37
HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Ekstrak Peptida Pasak Bumi Akar kayu pasak bumi didatangkan dari Kalimantan Timur, berbentuk potongan-potongan kayu dengan panjang ± 50 cm dan diameter 1.5 sampai 5 cm. Potongan akar kayu tersebut sebelum dikirim telah dijemur, namun kurang kering dan juga karena kelembaban udara, sehingga jika disimpan akan ditumbuhi jamur. Penjemuran ulang perlu dilakukan dan bahan baku akan mengalami penyusutan bobot 10 hingga 15%. Potongan kayu ELJ kering diserut dengan mesin dan diserpih secara manual untuk potongan kecil yang tersisa. Hasil serutan dan serpihan tersebut kemudian digiling menggunakan mesin giling tipe Diskmill hingga berukuran cukup halus. Partikel hasil penggilingan seukuran tepung tidak bisa didapatkan karena pada saringan dengan diameter lubang 3 mm material tersendat. Bahan berupa kayu dengan serat kasar yang sangat tinggi tersebut memiliki tekstur yang liat dan tidak mudah pecah/putus sehingga sulit untuk dibuat halus.
Saringan mesin yang
digunakan akhirnya adalah yang berdiameter lubang 5 mm. Serbuk yang dihasilkan diayak dengan diameter lubang ayakan 1 mm. Bagian yang tidak lolos ayakan digiling kembali. Kehalusan ukuran partikel bahan yang diekstrak berpengaruh pada mudah atau tidaknya bahan baku diambil ekstraknya. Bahan baku dalam bentuk serbuk lebih mudah diekstrak dibandingkan bentuk simplisia. Keberadaan lemak di dalam bahan yang akan diekstrak peptidanya dapat mengganggu proses ekstraksi, karena lemak dapat berikatan dengan peptida membentuk lipopeptida. Lemak perlu diekstrak terlebih dahulu dengan pelarut yang umum digunakan, yaitu heksana. Besarnya volume bahan yang akan diekstrak lemaknya, menyebabkan ekstraksi hanya dapat dilakukan dengan cara maserasi panas berulang. Cara ini cukup efektif di mana sebagian besar (95.53%) kandungan lemak pada bahan dapat terekstrak. Kandungan lemak bahan yang rendah yaitu 0.99% atau 4.95 g dalam 500 g bahan, belum akan mencapai titik jenuh dengan volume heksana 5000 ml. Bahan baku yang akan diekstrak dianalisis komposisi kimianya terlebih dahulu, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kandungan peptida/protein yang akan
38 diekstrak serta kadar kandungan lain yang mempengaruhinya. Hasil analisis komposisi kimia bahan baku ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil analisis proksimat komposisi nutrisi serbuk ELJ No.
Komponen
Kadar (%)
1.
Abu
2.46
2.
Lemak
0.99
3.
Protein
2.54
4.
Serat kasar
60.18
5.
BETN
33.83
Tabel 3 memperlihatkan bahwa kandungan protein kasar serbuk ELJ sangat rendah (2.54%). Hal ini wajar karena bahan tersebut bukanlah merupakan sumber protein, meski demikian menurut Sambandan et al. (2006) bagian yang kecil tersebut merupakan komponen bioaktif yang diinginkan. Sebagaimana layaknya bahan berupa kayu, komponen terbesarnya adalah serat kasar (60%). Mengingat bagian tanaman yang diekstrak adalah akar, kemungkinan besar peptida yang terdapat di bagian tersebut merupakan metabolit sekunder. Heldt dan Piechulla (2011) menjelaskan bahwa hormon yang berupa peptida juga terdapat pada tanaman. Saat ini makin banyak bukti bahwa tanaman mengandung peptida sekresi dan nonsekresi yang terlibat dalam pengaturan berbagai aspek pertumbuhan tanaman (misalnya, pertumbuhan kalus dan akar, pengaturan
meristem,
pembentukan
nodul,
reaksi
ketidakcocokan,
dan
pertahanan) Suatu pekerjaan isolasi, menemukan peptida sistemin dari 49 asam amino (yang berasal dari prekursor 115 asam amino) yang diidentifikasi sebagai penyebab alkalisasi cepat dari suspensi media kultur sel tembakau. Peptida ini disebut RALF (Rapid Alkalization Factor). Penerapan Ralf dalam konsentrasi nanomolar menghasilkan aktivasi cepat MAPK, penghentian pertumbuhan akar dan pembesaran sel meristematik. Homolog dari RALF ditemukan dalam banyak jenis tanaman.
39 Tabel 4. Hasil pengerjaan ekstrak peptida akar ELJ No.
Uraian
Jumlah
1.
Bobot bahan (g)
500
2.
Bobot basah ekstrak (g)
3.18
3.
Kadar air ekstrak (%)
4.
Bobot kering ekstrak (g)
2.64
5.
Persentase Hasil (%)
0.53
16.98
Hasil yang diperoleh masih rendah (0.53%), namun cukup wajar bila mengacu pada hasil total ekstrak etanol kental ELJ menurut BPOM (2004) yang hanya 3.3%. Senyawa aktif dari ekstrak ELJ telah teridentifikasi sekitar 90 macam, dan kelompok peptida adalah bagian kecil di antaranya. Ekstrak ELJ pada perdagangan internasional umumnya dibedakan atas perbandingan bahan baku dengan ekstrak sebagai berikut 30:1, 50:1, 100:1 dan 200:1. Semakin tinggi perbandingan bahan baku dengan ekstrak, semakin tinggi pula kandungan bahan aktifnya. Mengacu pada hal tersebut perolehan ekstrak pada penelitian ini berada pada kelompok perbandingan 200:1. Perolehan ekstrak peptida dari suatu bahan fase padat dengan pelarut fase cair dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang berinteraksi maupun tidak. Kombinasi dari level faktor-faktor tersebut perlu dicermati untuk mendapatkan pengaturan yang optimal guna mendapatkan ekstrak maksimal. Bagian ini mengamati pengaruh ukuran partikel, pH basa dan asam, serta lama perendaman dalam larutan basa untuk mendapatkan jumlah ekstrak maksimal. Tabel 5 memperlihatkan bahwa ukuran partikel berpengaruh nyata pada perolehan ekstrak, dan partikel halus menghasilkan ekstrak yang lebih tinggi. Peningkatan hasil dengan ukuran partikel yang lebih halus tersebut sebanyak 110%. Sesuai dengan penjelasan dalam Asep et al. (2008) bahwa semakin kecil ukuran matriks yang diekstrak semakin besar kontak area cair-padat sehingga waktu yang diperlukan untuk inisiasi maserasi matriks semakin berkurang. Efisiensi ekstraksi bergantung pada transfer massa dari matriks asalnya ke cairan pelarut dan penggelontoran massa dari sel matriks oleh pelarut. Ukuran matriks yang lebih kecil menyebabkan lebih pendeknya jalan
40 difusi internal dari zat terlarut untuk mencapai fase fluida dan menurunnya resistensi difusional pada fase padat tersebut. Tabel 5. Rerata perolehan ekstrak peptida dengan ukuran partikel, pH, serta lama perendaman yang berbeda Partikel* Halus Halus Halus Halus Halus Halus Kasar Kasar Kasar Kasar Kasar Kasar
Peubah pH Basa* Durasins 10.5 10.5 10.5 8.5 8.5 8.5 10.5 10.5 10.5 8.5 8.5 8.5
30 menit 30 menit 150 menit 30 menit 30 menit 150 menit 30 menit 30 menit 150 menit 30 menit 30 menit 150 menit
pH Asamns
Hasil
3.5 4.5 4.5 3.5 4.5 4.5 3.5 4.5 4.5 3.5 4.5 4.5
0.520 0.412 0.538 0.278 0.108 0.112 0.310 0.156 0.092 0.266 0.064 0.050
Keterangan : * Berpengaruh nyata (P<0.05) pada hasil ekstrak Partikel halus adalah serbuk akar ELJ yang lolos pada lobang ayakan berdiameter 1 mm sedangkan partikel kasar tidak lolos Durasi adalah lama perendaman simplisia dalam suasana basa.
