32
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstraksi Ekstraksi bahan tumbuhan adalah tahap yang sangat penting dalam memperoleh metabolit sekunder tumbuhan untuk dimanfaatkan sebagai obat. Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi yaitu merendam simplisia tumbuhan pada suhu kamar selama 24 jam. Faktor yang paling penting mempengaruhi hasil ekstraksi yaitu pelarut, waktu dan suhu dalam melakukan ekstraksi (Yang et al. 2007). Terdapat banyak metode dalam mengeksrak bahan tumbuhan diantaranya adalah metode perkolasi, sokletasi dan destilasi uap. Metode perkolasi hanya baik digunakan pada senyawa organik yang mudah larut sedangkan sokletasi dan destilasi uap hanya baik pada senyawa yang tahan panas (Faraouq, 2003; Lenny, 2006). Oleh karena itu metode maserasi dipilih agar isolasi senyawa metabolit sekunder dari ekstrak kulit batang langsat maksimal. Tabel 3 Rendemen ekstrak Kulit Batang Langsat Basah (KBLB) dan Kulit Batang Langat Kering (KBLK) Simplisia KBLK KBLB
Pelarut
% Rendemen
Etanol 70%
5,92
Kloroform:Air
4,36
Etanol 70%
3,67
Kloroform:Air
2,16
Dari hasil ekstraksi diperoleh ekstrak etanol berwarna cokelat kehitaman dan ekstrak kloform:air (1:1) bewarna hijau muda. Semua ekstrak beraroma khas kulit langsat. Rendemen adalah persentasi antara ekstrak yang diperoleh terhadap jumlah simplisia yang diekstraksi (Depkes, 1987). KBLK dimaserasi dengan etanol 70% (1:5) selama 24 jam menghasilkan rendemen 5,92%. Residu KBLK EtOH dimaserasi lagi dengan pelarut kloroform:air menghasilkan rendemen 4,36%. Dengan cara yang sama dilakukan pada KBLB EtOH. KBLB EtOH menghasilkan rendemen sebesar 3,67%. Residu KBLB dimaserasi dengan kloroform:air menghasilkan rendemen sebesar 2,16 % (tabel 3). Trusheva et al. (2007) melakukan ekstraksi pada propolis menggunakan pelarut etanol dengan membandingkan beberapa metode ekstraksi yaitu maserasi, UE (Ultrasound
33
Extraction) dan MAE (Microwave Assisted Extraction) ternyata metode maserasi menghasilkan persen rendemen total 55,58% lebih besar dibandingkan metode UE dan MAE dengan masing-masing rendemen yang diperoleh 41% dan 53%. Hal ini menguatkan bahwa ekstraksi dengan pelarut etanol menggunakan metode maserasi menghasilkan persen rendemen yang lebih besar dibandingkan dengan metode ekstraksi lain. Oleh karena ekstrak etanol KBLK dan KBLB yang memiliki persen rendemen tertinggi maka kedua ekstrak tersebut dilanjutkan dalam bioassay aktivitas antioksidasi dan antikanker. Menurut Faraouq (2003) ekstraksi simplisia tumbuhan untuk tujuan obat herbal terbaik digunakan pelarut etanol. Etanol dapat bercampur dengan air dalam berbagai perbandingan dan mudah dalam penguapan residu yang ada dalam ekstrak. Pelarut metanol, etilasetat atau heksana tidak diperbolehkan karena residu toksik yang dihasilkan. Selanjutnya ampas ekstrak
etanol 70% dilanjutkan
dengan ekstraksi dan maserasi dengan kloroform:air yang bersifat semi polar. Diharapkan metabolit sekunder yang belum tertarik oleh pelarut etanol dapat ditarik oleh pelarut ini. Secara empiris kulit batang langsat basah yang digunakan masyarakat Dimembe Kecamatan Minahasa Utara sebagai bahan obat direbus dengan air dan diambil sarinya.
Analisis Fitokimia Analisis fitokimia adalah satu cara mengetahui kandungan metabolit sekunder pada suatu sampel tumbuhan. Dalam penelitian ini analisis fitokimia menggunakan prosedur Harborne (1996). Senyawa-senyawa yang dianalisis meliputi alkaloid, saponin, flavonoid, tanin, steroid dan triterpenoid. Tabel 4 Hasil Analisis Fitokimia Kulit batang langsat basah (KBLB) dan Kulit Langat Batang Kering (KBLK) Golongan Senyawa Alkaloid Flavonoid Saponin Tanin Triterpenoid Steroid
KBLK EtOH + + + + + -
KBLK ka + -
Hasil uji KBLB EtOH + + ++ + -
KBLB ka ++ +++ + -
Keterangan : tanda ( + ) menunjukkan tingkat intensitas warna. EtOH (etanol) dan ka (kloform : air).
