HUBUNGAN ANTARA KONTRIBUSI EKONOMI PEREMPUAN DAN POLA PENGELUARAN DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN KELUARGA PADA KELUARGA TENAGA KERJA WANITA (TKW)
AYUNDA WINDYASTUTI SAVITRI
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT AYUNDA WINDYASTUTI SAVITRI. The Relationship between Women’s Economic Contribution, Spending Patterns and the Level of Family Well-Being on the Women’s Migrant Worker (TKW). Supervised by HERIEN PUSPITAWATI. The aimed of this research was to determine the relationship between women’s economic contribution, family expenditure patterns and family well-being on women’s migrant worker (TKW) at Padaasih Village, Cisaat Subdistrict, Sukabumi District. Research location was selected purposively based on the highest number of women migrsnt worker (TKW) from Cisaat Subdistrict. This research carried out from June until July 2011. Sixty spouses of the female labor were selected using snowball technique. The result showed that wife become women migrant worker give economic contribution to family’s income. The percentage of family’s non food expenditure was greater than food expenditure. It indicated that the families weren’t prosperous under the category of BPS. The levels of subjective well-being of families in category is medium. There is no relationship between family characteristic with women’s economic contribution and family expenditure, between women’s economic contribution with family expenditure patterns. There is no relationship between family characteristic, the women’s economic contribution and families expenditure with the level of subjective well-being of their families. This research figures that husband’s education had a relationship with physically subjective well-being and also husband’s age with physcology subjective well-being. Key words: women migrant worker (TKW), women’s economic contribution, expenditure patterns, and family subjective well-being ABSTRAK AYUNDA WINDYASTUTI SAVITRI. Hubungan antara Kontribusi Ekonomi Perempuan dan Pola Pengeluaran dengan Tingkat Kesejahteraan Keluarga pada Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW). Dibimbing oleh HERIEN PUSPITAWATI. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan hubungan antara kontribusi ekonomi perempuan dan pola pengeluaran keluarga dengan kesejahteraan keluarga pada keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Desa Paaasih, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi. Lokasi penelitian dipilih secara purposive berdasarkan jumlah terbanyak pengirim TKW dari Kecamatan Cisaat. Penelitian ini dilakukan sejak Juni hingga Juli 2011. Sebanyak 60 suami TKW dipilih menggunakan teknik snowball. Hasil penelitian menunjukkan bahwa istri berkontribusi terhadap pendapatan keluarga. Persentase pengeluaran non pangan keluarga lebih besar dibandingkan pengeluaran pangan yang mana hal ini mengindikasikan keluarga masih tergolong tidak sejahtera dilihat dari Garis Kemiskinan BPS. Tingkat kesejahteraan keluarga subjektif berada pada kategori sedang. Tidak terdapat hubungan nyata antara karakeristik contoh dengan kontribusi ekonomi istri dan pengeluaran total keluarga, kontribusi ekonomi istri dengan pola pengeluaran keluarga. Tidak terdapat hubungan nyata antara karakteristik keluarga, kontribusi ekonomi istri, dan pengeluaran keluarga tidak berhubungan dengan kesejahteraan subjektif. Penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan nyata antara pendidikan suami dengan kesejahteraan subjektif fisik dan juga umur suami dengan kesejahteraan subjektif psikologis. Kata kunci: tenaga kerja wanita (TKW), kontribusi ekonomi perempuan, pola pengeluaran, dan kesejahteraan subjektif keluarga.
Ringkasan AYUNDA WINDYASTUTI SAVITRI. Hubungan antara Kontribusi Ekonomi Perempuan dan Pola Pengeluaran dengan Tingkat Kesejahteraan Keluarga pada Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW). Dibimbing oleh HERIEN PUSPITAWATI. Kemiskinan dan pengangguran merupakan satu kesatuan yang saling memengaruhi. Peningkatan jumlah pengangguran akan mempengaruhi penurunan daya beli keluarga karena jumlah pendapatan yang diterima rendah sedangkan kebutuhan yang harus dipenuhi tidak terbatas. Keadaan tersebut akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga. Kesejahteraan keluarga dapat diukur melalui pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan. Seseorang yang berpenghasilan rendah biasanya akan membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan pangan. Oleh sebab itu, untuk dapat memenuhi kebutuhan dan meningkatkan daya beli keluarga maka tidak jarang anggota keluarga lainnya dituntut untuk bekerja. Seringkali istri atau ibu rumah tangga harus berpartisipasi bekerja di sektor publik. Salah satunya dengan menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang bekerja di luar negeri. Secara umum penelitan ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kontribusi ekonomi perempuan dan pola pengeluaran dengan tingkat kesejahteraan keluarga pada keluarga tenaga kerja wanita (TKW). Adapun yang menjadi tujuan khusus adalah: (1) Mengidentifikasi karakteristik sosial dan ekonomi suami dan keluarganya, (2) Mengidentifikasi alokasi pengeluaran keluarga yang terdiri dari pengeluaran pangan, pengeluaran non pangan, pengeluaran khusus suami, dan hutang terhadap kesejahteraan keluarga, baik yang berasal dari penghasilan TKW maupun dari lainnya, (3) Menganalisis kesejahteraan keluarga TKW, dan (4) Menganalisis hubungan antar variabel penelitian. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional dan retrospektif. Lokasi penelitian dipilih secara purposive di Desa Padaasih, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Teknik pengambilan contoh dalam penelitian ini menggunakan snowball sampling. Jumlah contoh pada penelitian ini sebanyak 60 orang dengan kriteria suami yang istrinya secara sedang menjadi TKW selama minimal enam bulan dan memiliki anak di bawah usia 18 tahun. Pengambilan data dilakukan sejak bulan Juni hingga Juli 2011. Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuisioner terstruktur yang meliputi: (1) Karakteristik istri (umur, pendidikan, pekerjaan, dan riwayat menjadi TKW), (2) Karakteristik suami dan keluarga (umur, pendidikan, pekerjaan, dan besaran keluarga), (3) Kontribusi ekonomi TKW terhadap pendapatan total keluarga, (4) Pola pengeluaran keluarga (pangan, non pangan, aset, pengeluaran khusus suami, dan hutang), dan (5) Kesejahteraan keluarga subjektif dan objektif. Sementara itu, untuk data sekunder diperoleh dari kondisi sosial ekonomi Kabupaten Sukabumi, data penduduk dari Kantor Desa dan instansi terkait di Kabupaten Sukabumi, dan jumlah TKW diperoleh dari BPS serta Disnakertrans Kabupaten Sukabumi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suami (50,0%) dan istri (90,0%) termasuk dalam usia dewasa awal (18-40 tahun). Persentase terbesar suami (68,3%) dan istri (60,0%) menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SD. Persentase pekerjaan istri sebelum TKW sebagai ibu rumah tangga (95,2%). Berdasarkan besar keluarga sebagian besar keluarga (85,0%) termasuk keluarga kecil (≤4 orang). Persentase terbesar lama istri bekerja sebagai TKW di luar negeri adalah 1-2 tahun (48,3%). Kurang dari separuh istri menjadi TKW
sebanyak dua kali (36,7%). Negara tujuan terbesar TKW bekerja di luar negeri yaitu Arab Saudi (93,3%). Rata-rata pendapatan total keluarga sebelum TKW sebesar Rp 1.467.050,00 per bulan sedangkan saat TKW menjadi Rp 2.799.615,50 per bulan. Adapun sebanyak 26,7 persen istri memiliki kontribusi terhadap total pendapatan keluarga antara 21,0 persen hingga 40,0 persen. Rata-rata pengeluaran per kapita sebesar Rp 319.131,00 yang terdiri pengeluaran per kapita rata-rata pangan Rp 201.119,00 per bulan, pengeluaran rata-rata non pangan Rp 118.011,00 per bulan, dan rata-rata pengeluaran khusus suami Rp 184.706,67 per bulan. Pengeluaran per kapita pangan keluarga terbesar adalah kurang dari Rp 185.335,00 (50,0%) dan pengeluaran non pangan per kapita juga kurang dari Rp 185.335,00 sebanyak 80,0 persen. Sedangkan persentase pengeluaran terbesar suami adalah untuk rokok sebanyak 34,4 persen dengan rata-rata pengeluaran Rp 184.706,67 per bulan. Persentase pengeluaran non pangan (51,2%) lebih besar dibandingkan dengan persentase pengeluaran pangan (48,8%). Selain itu rata-rata hutang keluarga sebesar Rp 33.333,33. Sebanyak 45,9 persen suami sebelum istri menjadi TKW telah memiliki hutang kepada saudara. Kesejahteraan subjektif merupakan pengukuran tingkat kepuasan dan kebahagiaan seseorang secara subjektif terhadap keadaan yang dirasakan (perceived) oleh suami meliputi kesejahteraan fisik, ekonomi, sosial, dan psikologis. Perentase terbesar suami (51,7%) berada pada kategori tingkat kesejahteraan subjektif sedang. Adapun kesejahteraan subjektif suami yang termasuk kategori kurang adalah kesejahteraan sosial (56,7%) dan psikologis (73,3%), sedangkan yang termasuk kategori sedang adalah kesejahteraan fisik (50,0%) dan ekonomi (43,3%). Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan nyata antara karakteristik contoh dengan kontribusi ekonomi istri dan pengeluaran total keluarga serta kontribusi ekonomi istri dengan pola pengeluaran keluarga. Selain itu karakteristik contoh, kontribusi ekonomi istri, dan pola pengeluaran keluarga tidak memiliki hubungan nyata dengan kesejahteraan subjektif. Sementara itu, hasil korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif nyata antara pendidikan suami dengan kesejahteraan subjektif dimensi fisik. Selanjutnya umur suami berhubungan nyata dengan kesejahteraan subjektif dimensi psikologis. Sebagai saran diharapkan lembaga-lembaga terkait setempat mengadakan penyuluhan rutin mengenai manajemen keuangan keluarga yang baik kepada suami agar dapat mengelola keuangan yang ada dengan lebih baik, tidak konsumtif, dan dapat tercukupinya kebutuhan keluarga tanpa harus berhutang, serta keluarga dapat menyisihkan sisa pendapatan untuk ditabung. Selain itu, diharapkan instansi-instansi terkait di daerah seperti LSM atau aparat desa dapat menyediakan lapangan kerja atau memberikan pelatihan keterampilan kepada perempuan-perempuan usia produktif agar dapat membuka usaha kecil yang menyaring sumberdaya manusia, khususnya perempuan di desa. Hal ini diperlukan untuk menekan jumlah perempuan yang menjadi TKW agar perempuan dapat menjalani peran domestik sebagai istri dan ibu bagi anakanaknya sambil bekerja sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga subjektif. Kata Kunci: Tenaga Kerja Wanita (TKW), Kontribusi Ekonomi Perempuan, Pola Pengeluaran, dan Kesejahteraan Keluarga
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Hubungan Kontribusi Ekonomi Perempuan, Pola Pengeluaran dan Tingkat Kesejahteraan Keluarga pada Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Desa Padaasih, Cisaat, Sukabumi, Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, November 2011
Ayunda Windyastuti Savitri NIM I24070063
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
HUBUNGAN ANTARA KONTRIBUSI EKONOMI PEREMPUAN DAN POLA PENGELUARAN DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN KELUARGA PADA KELUARGA TENAGA KERJA WANITA (TKW)
AYUNDA WINDYASTUTI SAVITRI
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul
:
Nama NRP
: :
Hubungan antara Kontribusi Ekonomi Perempuan dan Pola Pengeluaran dengan Tingkat Kesejahteraan Keluarga pada Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW) Ayunda Windyastuti Savitri I24070063
Menyetujui,
Dr. Ir. Herien Puspitawati, M. Sc, M. Sc Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Tanggal Ujian: 4 November 2011
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan antara Kontribusi Ekonomi Perempuan dan Pola Pengeluaran dengan Kesejahteraan Keluarga pada Keluarga TKW” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih, baik kepada pihak yang secara langsung maupun tidak langsung, telah membantu, penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh sebab itu pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan saran, bimbingan, pengarahan, dan ilmu pengetahuan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
2.
Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik dan dosen penguji sidang akhir skripsi yang telah banyak memberikan saran, bimbingan, dukungan dan arahan kepada penulis untuk penyempurnaan skripsi ini.
3.
Alfiasari, SP, M.Si selaku dosen pemandu seminar hasil dan dosen penguji sidang akhir skripsi untuk saran yang telah diberikan kepada penulis untuk penyerpurnaan skripsi ini.
4.
Seluruh dosen dan staf Departeman Ilmu Keluarga dan Konsumen atas bimbingan, bantuan, dukungan, kerjasama dan arahannya selama penulis menjadi mahasiswa Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, IPB.
5.
Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu periode 2004-2009 atas saran, diskusi, dan dorongan semangat yang diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
6.
Kedua orangtua penulis (almh) mama tercinta, Dr. Ir. Mita Wahyuni, M.Sc dan papa Prof. Dr. Ir. Made Astawan, M.Sc, serta keluarga besar penulis yang tak hentihentinya memberikan doa dan dukungan dengan tulus serta penuh kasih sayang kepada penulis agar penulis dapat dengan lancar menyelesaikan skripsi ini.
7.
Teman seperjuangan Atirah, Fauziah Fajrin, Latifatul Hayati, dan Novi Puspitasari yang selalu bersedia berbagi kesulitan serta memberikan masukan, semangat, dan dukungan selama bimbingan bersama dalam melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi.
8.
Teman-teman dan sahabat-sahabat IKK 44 (Khaerunnisa, Tri Yulianti, Arisa Widiastuti, Metha Djuwita, Nadia Tiara Putri, Elma Nora, Umu Rosidah, Herti Herniati, dan Agus Surachman) yang selalu membantu, mendorong, dan menyemangati, serta kebersamaan yang sangat indah selama ini. Selain itu temanteman KPM 44 (Hirma Azzaqiya dan Tri Marlitha), Ayu Santika, Reza Bachmid, Fikri
Syafri Utsman, Khairunnisa Nurulfirdausi, Ghea Cader, dan Kareem atas bantuan dan masukan kepada penulis selama penyusunan skripsi. 9.
Aparat Desa Padaasih dan seluruh responden dalam penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas kerjasama dan bersedia memberikan informasi serta bantuan selama proses pengambilan data.
10. Terakhir kepada seluruh pihak, sahabat, kakak, adik, dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas dukungan, dorongan, semangat, kekompakan, dan kebersamaannya selama ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan penelitian ini. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan segala informasi yang terdapat di dalamnya.
Bogor, November 2011
Ayunda Windyastuti Savitri
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI............................................................................................... ix DAFTAR TABEL........................................................................................ xi DAFTAR GAMBAR.................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. xiii PENDAHULUAN........................................................................................ 1 Latar Belakang............................................................................... 1 Perumusan Masalah...................................................................... 3 Tujuan............................................................................................ 6 Manfaat Penelitian......................................................................... 7 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... Pendekatan Teori Keluarga........................................................... Teori Gender.................................................................................. Kesejahteraan Keluarga.................................................................
9 9 12 22
KERANGKA PEMIKIRAN.......................................................................... 27 METODE PENELITIAN.............................................................................. Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian.......................................... Teknik Penarikan Contoh............................................................... Jenis dan Cara Pengumpulan Data............................................... Pengolahan dan Analisis Data....................................................... Definisi Operasional.......................................................................
31 31 31 32 34 37
HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................... Keadaan Umum Lokasi Penelitian................................................. Karakteristik Sosial Demografi Keluarga Contoh........................... Riwayat Istri sebagai TKW............................................................. Kesejahteraan Objektif................................................................... Keadaan Ekonomi Contoh dan Keluarga........................... Kontribusi Ekonomi Istri terhadap Pendapatan Total Keluarga............................................................................. Pendapatan Per Kapita Keluarga....................................... Pengeluaran Per Kapita Keluarga...................................... Pengeluaran Khusus Suami............................................... Kondisi Hutang Keluarga.................................................... Kondisi Tabungan Keluarga............................................... Prioritas Pengeluaran Keluarga dari Hasil Kerja Istri sebagai TKW.................................................................................... Arus Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga (Family Flow Income and Expenditure).................................................... Lingkungan dan Tempat Tinggal........................................ Kesejahteraan Subjektif (Subjective of Life)................................... Hubungan Antar Variabel............................................................... Pembahasan.................................................................................. Keterbatasan Penelitian.................................................................
39 39 39 42 43 43 47 49 49 53 55 57 59 61 65 70 72 78 82
SIMPULAN DAN SARAN........................................................................... 83 Simpulan........................................................................................ 83 Saran.............................................................................................. 84 DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 85 LAMPIRAN................................................................................................ 93
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
20 21 22 23 24 25
Halaman Hasil penelitian terdahulu............................................................... 26 Variabel, skala data, jenis data, dan kategori skor......................... 33 Sebaran contoh berdasarkan umur suami dan istri....................... 40 Sebaran contoh berdasarkan lama pendidikan suami dan istri.................................................................................................. 40 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan utama dan sampingan...................................................................................... 41 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga................................ 41 Sebaran istri berdasarkan lama bekerja sebagai TKW................. 42 Sebaran istri berdasarkan jumlah keberangkatan istri sebagai TKW................................................................................................ 42 Sebaran istri berdasarkan negara tujuan TKW............................... 43 Sebaran contoh berdasarkan presentase total pendapatan keluarga per bulan.......................................................................... 44 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan dari kontribusi suami dan istri per bulan................................................................. 46 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita dari kontribusi suami dan istri per bulan................................................ 47 Sebaran presentase kontribusi ekonomi istri terhadap total pendapatan keluarga...................................................................... 48 Sebaran presentase kontribusi ekonomi suami terhadap total pendapatan keluarga...................................................................... 48 Sebaran contoh berdasarkan kategori pendapatan per kapita keluarga.......................................................................................... 49 Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran pangan dan non pangan saat ini............................................................................... 50 Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran pangan dan non pangan pada keluarga kecil dan keluarga sedang........................ 51 Sebaran pola konsumsi pangan dan non pangan........................ 52 Sebaran contoh berdasarkan perbandingan presentase pengeluaran non pangan dan pengeluaran pangan saat TKW............................................................................................... 52 Sebaran contoh berdasarkan perbandingan pendapatan per kapita dan pengeluaran per kapita................................................. 53 Sebaran contoh berdasarkan rata-rata pengeluaran khusus suami dari pendapatan suami sendiri............................................ 54 Sebaran perbandingan antara pendapatan suami dan pengeluaran suami......................................................................... 55 Sebaran contoh berdasarkan hutang keluarga dalam setahun terakhir............................................................................. 56 Sebaran contoh berdasarkan rata-rata hutang keluarga sebelum TKW dan saat TKW........................................................ 57 Sebaran contoh berdasarkan kepemilikan tabungan................... 57
26 27 28 29 30 31 32 33
34 35
36
Sebaran contoh berdasarkan jumlah saldo tabungan sebelum dan saat TKW................................................................. Sebaran contoh berdasarkan penerima kiriman pendapatan istri................................................................................................. Sebaran sebaran contoh berdasarkan prioritas pengeluaran keluarga dari hasil kerja istri.......................................................... Sebaran contoh menurut pemenuhan kebutuhan tempat tinggal............................................................................................ Sebaran contoh menurut keadaan aset keluarga......................... Sebaran contoh berdasarkan kesejahteraan subjektif................. Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori kesejahteraan keluarga subjektif................................................... Hasil uji korelasi Pearson karakteristik contoh dengan kontribusi ekonomi istri terhadap pendapatan keluarga saat TKW dan pengeluaran total keluarga............................................ Hasil uji korelasi Pearson kontrbusi ekonomi istri dengan pola pengeluaran keluarga............................................................ Hasil uji korelasi Pearson karakteristik contoh, kontribusi ekonomi istri, dan pengeluaran keluarga dengan kesejahteraan subjektif................................................................. Hasil uji korelasi Spearman karakteristik contoh dengan kesejahteraan subjektif dimensi fisik, ekonomi, sosial, dan psikologis.....................................................................................
58 58 60 66 69 71 72
74 74
76
78
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Diagram Cash flow manajemen keuangan keluarga...................
20
2
Hubungan antara kontribusi ekonomi perempuan dan pola pengeluaran keluarga terhadap kesejahteraan keluarga............
30
3
Metode penarikan contoh............................................................... 32
4
Sumber rata-rata pendapatan keluarga sebelum dan saat TKW................................................................................................ 45
5
Diagram alur pendapatan dan pengeluaran keluarga TKW 1......
63
6
Diagram alur pendapatan dan pengeluaran keluarga TKW 2......
64
7
Diagram alur pendapatan dan pengeuaran keluarga TKW 3.......
64
8
Diagram alur pendapatan dan pengeluaran keluarga TKW 4......
64
9
Diagram alur pendapatan dan pengeluaran keluarga TKW 5......
65
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Halaman Peta Lokasi Kabupaten Sukabumi................................................. 95 Indepth Interview............................................................................ 96 Sumber pendapatan keluarga Pra TKW dan saat TKW................ Rata-rata pola pengeluaran pangan dan non pangan keluarga per bulan.......................................................................... Pengeluaran khusus suami dari pendapatan suami sendiri........ Gambar alur pendapatan dan pengeluaran keluarga TKW.......... Variabel, skala, kategori skor, dan keterangan............................... Foto Kegiatan.................................................................................. Hasil Uji Korelasi Pearson.............................................................. Hasil Uji Korelasi Spearman...........................................................
99 102 104 105 106 109 111 112
1 PENDAHULUAN Latar belakang Dampak dari krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun drastis. Meskipun perekonomian Indonesia mengalami peningkatan, tetapi tidak diikuti dengan penambahan lapangan kerja formal secara memadai. Hal ini menyebabkan jumlah pengangguran tetap tinggi dan kemiskinan tidak menurun secara nyata (Tarigan 2007). Menurut Wakhidah (2010) terdapat hubungan antara pengangguran dan kemiskinan yang membentuk lingkaran setan (viscious cycle of poverty). Hal ini dikarenakan masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan tentu tidak akan memiliki pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehingga hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah orang miskin tahun 2006 sebesar 39,3 juta jiwa dan jumlah pengangguran 10,9 juta jiwa. Jumlah ini menunjukkan adanya peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2005 yaitu jumlah orang miskin sebesar 35,1 juta jiwa dan pengangguran sejumlah 8,4 juta jiwa (BPS 2006). Pengangguran terjadi karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Ketidakseimbangan ini menyebabkan jumlah pengangguran meningkat. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menunjukkan proporsi jumlah penduduk yang mencari pekerjaan secara aktif terhadap jumlah seluruh angkatan kerja. Jumlah TPT di Indonesia pada Febuari 2010 mencapai 7,4 persen, mengalami penurunan dibandingkan TPT Februari 2009 sebesar 8,1 persen dan TPT pada bulan Agustus 2009 sebesar 7,8 persen (BPS 2010). Salah satu program pemerintah dalam rangka penanggulangan masalah kemiskinan dan pengangguran tersebut yaitu dengan membuka kesempatan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 2004 mengenai Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia menyatakan bahwa bahwa penempatan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri merupakan suatu upaya untuk mewujudkan pekerjaan dan penghasilan yang layak, yang pelaksanaannya dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat, martabat, Hak Asasi Manusia dan perlindungan hukum serta pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan hukum nasional. Adapun menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2010), penempatan Tenaga Kerja Wanita ke luar negeri tidak saja merupakan komitmen pemerintah untuk memberikan hak yang sama
2 bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, tetapi juga sebagai salah satu cara untuk mengatasi keterbatasan lapangan kerja di dalam negeri. Jumlah warga Indonesia yang bekerja menjadi TKI ke luar negeri dari tahun ke tahun umumnya terus meningkat. Pada tahun 2005 terdapat sekitar 474.310 orang, meningkat menjadi 680.075 orang pada tahun 2006, meningkat menjadi 696.746 orang pada tahun 2007, meningkat lagi menjadi 748.825 orang pada tahun 2008, dan mengalami sedikit penurunan menjadi
632.172 orang
pada tahun 2009 (Kemenakertrans 2010). Menjadi TKW memiliki dampak positif dan dampak negatif, baik untuk istri yang menjadi TKW maupun keluarga yang ditinggalkan. Salah satu dampak positif dari kebijakan penempatan TKW ke luar negeri adalah menambah devisa negara terutama bagi daerah asal TKI dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga (Setioningsih 2010). Oleh sebab itu, TKI/TKW seringkali dijuluki sebagai pahlawan devisa. Sumbangan devisa bagi negara yang berasal dari TKI menduduki urutan kedua terbesar setelah sektor minyak dan gas (migas). Laporan Bank Indonesia mengenai Survei Pola Remitansi (pengiriman uang) TKI menunjukkan setiap tahun mengalami peningkatan. Data Bank Indonesia menyebutkan remitansi pada tahun 2006 mencapai US$ 5,7 miliar, meingkat menjadi US$ 6,0 miliar pada tahun 2007, dan menjadi US$ 6,617 miliar pada tahun 2008. Pada tahun 2009 menurun tipis menjadi tipis US$ 6,617 miliar, namun mengalami peningkatan kembali pada tahun 2010 sebesar sebesar US$ 6,73 miliar, dan sampai dengan kuartal pertama tahun 2011 mencapai US$ 1,6 miliar (Viva News 2010). Menurut Setioningsih (2010), selain berdampak pada hubungan pasangan suami istri, perpisahan antara ibu dan keluarga juga akan berdampak pada kondisi anak. Tanziha (2010) menyatakan bahwa sekitar 40 persen anak yang ditinggal oleh ibunya yang bekerja sebagai TKW di luar negeri memiliki perkembangan kecerdasan dan sosial yang rendah. Sementara itu, 14 persen balita yang ditinggal para TKW tersebut mengalami kekurangan gizi dan dua persen mengalami gizi buruk dikarenakan uang yang dikirimkan oleh TKW ke kampung halamannya terkadang tidak dimanfaatkan untuk kebutuhan anaknya. Selain itu pada umumnya anak-anak yang ditinggal TKW tersebut hidup bersama kakek atau nenek, dan biasanya nenek cenderung memanjakan cucunya, sehingga tidak sehat untuk perkembangannya. Anak juga cenderung berkembang menjadi lebih kasar dan tingkat kecerdasannya rendah.
3 Alasan yang menjadi pertimbangan bagi perempuan bekerja di luar rumah pada kelompok keluarga berpendapatan rendah adalah untuk mendukung pendapatan keluarga. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan rumah tangga adalah pendapatan yang diterima oleh rumah tangga (Rambe 2004). Hipotesis Keynes mengemukakan bahwa orang akan meningkatkan konsumsinya jika pendapatan mereka meningkat, namun peningkatan konsumsi tidak sebesar pendapatannya (Bryant 1990). Selain pendapatan, pengeluaran per kapita sebulan untuk non pangan juga dapat menggambarkan keadaan kesejahteraan masyarakat suatu daerah, dimana semakin tinggi persentase pengeluaran untuk non pangan maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut (BPS 2003). Berdasarkan hal ini, BPS (2002) membagi pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran non-pangan. Dengan demikian, sangat menarik untuk diteliti mengenai seberapa besar kontribusi ekonomi istri terhadap pendapatan keluarga mengingat besarnya jumlah remintansi yang dihasilkan TKW terhadap negara dan daerah asal dan pengeluaran keluarga serta bagaimana dampak kepergian istri sebagai TKW terhadap kesejahteraan objektif dan subjektif suami. Perumusan masalah Kabupaten Sukabumi merupakan kabupaten terluas se-Jawa dan Bali dengan luas 412.799,54 Ha (BPS 2008). Mata pencaharian penduduknya pun beragam, baik di sektor formal maupun informal. Hal ini menyebabkan pendapatan
penduduk
sangat
bervariasi.
Bagi
keluarga
yang
memiliki
pendapatan rendah maka tidak jarang harus mencari pekerjaan lain disamping pekerjaan
utamanya
dan
melibatkan
anggota
keluarga
lainnya
untuk
meningkatkan pendapatan (family ganerating income). Hal ini dikarenakan keinginan dan kebutuhan setiap keluarga serta anggotanya relatif tidak terbatas, cenderung berubah dan bertambah banyak dari waktu ke waktu Guhardja et al. (1993). Selain adanya himpitan ekonomi dalam keluarga, juga keterbatasan lapangan pekerjaan di desa mendorong istri turut serta berpartisipasi dalam sektor publik, salah satunya dengan menjadi TKW yang bekerja di luar negeri. Menurut BNP2TKI (2011), kabupaten Sukabumi termasuk dalam lima besar kabupaten kantong TKW di Provinsi Jawa Barat dengan urutan keempat yaitu 25.000 orang TKW. Urutan pertama ditempati kabupaten Indramayu sebanyak 39.000 orang TKW disusul dengan kabupaten Cianjur sebanyak 37.000 orang TKW dan kabupaten Cirebon sebanyak 27.000 orang TKW.
4 Sementara itu di urutan terakhir yaitu kabupaten Karawang sebanyak 24.000 orang TKW. Adapun remitansi TKI terhadap Kabupaten Sukabumi Tahun 2010 mencapai Rp 334 miliar. Hal ini menunjukkan terjadi kenaikan mencapai hampir tiga kali lipatnya dibanding Tahun 2009 yang hanya Rp 129 miliar (Antara 2010). Disamping dampak positif, pekerjaan sebagai TKI memiliki berbagai resiko. Menurut data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2010), jumlah TKI asal Sukabumi mencapai 55.207 orang. Sementara itu yang tercatat dalam Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sukabumi (2010) sekitar 12.000 orang. Artinya, terdapat sekitar 80 persen TKI tidak terdata atau ilegal (Pikiran Rakyat 2011). Badan Penelitian Pengembangan dan Informasi Kemenakertrans (2010) menyatakan bahwa sepanjang tahun 2009, TKI (termasuk TKW) yang mendaftar melalui jasa calo mencapai 64 persen dari total penempatan yang berkisar 5 juta orang. Melalui jalur ini, para calo memanipulasi umur dan ketrampilan calon TKW (Anonim 2011a). Hal ini menunjukkan TKW yang bekerja di luar negeri masih banyak yang diberangkatkan secara ilegal dan tidak memiliki jaminan keamanan sosial seperti asuransi yang memadai (Gulcubuk 2010). Sehingga banyak permasalahan-permasalahan yang terjadi pada TKW terutama di tempatnya bekerja. Menurut data BNP2TKI (2009) diketahui bahwa terdapat 45.626 TKW bermasalah sepanjang tahun 2008 dengan rincian permasalahan seperti PHK sepihak, sakit akibat kerja,
gaji tidak dibayar dan penganiayaan, pelecehan
seksual, dokumen tidak lengkap, majikan bermasalah, pekerjaan tidak sesuai perjanjian kerja, tidak bisa komunikasi, tidak bisa bekerja, dan lain-lain. Adapun dari data Kemenakertrans hingga Juli 2010 dapat diketahui bahwa kepulangan TKI bermasalah di Arab Saudi 16.170 kasus, Emirat Arab 3.310 kasus, Taiwan 1.938 kasus, Singapura 1.788 kasus, dan Jordania 1.434 kasus (Neraca 2011). Selain itu dampak negatif lain akibat kepergian istri sebagai TKW dalam waktu relatif lama akan menyebabkan perubahan struktur keluarga dan fungsi pengasuhan anak. Budaya patriarki di Indonesia menganggap bahwa laki-laki dalam keluarga sebagai pencari nafkah utama (main breadwinner) dan perempuan sebagai pengasuh anak (care giver). Namun dengan terjadinya kepergian istri menjadi TKW, baik sebagai pencari nafkah utama (main breadwinner)
maupun
sebagai
pencari
nafkah
tambahan
(secondary
breadwinner) maka suami memikul beban peran ganda yaitu sebagai pencari nafkah (breadwinner) dan pengasuh anak (care giver). Hal ini mengakibatkan
5 terjadi ketidakseimbangan peran di dalam keluarga berpotensi menyebabkan berbagai permasalahan keluarga seperti percaraian. Catatan Pengadilan Tinggi Agama Bandung menyebutkan periode Januari hingga April 2009, sekitar 420 pasangan di 24 kabupaten dan kota di Jawa Barat bercerai (Anonim 2009). Penyebabnya beragam, namun umumnya akibat hilangnya kepercayaan istri terhadap suaminya. Penyebab diajukannya gugat cerai, kalau pengajuannya dilakukan pihak istri biasanya akibat kekecewaan istri atas tindakan suaminya selama ditinggal ke luar negeri (Anonim 2008). Menurut Edi (2010), seorang kepala rumahtangga yang hidup tanpa seorang istri seringkali setelah istrinya mengirim uang, tidak digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya melainkan dipakai untuk kawin lagi dengan wanita lain, hingga saat istri pulang perceraian pun terjadi. Namun ada pula yang mengajukan cerai terlebih dahulu dari pihak istri dikarenakan agar tidak perlu susah lagi mendapatkan izin untuk berangkat menjadi TKW lagi (Anonim 2011a). Banyaknya resiko permasalahan atau kasus yang dihadapi TKW dan keluarganya di tanah air, tidak mengurungkan niat istri untuk bekerja sebagai TKW agar dapat memberikan kontribusi ekonomi terhadap pendapatan keluarga. Mengingat bahwa dengan bekerja di luar negeri dapat memperoleh penghasilan yang lebih besar daripada di negara asalnya dan tidak membutuhkan tingkat pendidikan yang tinggi (Nurulfirdausi 2010). Menurut Zehra (2008), alasan utama perempuan bekerja yaitu agar dapat memberikan kontribusi ekonomi terhadap pendapatan keluarga secara langsung. Selanjutnya, pendapatan yang diterima rumahtangga menjadi salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur
tingkat
kesejahteraan
rumahtangga
(Rambe
2004).
