HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering (BK) Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok, produksi, dan reproduksi. Ratarata konsumsi (BK) rumput, konsentrat dan ransum disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Konsumsi BK Ransum Perlakuan Peubah Konsumsi Rumput (g/e/hr) Konsentrat (g/e/hr) Total (g/e/hr)
P1
Perlakuan P2
P3
149,85
151,50
122,27
300,44
312,37
394,94
450,29 ± 100,76
463,87 ± 70,30
517.21 ± 115,13
3,20
3,26
3,49
33 : 67
32 : 68
24 : 76
Konsumsi BK Ransum (% BB) Rasio Konsumsi H : K (%)
Keterangan : P1 = Ransum TDN 65%, PK 14% P2 = Ransum TDN 70%, PK 14% P3 = Ransum TDN 75%, PK 14%
Dari tabel 6 diatas terlihat bahwa tingkat energi ransum yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi BK ransum. Hal ini disebabkan domba pada penelitian ini mendapatkan pakan dengan sifat fisik dan komposisi nutrien pakan yang hampir sama. Parakkasi (1999) menyatakan, bahwa faktor pakan yang mempengaruhi konsumsi BK untuk ruminansia antara lain sifat fisik dan komposisi kimia pakan. Tingkat palatabilitas juga berpengaruh terhadap tingkat konsumsi BK ransum yang diantaranya dipengaruhi oleh bau, rasa, tekstur dan suhu (Pond et al., 1995). Besarnya konsumsi BK ransum sekitar 450,29 - 517,21 g/e/hr, atau 3,20 – 3,49% bobot badan. NRC (1985) menyatakan bahwa domba dengan bobot badan 10-20 kg membutuhkan bahan kering sebesar 500-1000 g/e/h atau 3-5% dari bobot badan. Pemberian konsentrat dan hijauan secara terpisah menyebabkan ratio hijauan dan konsentrat agak berbeda dengan perlakuan yang diharapkan. Rasio hijauan : konsentrat selama pemeliharaan yaitu 33:67, 32:68, dan 24:76 untuk P1, P2, dan P3 24
berbeda dari yang diberikan sebesar 40:60 untuk P1, P2 dan 30:70 untuk P3. Konsumsi konsentrat yang tinggi menunjukan bahwa domba lebih menyukai konsentrat daripada hijauan. Konsumsi bahan kering konsentrat untuk P1 , P2, dan P3 adalah 300, 312, dan 394 g/e/h. Sitepu (2011) dalam penelitiannya melaporkan, pemberian rumput dan konsentrat secara terpisah dengan rasio 40:60 menghasilkan konsumsi bahan kering konsentrat berkisar 311,36-325,21 g/e/h. Sulistyowati (1999) dalam penelitiannya melaporkan bahwa ransum yang terdiri dari hijauan dengan jumlah yang rendah dan konsentrat dengan jumlah yang tinggi ternayata mampu meningkatan konsumsi bahan kering maupun bahan segar konsentrat. Konsumsi bahan kering rumput untuk P1, P2, dan P3 masing-masing ialah 149, 151, dan 122 g/e/h. Konsumsi bahan kering rumput berbanding terbalik dengan konsumsi bahan kering konsentat. Semakin tinggi konsumsi bahan kering konsentrat, menyebabkan konsumsi bahan kering rumput menurun. Freer dan Dove (2002) menyatakan bahwa konsumsi konsentrat melebihi 320 g/h pada domba yang digembalakan dapat menurunkan konsumsi hijauan. Forbes (2007) menyatakan bahwa tingginya propionat yang dihasilkan konsentrat dapat menurunkan kecernaan rumput, sehingga sulitnya rumput yang dicerna pada rumen menyebabkan konsumsi bahan kering rumput rendah. Walaupun ratio hijauan : konsentrat tidak sesuai dengan yang diharapkan, tetapi konsumsi energi atau TDN ransum perlakuan masih berkisar antara 68%, 72%, 76% untuk P1, P2, dan P3 seperti yang terlihat pada tabel 7. Pola Konsumsi Bahan Kering (BK) Konsumsi pakan sangat menentukan besarnya jumlah nutrien yang diperoleh ternak serta berperan pada tingkat produksi ternak. Rata-rata konsumsi bahan kering selama pemeliharaan disajikan pada Gambar 4. Konsumsi BK meningkat dengan bertambahnya umur atau bobot badan ternak seperti yang terlihat pada Gambar 4. Konsumsi BK pada minggu 1 rata-rata 3 perlakuan sekitar 230-241 g/e/h (Gambar 4). Semakin tinggi bobot badan, konsumsi BK ransum meningkat tetapi berdasarkan persentase bobot badan, konsumsi ransum relatif menurun. Grafik rataan konsumsi bahan kering domba selama pemeliharaan disajikan pada Gambar 4