34
Ekstrak KBLK EtOH mengandung hampir seluruh golongan senyawa fitokimia yang diidentifikasi kecuali steroid. Pada KBLB tidak mengandung golongan senyawa triterpenoid dan steroid akan tetapi memiliki kandungan saponin dengan intensitas yang lebih tinggi. KBLK kloroform:air hanya teridentifikasi mengandung alkaloid berbeda dengan KBLB yang justru tidak mengandung golongan senyawa alkaloid tetapi mengandung senyawa fenolik yaitu flavonoid, saponin dan tanin dengan intensitas yang tinggi. Hal ini disebabkan KBLB ketika diekstraksi dengan etanol masih memiliki kadar air yang tinggi, pada saat ampasnya diekstraksi dengan kloform:air yang bersifat semi polar golongan senyawa yang belum tertarik pada pelarut etanol tertarik dengan baik pada pelarut kloroform:air. Triterpenoid dan steroid hanya terbentuk sedikit endapan ketika diberikan pareaksi Wagner. Triterpenoid dan steroid adalah metabolit sekunder derivat lipid yang bersifat nonpolar sehingga membutuhkan pelarut nonpolar untuk dapat mengekstraksinya dengan baik. Ekstraksi kulit batang langsat baik kering (kadar air 10%) maupun basah dengan etanol menarik hampir semua golongan metabolit sekunder yaitu alkaloid, flavonoid, tanin, saponin dan triterpenoid. Hal ini dikarenakan etanol adalah pelarut yang memiliki dua gugus yang berbeda kepolarannya yaitu gugus hidroksil yang bersifat polar dan gugus alkil yang bersifat nonpolar. Adanya gugus ini sehingga senyawa-senyawa dengan tingkat kepolaran yang berbeda akan terekstrak dalam etanol. Dari hasil analisis fitokimia ini maka KBLK EtOH dan KBLB EtOH yang dilanjutkan dengan uji bioassay antikanker dan antioksidasi.
Aktivitas Toksisitas Metode BSLT BSLT adalah metode skrining farmakologi awal yang relatif murah dan telah teruji hasilnya dengan tingkat kepercayaan 95%. Penggunaan larva udang (A. salina Leach.) dalam bioassay toksisitas ekstrak kasar tanaman memenuhi validitas karena individu yang digunakan memenuhi syarat untuk analisis statistik. BSLT telah digunakan sebagai bioassay pendahuluan dalam rangka menilai toksisitas ekstrak fungi, tumbuhan, logam berat, substansi toksin dari sianobakteria dan pestisida (Carballo et al. (2002). Sekitar 300 bioaktif antitumor
35
baru dari tumbuhan awalnya diskrining dengan metode BSLT (Mc Laughlin et al. 1998). Tabel 5 Nilai LC50 Ekstrak Etanol KBLK dan KBLB Simplisia KBLK KBLB
LC50 (ppm) 93,48 100,37
Larva udang memiliki kulit yang tipis dan peka terhadap lingkungannya. Zat atau senyawa asing yang ada di lingkungannya akan terserap ke dalam tubuh dengan cara difusi dan langsung mempengaruhi kehidupan larva. Larva udang yang sensitif ini akan mati apabila zat atau senyawa asing dalam larutan bersifat toksik.
Gambar 8 Histogram mortalitas A. salina Leach pada berbagai konsenterasi ekstrak KBLK EtOH dan KBLB EtOH masing-masing memiliki LC50 93.48 ppm dan 100.37 ppm (tabel 5 ). Beberapa penelitian tentang uji toksisitas awal dengan BSLT dalam rangka penemuan obat antikanker antara lain ekstrak metanol dan ekstrak eter Marchantia cf. planiloba Steph. memiliki nilai LC50 masing-masing 247.10 ppm dan 453,16 ppm (Sukardiman, 2004). Ekstrak metanol Fagonia cretica L. menunjukkan nilai LC50 118.89 ppm pada uji BSLT (Hussain, 2006). Mc Laughlin et al. (1998) menyatakan adanya korelasi positif antara LC50 uji BSLT dengan uji sitotoksik 9KB (karsinoma nasofaring manusia). Harga ED50
36
9KB sama dengan sepersepuluh LC50 BSLT. Suatu ekstrak bahan alam berpotensi antikanker dengan uji BSLT apabila nilai LC50 < 1000 ppm (Carballo et al. 2002). Dibandingkan dengan beberapa hasil penelitian tersebut ekstrak etanol kulit batang langsat (L. domesticum L.) memiliki toksisitas (LC50) yang kuat terhadap A. Salina Leach. Dengan nilai LC50 < 150 ppm menunjukkan dalam konsenterasi yang kecil telah menyebabkan toksisitas pada larva artemia sehingga berpotensi sitotoksik pada sel kanker. Senyawa alkaloid, flavonoid, saponin dan tanin yang terkandung dalam ekstrak berperan dalam toksisitas pada larva A. salina Leach.
Aktivitas Antioksidasi Metode DPPH Dari larutan induk ekstrak 800 ppm dibuat konsenterasi uji 10, 50, 100, 200 dan 250 ppm masing-masing 25 mL. Sebanyak 0.0197 g DPPH dilarutkan dalam 50 mL metanol. BHT digunakan sebagai kontrol positif dalam konsenterasi sama dengan konsenterasi larutan uji. Nilai IC50 KBLK EtOH mencapai setengah dari nilai IC50 BHT (tabel 6). BHT digunakan dalam industri bahan pangan sebagai antioksidan. Dengan kata lain kedua jenis ekstrak tersebut memiliki kemampuan mendekati 2 kali dari peredaman radikal DPPH dibandingkan dengan BHT. Tabel 6 Nilai IC50 Aktivitas Antioksidan Ekstrak Metode DPPH dibandingkan dengan kontrol BHT Simplisia BHT (kontrol) KBLK KBLB
IC50 (ppm) 398,45 174,19 205,38
Dari hasil percobaan diperoleh persen inhibisi pada berbagai konsenterasi uji. KBLB EtOH dan KBLK EtOH konsenterasi 250 ppm mampu memberikan nilai inhibisi 57,72% dan 55,78%. Dibandingkan dengan persen inhibisi dari BHT sebagai kontrol pada konsenterasi yang sama sebesar 43,38%. Dengan demikian ekstrak etanol KBLK EtOH dan KBLB EtOH lebih baik dalam meredam radikal bebas DPPH.