Selain
pendapatan, besarnya pengeluaran keluarga terhadap kebutuhan pangan dan non pangan dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan keluarga tersebut. Semakin sejahtera keluarga maka beragam kebutuhan anggota keluarga dapat terpenuhi, baik secara kuantitas maupun kualitas (Shinta 2008). Menurut
Rashid
et
al.
(2010),
peningkatan
pendapatan
akan
meningkatkan pengeluaran total keluarga. Oleh karena itu peran suami sangat penting dalam keluarga dalam mengelola keuangan keluarga, baik uang hasil kerja istri maupun uang yang dihasilkannya sendiri. Hal ini dikarenakan agar dapat terpenuhinya kebutuhan keluarga sehingga tercapai kesejahteraan keluarga. Dengan demikian keluarga perlu memiliki kemampuan mengatur
6 keuangan yang baik dan bijak antara pendapatan, pengeluaran dan rencana tabungan masa depan (Garman dan Forgue 1988). Adapun pendapatan TKW selama bekerja di luar negeri lebih banyak digunakan suami untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga diantaranya adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan pendidikan. Selain itu ada juga yang menggunakan
untuk
melunasi
hutang
(Geerards
2010).
Teori
Engel
mengungkapkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan rumahtangga maka semakin rendah presentase pengeluaran untuk pangan. Selain itu pendapatan seseorang dalam satu keluarga atau rumahtangga akan mempengaruhi bagaimana keluarga tersebut memenuhi kebutuhannya, seperti pemilihan komoditi yang akan dibelinya. Biasanya seseorang yang berpenghasilan rendah akan membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan pangan. Keluarga dikatakan memiliki tingkat kesejahteraan lebih baik apabila memiliki persentase pengeluaran pangan lebih kecil dibanding presentase pengeluaran non pangan (Rambe 2004). Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, maka beberapa permasalahan yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana alokasi pengeluaran pangan dan non pangan rumahtangga yang dilakukan oleh keluarga?. 2. Bagaimana kontribusi ekonomi istri dalam bentuk setara uang terhadap kesejahteraan keluarga?. 3. Bagaimana
pola
pengeluaran
rumah
tangga
mempengaruhi
tingkat
kesejahteraan rumahtangga?. 4. Melihat sejauh mana tingkat kesejahteraan keluarga TKW?. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Mengetahui
hubungan
kontribusi
ekonomi
perempuan
dan
pola
pengeluaran rumah tangga terhadap kesejahteraan keluarga pada keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW). Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik sosial dan ekonomi contoh dan keluarganya. 2. Mengidentifikasi alokasi pengeluaran keluarga yang terdiri dari pengeluaran pangan, pengeluaran non pangan, pengeluaran khusus suami, dan hutang terhadap kesejahteraan keluarga, baik yang berasal dari penghasilan TKW
7 maupun dari lainnya. 3. Menganalisis kesejahteraan keluarga TKW. 4. Menganalisis hubungan antar variabel penelitian. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada beberapa pihak mengenai keadaan keluarga dengan istri sebagai TKW. Informasi ini diharapkan dapat berguna antara lain bagi penulis, kelembagaan keilmuan, pemerintah, masyarakat, dan pengembangan keilmuan. 1. Bagi penulis penelitian ini dapat menjadi sarana untuk menambah pengetahuan terhadap berbagai permasalahan seputar keluarga lebih dalam, terutama mengenai kontribusi ekonomi perempuan terhadap keluarga, pola pengeluaran
rumahtangga,
tingkat
kesejahteraan
keluarga,
dan
meningkatkan kemampuan menganalisa suatu permasalahan sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki penulis, serta dapat memperkaya akan wawasan dan studi kepustakaan mengenai bidang keluarga. 2. Bagi kelembagaan keilmuan, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literatur
di
bidang
ilmu
keluarga
yang
khususnya
terkait
dengan
permasalahan keluarga berkaitan dengan gender dimana salah satunya adalah menjadi TKW dan dapat digunakan untuk referensi literatur untuk penelitian selanjutnya. 3. Hasil
penelitian
ini
juga
diharapkan
dapat
menginformasikan
pada
pemerintah terkait dengan pilihan menjadi TKW yang masih dijadikan sebagai sumber pendapatan keluarga di kawasan Sukabumi dan diharapkan pemerintah
sebagai
pembuat
kebijakan
mampu
memberikan
solusi,
perlindungan hak perempuan untuk hidup sejahtera serta regulasi terhadap ketenagakerjaan dan perlindungan kepada TKW beserta kesejahteraan keluarga TKW tersebut. 4. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan informasi akan hubungan kontribusi ekonomi perempuan khususnya pada keluarga
TKW,
pola
pengeluaran
rumahtangga
terhadap
tingkat
kesejahteraan keluarga. Wawasan dan informasi tersebut diharapkan dapat dipergunakan dengan baik sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat. 5. Bagi pengembangan ilmu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan-masukan yang bermanfaat untuk penelitian selanjutnya.
9 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Teori Keluarga Pengertian Keluarga Keluarga menurut Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat 6 adalah "unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya". Keluarga merupakan institusi terkecil dalam masyarakat juga sebagai wahana utama dan pertama bagi anggota-anggotanya untuk mengembangkan potensi dan aspek sosial dan ekonomi. Menurut Puspitawati (2009), keluarga adalah suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan adopsi, dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami dan istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan perempuan, saudara laki-laki dan perempuan serta merupakan pemeliharaan kebudayaan bersama. Setiap keluarga pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai dalam setiap tahapan hidupnya. Adapun tujuan dari membentuk keluarga yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan bagi setiap anggotanya (BKKBN 1992). Terdapat delapan fungsi utama untuk mencapai tujuan keluarga menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994 yang terdiri dari fungsi keagamaan, sosial, cinta kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi dan pembinaan lingkungan (BKKBN 1996). Selanjutnya Rice & Tucker (1986) membagi peran keluarga menjadi dua peran utama yaitu peran ekpresif dan peran instrumental. Peran ekspresif adalah untuk memenuhi keutuhan emosi (cinta kasih, ikatan suami-istri, dan ikatan orangtua-anak) dan perkembangan anak yang di dalamnya meliputi moral, loyalitas, dan sosialisasi anak. Sedangkan peran instrumental adalah peran manajemen sumberdaya keluarga yang dimiliki (fungsi ekonomi) untuk mencapai berbagai tujuan keluarga melalui prokreasi dan sosialisasi anak, serta dukungan dan pengembangan anggota keluarga. Teori Struktural Fungsional Teori struktural fungsional merupakan teori dengan pendekatan sosiologi yang memandang bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang saling terkait satu sama lain. Pendekatan ini mengakui adanya keragaman kehidupan sosial dalam struktur masyarakat (Megawangi 1999). Struktural fungsional menekankan pada keseimbangan sistem yang stabil dalam keluarga agar dapat berfungsi dengan baik dan kestabilan sosial dalam sitem masyarakat. Sebab
10 menurut Megawangi (1999), pendekatan ini tidak pernah lepas dari pengaruh budaya, norma, dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat tersebut. Teori struktural-fungsional dapat dilihat penerapannya dalam keluarga melalui struktur dan aturan yang diterapkan. Menurut Levy dalam Megawangi (1999) menyatakan bahwa tanpa adanya pembagian tugas masing-masing anggota keluarga dengan jelas sesuai dengan status sosialnya maka fungsi keluarga akan terganggu. Pembagian peran dan tugas dalam keluarga dibutuhkan untuk dapat saling melengkapi dan menjaga keharmonisan sistem agar dapat berfungsi dengan baik. Untuk lebih lanjutnya Levy dalam Megawangi (1999) membuat daftar persyaratan yang harus dipenuhi oleh keluarga agar dapat berfungsi, diantaranya sebagai berikut: 1.
Diferensiasi peran yaitu adanya pembagian peran dan tugas yang harus dijalankan oleh setiap anggota keluarga. Dari serangkaian tugas dan aktivitas yang perlu dilakukan dalam keluarga, maka harus terdapat alokasi peran untuk setiap anggota keluarga. Terminologi diferensiasi peran tersebut dapat dibagi berdasarkan umur, gender, generasi, posisi status ekonomi dan politik dari masing-masing aktor. Sebagai ilustrasi yaitu menyetir “Seorang bapak adalah lebih kuat daripada anak lelakinya (karena juga lebih muda) sehingga bapak akan diberikan peran sebagai pemimpin dalam kegiatan instrumental”.
2.
Alokasi solidaritas yang menyangkut adanya distribusi relasi antar anggota keluarga. Distribusi relasi antar anggota menurut cinta, kekuatan, dan intensitas dalam hubungan. Cinta dan kepuasan dapat menggambarkan hubungan antar anggota. Misalnya keterikatan emosi antara ibu dengan anaknya. Kekuatan mengacu pada keutamaan sebuah relasi relatif terhadap relasi lainnya. Hubungan antara bapak dan anak mungkin lebih utama dibandingkan dengan hubungan suami dan istri pada suatu budaya tertentu. Sedangkan intensitas merupakan kedalaman relasi antar anggota menurut kadar cinta, kepedulian, ataupun kekuatan.
3.
Alokasi ekonomi menyangkut distribusi barang dan jasa antar anggota keluarga untuk tercapainya tujuan keluaga. Distribusi barang-barang dan jasa ini untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Diferensiasi tugas dalam hal ini dapat terlihat dalam hal produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa dalam keluarga.
11 4.
Alokasi politik menyangkut distribusi kekuasaan dalam keluarga. Yang dimaksud dengan distribusi kekuasaan dalam keluarga dan siapa yang bertanggung jawab atas setiap tindakan anggota keluarga. agar keluarga dapat berfungsi, maka distribusi kekuasaan pada tingkat tertentu diperlukan.
5.
Alokasi integrasi dan ekspresi meliputi cara atau teknik sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku yang memenuhi tuntutan norma yang berlaku bagi setiap anggota keluarga. Teori struktural-fungsional mengasumsikan bahwa suatu keluarga terdiri
dari bagian yang saling mempengaruhi satu sama lain. Kemampuan struktur keluarga dapat berfungsi secara efektif pada keluarga inti yang tersusun dari seorang laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai ibu rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan anggota dan ekonomi industri baru (Parsons & Bales 1956). Fungsi Ekonomi Keluarga Salah satu fungsi keluarga menurut Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 yang terdapat dalam BKKBN (1996) adalah fungsi ekonomi. Sebagai suatu unit ekonomi keluarga merupakan alat untuk melakukan aktivitas agar memperoleh hasil yang diinginkan, seperti kepuasan, tujuan, gaya hidup, standar hidup, kesejahteraan, keamanan, kemampuan dan keterampilan untuk proses produksi dan konsumsi (Bryant 1990). Beberapa fungsi ekonomi keluarga menurut Rafella (2003) yaitu pengalokasian sumberdaya untuk pelayanan kesejahteraan dengan memproduksi, mendistribusikan dan mengonsumsi produk diantara anggota keluarga. Keluarga perlu melakukan aktivitas ekonomi secara produktif untuk memenuhi kebutuhannya dan memperoleh kepuasan. Menurut Garman (1993) aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh keluarga diantaranya: 1.
Mencari pendapatan: Orang melakukan aktivitas seperti bekerja untuk mendapatkan penghasilan berupa gaji atau upah, keuntungan pengusaha bisnis, dan perolehan dari investasi.
2.
Konsumsi: Konsumsi diartikan sebagai pemakaian atau penghabisan barang-barang seperti komoditi dan jasa yang bertujuan untuk memenuhi keinginan.
3.
Menggunakan: Menggunakan dapat diartikan sebagai tindakan pemakaian suatu sumber ekonomi dan non-ekonomi secara efektif untuk mencapai tujuan tertentu.
12 4.
Meminjam: Agar tercapainya pemenuhan kebutuhan maka keluarga pasti pernah melakukan peminjaman atau berhutang dalam jangka waktu tertentu dengan perjanjian akan dikembalikan sejumlah peminjamannya tersebut.
5.
Menabung: Menabung merupakan aktivitas memindahkan alokasi uang untuk masa mendatang atau penghasilan saat ini yang tidak habis untuk dikonsumsi.
6.
Investasi: Investasi merupakan kegiatan mengerahkan sumberdaya yang ada berupa uang ataupun properti untuk memproduksi barang dan jasa agar memperoleh keuntungan berupa bunga, uang sewa, perolehan modal, dan pendapatan lainnya.
7.
Pembayaran Pajak: Pembayaran pajak merupakan perilaku sukarela seseorang untuk membayarkan pajak kepada pemerintah. Aspek ekonomi merupakan salah satu fungsi keluarga yang vital bagi
kehidupan keluarga, bahkan hal tersebut sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga tersebut. Teori Gender Gender
dapat
diartikan
sebagai
hasil
dari
sosio
kultural
yang
membedakan karakteristik antara laki-laki dan perempuan. Hubeis (2010) menyatakan bahwa gender merupakan suatu konsep mengenai sistem peranan dan hubungan antara perempuan dan lelaki yang tidak hanya ditentukan oleh perbedaan biologis, melainkan juga oleh lingkungan sosial, politik, dan ekonomi. Adanya perbedaan konsep mengenai gender dari lingkungan sosial mengakibatkan adanya perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Peran gender menggambarkan kesepakatan antara pandangan dalam masyarakat dengan suatu budaya terkait perilaku yang harus ditampilkan berdasar jenis kelamin tertentu (Hubeis 2010). Hal ini menyebabkan adanya kesenjangan peran (gender gap) yaitu perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam bidang pekerjaan dan pendapatan. Perempuan cenderung mendapatkan kesulitan untuk memasuki pasar tenaga kerja karena adanya kekhawatiran budaya akan pergeseran peran seperti perempuan akan meninggalkan tugasnya sebagai istri dan ibu rumahtangga (Puspitawati 2009a). Menurut Puspitawati (2009a), hal ini disebabkan sistem patriarki mengatur bahwa suami memiliki peran sebagai pencari nafkah utama (main breadwinner) dan istri sebagai pengatur rumahtangga atau kegiatan domestik (home maker). Peran gender dapat bergeser dan mengalami perubahan sesuai dengan terjadinya perubahan
13 dalam suatu tatanan sosial, ekonomi di tingkat lingkungan masyarakat dan kesepakatan yang telah dibuat dalam lingkungan keluarga (Hubeis 2010). Pendekatan gender dilakukan untuk dapat mengubah situasi ketidakadilan atau deskriminasi terhadap kaum perempuan menjadi situasi tercapainya kesetaraan serta keadilan dengan mempertimbangkan sikap, peran, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki (Nurulfirdausi 2010). Analisis Gender Kerangka Moser Menurut Lassa (2009) terdapat lima kerangka berpikir berbasis gender yang umum digunakan untuk menganalisis gender, yaitu: 1. The Harvard Analytical Framework, atau juga dikenal dengan the Gender Roles Framework 2. The Moser Gender Planning Framework 3. The Women’s Empowerment Framework (WEP) 4. The Social Relations Approach, dan 5. The Gender Analysis Pathway (GAP) Kerangka Moser (The Gender Roles Framework) tidak berfokus pada kelembagaan tertentu melainkan lebih berfokus pada rumahtangga. Adapun Moser (1993) membagi tiga konsep utama dari kerangka ini menjadi: 1. Peran lipat tiga (triple roles) perempuan pada tiga aras: kerja reproduksi, kerja produktif, dan kerja komunitas. Hal ini dilakukan untuk pemetaan pembagian kerja gender dan alokasi kerja. Adapun tiga kategori triple roles, yaitu: a. Peran reproduktif adalah peran yang berhubungan dengan tugas-tugas domestik
yang
menyangkut
kelangsungan
keluarga.
contohnya,
melahirkan, memasak, mengasuh anak, mencuci, membersihkan rumah, menjahit, dan lainnya. b. Peran produktif adalah peran yang dikerjakan oleh perempuan dan lakilaki untuk mendapatkan upah berupa uang secara tunai atau sejenisnya. Contohnya, bekerja di sektor formal ataupun non formal. c. Peran pengelolaan masyarakat dan politik. Peran ini dibagi menjadi dua kategori yaitu: 1) Peran pengelolaan masyarakat (kegiatan sosial) mencakup seluruh aktivitas yang dilakukan dalam komunitas bersifat sukarela dan tanpa upah. 2) Peran pengelolaan politik (kegiatan politik) mencakup seluruh aktivitas
14 politik dalam komunitas yang biasanya tanpa dibayar dan untuk meningkatkan kekuasaan atau status. 2. Upaya untuk membedakan kebutuhan yang bersifat praktis dengan yang strategis bagi perempuan dan laki-laki. Kebutuhan strategis berhubungan dengan posisi perempuan (subordinasi). 3. Pendekatan analisis kebijakan menfokuskan pada kesejahteraan (walfare), kesamaan (equity), anti kemiskinan, efisiensi, dan pemberdayaan perempuan dari atau WID (Women in Development) ke GAD (Gender and Development). Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 menyatakan bahwa Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap Warga negara Indonesia (WNI) yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. TKI perempuan disebut sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Salah satu peran produksi yang dilakukan perempuan salah satunya dengan menjadi TKW. Selain itu adanya keterbatasan kesempatan kerja di bidang formal, menyebabkan banyaknya perempuan yang berminat menjadi TKW. Negara tujuan TKW terbesar yaitu Malaysia dan Saudi Arabia (BPS 2009a). Umumnya TKW bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT). Perempuan bekerja untuk mendapatkan penghasilan sehingga mampu mencukupi kebutuhan keluarga (Zehra 2008). Keputusan untuk bekerja di luar negeri sebagai TKW menjadi sebuah pilihan yang diambil oleh sebagian masyarakat agar dapat mengubah kehidupan perekonomian keluarganya. Bekerja di luar negeri menjadi sebuah daya tarik tersendiri dikarenakan tingkat pendapatan yang diterimanya jauh lebih besar dibandingkan bekerja di desanya. Pengiriman uang yang cukup lancar kepada keluarga yang ditinggalkan merupakan salah satu indikator keberhasilan menjadi TKW. Umumnya para istri mengirimkan pendapatannya pada bulan Januari, Februari, November, dan Desember (Nurulfirdausi 2010). Sedangkan menurut Norwanto (2007), tidak semua perempuan yang bekerja
sebagai
TKW
dapat
membantu
pergerakan
ekonomi
keluarga
dikarenakan pengiriman pendapatan yang tidak reguler. Sebagian TKW mengirimkan uang kepada keluarganya beberapa bulan sekali, sedangkan yang lainnya membawa penghasilan setelah kontrak kerja mereka usai.
15 Pendapatan TKW selama bekerja di luar negeri yang dikirimkan kepada keluarga lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga diantaranya adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan pendidikan. Selain itu ada juga yang menggunakan untuk melunasi hutang (Geerards 2010). Perubahan Struktur Keluarga Akibat Peran Istri dalam Pencarian Nafkah Dengan kepergian istri menjadi TKW maka terjadi perubahan struktur dalam keluarga. Padahal dalam sebuah keluarga, perempuan memiliki kewajiban berperan utama dalam pekerjaan domestik seperti mengurus anak dan suami serta anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama. Hal ini merupakan pengaruh budaya patriarki yang masih berlaku dalam masyarakat dimana nilai istri hanya sebagai pengasuh anak. Namun perlahan anggapan tersebut mulai bergeser seiring dengan meningkatnya jumlah tenaga kerja perempuan dalam sektor publik. Berikut salah satu contoh perubahan peran perempuan dalam keluarga menurut Hubeis (2010): Seorang lelaki bekerja di rumah yaitu mengurus rumah tangga serta mengasuh anaknya yang masih bayi, sedangkan tugas mencari nafkah dilakukan istrinya. Hal ini terjadi karena pendapatan keluarga akan lebih baik jika istri yang bekerja dibanding suami. Akan tetapi jika keduanya bekerja maka mereka harus menyewa jasa pengasuh bayi dan hampir menghabiskan pendapatan yang diperoleh. Sebaliknya, jika istri diam di rumah dan suami bekerja maka pendapayan suami tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Karena itu, istrilah yang bekerja dan suami mengurus rumah.
Perempuan memiliki peran yang sangat berarti bagi keluarga, dimana sebagian besar waktunya sekitar 8-16 jam per hari dalam pekerjaan domestik seperti memasak, membersihkan rumah, menyetrika, mengasuh anak, dan sebagainya. Hal ini jelas tidak dapat dilakukan oleh perempuan atau istri yang memutuskan untuk bekerja di luar rumah (Zehra 2008). Terdapat beberapa alasan perempuan bekerja di luar rumah meskipun mereka menyadari peranannya dalam sektor domestik. Salah satu yang menjadi alasan utamanya untuk menambah pendapatan bagi keluarga. Perempuan memiliki peranan sosial yang beragam dalam kehidupan perekenomian dimana perempuan dituntut untuk mampu menjalani fungsinya dalam keluarga serta sebagai pencari nafkah tambahan atau bahkan pencari nafkah utama (main breadwinner) bagi keluarga dan membina hubungan sosial yang baik. Hal ini membuktikan bahwa perempuan memiliki eksistensi dalam bersosialisasi dengan lingkungan di sekitarnya terutama dalam kehidupan perekonomian keluarga (Gulcubuk 2010).
16 Menurut Sumarwan (1993) peningkatan jumlah angkatan tenaga kerja wanita disebabkan oleh beberapa fakor, diantaranya: 1.
Peningkatan tuntutan ekonomi yang menyebabkan sebagian keluarga tidak dapat
mempertahankan
tingkat
kesejahteraannya
hanya
dari
satu
pendapatan; 2.
Perubahan gaya hidup atau selera keluarga dalam mengkonsumsi barang dan jasa;
3.
Semakin terbukanya kesempatan kerja bagi semua warga negara Indonesia, baik perempuan maupun laki-laki, untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik. Sedangkan Hoffman & Nye (1974) mengemukakan bahwa terdapat tiga
faktor yang mendorong perempuan mencari penghasilan tambahan, yaitu: 1.
Alasan ekonomi: Tujuannya untuk menambah pendapatan keluarga, terutama jika pendapatan suami relatif kecil. Selain itu karena istri memiliki suatu keahlian tertentu yang membuatnya merasa lebih efektif apabila waktunya digunakan untuk mencari nafkah.
2.
Mengangkat status diri: Tujuannya untuk meningkatkan kekuasaan lebih besar atau minimal setara dengan suami dalam kehidupan keluarga.
3.
Terdapat
motif
intrinsik
(dari
dalam
dirinya)
untuk
menunjukkan
eksistensinya seperti kemampuan berprestasi sebagai manusia, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Suami, orangtua, atau kerabat yang lainnya harus menyadari terdapat peran serta kewajiban menggantikan ibu (istri) agar tetap dapat tercapinya keseimbangan. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh tim Pusat Studi Gender dan Keluarga STAIN Salatiga di Gamol, Kecandran, Salatiga, Jawa Tengah, yang juga dipresentasikan di The International Seminar of Gender Mainstreaming on Higher Education di UKSW Salatiga pada Desember 2006, menunjukkan adanya kesadaran tiga pola pergeseran peran, antara lain: 1.
Suami mengambil alih peranan penuh dalam keluarga yang ditinggalkan oleh istri seperti mengurusi berbagai pekerjaan domestik, termasuk mengasuh anak.
2.
Suami mengambil alih sebagian peranan keluarga yang ditinggalkan oleh istri. Suami biasanya dibantu oleh ibu atau anggota keluarga lain.
3.
Suami sama sekali tidak mengambil peranan apapun. Pola ini dapat dikatakan sebagai kegagalan keluarga dalam melaksanakan transformasi
17 nilai yang menyebabkan ibu atau mertua TKW mengambil alih seluruh peran domestik keluarga. Keputusan istri untuk berpartisipasi di sektor publik dengan menjadi TKW merupakan pilihan yang sulit dan sangat tergantung pada keadaan ekonomi keluarga. Ketiadaan istri di rumah berdampak meningkatkan tingkat stress pada suami karena suami harus menggantikan peran istri yang ditinggalkannya sehingga suami memiliki peran ganda dalam rumah tangga, yaitu sebagai penggerak ekonomi keluarga dan melakukan pekerjaan domestik. Laporan penelitian Sunarti (2009a) menyatakan bahwa "Semakin besar sumbangan pendapatan dari istri, maka semakin sejahtera keluarga". Kontribusi Ekonomi Perempuan Salah satu tujuan seseorang bekerja di bidang nafkah adalah untuk memperoleh penghasilan berupa uang. Hal tersebut yang mendorong peran perempuan sebagai penunjang perekonomian rumahtangga menjadi sangat penting dan ikut serta berperan dalam sektor ekonomi untuk menambah penghasilan keluarga dan memenuhi kebutuhan (Hubeis 2010). Tenaga kerja perempuan umumnya dihargai dengan upah yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Seringkali upah yang dihasilkan oleh istri untuk keluarga dianggap sebagai hasil kontribusi suami terhadap pendapatan keluarga,
meskipun
istrilah
yang
menghasilkannya.
Kontribusi
ekonomi
perempuan masih dianggap sekunder dan hanya sebagai pelengkap hasil dari laki-laki (Sobary 1992). Perempuan seringkali dipandang sebagai orang kedua yang hanya membantu pasangan (subordinat), berpendidikan rendah, dan memiliki keterbatasan keterampilan untuk menghasilkan kontribusi ekonomi bagi keluarga (Zehra 2008). Tidak jarang perempuan yang bekerja sebagai pencari nafkah tidak mendapatkan imbalan berupa uang sehingga tidak dapat memberikan kontribusi ekonominya pada pendapatan rumah tangganya. Banyak perempuan di desa yang mencari kesempatan bekerja di luar atau kota besar agar bisa memperoleh penghasilan yang lebih besar dibandingkan dengan bekerja di desanya. Namun hal ini tidak diikuti dengan jaminan keamanan sosial seperti asuransi (Gulcubuk 2010). Menurut Zehra (2008) alasan utama perempuan berpartisipasi aktif bekerja dengan upah di luar rumah untuk menambah kontribusi pendapatan keluarga secara langsung. Hubeis (2010) menyatakan bahwa umumnya perempuan di pedesaan dan berusia muda bekerja karena membutuhkan penghasilan untuk melanjutkan
18 kelangsungan kehidupan keluarga (terutama anak-anaknya) bukan untuk mengejar karir sehingga menerima berbagai jenis pekerjaan apapun tanpa memperhatikan besarnya pendapatan yang ditawarkan dari lingkungan kerja. Menurut Lasswell dan Laswell (1987), kontribusi ekonomi perempuan dalam ekonomi keluarga akan menghasilkan peningkatan dalam keuangan keluarga, kepemilikan barang mewah, standar hidup yang lebih tinggi dengan pencapaian rasa aman yang lebih baik sehingga berdampak pada peningkatan status sosial keluarga. Meskipun pekerjaan mereka memiliki kontribusi yang sangat penting untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan keluarga, namun pada kenyataannya perempuan masih saja dipandang sebelah mata dalam masyarakat (Zehra 2008). Disamping itu, Adriyani (2000) menyatakan, “tinggi rendahnya kontribusi ekonomi wanita ditentukan juga oleh jumlah anggota rumah tangga yang bekerja mencari nafkah dan memperoleh pendapatan berupa uang”. Meskipun demikian beberapa fakta empiris yang dikemukakan oleh Hubeis (2010) menunjukkan hal-hal berikut: 1. Perempuan mengalokasikan pendapatannya dalam jumlah yang lebih besar untuk keluarga dan kerabatnya dibandingkan untuk dirinya sendiri. Hal ini dikarenakan sifat bawaan perempuan yaitu unselfish (tidak mementingkan dirinya sendiri, tetapi selalu mendahulukan keluarga) sebagai produk dalam masyarakat yang membentuk bagaimana perempuan bersikap terutama dalam tatanan keluarga. 2. Perempuan yang bekerja pada umumnya membantu usaha rumahtangga dengan atau tanpa memperoleh upah, baik di sektor publik maupun di sektor domestik. 3. Tenaga kerja perempuan lapisan bawah yang terkena PHK umumnya akan langsung pulang kembali ke kampung halaman untuk mencari perlindungan sosial dan keamanan, sedangkan perempuan yang berpendidikan tinggi akan secara langsung aktif untuk mencari kesempatan kerja yang lain. Arus Kas Keuangan Keluarga (Family Cash Flow) Setiap keluarga akan berusaha memenuhi kebutuhannya dengan menggunakan sumberdaya yang dimilikinya. Pada umumnya seluruh kebutuhan keluarga memerlukan uang. Oleh sebab itu tidak jarang uang dijadikan sebagai alat pengukur dari sumberdaya (Guhardja et al., 1993). Kebutuhan yang harus dipenuhi keluarga tidak hanya kebutuhan rutin saat ini saja, tetapi juga kebutuhan masa depan atau jangka panjang, sedangkan pendapatan yang
19 diterima keluarga terbatas (Krisnatuti et al., 2009). Dengan demikian keluarga perlu memiliki kemampuan mengatur keuangan yang baik dan bijak antara pendapatan, pengeluaran dan rencana tabungan masa depan (Garman dan Forgue 1988). Manajemen keuangan berkaitan dengan pembuatan anggaran. Menurut Garman dan Forgue (1988), membuat anggaran merupakan suatu proses perencanaan
dan
pengontrolan
keuangan
yang
berhubungan
dengan
penggunaan catatan keuangan untuk menetapkan tujuan, perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, pengontrolan, dan evaluasi. Laporan arus kas (cash flow) memperlihatkan aliran uang yang masuk (pendapatan) dan aliran uang yang keluar (pengeluaran) yang rutin dilakukan oleh individu atau keluarga pada beberapa waktu yang telah lewat, seperti dalam bulanan atau tahunan. Menurut Garman dan Forgue (1988), pendapatan keluarga adalah seluruh perolehan yang diterima oleh seluruh anggota keluarga. Pendapatan teridiri dari upah dan gaji, bonus dan komisi, warisan, uang lembur, beasiswa, bunga deposito, dll. Pengeluaran adalah segala aktivitas yang mengakibatkan jumlah keuangan berkurang. Sebuah keluarga dapat membuat perencanaan pengeluaran, tetapi ketika uang tersebut telah dikeluarkan oleh keluarga disebut sebagai pengeluaran aktual (actual expenditure). Pengetahuan tentang cash flow penting dan wajib diketahui agar keuangan keluarga kita tidak akan berantakan dan terpantau (Anonim 2007). Manajemen cash flow yang efektif dapat membatasi pengeluaran bulanan, meningkatkan
pemasukan,
menggunakan
tabungan
atau
melakukan
peminjaman (hutang). Hal tersebut bermanfaat dalam mengontrol pengeluaran tidak tetap seperti biaya rekreasi, pengeluaran pribadi, dan pengeluaran pangan. Adapun cash flow dapat digambarkan seperti pada Gambar 1. Tujuan dari pembuatan laporan cash flow yaitu untuk memberikan informasi kondisi keuangan keluarga, termasuk di dalamnya menunjukkan sumber pendapatan sekaligus gambaran pola pengeluaran, tabungan, dan investasi (Garman dan Forgue 1988). Dalam banyak peristiwa, keluarga tidak dapat menyisihkan uangnya untuk dimasukkan ke dalam tabungan karena tidak berhasil menekan jumlah pengeluaran.