25
Gambar 5. Grafik Rataan Konsumsi Bahan Kering selama Pemeliharaan (■) untuk P1 : Ransum TDN 65%, PK 14% ; (■) untuk P2 : Ransum TDN 70%, PK 14% ; (■) untuk P3 : Ransum TDN 75%, PK 14% Menurut
(Parakkasi,
1995)
kemampuan
ternak
ruminansia
dalam
mengkonsumsi ransum dipengaruhi oleh faktor hewan itu sendiri (berat badan, status fisiologik, potensi genetik, tingkat produksi, dan kesehatan termasuk umur), faktor makanan, dan faktor lingkungan yang berpengaruh langsung pada hewan adalah temperatur, kelembaban, dan sinar matahari serta yang berpengaruh secara tidak langsung adalah kadar air dan zat makanan lain. Dari Gambar 4 terlihat bahwa sampai minggu ke-5 konsumsi ransum ketiga perlakuan adalah sama yaitu meningkat dari rata-rata 240 g/e/minggu menjadi 690 g/e/minggu. Setelah minggu ke-5, P3 meningkat lebih besar yaitu 691 g/e/minggu dari P1 dan P2 yaitu masing-masing, 645, 659 g/e/minggu. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan bahan kering domba selama fase pertumbuhan mengalami peningkatan sesuai dengan pertambahan bobot badannya. Konsumsi Zat Makanan Konsumsi zat makanan adalah jumlah zat makanan di dalam pakan yang dapat dikonsumsi oleh ternak pada periode tertentu untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang diperlukan. Konsumsi zat gizi di dalam pakan yang sangat diperlukan untuk hidup ternak meliputi protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin dan air. Rata-rata konsumsi dan kandungan zat makanan berdasarkan konsumsi BK disajikan pada Tabel 7. 26
Tabel 7. Konsumsi dan Kandungan zat makanan berdasarkan konsumsi BK Komposisi Nutrien
P1
Perlakuan P2 (g/e/h) (%)
(g/e/h)
(%)
P3
(g/e/h)
(%)
Bahan Kering
450,28
67,99
463,86
64,75
517,70
70,42
Abu
42,94
6,48
50,80
7,09
36,86
5,01
Lemak Kasar
39,43
5,95
51,27
7,15
36,41
4,95
Protein Kasar
67,08
10,12
86,84
12,12
86,55
11,78
Serat Kasar
55,63
8,40
59,00
8,23
53,16
7,23
Ca
6,32
0,95
4,24
0,59
3,55
0,48
P
0,55
0,08
0,29
0,04
0,63
0,08
306,53
68,07
333,32
71,85
390,51
75,50
TDN Keterangan :
P1 = Ransum TDN 65%, PK 14% P2 = Ransum TDN 70%, PK 14% P3 = Ransum TDN 75%, PK 14%
Konsumsi protein kasar (PK) untuk perlakuan P1 lebih rendah yaitu ratarata sekitar 67,08 gram dan TDN lebih rendah yaitu 306,53 gram, sedangkan untuk perlakuan P2 dan P3 konsumsi PK hampir sama yaitu sekitar 86,84 dan 86,55 gram dan TDN untuk P2 lebih rendah yaitu dan 333,32 gram dibandingkan dengan P3 yaitu 390,51 gram. Besarnya konsumsi Total Digestibly Nutrien, hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Rianto et al. (2006), yaitu sebesar 341,33 g. Dari hasil tersebut konsumsi protein kasar dan TDN antara 3 perlakuan nilainya lebih rendah dari yang direkomendasikan oleh NRC (1985) yaitu menurut domba dengan bobot hidup 10-20 kg haruslah mengkonsumsi protein kasar sekitar 127- 167 g/ekor/hari dan TDN sekitar 400-800 g/ekor/hari. Protein kasar dan TDN untuk domba penelitian masih dibawah standar kebutuhan yang direkomendasikan NRC, dikarenakan kebutuhan PK dan TDN yang sesuai NRC adalah untuk domba di daerah subtropis, sedangkan untuk domba untuk penelitian ini adalah domba lokal yang cocok didaerah tropis yang kebutuhan PK dan TDN berbeda dengan dombadomba di daerah subtropis.