37
Tabel 7 Aktivitas inhibisi ekstrak terhadap radikal DPPH Konsenterasi (ppm)
Simplisia 10 KBLK EtOH KBLB EtOH BHT
11,29 11,47 7,68
50 32,47
100 44,68
200 47,55
250 57,72
32,56
37,28
48,38
55,78
17,48
38,67
42,65
43,39
Untuk mengetahui aktivitas antioksidan suatu ekstrak tumbuhan, metode DPPH adalah metode yang mudah, cepat dan sensitif. Reaksi peredaman (scavenging) antara radikal DPPH* dan antioksidan (RH) dapat ditulis sebagai berikut :
Gambar 9 Reaksi antara DPPH dan antioksidan Antioksidan bereaksi dengan DPPH*, yang menstabilkan radikal bebas dan mereduksi DPPH dan sebagai konsekuensinya penyerapan radikal DPPH* menurun ke bentuk DPPH-H. Derajat diskolorisasi menunjukkan potensi peredaman radikal bebas dari substansi antioksidan atau ekstrak dengan memberikan hidrogen. DPPH yang bereaksi dengan antioksidan akan mengalami perubahan warna dari jingga ke kuning, intensitas warna tergantung kemampuan dari antioksidan (Benabadji et al. 2004). Dalam penelitian ini KBLK EtOH menunjukkan aktivitas peredaman radikal DPPH terbaik dengan nilai IC50 sebesar 174,19 µg/ml diikuti oleh KBLB EtOH IC50 sebesar 205,38 µg/ml. Jika dibandingkan dengan BHT yang adalah antioksidan sintetik kimia dengan nilai IC50 sebesar 398,44 µg/ml maka ekstrak etanol memiliki kemampuan scavenging radikal DPPH yang lebih kuat. Adanya kandungan metabolit sekunder kelompok polifenol yaitu flavonoid, saponin dan tanin baik pada KBLB EtOH maupun KBLK EtOH berpotensi antioksidasi. Hanani et al. (2005) melaporkan bahwa alkaloid pada ekstrak metanol dari Callyspongia sp. memiliki aktivitas peredaman radikal
38
DPPH (IC50 41,21 ppm) yang berarti memiliki aktivitas antioksidan. Aqil et al. (2006) melaporkan bahwa alkaloid, flavonoid dan tanin dari beberapa tanaman obat di India menunjukkan aktivitas antioksidasi baik dengan metode DPPH maupun dengan metode TBA. Polifenol memiliki struktur kimia yang sangat baik dalam aktivitas scavenging radikal dan menunjukkan aktivitas antioksidasi yang lebih efektif secara in vitro dibandingkan dengan α-tokoferol dan asam askorbat. Aktivitas antioksidasi dari polifenol ini ditandai dengan aktivitas reaktif yang tinggi sebagai donor hidrogen atau elektron dan kemampuan dari turunan radikal polifenol untuk menstabilkan dan memindahkan elektron yang tidak berpasangan (fungsi pemutusan rantai) juga kemampuan untuk mengkhelat transisi logam. Mekanisme lain dari aktivitas antioksidasi substansi fenolik adalah kemampuan dari flavonoid untuk mencegah peroksidasi dengan memodifikasi pengemasan lipid dan penurunan fluiditas membran. Perubahan ini dapat menghambat difusi radikal bebas dan memutuskan reaksi peroksidasi. Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa substansi fenolik terlibat dalam scavenging hidrogen peroksida di dalam sel tumbuhan (Blokhina, et al. 2003). Flavonoid telah dikenal sebagai obat antihepatotoksik, antiinflamasi, antialergi, antiosteoporosis dan antikanker. Pengaruh flavonoid ini berhubungan dengan interaksinya dengan banyak enzim dalam tubuh dan aktivitas antioksidasinya yaitu kemampuan untuk menangkap radikal bebas, mengkhelat ion logam dan pengaruh sinergisnya dengan antioksidan lain (Silva et al. 2002). Fungsi antioksidan flavonoid sebagai scavenger radikal bebas dengan memberikan atom hidrogen pada radikal. Banyak penelitian telah membuktikan aktivitas antioksidan dari flavonoid. Aktivitas antioksidan dari flavonoid berhubungan dengan struktur flavonoid. Secara umum, aktivitas scavenging radikal flavonoid tergantung pada struktur molekuler dan bentuk substitusi dari gugus hidroksil misalnya kemampuan hidrogen fenolik dan kemungkinan stabilisasi oleh radikal fenoksil melalui ikatan hidrogen atau delokalisasi elektron. Aktivitas struktur (structur-activity relationship (SAR)) dari flavonoid penting diketahui yaitu jumlah dan lokasi gugus fenolik OH yang berperan dalam menetralkan radikal bebas. Struktur yang memungkinkan aktivitas scavenging
39
radikal dari flavonoid adalah adanya 3,4-dihidroksil misalnya 0-dihidroksil (struktur katekhol) pada cincin B, berperan sebagai donor elektron dan menjadi target radikal. Struktur 3-OH dari cincin C juga menguntungkan untuk aktivitas antioksidan flavonoid. Konjugasi ikatan rangkap pada C2-C3 dengan gugus 4keto, berperan untuk delokalisasi elektron dari cincin B, meningkatkan kapasitas scavenging radikal. Juga adanya gugus 3-OH dan 5-OH dalam kombinasi dengan fungsi 4-karbonil dan ikatan rangkap C2-C3 menaikkan aktivitas scavenging radikal. Dengan tidak adanya struktur o-dihidroksi pada cincin B, subtituen hidroksil pada katekol pada cincin A dapat dikompensasi dan menaikkan kemampuan aktivitas antiradikal dari flavonoid (gambar 10) (Amic et al. 2002).