20
Gambar 1 Diagram Cash flow manajemen keuangan keluarga (Anonim 2007). Pengeluaran Keluarga Dalam suatu keluarga pendapatan akan mempengaruhi aktivitas keluarga dalam upaya pemenuhan kebutuhan keluarga (Suryawati 2002). Hal ini terjadi karena tingkat pendapatan keluarga menentukan jenis pangan yang akan dibeli. Teori Bennet mengungkapkan bahwa persentase bahan pokok pangan dalam konsumsi suatu keluarga akan semakin menurun dengan meningkatnya pendapatan dan cenderung akan beralih pada pangan yang mengandung energi lebih mahal. Seiring dengan meningkatnya pendapatan maka akan terjadi pergeseran porsi pengeluaran untuk pangan ke pengeluaran non pangan. Pergeseran pola pengeluaran tersebut dikarenakan elastisitas terhadap pangan umumnya rendah, sebaliknya elastisitas terhadap non-pangan tinggi. Keadaan ini dapat dilihat pada pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi makannya sudah mencapai titik jenuh, sehingga peningkatan pendapatan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan bukan makanan atau ditabung (BPS 2002). Salah satu cara untuk mengetahui tingkat kehidupan suatu masyarakat dapat dilihat dari pola pengeluaran rumah tangganya (BPS 2002). Keluarga dapat dikatakan sejahtera apabila kebutuhan setiap anggota keluarganya dapat terpenuhi. Kebutuhan dasar manusia secara umum dibagi menjadi dua yaitu kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer merupakan
21 kebutuhan dasar yang sangat diperlukan agar dapat hidup dengan layak, seperti gizi, perumahan, pelayanan, pengobatan, pendidikan, dan sandang. Sedangkan kebutuhan sekunder meliputi waktu luang, ketenangan hidup, dan lingkungan hidup. Bryant (1990) mengemukakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi konsumsi keluarga yaitu pendapatan, ukuran (besar keluarga), komposisi keluarga, dan harga. Menurut Sumarwan (1993), pola konsumsi dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dari kepala rumah tangga, tingkat pendapatan keluarga, jumlah keseluruhan anggota keluarga dan selera makan keluarga. Teori Engel menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan rumahtangga maka akan semakin rendah persentase untuk pangan. Sebaliknya, semakin rendah tingkat pendapatan rumahtangga maka akan semakin tinggi persentase pengeluarannya untuk pangan. Bagi keluarga berpenghasilan rendah, umumnya pendapatan yang diperoleh hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic need) dan sebagian besar dari mereka sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan hidup secara layak, sehingga terjadi penurunan kualitas hidup atau kesejahteraannya (Rambe et al., 2008). Hal ini didukung dengan pernyataan BPS (2002) yang menyebutkan bahwa pada negara yang sedang berkembang, persentase pengeluaran rumahtangga yang terbesar adalah pengeluaran untuk pangan. Tingkat kesejahteraan suatu keluarga akan dikatakan semakin baik apabila persentase pengeluaran untuk pangan semakin kecil jika dibandingkan dengan total pengeluaran keluarga (Rambe 2004). Jenis pengeluaran keluarga yang digunakan oleh BPS (2008) yaitu pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran non pangan. Pengeluaran untuk pangan adalah pengeluaran untuk konsumsi terhadap bahan pangan kelompok padi-padian, ikan, daging, telur, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak, dan lemak. Komoditi pangan yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap pergeseran garis kemiskinan adalah beras, gula pasir, telur, tahu, tempe, mi instan, dan minyak goreng. Sementara itu, pengeluaran non pangan meliputi biaya untuk perumahan, bahan bakar, penerangan dan air, barang dan jasa, pakaian dan barang-barang tahan lama lainnya. Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Mangkuprawira (1985) bahwa jenis pengeluaran rumah tangga dibagi menjadi dua yaitu pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan. Secara naluriah seseorang dalam keluarga akan
22 terlebih dahulu menggunakan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan pangan baru kemudian untuk non pangan. Jika dikaitkan dengan teori Maslow seperti yang dikemukakan Rambe et al. (2008), maka akan dipenuhi terlebih dahulu adalah kebutuhan dasar keluarga, salah satunya adalah pangan. Walaupun
demikian,
perilaku
ini
tidak
lepas
dari
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya, seperti pendapatan, jumlah anggota keluarga, tempat tinggal, musim, dan pendidikan (Mangkuprawira 1985). Kesejahteraan Keluarga Pengertian Kesejahteraan Keluarga Kesejahteraan merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai oleh sebuah keluarga. Keluarga dikatakan sejahtera apabila sudah dapat memenuhi kebutuhan anggota keluarganya, baik sandang, pangan, papan, sosial, dan agama (Sulaeman 2008). Menurut Rambe et al. (2008), kesejahteraan merupakan suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, termasuk spiritual yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin yang memungkinkan warga negara untuk mengadakan usaha-usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Setiap orang memiliki penilaian terhadap tingkat kesejahteraan dimana antara satu sama lain tidak sama. Sejahtera bagi seseorang belum tentu sama dengan yang lainnya. Hal ini dikarenakan setiap orang memiliki pengalaman dan tingkat kepuasan yang berbeda yang sangat bergantung pada kepribadian masing-masing individu terhadap tingkat kepuasan dan persepsi yang dimilikinya akibat dari pengalaman sebelumnya (Angur et al., 2004). Kesejahteraan keluarga dapat dibedakan menjadi kesejahteraan ekonomi (family well-being) yang dapat diukur dari terpenuhinya kebutuhan dari pemasukan keluarga (contohnya diukur melalui pendapatan, upah, aset, dan pengeluaran keluarga) dan kesejahteraan meterial (family material well-being) yang diukur dari berbagai bentuk barang dan jasa yang digunakan keluarga (Sunarti 2008). Umumnya pengukuran kesejahteraan material dapat dilihat dari tingkat pendapatan. Menurut Sunarti (2008) tingkat kesejahteraan dapat diukur melalui dua cara, yaitu kesejahteraan subjektif dan kesejahteraan objektif. Angur & Robin (2002) dalam Angur et al. (2004) mengemukakan dalam pengukuran
23 kesejahteraan objektif dapat digunakan indikator seperti kondisi perumahan, demografi, dan ekonomi. Robin (2004) dalam Angur et al. (2004) mengemukakan indikator untuk kesejahteraan subjektif terhadap kualitas hidup (subjective quality of
life)
seperti
kepuasan,
persepsi,
komitmen,
aspirasi,
dan motivasi.
Kesejahteraan objektif diasumsikan penghitungannya melalui kesesuaian jumlah objektivitas atau angka (kuantitatif) berbeda dengan kesejahteraan subjektif yang diukur melalui asumsi subjektivitas (kualitatif) pengalaman seseorang. Tingkat kesejahteraan
objektif
seseorang
akan
mempengaruhi
kesejahteraan
subjektifnya. Dimana persepsi seseorang terhadap suatu kondisi (objektif) akan membentuk suatu perilaku tertentu (subjektif). Kesejahteraan Subjektif (Quality of Life) Kesejahteraan subjektif (Quality of Life) adalah pengukuran tingkat kepuasan dan kebahagiaan seseorang secara subjektif terhadap keadaannya dalam waktu tertentu (Krueger 2009). Pendekatan subjektif dapat diukur melalui standar kualitas sikap, opini, dan skala persepsi. Menurut Diener & Eunkook (1997), tingkat kesejahteraan subjektif secara langsung menggambarkan perasaan seseorang dalam konteks standar yang telah ditetapkannya. Semakin tinggi kepuasan dibandingkan dengan standar hidup yang berlaku, maka semakin
tinggi
kepuasan
terhadap
kualitas
hidupnya.
Haydron
(2005)
mengemukakan bahwa tingkat kepuasan seseorang tidak hanya bergantung pada prioritas dalam hidupnya, tetapi juga bagaimana ia merespon terhadap suatu keadaan yang terkadang tidak sesuai dengan harapan. Menurut Puspitawati et al. (2008), puas atau tidaknya seseorang dapat dihubungkan dari nilai-nilai yang terbentuk dari pengalaman sebelumnya dan tujuan yang ingin dicapainya. Seseorang akan merasa semakin puas dan bahagia apabila semakin tinggi kekayaan yang dimilikinya (Angur et al., 2004). Kesejahteraan subjektif erat kaitannya dengan pandangan mengenai kualitas hidup. Menurut University of Toronto-Canada (2008) kualitas hidup dapat didefinisikan sebagai berikut: “Quality of life is the degree to which a person enjoys the important possibilities of his/her life. Possibilities result from oppurtunities and limitations each person has in her/his life and reflect the interaction of personal and environmental factors” (University of Toronto 2008).
Menurut
Kruenger
kesejahteraan subjektif, yaitu:
(2009),
terdapat
dua
komponen
kualitatif
24 •
Pertama terkait pandangan hidup dalam bagaimana menyikapi aktivitas sehari-hari yang dipengaruhi emosi positif dan negatif serta pengalaman.
•
Kedua terkait evaluasi kehidupan seseorang dengan mengukur tingkat kepuasan
hidupnya,
misalnya
dengan
menanyakan
“sejauh
apa
kepuasan yang Anda rasakan terhadap hidup Anda sehari-hari?”. Kesejahteraan Objektif Kesejahteraan objektif diperoleh dengan hasil melalui pengamatan atau observasi dari suatu objek yang dapat dibandingkan dengan standar baku dengan hasil kuantitatif. Umumnya pendekatan fisik (objektif) lebih sering digunakan untuk mengukur kualitas hidup penduduk suatu daerah (Angur et al., 2004). Kesejahteraan objektif dapat diukur dengan menggunakan dua indikator, yaitu indikator utama dan indikator tambahan. Indikator utama merupakan tingkat pendapatan per kapita per bulan dengan mengacu standar garis kemiskinan daerah.
Sedangkan,
indikator
tambahan
meliputi
indikator
pemenuhan
kebutuhan pangan, pakaian, perumahan, pendidikan anak, dan perawatan kesehatan keluarga (Sunarti 2009). Sumarwan (1993a) mengatakan bahwa seseorang dikatakan sejahtera apabila terpenuhinya kebutuhan fisik dan material, dimana kebahagiaan berhubungan dengan perasaan atau emosi. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat kesejahteraan keluarga dikatakan lebih baik apabila presentase
pendapatan
yang
digunakan
untuk
pangan
lebih
rendah
dibandingkan presentase untuk kebutuhan lainnya atau non pangan. Salah satu indikator yang paling sering digunakan untuk mengukur kesejahteraan objektif yaitu menggunakan batas garis kemiskinan BPS yang didasarkan pada data konsumsi dan pengeluaran pangan dan non pangan (Rambe et al., 2008). Garis kemiskinan diartikan sebagai tingkat pendapatan seseorang atau keluarga yang layak untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum. Pengukuran tingkat kemiskinan suatu masyarakat secara luas dan keluarga secara khususnya dapat digunakan pendekatan secara objektif dengan cara penetapan garis kemiskinan suatu daerah yang kemudian dapat digunakan sebagai pembanding. Garis kemiskinan (GK) didapatkan dari hasil survey modul konsumsi Susenas yang dinyatakan dalam bentuk rupiah setiap bulannya (Cahyat 2004). GK terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) (BPS 2010).
25 Kesejahteraan Ekonomi Keluarga Lingkungan dan tempat tinggal. Rumah menjadi salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh manusia dalam hidupnya. Disamping sebagai tempat untuk berlindung, baik dari hujan maupun panas, rumah juga berfungsi sebagai tempat tinggal yang memberikan rasa aman bagi penghuninya dari gangguan yang tidak diinginkan. Oleh karena itu sangat penting keluarga memelihara kualitas rumah yang ditinggalinya. Semakin baik fasilitas yang dimiliki, maka semakin sejahtera keluarga yang menempati rumah tersebut. (BPS 2002).
Adapun
berbagai
fasilitas
yang
dapat
mencerminkan
tingkat
kesejahteraan tersebut berdasarkan Indikator Kesejahteraan Rakyat BPS (2002) diantaranya: •
Jenis lantai dimana semakin baik kualitas lantai perumahan maka semakin baik tingkat kesejahteraan penduduk. Rumah tangga dengan jenis lantai keramik atau marmer memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik daripada rumah tangga yang menggunakan jenis lantai semen, ubin atau tanah.
•
Atap yang layak dan dinding permanen dimana pada umumnya kualitas perumahan di pedesaan lebih rendah dibandingkan di daerah perkotaan.
Kepemilikan Aset. Menurut Bryant (1990) sumberdaya rumahtangga dapat dibedakan menjadi human resources (sumberdaya manusia) dan physical resources (sumberdaya fisik). Termasuk dalam human resources yaitu waktu, keahlian, dan energi dari seluruh anggota rumahtangga. Sedangkan physical resources lebih kepada sumberdaya materi berupa fasilitas kredit, saham, rekening tabungan, obligasi, mobil, rumah, dan tanah. Sementara itu Guharja et al. (1993) membedakan aset keluarga menjadi dua jenis, yaitu: •
Aset lancar terdiri dari barang-barang yang dapat cepat diuangkan, contoh: emas, perhiasan, dan tentu saja uang.
•
Aset tidak lancar terdiri dari barang-barang yang relatif agak lama diuangkan, contoh: tanah, rumah, mobil, kebun, surat-surat berharga, saham, dan investasi modal.
Penelitian Pendahulu Penelitian ini tidak terlepas dari penelitian-penelitian terdahulu yang sejenis. Adapun penelitian-penelitian terdahulu dapat dilihat secara lebih rinci pada Tabel 1.
26 Tabel 1 Hasil penelitian pendahulu
Nama Yani Adriani
Tahun 2000
Judul Penelitian Pengaruh Kontribusi Ekonomi Wanita Bekerja terhadap Pola Pengambilan Keputusan dan Tingkat Kesejahteraan dalam Rumahtangga Nelayan, Kasus Dusun Petoran, Desa Gebang Mekar, Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon Analisis Tingkat Stress dan Strategi Koping pada Suami yang Istrinya Bekerja Sebagai TKW di Luar Negeri, Kasus di Desa Sukasari, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi
Eka Aprilianti
2007
Vivi Irzalinda
2010
Kontribusi Ekonomi, Peran Istri dan Kesejahteraan Keluarga di Kota dan Kabupaten Bogor, Studi Kasus pada Istri di Kelurahan Situ GedeKecamatan Bogor dan Desa Hambaro-Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor
Khairunnisa Nurulfirdausi
2010
Analisis Pengaruh Kontribusi Ekonomi Perempuan dan Manajemen Keuangan Keluarga terhadap Kesejahteraan Keluarga pada Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW), Kasus di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat
Hasil Persentase rata-rata kontribusi ekonomi wanita bekerja sebesar 33,3-75,0 persen terhadap pendapatan keluarga.
Sebanyak 46,7 persen istri setelah TKW berkontribusi terhadap pendapatan suami sebesar lebih dari 75 persen dengan rata-rata sebesar Rp 1.676.666,70 per bulan. Hal ini berarti sumbangan pendapatan istri terhadap pendapatan suami sangat besar. Semakin besar kontribusi nilai ekonomi produktif terhadap pendapatan total keluarga per bulan maka akan semakin lebih besar tingkat kesejahteraan keluarga. Rata-rata kontribusi nilai ekonomi prduktif istri terhadap pendapatan total keluarga di Kelurahan Situ Gede sebesar Rp 2.475.333,per bulan (71,8%) dan di Desa Hambaro sebesar Rp 673.033,- (46,6%). Sebanyak tiga perempat istri (70,2%) menyumbang pendapatan terhadap pendapatan total keluarga setelah menjadi TKW sebesar lebih dari 60,0 persen. Dengan pengeluaran contoh lebih banyak untuk pengeluaran non-pangan dibandingkan untuk pengeluaran pangan (85,1%).
KERANGKA PEMIKIRAN Salah satu fungsi keluarga yang harus dilakukan adalah fungsi ekonomi melalui pemenuhan seluruh kebutuhan anggota keluarga. Keluarga yang memiliki pendapatan rendah akan mencari pekerjaan lain disaming pekerjaan utamanya bahkan tidak jarang mealibatkan anggota keluarga lainnya termasuk istri untuk meningkatkan pendapatan (family generating income). Salah satunya dengan menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW). Menurut Zehra (2008), alasan utama perempuan berpartisipasi aktif bekerja dengan upah di luar rumah yaitu untuk memberikan kontribusi ekonomi secara langsung terhadap pendapatan keluarga. Hal ini dikarenakan pendapatan akan mempengaruhi aktivitas pengeluaran keluarga dalam memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan pangan maupun kebutuhan non pangan. Keluarga akan dikatakan sejahtera apabila kebutuhan setiap anggotanya dapat terpenuhi. Adapun hipotesa yang digunakan dalam penelitian ini adalah jika kontribusi ekonomi istri meningkat maka akan meningkatkan kesejahteraan keluarga, baik secara objektif maupun subjektif. Disamping itu, apabila pengeluaran non pangan keluarga lebih besar dibandingkan
dengan
pengeluaran
pangannya,
maka
keluarga
tersebut
dikatakan memiliki tingkat kesejahteraan yang baik. Landasan teori yang digunakan pada penelitian ini adalah teori strukturalfungsional. Teori ini menekankan pada keseimbangan sistem yang stabil dalam keluarga agar dapat berfungsi dengan baik. Menurut Parsons & Bales (1956), struktur keluarga akan berfungsi secara efektif apabila dalam keluarga inti tersusun dari seorang laki-laki sebagai pencari nafkah utama (main breadwinner) dan perempuan sebagai ibu rumah tangga (homemaker) untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kepergian istri sebagai TKW dalam jangka waktu yang relatif lama menyebabkan perubahan struktur dan peran pada keluarga. Berdasarkan kerangka Moser (1993), maka dalam penelitian ini akan lebih menekankan pada peranan produktif yang merupakan peranan yang dikerjakan perempuan dan laki-laki agar memperoleh upah secara tunai. Tinggi rendahnya kontribusi ekonomi perempuan dipengaruhi oleh jumlah anggota rumahtangga yang bekerja mencari nafkah berupa uang. Selanjutnya, pendapatan akan mempengaruhi aktivitas pengeluaran keluarga.
BPS
(2008)
membagi
jenis
pengeluaran
menjadi
dua
yaitu
pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan. Adapun pengeluaran keluarga yang diteliti dalam penelitian ini adalah pengeluaran pangan,
28 pengeluaran non pangan, pengeluaran khusus suami, dan hutang. Menurut Bryant (1990), terdapat empat faktor yang mempengaruhi konsumsi keluarga yaitu pendapatan, ukuran (besar keluarga), komposisi keluarga, dan harga. Secara umum Rashid et al. (2010) menemukakan bahwa peningkatan pendapatan akan meningkatkan pengeluaran total keluarga. Seiring dengan meningkatnya pendapatan maka akan terjadi pergeseran proporsi pengeluaran untuk pangan ke pengeluaran non pangan. Di tengah meningkatnya pendapatan dan semakin bertambahnya kebutuhan keluarga tidak jarang akan melakukan hutang untuk memenuhinya. Bartola dan Hochaguertel (2005) menyatakan bahwa hutang rumahtangga terjadi karena adanya keinginan untuk memiliki barang mewah namun sumberdaya yang ada terbatas. Kesejahteraan dapat dilihat dengan dua cara yaitu kesejahteraan objektif dan kesejahteraan subjektif. Kepergian istri menjadi TKW memiliki dampak positif bagi keluarga yaitu perubahan keadaan ekonomi keluarga dengan adanya kontribusi ekonomi istri. Laswell dan Laswell (1987) mengemukakan bahwa kontribusi ekonomi perempuan dalam ekonomi keluarga akan menghasilkan peningkatan dalam keuangan keluarga, kepemilikan
barang mewah, standar
hidup yang lebih tinggi dengan pencapaian rasa aman yang lebih baik sehingga berdampak pada peningkatan status sosial keluarga. Hal ini akan meningkatkan kesejahteraan keluarga, baik kesejahteraan objektif maupun kesejahteraan subjektif. Sebab seseorang akan merasa semakin puas dan bahagia apabila semakin tinggi kekayaan yang dimilikinya (Angur et al., 2004). Teori Engel menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan rumah tangga maka akan semakin semakin rendah persentase pengeluaran untuk pangan. Jika dikaitkan dengan Teori Maslow maka keluarga akan memenuhi kebutuhan dasar terlebih dahulu seperti pangan, sandang, dan papan sebelum memenuhi kebutuhan lainnya. Keluarga akan dikatakan memiliki tingkat kesejahteraan yang baik apabila kebutuhannya sudah tercukupi dan persentase pengeluaran pangan lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran non pangan. Namun keluarga yang memiliki hutang , baik dari sebelum maupun saat istri menjadi TKW dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraannya. Hal ini senada dengan pernyataan Bertola dan Hochaguertel (2005), semakin tinggi hutang keluarga maka akan menurunkan kesejahteraan keluarga tersebut. Pada penelitian ini analisis dilakukan untuk melihat karakteristik TKW dan suami yang didasarkan pada umur, pendidikan, dan lama menjadi TKW.
29
Penelitian ini difokuskan pada kontribusi ekonomi istri sebagai TKW dan pola pengeluaran rumahtangga yang terdiri dari pengeluaran untuk pangan, non pangan, pengeluaran khusus suami, dan hutang. Penelitian ini juga ingin mengidentifikasi kesesuaian Teori Engel dengan persentase pengeluaran total keluarga. Selanjutnya, mengidentifikasi hubungan kepergian istri menjadi TKW dengan
kesejahteraan
keluarga,
baik
kesejahteraan
objektif
maupun
kesejahteraan subjektif keluarga khususnya suami. Uraian di atas merupakan kerangka pemikiran yang digunakan pada penelitian ini. Kerangka berpikir tersebut dapat dituangkan menjadi sebuah bagan kerangka pikir secara menyeluruh yang dapat dilihat pada Gambar 2.
30
30
Karakteristik TKW -
Umur Pendidikan Pekerjaan Riwayat sebagai TKW
Kontribusi Ekonomi TKW Terhadap Pendapatan Total Keluarga
Karakteristik Suami dan Keluarga -
Umur Pendidikan Pekerjaan Besar keluarga
Dukungan Sosial Lingkungan -
Pola Pengeluaran Keluarga (dari TKW dan lainnya) -
Kesejahteraan Keluarga - Objektif - Subjektif
Pangan Non-pangan Aset Pengeluaran khusus suami Hutang
Keluarga besar Tetangga PJTKI
Gambar 2 Hubungan antara kontribusi ekonomi perempuan dan pola pengeluaran keluarga terhadap kesejahteraan keluarga Keterangan:
: Hubungan yang diteliti : Variabel yang diteliti
: Hubungan yang tidak diteliti :
: Variabel yang tidak diteliti
31 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan metode survei dengan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data utama. Desain yang digunakan adalah kombinasi studi cross sectional dengan retrospective yaitu penelitian dilakukan tidak hanya pada satu waktu tertentu (single period in time), namun juga mengkaji berbagai variabel dengan meneliti masa lalu sampel. Kombinasi disain tersebut digunakan karena ingin melihat keadaan perekonomian yang dirasakan responden sebelum dan saat menjadi TKW. Penelitian ini dilakukan Desa Padaasih, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Pemilihan lokasi kabupaten dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan Kabupaten Sukabumi merupakan kabupaten yang mengirimkan Tenaga Kerja Wanita (TKW) terbanyak keempat di Provinsi keempat di Jawa Barat (BNP2TKI 2011). Selain itu Kecamatan Cisaat merupakan kecamatan yang memiliki banyak TKW yang sedang berkerja di luar negeri dalam catatan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans 2008) Kabupaten Sukabumi. Begitu pula dengan alasan pemilihan lokasi desa yang dilakukan dengan sengaja (purposive) atas pertimbangan desa tersebut merupakan pengirim TKW terbanyak di Kecamatan Cisaat dan mudah dijangkau. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Juni hingga Juli 2011. Teknik Penarikan Contoh Populasi dari penelitian ini adalah keluarga TKW yang berada di Kecamatan Cisaat. Contoh pada penelitian ini adalah keluarga TKW yang istrinya secara aktif bekerja di luar negeri minimal selama enam bulan dan memiliki anak usia di bawah 18 tahun. Responden pada penelitian ini adalah suami yang istrinya bekerja sebagai TKW dan tinggal di rumah. Penarikan contoh dilakukan melalui metode purposive berdasarkan data dari desa dengan teknik snowball sampling, yaitu metode yang dilakukan dengan mencari responden sesuai karakteristik yang dicari. Dikarenakan teknik yang digunakan adalah snowball sampling maka informasi mengenai responden berdasarkan karakteristik yang dicari diperoleh dari Sekertaris Desa dan warga sekitar. Pencarian responden dibantu oleh Ibu RT 27a yang juga aktif sebagai koordinator Posyandu Desa Padaasih. Responden ditanya dengan bantuan pertanyaan dari kuesioner yang
32 telah peneliti siapkan sesuai dengan kriteria tertentu, seperti suami yang memiliki istri bekerja sebagai TKW di luar negeri minimal selama enam bulan, memiliki anak, dan bersedia untuk dijadikan sampel dan diwawancarai. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 60 orang. Proses teknik pengambilan contoh dapat dilihat pada Gambar 3. Provinsi Jawa Barat
--------purposive berdasarkan jumlah angkatan kerja (BPS Jabar 2011)
Kabupaten Sukabumi
-------purposive berdasarkan jumlah pengiriman TKW terbanyak keempat di Jawa Barat (BNP2TKI 2011)
Kecamatan Cisaat
-------purposive berdasarkan kecamatan yang memiliki banyak TKW (Disnakertrans 2008)
Desa Padaasih
-------purposive berdasarkan jumlah TKW terbanyak dari kecamatan Cisaat
n keseluruhan = 60 responden
-------non probability dengan teknik Snowball
Gambar 3 Metode penarikan contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuisioner terstruktur yang meliputi: (1) Karakteristik istri (umur, pendidikan, pekerjaan, dan riwayat menjadi TKW), (2) Karakteristik suami dan keluarga (umur, pendidikan, pekerjaan, dan besaran keluarga), (3) Kontribusi ekonomi TKW terhadap pendapatan total keluarga, (4) Pola pengeluaran keluarga (pangan, non pangan, aset, pengeluaran khusus suami, dan hutang), dan (5) Kesejahteraan keluarga subjektif dan objektif. Data primer diperoleh dari hasil penggalian informasi dari contoh yang dilakukan melalui penyebaran kuesioner yang relevan dengan variabel yang diteliti. Kuesioner dikembangkan berdasarkan berbagai penelitian yang serupa terdahulu dan kuesioner telah diuji realibilitas serta validitasnya sesuai degan
33 tujuan penelitian. Informasi atau keterangan cara pengisian kuesioner diperoleh dengan cara dipandu oleh peneliti. Daftar pertanyaan kuesioner dirancang dengan memberikan pertanyaan terbuka dan tertutup. Sedangkan untuk data sekunder diperoleh melalui gambaran umum lokasi penelitian, kondisi sosial ekonomi Kabupaten Sukabumi, data penduduk yang diperoleh dari Kantor Desa dan instansi terkait di Kabupaten Sukabumi, dan jumlah Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang diperoleh dari BPS serta Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans)
Kabupaten
Sukabumi.
Adapun
variabel,
skala,
cara
pengumpulan data, dan kategori skor disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Variabel, skala data, jenis data, dan kategori skor No
Variabel
1
Karakteristik TKW • Umur • Pendidikan • Pendapatan • Pekerjaan sebelum jadi TKW
2
3 4
5
Skala
Jenis Data
Rasio (tahun) Rasio (tahun)
Primer Primer
Rasio (Rp) Nominal
Primer Primer
• Riwayat jadi TKW Karakteristik Suami dan Keluarga TKW • Umur • Pendidikan • Pendapatan • Pekerjaan
Rasio (tahun)
Primer
Rasio (tahun) Rasio (tahun) Rasio (Rp) Nominal
Primer Primer Primer Primer
• Besar keluarga
Rasio (orang)
Primer
Rasio (Rp) Rasio (Rp)
Primer Primer
Rasio (Rp) Rasio (Rp) Rasio (Rp) Rasio (Rp)
Primer Primer Primer Primer
Rasio (Rp)
Primer
Ordinal (1-4) Rasio (Rp)
Primer
Pendapatan keluarga • Pendapatan TKW • Pendapatan suami Pengeluaran keluarga • Pangan • Non-pangan • Aset • Pengeluaran khusus suami • Hutang Kesejahteraan • Subjektif (kepuasan) • Objektif (pendapatan)
Primer
Kategori Skor
0=Tidak berkerja; 1=Wiraswasta; 2=Petani; 3=Buruh; 4=Pedagang
0=Tidak bkerja; 1=Wiraswasta; 2=Petani; 3=Buruh; 4=Pedagang.
1-24 pertanyaan, α=0.855
34 Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah dikumpulkan diolah melalui proses editing, coding, scorring, entry data ke komputer, cleaning data, dan analisis data. Analisis data dilakukan secara metode deskriptif dan inferensia. Variabel dengan skala ordinal dikompositkan sehingga diperoleh total skor. Cara perhitungan kontribusi ekonomi TKW terhadap kesejahteraan keluarga dapat menggunakan rumus sebagai berikut: Nilai ekonomi TKW (Rp/bulan) X 100% Pendapatan keluarga (Rp/bulan) Data karakteristik istri meliputi umur, pendidikan, pendapatan, pekerjaan sebelum menjadi TKW, dan riwayat sebagai TKW, sedangkan data karakteristik suami dan keluarga meliputi meliputi umur, pendidikan, pendapatan, pekerjaan, dan besar keluarga. Riwayat istri sebagai TKW dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu kurang dari 1 tahun, 1-2 tahun, 2-5 tahun, dan lebih dari 5 tahun. Umur istri dan suami serta keluarga dibagi menjadi tiga kategori yaitu dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (40-60 tahun), dan dewasa akhir (>60 tahun) (Hurlock 1980). Tingkat pendidikan istri dan suami serta keluarga dikategorikan menjadi tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tidak tamat SMP, tamat SMP, tidak tamat SMA, tamat SMA, dan perguruan tinggi. Besar keluarga dikelompokkan menjadi tiga kategori berdasarkan BKKBN (1998) menjadi tiga kategori keluarga kecil (<4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (≥8 orang). Pendapatan total keluarga terdiri dari pendapatan istri sebagai TKW dan pendapatan suami. Kategori pendapatan menggunakan batas Garis Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Sukabumi 2010 yaitu Rp 850.000,00 yang selanjutnya dikelompokkan menjadi 10 kategori yaitu kurang dari Rp 850.000, Rp 850.001 – Rp 1.700.000, Rp1.700.001 – Rp 2.550.000, Rp 2.550.000 – Rp 3.400.000, Rp 3.400.001 – Rp 4.250.000, Rp 4.250.001 – Rp 5.100.000, Rp 5.100.001 – Rp 5.950.000, Rp 5.950.001 – Rp 6.800.000, Rp 6.800.001 – Rp 7.650.000, dan lebih dari Rp 7.650.001. Kontribusi ekonomi TKW terhadap pendapatan total keluarga diperoleh dari pendapatan TKW selama satu bulan dibagi pendapatan total keluarga dalam satu bulan. Data pengeluaran keluarga meliputi pengeluaran pangan, pengeluaran non-pangan, aset, pengeluaran khusus suami, dan hutang. Pengeluaran pangan, pengeluaran non-pangan, dan pengeluaran khusus suami menggunakan Garis
35 Kemiskinan pedesaan Jawa Barat 2010 yaitu Rp 185.335,00 yang selanjutnya pada penelitian ini dikelompokkan menjadi lima kategori yaitu Rp 185.335, Rp 185.336 – Rp 370.670, Rp 370.671 – Rp 556.005, Rp 556.006 – Rp 741.340, dan lebih dari Rp 741.341. Aset keluarga dilihat dari jumlah aset yang dimiliki keluarga antara lain rumah, kepemilikan kandang ternak, hewan ternak, lahan, kendaraan, barang elektronik, furniture, perhiasan dan tabungan, asuransi, perlengkapan dapur, dan lainnya (kepemilikan usaha) terdiri dari 15 butir pertanyaan yang diukur dari kepemilikan sebelum TKW dan saat ini. Kemudian tempat tinggal dilihat dari kondisi tempat tinggal keluarga sebelum dan saat ini. Hutang diukur menggunakan Garis Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Sukabumi 2010 yaitu Rp 850.000,00 yang selanjutnya dikelompokkan menjadi 10 kategori yaitu kurang dari Rp 850.000, Rp 850.001 – Rp 1.700.000, Rp1.700.001 – Rp 2.550.000, Rp 2.550.000 – Rp 3.400.000; Rp 3.400.001 – Rp 4.250.000, Rp 4.250.001 – Rp 5.100.000, Rp 5.100.001 – Rp 5.950.000, Rp 5.950.001 – Rp 6.800.000, Rp 6.800.001 – Rp 7.650.000, dan lebih dari Rp 7.650.001. Data kesejahteraan terdiri dari variabel kesejahteraan keluarga subjektif (kepuasan) dan kesejahteraan keluarga objektif (pendapatan). Kesejahteraan objektif menggunakan kategori Indikator Garis Kemiskinan BPS Jawa Barat wilayah pedesaan yaitu Rp 185 335,00 (BPS 2010). Kesejahteraan keluarga subjektif diukur berdasarkan 24 butir pertanyaan tentang tingkat kepuasan suami terhadap kesejahteraan fisik, sosial, ekonomi, dan psikologis dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu kurang (23-39), sedang (40-56), dan tinggi (57-73). Masing-masing pertanyaan diberi skor berdasarkan skala likert, yaitu skor 1 jika jawaban tidak puas, skor 2 jika jawaban cukup puas, skor 3 jika jawaban puas, dan skor 4 jika jawaban sangat puas. sebelum diuji, data ordinal dikompositkan terlebih dahulu sehingga diperoleh total skor. Perhitungan total skoring menggunakan rumus sebagai berikut: Skor =
(Nilai Total – Nilai Minimum) Nilai Maksimum – Nilai Minimum
Selanjutnya, skor yang diperoleh dari masing-masing pertanyaan dijumlahkan, kemudian dibuat penggolongan interval berdasarkan Slamet (1993), sehingga diperoleh tiga kategori kesejahteraan yaitu kurang, sedang, dan tinggi. Interval kelas dihitung dengan rumus sebagai berikut:
36 Interval kelas (Ik) = Skor Maksimum (NT) – Skor Minimum (NR)* ∑ kategori Ket: *Skor maksimum dan minimum berdasarkan skala pertanyaan di kuesioner.