27
Tingginya konsumsi konsentrat dan rendahnya konsumsi hijauan disebabkan karena kandungan zat makanan yaitu lemak kasar setiap perlakuan hampir di atas 5%. Hal ini karena lemak diketahui mengandung energi yang lebih tinggi daripada karbohidrat atau protein dan menghasilkan panas metabolis yang lebih rendah. Bila lemak diberikan dalam jumlah berlebih (di atas 5%) kepada ternak ruminansia dapat mengganggu populasi mikroba di dalam rumen dan mengurangi kemampuan ruminansia untuk mencerna hijauan. Pertambahan Bobot Badan Pertambahan bobot badan merupakan salah satu peubah yang dapat digunakan untuk menilai kualitas pakan ternak. Menurut McDonald et al (2002) pertumbuhan ternak ditandai dengan peningkatan ukuran, bobot, dan adanya perkembangan. Pengukuran bobot badan berguna untuk penentuan tingkat konsumsi, efisiensi pakan dan harga (Parakkasi, 1999). Hubungan level energi yang berbeda dalam ransum terhadap pertambahan bobot badan betina selama penelitian ditampilkan pada Tabel 8. Tabel 8. Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan Peubah
Perlakuan P1
P2
P3
Bobot Lahir (kg/e)*
2,46 ± 0,71
2,12 ± 0,67
1,90 ± 0,42
Bobot Sapih (kg/e)
9,75 ± 2,90
9,87 ± 1,70
9,75 ± 1,71
Bobot Kawin (kg/e)
18,37 ± 3,27
19,87 ± 1,93
22 ± 2,94
PBB sampai kawin (g/e/hari)
82,74 ± 10.85
90,33 ± 21,99
104,87 ± 13,04
Keterangan :
P1 = Ransum TDN 65%, PK 14% P2 = Ransum TDN 70%, PK 14% P3 = Ransum TDN 75%, PK 14%
(*) Bobot Domba Penelitian
Ransum P1, P2, dan P3 yang diberikan kepada domba dara tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0.05) pada pertambahan bobot badan domba (Tabel 8). Hal ini menunjukan bahwa pakan level energi yang berbeda memberikan pengaruh yang sama terhadap pertambahan bobot badan harian domba, juga hal ini menunjukan bahwa kemampuan domba betina dalam memanfaatkan pakan yang dikonsumsi untuk pertumbuhan adalah sama. Hasnudi dan Wahyuni (2005) melaporkan bahwa 28
PBB yang tidak berbeda nyata dapat juga disebabkan ternak domba mengkonsumsi pakan yang jumlahnya tidak berbeda nyata. Pertambahan bobot badan yang dihasilkan pada perlakuan P1 sebesar 82,74 g/hr dan P2 sebesar 90,33 g/hr, P3 sebesar 104,87 g/hr (Tabel 8). Hasil PBB yang diperoleh pada penelitian ini tidak jauh berbeda dari hasil penelitian Prawoto et al. (2001) yaitu melalui perbaikan pakan PBB domba lokal mampu mencapai 57–132 g/ekor. Menurut Tomaszewska et al. (1993) bahwa laju PBB dipengaruhi oleh umur, lingkungan, dan genetik, yaitu berat tubuh awal fase pertumbuhan berhubungan dengan berat dewasa. Pola Pertumbuhan Salah satu kriteria yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan adalah dengan pengukuran bobot badan. Pertambahan bobot badan adalah kemampuan ternak untuk mengubah zat-zat nutrisi yang terdapat dalam pakan menjadi daging. Pertumbuhan juga didefinisikan sebagai perubahan ukuran yang meliputi perubahan bobot hidup, bentuk dimensi linier dan komposisi tubuh termasuk perubahaan organorgan dan jaringan tersebut berlangsung secara gradual hingga tercapai ukuran dan bentuk karakteristik masing-masing organ dan jaringan tersebut (Soeparno,1994). Pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas ransum yang diberikan.. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam laju pertambahan bobot badan adalah genetik dan lingkungan. Faktor genetik berhubungan dengan kecepatan dan sifat tumbuh yang diwariskan oleh tetuanya dan jenis ternak. Faktor lingkungan diantaranya adalah manajemen pemeliharaan dan pakan (Church, 1991). Pada Gambar 5 menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan untuk semua perlakuan relatif sama dan meningkat setiap minggunya. Kondisi ini menunjukkan bahwa zat makanan yang dikonsumsi dapat digunakan ternak untuk pertumbuhan jaringan yang ditunjukan dengan adanya pertumbuhan, hal ini sejalan dengan tingkat konsumsi bahan kering yang mengalami peningkatan juga. Setiap minggunya terjadi peningkatan bobot badan domba, hampir sama dengan standar peningkatan bobot badan harian menurut NRC (2006) yaitu sekitar 100 g/ekor/hari.