Kelarutan peptida dari serbuk ELJ terlihat lebih tinggi pada pH 10.5 dibanding pH 8.5, peningkatan tersebut sebesar 130%. Pemilihan suasana basa sebagai pH selama ekstraksi berdasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar asam amino akan bermuatan negatif pada pH di atas titik isoelektriknya. Muatan yang sejenis memiliki gaya tolak menolak, sehingga menyebabkan interaksi antara residu asam amino minimum dan kelarutan peptida akan meningkat (Cheftel et al. 1985). Lehninger (1982) menyatakan pengaruh pH didasarkan pada adanya perbedaan muatan antara asam-asam amino penyusun protein. Daya tarik menarik yang paling kuat antarprotein yang sama terjadi pada pH isoelektrik, sedangkan pada pH di atas dan di bawah titik isoelektrik protein akan mengalami perubahan muatan yang menyebabkan menurunnya daya tarik menarik antarmolekul protein, dan molekul lebih mudah terurai. Semakin jauh perbedaan pH dari titik isoelektrik maka kelarutan protein akan semakin meningkat.
41
Kasar
Halus 12 10
Halus
8 Kasar
Halus
6 4
Basa
2 Kasar
Halus
0
Asam Hasil
Kasar
Halus
Kasar
Halus Kasar
Keterangan : Guna memperjelas tampilan, nilai hasil ekstrak dikali 5
Gambar 4. Pengaruh ukuran partikel, tingkat basa, dan asam pada perolehan ekstrak peptida Menurut Harborne (1987) protein tumbuhan umumnya mempunyai lebih banyak asam amino asam dibanding asam amino basa sehingga jumlah muatannya akan negatif dan akan begerak ke anoda. Seperti asam amino, protein yang larut dalam air akan membentuk ion yang mempunyai muatan positif dan negatif. Molekul protein akan membentuk ion positif dalam suasana asam, sedangkan dalam suasana basa akan membentuk ion negatif. Protein mempunyai muatan positif dan negatif yang sama pada titik isoelektriknya, sehingga tidak bergerak ke arah elektroda positif maupun negatif apabila ditempatkan di antara kedua elektroda tersebut. Protein mempunyai titik isoelektrik yang berbeda-beda. Titik isoelektrik protein mempunyai arti penting karena pada umumnya sifat fisika dan kimia erat hubungannya dengan pH isoelektrik ini. Protein bermuatan negatif.pada pH di atas titik isoelektriknya, sedangkan di bawah titik isoelektriknya protein bermuatan positif. Titik isoelektrik albumin adalah pada pH 4.55-4.90. Adanya gugus amino dan karboksil bebas pada ujung-ujung rantai molekul protein, menyebabkan protein mempunyai banyak muatan (polielektrolit) dan bersifat amfoter (dapat bereaksi dengan asam maupun basa). Daya reaksi berbagai jenis
42 protein terhadap asam dan basa tidak sama, bergantung pada jumlah dan letak gugus amino dan karboksil dalam molekul. Gugus amino bereaksi dengan H+ dalam larutan asam (pH rendah), sehingga protein bermuatan positif. Sebaliknya, dalam larutan basa (pH tinggi) molekul protein akan bereaksi sebagai asam atau bermuatan negatif. Muatan gugus amino dan karboksil bebas akan saling menetralkan pada pH isoelektrik, sehingga molekul bermuatan nol (Winarno 2002). Penambahan asam klorida (HCl) yang bersifat asam kuat mengakibatkan terdapatnya ion H+ yang berlebih, yang menunjukkan adanya kekeruhan dan endapannya lebih banyak pada proses pemanasan. Keelektronegatifan asam kuat lebih besar sehingga menarik ikatan elektron lebih kuat daripada atom hidrogen, dan lebih mudah dalam pembentukan ion H+. Kekuatan asam meningkat dengan naiknya keelektronegatifan atom X pada ikatan H−X. Karakteristik Ekstrak Peptida Pasak Bumi Analisis proksimat dilakukan terhadap ekstrak peptida yang dikomposit dari beberapa ulangan ekstraksi. Tabel 6. Komposisi ekstrak peptida hasil analisis proksimat No.
Komponen
Kadar (%)
1.
Abu
8.53
2.
Lemak
6.13
3.
Protein
34.57
4.
Serat kasar
3.50
5
BETN
47.26
Hasil analisis proksimat ekstrak tersebut menunjukkan bahwa kandungan protein/peptide masih sangat rendah untuk dapat disebut sebagai isolat. Menurut Natarjan (1980) isolat protein dari kacang-kacangan biasanya kandungan proteinnya 90-95% sedangkan konsentrat protein kandungannya 65-70%. Rendahnya kandungan peptida/protein ekstrak disebabkan karena bahan baku yang digunakan bukanlah bahan yang berprotein tinggi seperti kacang-kacangan. Selain itu kemungkinan protein/peptida terekstrak banyak yang merupakan protein kompleks
43 dengan senyawa karbohidrat atau glikopeptida sebagaimana yang dinyatakan sebelumnya. Penghitungan persentase recovery ekstrak peptida sebagai berikut : Jumlah peptida serbuk bebas lemak
:
11.00 g
Jumlah peptida ekstrak yang diperoleh :
0.91 g
Persentase recovery isolat
:
8.30 %
Kadar peptida/protein pada serbuk merupakan kadar protein kasar yang ditentukan dengan metode Kjeldahl. Metode ini mengukur kadar protein berdasarkan jumlah N total di dalam sampel. Kenyataannya, senyawa fitokimia yang mengandung N bukan hanya merupakan peptida, antara lain ada senyawa alkaloid yang porsinya cukup dominan dari keseluruhan metabolit sekunder tanaman. Alkaloid tidak larut dalam air, sehingga tidak banyak terikut di dalam ekstrak. Sebaliknya jumlah N yang terukur pada ekstrak diperkirakan sebagian besar merupakan N dari senyawa peptida. Perbedaan tersebut menyebabkan nilai persentase recovery isolat menjadi rendah. Analisis elektroforesis menggunakan marker LMW Amersham dengan rentang 14.4 – 97.0 kD (SDS-PAGE I) dan marker Spectra MLRPL dengan rentang 42 - 1.7 kD (SDS-PAGE II). Pelaksanaan SDS-PAGE I melakukan running dua gel secara bersamaan, masing-masingnya berseberangan pada sisi aparatus. Pewarnaan kedua gel dilakukan berbeda, masing-masing dengan komasie blue dan silver. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh perbandingan guna mendapatkan hasil yang lebih baik. Pewarnaan silver pada pekerjaan ini menghasilkan nilai R2 hubungan Rf dan BM yang lebih tinggi serta memperlihatkan band yang lebih jelas, sehingga gel ini digunakan untuk pembahasan selanjutnya. Jumlah band yang muncul pada SDS-PAGE I masing-masing pita cukup banyak berkisar antara 14 hingga 20 band, tetapi hanya terdapat 2 band yang dominan. Jarak kedua band dominan tersebut dari dasar sumur ditampilkan pada Tabel 7. Kedua band yang dominan muncul pada separuh bagian bawah dari pita. Hal ini menunjukkan mereka memiliki bobot molekul yang relatif rendah. Band I
44 terindiikasi sebagaai kelompok protein ovaalbumin dann band II meerupakan prrotein α-lakttalbumin.