Setelah data secara keseluruhan telah dientry ke dalam komputer dengan menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS versi 17 for Windows, dapat dilakukan penarikan kesimpulan. Adapun analisis statistik yang digunakan untuk mengolah data adalah: 1. Analisis deskriptif (sebaran, rata-rata, standar deviasi, dan gambaran berbagai variabel yang diteliti dan penjelasan dari hasil wawancara mendalam). 2. Uji korelasi Spearman dilakukan untuk menguji hubungan antar variabel ordinal seperti kesejahteraan keluarga subjektif yang terdiri dari dimensi fisik, ekonomi, sosial, dan psikologis. Rumus Korelasi Spearman yang digunakan adalah: rs = 1- 6 ∑ di2 n (n2-1)
Keterangan: di2 = (Xi – Yi)2 rs
= Koefisien korelasi rank Spearman
di
= Selisih ranking Xi dan Yi
Yi = Ranking variabel Yi Xi = Ranking variabel Xi N
= Banyaknya pasangan data
3. Uji korelasi Pearson untuk menguji hubungan antara variabel-variabel diantaranya karakteristik TKW, karakteristik suami dan keluarga terhadap kontribusi ekonomi TKW, pola pengeluaran keluarga (dari TKW dan lainnya), dan kesejahteraan (objektif dan subjektif). Rumus korelasi Pearson yaitu:
Keterangan: r = koefisien korelasi Pearson X = variabel bebas Y = variabel terikat
37 Definisi Operasional Karakteristik suami dan istri adalah ciri-ciri individu seperti umur, pendidikan, dan pekerjaan suami serta istri Karakteristik keluarga adalah ciri-ciri yang digunakan untuk mengidentifikasi keluarga seperti besaran keluarga, umur, pendidikan, dan pekerjaan keluarga. Umur adalah usia suami dan istri atau anggota keluarga lainnya yang dinyatakan dalam tahun. Pendidikan suami dan istri adalah tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti atau ditamatkan oleh suami dan istri. Pekerjaan suami dan istri adalah jenis profesi yang dilakukan oleh suami dan istri yang dapat dibedakan menjadi pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan untuk mendapat imbalan/gaji/upah. Riwayat sebagai TKW adalah sumber informasi mengenai TKW yang terdiri dari lama istri menjadi TKW, kali keberangkatan, dan negara tujuan bekerja. Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang tinggal bersama dalam satu rumah dengan masih atau tidak menjadi tanggungan dalam pmenuhan kebutuhan hidupnya. Adapun pengelompokkan berdasarkan BKKBN (1998) adalah keluarga besar >7 orang, keluarga sedang 5-7 orang, dan keluarga kecil ≤ 4 orang. Kontribusi ekonomi perempuan dalam keluarga adalah pendapatan yang dihasilkan oleh perempuan (istri) yang kemudian disumbangkan ke dalam total pendapatan keluarga. Kontribusi ekonomi perempuan (istri) dihitung berdasarkan perbandingan alokasi pendapatan perempuan (istri) sebagai TKW untuk keluarga dengan jumlah penghasilan keluarga secara keseluruhan dengan cara menjumlahkan pendapatan suami dan istri selama satu bulan. Pendapatan total keluarga adalah total uang yang diterima oleh keluarga dari suami, istri, dan anggota keluarga lainnya yang bekerja serta memperoleh gaji/upah termasuk di dalamnya juga dana bantuan yang diterima keluarga. Pengeluaran total keluarga adalah rata-rata jumlah uang yang dikeluarkan oleh keluarga untuk memenuhi kebutuhannya, baik untuk pangan maupun nonpangan per bulan dalam satu bulan terakhir. Pengeluaran pangan adalah rata-rata pengeluaran keluarga yang dialokasikan untuk makanan dan minuman selama satu bulan terakhir.
38 Pengeluaran non pangan adalah rata-rata pengeluaran keluarga yang dialokasikan untuk kebutuhan barang-barang bukan makanan dan minuman selama satu bulan terakhir. Aset keluarga adalah seluruh kekayaan yang dimiliki keluarga berbentuk materi seperti uang, barang, kendaraan, modal atau sesuatu yang dapat ditukarkan dengan uang ketika dibutuhkan oleh keluarga. Pengeluaran khusus suami adalah rata-rata pengeluaran suami untuk memenuhi kebutuhannya dalam satu bulan terakhir. Hutang keluarga adalah sejumlah uang yang dipinjam oleh keluarga untuk memenuhi kebutuhannya dalam jangka waktu tertentu. Kesejahteraan keluarga objektif adalah keadaan kesejahteraan keluarga yang dapat diukur dan dilihat secara wujud materi seperti pendapatan keluarga, pengeluaran pangan dan non-pangan keluarga menggunakan indikator garis kemiskinan BPS. Kesejahteraan keluarga subjektif adalah perasaan senang dan tingkat kepuasan terhadap kehidupan rumah tangga dan manajemen sumberdaya dalam keluarga, dimana apabila semakin puas atau bahagia perasaan anggota keluarga terhadap kehidupan dan gaya manajemen dalam keluarganya maka keluarga tersebut dapat dikatakan lebih sejahtera.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Desa Padaasih merupakan salah satu desa dari 13 desa yang secara administratif terdapat di Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Luas Desa Padaasih mencapai 257.263 Ha. Desa Padaasih terdiri dari empat Dusun yang terdiri dari: Dusun Jambalaer, Dusun Padaasih, Dusun Ciroyom, dan Dusun Cimenteng. Adapun Desa Padaasih memiliki 10 RW dan 45 RT. Sebagian besar wilayah desa dimanfaatkan sebagai lahan pertanian yang terdiri dari berbagai macam jenis seperti padi, sayuran, dan hasil pertanian lainnya. Berdasarkan data terakhir tahun 2010, tercatat jumlah penduduk Desa Padaasih pada akhir tahun 2010 berjumlah 8.283 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki 4.130 jiwa dan jumlah perempuan 4.153 jiwa. Jumlah kepala keluarga (KK) di Desa Padaasih berjumlah 2.243 KK. Mayoritas tingkat pendidikan KK adalah sekolah dasar (SD). Mata pencaharian KK di Desa Padaasih sebagian besar sebagai buruh, pedagang, dan petani, serta jasa. Mayoritas istri bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) dengan negara tujuan paling banyak adalah Arab Saudi. Jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang resmi terdaftar di instansi setempat yang berasal dari Desa Padaasih tahun 2010 adalah 100 orang. Dari hasil pengamatan di lapang, rumah hasil dari pendapatan istri sebagai TKW terlihat lebih bagus atau terjadi peningkatan kualitas. Hal ini terlihat dari mayoritas contoh yang melakukan renovasi rumah setelah istri menjadi TKW seperti diperluas dan bertingkat. Karakteristik Sosial Demografi Keluarga Contoh Umur suami berkisar antara 26 hingga 70 tahun dengan rata-rata umur 40,3 tahun, sedangkan umur istri berkisar antara 22 hingga 50 tahun dengan rata-rata umur 33,5 tahun. Berdasarkan hal tersebut, umur suami dan istri digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok dewasa awal (18-40 tahun), kelompok dewasa madya (40-60 tahun), dan kelompok dewasa akhir (>60 tahun) (Hurlock 1980). Hasil penelitian menunjukkan bahwa separuh suami (50,0%) dan istri (90,0%) berada pada kisaran umur antara 18-40 tahun atau kategori umur dewasa awal. Umur tersebut merupakan umur produktif seseorang dimana selain masih menjadi tulang punggung keluarga, juga merupakan umur yang memiliki potensi besar untuk mencari penghasilan tambahan.
40 Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan umur suami dan istri Kategori (tahun) Dewasa awal (18-40) Dewasa madya (41-60) Dewasa akhir (>60 ) Total Rata-rata±SD (tahun) Kisaran (min-max)
Suami n 30 28 2 60
% 50,0 46,6 3,4 100,0 41,25±8.297 26-70
Istri (TKW) n 54 6 0 60
% 90,0 10,0 0,0 100,0 33,47±6.665 22-50
Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat dari lama pendidikan formal atau non-formal yang ditempuhnya. Pendidikan dan kesejahteraan merupakan dua aspek yang saling mempengaruhi dimana tingkat pendidikan akan menentukan kemampuan keluarga dalam mengakses kebutuhan hidupnya secara lebih baik. Selain itu tingkat pendidikan juga akan menentukan jenis pekerjaan yang dilakukannya. Pendidikan suami dan istri dikelompokkan menjadi lima tingkatan, yaitu tidak sekolah, SD (1-6 tahun), SMP (7-9 tahun), SMA (10-12 tahun), dan perguruan tinggi (13-16 tahun). Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan dalam Tabel 4 dapat diketahui bahwa lebih dari separuh suami (68,3%) dan istri (60,0%) menyelesaikan pendidikan formal hanya sampai pada tingkat SD, sedangkan hanya sebagian kecil istri (1,7%) menyelesaikan tingkat pendidikan hingga perguruan tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan istri masih rendah. Hal ini diduga karena keadaan ekonomi yang kurang mendukung. Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan lama pendidikan suami dan istri Lama Pendidikan (tahun) 0 1-6 7-9 10-12 ≥13 Total Rata-rata±SD (tahun) Kisaran (min-max)
Suami n 1 41 15 3 0 60
% 1,7 68,3 25,0 5,0 0,0 100,0 6,48±2.198 0-12
Istri (TKW) n % 1 1,7 36 60,0 17 28,3 5 8,3 1 1,7 60 100,0 7,23±2.360 0-13
Jenis pekerjaan kepala keluarga dapat menjadi salah satu faktor penentu jumlah pendapatan keluarga. Semakin baik pekerjaan suami maka semakin baik pula pendapatan rumah tangga serta pengeluaran yang dilakukan oleh keluarga sehingga istri tidak perlu bekerja lagi untuk membantu mencari nafkah keluarga. Oleh sebab itu tidak jarang untuk memenuhi kebutuhan keluarga, maka suami harus mencari penghasilan tambahan (generating income) dari pekerjaan
41 sampingan selain dari pekerjaan utama. Dari Tabel 5 dapat diketahui bahwa pekerjaan utama suami terbesar berturut-turut adalah sebagai berikut: buruh (40,0%), wiraswasta (28,3%), petani (6,7%), dan pedagang (18,3%). Lebih dari separuh suami (65,0%) tidak memiliki pekerjaan sampingan dan hanya mengandalkan pekerjaan utama dan pekerjaan istri sebagai TKW. Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan utama dan sampingan suami dan istri Jenis Pekerjaan
Suami Sampingan % n % 28,3 3 5,0 6,7 4 6,7 40,0 7 11,6 18,3 7 11,6 6,7 39 65,0 100,0 60 100,0
Utama Wiraswasta Petani Buruh (pabrik, bangunan, kuli) Pedagang Tidak memiliki pekerjaan Total
n 17 4 24 11 4 60
Istri Sebelum TKW n % 0 0,0 0 0,0 1 1,6 3 5,0 56 93,3 60 100,0
Sebelum istri bekerja menjadi TKW, sebagian besar istri (93,3%) tidak bekerja dan hanya sebagai ibu rumahtangga saja. Dari Tabel 5 dapat diketahui hanya sepertiga istri yang bekerja sebagai pedagang dan buruh. Besar keluarga merupakan penjumlahan dari anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Seringkali besar keluarga ditentukan oleh banyaknya jumlah anggota keluarga, biasanya anak. Pada penelitian ini jumlah keluarga dikategorikan menurut BKKBN (1998), yaitu keluarga kecil (<4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (>7 orang). Hasil penelitian dalam Tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar (85,0%) contoh memiliki keluarga dengan kategori kecil (≤4 orang) dan kurang dari separuh (15,0%) contoh memiliki keluarga dengan kategori sedang (5-7 orang). Jumlah anggota keluarga terkecil adalah dua orang dan jumlah terbesar adalah enam orang. Jumlah keluarga kecil bebannya
tidak
terlalu
berat
bagi
orangtua
untuk
dapat
mewujudkan
kesejahteraan dalam keluarga (BKKBN 1997). Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan klasifikasi besar keluarga Klasifikasi Besar Keluarga Keluarga kecil (≤4 orang) Keluarga sedang (5-7 orang) Keluarga besar (≥8 orang) Total Rata-rata±SD (orang) Kisaran (min-max)
Jumlah n 51 9 0 60
% 85,0 15,0 0,0 100,0 3,42±1.030 2-6
42 Riwayat Istri sebagai TKW Kepergian istri bekerja sebagai TKW ke luar negeri dalam jangka waktu yang cukup lama mengakibatkan terjadi perubahan peranan dalam keluarga. Jangka waktu lama istri bekerja sebagai TKW di luar negeri bervariasi, dari yang paling singkat yaitu enam bulan hingga yang paing lama yaitu 10 tahun. Hasil Tabel 7 menunjukkan bahwa persentase terbesar (48,3%) lama istri bekerja sebagai TKW di luar negeri selama 1-2 tahun, selanjutnya persentase terbesar kedua (26,7%) selama kurang dari 1 tahun. Rata-rata kepergian istri menjadi TKW yaitu selama 2,0 tahun. Tabel 7 Sebaran istri berdasarkan lama bekerja sebagai TKW Lama Bekerja sebagai TKW <1 tahun 1-2 tahun 2-5 tahun >5 tahun Total Rata-rata±SD (tahun) Kisaran (min-max)
Jumlah n 16 29 11 4 60
% 26,7 48,3 18,3 6,7 100,0 2,18±1.8715 1-5
Berdasarkan Tabel 8 persentase terbesar istri (36,7%) menjadi TKW sebanyak dua kali (36,7%), selanjutnya persentase terbesar kedua (33,3%) merupakan keberangkatan pertama kalinya. Tabel 8 Sebaran istri berdasarkan jumlah keberangkatan istri sebagai TKW Jumlah Keberangkatan 1 kali 2 kali 3 kali 4 kali Total Rata-rata±SD (kali) Kisaran (min-max)
Jumlah n 20 22 13 5 60
% 33,3 36,7 21,7 8,3 100,0 2,05±0946 1-4
Sebagian besar (93,3%) negara tujuan istri bekerja ke luar negeri adalah Arab Saudi dan sisanya ke negara lain (Malaysia, Hongkong, Singapura, dan Dubai). Alasan negara Arab menjadi negara tujuan bekerja dikarenakan memiliki tingkat kesejahteraan yang cukup tinggi dan keterampilan yang dibutuhkan tidak terlalu sulit dibandingkan dengan negara lainnya seperti Singapura, Hongkong, dan sebagainya yang membutuhkan kemampuan berbahasa Inggris dalam kesehariannya.
43 Tabel 9 Sebaran istri berdasarkan negara tujuan TKW Negara Tujuan TKW Arab Saudi Malaysia Hongkong Singapura Dubai (Abu Dhabi) Total
Jumlah n 56 1 1 1 1 60
% 93,3 1,7 1,7 1,7 1,7 100,0
Kesejahteraan Objektif Keadaan Ekonomi Contoh dan Keluarga. Pendapatan total keluarga akan mempengaruhi aktivitas keluarga dalam upaya pemenuhan kebutuhan keluarga (Suryawati 2002). Pada penelitian ini pendapatan keluarga didapatkan dari jumlah keseluruhan pendapatan utama dan tambahan suami, pendapatan utama istri, dan anggota keluarga lainnya yang bekerja serta mendapatkan upah atau gaji secara rutin setiap bulannya yang diberikan kepada keluarga. Adapun yang dimaksud dengan anggota lain adalah orangtua atau mertua dan anak yang sudah bekerja. Garis Upah Minimum Regional (UMR) Sukabumi 2010 adalah Rp 850.000,00. Nilai ini akan digunakan sebagai batasan apakah contoh memiliki pendapatan di bawah ataukah di atas UMR tersebut (Nurulfirdausi 2010). Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa total pendapatan keluarga berkisar antara Rp 0,00 hingga Rp 7.200.000,00 per bulan sebelum TKW dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp 1.467.050,00 per bulan sedangkan pendapatan keluarga saat TKW berkisar antara Rp 440.000,00 hingga Rp 7.778.000,00 dengan pendapatan rata-rata per bulannya sebesar Rp 2.799.613,50. Hampir separuh keluarga (38,3%) sebelum TKW memiliki pendapatan total keluarga per bulan berkisar antara Rp 850.001 hingga Rp 1.700.000 dan sebanyak 30,0 persen keluarga terjadi peningkatan total pendapatan saat TKW sebesar 28,3 persen menjadi Rp 2.255.001 hingga Rp 3.400.000 per bulan. Dengan demikian dapat disimpulkan keadaan ekonomi keluarga menjadi lebih baik saat TKW dibandingkan dengan sebelum TKW. Rata-rata pendapatan keluarga sebelum TKW adalah Rp 1.467.050,00 dan meningkat sebesar 1,9 kali lipat menjadi Rp 2.780.238,17 pada saat TKW. Hal tersebut juga dapat dilihat seiring dengan meningkatnya pendapatan maka persentasenya juga meningkat. Dapat disimpulkan bahwa pendapatan total keluarga mengalami peningkatan terus-menerus saat istri menjadi TKW.
44 Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan persentase total pendapatan keluarga per bulan Pendapatan Keluarga (Rupiah/bulan)
Sebelum TKW Setelah TKW Perubahan % % (%) 0 1,7 0,0 -1,7 1-850000 36,6 6,7 -35,0 850001-1700000 18,3 -20,0 38,3 1700001-2550000 13,2 16,7 3,5 2555001-3400000 1,7 28,3 30,0 3400001-4250000 5,0 11,6 6,6 4250001-5100000 0,0 8,3 8,3 5100001-5950000 1,7 1,7 0,0 5950001-6800000 0,0 1,7 1,7 6800001-7650000 1,7 3,3 1,6 >7650001 0,0 1,7 1,7 Total 100,0 100,0 Rata-rata±SD (Rp) 1467050,00 ± 2799613,50 ± 1256734.785 1640718.770 Kisaran (min-max) 0-7200000 440000-7780000 Selang berdasarkan Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Sukabumi 2010 = Rp 850.000,00
Sumber pendapatan keluarga sebelum dan saat TKW berasal dari suami, istri, dan anggota keluarga lain yang bekerja. Rata-rata pendapatan total keluarga sebelum TKW adalah Rp 1.467.050,00 per bulan yang didapatkan dari penjumlahan rata-rata pendapatan suami sebesar Rp 1.308.000,00 per bulan, rata-rata pendapatan istri sebesar Rp 116.666,67 per bulan, dan rata-rata pendapatan anggota keluarga lainnya sebesar Rp 42.383,33 per bulan. Persentase terbesar (89,2%) sumbangan pendapatan terhadap pendapatan total keluarga sebelum TKW dilakukan oleh suami sebanyak 59 orang. Artinya, suami menjalankan perannya sebagai pencari nafkah utama (main breadwinner) dan hanya ada satu orang suami yang tidak bekerja sehingga tidak menghasilkan pendapatan. Sedangkan hanya sebesar 7,9 persen istri sebelum TKW memberikan sumbangan rata-rata pendapatan terhadap pendapatan total keluarga. Rendahnya sumbangan istri dikarenakan terdapat dua orang yang saja yang bekerja sebelum menjadi TKW, sedangkan selebihnya tidak bekerja atau sebagai ibu rumahtangga saja. Rata-rata pendapatan total keluarga saat TKW meningkat menjadi Rp 2.799.613,50 per bulan yang terdiri dari penjumlahan rata-rata pendapatan suami sebesar Rp 1.648.583,33 per bulan, rata-rata pendapatan istri sebesar Rp 938.905,17 per bulan, dan rata-rata pendapatan anggota lainnya sebesar Rp 212.125,00 per bulan. Lebih dari separuh (58,9%) suami saat TKW masih mendominasi menyumbangkan pendapatannya
terhadap pendapatan total
45 keluarga. Namun demikian, terjadi peningkatan sumbangan pendapatan istri terhadap pendapatan total keluarga menjadi 33,6 persen. Terjadinya penurunan jumlah suami yang bekerja menjadi 57 orang saat TKW dikarenakan selain istri turut serta membantu mencari nafkah (secondary breadwinner) juga adanya anggota keluarga lainnya yang semakin banyak berpartisipasi di sektor publik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi pergeseran peran pencari nafkah utama (main breadwinner), baik sebelum maupun pada saat TKW oleh suami. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini dan secara rinci di Lampiran 3. Sebelum TKW Suami Rp 1.308.000,00 (89,2%) n=60
Suami Rp 1.648.583,33 (58,9%) n=60
+ Istri Rp 116.666.67 (7,9%) n=60
+ Anggota lainnya Rp 42.383,00 (2,9%) n=60
Saat TKW
+ Total Rp 1.467.050.00
(100,0%)
Istri Rp 938.905,17 (33,6%) n=60
Total Rp 2.799.613,50 (100,0%)
+ Anggota lainnya Rp 212.125,00 (7,5%) n=60
Gambar 4 Sumber rata-rata pendapatan keluarga sebelum dan saat TKW (n=60) Berdasarkan Tabel 11 diketahui bahwa hampir separuh suami (46,7%) sebelum TKW memiliki pendapatan berkisar antara Rp 850.001,00 hingga Rp 1.700.000,00 atau di atas UMR dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp 1.308.000,00 per bulan. Adapun pendapatan suami saat TKW tetap berkisar antara Rp 850.001,00 hingga Rp 1.700.000,00 dengan rata-rata pendapatan Rp 1.648.200,00 sebesar 36,3 persen. Adapun sebagian besar istri (93,3%) sebelum TKW tidak memiliki pendapatan dan hanya sebanyak 5,0 persen yang memiliki pendapatan kurang dari Rp 850.000,00 dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp 116.666,67 per bulan dan kurang dari separuh istri (30,0%) saat TKW memiliki
46 pendapatan dengan kisaran antara Rp 850.001,00 hingga Rp 1.700.000,00 dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp 938.905,00 per bulan. Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan dari kontribusi suami dan istri per bulan Pendapatan (Rp/bulan) 0 1-850000 850001-1700000 1700001-2550000 2550001-3400000 3400001-4250000 4250001-5100000 5100001-5950000 5950001-6800000 6800001-7650000 >7650001 Total Rata-rata±SD (Rp) Kisaran (min-max) Selang berdasarkan 850.000,00
Sebelum TKW Saat TKW Suami Istri Suami Istri n % n % n % n % 1 1,7 56 93,3 3 5,0 13 21,7 20 33,3 3 5,0 15 25,0 17 28,3 28 45,0 0 0,0 22 36,3 18 30,0 7 11,6 0 0,0 8 13,3 10 16,7 1 1,7 0 0,0 8 13,3 2 3,3 3 5,0 0 0,0 2 3,3 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1 1,7 1 1,7 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 2 3,3 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 60 100,0 60 100,0 60 100,0 60 100,0 1308000,00± 116666,67± 1648208,00± 938905,17± 1018014.102 727700.503 1018014.102 755166.091 0-5600000 0-5600000 0-7000000 0-2333333 Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Sukabumi 2010 = Rp
Menurut BPS (2010), batas garis kemiskinan pedesaan Provinsi Jawa Barat adalah Rp 185.335,00 per bulan. Tabel 12 menunjukkan bahwa kurang dari separuh suami (38,3%) sebelum TKW memiliki pendapatan per kapita berkisar antara Rp 185.336,00 hingga Rp 370.670,00 dengan rata-rata sebesar Rp 412.237,50 per bulan. Sedangkan sebagian besar istri (93,3%) sebelum TKW tidak memiliki pendapatan per kapita kurang dari Rp 185.335,00 dengan rata-rata sebesar Rp 55.694,44 per bulan. Artinya, suami memiliki pendapatan di atas garis kemiskinan sebelum istri menjadi TKW. Berbeda dengan keadaan istri sebelum TKW, mayoritas istri memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan dikarenakan istri hanya menjadi ibu rumahtangga sehingga tidak memiliki pendapatan. Hal ini ditunjukkan dari jumlah istri sebelum TKW yang tidak bekerja mencapai sebesar 93,3 persen. Hal ini berarti bahwa, sebelum menjadi TKW istri hanya mengandalkan pendapatan keluarga dari suami saja. Kurang dari separuh suami (33,3%) saat TKW memiliki pendapatan per kapita yang berkisar antara Rp 185.336,00 hingga Rp 370.670,00 dengan ratarata sebesar Rp 558.690,97 per bulan. Hal ini menunjukkan bahwa suami tidak hanya mengandalkan pendapatan istri tetapi juga tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Sebanyak 26,7 persen istri memiliki pendapatan
47 per kapita berkisar antara Rp 370.671,00 hingga Rp 556.005,00 dengan rata-rata sebesar Rp 296.024,34 per bulan. Hal ini berarti pendapatan per kapita dari kontribusi ekonomi istri tidak lebih besar dibandingkan dengan suami. Dapat diduga
karena
suami
secara
mandiri
tetap
bekerja
dan
tidak
selalu
mengandalkan pendapatan istri dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita dari kontribusi suami dan istri per bulan Pendapatan per kapita (Rp/bulan) 0 1-185335 185336-370670 370671-556005 556006-741340 >741341 Total Rata-rata±SD (Rp) Kisaran (min-max)
Sebelum TKW Suami Istri n % n % 1 1,7 56 93,3 10 16,7 2 3,3 23 38,3 1 1,7 15 25,0 0 0,0 3 5,0 0 0,0 8 13,3 1 1,7 60 100,0 60 100,0 412237,50 ± 55694,44 ± 346056.504 363068.152 (0-2100000) (0-2800000)
Saat TKW Suami Istri n % n % 3 5,0 13 21,7 6 10,0 12 20,0 20 33,3 10 16,6 12 20,0 16 26,7 11 18,3 5 8,3 8 13,4 4 6,7 60 100,0 60 100,0 558690,97 ± 296024,34 ± 647525.226 259215.913 (0-3500000) (0-925000)
Selang berdasarkan Garis Kemiskinan Provinsi Jawa Barat 2010 = Rp 185.335,00
Kontribusi Pendapatan Istri terhadap Pendapatan Total Keluarga. Hasil penelitian pada Tabel 13 menunjukkan bahwa sebagian besar (93,3%) istri sebelum TKW tidak memiliki persentase kontribusi ekonomi terhadap total pendapatan keluarga (0,0%). Terjadi peningkatan sebanyak 71,6 persen istri yang berkontribusi terhadap pendapatan keluarga saat TKW dibandingkan sebelum TKW. Adapun persentase terbesar (26,7%) kontribusi istri saat menjadi TKW berkisar antara 21,0 persen hingga 40,0 persen per bulan. Artinya, dengan istri menjadi TKW mampu memberikan kontribusi terhadap pendapatan total keluarga sebagai secondary breadwinner. Hal ini sejalan dengan pernyataan Zehra (2008) bahwa alasan utama perempuan berpartisipasi aktif bekerja dengan upah di luar rumah untuk menambah kontribusi pendapatan keluarga secara langsung. Adanya istri yang tidak memberikan kontribusi terhadap pendapatan total keluarga saat TKW, diakui suami pada wawancara mendalam bahwa terkadang istri tidak memberikan kontribusi terhadap total pendapatan keluarga karena istri tidak pernah mengirimkan pendapatannya kepada keluarga karena faktor-faktor eksternal diantaranya seperti gaji tidak dibayar. Selain itu rendahnya kontribusi
48 istri terhadap pendapatan keluarga juga disebabkan oleh gaji dipotong oleh PJTKI dan agen yang besarannya melampaui batas serta dikenai pungutanpungutan liar dari KBRI atau aparat RI lainnya di luar negeri dengan berbagai alasan. Di lain pihak, suami mengakui bahwa jika istri mengirimkan pendapatan hasil kerjanya kadang kala bukan kepada suami melainkan kepada orangtuanya tanpa diberikan sedikit pun kepada suami. Artinya, dalam hal ini istri tidak memberikan kontribusi ekonomi secara langsung terhadap pendapatan keluarga. Tabel 13 Sebaran persentase kontribusi pendapatan istri terhadap total pendapatan keluarga Presentase sumbangan Pendapatan istri 0.0% 1.0%-20.0% 21.0%-40.0% 41.0%-50.0% 51.0%-60.0% 61.0%-80.0% 81.0%-100.0% Total
Sebelum TKW Istri (TKW) n % 56 93,3 1 1,7 0 0,0 2 3,3 0 0,0 1 1,7 0 0,0 60 100,0
Saat TKW Istri (TKW) n % 13 21,7 7 11,6 16 26,7 10 16,7 7 11,7 6 10,0 1 1,7 60 100,0
Tabel 14 akan menyajikan persentase kontribusi suami terhadap pendapatan keluarga. Tabel 14 Sebaran persentase kontribusi pendapatan suami terhadap total pendapatan keluarga Presentase sumbangan Pendapatan istri 0.0% 1.0%-20.0% 21.0%-40.0% 41.0%-50.0% 51.0%-60.0% 61.0%-80.0% 81.0%-100.0% Total
Sebelum TKW Suami n % 1 1,7 0 0,0 2 3,3 1 1,7 2 3,3 2 3,3 52 86,7 60 100,0
Saat TKW Suami n % 3 5,0 0 0,0 9 15,0 11 18,3 15 25,0 13 21,7 9 15,0 60 100,0
Dari Tabel 14 diketahui bahwa kontribusi ekonomi suami terhadap total pendapatan keluarga, baik sebelum TKW maupun saat TKW lebih besar dibandingkan dengan kontribusi istri. Artinya, suami tetap menjalankan peran instrumental sebagai pencari nafkah (Rice & Tucker 1986). Namun terjadi penurunan kontribusi suami dari 86,7 persen dengan kisaran antara 81,0 persen hingga 100,0 persen sebelum TKW menjadi sebesar 25,0 persen dengan kisaran antara 51,0 persen hingga 60,0 persen saat TKW. Hal ini dikarenakan terjadinya
49 pergeseran peran istri dari pencari nafkah tambahan (secondary breadwinner) menjadi pencari nafkah utama (main breadwinner) disamping suami untuk memenuhi kebutuhan, sehingga kontribusi suami terhadap pendapatan keluarga mengalami penurunan. Menurut BPS (2009), kontribusi ekonomi seseorang dapat dihitung dalam persen dengan kategori: rendah apabila kontribusi ekonomi kurang dari 50,0 persen dari total pendapatan keluarga; sedang apabila 50,1-69,9 persen; dan tinggi apabila mencapai lebih dari sama dengan 70,0 persen dari total pendapatan keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi ekonomi istri, baik sebelum TKW maupun saat TKW termasuk rendah, sedangkan kontribusi ekonomi suami sebelum TKW termasuk kategori tinggi kemudian mengalami penurunan saat istri menjadi TKW menjadi kategori sedang. Artinya, kontribusi ekonomi terhadap pendapatan keluarga masih didominasi oleh suami sebagai pencari nafkah utama (main breadwinner) meskipun saat istri menjadi TKW. Pendapatan Per Kapita Keluarga. Pendapatan per kapita merupakan jumlah total pendapatan yang diterima keluarga dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang dinyatakan dalam rupiah per kapita per bulan. Untuk mengetahui sejahtera atau tidaknya suatu rumahtangga maka pendapatan per kapita keluarga per bulan kemudian dapat dibandingkan dengan garis kemiskinan yang telah ditentukan oleh BPS, dimana apabila pendapatan per kapita keluarga lebih tinggi dibandingkan batas minimum garis kemiskinan maka termasuk kategori sejahtera. Adapun garis kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah garis kemiskinan pedesaan Jawa Barat sebesar Rp 185.335,00 (BPS 2010). Hasil penelitian dalam Tabel 15 menunjukkan bahwa keluarga termasuk dalam kategori tidak miskin baik sebelum TKW maupun saat TKW. Hal ini membuktikan bahwa setelah istri menjadi TKW terjadi perbaikan kondisi secara ekonomi. Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan kategori pendapatan per kapita keluarga Kategori pendapatan per kapita Sebelum TKW Saat TKW per bulan n % n % Miskin (≤185335) 10 16,7 2 3,3 Tidak miskin (>185335) 50 83,3 58 96,7 Total 60 100,0 60 100,0 Garis Kemiskinan Provinsi Jawa Barat 2010 = Rp 185.335,00 (BPS 2010)
Pengeluaran Per Kapita Keluarga. Jenis pengeluaran keluarga yang digunakan oleh BPS (2002) yaitu pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran
50 non pangan. Menurut Rambe (2004), tingkat kesejahteraan suatu keluarga akan dikatakan semakin baik apabila presentase pengeluaran untuk pangan semakin kecil jika dibandingkan dengan total pengeluaran keluarga. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa pengeluaran total per kapita contoh berkisar antara Rp 33.097,00 hingga Rp 1.024.778,00 per bulan dengan rata-rata pengeluaran per kapita sebesar Rp 319.131,00 yang selanjutnya terdiri dari pengeluaran per kapita untuk pangan dan non-pangan. Adapun pengeluaran per kapita untuk pangan berkisar antara Rp 15.280,00 hingga Rp 722.222,00 dengan rata-rata
pengeluaran
sebesar
Rp
201.119,00
per
bulan.