29
BB kg/ekor
Minggu
Gambar 6. Grafik bobot badan domba Pemeliharaan (■) untuk P1 : Ransum TDN 65%, PK 14% ; (■) untuk P2 : Ransum TDN 70%, PK 14% ; (■) untuk P3 : Ransum TDN 75%, PK 14% Efisiensi Ransum Efisiensi pakan merupakan nilai yang menggambarkan banyaknya pakan yang dapat diubah menjadi satuan unit produk ternak. Faktor yang dapat mempengaruhi efisiensi pakan diantaranya adalah laju perjalanan pakan dalam saluran pencernaan, bentuk fisik bahan makanan, dan komposisi nutrien pakan (Parakkasi, 1999). Rata-rata Efisiensi ransum selama pemeliharaan disajikan pada Tabel 9. Efisiensi pakan pada masing-masing perlakuan P1, P2, dan P3 secara berturut-turut sebesar 0,18±0,17, 0,19±0,11, dan 0,20±0,10. Penggunaan pakan berenergi tinggi dapat meningkatkan efisiensi pakan karena pakan berenergi tinggi memiliki kandungan glukosa yang tinggi sehingga meningkatkan penggunaan pakan dalam saluran pencernaan. Tabel 9. Efisiensi dan Konversi Pakan Perlakuan P1 P2 P3 Rataan Keterangan :
Efisiensi Pakan Konversi Pakan Setelah Pemeliharaan 0,18 ± 0,17 5, 44 ± 3, 47 0,19 ± 0,11 5,14 ± 2,33 0,20 ± 0,10 4,93 ± 1,92 0,19 ± 0,13 5,17 ± 2,57
P1 = Ransum TDN 65%, PK 14%, P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%, P3 = Ransum TDN 75%, PK 14%
30
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap konversi pakan domba. Konversi pakan yang tidak berbeda nyata sejalan dengan konsumsi bahan kering dan pertambahan bobot badan harian. Rata-rata konversi pakan domba selama pemeliharaan sekitar 5,17. Hal ini hampir sama dengan standar NRC (2006) yang menyatakan bahwa konversi pakan domba sekitar 5,74. Income Over Feed Cost (IOFC) Analisis ekonomi sangat penting dalam usaha penggemukan domba, karena tujuan akhir dari penggemukan adalah untuk mendapatkan keuntungan. Salah satu perhitungan yang dapat digunakan adalah Income Over Feed Cost (IOFC) yaitu pendapatan dari pemeliharaan setelah dikurangi biaya pakan selama penggemukan. Tabel 10. Rata-rata income over feed cost (Rp)
1
1 1615
2 1409
3 1191
4 1304
Rata-rata IOFC 1379±180
2
1749
1866
780
1622
1504±493
3
1280
1493
1190
1996
1489±360
Perlakuan
Keterangan :
Ulangan
P1 = Ransum TDN 65%, PK 14% P2 = Ransum TDN 70%, PK 14% P3 = Ransum TDN 75%, PK 14%
Tingkat energi ransum yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap income over feed cost. Hal ini disebabkan karena tidak berbeda nyatanya pertambahan bobot badan domba dan konsumsi pakan. Menurut Mulyaningsih (2006) faktor yang mempengaruhi nilai perhitungan IOFC selama penggemukan seperti PBB, konsumsi pakan, dan harga pakan saat pemeliharaan. Dari tabel 10 didapat rata-rata income over feed cost tertinggi pada perlakuan P2 yaitu Rp 1504/kg dibandingkan dengan P1 dan P3 sebesar Rp 1379/kg dan Rp 1489/kg. Dari hasil penelitian diperoleh income over feed cost, terlihat pada Tabel 10. Penampilan Reproduksi Domba Dara Siklus estrus adalah sebuah siklus dalam kehidupan domba betina yang sudah dewasa dan setiap siklus akan diakhiri dengan proses ovulasi (Najamuddin dan 31
