis dua prediktor diperoleh nilai R = 0,310 R squere= 0,075, F= 4,464 dan p= 0,014 (p< 0,05), berarti hipotesa diterima. Dengan kata lain ada hubungan antara variabel harga diri dan optimisme dengan motivasi belajar pada siswa MAN Maguwoharjo. Hipotesis kedua yaitu ada hubungan yang positif antara harga diri dengan motivasi belajar siswa MAN Maguwoharjo Sleman Yogyakarta diperoleh data r parsial = 0,253 dan p= 0,049 (p< 0,05), hipotesa diterima. Dengan kata lain sumbangan harga diri cukup signifikan terhadap motivasi belajar subjek. Hipotesis ketiga bahwa ada hubungan yang positif antara variabel optimisme terhadap motivasi belajar subjek. Hasil uji korelasi parsial menunjukkan ada hubungan yang positif antara optimisme dan motivasi belajar dengan r parsial= 0,306 dan p= 0,18 (p< 0,05) sehingga hipotesis diterima. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara optimisme dengan motivasi belajar siswa pada taraf signifikansi 0,05. Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel harga diri dan optimisme dengan variabel motivasi belajar siswa MAN Maguwoharjo Sleman Yogyakarta. Hipotesis pertama yang menyebutkan bahwa ada hubungan harga diri dan optimisme secara bersama terhadap motivasi belajar pada siswa MAN Maguwoharjo Yogyakarta dapat dibuktikan dengan diperoleh nilai R= 0,310 dan angka p= 0,014 (p< 0.05). Berarti bahwa berdasarkan hasil regresi ganda hipotesis diterima karena ditemukan ada hubungan antara harga diri dan optimisme terhadap motivasi belajar subjek. Berdasarkan hasil analisis diperoleh R square (R2)= 0,096. Hal ini menunjukkan bahwa variabel harga diri dan optimisme memberikan sumbangan sebesar 9,6% dalam mempengaruhi variabel motivasi belajar. Sisanya, 90.4% merupakan pengaruh faktorfaktor lain seperti yang diungkapkan oleh Syah (2001) yaitu faktor internal (berasal dari dalam diri individu) yakni keadaan atau kondisi fisik dan jiwa individu. Salah satu contoh faktor kondisi jiwa adalah harga diri dan rasa optimisme siswa. Faktor eksternal (berasal dari luar individu) yakni kondisi lingkungan di sekitar anak. Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran. Suryabrata (2004) mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi belajar antara lain faktor eksternal yaitu faktor dari luar individu yang dibagi lagi
menjadi dua, antara lain 1) faktor sosial meliputi faktor manusia lain, baik hadir secara langsung atau tidak langsung, 2) faktor non sosial yang meliputi keadaan udara, suhu udara, cuaca, waktu, tempat belajar, dan lain-lain. Faktor internal yaitu faktor dari dalam diri individu yang dibagi juga menjadi dua yaitu 1) faktor fisiologis meliputi keadaan jasmani dan keadaan fungsi-fungsi fisiologis, 2) faktor psikologis yang meliputi minat, kecerdasan dan persepsi. Harga diri dan optimisme memberi sumbangan yang berarti pada motivasi belajar karena di dalam harga diri ada unsur kebutuhan akan pengakuan terhadap kemampuan dan prestasi baik dari diri sendiri maupun dari lingkungan. Seorang siswa dengan motivasi belajar yang tinggi dan berhasil mendapatkan prestasi yang bagus di sekolahnya dia akan mendapatkan pengakuan dan dikenal oleh lingkungannya bahwa dirinya mampu berprestasi, otomatis harga dirinya akan naik. Sementara optimisme akan memberi pengaruh positif ke dalam pikiran seseorang, bahwa dirinya akan melakukan usaha belajar sebaik-baiknya dan yakin akan adanya hasil yang terbaik karena dilakukan dengan maksimal. Jika di dalam usaha tersebut ada hambatan akan ada kemauan yang kuat untuk menyelesaikan masalah tersebut tidak sampai berlarutlarut. Hal ini sesuai dengan teori Seligman (dalam Ghufron, 2011) yang mengatakan bahwa optimisme adalah suatu pandangan yang menyeluruh, melihat hal yang baik, berpikir positif dan mudah memberi makna bagi diri. Individu yang optimis mampu menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari yang telah lalu, tidak takut pada kegagalan dan berusaha untuk tetap bangkit mencoba kembali bila gagal. Hasil analisis kedua yang menyatakan bahwa ada hubungan positif antara harga diri dengan motivasi belajar dapat dilihat dari besaran koefisien korelasi (r) = 0,253 dengan p = 0,009 (p< 0,05). Artinya bahwa hipotesis