Sedangkan
pengeluaran per kapita untuk non pangan berkisar antara Rp 6.000,00 hingga Rp 672.500,00 dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp 118.011,84 per bulan. Persentase terbesar pengeluaran per kapita pangan keluarga kurang dari Rp 185.335,00 (50,0%) sedangkan persentase terbesar pengeluaran per kapita non pangan juga kurang dari Rp 185.335,00 sebesar 80,0 persen seperti yang dapat dilihat pada Tabel 16. Hasil ini menunjukkan bahwa pada kelompok pengeluaran per kapita kurang dari Rp 185.335,00 pengeluaran baik untuk pangan maupun non pangan tinggi dikarenakan keluarga masih mampu mencukupi keduanya sedangkan seiring dengan meningkatnya tingkat pengeluaran maka keluarga akan memilih kebutuhan apa yang akan didahulukan. Pada keluaga dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi maka ketika kebutuhan pangan telah terpenuhi maka tiap tambahan pendapatan akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan non-pangan (Shinta 2008). Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran pangan dan non pangan saat ini Pengeluaran per Kapita (Rp/kapita/bulan) <185335 185336-370670 370671-556005 556006-741340 >741341 Total Rata-rata±SD (Rp)
Pangan Non pangan Total n % n % n % 30 50,0 48 80,0 15 25,0 28 46,6 9 15,0 32 53,3 1 1,7 0 0,0 4 6,7 1 1,7 3 5,0 5 8,3 0 0,0 0 0,0 4 6,7 60 100,0 60 100,0 60 100,0 201.119,76 ± 118.011,84 ± 319.131,60 ± 127273.261 137719.510 215308.936 Selang berdasarkan Garis Kemiskinan Provinsi Jawa Barat 2010 = Rp 185.335,00
Adapun Tabel 17 membandingkan pengeluaran pangan dan non pangan per kapita keluarga per bulan berdasarkan besar keluarga. Pengeluaran pangan per kapita untuk keluarga kecil (≤4 orang) berkisar antara Rp 0,00 hingga Rp
51 722.222,00 dengan rata-rata pengeluaran per kapita pangan sebesar Rp 179.504,00 dan pengeluaran per kapita non pangan berkisar antara Rp 0,00 hingga Rp 30.225,56 dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp 180.934,70. Persentase terbesar contoh keluarga kecil (≤4 orang) untuk pangan (55,0%) dan non-pangan (78,3%) masing-masing kurang dari Rp 185.335,00 per bulan. Sedangkan pengeluaran pangan per kapita untuk keluarga sedang (5-7 orang) berkisar antara Rp 0,00 hingga Rp 261. 600,00 dengan rata-rata pengeluaran pangan Rp 21.437,17 dan pengeluaran non pangan per kapita berkisar antara Rp 0,00 hingga Rp 349.733,00 dengan rata-rata pengeluaran Rp 12.725,30 per bulan. Sebagian besar keluarga memiliki pengeluaran pangan (93,3%) dan non pangan (98,3%) masing-masing kurang dari Rp 185.335,00 per bulan. Berikut sebaran contoh berdasarkan pengeluaran pangan dan non pangan pada keluarga kecil dan keluarga sedang. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran pangan dan non pangan pada keluarga kecil dan keluarga sedang Pengeluaran per Kapita (Rp/kapita/bulan)
Keluarga kecil Keluarga sedang Pangan Non pangan Pangan Non pangan n % n % n % n % <185335 33 55,0 47 78,3 56 93,3 59 98,3 185336-370670 23 38,3 8 13,3 4 6,7 1 1,7 370671-556005 2 3,3 0 0,0 0 0,0 0 0,0 556006-741340 2 3,3 3 5,0 0 0,0 0 0,0 >741341 0 0,0 2 3,4 0 0,0 0 0,0 Total 60 100,0 60 100,0 60 100,0 60 100,0 Rata-rata±SD (Rp) 179504,00± 180934,70± 21437,17± 12725,30± 142419.769 44226.965 64556.995 50346.937 Selang berdasarkan Garis Kemiskinan Provinsi Jawa Barat 2010 = Rp 185.335,00
Dari Tabel 18 dapat dilihat pola konsumsi keluarga yang dapat diurutkan sebagai berikut: 1) Lauk pauk menempati urutan pertama sebesar 27,2 persen dari pengeluaran, artinya keluarga akan memenuhi kebutuhan dasarnya terlebih dahulu sebelum memenuhi kebutuhan lainnya, 2) Pendidikan sebesar 20,9 persen dari pengeluaran, artinya keluarga sudah mementingkan pendidikan bagi anggota keluarganya karena pendidikan merupakan investasi bagi masa depan keluarga, dan 3) Beras menempati urutan ketiga dari pengeluaran keluarga. Adapun posisi beras pada urutan ketiga dikarenakan pada beberapa keluarga kebutuhan ini dapat dipenuhi dari hasil usaha atau garapan sawahnya sendiri serta dapat dari orangtua suami ataupun istri. Jika dikaitkan dengan teori kebutuhan Maslow maka kebutuhan yang akan dipenuhi terlebih dahulu adalah kebutuhan dasar keluarga seperti sandang,
52 pangan, dan papan. Senada dengan pernyataan Mangkuprawira (1985), secara naluriah seseorang dalam keluarga akan terlebih dahulu menggunakan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan pangan, baru kemudian untuk nonpangan. Pernyataan tersebut dapat terlihat pada cukup tingginya pengeluaran yang dialokasikan keluarga untuk pendidikan setelah terpenuhinya kebutuhan pangan. Tabel 18 Sebaran pola konsumsi pangan dan non pangan Keterangan Lauk pauk Pendidikan Beras Jajanan lainnya (mie, kopi, dll) Telepon (pulsa HP) Transportasi lainnya (ojek/angkot) Listrik Perlengkapan mandi dan cuci Pakaian Bensin Obat-obatan Buah-buahan Bahan bakar (LPG, minyak tanah, kayu bakar,dll) Lainnya (warnet/wartel) Air Total
Rupiah (bulan) 364.226,67 281.049,98 153.177,78 103.275,00 73.288,14 56.611,12 56.200,00 51.740,83 49.061,15 37.266,67 36.528,81 33.644,07 32.300,00 11.183,33 0,00 1.341.593,55
% 27,2 20,9 11,4 7,7 5,5 4,2 4,2 3,9 3,7 2,8 2,6 2,5 2,4 0,8 0,0 100,0
Hasil pada Tabel 19 menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga (51,2%) memiliki persentase pengeluaran non-pangan lebih besar dibandingkan dengan persentase pengeluaran pangan. Keluarga dapat dikatakan sejahtera apabila tingkat konsumsi pangannya sudah mencapai titik jenuh, sehingga peningkatan pendapatan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan nonpangan atau ditabung (BPS 2002). Hal ini sesuai dengan Teori Engel bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan rumah tangga maka akan semakin rendah persentase pengeluaran untuk pangan, melainkan akan cenderung dialokasikan untuk kebutuhan sekunder dan tersier atau non-pangan. Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan perbandingan presentase pengeluaran non-pangan dan pengeluaran pangan saat TKW Kategori Pengeluaran non-pangan < pangan Pengeluaran non-pangan > pangan Total
Jumlah n 29 31 60
% 48,8 51,2 100,0
53 Dari Tabel 19 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar keluarga sudah termasuk dalam kategori sejahtera jika dilihat dari persentase pengeluaran total per bulannya. Pendapatan per kapita dan pengeluaran per kapita dapat dibandingkan untuk melihat kondisi keuangan dalam keluarga dan bagaimana keluarga melakukan manajemen keuangannya. Tabel 20 memperlihatkan sebaran perbandingan antara pendapatan per kapita dan pengeluaran per kapita keluarga per bulan. Diketahui bahwa persentase terbesar keluarga memiliki pengeluaran per kapita lebih besar dibandingkan pendapatan per kapita (55,0%) per bulan. Dapat disimpulkan bahwa kondisi keuangan keluarga setelah TKW menjadi lebih baik, tetapi hal ini menyebabkan keluarga menjadi lebih konsumtif dalam memenuhi kebutuhannya akibat tidak dapat mengelola keuangannya dengan baik. Terlihat dari keluarga yang memiliki pendapatan per kapita lebih kecil dibandingkan pengeluaran per kapita untuk dapat menutupi kekurangannya dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari akan melakukan usaha berupa berhutang kepada orang lain. Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan perbandingan pendapatan per kapita dan pengeluaran per kapita Perbandingan pendapatan dan pengeluaran per kapita Pendapatan < pengeluaran Pendapatan = pengeluaran Pendapatan > pengeluaran Total
Jumlah n 33 0 27 60
% 55,0 0,0 45,0 100,0
Pengeluaran Khusus Suami. Suami sebagai kepala keluarga tentu memiliki kebutuhan-kebutuhan pribadi yang harus dipenuhinya. Pada penelitian ini pengeluaran khusus suami diartikan sebagai jenis-jenis pengeluaran yang dilakukan oleh suami untuk dirinya sendiri dari hasil pendapatannya sendiri. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi jenis-jenis pengeluaran suami dari hasil pendapatannya sendiri. Begitu pula dengan seberapa besar alokasi pengeluaran suami dari pendapatannya tersebut digunakan, mengingat suami sebagai pencari nafkah yang memiliki kewajiban memenuhi kebutuhan keluarga. Adapun jenis pengeluaran suami dalam penelitian ini dibagi menjadi pengeluaran untuk rokok, hutang, untuk orangtua, jajan suami, transportasi, pulsa, dan pakaian suami. Tabel 21 menunjukkan bahwa alokasi pengeluaran terbesar suami adalah pengeluaran untuk rokok yang berkisar antara Rp 0,00 hingga Rp 672.000,00
54 dengan rata-rata pengeluaran Rp 184.706,67 per bulan. Adapun persentase pengeluaran suami untuk rokok adalah 34,4 persen. Mayoritas suami lebih memilih dan mementingkan untuk membeli rokok setiap harinya dibandingkan dengan kebutuhan lainnya seperti membayar hutang, memberi uang kepada orangtua, memenuhi kebutuhan, transportasi, membeli pulsa, serta pakaian. Padahal akan lebih baik jika pengeluaran suami untuk rokok tersebut dialokasikan untuk kebutuhan lain yang lebih bermanfaat. Menurut Barber et al. (2008), tingginya pengeluaran bulanan untuk membeli rokok memiliki dampak serius terhadap kesejahteraan karena pada rumahtangga yang kepala keluarganya perokok akan mengalihkan pengeluarannya dari makanan ke rokok, sehingga dapat mengingkatkan prevalensi gizi kurang pada anak. Tingginya alokasi pengeluaran untuk rokok diakui oleh suami dalam wawancara mendalam karena rokok menjadi salah satu pelipur lara bagi suami disamping kehadiran anak. Hal tersebut dikarenakan tidak semua masalah dapat diceritakan suami kepada siapapun sehingga rokok dijadikan sebagai kompensasi. Oleh karena itu mayoritas pengeluaran suami digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, sedangkan untuk kebutuhan pokok keluarga suami mengandalkan pendapatan dari istri. Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan persentase pengeluaran khusus suami dari pendapatan suami sendiri Pengeluaran Rokok Hutang Untuk orangtua Jajan Transportasi Pulsa Pakaian Total
% 34.4 19.0 14.5 12.9 8.0 7.1 4.1 100.0
Dari Tabel 21 dapat diduga adanya anggapan bahwa pendapatan yang dihasilkan istri sebagai TKW di luar negeri selalu lebih besar dibandingkan suami menjadi salah satu faktor suami memilih mengandalkan pendapatan istri. Dengan demikian, suami cenderung menggunakan pendapatan istrinya untuk memenuhi kebutuhan pokok utama keluarga. Artinya, suami sebagai kepala keluarga yang seharusnya berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga bergeser menjadi kepada istri. Hal ini tidak sesuai dengan pandangan budaya patriarki di Sunda khususnya yang menganggap bahwa suami sebagai pencari nafkah
55 utama (main breadwinner) seharusnya berkewajiban memenuhi kebutuhan keluarganya termasuk sandang, pangan, dan papan. Sebanyak 35,0 persen suami memiliki pengeluaran per kapita terbesar yang berkisar antara Rp 185.336,00 hingga Rp 370.670,00. Total pengeluaran per kapita suami berkisar antara Rp 500.393,10 hingga Rp 2.711.500,00 dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp 500.393,00 per bulan. Adapun sebaran perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran suami dapat dilihat pada Tabel 22. Dapat disimpulkan bahwa antara pendapatan dan pengeluaran per kapita suami setiap bulannya hampir seimbang. Artinya, mayoritas suami memiliki pengeluaran per kapita tidak lebih besar ataupun lebih kecil dari pendapatan per kapita setiap bulannya, dimana kebutuhan dapat tercukupi pada saat itu saja tanpa contoh dapat menabung dari sisa uang tersebut. Keadaan ini cukup mengkhawatirkan terlebih jika suatu saat ada kebutuhan yang mendesak dan tidak memiliki dana cadangan (emergency fund) maka suami akan meminjam uang atau berhutang kepada orang lain. Dalam hal ini keterampilan manajemen keuangan suami sangat diperlukan agar kebutuhan dapat tercukupi tanpa harus terus-menerus berhutang. Tabel 22 Sebaran perbandingan antara pendapatan suami dan pengeluaran suami Pengeluaran per Kapita Pendapatan Pengeluaran (Rp/kapita/bulan) n % n % <185335 11 18.3 9 15.0 185336-370670 23 38.3 21 35.0 370671-556340 15 25.0 10 16.7 556341-741340 3 5.0 12 20.0 >741341 8 13.3 8 13.3 Total 60 100.0 60 100.0 Rata-rata±SD (Rp) 906.493,09 ± 707144.669 500.393,10 ± 407425.382 Selang berdasarkan Garis Kemiskinan Provinsi Jawa Barat 2010 = Rp 185.335,00
Kondisi Hutang Keluarga. Tabel 23 menunjukkan bahwa kondisi hutang keluarga berkisar antara Rp 0,00 hingga Rp 40.645 000,00 dimana lebih dari separuh keluarga (60,0%) dalam satu tahun terakhir memiliki jumlah hutang kurang dari UMR Jawa Barat 2010 atau di bawah Rp 850.000,00 dengan ratarata hutang sebesar Rp 33.333,33. Diduga karena mayoritas keluarga memiliki jenis hutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti jajan di warung yang jumlahnya relatif tidak cukup besar sehingga hutang keluarga berada di bawah garis minimum UMR. Selain itu juga diduga karena budaya setempat yang
56 menganggap bahwa keluarga yang istrinya bekerja sebagai TKW akan lebih sejahtera karena pendapatan istri yang tinggi. Adanya ekspektasi dari suami mengenai perubahan ekonomi keluarga menjadi lebih baik dan pendapatan istri yang tinggi serta bersifat tetap tersebut mengakibatkan suami berani memutuskan untuk berhutang, baik dalam jumlah kecil maupun jumlah besar meskipun istri belum mengirimkan pendapatannya sekalipun. Pada akhirnya suami akan mengandalkan istri untuk melunasi hutang-hutangnya dengan adanya ekspektasi tersebut. Pada Tabel 24 disajikan sumber hutang yang umumnya dipinjam oleh suami berasal dari bank, tetangga, saudara, teman, maupun perusahaan tempatnya bekerja. Sebanyak 45,9 persen suami sebelum istri menjadi TKW telah memiliki hutang kepada saudara, sedangkan sebanyak 31,6 persen suami saat istri menjadi TKW memiliki hutang ke teman. Untuk membeli barang yang diinginkannya keluarga harus berhutang seperti berkredit atau meminjam kepada teman (Garman 1993). Hal ini disebabkan oleh adanya perasaan gengsi atau malu jika
setelah istri menjadi TKW suami harus meminjam uang kepada
saudara atau pihak keluarga. Ada anggapan bahwa suami yang istrinya menjadi TKW memiliki uang lebih banyak, sehingga lebih memilih berhutang kepada teman. Hal ini juga dikarenakan adanya kesamaan nasib antar suami yang istrinya menjadi TKW, sehingga lebih mudah meminjam kepada teman yang sudah mengetahui keadaan satu dengan yang lainnya. Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan hutang keluarga dalam setahun terakhir Hutang keluarga (Rupiah)
Jumlah n % <850000 36 60,0 850001-1700000 8 13,3 1700001-2550000 4 6,7 2550001-3400000 3 5,0 3400001-4250000 0 0,0 4250001-5100000 2 3,3 5100001-5950000 0 0,0 5950001-6800000 1 1,7 >6800000 6 10,0 Total 60 100,0 Rata-rata±SD (Rp) 33333,33±258198.890 Selang berdasarkan Upah Minimum Regional (UMR) Provinsi Jawa Barat 2010 = Rp 850.000,00
Dari Tabel 24 dapat dilihat bahwa suami yang semula tidak memiliki hutang kredit motor sebelum istrinya menjadi TKW (0,0%), namun saat istri menjadi TKW memiliki hutang kredit motor sebesar 6,3 persen. Hal ini dilakukan
57 keluarga karena tidak memiliki jumlah dana atau dana yang tersedia kurang mencukupi pengeluaran yang dianggarkan, maka keluarga dapat tetap membeli melalui fasilitas kredit (Guhardja et al., 1993). Oleh karena itu ketika keluarga sudah merasa kebutuhan dasarnya terpenuhi maka keluarga akan memenuhi kebutuhan lainnya meskipun salah satu caranya dengan berhutang atau kredit. Adanya kepemilikan hutang kredit motor saat TKW diduga karena adanya perubahan gaya hidup keluarga saat istri menjadi TKW yang semakin tinggi yang mengakibatkan semakin tinggi pula tingkat perilaku konsumsinya. Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan rata-rata hutang keluarga sebelum TKW dan saat TKW Hutang Bank Tetangga Saudara Teman Kantor desa Lainnya: Kredit motor Warung Usaha Total
Kondisi
Tabungan
Sebelum TKW Rataan (Rp) % 939.166,67 42,4 131.166,67 5,9 1.016.666,67 45,9 38.333,33 1,7 0,00 0,0
Saat TKW Rataan (Rp) % 748.588,33 28,7 427.500,00 16,4 324.416,67 12,4 825.000,00 31,6 16.666,67 0,6
0,00 33.333,33 58.333,33 2.217.000,00
166.133,33 71.208,33 33.333,33 2.612.844.66
Keluarga.
0,0 1,5 2,6 100,0
Menabung
merupakan
6,3 2,7 1,3 100,0
penundaan
penggunaan sumberdaya untuk konsumsi saat ini (Guhardja et al., 1993). Namun dalam banyak peristiwa, keluarga tidak dapat menyisihkan uangnya untuk dimasukkan ke dalam tabungan karena tidak berhasil menekan jumlah pengeluaran. Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan kepemilikan tabungan Tabungan atas nama Tidak memiliki Suami Istri Lainnya (orangtua, mertua) Total
n 35 17 7 1 60
Sebelum TKW % 58,3 28,5 11,7 1,7 100,0
Saat TKW n 31 21 7 1 60
% 51,6 35,0 11,7 1,7 100,0
Pada Tabel 25 diketahui bahwa lebih dari separuh (58,3%) suami sebelum TKW tidak memiliki tabungan dan mengalami penurunan jumlah menjadi 51,6 persen saat TKW. Artinya, saat TKW keluarga menjadi lebih banyak memiliki tabungan dari sebelumnya. Mayoritas tabungan diatasnamakan suami, baik sebelum TKW (28,5%) maupun saat TKW (35,0%). Hal ini
58 menunjukkan bahwa suamilah yang memegang kendali penuh atas tabungan keluarga di bank, meskipun istri yang bekerja dan mengirimkan pendapatannya melalui rekening tersebut. Sedangkan istri tidak memiliki hak terhadap rekening tabungan di bank dimana tempat suami menabung, meskipun umumnya uang dalam rekening tersebut berasal dari kiriman hasil pendapatan istri. Hal ini menunjukkan adanya stereotype bahwa suami lebih memiliki wewenang dan kuasa terhadap berbagai akses ekonomi dibandingkan istri. Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan jumlah saldo tabungan sebelum dan saat TKW Jumlah saldo tabungan (Rp) 0 2000001-3000000 3000001-4000000 4000001-5000000 5000001-6000000 >6000000 Total
Sebelum TKW Suami Istri (TKW) n % n % 38 63,3 53 88,3 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1 1,7 0 0,0 1 1,7 1 1,7 2 3,3 0 0,0 60 100,0 60 100,0
Saat TKW Suami Istri (TKW) n % n % 53 88,3 57 94,4 1 1,7 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1 1,7 1 1,7 1 1,7 1 1,7 60 100,0 60 100,0
Pada Tabel 26 disajikan sebaran contoh berdasarkan jumlah saldo dalam tabungan. Lebih dari separuh suami (63,3%) tidak memiliki jumlah saldo tabungan atau Rp 0,00 sebelum TKW kemudian meningkat menjadi 88,3 persen saat TKW. Hal serupa juga terjadi pada keadaan jumlah saldo tabungan istri sebesar 88,3 persen sebelum TKW yang meningkat jumlahnya menjadi sebesar 94,4 persen tidak memiliki jumlah saldo dalam rekening tabungan saat TKW. Artinya, mayoritas suami dan istri memanfaatkan rekening tabungan hanya untuk transfer pendapatan hasil kerja istri saja tanpa digunakan untuk menabung sehingga jumlah saldo tabungan, baik sebelum maupun saat istri menjadi TKW Rp 0,00. Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan penerima kiriman pendapatan istri Penerima kiriman pendapatan istri Tidak dikirimkan Suami Orangtua Mertua Lainnya (adik, kakak, saudara, tetangga) Total
n 13 34 5 3 5 60
% 21,7 56,7 8,3 5,0 8,3 100,0
Dari Tabel 27 dapat diketahui bahwa persentase terbesar istri mengirimkan pendapatannya ditujukan kepada suami sebesar 56,7 persen dan hanya sebesar 5,0 persen mengirimkannya kepada orangtua istri. Artinya, istri
59 mempercayakan uang yang dikirim kepada suaminya akan mampu dikelola dan digunakan dengan baik, terutama untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Sedangkan sebesar 21,7 persen istri tidak mengirimkan pendapatannya kepada suami atau kerabat dekatnya. Berdasarkan pengakuan suami pada saat wawancara mendalam hal ini dikerenakan beberapa keluarga menghendaki uang hasil kerja istri tersebut dibawa tunai saja pada saat pulang ke tanah air. Prioritas Pengeluaran Keluarga dari Hasil Kerja Istri sebagai TKW Prioritas dalam penelitian ini lebih kepada kepentingan pengeluaran keluarga dari hasil kerja istri sebagai TKW. Tabel 28 menunjukkan bahwa lebih dari separuh suami (61,7%) menyatakan pengeluaran dari uang hasil kerja istri dialokasikan untuk keperluan rumah, baik membangun maupun renovasi, merupakan prioritas utama. Sebanyak 43,3 persen suami menyatakan untuk membeli kendaraan motor atau mobil merupakan prioritas terakhir, sama halnya dengan pengeluaran untuk modal membeli ternak (36,7%). Sebanyak 38,3 persen suami menyatakan pengeluaran untuk modal membeli sawah merupakan prioritas utama. Pengeluaran untuk modal usaha warung dinyatakan suami termasuk pada kategori tidak prioritas sama sekali dan prioritas utama masingmasing sebanyak 35,0 persen. Hal ini dikarenakan suami ingin memiliki usaha warung tetapi di lingkungannya sudah banyak, sehingga suami merasa modal untuk usaha warung menjadi tidak prioritas sama sekali, tetapi hal itu tidak menjadi halangan bagi suami yang menganggap modal usaha warung sebagai prioritas utama. Sebanyak 31,7 persen suami menyatakan pengeluaran untuk membeli furniture merupakan prioritas terakhir. Pengeluaran untuk membeli TV (40,0%), membeli HP (61,7%), dan membeli perhiasan emas (45,0%) dikemukakan suami tidak prioritas sama sekali. Namun lebih dari separuh suami (76,7%) menyatakan membayar hutang adalah prioritas utama. Begitu pula dengan pengeluaran yang dialokasikan untuk memberi ke saudara atau tetangga (45,0%). Masing-masing sebanyak 26,7 persen suami menyatakan pengeluaran untuk jajan di warung atau restoran termasuk kategori tidak prioritas sama sekali dan cukup prioritas. Adapun
yang
termasuk
prioritas
utama
suami
dalam
mengalokasikan
pengeluaran keluarga yaitu untuk membayar les anak atau pendidikan anak (95,0%), membeli asuransi pendidikan anak (36,7%), pergi mengunjungi saudara atau kerabat (51,7), dan bersedekah atau amal zariah (85,0%). Sedangkan
60 sebanyak 35,0 persen suami menyatakan cukup prioritas untuk menabung di bank. Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan prioritas pengeluaran keluarga dari hasil kerja istri Alokasi pengeluaran
Tidak prioritas sama sekali n % 3 5.0
Prioritas terakhir
Cukup prioritas
Prioritas utama
Ratarata skor % 7.1
n % n % n % Rumah 12 20.0 8 3.3 37 61.7 (membangun/merenovasi) Kendaraan (mobil/motor) 23 38.3 26 43.3 5 8.3 6 10.0 4.1 Modal untuk beli ternak 22 36.7 19 31.7 12 20.0 7 11.7 4.5 Modal untuk usaha 21 35.0 9 15.0 9 15.0 21 35.0 5.4 warung Modal untuk beli sawah/ 13 21.7 11 18.3 11 18.5 25 38.3 6.0 tegalan Beli furniture 14 23.3 19 31.7 16 26.7 11 18.3 5.2 Beli TV 24 40.0 12 20.0 16 26.7 8 13.3 4.6 Beli HP 37 61.7 9 15.0 7 11.7 7 11.7 3.7 Beli perhiasan emas 27 45.0 14 23.3 7 11.7 12 20.0 4.5 Bayar hutang 9 15.0 2 3.3 3 5.0 46 76.7 8.0 Memberi 4 6.7 21 35.0 8 13.3 27 45.0 6.4 saudara/tetangga Jajan di warung/restoran 16 26.7 13 21.7 16 26.7 15 25.0 5.4 Membayar les 2 3.3 0 0.0 1 1.7 57 95.0 8.4 anak/pendidikan anak Membeli asuransi 8 13.3 16 26.7 14 23.3 22 36.7 6.1 pendidikan anak Pergi berkunjung ke 4 6.7 11 18.3 14 23.3 31 51.7 6.3 saudara/kerabat Sedekah/amal zariah 0 0.0 4 6.7 5 8.3 51 85.0 8.1 Menabung di bank 3 5.0 17 28.3 21 35.0 19 31.7 6.3 1=tidak prioritas sama sekali, 2=prioritas terakhir, 3=cukup prioritas, 4=prioritas utama
Menurut Lasswell dan Laswell (1987), kontribusi ekonomi perempuan dalam ekonomi keluarga akan menghasilkan peningkatan dalam keuangan keluarga, kepemilikan barang mewah, standar hidup yang lebih tinggi dengan pencapaian rasa aman yang lebih baik sehingga berdampak pada peningkatan status sosial keluarga. Berdasarkan Tabel 28 dapat diketahui bahwa prioritas utama atau kebutuhan utama yang dilakukan suami dari pendapatan hasil kerja istri adalah untuk membayar les atau pendidikan anak, sedekah atau amal zariah, bayar hutang, dan untuk rumah, baik membangun maupun merenovasi rumah. Artinya, keluarga khususnya suami sudah menganggap penting pendidikan bagi anaknya sebagai generasi penerus masa depan. Bryant (1990) mengemukakan bahwa keluarga akan mencari cara yang tepat untuk menginvestasikan anaknya dalam bentuk human capital sesuai dengan tujuannya. Anggapan bahwa pendidikan yang tinggi dapat meningkatkan kualitas
61 hidup dan produktivitas masa depan yang dibayar mahal. Adapun hutang dan rumah termasuk kebutuhan dasar yang harus dipenuhi keluarga sebelum memenuhi kebutuhan lainnya. Sejalan dengan pernyataan BPS (2002), rumah disamping sebagai tempat untuk berlindung, baik dari hujan maupun panas, juga berfungsi sebagai tempat tinggal yang memberikan rasa aman bagi penghuninya dari gangguan yang tidak diinginkan. Selanjutnya pengeluaran yang dianggap suami cukup prioritas atau cukup penting adalah menabung di bank. Artinya, suami merasa cukup perlu menyimpan uang di bank dari hasil kerja istri agar lebih aman dibandingkan disimpan di rumah, selain itu agar memiliki dana cadangan yang dapat diambil setiap saat. Kemudian prioritas terakhir atau kebutuhan yang dianggap penting yang pemenuhannya dapat ditunda adalah untuk membeli kendaraan, baik motor maupun mobil, memberi saudara atau tetangga, dan modal untuk membeli ternak. Hal ini berarti bahwa, suami merasa bahwa kebutuhan untuk kendaraan akan dipenuhi setelah kebutuhan utama sudah terpenuhi. Hal ini sejalan dengan Teori Maslow yang menyatakan bahwa setelah kebutuhan primer terpenuhi maka keluarga akan beralih kepada kebutuhan yang lebih tinggi (Guhardja et al., 1993). Terakhir keluarga menganggap membeli HP merupakan kebutuhan yang tidak prioritas sama sekali atau pengeluaran tidak diposisikan sebagai sesuatu yang penting. Artinya, suami tidak merasa ingin membeli HP selain HP utamanya. Hal ini dikarenakan bagi suami sendiri lebih mengutamakan fungsi HP tersebut dibandingkan model dan kelengkapan fitur-firturnya. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa persentase terbesar prioritas pengeluaran keluarga dari hasil istri oleh suami digunakan untuk bayar les anak atau pendidikan anak sebanyak 8,4 persen. Diikuti dengan untuk sedekah (8,1%), membayar hutang (8,0%), dan membangun atau merenovasi rumah (7,1%). Arus Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga (Family Flow Income and Expenditure) Setiap
keluarga
berusaha
memenuhi
kebutuhannya
dengan
menggunakan sumberdaya yang dimilikinya. Adapun kebutuhan yang harus dipenuhi keluarga tidak hanya kebutuhan saat ini saja tetapi juga kebutuhan masa depan, sedangkan pendapatan yang diterima keluarga terbatas. Dengan demikian keluarga perlu memiliki kemampuan mengatur keuangan yang baik dan
62 bijak antara pendapatan, pengeluaran dan rencana tabungan masa depan (Garman dan Forgue 1988). Persentase terbesar pendapatan yang dikirimkan oleh istri secara umum digunakan suami untuk kebutuhan anak seperti jajan sehari-hari sebesar 41,7 persen. Selanjutnya sebesar 38,3 persen masing-masing digunakan untuk membayar hutang dan untuk memenuhi kebutuhan pokok. Adapun suami menggunakan pendapatan istri untuk pendidikan anak (33,3%), renovasi rumah (16,7%),
modal
(11,7%),
ditabung
(10,0%),
dan
diberikan
kepada
orangtua/saudara (6,7%). Sisanya sebesar 5,0 persen digunakan untuk membangun rumah dan pengobatan keluarga, sebesar 3,3 persen masingmasing untuk zakat, beli motor, dan menebus sawah atau rumah, serta sebesar 1,7 persen masing-masing digunakan untuk menyewa sawah dan dibayarkan kepada agen penyalur TKW. Namun sebesar 20,0 persen istri tidak mengirimkan pendapatannya selama menjadi TKW kepada keluarga. Dapat disimpulkan bahwa beberapa alasan yang mendorong istri berangkat menjadi TKW diantaranya untuk memenuhi kebutuhan anak, membayar hutang, memenuhi kebutuhan pokok keluarga, dan biaya pendidikan anak. Perincian dapat dilihat dari diagram pada Lampiran 6. Sebagai contoh pada keluarga Bapak A yang istrinya telah menjadi TKW selama 6 tahun ke Arab Saudi, pada keberangkatannya yang pertama istri gagal membawa pendapatan hasil kerja sebagai TKW karena tidak digaji oleh majikannya. Pada tahun 2008 istri pernah mengirimkan pendapatannya ke suami sebesar Rp 10.000.000,00 melalui transfer ke rekening BNI suami dan dibawa tunai pada saat istri pulang ke Indonesia untuk cuti. Pada keberangkatan kedua tahun 2009 istri mengirimkan uang sebesar Rp 30.000.000,00. Sementara itu, pada
keberangkatannya
yang
ketiga
saat
ini
istri
baru
mengirimkan
pendapatannya satu kali kepada suami melalui transfer ke rekening BNI suami pada bulan Febuari 2011. Pendapatan yang diterima dari hasil kerja istri sebagai TKW dimanfaatkan untuk membangun rumah, membeli furniture, membeli motor, pendidikan anak, memberi modal kepada petani dengan imbalan beras, tambahan biaya untuk kebutuhan sehari-hari, menyicil hutang keluarga, dan selebihnya ditabung sehingga dalam rekening tabungan suami pun terjadi peningkatan jumlah saldo dari Rp 500.000,00 menjadi Rp 3.000.000,00. Penjelasannya lebih rincinya dapat dilihat dari diagram pada Gambar 5.