Gambar 10 Struktur Flavonoid dengan aktivitas antiradikal yang tinggi. Gambar yang dibundari memiliki aktivitas antiradikal bebas
Gambar 11 Reaksi Scavenging DPPH* (radikal bebas) oleh flavonoid. Dalam tubuh manusia, radikal bebas adalah produk reaksi biologis atau juga dapat disebabkan faktor dari luar tubuh. Radikal bebas dalam tubuh dapat menyebabkan gejala patogenitas dalam jaringan. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh banyaknya radikal bebas dalam tubuh adalah neurodegeneratif, kanker dan aterosklerosis. Sebenarnya manusia memiliki mekanisme peredaman radikal bebas enzimatis dalam tubuh, akan tetapi banyaknya radikal bebas yang
40
masuk dalam tubuh dan radikal bebas hasil autooksidasi menyebabkan mekanisme antioksidasi dalam tubuh tidak dapat mengimbangi jumlah radikal bebas. Untuk itulah dibutuhkan antioksidasi nonenzimatis yang dapat berasal dari bahan tumbuhan. Antioksidasi dari luar tubuh yang berasal dari bahan makanan atau ekstrak tumbuhan yang mengandung komponen flavonoid dan fenolik sangat berpotensi sebagai antioksidasi alami dalam menstabilkan kelebihan radikal bebas dalam tubuh (Pourmorad et al. 2006). Hasil penelitian ini memperkuat beberapa laporan penelitian aktivitas antioksidan senyawa polifenol dari ekstrak tumbuhan antara lain aktivitas peredaman radikal DPPH dari fraksi metanol batang Fagraea ceilanica (EC50 = 48,89) lebih baik dibandingkan fraksi metanol akar dan daun (Hafid, 2003). Fenolik dari ekstrak M. crystallinum dapat menghambat radikal DPPH sebesar 98% (Bouftira et al. 2007). Tanin (katekin) yang berperan dalam aktivitas antioksidasi dari Oolong tea (Su et al. 2007). Isolat flavonol glukosida yaitu isokuartin dan hiperin dari ekstrak etanol daun Cryptocarya ashersoniana menunjukkan aktivitas scavenging radikal DPPH dengan IC50 34.4 µM dan 32.7 µM (Ricardo et al. 2004). Adanya senyawa golongan polifenol terutama flavonoid pada ekstrak etanol KBLK dan KBLB yang menyebabkan aktivitas antioksidasi terhadap radikal DPPH. Mekanisme antioksidasi terhadap radikal DPPH dengan memberikan elektron pada radikal DPPH sehingga menjadi molekul yang lebih stabil. Aktivitas Antioksidasi Metode TBA Oksidasi asam linoleat dengan metode FTC bertujuan untuk menentukan waktu inkubasi maksimum konsenterasi malondiadelhida (MDA). Dalam penelitian ini asam linoleat ditempatkan pada botol gelap berulir berpenutup kemudian diinkubasi selama 7 hari pada inkubator bersuhu 400C; dimana analisis hidroperoksida yang terbentuk dilakukan setiap hari sampai tercapai absorbansi maksimum. Selama inkubasi asam linoleat akan dioksidasi oleh udara. Pada tahap awal oksidasi asam linoleat (fase lag) akan terbentuk hidroperoksida. Selanjutnya diikuti tahap propagasi. Pada tahap ini kadar hidroperoksida akan meningkat hingga mencapai kadar maksimum, ditunjukkan oleh puncak absorbansi
41
maksimum yang terjadi pada hari ke 5 setelah itu hidroperoksida akan mengalami tahap dekomposisi membentuk MDA.