Mr (kkD)Marker
A
B
C
D
E
F
97.0 66.0 45.0
30.0
20.1 14.4
H Hasil SDS PAGE I pewarnaan kom masie Mr(kD) Markerr
A
Hasil SDS PAGE I pew warnaan silver B
C
D
E
F
42 26 17 10 4.6
Hasil SDS PAG GE II dengan marrker berat moleku ul lebih rendah Keteraangan : e sendiri daari lima ulangan A-E = peptiide/protein hasil ekstrak ™ F = peptiida/protein dari LJ100 L
Gam mbar 5. Analisis gel SDS--PAGE peptida pasak buumi Band tungggal yang teerlihat pada eurypeptide® memiliki bobot mo olekul sekitarr 17.7 kD juuga terdapatt pada beberrapa protein hasil ekstraak sendiri, meski m bukan merupakann band yanng dominan.. Hal ini leebih jelas tterlihat padaa gel pewarrnaan komassie blue. Pennumpukan ppeptida yangg cukup kenntal terlihat pada batas bawah b gel, baik b pada geel pewarnaann silver mauupun gel pew warnaan kom masie blue menunjukka m an bahwa mayoritas m peeptida yang terekstrak memiliki bobot b molekkul di bawah h 14.4 kD. Peptida denngan bobot molekul lebbih rendah lebih disukaai karena sifaat fungsionalnya (Kjell et e al. 2001)
45 Tabel 7. Jarak dan bobot molekul protein pada dua band dominan hasil SDS-PAGE I ekstrak protein Sampel
Band
Jarak (cm)
A
I II I II I II I II I II I II
4.5 3.0 4.5 4.5 2.9 4.0 2.9 5.1
B C D E F
BM (Da) 22 405.78 40 635.91 22 405.78 22 405.78 42 281.46 27 324.36 42 281.46 17 658.35
Keterangan : sampel A- E merupakan hasil ekstrak sendiri dan F eurypeptide®
Eurypeptide® menghasilkan band tunggal pada jarak 5.1 cm dengan bobot molekul 17.66 kD, sedangkan peptida/protein hasil ekstraksi sendiri memiliki band yang luas dengan 2 band utama. Hal ini disebabkan karena peptida eurypeptide® merupakan hasil fraksinasi dan pemurnian sedangkan hasil ekstraksi sendiri merupakan peptida/protein total. Meski band utama peptida ekstraksi tidak sama dengan peptida eurypeptide®, namun hasil ekstraksi juga mencakup peptida dengan bobot molekul yang sama dengan eurypeptide®. Demikian juga halnya dengan peptida yang memiliki bobot molekul ≤ 14.4 kD, tampak bahwa besarnya band yang terbentuk antara ekstraksi sendiri dengan eurypeptide® sama. Bagaimanapun hasil yang ditunjukkan pada gel ini belum merupakan bagian yang utama. Mengacu pada Sambandan et al. (2006) bahwa peptida bioaktif dari ELJ yang bertanggungjawab atas peningkatan kadar testosteron adalah glikopeptida dengan bobot molekul 4.3 kD. Hasil SDS-PAGE II memperlihatkan hanya ada sebuah band yang jelas terdeteksi pada sebagian besar ulangan ekstrak. Band tunggal tersebut memiliki berat molekul ± 8.2 kD. Running eurypeptide® pada gel ini tidak menghasilkan satu pun band. Peptida dengan berat molekul < 4.6 kD tidak terdeteksi pada gel ini. Analisis SDS-PAGE untuk peptida dengan berat molekul yang sangat rendah membutuhkan kecermatan yang tinggi dalam pengerjaannya.
46 A Analisis GC C-MS padataan (ekstrak peptida) meenunjukkan bahwa senyyawasenyaw wa volatil sudah tidakk banyak ditemukan. d Beberapa ssenyawa deengan persenntase area beesar teridenttifikasi sebaagai asam organik o alifaatik dengan atom rantai C19. Meski demikian, d peerkiraan jeniis senyawa yang y ditunjuukkan berganntung pada rujukan r keppustakaan yang digunakkan dalam indentifikasi, dalam haal ini databaase yang digu unakan adalah Wiley2755.L.
Gambar 6. Kromatograam endapan dari larutan asam prosess ekstraksi peptida paasak bumi H Hasil analisiis GC-MS menunjukkan m n bahwa end dapan akhir (ekstrak pep ptida) membbawa beberaapa senyaw wa lain yanng di antaaranya adalaah stigmastterol. Stigmaasterol yangg ditemukann berikatan dengan seny yawa lain seperti stigm masta5.22-ddien-3-ol, (3 3.beta); stigmast-5-en-3-ol, (3.beta); (24R)-4-sstigmasten-33-one stigmaa; stigmast-4-en-3-one (CAS) 4-stti dan stigm mast-22-en-33-one, 4-meethyl. Rahmaalia et al. (2011) meenyatakan bahwa b stigm masterol addalah salah satu terpennoid utama yang y ditemuukan pada taanaman ELJJ. Terpenoidd lain yang juga esta-5,22-dien-3; cukup banyak adaalah 24-ethyll-3.alpha,5alpha-cyclo; 23-ethylchol 2 dan senyawa quiinoline. Sen nyawa kelom mpok flavonnoid yang dominan ad dalah
47 b benzopyrone e dan naftaleen. Ditemukan juga senyyawa fitosterrol ergosten,, cholestan, d metil kolesterol yaang secara vvariatif terikat dengan senyawa lain dan n. Alkaloid y yang ditemuukan dalam endapan e antaara lain senyyawa quinoliine; quinoxaaline dan 4p propylamino o-7-nitrobenzo-2-oxa-1, namun porssi senyawa aalkaloid ini ditemukan d dalam jumlaah kecil.
Gambaar 7. Kromattogram supeernatan dari larutan l asam m proses eksttraksi peptida pasak buumi Senyaw wa-senyawaa yang diteemukan pad da supernataan berbeda dari yang d ditemukan p pada endapaan. Jika padaa endapan lebih banyakk didominasi golongan t terpenoid, p pada supernnatan lebih banyak dido ominasi gollongan alkaaloid. Jenis s senyawa yaang ditemukkan dari keedua golong gan tersebutt juga berbeda antara p padatan dan supernatan. Hal ini tenttunya berkaiitan dengan ssifat senyaw wa-senyawa t tersebut dallam pelarutt polar. Goolongan alkaaloid yang dominan antara a lain s senyawa ben nzeneethamiine, N-[pentaafluoro]; dan n 3-(4-N,N-ddimethylamiinophenyl). P Proteksi Peptida Pasak k Bumi darii Degradari Rumen In Vitro b tas sampel tterenkapsulasi melewati rumen secaara in vitro Uji bioavailabilit d dengan tiga metode m enkaapsulasi dipeerlihatkan pad da Gambar 88. Hasil analiisis statistik m menunjukkan n bahwa maacam perlakkuan berpeng garuh sangatt nyata (P< 0.01) pada k kecernaan b bahan organ nik, perbedaaan hanya teerdapat antaara EH denggan semua
48 D baahan organikk nyata paling rendah ppada enkapssulasi perlakuuan lain. Degradasi hidrofo fobik. Hal in ni mengindik kasikan bahw wa enkapsullasi hidrofobbik paling effektif dalam memprotekssi bahan pakkan dari degrradasi ruminal dengan peersentase pro oteksi %. Enkapsuulasi polimerik dan tannin masing-masing hannya mempro oteksi 56.16% 11.86% % dan 14.63% %. 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 EP
EH Ulanggan 1
ET Ulan ngan 2
NE
Ulan ngan 3
Keterangan : K E poliimerik dengan bbahan utama vyynilpyridine/stiirene EP = Enkapsulasi EH = Enkapsulasi E hidrrofobik dengann bahan dasar assam stearat ET = Enkapsulasi E denngan asam tanatt NE = Tanpa T enkapsulaasi
Gambar 8.