63 Rumah Rp 40.000.000,00 Furniture Rp 10.000.000,00 Motor Rp 11.000.000,00 Transfer ke rekening BNI suami Rp 56.000.000,00 Pendapatan TKW (2005-2011) Rp 111.000.000,00
Dibawa tunai (2009) Rp 55.000.000,00
Pendidikan anak Rp 8.000.000,00 Modal untuk petani Rp 24.000.000,00 Kebutuhan pokok Rp 12.000.000,00 Hutang Rp 2.000.000,00 Ditabung Rp 3.000.000,00
Gambar 5 Diagram alur pendapatan dan pengeluaran keluarga TKW (Kasus indepth interview 1) Berdasarkan Gambar 5 dapat disimpulkan bahwa meskipun pendapatan yang diterima merupakan hasil dari jerih payah istri sebagai TKW namun membangun rumah dan motor atas nama suami dimana suami memiliki hak penuh terhadap aset tersebut. Hal ini memperlihatkan bahwa masih adanya stereotipe dalam masyarakat bahwa suami merupakan pencari nafkah utama (main breadwinner) sehingga apapun yang dihasilkan oleh istri hanya akan menjadi pendapatan tambahan (secondary breadwinner) yang kurang dihargai. Sesuai dengan pernyataan Sobary (1992) bahwa kontribusi ekonomi perempuan masih dianggap sekunder dan hanya sebagai pelengkap hasil dari laki-laki. Berbeda dengan Bapak B yang istrinya sudah 1,4 tahun menjadi TKW di Arab Saudi, mengirimkan hasil pendapatannya sebesar Rp 4.000.000,00 sebanyak tiga kali dalam satu tahun terakhir ke rekening mertua suami (orangtua istri). Terakhir pengiriman pendapatan istri bulan Mei 2011. Namun pendapatan yang dikirimkan oleh istri sebagai TKW tidak pernah diberikan oleh mertua kepada suami dan suami pun tidak mengetahui perincian penggunaan uang tersebut. Berikut perincian yang dapat dilihat dari diagram pada Gambar 6.
64 Pendapatan TKW (2010-2011) Rp 16.000.000,00
Transfer rekening mertua Rp 16.000.000,00
Gambar 6 Diagram alur pendapatan dan pengeluaran keluarga TKW (Kasus Indepth interview 2) Istri Bapak C menjadi TKW sejak 2009 di Singapura, selama menjadi TKW mengirimkan uang baru sekali pada April 2011 sebesar Rp 4.000.000,00 kepada suami melalui Western Union di kantor pos Kecamatan Cisaat. Uang yang telah dikirimkan oleh istri tersebut langsung diambil oleh suami dan digunakan untuk keperluan anak seperti bayar les belajar mengaji, membeli baju dan seragam sekolah, serta untuk jajan. Berikut secara rinci penjelasan tersebut yang dapat dilihat dari diagram pada Gambar 7. Bayar TPA Rp1 000 000,00
Pendapatan TKW (2009-2011) Rp4 000 000,00
Baju/seragam anak (tahun) Rp2 000 000,00
Western Union diambil oleh suami Rp4000 000,00
Jajan anak Rp1000 000,00
Gambar 7 Diagram alur pendapatan dan pengeuaran keluarga TKW (Kasus Indepth interview 3) Hampir sama halnya dengan Bapak D, proses pengiriman pendapatan TKW pada keluarga Bapak Abot melalui rekening tabungan mertua (orangtua istri) dan oleh mertua tidak pernah diberikn sedikitpun kepada suami. Istri Bapak Abot
menjadi
TKW
di
Malaysia
sejak
2009
dan
baru
mengirimkan
pendapatannya sekali pada Juni 2011. Suami hanya mengetahui uang itu digunakan oleh mertua untuk membayar hutang modal istri berangkat menjadi TKW kepada tetangga. Penjelasan secara rinci dapat dilihat dari diagram pada Gambar 8.
Pendapatan TKW (2009-2011) Rp 21 000 000,00
Transfer ke rekening mertua Rp 21 000 000,00
Bayar hutang ke tetangga Rp 15 000 000,00 Mertua Rp 6 000 000,00
Gambar 8 Diagram alur pendapatan dan pengeluaran keluarga TKW (Kasus Indepth interview 4)
65 Contoh lain dalam pengiriman pendapatan hasil istri TKW adalah keluarga Bapak Wahyudin yang sudah keempat kalinya menjadi TKW sejak tahun 2003 di Arab Saudi. dalam satu tahun biasanya istri mengirimkan pendapatannya tiga kali ke agen yang selanjutnya diberikan kepada suami. Pendapatan yang diterima suami merupakan pendapatan yang telah dipotong biaya operasional oleh agen setiap kali pengiriman oleh istri. Pendapatan yang telah diperoleh tersebut digunakan untuk membangun rumah, pendidikan anak, bayar hutang, menyewa sawah, membeli furniture, dan renovasi bagian rumah yang mulai rusak. Dalam penggunaan hasil pendapatan istri tersebut suami terlebih dahulu sudah membicarakan dan menyepakatinya dengan istri karena alasan utama istri menjadi TKW yaitu ingin membangun rumah sendiri disamping menambah pendapatan keluarga. Berikut perincian yang dapat dilihat dari diagram pada Gambar 9. Rumah (atas nama suami) Rp 32 000 000,00
Pendapatan TKW (2003-2011) Rp 104 000 000,00
Pendidikan anak Rp 6 000 000,00 Transfer ke rekening BNI agen Rp 104 000 000,00
Agen Rp 32 000 000,00
Bayar hutang Rp 4 000 000,00
Dikirim wesel ke suami Rp 72 000 000,00
Furniture Rp 7 000 000,00 Menyewa sawah Rp 20 000 000,00 Renovasi rumah Rp 3 000 000,00
Gambar 9 Diagram alur pendapatan dan pengeluaran keluarga TKW (Kasus Indepth interview 5) Lingkungan dan Tempat Tinggal. Rumah menjadi salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh setiap manusia dalam hidupnya. Kondisi dan kualitas rumah yang ditempati dapat menggambarkan keadaan sosial ekonomi rumah tangga tersebut. Oleh sebab itu sangat penting bagi keluarga memelihara kualitas rumah yang ditempatinya. Semakin baik fasilitas yang dimiliki, maka semakin sejahtera keluarga yang menempati rumah tersebut (BPS 2002). Salah
66 satu variabel dalam menentukan kesejahteraan keluarga yaitu status kepemilikan rumah. Pada penelitian ini status kepemilikan rumah keluarga diukur dari status kepemilikan sendiri, kontrak, milik orangtua, dan lainnya (milik saudara, mertua, rumah dinas, dan sebagainya). Berdasarkan Tabel 29 dapat diketahui bahwa lebih dari separuh keluarga (65,0%) memiliki rumah dengan status kepemilikan milik sendiri sebelum TKW dan sebagian besar keluarga (81,7%) memiliki rumah dengan status kepemilikan milik sendiri saat TKW. Hal ini menunjukkan terdapat perubahan persentase kepemilikan rumah dari keluarga sebelum dan saat menjadi TKW. Dimana keberangkatan istri menjadi TKW membuahkan hasil yaitu mampu mengubah status kepemilikian rumah yang semula masih mengontrak bahkan menumpang dengan orang tua suami atau istri, saat TKW menjadi lebih mandiri dengan membangun rumah sendiri. Tabel 29 Sebaran contoh menurut pemenuhan kebutuhan tempat tinggal No I 1 2 3 4 II 1 2 3 4 5 III 1 2 3 4 IV 1 2 3 4 5 V 1 2
Keadaan Tempat Tinggal Status Kepemilikan rumah Sendiri Kontrak Orang tua Lainnya Total Tipe dinding rumah Bambu Kayu Sebagian tembok Tembok Lainnya Total Tipe Atap Genteng Seng Asbes Nifah Total Tipe Lantai Keramik Ubin Semen Tanah Lainnnya Total Kepemilikan rumah lebih satu Ya Tidak Total
Sebelum TKW n %
Saat TKW n %
Perubahan (%)
39 5 12 4 60
65,0 8,3 20,0 6,7 100,0
49 1 7 3 60
81,7 1,7 11,7 5,0 100,0
16,7
16 1 5 34 4 60
26,7 1,7 8,3 56,7 6,7 100,0
6 0 4 48 2 60
10,0 0,0 6,7 80,0 3,3 100,0
59 0 1 0 60
98,3 0,0 1,7 0,0 100,0
60 0 0 0 60
100,0 0,0 0,0 0,0 100,0
1,7
17 6 21 3 13 60
28,3 10,0 35,0 5,0 21,7 100,0
34 3 15 5 3 60
56,7 5,0 25,0 8,3 5,0 100,0
28,3
0 60 60
0,0 100,0 100,0
0 60 60
0,0 100,0 100,0
23,3
-10,0
dari 0,0
67 Pada Tabel 29 diketahui bahwa lebih dari separuh keluarga (56,7%) sebelum TKW memiliki jenis dinding rumah yang terbuat dari tembok dan mengalami peningkatan menjadi sebagian besar keluarga (80,0%) memiliki jenis dinding yang terbuat dari tembok saat TKW. Namun masih terdapat keluarga yang dinding rumahnya dari bambu sebesar 26,7 persen sebelum TKW dan 10,0 persen setelah TKW, serta jenis kayu sebesar 1,7 persen sebelum TKW dan menurun hingga 0,0 persen saat TKW. Hampir seluruh (98,3%) keluarga baik sebelum TKW maupun seluruh keluarga (100,0%) saat TKW memiliki jenis atap rumah dari genting. Hanya ada 1,7 persen rumah keluarga beratapkan asbes sebelum TKW dan menurun hingga 0,0 persen saat TKW. Kurang dari separuh keluarga (35,0%) memiliki jenis lantai semen sebelum TKW dan lebih dari separuh keluarga (56,7%) memiliki jenis lantai keramik saat TKW. Namun masih terdapat rumah keluarga dengan jenis lantai berupa tanah sebesar 5,0 persen sebelum TKW dan meningkat sebesar 8,3 persen saat TKW. Artinya, dengan istri menjadi TKW memberikan perubahan terhadap keadaan rumah dan lingkungan keluarga. Tabel 30 menunjukkan bahwa sebanyak 30,0 persen keluarga memiliki kandang ternak sebelum TKW dan menurun menjadi 20,0 persen saat TKW. Sebanyak 30,0 persen keluarga memiliki hewan ternak berupa ayam sebelum TKW dan menurun hingga 18,3 persen saat TKW. Selanjutnya sebanyak 1,7 persen keluarga memiliki hewan ternak berupa bebek sebelum TKW dan menurun menjadi 0,0 persen saat TKW. Terjadinya penurunan tersebut diduga karena keluarga mulai beralih dari ternak ke hal lain seiring bertambahnya pendapatan keluarga saat TKW. Sebanyak 5,0 persen keluarga memiliki sawah sebelum menjadi TKW dan menurun 3,3 persen saat TKW. Hal ini diduga karena tidak sedikit keluarga yang menggadaikan sawahnya untuk modal istri menjadi TKW atau untuk menutupi hutang keluarga. Seluruh keluarga baik sebelum TKW (0,0%) maupun saat TKW (0,0%) tidak memiliki kebun dan ladang serta kolam. Sebanyak 6,7 persen keluarga memiliki mobil/angkot sebelum TKW dan menurun menjadi 0,0 persen saat menjadi TKW. Sebanyak 31,7 persen keluarga memiliki motor sebelum TKW dan meningkat menjadi 35,0 persen saat TKW. Sebanyak 28,3 persen keluarga memiliki sepeda sebelum menjadi TKW dan meningkat menjadi 30,0 persen saat menjadi TKW. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kepemilikan aset berupa motor dan sepeda dari sebelum
68 TKW ke saat TKW. Diduga peningkatan kepemilikan aset berupa motor tersebut digunakan untuk mencari penghasilan tambahan bagi suami. Lebih dari separuh keluarga (65,0%) memiliki televisi sebelum TKW dan meningkat menjadi tiga perempat keluarga (75,0%) yang memiliki televisi saat TKW. Sebanyak 41,7 persen keluarga memiliki radio/tape/compo sebelum TKW dan menurun menjadi 35,0 persen saat TKW. Kurang dari separuh keluarga (35,0%) memiliki Handphone (HP) sebelum TKW dan hampir seluruh keluarga (93,3%) memiliki HP saat TKW. Hal ini dikarenakan HP menjadi sarana penting komunikasi antara suami dan istri selama menjadi TKW. Sebanyak 26,7 persen suami memiliki VCD/DVD Player sebelum TKW dan meningkat menjadi 40,0 persen saat TKW. Sebanyak 11,7 persen keluarga memiliki kipas angin sebelum TKW dan menurun menjadi 6,7 persen saat TKW. Sementara itu tidak terjadi perubahan yang signifikan dari kepemilikan komputer (1,7%) dan kulkas/lemari es (8,3%) keluarga antara sebelum TKW dan saat TKW. Sebanyak 8,3 persen keluarga memiliki mesin cuci sebelum TKW dan mengalami peningkatan menjadi 13,3 persen saat TKW. Sebanyak 71,7 persen keluarga memiliki setrika listrik sebelum TKW dan meningkat menjadi 76,7 persen saat TKW. Sebanyak 28,3 persen keluarga memiliki rice cooker sebelum TKW dan meningkat menjadi 40,0 persen saat TKW. Disamping itu sebanyak 28,3 persen keluarga memiliki blender/mixer sebelum TKW dan meningkat menjadi 38,3 persen saat TKW. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dalam kepemilikan aset keluarga berupa televisi, HP, VCD/DVD Player, mesin cuci, strika listrik, rice cooker, dan blender/mixer dari sebelum TKW ke saat TKW. Kurang dari separuh keluarga (43,3%) memiliki furniture berupa sofa sebelum TKW dan meningkat menjadi lebih dari separuh keluarga (53,3%) saat TKW. Sementara itu untuk kasur/tempat tidur hampir seluruh keluarga tidak mengalami perubahan yang signifikan antara sebelum TKW dan saat TKW (95,5%). Sebanyak 20,0 persen keluarga memiliki perhiasan emas sebelum menjadi TKW dan menurun menjadi 1,7 persen saat TKW. Hal ini dikarenakan sebagian besar keluarga menjual perhiasan emas yang dimilikinya untuk dapat menutupi atau memenuhi kebutuhan keluarga. Sebanyak 28,5 persen tabungan atas nama suami sebelum TKW dan meningkat menjadi 35,0 persen saat TKW. Sedangkan tabungan atas nama istri tidak mengalami perubahan yang signifikan antara sebelum TKW dan saat TKW (11,7%). Sebanyak 6,7 persen keluarga yang mengikuti asuransi jiwa sebelum TKW dan menurun menjadi 0,0 persen
69 saat jadi TKW. Seluruh contoh tidak pernah memiliki asuransi kesehatan dan asuransi jiwa, baik sebelum TKW (0,0%) maupun saat TKW (0,0%). Tabel 30 Sebaran contoh menurut keadaan aset keluarga No I II 1 2 III 1 2 3 IV 1 2 3 V 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 VI 1 2 VII 1 2 3 VII 1 2 3 VIII 1 2 IX 1 2
Keadaan aset Kepemilikan kandang ternak Hewan ternak Ayam Bebek Lahan Sawah Kebun dan ladang Kolam Kendaraan Mobil/angkot Motor Sepeda Barang elektronik Televisi Radio/Tape/Compo HP VCD/DVD Player Komputer Kipas angin Lemari es/Kulkas Mesin cuci Setrika listrik Rice cooker Blender/Mixer Furniture Kursi/Sofa Kasur/Tempat tidur Perhiasan dan tabungan Emas Tabungan suami Tabungan istri Asuransi Asuransi jiwa Asuransi kesehatan Asuransi pendidikan Perlengkapan dapur Kompor gas Kompor minyak tanah Lainnya Warung Toko
Sebelum TKW n % 18 30,0
Saat TKW n % 12 20,0
Perubahan (%) -10,0
18 1
30,0 1,7
11 0
18,3 0,0
-11,7 -1,7
3 0 0
5,0 0,0 0,0
2 0 0
3,3 0,0 0,0
-1,7 0,0 0,0
4 19 17
6,7 31,7 28,3
0 21 18
0,0 35,0 30,0
-6,7 3,3 1,7
39 25 21 16 1 7 5 5 43 17 17
65,0 41,7 35,0 26,7 1,7 11,7 8,3 8,3 71,7 28,3 28,3
45 21 56 24 1 4 5 8 46 24 23
75,0 35,0 93,3 40,0 1,7 6,7 8,3 13,3 76,7 40,0 38,3
10,0 -6,7 58,3 13,3 0,0 -5,0 0,0 5,0 5,0 11,7 10,0
27 57
45,0 95,0
32 57
53,3 95,0
8,3 0,0
12 17 7
20,0 28,5 11,7
1 21 7
1,7 35,0 11,7
-18,3 6,5 0,0
4 0 0
6,7 0,0 0,0
0 0 0
0,0 0,0 0,0
-6,7 0,0 0,0
38 16
63,3 26,7
3 47
5,0 78,3
-58,3 51,6
7 0
11,7 0,0
2 0
3,3 0,0
-8,4 0,0
Dari Tabel 30 dapat diketahui bahwa sebanyak 63,3 persen keluarga memiliki kompor gas sebelum TKW dan menurun menjadi 5,0 persen saat TKW. Sedangkan kurang dari separuh keluarga (26,7%) memiliki kompor minyak tanah sebelum TKW dan meningkat menjadi tiga perempat (78,3%) saat TKW. Hal ini
70 diduga karena warga desa belum memahami cara penggunaan kompor gas yang dibagikan
pemerintah
sehingga
masih
banyak
warga
yang
takut
menggunakannya, seperti ketakutan akan tabung gas yang bocor. Meskipun tabung gas elpiji lebih murah tetapi hingga saat ini masih banyak warga yang enggan beralih (Anonim 2011). Kesejahteraan Subjektif (Quality of Life) Kesejahteraan subjektif merupakan pengukuran tingkat kepuasan dan kebahagiaan seseorang secara subjektif terhadap keadaan yang dirasakan (perceived) oleh suami meliputi kesejahteraan fisik, ekonomi, sosial, dan psikologis (Puspitawati 2009). Tabel 31 menunjukkan bahwa lebih dari separuh suami menyatakan puas dengan keadaan kesehatan pribadinya (56,7%), kesehatan istri di negara orang (53,3%), dan kesehatan anak (60,0%). Lebih dari separuh suami merasa tidak puas dengan ketersediaan pangan (56,7%) sedangkan dari keadaan tempat tinggal presentase terbesar suami menyatakan tidak puas (48,3%). Hal ini dikarenakan suami hingga saat istri menjadi TKW masih menumpang dengan orangtua dan belum membangun rumah karena pendapatannya belum mencukupi. Hampir separuh suami menyatakan tidak puas dengan kiriman uang istri (45,0%), pakaian keluarga (48,3%), dan pakaian suami (48,3%). Lebih dari separuh suami menyatakan tidak puas dengan keadaan keuangan keluarga (76,7%), keadaan materi/aset keluarga (66,7%), dan keadaan alat transportasi (61,7%). Sebagian besar suami menyatakan tidak puas dengan keadaan tabungan keluarga (83,3%). Adapun suami menyatakan tidak puas dengan pendapatan sendiri (75,0%) sedangkan jika dari pendapatan istri sebagai TKW presentase terbesar suami menyatakan puas (53,3%). Lebih dari separuh suami menyatakan tidak puas dengan keadaan pekerjaan suami (61,7%) namun, presentase terbesar suami menyatakan puas dengan keadaan pekerjaan istri sebagai TKW (40,0%). Lebih dari separuh suami menyatakan tidak puas dengan gaya manajemen keuangan keluarga (56,7%) dan keadaan sekolah anak (50,0%). Hal ini dikarenakan suami menginginkan tingkat pendidikan anaknya lebih tinggi dari orangtuanya yang mayoritas hanya sampai tingkat SD. Separuh suami menyatakan tidak puas dengan keadaan psikologi anak (48,3%) dan lebih dari separuh suami juga menyatakan tidak puas dengan keadaan spiritual/mental suami sendiri (58,3%), keadaan spiritual/mental anak (68,0%), dan perasaan terhadap keselamatan istri (50,0%). Adapun persentase
71 terbesar suami merasa sudah puas dengan komunikasi/interaksi dengan istri (43,3%). Hal ini dikarenakan suami dan istri mampu menjaga komunikasi diantara mereka dengan baik meskipun hanya melalui telepon dan dengan mendengar suara istri dapat membuat suami dapat merasa lebih tenang. Tabel 31 Sebaran contoh berdasarkan kesejahteraan subjektif No
I 1 2
Pernyataan
Tidak puas n %
Kesejahteraan fisik Keadaan kesehatan Anda 12 20,0 Keadaan kesehatan istri Anda 13 21,7 di negara orang 3 Keadaan kesehatan anak-anak 12 20,0 Anda 4 Keadaan ketersediaan pangan 34 56,7 keluarga Anda 5 Keadaan tempat tinggal 29 48,3 keluarga Anda II Kesejahteran ekonomi 6 Keadaan keuangan keluarga 46 76,7 7 Keadaan pendapatan Anda 45 75,0 8 Kontribusi istri dalam 10 16,7 pendapatan keluarga 9 Keadaan kiriman uang istri 27 45,0 Anda 10 Keadaan tabungan keluarga 50 83,3 11 Keadaan pakaian keluarga 29 48,3 12 Keadaan pakaian Anda 29 48,3 13 Keadaan materi/aset keluarga 40 66,7 14 Alat transportasi keluarga 37 61,7 15 Media komunikasi: HP, dll 14 23,3 III Kesejahteraan sosial 16 Gaya manajemen keuangan 34 56,7 Anda 17 Keadaan pekerjaan Anda 37 61,7 18 Keadaan pekerjaan istri Anda 20 33,3 19 Keadaan sekolah anak Anda 30 50,0 IV Kesejahteraan psikologi 20 Keadaan spiritual/mental Anda 35 58,3 21 Keadaan spiritual/mental anak 36 68,0 Anda 22 Keadaan psikologi anak Anda 29 48,3 23 Perasaan Anda terhadap 30 50,0 keselamatan istri Anda 24 Perasaan Anda terhadap 19 31,7 komunikasi dengan istri Anda 1=tidak puas, 2=cukup puas, 3=puas, 4=sangat puas
Cukup Puas n %
Puas n
%
Sangat Puas n %
13 13
21,7 21,7
34 32
56,7 53,3
1 2
1,7 3,3
11
18,3
36
60,0
1
1,7
9
15,0
16
26,7
1
1,7
9
15,0
20
33,3
2
3,3
8 11 17
15,3 18,3 28,3
4 3 32
6,7 5,0 53,3
2 1 1
3,3 1,7 1,7
9
15,0
24
40,0
0
0,0
4 12 11 9 10 14
6,7 20,0 18,3 15,0 16,7 23,3
6 19 20 10 13 32
10,0 31,7 33,3 16,7 21,7 53,3
0 0 0 1 0 0
0,0 0,0 0,0 1,7 0,0 0,0
7
11,7
18
30,0
1
1,7
9 16 7
15,0 26,7 11,7
13 24 22
21,7 40,0 36,7
1 0 1
1,7 0,0 1,7
9 9
15,0 15,0
15 14
25,0 23,3
1 1
1,7 1,7
15 15
25,0 25,0
15 14
25,0 23,3
1 1
1,7 1,7
13
21,7
26
43,3
2
3,3
Dilihat dari Tabel 32 maka dapat diketahui bahwa suami yang memiliki tingkat kesejahteraan subjektif yang baik adalah suami yang merasa puas hingga sangat puas terhadap keadaan tempat tinggal, kiriman uang dari istri, pekerjaan
72 istri, sekolah anak, komunikasi dengan istri, kesehatan suami, kesehatan istri, kesehatan anak, dan kontribusi istri terhadap pendapatan keluarga. Sementara itu suami yang memiliki tingkat kesejahteraan subjektif sedang adalah suami yang merasa cukup puas terhadap keadaan pakaian keluarga, pakaian suami, alat transportasi keluarga, gaya manajemen keuangan suami, pekerjaan suami, spiritual suami, spiritual anak, psikologis anak, dan keselamatan istri. Sedangkan suami yang memiliki tingkat kesejahteraan yang kurang adalah suami yang merasa tidak puas terhadap keadaan keuangan keluarga, pendapatan suami, tabungan keluarga, dan aset keluarga. Tabel 32 Sebaran contoh berdasarkan kategori kesejahteraan keluarga subjektif Kesejahteraan keluarga subjektif Kurang (23-39) Sedang (40-56) Baik (57-73) Total
Fisik n % 18 30,0 30 50,0 12 20,0 60 100,0
Kesejahteraan Sosial Ekonomi n % n % 34 56,7 25 41,7 22 36,7 26 43,3 4 6,6 9 15,0 60 100,0 60 100,0
Psikologis n % 44 73,3 15 25,0 1 1,7 60 100,0
Kesejahteraan total n % 24 40,0 31 51,7 5 8,3 60 100,0
Berdasarkan kategori kesejahteraan keluarga subjektif pada Tabel 32 dapat diketahui bahwa persentase terbesar keluarga (51,7%) berada pada tingkat kesejahteraan subjektif sedang yang artinya keluarga merasa cukup puas dengan semua aspek kesejahteraan. Adapun kesejahteraan subjektif keluarga yang termasuk kategori kurang adalah kesejahteraan sosial (56,7%) dan kesejahteraan psikologis (73,3%), sedangkan yang termasuk kategori sedang adalah kesejahteraan fisik (50,0%) dan kesejahteraan ekonomi (43,3%). Hubungan Antar Variabel Salah satu tujuan khusus pada penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antar variabel yang saling terkait, diantaranya: karakteristik contoh dan istri, kontribusi ekonomi istri terhadap pendapatan keluarga, pola pengeluaran keluarga, dan kesejahteraan keluarga, baik secara objektif maupun subjektif. Hubungan Karakteristik Contoh dengan Kontribusi Ekonomi Istri dan Pengeluaran Total Keluarga Berdasarkan hasil korelasi Pearson diketahui bahwa umur suami dan umur istri tidak berhubungan nyata dengan kontribusi istri terhadap pendapatan keluarga. Hal ini diduga karena dengan semakin bertambahnya umur istri maka produktifitas kerja semakin menurun sehingga kontribusi yang diberikan kepada pendapatan
keluarga
menjadi
kecil.
Kondisi
ini
sejalan
dengan
yang
73 dikemukakan oleh Shinta (2008), orangtua dengan usia lanjut menjadi kurang produktif sehingga kontribusinya terhadap perekonomian keluarga akan lebih rendah dibandingkan dengan orangtua berusia muda. Hasil uji korelasi Pearson juga menunjukkan bahwa pendidikan suami dan pendidikan istri berhubungan negatif tidak nyata dengan kontribusi ekonomi istri. Hal ini sejalan dengan pernyataan Guhardja et al. (1993) bahwa secara umum, orang dengan pendidikan tinggi akan memperoleh pendapatan yang relatif tinggi dibandingkan dengan orang yang berpendidikan rendah. Dengan kata lain, semakin tinggi pendidikan suami dan istri maka memiliki peluang untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik sesuai dengan tingkat pendidikannya, sehingga pendapatan yang diterimanya pun tinggi. Sebaliknya pendidikan yang semakin rendah cenderung memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang rendah. Selain itu diduga karena data yang didapat bersifat homogen atau berkumpul pada satu titik dimana rata-rata lama pendidikan, baik suami maupun istri, adalah SD. Lamanya istri sebagai TKW dan besar keluarga menunjukkan tidak ada hubungan yang nyata dengan kontribusi istri. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan nyata namun memiliki arah negatif antara umur suami dan umur istri dengan pengeluaran keluarga. Hasil ini sejalan dengan pernyataan Roswita (2005) bahwa semakin bertambahnya umur seseorang maka akan menyebabkan produktivitas kerjanya menurun, terutama apabila mendekati usia lanjut. Hal ini mengakibatkan tingkat pendapatan yang diterima keluarga menjadi rendah sehingga alokasi untuk pengeluaran keluarga menjadi terbatas. Selain itu pendidikan contoh, pendidikan istri, dan lama menjadi TKW tidak berhubungan nyata dengan pengeluaran keluarga. Korelasi Pearson menunjukkan bahwa pendidikan suami dan istri tidak berhubungan nyata namun memiliki arah positif dengan pengeluaran total keluarga. Hal ini sejalan dengan pernyataan Engel et al. (1994), tingkat pendidikan akan mempengaruhi jenis pekerjaan seseorang dan pekerjaan akan memperngaruhi gaya hidup. Pada akhirnya gaya hidup akan mempengruhi besarnya pengeluaran yang dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Begitu pula dengan lama istri menjadi TKW tidak memiliki hubungan nyata dengan pengeluaran total keluarga. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata namun memiliki arah positif antara besar keluarga dengan pengeluaran
74 keluarga. Artinya semakin bertambahnya anggota keluarga maka semakin besar beban pengeluaran keluarga tersebut. Hal ini dikarenakan setiap orang dalam keluarga memiliki tingkat dan preferensi yang berbeda untuk pemenuhan kebutuhannya terutama pada keluarga yang memiliki pendapatan relatif rendah (Iskandar 2007). Tabel 33 Hasil uji korelasi Pearson karakteristik contoh dengan kontribusi ekonomi istri terhadap pendapatan keluarga setelah TKW dan pola pengeluaran keluarga Variabel Umur suami Umur istri Pendidikan suami Pendidikan istri Lama menjadi TKW Besar keluarga
Kontribusi Ekonomi Istri (TKW) terhadap Pendapatan Keluarga .021 -.118 -.194 -.179 .048 .020
Pengeluaran Total Keluarga
-.222 -.085 .190 .228 .127 .082
Hubungan Kontribusi Ekonomi Istri dengan Pola Pengeluaran Keluarga Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara pengeluaran keluarga yang terdiri dari pengeluaran pangan, pengeluaran non-pangan, pengeluaran khusus suami, dan hutang keluarga dengan kontribusi istri terhadap pendapatan keluarga. Hal ini diduga karena suami yang secara langsung mengatur pengeluaran keluarga, dengan ada atau tidak adanya sumbangan istri terhadap pendapatan keluarga. Kondisi ini juga tidak terlepas dari kontribusi ekonomi istri yang lebih kecil jika dibandingkan dengan kontribusi ekonomi suami terhadap pendapatan keluarga. Selain itu juga dikarenakan suami tetap bekerja sebagai pencari nafkah utama (main breadwinner) dengan dibantu anggota keluarga lainnya yang memiliki kontribusi pendapatan cukup besar untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehingga tidak bergantung atau mengandalkan pendapatan istri sepenuhnya. Tabel 34 Hasil uji korelasi Pearson kontribusi ekonomi istri dengan pola pengeluaran keluarga Variabel Pengeluaran pangan Pengeluaran non pangan Pengeluaran khusus suami Hutang keluarga
Kontribusi Ekonomi Istri (TKW) terhadap Pendapatan Keluarga .092 .058 -.140 .048
75 Hubungan Karakteristik Contoh, Kontribusi Ekonomi Istri, dan Pengeluaran Keluarga dengan Kesejahteraan Subjektif Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata namun memiliki arah positif antara umur suami dan umur istri dengan kesejahteraan subjektif suami. Hasil ini sejalan dengan penelitian Nurulfirdausi (2010) bahwa umur contoh dan umur istri tidak berhubungan nyata dengan kesejahteraan subjektif. Hal ini dikarenakan rata-rata umur suami dan istri termasuk pada umur produktif maka tingkat produktivitas individu sebagai tenaga kerja masih tinggi namun potensi, kemampuan, dan keterampilannya belum digunakan secara maksimal sehingga tidak berhubungan dengan kesejahteraan subjektif meskipun memiliki arah positif. Hasil uji korelasi Pearson juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang nyata namun memiliki arah positif antara pendidikan suami dengan kesejahteraan subjektif suami. Sementara itu, pendidikan istri memiliki arah negatif dengan kesejahteraan subjektif suami. Hal ini sejalan dengan pernyataan Nurulfirdausi (2010) bahwa pendidikan suami dan pendidikan istri tidak berhubungan nyata dengan kesejahteraan subjektif. Hal ini berarti bahwa, semakin tinggi pendidikan suami maka semakin tinggi pula kesejahteraan subjektif. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan yang tinggi akan memberi peluang jenis pekerjaan dan pendapatan yang baik sehingga keluarga dapat mencukupi kebutuhan-kebutuhannya baik kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier yang akan memberi rasa kepuasan. Berdasarkan kondisi tersebut mayoritas pendidikan suami dan istri adalah SD sehingga jenis pekerjaannya menjadi terbatas. Selain itu masih kuatnya stereotype masyarakat bahwa perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan yang tinggi karena pada akhirnya akan bekerja di dapur sesuai dengan peranan domestiknya (homemaker) dan suami lah sebagai pencari nafkah utama (main breadwinner) yang bekerja di berbagai sektor publik maka pendidikan untuk laki-laki selalu lebih diutamakan sehingga pendidikan suami tidak memiliki hubungan yang nyata dan mengarah positif dengan tingkat kesejahteraan subjektif. Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson dapat diketahui bahwa lamanya istri sebagai TKW tidak berhubungan nyata namun memiliki arah negatif dengan kesejahteraan subjektif. Artinya kepergian istri sebagai TKW dalam waktu lama ataupun sebentar membawa dampak negatif terhadap kesejahteraan subjektif suami. Hal ini sejalan dengan pernyataan Suryawati (2002) bahwa dengan Ibu meninggalkan rumah untuk bekerja maka keluarga memiliki masalah berkaitan
76 dengan siapa yang memberi pelayanan di rumah yang biasanya dilakukan oleh Ibu. Meskipun suami mendapatkan dukungan sosial dan bantuan dalam pekerjaan domestik sehari-harinya, baik dari keluarga besar maupun dari pembagian peran dalam keluarga dengan anak-anaknya, namun tentu berbeda kualitasnya dengan yang biasa dilakukan istrinya ketika masih berada di rumah sebelum TKW, terlebih dalam hal urusan dapur seperti yang dikemukakan Sajogyo (1983) bahwa laki-laki pada umumnya tidak melakukan pekerjaan rumahtangga, seperti memasak atau membesarkan sendiri anak-anaknya. Oleh karena itu lama istri menjadi TKW tidak memiliki hubungan nyata namun mengarah negatif dengan tingkat kesejahteraan subjektif. Hasil korelasi Pearson juga menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan nyata dan memiliki arah negatif antara besar keluarga dengan kesejahteraan subjektif. Hal ini sejalan dengan pernyataan Shinta (2008), keluarga dengan jumlah anggota yang sedikit akan relatif lebih sejahtera dibandingkan keluarga dengan anggota besar. Kondisi seperti ini diduga karena kesejahteraan erat kaitannya dengan pengeluaran yang dilakukan keluarga dimana semakin besar anggota keluarga maka beban kebutuhan yang harus dipenuhi keluarga akan semakin banyak sehingga menyebabkan ketiadaan hubungan dan memiliki arah negatif antara besar keluarga dengan kesejahteraan keluarga subjektif. Tabel 35 Hasil uji korelasi Pearson karakteristik contoh, kontribusi ekonomi istri, dan pengeluaran keluarga dengan kesejahteraan subjektif Variabel Umur suami Umur istri Pendidikan suami Pendidikan istri Lama istri menjadi TKW Besar keluarga Kontribusi ekonomi istri (TKW) Pengeluaran keluarga
Kesejahteraan Subjektif .205 .180 .197 -.147 -.052 -.165 .061 .031
Hubungan Kontribusi Ekonomi Istri dengan Kesejahteraan Subjektif Hasil uji korelasi Pearson pada Tabel 34 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata namun memiliki arah positif antara kontribusi istri terhadap pendapatan keluarga setelah TKW dengan kesejahteraan subjektif suami. Artinya kontribusi istri terhadap pendapatan keluarga setelah menjadi TKW memberikan kesejahteraan secara subjektif. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Oyabu dan Eguchi (1999) bahwa keluarga yang memiliki dua sumber pendapatan (bapak dan ibunya bekerja) memiliki pendapatan yang lebih besar
77 dengan sumberdaya tenaga yang lebih banyak. Meskipun istri berperan sebagai pencari nafkah kedua (secondary breadwinner) setelah suami karena masih kuatnya budaya patriarki yang menganggap demikian, namun kontribusinya tetap membantu pendapatan keluarga dan juga meringankan beban suami sebagai pencari nafkah utama. Kondisi ini memungkinkan keluarga dapat memenuhi kebutuhannya sehingga kesejahteraan subjektif mengarah positif. Hal ini didukung dengan pernyataan Sumarwan dan Hira (1993a), seseorang dikatakan sejahtera
apabila
terpenuhinya
kebutuhan
fisik
dan
material,
dimana
kebahagiaan berhubungan dengan perasaan atau emosi. Hubungan Pengeluaran Keluarga dengan Kesejahteraan Subjektif Hasil uji korelasi Pearson pada Tabel 34 di atas menunjukkan bahwa pengeluaran keluarga tidak berhubungan nyata dengan kesejahteraan subjektif suami namun memiliki arah positif. Hasil penelitian sesuai dengan pernyataan Rashid et al. (2010), peningkatan pendapatan keluarga akan meningkatkan pengeluaran total keluarga tersebut. Tingkat pendapatan keluarga yang tinggi akan memberikan peluang lebih besar kepada keluarga dalam membelanjakan uangnya untuk memenuhi kebutuhannya baik secara kualitas maupun kuantitas sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki. Oleh karena itu pengeluaran keluarga memiliki arah postif dengan kesejahteraan subjektif meskipun tidak berhubungan secara nyata. Namun tidak menutup kemungkinan cara keluarga membelanjakan uang untuk mencapai tingkat kepuasannya masing-masing tersebut dapat mempengaruhi gaya hidup keluarga menjadi konsumtif apabila suami tidak dapat mengelola keuangannya dengan baik. Hubungan Karakteristik Contoh dengan Dimensi Kesejahteraan Subjektif Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman pada Tabel 36 dapat diketahui bahwa terdapat hubungan nyata antara umur suami dengan kesejahteraan subjektif dimensi psikologis. Hal ini berarti bahwa, semakin tinggi umur suami maka semakin matang perkembangan fisik dan jiwanya. Diduga karena dengan kematangan emosi tersebut suami dapat lebih mensyukuri apa yang telah dimilikinya. Kondisi ini sejalan dengan pernyataan Shinta (2008), usia mencerminkan tingkat kematangan individu baik secara fisik maupun emosional.