yang menyatakan ada hubungan yang positif antara harga diri dengan motivasi belajar diterima. Rasa optimisme dan harga diri yang tinggi dari siswa sangat mempengaruhi siswa di dalam upayanya meraih prestasi akademik. Siswa yang memiliki dorongan rasa optimis akan lebih baik prestasi akademiknya dibanding mereka yang pesimis. Demikian juga dengan harga diri, harga diri yang tinggi akan mendorong siswa meraih prestasi akademik yang lebih bagus. Tidak jauh berbeda dengan penelitian ini, harga diri dan optimisme yang tinggi akan memberi pengaruh pada motivasi belajar siswa. Hasil penelitian ini juga sesuai teori Maslow (dalam Kurniawati, 2006) yang mengatakan bahwa individu dengan harga diri yang tinggi akan dapat mengaktualisasikan potensi dirinya. Jika dia seorang siswa dengan harga diri yang tinggi berarti dia akan siap mengaktualisasikan potensi yang dimiliki baik itu potensi akademik maupun prestasi lain yang dimilikinya. Siswa dengan harga diri yang tinggi akan termotivasi untuk meningkatkan belajar dan prestasinya. Menurut Koswara (1989) dalam motivasi terkandung adanya dorongan, keinginan yang mengaktifkan, menggerakkan, menyalurkan dan mengarahkan sikap dan perilaku individu belajar. Ada tiga komponen utama dalam motivasi, 1) kebutuhan, 2) dorongan, 3) tujuan. Harga diri termasuk di dalam komponen motivasi tersebut, karena siswa memiliki kebutuhan akan pengakuan diri dan lingkungannya maka ia akan termotivasi untuk belajar lebih baik. Hasil analisis ketiga yang menyatakan bahwa ada hubungan yang positif antara optimisme terhadap motivasi belajar, dapat dilihat dari koefisien korelasi (r) antara variabel optimisme dengan motivasi belajar sebesar 0,306 dengan p= 0,002 (p< 0,05).
Artinya hipotesa yang menyatakan ada hubungan positif antara variabel optimisme dengan motivasi belajar diterima. Bahwa optimisme yang tinggi sudah pasti akan mempengaruhi dorongan atau upaya dari dalam diri seseorang untuk lebih berhasil, meraih apa yang menjadi cita-citanya. Diperkuat dengan pendapat Ubaidy (2009), yaitu harapan yang baik akan memunculkan energi dorongan yang baik pula. Orang dengan optimisme yang kuat biasanya punya perlawanan yang kuat untuk menyelesaikan masalah. Sebaliknya, orang yang pesimis biasanya punya tingkat perlawanan yang lebih lemah, cenderung lebih mudah menyerah pada realita ketimbang memperjuangkannya. Dengan kata lain tidak memiliki motivasi. Safaria (2007) menyebutkan ciri-ciri individu yang memiliki sikap optimisme yang tinggi yaitu tetap memiliki semangat juang yang tinggi bila menghadapi masalah, memiliki prestasi bagus di bidang olahraga, memiliki prestasi akademik yang tinggi, lebih bahagia dan puas dalam hubungan sosial, lebih cepat pulih dari emosi negatif dan depresi, dan lebih sehat secara fisik dan mental. Ciri-ciri tersebut berhubungan langsung dengan motivasi seseorang terutama motivasi yang datang dari dalam diri. Rasa optimisme yang tinggi akan berimbas terhadap timbulnya motivasi. Dengan motivasi, diharapkan setiap pekerjaan yang dilakukan diselesaikan secara efektif dan efesien, sebab motivasi akan menciptakan kemauan untuk belajar secara teratur, oleh karena itu siswa harus dapat memanfaatkan setuasi dengan sebaik-baiknya. Banyak siswa yang belajar tetapi hasilnya kurang sesuai dengan yang diharapkan, sebab itu diperlukan jiwa motivasi, dengan motivasi seorang siswa akan mempunyai cara belajar dengan baik.. Individu yang memiliki optimisme yang tinggi akan berusaha untuk melawan hambatan yang ada, salah satunya dengan berpikir positif; melihat segala sesuatu dari sisi baiknya dan memandang bahwa setiap masalah pasti memiliki jalan keluar, sehingga muncul dari dalam diri individu suatu keyakinan yang mempercayai adanya kehidupan yang lebih baik. Keyakinan ini dijadikan sebagai dorongan yang dapat mengarahkan individu untuk berperilaku lebih baik dan terbuka pada setiap pengalaman hidupnya. Harga diri, optimisme dan motivasi belajar bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir tetapi bisa dipelajari oleh individu baik dari lingkungan sosialnya seperti keluarga, masyarakat dan sekolah maupun dari pengalaman sepanjang masa hidupnya. Maka dari itu untuk bisa