Grafik keecernaan (%)) bahan orgaanik sampel di dalam ruumen secara in vitro v
Tingkat degradasi d prrotein/peptidda di dalam m rumen anntara lain dapat d diketahui melalui pengamatan n terhadap volume gas NH N 3 yang terrbentuk. Analisis n (P<0.0 01) di statistiik menunjukkkan bahwa produksi gaas NH3 berbeeda sangat nyata antara perlakuan. Produksi gas NH3 paling rendaah pada EH H kemudian ET, masing g-masing beerbeda nyata dari yang laain, sedangkan EP dan N NE tidak berbbeda. Kemampuaan bahan hiidrofobik teerutama asam m stearat daalam melinddungi peptidda dari degradasi rumen n nyata lebiih tinggi dib banding keddua metode lain. Kebannyakan asam m stearat di d dalam rumen r secaara alami m merupakan hasil biohid drogenase daari asam lem mak tak jenuuh terutama linoleat dann linolenat. Asam A lemakk bebas tidakk jenuh meru upakan kom mponen lipid terbesar yanng meninggaalkan
49 rumen, terdiri atas sepertiganya palmitat dan dua pertiganya stearat (Lock et al. 2006). Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa asam stearat yang terdapat di dalam bahan pakan merupakan produk by pass di rumen 250,00 200,00 150,00 100,00 50,00 0,00 EP
EH Ulangan 1
Keterangan : EP = EH = ET = NE =
Ulangan 2
ET
NE
Ulangan 3
Enkapsulasi polimerik dengan bahan utama vynilpyridine/stirene Enkapsulasi hidrofobik dengan bahan dasar asam stearat Enkapsulasi dengan asam tanat Tanpa enkapsulasi
Gambar 9. Grafik pembentukan gas NH3 (mM) dari sampel di dalam rumen secara in vitro Pertumbuhan dan Konsumsi Ternak Rerata bobot awal domba penelitian adalah 30.43 ±1.41 kg dengan koefisien variasi 4.63%, terlihat bahwa keseragaman cukup tinggi. Keseragaman yang tinggi juga terdapat pada bobot akhir keseluruhan, yaitu 38.83 ± 0.89 kg dengan koefisien variasi 2.29%. Sejalan dengan hal tersebut, pertambahan bobot badan (PBB) berbeda tidak nyata di antara perlakuan, yang berarti bahwa suplementasi peptida ELJ tidak berpengaruh pada pertumbuhan. Tabel 8 juga memperlihatkan bahwa perbedaan yang tidak nyata terdapat pada nilai konsumsi dan konversi pakan. Saat dimulai perlakuan domba berumur ± 1 tahun sehingga telah dewasa kelamin dan memproduksi hormon testosteron. Menurut Ensminger (2002), pubertas domba jantan dimulai pada umur 4-6 bulan. Sasaran dari pemberian ELJ adalah pertumbuhan lean (otot), sedangkan otot menempati porsi sekitar 60% dari
50 bobot karkas atau hanya sekitar 34% dari bobot tubuh. Perbedaan yang kecil dalam pertumbuhan otot tidak akan mudah terdeteksi melalui perubahan bobot hidup yang merupakan akumulasi dari seluruh perubahan bobot komponen tubuh. Menurut Hoosner (2005), pertumbuhan hewan merupakan faktor kuantitatif yang diukur secara objektif melalui perubahan panjang dan bobot tubuh. Pengukuran pertumbuhan dengan penimbangan bobot tubuh adalah cara yang paling mudah dan umum. Selain itu, perubahan kualitatif terjadi pada proporsi tubuh dan fungsi yang menyertai pematangan dan peningkatan ukuran tubuh. Kualitas pertumbuhan otot juga penting untuk produksi daging konsumsi, dan rasio lemak intramuskular terhadap otot merupakan ukuran penting dari kualitas daging. Tabel 8. Kinerja pertumbuhan dan konsumsi pakan domba percobaan Perlakuan
Peubah Bobot Awal (kg) Bobot Akhir (kg) PBBH/ekor (g) Konsumsi/hari (g) Nisbah Pakan/PBB
P0
P1
P2
30.500 ± 987 38.650 ± 412 75.5 ± 10.9 844 ± 11 11.29 ± 1.93
30.250± 719 39.150± 823 82.4± 10.7 847± 7 10.32± 1.25
30.550 ± 1684 38.600 ± 712 74.5 ± 11.8 850 ± 14 11.51 ± 1.79
P3 30.425 ± 2364 38.900 ± 1545 78.5 ± 13.0 847 ± 14 10.94 ± 2.11
Keterangan : PO = tanpa pemberian peptida/LJ100 (kontrol) P1 = pemberian peptida ELJ terenkapsulasi 1.5 mg/kg BB P2 = pemberian peptida ELJ terenkapsulasi 3 mg/kg BB P3 = pemberian LJ100™ terenkapsulasi 1 mg/kg BB
Rerata PBB keseluruhan ternak adalah 8.39 ± 1.18 kg dan PBBH adalah 78 ± 11 g. PBBH tersebut lebih rendah dibanding yang didapatkan oleh Herman (1993) pada jenis domba yang sama. Selain karena perbedaan kualitas pakan, lebih rendahnya PBBH yang didapat juga disebabkan pengukuran yang didasarkan pada kondisi fisiologis ternak yang berbeda. Nilai PBBH yang didapatkan sebanding dengan yang diperoleh Hasnudi (2004) pada domba lokal sumatera dan sei putih dan lebih tinggi dibanding Rianto et al. (2006) pada jenis domba yang sama. Utilisasi Nitrogen Pakan Sebelum memasuki masa perlakuan rerata kecernaan bahan kering total unit percobaan adalah 72.1 ± 5.6 %. Nilai kecernaan bahan kering tersebut hampir
51 setara dengan yang didapatkan Saka (1997), namun jauh lebih tinggi dibanding yang diperoleh Mahesti (2009). Kualitas pakan kemungkinan besar menjadi penyebab perbedaan tersebut. Kadar serat kasar yang rendah yang mengakibatkan TDN pakan menjadi tinggi berkontribusi besar terhadap tingginya kecernaan BK pakan. Nilai kecernaan bahan kering pakan secara paralel akan diikuti oleh kecernaan protein, karena perhitungannya didasarkan pada variabel pengamatan yang sama. Hal ini berbeda dari nilai retensi N, dimana variabel ini dipengaruhi banyak faktor lain. Semua variabel pada kondisi sebelum perlakuan tidak signifikan berbeda di antara perlakuan dan keseragamannya tinggi, meski neraca N terlihat cenderung lebih tinggi pada P2 dan P3. Tabel 9. Utilisasi nitrogen (N) pakan oleh domba menjelang dan akhir perlakuan Tingkat Efisiensi N (%)
Perlakuan P0
P1
Pra perlakuan Kecernaan BK (%) Kecernaan Protein Retensi N (g) Retensi N (%Ko) Retensi N (% Trc) Neraca N (mg/Kg0,75) Akhir perlakuan Kecernaan BK (% Kecernaan Protein Retensi N (g) Retensi N (%Ko) Retensi N (% Trc) Neraca N (mg/Kg0,75)
69.8 ± 7.21 72.26 ± 6.64 59.85 ± 4.58 53.44 ± 4.37 74.15 ± 5.74 714.36 ± 71.26
72.4 ± 5.25 75.39 ± 4.69 51.00 ± 7.48 45.17 ± 6.46 59.78 ± 6.14 602.73 ± 81.23
69.89 ± 8.84 71.80 ± 7.82 87.28 ± 5.43 51.27 ± 7.04 71.56 ± 8.31 959.61 ± 69.09
71.21 ± 6.34 72.13 ± 6.61 80.33 ± 7.78 45.12 ± 5.52 62.47 ± 3.09 868.79 ± 86.82
%Peningkatan Neraca N