Pengukuran konsenterasi MDA Berdasarkan
hasil
analisis
hidroperoksida
dengan
metode
FTC,
pengukuran konsenterasi MDA dilakukan pada hari ke-7 dengan harapan semua hidroperoksida yang terbentuk sebagai hasil oksidasi asam linoleat sudah mengalami dekomposisi menjadi MDA. Intensitas warna yang terbentuk pada sampel menunjukkan potensi antioksidasi. Semakin pudar warna merah yang terbentuk berarti semakin baik potensi antioksidasi yang dimiliki (Kikuzaki dan Nakatani, 1993). Asam linoleat tanpa penambahan ekstrak (kontrol) memiliki intensitas warna yang lebih pekat dibandingkan dengan perlakuan ekstrak pada berbagai konsenterasi (lampiran 8). Konsenterasi MDA yang tertinggi yaitu 24.60 μM dihasilkan oleh asam linoleat tanpa perlakuan ekstrak KBLK dan KBLB. Konsenterasi MDA yang terbentuk pada hari ke 7 (tabel 8). Tabel 8 Konsenterasi MDA oksidasi linoleat metode TBA Perlakuan Asam linoleat α – tokoferol 200 ppm KBLK EtOH 50 ppm KBLK EtOH 100 ppm KBLK EtOH 200 ppm KBLK EtOH 500 ppm KBLK EtOH 1000 ppm KBLB EtOH 50 ppm KBLB EtOH 100 ppm KBLB EtOH 200 ppm KBLB EtOH 500 ppm KBLB EtOH 1000 ppm
Rata-rata MDA (µM) 24,60 5,46 14,84 8,02 4,22 5,91 6,64 6,51 5,09 3,63 5.31 5,15
Daya hambat oksidasi Pada KBLK konsenterasi yang memiliki daya hambat oksidasi terbaik adalah 200 ppm sebesar 82,83 % sedangkan untuk KBLB daya hambat oksidasi terbaik juga pada konsenterasi 200 ppm yaitu 85,22 % (gambar 12). α-tokoferol atau vitamin E sebagai kontrol positif telah diketahui memiliki aktivitas
42
antioksidan dan digunakan secara umum. Dengan demikian dibandingkan dengan daya hambat kontrol positif α-tokoferol pada konsenterasi 200 ppm yaitu 78,8% maka ekstrak KBLK dan KBLB pada konsenterasi yang sama memiliki aktivitas daya hambat oksidasi asam linoleat yang lebih baik.
(a)
(b) Gambar 12 Daya hambat oksidasi asam linoleat ekstrak. (a) KBLK EtOH (b) KBLB EtOH Hasil penelitian ini membuktikan bahwa ekstrak etanol kulit batang langsat
baik
KBLK
maupun
KBLB
memiliki
aktivitas
penghambatan
pembentukan MDA pada asam linoleat. Khusus pada KBLB konsenterasi 500
43
ppm dan 1000 ppm juga menunjukkan aktivitas daya hambat oksidasi asam linoleat yang lebih baik dibandingkan dengan α-tokoferol. Aktivitas antioksidasi ini diakibatkan oleh kandungan komponen fenolik seperti flavonoid, saponin dan tanin yang teridentifikasi terdapat pada ekstrak KBLB EtOH dan KBLK EtOH. Salah satu produk peroksidasi lipid adalah MDA. Peroksidasi lipid mudah terjadi pada asam lemak berantai panjang dengan lebih dari satu ikatan rangkap seperti linoleat, linolenat dan arakidonat. Asam-asam lemak tersebut adalah konstituen membran sel yang terikat pada fosfolipid, glikolipid dan kolesterol (Murray et al. 2003). Pada sel hewan peroksidasi membran menyebabkan membran
kehilangan
permiabilitas,
menjadi
reaktif
dan
nonfungsional.
Peroksidasi lipid dapat menghasilkan oksigen tunggal, hidroperoksida dan epoksida lipid. Aldaheida yang dapat terbentuk pada peroksidasi lipid adalah malondialdehida (MDA) dan 4-hidroksinonenal (4-HNE). MDA adalah metabolit utama pada asam lemak arakidonat (20:4). Uji MDA (TBARS) digunakan untuk mengukur peroksidasi yang terjadi pada membran lipid. 4-HNE dihasilkan oleh arakidonat melalui autooksidasi. 4-HNE bereaksi dengan komponen seluler lebih kuat dibandingkan dengan MDA. Oleh karena itu 4-HNE lebih toksik dibandingkan MDA akan tetapi tidak reaktif dengan TBA (Best, 2007).
Gambar 13 Peroksidasi lipid pada asam lemak tak jenuh rantai panjang (Murray et al. 2003) Spesies radikal oksigen menyerang basa nitrogen pada asam nukleat, asam amino pada protein, ikatan rangkap pada asam lemak rantai panjang dimana gugus hidroksil adalah penyerang yang paling kuat. Serangan ROS ini menyebabkan stres oksidatif. Selain peroksidasi lipid, radikal bebas juga dihasilkan oleh
44
sejumlah
reaksi
seluler
yang
berasosiasi
dengan
kerja
sistem
enzim
lipooksigenase, NADPH oksidase dan xantin oksidase.