menumbuhkan harga diri, optimisme dan motivasi banyak jalan yang bisa dilakukan. Salah satu usaha yang dilakukan sekolah akhir-akhir ini adalah dengan mengadakan pelatihan-pelatihan yang sifatnya memotivasi, dengan maksud untuk bisa menumbuhkan rasa optimisme, semangat, rasa percaya diri, keyakinan diri, dll. dalam diri siswa. Khususnya mereka yang akan menghadapi ujian nasional. Bahkan yang terbaru sekarang ini sekolah mengadakan pelatihan tersebut ditujukan untuk siswasiswa yang baru diterima. Diharapkan mereka lebih memiliki rasa percaya diri yang tinggi, memiliki keyakinan akan berhasil, sadar akan kemampuan bisa mencapai prestasi, termotivasi untuk sekolah dan belajar. Pelatihan seperti itu selayaknya didukung karena akan banyak membantu siswa untuk lebih yakin akan dirinya, yakin akan potensi yang dimiliki. Apalagi sekarang sedang ramainya terjadi tawuran di kalangan siswa hingga jatuh korban jiwa dari kalangan siswa. Seperti halnya yang dilakukan Elizabeth Pamela dan Fidelis E. Waruwu (2006) yang melakukan penelitian tentang efektivitas LVEP (Living Values: An Educational Program) dalam meningkatkan harga diri remaja akhir. LVEP adalah sebuah program yang dapat membantu remaja
untuk bisa menemukan nilai-nilainya. Melalui program ini, remaja dibantu untuk menyadari akan nilai-nilai positif yang dimilikinya sehingga pada akhirnya remaja dapat lebih menghargai dirinya sendiri.. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Rini Lestari (2003) dengan judul pelatihan berpikir optimis untuk meingkatkan harga diri pada pelacur yang tinggal di panti dan di luar panti sosial. Tujuan penelitian ini senada dengan penelitian sebelumnya yaitu untuk menemukan nilai-nilai positif dalam diri pelacur sehingga mereka merasa masih berguna dan berharga. Pelatihan motivasi yang diberikan para motivator juga sangat membantu siswa dalam menumbuhkan semangat untuk belajar. Para motivator seperti Ginanjar, Mario Teguh, Hari Wongso sangat ahli di dalam menularkan virus positif yaitu semangat keberhasilan, keyakinan kepada para pendengarnya. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.Terdapat hubungan antara harga diri dan optimisme dengan motivasi belajar siswa MAN Maguwoharjo Sleman Yogyakarta. Tinggi rendahnya motivasi belajar subjek ada kaitannya atau dipengaruhi oleh variabel harga diri dan optimisme. Hubungan yang signifikan mengindikasikan bahwa tinggi rendahnya motivasi belajar subjek dalam penelitian ini dipengaruhi oleh tinggi rendahnya harga diri dan optimisme subjek yang bersangkutan. 2.Terdapat hubungan antara harga diri dengan motivasi belajar siswa MAN Maguwoharjo Sleman Yogyakarta. Tinggi rendahnya motivasi belajar subjek dipengaruhi oleh tinggi rendahnya harga diri mereka. Semakin tinggi harga diri siswa semakin tinggi pula motivasi belajar mereka, sebaliknya rendah harga diri siswa maka rendah pula motivasi belajarnya. 3. Ada hubungan antara optimisme terhadap motivasi belajar siswa MAN Maguwoharjo Sleman Yogyakarta. Semakin tinggi optimisme siswa semakin tinggi pula motivasi belajar mereka. Sebaliknya semakin rendah rasa optimisme mereka akan rendah pula motivasi belajarnya. Saran 1. Saran untuk subjek penelitian. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan adanya kecenderungan motivasi belajar siswa MAN Maguwoharjo Sleman Yogyakarta dalam kisaran sedang, rendah dan sangat rendah. Hanya beberapa siswa saja yang memiliki motivasi belajar yang tinggi. Diharapkan siswa MAN Maguwoharjo Sleman untuk berusaha terus meningkatkan motivasi belajar,mereka. Salah satunya dengan memaksimalkan kegiatan-kegiatan akademik baik yang diprogramkan sekolah maupun yang diupayakan sendiri seperti mengikuti les tambahan di luar sekolah, seperti les privat atau bimbingan belajar. 2. Saran bagi Guru. Guru diharapkan lebih dapat mengarahkan dan memperhatikan siswa. Guru lebih dekat dengan siswa, dan tahu akan kebutuhan siswa terutama mereka yang bermasalah dengan kepribadian. Dengan demikian siswa yang bermasalah bisa cepat teratasi, siswa yang lain juga lebih bisa mengaktualisasikan dirinya dalam tindakan, lebih giat belajar, meningkatkan ketekunan dan keululetan diri untuk bisa berprestasi di sekolah.