34.91 ± 11.55
44.98 ± 12.06
P2 76.0 ± 4.87 77.37 ± 4.33 65.70 ± 6.43 59.08 ± 5.86 76.24 ± 3.92 765.61 ± 77.63
P3 72.1 ± 6.30 76.39 ± 3.28 58.85 ± 11.18 51.52 ± 9.27 67.23 ± 9.93 699.29 ± 159.28
73.67 ± 4.69 73.19 ± 2.55 75.74 ± 4.66 74.51 ± 3.47 103.77 ± 20.26 96.22 ± 13.35 57.23 ± 9.07 52.39 ± 5.70 75.34 ± 8.46 70.21 ± 5.59 1124.91 ± 205.48 1047.97 ± 142.76 46.78 ± 20.83
53.30 ± 27.55
Keterangan : PO = tanpa pemberian peptida/LJ100 (kontrol) P1 = pemberian peptida ELJ terenkapsulasi 1.5 mg/kg BB P2 = pemberian peptida ELJ terenkapsulasi 3 mg/kg BB P3 = pemberian LJ100™ terenkapsulasi 1 mg/kg BB Retensi N (%Ko) = Persentase N teretensi terhadap konsumsi Retensi N (% Trc) = persentase N teretensi terhadap kecernaan
P3 memperlihatkan peningkatan yang konstan pada semua variabel, sedangkan P2 berfluktuasi. Kecernaan BK pakan P2 paling banyak penurunannya di antara semua perlakuan, namun jumlah N yang diretensinya juga paling tinggi, terindikasi bahwa tidak ada hubungan retensi N dengan tingkat kecernaan BK. Hal ini kemungkinan karena faktor-faktor yang pengaruhnya dominan bervariasi dalam rank yang sempit, sehingga pengaruh tersebut tidak terlihat.
52 Tingkat konsumsi dapat mempengaruhi proses metabolisme protein, yaitu semakin tinggi konsumsi akan dapat menurunkan waktu degradasi protein pakan oleh mikroba dalam rumen, karena laju alir pakan yang semakin cepat. Menurut (Widyobroto et al. 1999) laju partikel pakan keluar dari rumen berhubungan dengan lama tinggal pakan di dalam rumen. Lebih lanjut dijelaskan semakin lama waktu tinggal pakan di dalam rumen akan menyebabkan degradasi pakannya meningkat. Sintesis protein mikroba berhubungan positif dengan waktu tinggal pakan dalam rumen (Soeparno 2005). Kadar Testosteron Plasma Darah Tabel 10. Kadar testosteron domba jantan pada hari ke-94 perlakuan suplementasi peptida pasak bumi Kadar Testosteron (nmol/L) Rerata Standar Deviasi Keterangan : PO P1 P2 P3
= = = =
Perlakuan P0
P1
P2
P3
21.91 7.3
16.28 6.1
26.00 11.6
27.63 7.5
tanpa pemberian peptida/LJ100 (kontrol) pemberian peptida ELJ terenkapsulasi 1.5 mg/kg BB pemberian peptida ELJ terenkapsulasi 3 mg/kg BB ™ pemberian LJ100 terenkapsulasi 1 mg/kg BB
Hasil analisis kadar testosteron plasma tersebut masih dalam rank yang sama dengan hasil pengamatan Kishk (2008) dan Wheaton dan Godfrey (2003). Meski kadar testosteron P2 dan P3 terlihat lebih tinggi, namun tidak nyata secara statistik. Banyak faktor nuisance dalam akurasi pengamatan kadar testosteron plasma sesaat. Hasil pengamatan pola diurnal testosterone domba oleh Sanford et al. (1974) menemukan bahwa level testosteron serum domba berfluktuasi dalam 24 jam mulai dari 0.69 hingga 19.66 ng/ml. Jumlah puncak tertinggi dalam waktu 24 jam juga bervariasi antarindividu mulai dari 3 hingga 6 puncak. Meski ada kecenderungan bahwa salah satu puncak terjadi di sekitar jam delapan pagi, namun diantara domba yang diamati tidak ada yang memperlihatkan pencapaian puncak dalam waktu yang persis sama.
53 Profil Darah Darah merupakan media yang penting dan dapat diandalkan untuk menilai status
kesehatan
individu
hewan.
Pengamatan
terhadap
profil
darah
memperlihatkan bahwa kadar haemoglobin (HB) dan butir darah merah (BDM) lebih tinggi pada perlakuan P2 dan P3 dibanding P1, namun berbeda tidak nyata dengan P0. Konsentrasi haemoglobin ditentukan dan terkait dengan perubahan konsentrasi testosteron serum. Peningkatan tajam konsentrasi testosteron menghasilkan rangsangan akut eritropoietin yang mengarah pada peningkatan produksi eritrosit (Thomsen et al. 1986). Tabel 11. Profil darah domba jantan yang disuplementasi peptida pasak bumi Pengamatan
Perlakuan P0 ab
Hemoglobin (gr%) 11.84 ± 0.60 Packet volume cell (%) 29.13 ± 1.27 Butir darah merah (juta/mm3) 9.99 ab ± 1.26 Butir darah putih (ribu/mm3) 11.96 ± 3.53 Limfosit (%) 27.50 ± 5.97 Netrofil (%) 54.25 ± 14.77 Monosit (%) 1.25 ± 0.50 Eosinofil (%) 17.00 ± 9.83
P1
P2
9.54 ± 2.63 24.19 ± 8.98 7.79 a ± 2.77 9.45 ± 5.83 37.50 ± 26.41 53.50 ± 25.41 1.00 ± 0.82 8.00 ± 6.48
B
A
13.04 ± 1.35 33.90 ± 3.05 11.10 b ± 0.91 8.36 ± 1.44 23.20 ± 4.76 56.80 ± 9.73 1.60 ± 0.55 18.40 ± 8.79
P3 B
13.12 ± 1.48 32.75 ± 5.37 11.83B ± 1.91 8.03 ± 2.41 25.60 ± 9.45 57.00 ± 9.27 2.00 ± 1.22 15.40 ± 11.78
Keterangan : PO = tanpa pemberian peptida/LJ100 (kontrol) P1 = pemberian peptida ELJ terenkapsulasi 1.5 mg/kg BB P2 = pemberian peptida ELJ terenkapsulasi 3 mg/kg BB P3 = pemberian LJ100™ terenkapsulasi 1 mg/kg BB Superskrip berbeda pada baris yang sama huruf kapital berbeda sangat nyata (P<0.01). huruf kecil berbeda nyata (P<0.05)
Hasil yang hampir sama dinyatakan oleh Andrea et al (2008) bahwa hemoglobin dan hematokrit meningkat secara signifikan sesuai dosis perlakuan LH dan testosteron enanthat pada lelaki muda maupun tua. Peningkatan hemoglobin dan hematokrit secara signifikan lebih besar pada lelaki tua dibanding lelaki muda, namun perubahan dalam tingkat eritropoietin atau sTfR tidak signifikan berkorelasi dengan perubahan kadar testosteron total maupun testosteron bebas. Bachman et al. (2010) menyatakan tingginya kadar testosteron serum nyata menekan hepcidin dalam waktu 1 minggu. Tekanan atas hepcidin ini lebih jelas pada lelaki lebih tua dan berkaitan dengan lebih besarnya peningkatan
54 dalam hemoglobin. Tingkat serum hepcidin pada 4 dan 8 minggu dapat memprediksi perubahan hematokrit dari tingkat awal sampai tingkat puncak. Performa Produksi Karkas Bobot potong rerata keseluruhan domba pada penelitian ini adalah 37.869 ± 968 g (CV = 2.56%) sehingga keseragamannya cukup tinggi. Keseragaman tersebut berkurang pada bobot tubuh kosong, dimana rerata totalnya 29.657 ± 1.185 g (CV = 4.00%). Hal ini disebabkan keragaman yang tinggi dari isi saluran pencernaan. Rerata isi saluran pencernaan P3 lebih tinggi dibanding P1, sehingga meski bobot potongnya lebih tinggi bobot tubuh kosongnya lebih rendah, namun persentase karkas terhadap tubuh kosongnya lebih tinggi. Bagaimanapun, semua besaran antarperlakuan pada Tabel 12 berbeda tidak nyata. Secara umum jika diurut besaran nilai antarperlakuan, maka akan didapatkan urutan yang hampir sama antarsemua peubah di Tabel 12. Hal ini berarti bahwa produksi karkas sangat dipengaruhi oleh bobot potong ternak dan perlakuan berpengaruh tidak nyata pada produksi karkas. Tabel 12. Produksi karkas domba jantan priangan yang disuplementasi ekstrak peptida pasak bumi Peubah