Ismail, 2006), selanjutnya menurut Hafez (2000) bahwa estrus dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu keturunan, umur, musim, dan domba pejantan. Pubertas adalah umur atau waktu yaitu organ-organ reproduksi mulai berfungsi dan perkembangbiakan terjadi. Pada hewan jantan pubertas ditadai dengan kemampuan hewan untuk berkopulasi dan menghasilkan sperma disamping perubahan-perubahan kelamin sekunder lain, sedangkan pada hewan betina ditandai dengan terjadinya estrus dan ovulasi (Toelihere, 1993). Faktor-faktor yang mempengaruhi pubertas antara lain faktor lingkungan seperti makanan, kesehatan, sanitasi, umur, temperatur, hereditas, tingkat pelepasan hormon, berat badan (Anonim., 2004). Faktor lain yang mempunyai pengaruh besar terutama nutrisi dan pakan. Kemudian faktor-faktor musim kawin (breeding season) juga mempengaruhi pubertas. Bobot dan Umur Pubertas Penentuan umur kawin pada induk muda menjadi pertimbangan dalam pengelolaan induk. Namun, umur bukan satu-satunya faktor utama yang menentukan saat kawin yang optimal pada induk muda, faktor lain yang sangat penting adalah bobot badan. Bobot badan merupakan faktor utama yang mempengaruhi usia pubertas, meskipun ada perbedaan antara keturunan. Tabel 11. Bobot dan Umur Kawin Pertama Perlakuan
Peubah
Bobot kawin (kg) Umur kawin pertama (hari) Keterangan :
P1
P2
P3
18,37 ± 3,27
19,75 ± 1,75
22 ± 2,94
186,75 ± 11,89
198 ± 16,39
203 ± 3,65
P1 = Ransum TDN 65%, PK 14% P2 = Ransum TDN 70%, PK 14% P3 = Ransum TDN 75%, PK 14%
Dari Tabel 10 di atas terlihat bahwa tingkat energi ransum yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot kawin pertama. Bobot badan kawin pertama untuk P1, P2, dan P3 masing-masing 18, 19, dan 22 kg. Hal ini disebabkan karena pada induk dengan kondisi tubuh gemuk biasanya kurang responsif terhadap pemberian pakan konsentrat tinggi. Pemberian energi dan protein tinggi lebih sering 32
mendapatkan respon berupa peningkatan laju ovulasi pada induk dengan kondisi tubuh relatif kurus, dan juga pelepasan estrogen untuk terjadinya estrus tidak secepat pada domba yang badannya relatif kurus. Tiesnamurti (1987) menyatakan bahwa bobot badan sekitar 17 kg pada domba ekor tipis terlepas dari umur ternak, merupakan bobot badan ternak mencapai pubertas. Tingkat energi ransum yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap umur kawin pertama. Umur kawin pertama pada perlakuan dengan kandungan TDN 75% lebih lama 5-17 hari dibandingkan dengan ransum perlakuan TDN 70% dan 65% (P2 dan P1). Birahi pertama kali pada domba dicapai pada umur yang sama yaitu 6-7 bulan atau 186-203 hari dengan bobot badan pada saat kawin antara 18-22 kg. Pada domba pubertas dicapai pada umur bervariasi 6 – 12 bulan atau pada berat sekitar 55-60% berat badan dewasa (Sutama et al., 1995). Detekasi dan Tanda-tanda birahi Tanda-tanda berahi yang paling penting adalah domba kelihatan tidak tenang, gelisah dan nafsu makan biasanya turun, vulva tampak bengkak, merah, hangat, dan keluar cairan seperti lendir mirip putih telur dari vagina, bulu dipangkal ekor rontok, dan akan diam bila dinaiki pejantan. Kadang-kadang tanda tersebut tidak jelas dan tipe berahi ini disebut “berahi tenang” atau silent heat. Tanda-tanda berahi berakhir adalah keluar lendir berwarna kuning dan bercampur darah dari vagina (Ginting dan Sitepu, 1989). Pada Gambar 7, menunjukan tanda-tanda birahi pada domba betina yaitu salah satumya dengan mengibaskan ekor untuk menarik domba pejantan agar terjadi suatu perkawinan (Gambar 7a). Kemudian terjadi perkawinan atau kopulasi antara domba betina dengan domba pejantan (Gambar 7b).