3. Saran untuk pihak sekolah. Sekolah bisa mengadakan pelatihan yang berhubungan dengan motivasi, harga diri dan optimisme juga aspek lainnya, agar siswa bisa lebih menumbuhkan keyakinan diri, kemampuan dan rasa berharga dirinya. Dengan demikian siswa akan lebih memiliki rasa percaya diri dan siap menghadapi kesulitan-kesulitan yang mereka temui dalam proses belajar di sekolah. Dengan kematangan pribadi, siswa akan memiliki bekal dalam menentukan masa depannya. Selain itu, sebaiknya sekolah lebih memperhatikan sarana dan prasarana yang menunjang kualitas proses pembelajaran, dan memberi bekal ketrampilan, pengembangan bakat dan minat siswa melalui program ekstrakulikuler sekolah. 4. Saran bagi peneliti selanjutnya dapat mencari variabel lain yang bisa mempengaruhi motivasi belajar selain harga diri dan optimisme. Seperti variabel prokrastinasi akademik, control diri, kecerdasan emosi, factor ekonomi, jenis kelamin,dll. Disamping itu skala harga diri, optimisme, dan motivasi beajar lebih dikembangkan lagi agar diperoleh hasil penelitian yang lebih baik lagi. DAFTAR PUSTAKA Azies, A. (1994) Harga Diri Sebagai Prediktor Tingkat Konformitas Remaja Terhadap Kelompok Sebaya. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Azwar, S. (2010). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Azwar,S. (2010). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Branden, N. (1973). The Psychology of Self Esteem. San Fransisco: W.H. Freeman and Company. Chaplin, J.P. (2009). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo. Daradjat, Z (1985). Problem Remaja di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang. El-Anzi, F.O. (2005) Academik Achievement And its Relationship With Anxiaty, SelfEsteem, Optimisme and Pessimism In Kuwaiti Students. Social Behavior and Personality. Volume 33. No. 1. 95-103. Ghufron, M.N & Rini R.S. (2011). Teori-teori Psikologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Kamus Besar Bahasa Indonesia.(2008). Jakarta: pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Koentjoro (1989). ”Perbedaan Harga Diri Remaja di Daerah Miskin Penghasil Pelacur dan Bukan Pelacur.” Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Kurniawati, A. (2004), Hubungan Antara Harga Diri dan Dukungan Sosial Dengan Sikap Konsumtif Pada Remaja. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Nurtjahjanti.H.& Ratnaningsih.I.Z. (2011). Hubungan Kepribadian Hardiness dengan Optimisme Pada Calon Tenaga Kerja Indonesia (CTKI) Wanita di BLKLN DISNAKERTRANS Jawa Tengah. Jurnal Psikologi Undip vol.10, No.2. Pamela, E. & Waruwu, F.E. (2006) Efektivitas LVEP (Living Values: An Aducational Program) Dalam Meningkatkan Harga Diri Remaja Akhir. Jurnal Provitae. Volume 2. No 1. 13-24. Pepi, A, Luisa,F and Alesi,M. (2006). “Personal Conceptions of Intelligences, Self Esteem and School Achievement in Italian and Portuguese Students.” Journal Pro Quest, Winter, 41, 164 Raharjo, B.H. (2003). ”Prasangka Etnis Ditinjau dari Harga Diri pada Remaja Pribumi dan Non Pribumi.” Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Ross, E.C. and Beckett B.A. (2000). “The Roles of Self Esteem and the Sense of Personal Control in the Academic Achievement Process.” Journal Sociology of Education. Volume 73. No.4. 270-284. Safaria.T. (2007). Optimistic Quotient: Menanam dan Menumbuhkan Sikap Optimisme Pada Anak. Yogyakarta: Pyramid Publisher. Santrock, J.W. (2009). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Salemba Humanika. Seligman. M.E.P.(2008). Menginstal Optimisme. Bandung: PT. Karya Kita. Suryabrata, S. (2004) Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Syah, M. (2001) Psikologi Belajar. Jakarta: Logos. Ubaedy. AN. (2009). Optimis Kunci Meraih Sukses. Jakarta: PT. Prespektif Media Komunika. Ubaedy, 17 September 2011. http://e-psikologi.com.