P0
Bobot potong (g) Tubuh kosong (g) Karkas segar *(g) Karkas segar/Bobot potong (%) Karkas segar/Tubuh kosong (%) Karkas kanan dingin* (g) Penyusutan dingin karkas (%)
37 650 ±957 29 143 ±1 264 16 308 ±1 258 43.27 ±2.3 55.90 ±2.2 7 631 ±646 4.87 ±2.5
Perlakuan ELJ P1 P2 37 900 ± 1 065 37 575 ±866 30 215 ± 708 29 463 ±943 17 463 ± 332 16 788 ±697 46.09 ± 1.0 44.66 ±0.8 57.80 ± 0.6 56.97 ±0.8 8 257 ±378 7 871 ±420 3.68 ± 2.0 5.39 ±1.4
P3 38 350 ±1 182 29 808 ±1 784 17 333 ±1 370 45.18 ±3.0 58.10 ±1.6 8 295 ±759 5.14 ±0.8
Keterangan : PO = tanpa pemberian peptida/LJ100 (kontrol) P1 = pemberian peptida ELJ terenkapsulasi 1.5 mg/kg BB P2 = pemberian peptida ELJ terenkapsulasi 3 mg/kg BB ™ P3 = pemberian LJ100 terenkapsulasi 1 mg/kg BB *Dikoreksi terhadap bobot tubuh kosong pada rataan : 29.657 ± 1185 g
Rerata keseluruhan bobot karkas adalah 16.973 dengan koefisien variasi 6%, sedangkan rerata persentase karkas terhadap bobot tubuh kosong adalah 57.2% dengan koefisien variasi 2.71%. Aplikasi persamaan Huxley pada domba priangan yang diperoleh Herman (1993) menyatakan bahwa domba priangan
55 dengan bobot tubuh kosong 29.66 ± 1.19 kg tersebut memiliki persentase karkas 56.1%, dengan komposisi fisik lemak 24.7%, otot 60.2% dan tulang 15.1%. Persentase karkas tersebut hampir sama dengan persentase karkas yang diperoleh dari perlakuan kontrol pada penelitian ini, sedangkan persentase karkas perlakuan ELJ tampak lebih tinggi. Saka (1997) juga memperoleh rerata persentase karkas yang hampir sama pada domba ekor tipis local, yaitu 56.48 %, namun diperoleh dari rerata bobot potong yang lebih rendah, yaitu 29.45 kg. Rianto et al. (2006) memperoleh persentase karkas panas domba ekor tipis yang lebih rendah, yaitu 39.06%, karena bobot potongnya juga lebih rendah, yaitu 25.45 kg, sedangkan persentase lemak, daging dan tulang karkas berturut-turut 9.71; 69.03 dan 21.27%. Domba Kheri yang memiliki fenotipik yang hampir sama dengan domba priangan jika dipelihara secara intensif pada bobot tubuh kosong 25 kg, juga menghasilkan persentase karkas yang hampir sama, yaitu 57% (Karim et al. 2007). Menurut Berg dan Butterfild (1976) dalam Soeparno (2005), persentase karkas dipengaruhi oleh bangsa, jenis kelamin, umur, bobot potong, proporsi bagian-bagian nonkarkas. Otot menempati porsi sekitar 60% dari bobot karkas, sehingga pertumbuhan otot memiliki pengaruh yang dominan pada persentase karkas. Komposisi Fisik Karkas Tabel 13 memperlihatkan bahwa lemak tubuh paling tinggi pada P1 berbeda sangat nyata dari P2 dan P3, namun berbeda tidak nyata dari P0. Sebaliknya lemak tubuh paling rendah terdapat pada perlakuan P2 dan berbeda tidak nyata dari P3. P1 meski mendapatkan perlakuan ELJ namun masih memiliki kadar lemak yang tinggi karena memiliki bobot karkas yang juga tinggi. Depot lemak tubuh meningkat seiring peningkatan bobot karkas dan bobot potong. Hal ini sesuai dengan pernyataan Safdarian et al (2008) bahwa domba yang lebih berat umumnya lebih berlemak daripada domba yang ringan. Barton dan Kirton (1958) dalam Stanford et al. (1998) menemukan bahwa bobot karkas dapat menjadi prediktor utama kandungan lemak karkas domba, tidak menghasilkan banyak kesalahan dalam pengukurannya seperti gravitas spesifik dan tidak dipengaruhi oleh ragam isi perut seperti persentase karkas.
56 Persentase lemak tubuh umumnya berbanding lurus dengan bobot karkas, sedangkan persentase otot dan tulang berbanding terbalik. Berbalikan dengan bobot lemak, bobot otot nyata lebih tinggi (P<0.05) pada P2 dan P3 dibanding P0 dan P1. Tampak adanya peningkatan massa otot dengan pemberian ekstrak peptida ELJ 3 mg/kg dan LJ100™ 1 mg/kg bobot badan. sedangkan dengan pemberian ekstrak peptida ELJ 1.5 mg/kg bobot badan peningkatan tersebut tidak nyata. Tabel 13. Komponen diseksi karkas domba jantan priangan yang disuplementasi ekstrak peptida pasak bumi Peubah (g) Karkas kanan Lemak* Otot* Tulang*
P0 7.631 ±646 1.337 a ±73 4.785b ±79 1.849 ±96
Perlakuan ELJ P1 P2 8.257 ±378 1.509A ±70 4.818b ±76 1.698 ±92
7.871 ±420 1.080B ±69 5.071a ±74 1.825 ±91
P3 8.295 ±759 1.094B ±71 5.105a ±76 1.760 ±93
Keterangan : PO = tanpa pemberian peptida/LJ100 (kontrol) P1 = pemberian peptida ELJ terenkapsulasi 1.5 mg/kg BB P2 = pemberian peptida ELJ terenkapsulasi 3 mg/kg BB ™ P3 = pemberian LJ100 terenkapsulasi 1 mg/kg BB *Dikoreksi terhadap bobot setengah karkas kanan pada rataan : 8.014 ± 586 g Superskrip berbeda pada baris yang sama huruf kapital berbeda sangat nyata (P<0.01), huruf kecil berbeda nyata (P<0.05)
Persentase lemak, otot, dan tulang semua karkas perlakuan berturut-turut adalah sebagai berikut 15.7%, 61.7%, dan 22.4%. Herman (2004) mendapatkan komposisi yang relatif berbeda pada bangsa domba yang sama, yaitu : 26.83%, 57.65%, 13.89%, dan 1.63% masing-masing untuk persentase lemak, otot, tulang, dan jaringan ikat. Perbedaan utama terlihat pada persentase lemak dan tulang, pada penelitian ini didapatkan persentase lemak lebih rendah sehingga persentase tulang menjadi lebih tinggi. Kematangan fisiologis ternak selama proses penggemukan kemungkinan menjadi penyebab perbedaan ini. Herman (2004) melakukan penyembelihan terhadap domba penggemukan yang bobot hidupnya dipastikan mencapai kestabilan, dimana pada kondisi tersebut pertumbuhan lemaknya maksimal. Penggemukan pada penelitian ini lebih menekankan pada durasi pemeliharaan.