78 Tabel 36 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik contoh dengan kesejahteraan subjektif dimensi fisik, ekonomi, sosial, dan psikologis Variabel Umur suami Umur istri Pendidikan suami Pendidikan istri Besar keluarga Lama istri menjadi TKW * signifikan pada p ≤ 0.05 ** signifikan pada p ≤ 0.01
Fisik .105 .192 -.280* -.143 -.020 -.010
Kesejahteraan subjektif Ekonomi Sosial .135 -.085 .089 .081 -.117 -.209 -.129 -.218 .122 .201 -.104 -.197
Psikologis .263* .153 .014 -.086 -.146 -.123
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif nyata antara pendidikan suami dengan kesejahteraan dimensi fisik. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan suami maka akan semakin menurun kesejahteraan subjektif terutama dimensi fisiknya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Shinta (2008), semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah ia dapat menerima informasi dan inovasi baru yang dapat mengubah pola konsumsinya dalam memenuhi kebutuhannya. Dengan banyaknya informasi yang ia terima maka akan mengubah sikap dan perilakunya. Pendidikan yang tinggi akan memungkinkan seseorang mempunyai tingkat pendapatan yang relatif tinggi sehingga akan memilih segala sesuatunya dari segi kualitas dan cenderung tidak akan pernah merasa puas dengan apa yang sudah dimilikinya.
Pembahasan Umum Untuk
dapat
memenuhi
kebutuhan
keluarga
dan
tercapainya
kesejahteraan keluarga, maka tidak jarang anggota lain dalam keluarga disamping suami sebagai kepala rumahtangga pun ikut bekerja, tidak terkecuali istri. Salah satu kesempatan kerja yang menjadi alternatif istri adalah menjadi TKW di luar negeri. Hal ini mengakibatkan terjadi ketidakseimbangan dalam keluarga. Sementara itu, berdasarkan teori struktural fungsional keluarga harus memiliki pembagian tugas yang jelas sesuai dengan perannya masing-masing agar tidak terjadi disfungsional peran yang dapat menyebabkan sistem keluarga terganggu. Menurut Levy dalam Megawangi (1999), tanpa adanya pembagian tugas masing-masing anggota keluarga dengan jelas sesuai dengan status sosialnya maka fungsi keluarga akan terganggu. Artinya, dengan istri menjadi TKW maka peran domestik diambil alih oleh suami. Hal ini tidak sesuai menurut Rice dan Tucker (1986) membagi peran utama keluarga menjadi dua, yaitu peran instrumental atau pencari nafkah yang diharapkan dilakukan oleh suami dan
79 peran ekspresif atau pengasuh anak yang dilakukan oleh istri. Kepergian istri sebagai TKW mengakibatkan terjadinya perubahan struktur dalam keluarga seperti suami yang harus berperan ganda sebagai pencari nafkah (breadwinner) dan pengasuh anak (care giver) serta rumahtangga yang biasanya menjadi tanggung jawab istri. Menurut Adriyani (2000), tinggi rendahnya kontribusi ekonomi wanita ditentukan oleh jumlah anggota rumah tangga yang bekerja mencari nafkah dan memperoleh pendapatan berupa uang. Apabila kontribusi ekonomi yang diberikan istri tinggi terhadap pendapatan keluarga, maka kebutuhan keluarga dapat terpenuhi dan akan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Suryawati (2002), pendapatan akan mempengaruhi aktivitas keluarga dalam upaya pemenuhan kebutuhan keluarga. Hal ini dikarenakan tingkat pendapatan keluarga menentukan jenis pangan yang akan dibeli. Selanjutnya, setelah kebutuhan pangan sudah tercukupi maka keluarga akan mengalihkan pengeluarannya untuk memenuhi kebutuhan lainnya yaitu non pangan sejalan dengan Teori Maslow. Keluarga dapat dikatakan sejahtera jika kebutuhan setiap anggota keluarganya dapat terpenuhi. Sementara itu, apabila kontribusi istri rendah dan kontribusi suami juga rendah maka sebagian besar pendapatannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic need) dan tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan hidup secara layak, sehingga terjadi penurunan kualitas hidup atau kesejahteraannya (Rambe et al., 2008). Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diketahui bahwa pendapatan per kapita keluarga, baik sebelum maupun saat istri menjadi TKW sudah di atas batas garis kemiskinan. Meskipun kontribusi ekonomi istri tergolong rendah menurut kategori BPS (2009) yaitu di bawah 50 persen. Artinya, kontribusi terbesar terhadap pendapatan keluarga masih didominasi oleh suami. Dilihat dari pengeluaran keluarga, diketahui pula bahwa persentase pengeluaran non pangan sudah lebih besar dibandingkan dengan persentase pengeluaran pangan keluarga sejalan dengan Teori Engel. Artinya, jika dilihat dari pendekatan garis kemiskinan maka keluarga dapat dikatakan sejahtera, baik dari segi objektif maupun subjektif. Keluarga perlu memiliki kemampuan mengatur keuangan yang baik dan bijak antara pendapatan, pengeluaran dan rencana tabungan masa depan (Garman dan Forgue 1988). Namun dalam banyak peristiwa, keluarga tidak dapat menyisihkan uangnya untuk dimasukkan ke dalam tabungan karena tidak
80 berhasil menekan jumlah pengeluaran. Hal ini menyebabkan pengeluaran keluarga untuk konsumsi atau Marginal Propensity to Consume (MPC) lebih besar dibandingkan pendapatan dan tabungan atau Marginal Prospensity to Saving (MPS). Artinya, pendapatan keluarga, baik hasil kontribusi istri maupun kontribusi suami saat istri menjadi TKW lebih banyak dialokasikan untuk pengeluaran konsumsi dibandingkan untuk ditabung. Dengan demikian, keluarga menjadi rentan karena tidak memiliki dana cadangan yang dapat diambil sewaktu-waktu dan untuk mengatasi hal tersebut seringkali keluarga melakukan peminjaman atau hutang. Hal ini dapat memicu terjadinya penurunan kesejahteraan subjektif keluarga karena kesejahteraan subjektif dipengaruhi oleh kesejahteraan objektif. Menurut Bertola dan Hochaguertel (2005), hutang rumahtangga terjadi karena adanya keinginan untuk memiliki barang mewah namun sumberdaya yang ada terbatas. Hal ini dapat diduga karena suami yang menganggap pendapatan istri sebagai TKW itu tinggi dan akan bersifat tetap serta nantinya hutang-hutang tersebut dapat dilunasi dari hasil pendapatan istri tersebut. Dengan adanya ekspektasi demikian dan juga pengaruh budaya setempat maka meskipun belum pendapatannya dikirimkan maka suami sudah berani melakukan hutang. Selain itu juga menyebabkan suami menggunakan sebagian besar pendapatannya sendiri untuk memenuhi kebutuhan pribadinya seperti membeli rokok, sedangkan untuk kebutuhan keluarga lebih banyak mengandalkan dari pendapatan istri. Berdasarkan kondisi tersebut maka dapat diketahui bahwa keuntungan menjadi TKW tidak sebanding dengan keuntungan sesungguhnya yang didapatkan. Ditinjau dari segi ekonomi keluarga maka dapat disimpulkan bahwa keuntungan yang didapat saat istri sebagai TKW (benefit-cost ratio) tidak sebanding dengan perubahan keadaan ekonomi keluarga. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan pendapatan dan penambahan aset keluarga diikuti dengan meningkatnya hutang keluarga. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Rashid et al. (2010) bahwa peningkatan pendapatan akan meningkatkan pula pengeluaran total keluarga. Artinya, seiring dengan meningkatnya pendapatan maka pengeluaran juga akan semakin besar karena keluarga memiliki kemampuan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Menurut Shinta (2008), pada keluarga dengan tingkat pendapatan yang relatif lebih tinggi ketika kebutuhan pangan sudah tercukupi maka setiap tambahan pendapatan akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan non-pangan. Bagi keluarga yang tidak
81 mampu mengimbangi perubahan tersebut dengan mengelola keuangannya secara baik maka dapat menyebabkan perilaku konsumtif. Terbukti dengan terjadinya perubahan keadaan hutang keluarga yang meningkat saat istri menjadi TKW seperti suami yang memiliki hutang berupa cicilan atau kredit motor dan hutang ke teman. Hal ini selain disebabkan dari manajemen keuangan keluarga yang kurang baik juga diduga karena faktor budaya setempat seperti adanya persepsi suami ataupun masyarakat secara luas bahwa keluarga dengan istri sebagai TKW akan memiliki pendapatan yang tetap. Lasswell dan Laswell (1987)
mengungkapkan
bahwa
kontribusi
ekonomi
perempuan
dalam
pendapatan keluarga akan meningkatkan keuangan keluarga, kepemilikan barang mewah, dan standar hidup yang lebih tinggi dengan pencapaian rasa aman yang lebih baik sehingga berdampak pada peningkatan status sosial keluarga. Dengan anggapan tersebut maka suami berani memiliki hutang, baik untuk memenuhi kebutuhan keluarga maupun karena pengaruh gaya hidup saat ini. Suami berasumsi bahwa pendapatan istri sebagai TKW mampu melunasi hutang-hutang tersebut. Selanjutnya jika ditinjau dari kesejahteraan subjektif dapat diketahui bahwa keuntungan yang didapat saat istri sebagai TKW (benefit-cost ratio) tidak sebanding dengan tingkat kepuasan suami terhadap keadaannya saat ini, meskipun secara ekonomi terjadi perubahan. Keluarga memiliki persepsi mengenai kesejahteraan yang beragam. Ada yang menganggap pencapaian kemapanan secara ekonomi sudah dapat dikatakan sejahtera, namun ada pula yang beranggapan kesejahteraan erat kaitannya dengan kebahagiaan dari sisi psikologis (Shinta 2008). Menurut Puspitawati et al. (2008), tingkat kepuasan rumahtangga dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan kelompok sosial dari mana individu dalam keuarga itu berasal. Dari hasil penelitian ini, kesejahteraan subjektif suami dapat dinilai dari perasaan dalam diri sendiri dan perasaan terhadap keadaannya. Secara naluriah manusia tidak akan pernah puas terhadap apa yang telah dimilikinya dan cenderung ingin memiliki yang lebih baik dari segi materi maupun psikologis. Keadaan tersebut diduga membuat suami merasa tidak puas terhadap apa yang telah dimilikinya dan selalu merasa kurang.
Berdasarkan
ketidakpuasan
suami
hasil
penelitian,
terhadap
kiriman
hal
tersebut
uang
istri,
dibuktikan
dengan
pendapatan
suami,
ketersediaan pangan, dan pekerjaan suami sendiri. Adapun salah satu dampak negatif istri bekerja sebagai TKW untuk menambah penghasilan keluarga (family
82 generating income) adalah hilangnya waktu untuk berkumpul bersama keluarga. Menurut Puspitawati (1998), penambahan jumlah anggota keluarga yang bekerja akan mempengaruhi generating income sehingga mengakibatkan kurangnya waktu untuk keluarga. Selain itu juga menyebabkan terjadinya perubahan struktur dan peran dalam keluarga seperti suami harus berperan ganda, baik sebagai pencari nafkah utama (main breadwinner) maupun sebagai pengasuh anak-anaknya (care giver). Hal ini mengakibatkan suami bekerja melebihi kapasitasnya
sehingga
menimbulkan
ketidakpuasan.
Puspitawati
(2006)
menyatakan bahwa secara spesifik, peran pengasuhan perempuan atau ibu (mother’s parenting roles) memiliki keistimewaan lebih besar dibandingkan dengan peran pengasuhan suami atau ayah (father’s parenting roles). Hal tersebut diperparah lagi dengan masih kuatnya budaya patriarki dalam masyarakat yang menganggap bahwa urusan domestik atau rumah tangga merupakan kewajiban seorang istri, bukan suami. Kondisi ini membuat suami tidak merasa puas terhadap keadaannya. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini tidak terlepas dari berbagai keterbatasan yang dapat dijadikan
perbaikan
untuk
penelitian-penelitian
selanjutnya.
Adapun
keterbatasan-keterbatasan tersebut yaitu: 1.
Teknik pengambilan contoh dilakukan secara purposive dengan metode yang digunakan non probability sampling, yaitu teknik snowball sampling karena jumlah contoh yang istrinya sebagai TKW tidak diketahui secara pasti. Dengan demikian kesimpulan yang diambil tidak dapat mewakili populasi TKW di Kabupaten Sukabumi.
2.
Tidak memperhatikan faktor inflasi sehingga pendapatan dan pengeluaran yang diukur merupakan nominalnya saja.
3.
Waktu wawancara yang lama, daya ingat responden yang terbatas (beberapa variabel bersifat retrospektif sehingga memungkinkan bias recall), dan keengganan responden untuk menjawab dengan benar serta pasti sehingga menghambat tercapainya mutu data yang diharapkan.
4.
Mengukur semua variabel yang dirasakan (perceived) responden atau suami saja.
5.
Tidak meneliti keterkaitan budaya setempat dengan karakteristik dan gaya hidup keluarga terutama untuk pengeluaran keluarga.
DAFTAR PUSTAKA Adriyani Y. 2000. Pengaruh Kontribusi Ekonomi Wanita Bekerja terhadap Pola Pengambilan Keputusan dan Tingkat Kesejahteraan dalam Rumahtangga Nelayan (Kasus Dusun Petoran, Desa Gebang Mekar, Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon). [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Angur MG, Robin W, Sudhir GA. 2004. Congruence among Objective and Subjective Quality-of-Life (QOL) Indicators. Journal Alliance of Business Research, 47-52. Diambil dari www.ajbr.org/Archieves/CongruenceamongObjective&Subjective\Qualityof-Life(QOL)Indicator.pdf. [diakses 17 April 2011]. Anonim. 2008. Gugat Cerai Banyak Dilakukan Para TKW. Diambil dari http://www.pikiran-rakyat.com/node/74750. [diakses 13 Oktober 2011]. Anonim. 2009. Perceraian Akibat Selingkuh Meningkat. Diambil http://kampungtki.com/baca/3034. [diakses 13 Oktober 2011].
dari
Anonim. 2010. Wow TKI Masukkan Devisa USD 503,1 miliar. Diambil dari http://www.republika.co.id/berita/breakingnews/ekonomi/10/11/23/148413wow-tki-masukkan-devisa-5031-miliar-dolar-as . [diakses 25 Febuari 2011]. Anonim. 2011. Minah Masih Diminati Warga. Diambil http://www.timurekspres.com.berita-2679-minah-masih-diminatiwarga.html. [diakses 26 Juli 2011].
dari
Anonim. 2011a. TKW Jadi Lesbong di Hong Kong. Diambil dari http://www.suaraislam.com/news/berita/silaturrahim/3141--mereka-jadi-lesbong-di-hongkong. [diakses 14 Oktober 2011]. Antara. (3 Desember 2010). Kiriman Uang TKI Sukabumi mencapai Rp 334 Miliar. Diambil dari http://www.antaranews.com/artikel/artikel.php?aid=45098. [diakses 14 Oktober 2011]. Aprilianti E. 2007. Analisis Tingkat Stress dan Strategi Koping pada Suami yang Istrinya Bekerja Sebagai TKW di Luar Negeri (Kasus di Desa Sukasari, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi). [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [Bapeda] Badan Pemerintah Daerah Jawa Barat. 2010. Indikator Makro Jawa Barat Semakin Membaik. Diambil dari http://pusdalisbang.jabarprov.go.id/index.php?option=com/content&view= category&layout=blog&id=47&Itemid=112. [diak ses 05 Febuari 2011]. Barber S, Adioetomo SM, Ahsan A, Setyonaluri D. 2008. Laporan Penelitian: Ekonomi Tembakau di Indonesia. Paris: International Union Against Tuberculosis and Lung Desease dan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Bergmann, BR. 1986. The Economic Emergence of Women. New York: Basic Books Publishers, Inc. Bertola G, Stefan Hochgyertel. (siap terbit). Household Debt and Credit. Finance and Consumption in EU Chair Research Programme. Diambil dari
86 http://www.ecri.eu/new/system/files/51+Household_Debt_and_Credit.pdf. [diunduh 19 Oktober 2011]. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1992. UU RI No. 10 Tahun 1992 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Jakarta: BKKBN. _______________________________________________. 1997. Gerakan Pembangunan Keluarga Sejahtera. BKKBN Provinsi Jawa Barat. _______________________________________________. Pembangunan Keluarga Sejahtera. Jakarta: BKKBN.
1998.
Opini
[BNP2TKI] Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI. 2008. Paparan Publik Capaian Kinerja Tahun 2009. Diambil dari http://www.bnp2tki.go.id/statistik-mainmenu-86/statistik-mainmenu205/1064-paparan-publik-capaian-kinerja-tahun-2008.html. [diakses 14 Oktober 2011]. __________________________________________________. 2011. Kabupaten Terbanyak TKI Jawa Barat (dalam Peluncuran 1 Pintu). Diambil dari http://bnp2tki.go.id/content/view/3965/231/. [diakses 18 Febuari 2011]. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2002. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: Biro Pusat Statistik. ______________________. 2003. Statistik Indonesia. Jakarta: Biro Pusat Statistik. ______________________. 2006. Statistik Indonesia. Jakarta: Biro Pusat Statistik. ______________________. 2008. Berita Resmi Statistik: Perubahan Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Jawa Barat. Jakarta: Biro Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Kabupaten Sukabumi dalam Angka. Jakarta: Biro Pusat Statistik. ______________________. 2009. Data Informasi Kemiskinan 2007-2008. Jakarta: Buku 2: Kabupaten BPS. ______________________. 2009a. Realisasi Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) 2009 ke Luar Negeri. Diambil dari http://jabar.bps.go.id/Tabel/tenaga%20kerja/ tenagakerja 4.html. [diakses 05 Febuari 2011]. ______________________. [2010. Statistik Indonesia. Jakarta: Biro Pusat Statistik. ______________________. Kabupaten Sukabumi. 2010. Jumlah Penduduk Miskin Sebesar 11.27% pada Maret 2010. Diambil dari http://sukabumikab.bps.go.id/ component/content/article/72-sosial/81jumlah-penduduk-miskin-jawa-barat-maret-2010.html. [diakses 25 Mei 2011]. _____________________. 2011. Keadaan Ketenagakerjaan Jawa Barat Febuari 2011. Diambil dari http://jabar.bps.go.id/. [diakses 05 Maret 2011]. ______________________. 2011. Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Sukabumi. Diambil dari http://sukabumikab.bps.go.id/. [diakses 24 April 2011].
87 Bryant WK. 1990. The Economic Organization of the Household. Cambridge Univ Pr. Cahyat A. 2004. Bagaimana Kemiskinan Diukur: Beberapa Model Penghitungan Kemiskinan di Indonesia. Center for International Forestry Research. Diambil dari http://www.google.co.id/GovBrief402.pdf. [diakses 3 Mei 2011]. Diener E, Eunkook S. 1997. Measuring Quality of Life: Economic, Social, and Subjective Indicator. Jurnal Social Indicator Research 40: 189-216. [Disnakertrans] Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2010. Penempatan dan Remitansi TKI. Diambil dari http://www.indonesia.go.id/id/index.php/unduh/index.php?option=com/con tent&task= view&id=12099&Itemid=1&news_id=18. [diakses 07 Febuari 2011]. Edi
R. (10 Desember 2010). Masalah Sosial TKW. Diambil dari http://sosbud.kompasiana.com/2010/12/10/masalah-sosial-tkw/. [diakses 13 Oktober 2011].
Engel JE, Blackwell RD, Miniard PW. 1994. Perilaku Konsumen. Jakarta: Binarupa Aksara. Garman T, Forgue E. 1988. Company.
Personal Finance. Boston: Houghton Mifflin
Garman T. 1993. Consumer Economic Issues in America. Houston TX: Dame Publication. Geerard IT. 2010. Tindakan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Arab Saudi dalam Menangani Permasalahan TKI di Arab. Jurnal Masyarakat Kebuayaan dan Politik 21(4): 361-370. Gross IH, Crandall EW. 1980. Management for Modern Families. New York: Appletor-Century-Crofts-Inc. Guhardja S, Hidayat S, Hartoyo, Herien P. 1993. Pengembangan Sumberdaya Keluarga: bahan pengajaran. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. Gulcubuk B. 2010. The Dimensions of Women Contribution to the Wokforce in Agriculture: The Turkey Case. The International Business and Economics Research Journal, 9: 5, 143-149. Haydron DM. 2008. “Philosophy and the Science of Subjective Well-Being” in The Science of Subjective Well-Being. New York: The Guilford Press. Hoffman LW, Nye FI. 1974. Working Mothers. San Francisco: Jossey-Bass. Hubeis A. 2010. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Bogor: IPB Press. Hurlock. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga. Irzalinda V. 2010. Kontribusi Ekonomi, Peran Istri dan Kesejahteraan Keluarga di Kota dan Kabupaten Bogor (Studi Kasus pada Istri di Kelurahan Situ Gede-Kecamatan Bogor dan Desa Hambaro-Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor). [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor.
88 Iskandar A. 2007. Analisis Praktek Manajemen Sumberdaya Keluarga dan Dampaknya terhadap Kesejahteraan Keluarga di Kabupaten dan Kota Bogor. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. [KP2PA]. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 2010. Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, Perdagangan Manusia (Human Trafficking), dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Penjelasan Menteri Perempuan dan Perlindungan Anak yang disampaikan pada: Rapat Kerja Komite III DPD RI (18 Mei 2010). Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. [Kemenakertrans]. Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2010. Profil Tenaa Kerja Indonesia. Jakarta: Kemenakertrans. [Kemenakertrans]. Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2011. Kampanye Wirausaha dan KUR TKI, Menakertrans Keliling 38 Kantong TKI. Diambil dari http://menteri.depnakertrans.go.id/?show=news&news_id=581. [diakses 18 Febuari 2011]. Krueger AB. 2009. Measuring the Subjective Well-Being of Nations: Natural Accounts of Time Use and Subkective Well-Being. Chicago: University of Chicago Press. Lassa JA. 2009. Kerangka Analisis Perencanaan Gender (Gender Planning Frameworks). Diambil dari http://www.rudifebriamansyah.webege.com/web_documents/kerangka_an alisis_perencanaan_gender-jonatan_hivos.pdf. [diakses 08 November 2011]. Lasswell M, Thomas Lasswell. 1987. Marriage and the Family. USA: Wadsworth, Inc. Neraca. 2011. TKI dan Perubahan Budaya. Diambil dari http://www.neraca.co.id/2011/09/08/tki-dan-perubahan-budaya/. [diakses 14 Oktober 2011]. Nurulfirdausi K. 2010. Analisis Pengaruh Kontribusi Ekonomi Perempuan dan Manajemen Keuangan Keluarga terhadap Kesejahteraan Keluarga pada Keluarga Tenaga Kerja Wanita TKW) (Kasus di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat). [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Norwanto. (2007, April 1) Pergeseran Relasi Gender Keluarga TKW. Kompas. Diambil dari http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/02/swara/3358898.htm. [diakses 27 Febuari 2011]. Mangkuprawira S. 1985. Alokasi Waktu dan Kontribusi Kerja Anggota Keluarga dalam Kegiatan Ekonomi Rumahtangga: Studi Kasus di Dua Tipe Desa di Kabupaten Sukabumi di Jawa Barat. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Moser, Caroline O.N. 1993. Gender Planning and Development: Theory, Practice, and Training. London: Routledge. Oyabu C, Eguchi. 1999. Analysis of Family Income and Expenditure in SingleIncome and Dual-Income Household. Journal of ARAHE (6): 93-100.
89 Parsons T, Bales RE. 1956. Family, Socialization and Interaction Process. London: Routledge & Kegan Paul. Pikiran Rakyat. 2011. 80 persen TKI Sukabumi Tidak Terdata. Diambil dari http://www.sukabumitoday.com/2011/02/80-persen-tki-sukabumi-tidakterdata.html. [diakses 14 Oktober 2011]. Pranadji DK, Fauzi F, Alfiasari SP, Handian P, Irni RJ, Neti H. 2009. Laporan Penelitian Strategis Aplikasi Penguatan Keberfungsian Keluarga dan Pertanian Melalui Penerapan Manajemen Sumberdaya dan Teknologi Pemanfaatan Kayu Guna Peningkatan Kesejahteraan. Bogor: Lembaga Peneliti dan Pengabdian kepada Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. Puspitawati H. 1998. Poverty Level and Conflicts Over Money within Families. [tesis]. Iowa: Iowa Srare University. ___________. 2006. Pengaruh Faktor Keluarga, Lingkungan Teman dan Sekolah Terhadap Kenakalan Pelajar di Sekolah Tingkat Lanjutan Atas di kota Bogor. [disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. ___________, Trikoesoemaningtyas, Tin H. 2008. Laporan Penelitian Analisis Nilai Ekonomi Pekerjaan Ibu Rumahtangga dan Peran Gender serta Pengauhnya Terhadap Kesejahteraan Keluarga Petani (Studi Kasus di Desa Hambaro, Kec. Nanggung, Kab. Bogor). Bogor: Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. ___________. 2009. Model Sinergisme Sistem Sekolah dan Lingkungan Keluarga dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan Anak Berwawasan Gender Menuju Target Millenium Development Goals. Makalah Ilmiah yang disampaikan pada: Presentase Dosen Berprestasi Tingkat Fakultas Ekologi Manusia (9 April 2010). Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Puspitawati H. 2009a. Pengaruh Strategi Penyeimbangan antara Aktivitas Pekerjaan dan Keluarga terhadap Kesejahteraan Keluarga Subjektif pada Perempuan Bekerja di Bogor: Analisis Structural Equation Modelling. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen 2 (2): 111-121. Rafella RN. 2003. Pengaruh Tekanan Ekonomi Keluarga Terhadap Konflik Perkawinan. [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Rambe A. 2004. Alokasi Pengeluaran Rumahtangga dan Tingkat Kesejahteraan (Kasus di Kecamatan Medan Kota, Sumatera Utara). [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. _______, Hartoyo, Karsin ES. 2008. Analisis Alokasi Pengeluaran dan Tingkat Kesejahteraan Keluarga (Studi di Kecamatan Medan Kota, Sumatera Utara). Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen 1 (1): 16-28. Rashid N, Aslina N, Nik H. 2010. Household Income and Expenditure Relationships: a Simultaneous Equation Approach. Diambil dari http://www.internationalconfrence.com.my/proceeding/1cber2010_procee ding/PAPER_253_HouseholdIncome.pdf. [diakses 24 September 2011]. Rice AS, Tucker SM . 1986. Family Life Management 6nd ed. New York: McMillan Publishing Company. Sajogyo P. 1983. Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa. Tangerang: C.V. Rajawali.
90 Samon EK. 2005. Manajemen Keuangan, Alokasi Pengeluaran, dan Coping Mechanism Keluarga Nelayan dan Petani Tambak (Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, DKI Jakarta). [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Setioningsih SS. 2010. Analisis Fungsi Pengasuhan dan Interaksi dalam Keluarga Terhadap Kualitas Perkawinan dan Kondisi Anak pada Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW) (Kasus Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi). [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Intitut Pertanian Bogor. Shinta Y. 2008. Analisis Alokasi Pegeluaran dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir Kabupaten Indramayu. [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Sulaeman DP. 2008. Analisis Alokasi Pengeluaran Keluarga Peserta dan Bukan Peserta Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (Kasus di Desa Gardusayang, Kabupaten Subang). [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Sumarwan U. 1993. “Keluarga Masa Depan dan Perubahan Pola Konsumsi”. Warta Demografi, Tahun ke-23 No.5. Jakarta: LD FEUI. ___________, T Hira. 1993a. The Effect of Perceived Locus of Control and Perceived Incomes Adequacy on Satisfaction with Financial Status of Rural Household. Journal of Family Economic Issues 14 (4): 43-64. Sunarti E. 2008. Indikator Keluarga Sejahtera [naskah akademik]. Bogor. Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Fakultas Ekologi Manusia. IPB. ________, Hernawati N, Nuryani N. 2009. Hubungan Antara Fungsi Adaptasi, Pencapaian Tujuan, Integrasi, dan Pemeliharaan Sistem Dengan Kesejahteraan Keluarga. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen 2 (1): 1-10. ________. 2009a. Indikator Kerentanan Keluarga Petani dan Nelayan Untuk Pengurangan Resiko Bencana di Sekotor Pertanian. Jakarta: Laporan Penelitian Dikti Perpustakaan Universitas Indonesia. Suryawati. 2002. Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan Anak pada Keluarga Ibu Bekerja dan Ibu Tidak Bekerja. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Sobary M. 1992. Wanodya. Diambil dari http://luk.staff.ugm.ac.id. [diakses 27 Febuari 2011]. Tanziha I. 2010. 40 persen Anak TKW Memiliki Perkembangan Rendah. Diambil dari http://humas-protokoler.ipb.ac.id/index.php/pesona-lingkar-kampus/224ikeu-tanziha-40-persen-anak-tkw-miliki-perkembangan-rendah-. [Diakses 14 Oktober 2011]. Tarigan R. 2008. Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Sejak Era Reformasi (1998). Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Operation Research pada Fakultas Ekonomi diucapkan di hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara (3 Febuari 2007). Universitas Sumatera Utara.