(Gambar 7a)
(Gambar 7b)
Gambar 7. Domba pejantan mendekati domba betina (Gambar 7a); Perkawinan domba atau kopulasi (Gambar 7b) 33
Deteksi birahi dan efisiensi perkawinan dapat dilakukan dengan rangsangan birahi (Ditjennak, 1991). Cara pendeteksian birahi pada penelitian ini dilakukan secara alami dengan menggunakan pejantan pengusik (teaser), dengan cara memasukkan pejantan ke dalam kandang induk. Pejantan akan mendekati dan menaiki betina yang sedang birahi. Hormon dan Perbedaan Timbulnya Pubertas Hormon testosteron yang terdapat pada domba pejantan ini merangang pejantan untuk merangsang atau mengajak betina untuk kawin, hal ini merangsang domba betina melepaskan gonadotropin, hormon ini merangsang pertumbuhan ovarium yang sekaligus berfungsi menghasilkan estrogen dan menimbulkan kondisi birahi/estrus. Berahi pada domba ini ditimbulkan oleh hormon seks betina, yakni estrogen yang dihasilkan oleh folikel-folikel ovarium. Menurut Schillo (1992) energi tubuh yang cukup dibutuhkan untuk memproduksi “luteinizing hormone” (hormon LH) dan follicle stimulating hormone (FSH). Kedua hormon ini berfungsi untuk merangsang pertumbuhan folikel (mengaktifkan fungsi ovarium) sehingga terjadi estrus. Perbedan berahi sangat dipengaruhi oleh genetik, umur, musim, pakan dan kehadiran jantan, oleh karena itu, munculnya berahi setiap ternak berbeda. Menurut Toelihere (1985) pubertas umumnya terjadi apabila berat badan dewasa hampir tercapai dan kecepatan pertumbuhan mulai menurun. Kemunculan birahi pertama setiap perlakuan pada umur 186, 198 dan 203 hari. Penentuan umur kawin pada induk muda menjadi pertimbangan dalam pengelolaan induk. Umur dewasa kelamin pada setiap jenis ternak tidak sama. Umur dewasa kelamin ini juga tergantung pada keadaan iklim, keadaan makanan, heriditas dan tingkat pelepasan hormon. Pada semua ternak, dewasa kelamin akan tercapai pada saat dewasa tubuh tercapai. Pada saat ini ternak sudah mampu untuk melakukan perkawinan, tetapi pada saat itu tubuhnya belum mampu untuk melakukan proses reproduksi selanjutnya seperti bunting, melahirkan dan menyusui. Tubuhnya masih dalam proses pertumbuhan, ternak bunting tubuhnya harus menyediakan makanan untuk pertumbuhan dirinya dan pertumbuhan anak yang dikandungnya. Apabila hal ini terjadi maka kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan akan terjadi seperti terjadi kematian baik pada induk maupun anaknya, akan melahirkan anak-anak yang cacat 34
atau lemah, kecil dan lain-lain. Untuk menghindari hal-hal tersebut di atas sebaiknya perkawinan hendaknya ditangguhkan beberapa saat sampai tubuhnya cukup dewasa atau dewasa tubuh telah tercapai. Perbedaan timbulnya birahi pada perlakuan juga disebabkan terjadinya ketidakseimbangan energi dalam pakan (intake) dengan energi untuk pertumbuhan sehingga akan menurunkan birahi pada ternak muda yang sedang tumbuh karena banyak sedikitnya jumlah energi dalam pakan (kandungan bahan kering) berpengaruh pada organ reproduksi dan aktivitas ovarium.
35