57 Rerata bobot tulang pada karkas domba perlakuan ELJ terlihat lebih tinggi secara tidak nyata dibanding kontrol. Reseptor androgen terdapat pada osteoblas dan mampu menstimulasi proliferasi osteoblas dengan bantuan vitamin D. Androgen juga mempengaruhi ekspresi molekul adhesif seperti fibronektin yang memfasilitasi ikatan sel-sel tulang dengan matriks estraseluler yang merupakan syarat penting fungsi osteoblastik (Nieschlag & Behre 2004), dengan demikian androgen dapat meningkatkan massa tulang. Perbandingan perolehan komponenkomponen karkas antara dua unit karkas sudah semestinya dilakukan pada bangsa, jenis kelamin, perlakuan ternak, serta bobot karkas yang sama. Tabel 14. Potongan komersial karkas domba jantan priangan yang disuplementasi ekstrak peptida pasak bumi Peubah (g) Bagian perempat belakang Leg Loin Flank Bagian perempat depan Rack Shoulder Neck Shank Breast
P0
Perlakuan ELJ P1
P2
P3
3.341 ±71 2.509 ±58 546 ±36 285 ±33
3.330 ±68 2.452 ±56 555 ±35 323 ±32
3.376 ±67 2.487 ±55 602 ±34 288 ±31
3.277 ±69 2.510 ±56 497 ±35 271 ±32
4.638 ±75 760 ±61 1.741 ±128 828 ±68 529 ±77 780b ±35
4.667 ±72 724 ±58 1.662 ±123 732 ±65 652 ±74 897a ±33
4.628 ±70 711 ±57 1.687 ±120 800 ±64 638 ±72 792b ±33
4.713 ±72 725 ±59 1.760 ±124 912 ±66 563 ±74 754b ±34
Keterangan : PO = tanpa pemberian peptida/LJ100 (kontrol) P1 = pemberian peptida ELJ terenkapsulasi 1.5 mg/kg BB P2 = pemberian peptida ELJ terenkapsulasi 3 mg/kg BB ™ P3 = pemberian LJ100 terenkapsulasi 1 mg/kg BB Dikoreksi terhadap bobot setengah karkas kanan pada rataan : 8.014 ± 586 g Superskrip berbeda pada baris yang sama huruf kapital berbeda sangat nyata (P<0.01), huruf kecil berbeda nyata (P<0.05)
Tabel 14 memperlihatkan bahwa bobot potongan belakang karkas domba penelitian berbeda tidak nyata antarperlakuan. Keseragaman bobot potongan belakang tersebut cukup tinggi dimana nilai rerata dari keseluruhan unit percobaan adalah 3.324 kg dengan koefisien variasi 7.4%. Hal ini berbeda dari bobot potongan depan yang rerata totalnya 4.637 g memiliki koefisien variasi lebih tinggi yaitu 8.4%. Ada kecenderungan bahwa domba yang diberi perlakuan ELJ memiliki bobot potongan depan lebih tinggi. Perbedaan yang signifikan untuk hal ini terlihat jika data di-adjust pada bobot otot yang sama. Efek
58 maskulinitas dari testosteron menghasilkan perototan yang lebih menonjol pada karkas bagian depan. Diaz et al. (2006) menyatakan bahwa domba jantan menunjukkan potongan depan (neck, anterior rib dan shoulder) yang lebih besar, sedangkan betina memiliki loin-rib yang lebih besar dan jantan lebih berotot pada shoulder dan neck dibanding betina. Penelitian ini mendapatkan porsi bagian perempat belakang dan perempat depan masing-masing sebanyak 41.7 dan 58.3%, porsi tersebut sesuai dengan yang didapatkan Barone et al. (2007). Kirton (1997) dalam Kvame dan Vangen (2006) menyatakan bahwa bobot potongan perempat depan lebih tinggi dibanding belakang. Porsi potongan leg sebagaimana umumnya karkas domba menempati kira-kira sepertiga dari bobot belahan karkas. Penelitian ini mendapatkan porsi leg sebesar 31%, sedikit lebih rendah dibanding yang didapatkan Karim et al. (2007) serta Barone et al. (2007) masing-masing sebesar 33%. Porsi potongan shoulder yang didapatkan pada penelitian ini berada diantara temuan kedua peneliti tersebut yaitu, sebesar 21% sedangkan Karim et al. (2007) serta Barone et al. (2007) masing-masing mendapatkan 25 dan 20%. Tabel 15. Sebaran lemak diseksi pada potongan komersial karkas domba jantan priangan yang disuplementasi ekstrak peptida pasak bumi Peubah (g) Perempat belakang Leg Loin Flank Perempat depan Rack Shoulder Neck Shank Breast
P0 500ab ±38 316ab ±23 92 ±11 83 ±26 845a ±45 162 ±17 194ab ±28 175 ±16 68 ±24 246a ±23
Perlakuan ELJ P1 P2 556a ±36 400b ±36 331a ±22 241b ±22 106 ±10 80 ±10 119 ±25 78 ±24 954A ±43 681B ±42 185 ±17 129 ±16 269a ±27 161b ±27 117 ±16 146 ±15 95 ±23 72 ±23 288a ±22 173b ±23
P3 420b ± 37 255b ± 22 79 ± 11 86 ± 25 674B ± 43 166 ± 17 174b ± 27 112 ± 16 52 ± 23 171b ± 22
Keterangan : PO = tanpa pemberian peptida/LJ100 (kontrol) P1 = pemberian peptida ELJ terenkapsulasi 1.5 mg/kg BB P2 = pemberian peptida ELJ terenkapsulasi 3 mg/kg BB ™ P3 = pemberian LJ100 terenkapsulasi 1 mg/kg BB Dikoreksi terhadap bobot setengah karkas kanan pada rataan : 8.014 ± 586 g Superskrip berbeda pada baris yang sama huruf kapital berbeda sangat nyata (P<0.01), huruf kecil berbeda nyata (P<0.05)
59 Perbedaan bobot lemak tubuh antarperlakuan yang terlihat pada Tabel 15 membentuk pola yang sama di antara semua bagian potongan. Perlakuan P1 berbeda nyata dari P2 dan P3, sedangkan P0 berbeda tidak nyata dari semua perlakuan lain. Perbedaan dengan signifikansi yang lebih tinggi terlihat pada bagian perempat depan, dimana P0 dan P1 berbeda nyata dari P2 dan P3. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan bobot lemak tubuh akibat perlakuan terjadi pada semua bagian tubuh dan lebih nyata terlihat pada bagian perempat depan. Sesuai menurut Nieschlag dan Behre (2004) bahwa kehilangan massa lemak pada perlakuan testosteron dosis yang lebih tinggi adalah merata di seluruh tubuh dan lapisannya serta pada bagian luar maupun dalam. Keseragaman yang tinggi dari ternak percobaan kemungkinan menjadi penyebab tidak terlihatnya perbedaan dalam pola penurunan lemak antarpotongan. Perbedaan yang ekstrim dalam eksistensi androgen seperti pada jantan dan betina akan dapat menjelaskan perbedaan porsi lemak pada potongan tertentu dari karkas. Diaz et al. (2006) menyatakan bahwa interaksi bobot potong dengan jenis kelamin signifikan pada proporsi lemak total di leg, loin-rib, anterior rib, dan flank. Proporsi ini meningkat seiring peningkatan bobot potong pada domba jantan sedangkan pada domba Tabel 16. Sebaran otot pada potongan komersial karkas domba jantan priangan yang disuplementasi ekstrak peptida pasak bumi Peubah (g) Perempat belakang Leg Loin Flank Perempat depan Rack Shoulder Neck Shank Breast