91 Undang-Undang No. 39 Tahun 2004. 2005. Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Yogyakarta: Pustaka Sakti. Undang-Undang Nomor 52 Tahun http://www.bpkp.go.id/ unit/hukum/ Febuari 2011].
2009. 2009. Diambil dari uu/2009/52-09.pdf. [diakses 27
University of Taronto-Canada. 2008. Notes on ”Quality of Life”. Diambil dari http://www.gdrc.org. [diakses 3 Mei 2011]. Viva News. 2010. Seberapa Besar Sumbangan Devisa TKI. Diambil dari http://bisnis.vivanews.com/news/read/227831-berapa-besar-sumbangandevisa-tki-. [diakses 15 Oktober 2011]. Wakhidah H. 2010. Lingkaran Setan Kemiskinan dan Pengangguran. Diambil dari http://ww8941hyda.wordpress.com/2010/01/14/lingkaran-setankemiskinan-dan-pengangguran/. [diakses 24 September 2011]. Zehra A. 2008. The Economic Contribution of Pakistani Women through their Unpaid Labour. Pakistan: Society for Alternative Media and Research and Health Bridge.
LAMPIRAN
97
Lampiran 1 Peta Lokasi Kabupaten Sukabumi
95
96 Lampiran 2 Indepth Interview KASUS 1 “Suami di-PHK, Istri pun Menjadi TKW” “Dulu hidup kami serba berkecukupan Neng”, kenang Bapak A (43 tahun) di sore hari. Bapak A terpaksa terkena PHK dari salah satu perusahaan ternama di Jakarta karena perusahaan merugi akibat krisis moneter. Kini Bapak A sehari-harinya bekerja sebagai wiraswasta jual-beli barang bekas. Meski diakui pendapatan yang diterima jauh dari pendapatannya ketika masih sebagai karyawan, namun cukup untuk membuat dapurnya berasap walaupun pas-pasan. Tak ingin keadaan berlangsung seperti itu terus sang istri, AA (30 tahun) meminta izin kepada suami untuk menjadi TKW agar dapat memiliki rumah sendiri dan menyekolahkan anak-anaknya hingga tingkat pendidikan yang tinggi. Istri pun berangkat menjadi TKW pertama kali pada tahun 2005 dengan negara tujuan Arab Saudi. Namun pada keberangkatan pertama (2005-2007) istri gagal mendapatkan penghasilan yang cukup untuk keluarga karena ia pun tidak pernah digaji oleh majikannya, sehingga ia tidak berani pulang ke tanah air maka ia meminta izin lagi untuk memperpanjang kontrak kerjanya lagi di Arab untuk 2 tahun ke depan (2007-2009). Suami yang pada saat itu juga sedang kesusahan di tanah air akhirnya untuk menutupi kebutuhan keluarga terpaksa ia berhutang ke warung dan tetanggatetangganya serta menjual radio. Tahun 2008 istri mengirimkan uang melalui rekening tabungan BNI suami secara rutin 3 bulan sekali dengan total keseluruhan sebesar Rp 56.000.000,00 yang digunakan untuk membangun rumah, biaya sekolah anak, dan menambah biaya hidup sehari-hari. Tahun 2009 istri memutuskan untuk pulang ke Indonesia dengan membawa sisa pendapatannya secara tunai sebesar Rp 55.000.000,00. Kemudian istri beragkat lagi untuk yang ketiga kalinya (2009-2011) namun tidak sebaik seperti keberangkatannya yang sebelumnya sehingga istri tidak dapat mengirimkan uangnya serutin dulu. Alhasil istri terakhir kali mengirimkan pendapatannya pada bulan Febuari 2011. Suami pun terpaksa berhutang sebesar Rp 2.000.000,00 kepada tetangganya untuk biaya ujian akhir dan perayaan samenan (pesta rakyat arak-arakan kenaiakan kelas siswa di Desa). Hingga saat ini selama istri menjadi TKW selama 6 tahun menghasilkan total pendapatan sebanyak Rp 111 000 000,00 yang disumbangkan kepada pendapatan total keluarga.
97 KASUS 2 “Ketika Mertua Memegang Alih Keuangan dan Suami Menjadi Lebih Mandiri” Istri Pak B, AB (30 tahun) berangkat menjadi TKW untuk kali pertama pada tahun 2010 silam. Sudah 1,4 tahun ia bekerja di Arab Saudi sebagai pembantu rumahtangga. Bapak B sejak dulu bekerja sebagai supir angkot. Adapun yang menjadi alasan istri menjadi TKW yaitu untuk dapat menambah pendapatan keluarga. Selama istri di Arab, ia sudah mengirimkan pendapatannya empat kali melalui rekening tabungan orangtuanya dengan total keseluruhan sebesar Rp 16.000.000,00. Namun uang yang diterima mertua Bapak B tidak pernah diberikan sedikit pun kepada suami dengan alasan agar lebih aman maka disimpan saja di mertua. Akibatnya karena penghasilan sehari-hari suami tidak cukup menentu dan ia harus melunasi rumahnya yang terlanjur digadaikan sebagai modal keberangkatan istri selama masa pelatihan di agen sebesar Rp 9.000.000,00 ke temannya, maka suami pun bekerja keras bahkan tak jarang ia terpaksa sering tidak pulang ke rumah untuk mencari pekerjaan yang bisa ia kerjakan. Setelah hampir 2 bulan suami berupaya dengan keras tetapi rumahnya dapat ia tebus, akhirnya ia dan ketiga anaknya pindah ke rumah kontrakan sangat kecil. Ia pun terpaksa menjual sofa untuk tambahan uang bagi keluarganya. Dari hasil keringatnya sendiri ia mampu membeli HP sendiri untuk dapat berkomunikasi dengan istri lebih mudah lagi. Setelah sempat berhutang ke salah satu bank sebesar Rp 1.000.000,00 dengan sisa yang harus dilunasi lagi Rp 340.000,00. Akhirnya suami dan anak-anak belajar untuk dapat lebih mengatur keuangannya lebih baik lagi agar dapat tercukupi semua kebutuhan keluarga. Meskipun hingga saat ini masih memiliki jumlah hutang yang tidak sedikit yaitu Rp 9.340.000,00.
KASUS 3 “Usaha Suami Sukses dan Akhirnya Dapat Membangun Rumah Setelah Istri Menjadi TKW” Bapak C (26 tahun) sehari-harinya bekerja sebagai tukang bengkel motor usaha kecil-kecilan di samping rumah orangtuanya, sejak sebelum istri menjadi TKW. AC, istrinya (27 tahun) menjadi TKW sejak tahun 2009 untuk kali pertama di Singapura sebagai baby sitter. Tujuan utama istri berangkat menjadi TKW yaitu agar anaknya dapat sekolah hingga ke tingkat pendidikan yang tinggi minimal seperti dirinya, yaitu SMA. Usaha bengkel suami terus mengalami kemajuan sehingga ia dapat menyisihkan sebagian pendapatannya untuk ditabung. Sementara itu, istri mengirimkan pendapatan sebagai TKW sudah dua kali sebanyak Rp 4.000.000,00 melalui Western Union. Suatu ketika pernah istri ingin mengirim pendapatannya lagi, namun suami melarangnya karena suami masih merasa mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari dan agar uang hasil kerja istrinya dibawa tunai saja saat istri kembali ke tanah air. Selain itu, suami beranggapan agar ia tidak malas karena menggantungkan dirinya pada kiriman istri saja. Suatu ketika sami pernah sempat mengalami masa kesulitan ketika usahanya sedang surut dan suami harus membeli mesin baru, sedangkan istri belum mengirimkan hasil pendapatan kerjanya. Ia terpaksa berhutang ke seorang teman sebesar Rp 2.000.000,00 dan tukang kredit keliling sebesar Rp 1.500.000,00 yang saat ini sisa cicilannya tinggal Rp 430.000,00 lagi, sedangkan hutang ke temannya langsung dilunasinya.
98 KASUS 4 “Istri Tak Ada Kabar Lagi dan Mertua Memegang Seluruh Kiriman Pendapatan Istri” Kiriman pendapatan istri Bapak D (28 tahun) seluruhnya disimpan oleh orangtua sang istri tanpa pernah diberikan kepada suami sedikit pun dan hingga saat ini Bapak D tidak pernah mengetahui jumlah pasti setiap kiriman istri tersebut. Ia hanya dapat mengira-ngira dan mendengar dari tetangga-tetangganya sebesar Rp 7.000.000,00 dan sudah 3 kali pengiriman. Bapak D bekerja sebagai buruh yang pendapatannya tidak menetap. Itulah yang menjadi alasan utama istri menjadi TKW yaitu karena ia tidak dapat hidup bergantung pada pendapatan suami saja yang tidak menentu seperti itu. Hingga saat ini sudah 2 tahun (2009-2011) lamanya istri menjadi TKW di Malaysia untuk kali pertama sebagai TKW meninggalkan suami dan seorang anak yang persis tahun ini usianya menginjak 2 tahun. Mertua suami pernah mengabarkan kepada suami bahwa hutang keluarga sebesar Rp 15.000.000,00 yang dulu dipinjam ke tetangga sebagai modal istri menjadi TKW sudah lunas dari penghasilan istrinya selama ini. Hasil jerih payah suami membuahkan hasil untuk dapat membeli HP agar dapat berkomunikasi dengan istrinya melalui salah seorang teman istrinya disana, karena istri tidak memiliki HP. Biasanya istri memberi kabar kepada suami melalui pesan singkat (SMS) atau terkadang telepon meski tidak lama. Namun, sudah sekitar 3 bulan ini suami tidak pernah lagi mendengar kabar istrinya dan menjadi sangat sulit menghubungi temannya sesama TKW disana. Suami menjadi sangat khawatir dan takut kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkannya di negara jiran tersebut.
KASUS 5 “Istri Menjadi TKW Karena Ingin Membangun Rumah Impian” Bapak E (42 tahun) bekerja sebagai wiraswasta dan terkadang sebagai petani. Istri Bapak E sudah emapt kali menjadi TKW di Arab Saudi. Tujuan istri bekerja karena ingin memiliki rumah sendiri dan membantu penghasilan suami. Pertama kali berangkat pada tahun 2003 dengan masa kontrak kerja dua tahun hingga tahun 2005. Istri mengirimkan pendapatannya sebesar Rp 40.000.000,00 melalui rekening bank agen yang memberangkatkannya. Sebelum agen mengirimkan melalui wesel kepada suami, agen mengenakan pemotongan biaya administrasi sebesar Rp 8.000.000,00 sehingga suami menerima sebesar Rp 32.000.000,00. Suami menggunakannya untuk membangun rumah meskipun harus meminjam kepada tetangganya sebesar Rp 10.000.000,00 karena biayanya kurang. Istri kemudian memperpanjang kontrak kerjanya hingga tahun 2007. Pada masa kerjanya yang kedua ini istri mengirimkan hasil pendapatannya sebesar Rp 40.000.000,00 sama seperti masa kerja pertamanya melalui rekening agen dan dikenakan biaya administrasi Rp 10.000.000,00 sehingga suami hanya menerima pendapatan bersih istri sebesar Rp 30.000.000,00. Lebaran tahun 2005 istri sempat kembali ke Indonesia dan cuti sebentar dari pekerjaannya selama 3 tahun. Merasa puas dengan hasil kerjanya tersebut dalam bentuk rumah, ia justru semakin termotivasi untuk dapat bekerja lagi sebagai TKW agar dapat memenuhi kebutuhannya yang lain. Pada keberangkatannya yang ketiga (2005-2007) penghasilan istri menurun, ia hanya mampu mengirimkan sebanyak tiga kali dengan total sebesar Rp 12.000.000,00. Setelah potongan biaya administrasi oleh agen, suami pun menerima uang istri sebesar Rp 6.000.000,00. Pada masa kerjanya yang ke empat kali (20092011) penghasilan istri semakin menurun, dua tahun belakangan istri hanya mengirimkan pendapatannya sekali dan itu pun sebesar Rp 12.000.000,00 dengan potongan biaya administrasi agen yang terus naik hingga suami hanya menerima sebesar Rp 4.000.000,00. Setelah nanti istri kembali ke tanah air, suami berharap istri tidak menjadi TKW lagi.
99
Lampiran 3 Sumber Pendapatan Keluarga Pra TKW dan saat TKW (Rp) Nores Istri
Lain
0 0 600000 0 0 0 500000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5600000 0 0 0
0 0 0 0 450000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 133000 0 0 0 0 0 0 0 1540000 0 0 0 0
Total 910000 525000 1440000 1200000 825000 700000 1150000 700000 700000 560000 700000 2940000 1400000 770000 700000 1960000 693000 840000 840000 1540000 840000 1120000 700000 1960000 2240000 7200000 800000 140000 2240000
Suami 1960000 700000 1120000 910000 0 700000 900000 1400000 1120000 630000 700000 1820000 2520000 770000 725000 1400000 1260000 3220000 1120000 1260000 1320000 1120000 980000 2520000 700000 1680000 2000000 7000000 1820000
Saat TKW Istri Lain 1666667 0 1500000 0 0 0 2333333 0 1666667 1800000 666667 0 2333333 0 500000 0 1166667 0 400000 400000 0 0 1750000 0 0 0 1750000 0 0 0 1333333 0 0 1120000 1200000 0 1400000 0 500000 0 2000000 0 500000 420000 183333 0 750000 0 0 700000 800000 0 1000000 0 500000 0 1500000 0
Total 3626667 2200000 1120000 3243333 3466667 1366667 3233333 1900000 2286667 1430000 700000 3570000 2520000 2520000 725000 2733333 2380000 4420000 2520000 1760000 3320000 2040000 1163333 3270000 1400000 2480000 3000000 7500000 3320000
99
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Pra TKW Suami 910000 525000 840000 1200000 375000 700000 650000 700000 700000 560000 700000 2940000 1400000 770000 700000 1960000 560000 840000 840000 1540000 840000 1120000 700000 1960000 700000 1600000 800000 140000 2240000
100
100
Lampiran 3 (Lanjutan) Nores 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58
Pra TKW Suami 560000 1180000 1400000 1680000 2180000 840000 1050000 4200000 1120000 890000 1260000 910000 560000 1400000 3500000 1200000 1200000 1400000 2100000 5600000 560000 1400000 770000 1120000 770000 4200000 2000000 0 840000
Istri 0 300000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Lain 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 420000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Total 560000 1480000 1400000 1680000 2180000 840000 1050000 4200000 1120000 890000 1260000 1330000 560000 1400000 3500000 1200000 1200000 1400000 2100000 5600000 560000 1400000 770000 1120000 770000 4200000 2000000 0 840000
Suami 700000 1180000 1555000 1820000 7000000 840000 1200000 3360000 840000 610000 1400000 1400000 560000 2100000 1400000 1855000 0 1680000 2100000 2800000 3920000 1400000 560000 0 980000 4200000 2520000 840000 840000
Saat TKW Istri Lain 333333 0 1700000 800000 312500 0 0 37500 117643 0 1166667 0 0 0 1333333 0 1750000 0 500000 0 2000000 0 1166667 560000 1666667 0 2200000 0 0 0 2050000 550000 0 440000 1766667 0 1333333 0 1666667 0 1750000 0 1125000 900000 0 0 1500000 300000 833333 0 1850000 0 0 0 145833 0 0 500000
Total 1033333 3680000 1867500 1857500 7117643 2006667 1200000 4693333 2590000 1110000 3400000 3126667 2226667 4300000 1400000 4455000 440000 3446667 3433333 4466667 5670000 3425000 560000 1800000 1813333 6050000 2520000 985833 1340000
101
Lampiran 3 (Lanjutan) Nores 59 60 Total Rata-rata
Pra TKW Suami 840000 2240000 78.480.000,00 1.308.000,00
Istri
Lain
0 0 7.000.000,00 116.666,67
0 0 2.543.000,00 42.383,00
Total 840000 2240000 88.023.000,00 1.467.050,00
Suami 3080000 2800000
98.915.000,00 1.648.583,33
Saat TKW Istri Lain 500000 4200000 166667 0 56.334.310,00 12.727.500,00 938.905,17 212.125,00
Total 7780000 2966667 167.976.810,00 2.799.613,50
101
102 Lampiran 4 Rata-rata pengeluaran pangan dan non pangan keluarga per bulan Pengeluaran (bulan) Pangan Makanan pokok Beras Rata-rata Minimum Maksimum Std. Deviasi Lauk pauk Telur ayam, susu, daging, dan sayur-mayur Rata-rata Minimum Maksimum Std. Deviasi Buah-buahan Rata-rata Minimum Maksimum Std. Deviasi Jajanan lainnya Mie instan, kopi, dan kerupuk Rata-rata Minimum Maksimum Std. Deviasi Non pangan Pendidikan Bayaran uang sekolah dan uang jajan Rata-rata Minimum Maksimum Std. Deviasi Perumahan dan bahan bakar Listrik Rata-rata Minimum Maksimum Std. Deviasi Air Rata-rata Minimum Maksimum Std. Deviasi Telepon (pulsa HP) Rata-rata Minimum Maksimum Std. Deviasi Bahan bakar (LPG, minyak tanah, kayu bakar, dll) Rata-rata Minimum Maksimum Std. Deviasi
Rp
%
153.177,78 0 666667 119355.678
11,4
364.266,67 0 1400000 292699.989
27,2
103.275,00 0 420000 69412.004
2,5
103.275,00 0 896000 141289.899
7,7
281.049,98 0 1050000 279143.109
20,9
56.200,00 0 135000 29911.621
4,2
0,00 0 0 0.000
0,0
73.288,14 0 800000 162166.480
5,5
34.300,00 0 336000 46254.748
2,6
103 Lampiran 4 (Lanjutan) Pengeluaran (bulan) Lainnnya (warnet/wartel) Rata-rata Minimum Maksimum Std. Deviasi Transportasi Bensin Rata-rata Minimum Maksimum Std. Deviasi Transportasi lainnya (angkot/ojek) Rata-rata Minimum Maksimum Std. Deviasi Pakaian Rata-rata Minimum Maksimum Std. Deviasi Kesehatan Perlengkapan mandi dan cuci Rata-rata Minimum Maksimum Std. Deviasi Obat-obatan Rata-rata Minimum Maksimum Std. Deviasi
Rp
%
11.183,33 0 420000 5482.015
0,8
37.266,67 0 420000 159958.399
2,8
56.611,12 0 800000 159958.399
4,2
49.061,15 0 250000 54397.063
3,7
51.740,83 0 650000 60889.323
3,9
36.528,81 0 650000 109640.846
2,6
104 Lampiran 5 Pengeluaran khusus suami Pengeluaran Jajan Rata-rata Minimum Maksimum Std. Deviasi Rokok Rata-rata Minimum Maksimum Std. Deviasi Pakaian Rata-rata Minimum Maksimum Std.Deviasi Transportasi Rata-rata Minimum Maksimum Std. Deviasi Pulsa Rata-rata Minimum Maksimum Std. Deviasi Hutang Rata-rata Minimum Maksimum Std. Deviasi Untuk orangtua Rata-rata Minimum Maksimum Std. Deviasi
Rupiah/bulan
%
69.200,00 0 840000.00 140077.557
12,9
184.706,67 0 672000.00 168931.499
34,4
21.835,17 0 125000.00 26797.584
4,1
43.144,45 0 700000.00 110282.368
8,0
38.066,67 0 300000.00 69389.351
7,1
101.833,33 0 3200000.00 424234.711
19,0
77.708,93 0 600000.00 137677.178
14,5
105 Lampiran 6 Gambar alur pendapatan dan pengeluaran keluarga TKW Renovasi rumah (16,7%), n=10
954.818,81±755166.091
Rataan±SD 0.30±0.462
Pendidikan anak (33,3%), n=20
0.30±0.462
Modal usaha (11,7%), n=7
0.30±0.462
Bayar hutang (38,3%), n=23
0.38±0.490
Ditabung (10,0%), n=6
0.10±0.303
Kebutuhan anak1 (41,7%), n=25
0.42±0.497
Kebutuhan pokok2 (38,3%), n=23
0.38±0.490
Mertua/saudara (6,7%), n=4
0.07±0.252
Pengobatan (5,0%), n=3
0.05±0.220
Bangun rumah (5,0%), n=3
0.05±0.220
Zakat (3,3%), n=2
0.03±0.181
Beli motor (3,3%), n=2
0.03±0.181
Tebus sawah/rumah (3,3%), n=2
0.03±0.181
(0-2333333) Pendapatan istri n=60
Tidak dikirimkan istri (20,0%), n=12
0.20±0.430
Sewa sawah (1,7%), n=1 Agen (1,7%), n=1
0.02±0.129
0.02±0.129
Gambar Diagram alur pendapatan dan pengeluaran keluarga TKW (n=60) Keterangan: 1) Termasuk jajan anak, pakaian anak, dan pulsa Hand Phone 2) Termasuk sandang dan pangan keluarga
106 Pada Gambar di Lampiran 6, total persentase yang didapatkan tidak berjumlah 100 persen dikarenakan persentase tersebut diperoleh berdasarkan jumlah responden yang menjawab di lapang pada saat wawancara mengenai pemanfaatan hasil pendapatan istri. Lampiran 7 Variabel, Skala, Kategori Skor, dan Keterangan Skala
Kategori skor
Keterangan
Renovasi rumah
Variabel
Nominal
1
Pendidikan anak
Nominal
2
Modal usaha
Nominal
3
Bayar hutang
Nominal
4
Ditabung
Nominal
5
Nominal
6
Sebanyak 10 orang menjawab untuk modal usaha. Kemudian dibagi totall 60 responden dan dikalikan 100 persen sehingga nilai totalnya 16,7 persen. Artinya, sebesar 16,7 persen atau 10 orang yang menggunakan pendapatan istri merenovasi rumah. Sebanyak 20 orang menjawab untuk pendidikan anak. Kemudian dibagi total 60 responden dan dikalikan 100 persen sehingga nilai totalnya 33,3 persen. Artinya, sebesar 33,3 persen atau 20 orang yang menggunakan pendapatan istri untuk pendidikan anak. Sebanyak tujuh orang menjawab untuk modal usaha. Kemudian dibagi total 60 responden dan dikalikan 100 persen sehingga nilai totalnya 11,7persen. Artinya, sebesar 11,7 persen atau tujuh orang yang menggunakan pendapatan istri untuk modal usaha. Sebanyak 23 orang menjawab untuk bayar hutang. Kemudian dibagi total 60 responden dan dikalikan 100 persen sehingga nilai totalnya 38,3 persen. Artinya, sebesar 38,3 persen atau 23 orang yang menggunakan pendapatan istri untuk bayar hutang. Sebanyak enam orang menjawab untuk ditabung. Kemudian dibagi total 60 responden dan dikalikan 100 persen sehingga nilai totalnya 10,0 persen. Artinya, sebesar 10,0 persen atau enam orang yang menggunakan pendapatan istri untuk ditabung. Sebanyak 25 orang menjawab untuk kebutuhan. Kemudian dibagi total 60 responden dan dikalikan 100 persen sehingga nilai totalnya 41,7 persen. Artinya, sebesar 41,7 persen atau 25 orang yang menggunakan pendapatan istri untuk kebutuhan anak.
Kebutuhan (jajan, dll)
anak
107
Lampiran 7 (Lanjutan) Variabel Kebutuhan pokok
Skala Nominal
Kategori skor 7
Orangtua/saudara
Nominal
8
Pengobatan
Nominal
9
Bangun rumah
Nominal
10
Zakat
Nominal
11
Beli motor
Nominal
12
Keterangan Sebanyak 23 orang menjawab untuk kebutuhan pokok. Kemudian dibagi total 60 responden dan dikalikan 100 persen sehingga nilai totalnya 38,3 persen. Artinya, sebesar 8,3 persen atau 23 orang yang menggunakan pendapatan istri untuk kebutuhan pokok. Sebanyak empat orang menjawab untuk orangtua/saudara. Kemudian dibagi total 60 responden dan dikalikan 100 persen sehingga nilai totalnya 6,7 persen. Artinya, sebesar 6,7 persen atau empat orang yang menggunakan pendapatan istri untuk orangtua/saudara. Sebanyak tiga orang menjawab untuk pengobatan anggota keluarganya yang sakit. Kemudian dibagi total 60 responden dan dikalikan 100 persen sehingga nilai totalnya 5,0 persen. Artinya, sebesar 5,0 persen atau tiga orang yang menggunakan pendapatan istri untuk pengobatan. Sebanyak tiga orang menjawab untuk membangun rumah. Kemudian dibagi total 60 responden dan dikalikan 100 persen sehingga nilai totalnya 5,0 persen. Artinya, sebesar 5,0 persen atau tiga orang yang menggunakan pendapatan istri untuk membangun rumah. Sebanyak dua orang menjawab untuk zakat. Kemudian dibagi total 60 responden dan dikalikan 100 persen sehingga nilai totalnya 3,3 persen. Artinya, sebesar 3,3 persen atau dua orang yang menggunakan pendapatan istri untuk zakat. Sebanyak dua orang menjawab untuk membeli motor. Kemudian dibagi total 60 responden dan dikalikan 100 persen sehingga nilai totalnya 3,3 persen. Artinya, sebesar 3,3 persen atau dua orang yang menggunakan pendapatan istri untuk membeli motor.
108 Lampiran 7 (Lanjutan) Variabel Tebus sawah
Skala Nominal
Kategori skor 13
Sewa sawah
Nominal
14
Agen
Nominal
15
Keterangan Sebanyak dua orang menjawab untuk menebus sawah/rumah yang digadaikan untuk biaya istri berangkat menjadi TKW. Kemudian dibagi total 60 responden dan dikalikan 100 persen sehingga nilai totalnya 3,3 persen. Artinya, sebesar 3,3 persen atau dua orang yang menggunakan pendapatan istri untuk menebus sawah/rumah. Sebanyak satu orang menjawab untuk menyewa sawah. Kemudian dibagi total 60 responden dan dikalikan 100 persen sehingga nilai totalnya 1,7 persen. Artinya, sebesar 1,7 persen atau satu orang yang menggunakan pendapatan istri untuk menginvestasikan dalam bentuk menyewa sawah. Sebanyak satu orang menjawab untuk agen. Kemudian dibagi total 60 responden dan dikalikan 100 persen sehingga nilai totalnya 1,7 persen. Artinya, sebesar 1,7 persen atau satu orang yang menggunakan pendapatan istri untuk melunasi hutang kepada agen yang memberangkatkan TKW.
109 Lampiran 8 Foto Kegiatan
Gambar 1 dan 2 Beberapa contoh rumah saat istri menjadi TKW berdinding tembok, beratapkan genting, dan berlantai keramik
Gambar 3 dan 4 Beberapa contoh rumah yang masih direnovasi saat istri menjadi TKW berdinding dan berlantaikan semen
Gambar 5 dan 6 Beberapa contoh kepemilikan aset keluarga saat TKW
110 Lampiran 8 (Lanjutan)
Gambar 7 Contoh aset dalam bentuk sewa sawah saat TKW
Gambar 8 Contoh usaha bengkel suami saat istri menjadi TKW
Gambar 9 dan 10 Beberapa responden dalam penelitian
Lampiran 9 Hasil Uji Korelasi Pearson 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
1 1 .696** ‐.310* ‐.470** .150 .021 ‐.125 .075 ‐.079 ‐.079 ‐.256* ‐.137 ‐.213 .205
2 1 ‐.293* ‐.235 .211 ‐.118 ‐.037 .219 .056 ‐.127 ‐.082 ‐.042 ‐.123 .180
3 1 .589** ‐.135 ‐.194 .127 ‐.113 .120 .107 .153 .136 .175 ‐.197
4 1 ‐.159 ‐.179 .072 .349** .295* .038 .153 .085 .114 ‐.147
5 1 .020 .015 .015 .221 .052 ‐.050 .020 ‐.297* ‐.165
6 1 ‐.018 ‐.048 .092 .058 ‐.140 ‐.019 ‐.012 .061
7 1 .073 .136 .153 .340** .998** .883** ‐.201
8 1 .256* .018 .027 .080 ‐.020 ‐.052
9 1 .160 .292* .177 .095 .024
10 1 .120 .189 .124 .074
11 1 .384** .549** ‐.021
12 1 .890** ‐.194
13 1 ‐.144
14 1
Keterangan: * korelasi signifikan pada p<0.05
** korelasi signifikan pada p<0.01
1= umur suami (tahun) 2= umur istri (tahun) 3= pendidikan suami (tahun) 4= pendidikan istri (tahun) 5= besaran keluarga (orang) 6= kontribusi istri (%) 7= hutang keluarga (Rp)
8= lama menjadi TKW (tahun) 9= pengeluaran pangan (Rp) 10= pengeluaran non pangan (Rp) 11= pengeluaran khusus suami (Rp) 12= pengeluaran total keluarga (Rp) 13= pengeluaran/kapita/bulan (Rp) 14= kesejahteraan subjektif (skor)
111
112
112
Lampiran 10 Hasil Uji Korelasi Spearman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
1 1.000 .682** ‐.307* ‐.448** .091 .034 ‐.104 .110 ‐.090 ‐.032 ‐.230 ‐.013 ‐.051 .109 .139 .083 .263* .153
2 1.000 ‐.271* ‐.215 .224 ‐.066 .047 .064 .130 ‐.051 ‐.109 .081 .013 .192 .089 .081 .153 .170
3
4
1.000 .539** 1.000 ‐.133 ‐.106 ‐.159 ‐.187 .008 .065 ‐.249 .134 .120 .330* .054 .076 .114 .176 .118 .155 .193 .222 ‐.280* ‐.143 ‐.117 ‐.129 ‐.209 ‐.218 .014 ‐.086 ‐.186 ‐.131
5 1.000 .035 ‐.050 .083 .265* .045 ‐.025 ‐.015 ‐.374** ‐.010 ‐.104 ‐.197 ‐.123 ‐.109
6
1.000 .226 .138 .061 .107 ‐.272* ‐.052 .109 ‐.020 .122 .201 ‐.146 .072
7
1.000 179 .280* .285* ‐.302* .663** .660** ‐.080 .029 .174 ‐.112 .010
8
1.000 .142 .104 .275* .158 .093 .111 .064 ‐.066 ‐.024 .074
9
1.000 .127 .294* .386** .241** ‐.071 ‐.096 ‐.106 ‐.132 ‐.133
10
11
1.000 .290* .497 .447** .089 .005 .109 .123 .114
1.000 .463** .443** .005 .016 .019 .077 .027
Keterangan: * korelasi signifikan pada p<0.05
** korelasi signifikan pada p<0.01
1= umur suami (tahun) 2= umur istri (tahun) 3= pendidikan suami (tahun) 4= pendidikan istri (tahun) 5= besaran keluarga (orang) 6= kontribusi istri (%) 7= hutang keluarga (Rp)
8= lama menjadi TKW (tahun) 9= pengeluaran pangan (Rp) 10= pengeluaran non pangan (Rp) 11= pengeluaran khusus suami (Rp) 12= pengeluaran total keluarga (Rp) 13= pengeluaran/kapita/bulan (Rp) 14= kesejahteraan dimensi fisik (skor)
12
1.000 .910** ‐.073 .035 .166 ‐.102 .015
13
1.000 ‐.091 .055 .244 ‐003 .050
14
1.000 .569** .336** .439** ‐.802**
15
1.000 .391** .384** .847**
16
1.000 .214 541**
17
18
1.000 .648**
1.000
15=kesejahteraan dimensi ekonomi (skor) 16=kesejahteraan dimensi sosial (skor) 17=kesejahteraan dimensi psikologis (skor) 18=kesejahteraan sujektif (skor)
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Ayunda Windyastuti Savitri dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 Maret 1989. Penulis
merupakan
anak
tunggal
dari
pasangan
Prof.Dr.Ir. Made Astawan, M.Sc dan (almh) Dr.Ir.Mita Wahyuni, M.Sc. Penulis menyelesaikan pendidikan di TK
Sumbangsih
Jakarta
pada
tahun
1994,
lalu
melanjutkan ke Sekolah Dasar Sumbangsih Jakarta. Pada tahun 1997 penulis sempat pindah melanjutkan sekolah ke Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT) di Tokyo, Jepang. Pada tahun 2001, penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama di SMP Sumbangsih 1 Jakarta dan kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Atas di SMA Budi Mulia Bogor dengan masuk program IPS pada tahun 2004. Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan diterima di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK) dengan mengambil Minor Komunikasi, Fakultas Ekologi Manusia. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah mengikuti organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sebagai anggota Divisi Budaya, Olahraga, dan Seni periode 2008-2009. Selanjutnya penulis aktif sebagai anggota di Klub Perkembangan Keluarga Himpunan Mahasiswa Ilmu Keluarga dan Konsumen (HIMAIKO) periode 2009-2010.