MDA
TBA
Produk
Gambar 14 Reaksi MDA dan TBA Salah satu cara yang digunakan untuk mengetahui terjadinya peroksidasi lipid adalah dengan mengukur produk sekundernya yaitu malondialdehid. MDA adalah molekul berkarbon tiga dengan berat molekul yang rendah yang hasil aktivitas peroksidase pada asam lemak tak jenuh rantai panjang. Analisis MDA dengan metode TBA telah banyak dilakukan dalam mengetahui peroksidasi lipid pada sistem biologis. Prinsipnya adalah dengan mereaksikan MDA dan TBA dalam kondisi asam setelah dipanaskan (Tukozkan et al. 2006). MDA berikatan dengan TBA membentuk larutan berwarna merah yang dapat diukur pada panjang gelombang 532 nm (Behbahani, et al. 2007). Aktivitas radikal bebas hasil peroksidasi lipid dan sistem enzim oksigenase lain apabila terus menerus menyerang asam lemak membran sel akan menyebabkan banyak kerusakan patologis. Akumulasi kerusakan akibat radikal bebas pada jaringan in vivo antara lain menyebabkan kanker, inflamasi dan aterosklerosis. Banyak penelitian melaporkan bahwa aktivitas antioksidasi enzimatis yang ada dalam tubuh tidak mencukupi untuk menetralkan radikal bebas yang ada dalam tubuh. Daya hambat oksidasi asam linoleat yang ditunjukkan oleh ekstrak etanol KBLK dan KBLB lebih baik dibandingkan dengan α-tokoferol. Kedua ekstrak tersebut mengandung senyawa golongan polifenol. Flavonoid dengan gugus ohidroksil (visinal trihidroksil) pada konsenterasi fisiologis dapat menghambat peroksidasi lipid pada sel caco-2 usus dengan menghambat pembentukan MDA (Peng & Kuo, 2003). Flavonoid yang bersifat lebih hidrofilik berinteraksi dengan
45
bagian kepala yang bersifat polar dari lipid membran melalui ikatan hidrogen. Interaksi ini menyebabkan perlindungan membran bilayer dari serangan dari luar ataupun dari dalam misalnya oksidan (Oteiza et al, 2005). Hal ini menguatkan bahwa kandungan fitokimia yang ada pada ekstrak KBLK dan KBLB berpotensi sebagai antioksidasi. Aktivitas daya hambat oksidasi KBLK dan KBLB terbaik pada konsenterasi 200 ppm memperkuat kesimpulan penelitian dari Eridani (2006) yang menyatakan beberapa ekstrak tumbuhan obat yaitu mahkota dewa, daun dewa, sambung nyawa dan temu putih menunjukkan aktivitas menghambat proses oksidasi dengan menekan produksi MDA rata-rata hingga seperlima pada konsenterasi 200 ppm.
Gambar 15 Perbandingan Aktivitas Antioksidan Metode DPPH dan TBA Dengan menggunakan dua metode pengujian antioksidasi diharapkan diperoleh perbandingan aktivitas antioksidasi ekstrak KBLK dan KBLB. Aktivitas antioksidasi metode DPPH ekstrak KBLK EtOH dan KBLB EtOH menunjukkan peredaman radikal yang kuat. Nilai IC50 kedua ekstrak etanol tersebut yang lebih kecil dari kontrol BHT menunjukkan kemampuan meredam radikal bebas DPPH* oleh senyawa fitokimia yang terkandung dalam ekstrak yaitu alkaloid, flavonoid, saponin dan tanin sangat kuat. Demikian pula kedua ekstrak tersebut menunjukkan aktivitas penghambatan proses oksidasi dengan menghambat pembentukan MDA (gambar 15). Flavonoid, tanin, saponin dan alkaloid dapat
46
menetralkan radikal bebas dengan memberikan elektronnya bagi radikal bebas penginisiasi terjadinya reaksi peroksidasi lipid. Baik dengan metode DPPH maupun metode TBA memiliki aktivitas antioksidasi yang lebih kuat dibandingkan dengan kontrol positif yaitu BHT untuk DPPH dan α-tokoferol untuk TBA. Hal ini membuktikan bahwa kedua ekstrak ini berpotensi antioksidasi dan dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai sumber senyawa fitokimia antioksidasi.
Aktivitas Antikanker Pada Sel Murine Leukimia P-388 Aktivitas sitotoksik ekstrak kulit batang langsat (L. domesticum L.) pada berbagai jenis ekstrak diketahui melalui nilai IC50 yaitu konsenterasi dimana lima puluh persen sel murine leukimia P388 mati atau tidak viabel setelah diberikan perlakuan ekstrak. Ekstrak KBLK EtOH menunjukkan nilai IC50 12,00 ppm sedangkan ekstrak KBLB EtOH IC50 15.48 ppm (gambar 16). Menurut National Cancer Institute suatu ekstrak kasar tumbuhan memiliki efektivitas sitotoksik dan berpotensi antikanker apabila memiliki nilai IC50 ≤ 20 ppm. Dengan demikian kedua ekstrak tersebut memiliki aktivitas sitotoksik pada sel murine leukimia P388 yang kuat. Oleh karena itu potensial dikembangkan dalam rangka penelusuran sumber bioaktif baru antikanker dari bahan tumbuhan. Penelitian akhir-akhir ini telah banyak membuktikan bahwa substansi fitokimia dari tumbuhan berperan penting dalam melindungi membran sel melawan kondisi patologis seperti karsinogenesis, aterosklerosis dan mutagenesis. Beberapa penelitian ekstrak tumbuhan yang berpotensi antikanker antara lain dilaporkan oleh Hakim et al. (2003) bahwa Artocarpus champeden mengandung senyawa golongan flavonoid yaitu prenilflavonoid yang menunjukkan aktivitas sitotoksisitas yang kuat (IC50<20 ppm) terhadap sel kanker murine leukimia P388. Senyawa UK-3A yang diisolasi dari miselium Streptomyces sp memiliki aktivitas pertumbuhan sel kanker pada sel murine leukimia P388 dengan aktivitas sebesar IC50 38 ppm. Senyawa 2’4’-dihidroksi-3’,5’,6’-trimetoksi calkon suatu senyawa dari kulit batang Cryptocarya costata memiliki aktivitas sitotoksik yang tinggi terhadap sel murine leukemia P388 dengan IC50 sebesar 3,65 ppm (Usman et al. 2005)
47
Gambar 16 Perbandingan Aktivitas toksisitas ekstrak metode BSLT dan Sitotoksik in vitro pada sel murine leukimia P388. Ekstrak akar, umbi, batang dan daun Tyohonium flagelliforme (araceae) menunjukkan aktivitas sitotoksik pada sel murine leukimia p388. Ekstrak kloform dan heksan dari akar memiliki nilai IC50 masing-masing 6.0 ppm dan 15 ppm. Ekstrak heksan batang dan daun menunjukkan aktvitas sitotoksik yang lebih lemah (IC50 65 ppm) dibandingkan dengan ekstrak kloroform (IC50 8.0 ppm) (Choo et al. 2000). Tanshinone I dan Tansinone IIA (diterpen) yang diisolasi dari Salia miltiorrhiza Bunge. menunjukkan aktivitas sitotoksik pada sel murine leukimia p388 dimana menghambat pertumbuhan sel 56,05% sampai 86.76% pada konsenterasi 25 ppm (Mosaddik, 2004). Alkaloid dan lignan yang diisolasi dari Hernandia nymphaeifolia diujikan pada beberapa jenis sel kanker yaitu P388 leukimia, sel epidermoid manusia KB16, sel kanker paru A549, sel kanker usus HT-29 menunjukkan aktivitas sitotoksisitas dengan nilai IC50 < 4 µM. Aktivitasnya dengan menghambat sintesis DNA, RNA dan protein sel kanker. Alkaloid dari Polyalthia longifolia (Annonaceae), Annona montana, dan Artabotrys uncinatus menunjukkan aktivitas sitotoksik pada sel KB dengan IC50 8.2 µM (Stevigny et al. 2005). Ekstrak etanol KBLK dan KBLB mengandung senyawa fitokimia golongan alkaloid, flavonoid dan saponin. Mekanisme sitotoksik yang kuat dari ekstrak etanol KBLK dan KBLB (IC50 masing-masing 12 dan 15,48 ppm) pada sel murine leukimia P388 disebabkan oleh kandungan senyawa fitokimia tersebut.
48
Dari hasil penelitian ini ternyata terdapat hubungan antara aktivitas antioksidasi (metode DPPH dan TBA), toksisitas ekstrak dengan metode BSLT, sitotoksik in vitro pada sel kanker murine leukimia P388 dan kandungan fitokimia ekstrak. Ekstrak KBLK EtOH dan KBLB EtOH dengan nilai toksisitas IC50 pada A. salina Leach terbaik, menunjukkan aktivitas antioksidasi yang kuat baik dengan metode DPPH maupun TBA. Senada dengan hal tersebut uji in vitro antikanker juga menunjukkan nilai IC50 yang kuat (tabel 9). Dengan demikian dapat disimpulkan ekstrak etanol kulit batang langsat (L. domesticum L.) berpotensi sebagai sumber senyawa fitokimia dalam rangka pengembangan obat bahan alam antioksidasi dan antikanker. Tabel 9 Perbandingan aktivitas antioksidasi, toksisitas, antikanker dan kandungan fitokimia ekstrak etanol kulit batang Langsat. Metode Antioksidasi IC50 Antikanker sel IC50 DPPH TBA* P388 (ppm) (ppm) KBLK EtOH 93.48 174.19 82.83 12.00 KBLB EtOH 100.37 205.38 85.22 15.48 *) Persen daya hambat oksidasi pada konsenterasi 200 ppm (mg/L) **) A=alkaloid, F=flavonoid, S=saponin, T=tanin Ekstrak
IC50 BSLT (ppm)
Fitokimia A, F, S, T** A, F, S, T**
Mekanisme Sitotoksik pada Sel kanker dari Flavonoid, Saponin dan Alkaloid Mekanisme antikanker dari senyawa fitokimia golongan flavonoid, saponin dan alkaloid telah banyak dilaporkan. Berikut ini adalah beberapa mekanisme sitotoksik yang paling banyak diterima yang disebabkan oleh senyawa fitokimia tersebut. Tumor necrosis factor-related apoptosis-inducing ligand (TRAIL) menginduksi apoptosis pada banyak jenis sel tumor melalui interaksi dengan death domain containing receptor, death receptor 5 (DR5) yang juga disebut TRAIL-R2. Studi in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa TRAIL tidak bersifat toksik pada sel normal. Oleh karena itu TRAIL merupakan subjek yang menjanjikan untuk terapi kanker. Walaupun beberapa tumor resisten dengan induksi TRAIL untuk apoptosis. DR5 diregulasi oleh gen p53 (tumor suppressor gene). Inaktivasi DR5 dengan signifikan meningkatkan pertumbuhan tumor secara in vitro dan in vivo. Ekspresi DR5 memberikan kontribusi signifikan induksi
49
apoptosis pada sel tumor oleh TRAIL. Oleh karena itu DR5 menjadi target terapi molekuler. Apigenin (flavonoid) meregulasi ekspresi DR5 dan secara sinergis meningkatkan induksi apoptosis oleh TRAIL pada banyak tipe sel tumor tetapi tidak pada sel normal. Apigenin mencegah degradasi protein DR5 dan secara signifikan meningkatkan protein DR5 pada fraksi membran, dimana apigenin sangat meningkatkan mRNA DR5. Apigenin menghambat aktivitas proteosom yang dapat mendegradasi DR5. Secara singkat dapat dikatakan flavonoid apigenin menginduksi ekspresi DR5 melalui regulasi bebas dari p53 dan apigenin secara sinergis dengan TRAIL menginduksi apoptosis pada sel tumor (Horinaka et al. 2006). Pada penelitian yang lain Frigo et al. (2002) melaporkan bahwa flavonoid seperti apigenin, flavon dan kalkon dapat menghambat aktivasi AP-1 yaitu suatu aktivator protein pada protoonkogen. Flavonoid dan senyawa polifenol lain dapat menghambat toposiomerase IB (topo I) pada manusia. Beberapa flavonoid juga menunjukkan kemampuan menginterkalat DNA (Webb, 2004). Ekstrak etanol KBLK dan KBLB mengandung flavonoid. Kuatnya sitotoksik ekstrak pada sel murine leukimia P388 dapat disebabkan oleh flavonoid yang mencegah degradasi DR5, menginduksi ekspresi protein DR5 yang menyebabkan induksi apoptosis pada sel murine leukimia P388. Flavonoid pada ekstrak juga dapat menghambat kerja topoisomerase IB (topo I) sehingga proses replikasi DNA tidak terjadi yang berarti sel tidak membelah pada akhirnya akan mati. Permasalahan utama dalam kemoterapi kanker saat ini adalah reaksi resistensi obat kanker yang terjadi pada membran sel kanker. Mekanisme resistensi obat yang menyebabkan penurunan akumulasi obat pada sel kanker adalah overekspresi P-glycoprotein (Pgp) pada plasma membran. Pgp memompa obat keluar dari sel. Khantamat et al. (2004) melaporkan bahwa flavonoid kaempferol dapat dikombinasi dengan obat antikanker seperti vinblastine untuk mencegah ekspresi gen resisten obat pada membran sel kanker. Kaempferol berperan sebagai modulator intraseluler kandungan obat dengan menghambat Pgp pada sel KB-V1 (sel kanker serviks manusia). OSW-1 derivat cholestane termasuk pada golongan saponin yang diisolasi dari Ornithogalum saudersiae bersifat sitotoksik pada beberapa sel kanker. Pada
50
konsenterasi nanomolar menunjukkan aktivitas sitotoksik yang lebih kuat 10 sampai 100 kali dari obat antikanker klinis mitomycin dan doxorubicin. Mekanisme sitotoksik OSW-1 dengan menginduksi apoptosis pada mitokondria pada sel mamalia oleh karena itu dikelompokkan agen induksi apoptosis mitokondria (Kubo et al. 1992; Mimaki et al. 1997; Zhu, 2005). Ekstrak KBLK dan KBLB mengandung saponin yang juga dapat memberikan pengaruh sitotoksik melalui mekanisme induksi apoptosis pada mitokondria dari sel murine leukimia P388. Alkaloid dari daun pepaya (Carica papaya L.) dapat menghambat enzim topoisomerase II pada kultur sel kanker mieloma. Dengan dihambatnya aktivitas enzim DNA topoisomerase, maka proses terjadinya ikatan antara enzim dengan DNA sel kanker semakin lama. Akibatnya akan terbentuk Protein Linked DNA Breaks (PDLB) sehingga terjadi fragmentasi atau kerusakan DNA sel kanker dan selanjutnya berpengaruh terhadap proses replikasi sel kanker (Sukardiman et al. 2006). Alkaloid dapat menghambat proses mitosis, menyebabkan gangguan struktur dan fisiologis membran sel yang berarti terjadi gangguan signaling seluler menyebabkan sel tidak memiliki kemampuan membelah (Gill et al. 2001; Jujena et al. 2001). Kedua jenis ekstrak etanol dalam penelitian ini baik KBLK maupun KBLB memiliki kandungan metabolit sekunder golongan alkaloid. Alkaloid tersebut dapat menghambat kerja enzim topoisomerase II, menghambat mitosis, dan menyebabkan gangguan struktur dan fisiologis pada membran sel murine leukimia P388 sehingga sel tersebut tidak dapat membelah kemudian mati. Golongan senyawa fitokimia yang terdapat pada ekstrak etanol kulit batang L. domesticum L. memiliki kemungkinan berperan sitotoksik pada sel kanker, menghambat aktivasi aktivator protein protoonkogen AP-1 sehingga tidak terjadi perkembangan sel kanker juga dapat dikombinasi dengan obat antikanker untuk menekan overekspresi P-glycoprotein (Pgp) yang menyebabkan resistensi obat antikanker. Dengan demikian dapat disimpulkan aktivitas antikanker dari ekstrak etanol KBLK dan KBLB disebabkan oleh kandungan golongan senyawa alkaloid, flavonoid dan saponin yang terkandung pada kedua jenis ekstrak tersebut.