P0 2.127 ±57 1.626 ±42 319 ±24 182 ±15 2.644ab ±104 384 ±33 1.139 ±104 444 ±49 297 ±29 379c ±15
Perlakuan ELJ P1 P2 2.136 ±54 2.246 ±53 1.617 ±40 1.689 ±40 317 ±23 351 ±23 202 ±14 206 ±14 2.605b ±100 2.819ab ±98 355 ±32 390 ±31 1.044 ±100 1.107 ±98 446 ±47 493 ±46 316 ±28 394 ±28 443a ±14 436ab ±14
P3 2.203 ±55 1.698 ±41 323 ±23 184 ±15 2.913a ±101 369 ±32 1.205 ±101 570 ±47 371 ±29 397bc ±15
Keterangan : PO = tanpa pemberian peptida/LJ100 (kontrol) P1 = pemberian peptida ELJ terenkapsulasi 1.5 mg/kg BB P2 = pemberian peptida ELJ terenkapsulasi 3 mg/kg BB ™ P3 = pemberian LJ100 terenkapsulasi 1 mg/kg BB Dikoreksi terhadap bobot setengah karkas kanan pada rataan : 8.014 ± 586 g Superskrip berbeda pada baris yang sama huruf kapital berbeda sangat nyata (P<0.01), huruf kecil berbeda nyata (P<0.05)
60 betina terlihat konstan. Soeparno (2011) menyatakan domba yang mendapat pakan berenergi tinggi, menimbun lemak intermuskuler di bagian paha yang lebih tinggi daripada di bagian rusuk 9 dan 11. Data pada Tabel 16 juga memperlihatkan bahwa bobot lemak pada potongan komersial antarindividu memiliki koefisien variasi yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Safdarian et al. (2008) bahwa lemak merupakan jaringan paling beragam pada karkas. Seperti halnya pada lemak, secara umum perbedaan bobot otot total antarperlakuan
diikuti
oleh
perbedaan
bobot
otot
masing-masing
potongan
komersialnya dengan pola yang sama. Bobot otot perempat belakang berbeda tidak nyata antarperlakuan, sama seperti komponennya yaitu potongan leg, loin dan flank, namun pola antarperlakuannya tidak sama. Senada dengan temuan Fahmy (1997) bahwa dua bangsa domba (Romanov dan Booroola-DLS) dengan konsentrasi testosteron plasma berbeda memiliki banyak perbedaan pada komposisi karkas kecuali porsi potongan leg. Hal ini menunjukan bahwa potongan leg tidak nyata dipengaruhi oleh level testosteron. Sebaliknya, bobot otot perempat depan berbeda nyata dari pola yang sama dengan bobot otot karkas. Ada indikasi bahwa peningkatan bobot otot karkas akibat perlakuan lebih mengarah ke perototan di bagian perempat depan. Pengecualian pada potongan breast, dimana perbedaan nyata antarperlakuan terlihat dengan pola yang berbeda, kemungkinan disebabkan adanya interaksi faktor lain. Tabel 17. memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata bobot tulang antarperlakuan pada semua potongan, sama seperti bobot tulang total pada tabel terdahulu. Perlakuan pada ternak yang telah mendekati dewasa tubuh serta durasi yang relatif singkat merupakan penyebab utama tidak terlihatnya pengaruh perlakuan ini. Nieschlag dan Behre (2004) menyatakan variasi densitas tulang pada jantan eugonadal berhubungan dengan aktivitas androgenik. Densitas tulang ditentukan oleh dua hal, yaitu pencapaian massa tulang maksimal dan kuantitas pemeliharaan dan penyerapan dari jaringan tulang. Androgen mempengaruhi kedua proses tersebut dan karenanya menjadi suatu penentu penting massa tulang pada jantan. Tidak terlihatnya pengaruh perlakuan pada tulang pada penelitian ini
61 menunjukkan bahwa margin peningkatan testosteron oleh pengaruh ELJ tidak berdampak nyata pada peningkatan massa tulang. Tabel 17. Sebaran tulang pada potongan komersial karkas domba jantan priangan yang disuplementasi ekstrak peptida pasak bumi Peubah (g) Perempat belakang Leg Loin Perempat depan Rack Shoulder Neck Shank Breast
P0 694 ±29 563 ±22 131 ±19 1.156 ±77 210 ±26 397 ±37 213 ±31 164 ±59 170 ±14
Perlakuan ELJ P1 P2 632 ±28 721 ±27 500 ±21 553 ±20 131 ±18 168 ±18 1.067 ±74 1.104 ±72 166 ±25 184 ±24 340 ±335 411 ±35 161 ±30 162 ±29 241 ±57 169 ±56 158 ±13 178 ±13
P3 663 ±28 568 ±21 94 ±19 1.097 ±74 202 ±25 375 ±36 208 ±30 138 ±57 174 ±13
Keterangan : PO = tanpa pemberian peptida/LJ100 (kontrol) P1 = pemberian peptida ELJ terenkapsulasi 1.5 mg/kg BB P2 = pemberian peptida ELJ terenkapsulasi 3 mg/kg BB ™ P3 = pemberian LJ100 terenkapsulasi 1 mg/kg BB Dikoreksi terhadap bobot setengah karkas kanan pada rataan : 8.014 ± 586 g Superskrip berbeda pada baris yang sama huruf kapital berbeda sangat nyata (P<0.01), huruf kecil berbeda nyata (P<0.05)
Menurut Soeparno (2011) hormon-hormon tertentu mempunyai pengaruh sekunder pada pertumbuhan kerangka, misalnya tiroksin, insulin, hormon pertumbuhan dan hormon-hormon gonadal cenderung bersifat anabolik. Estrogen menghambat resorpsi tulang. Adrenal kortikoid menstimulasi resorpsi tulang dan menghambat pembentukan tulang baru. Komposisi Nonkarkas Bobot komponen tubuh nonkarkas berbeda tidak nyata di antara perlakuan. Tabel 18 memperlihatkan bahwa komponen nonkarkas yang terbesar adalah kulit, diikuti kepala dan perut. Perolehan bobot kulit dan kepala tersebut setara dengan yang didapatkan Herman (1993), namun bobot perut kosong diperoleh lebih tinggi. Perbedaan sifat fisik pakan dapat menjadi penyebab perbedaan perkembangan saluran pencernaan. Herman (1993) menggunakan formulasi pakan dengan konsentrat tinggi dan seluruh pakan berbentuk pellet, sedangkan dalam penelitian ini menggunakan hijauan segar di samping konsentrat.
62
Tabel 18. Komponen nonkarkas domba jantan priangan yang disuplementasi ekstrak peptida pasak bumi Peubah (g)
P0
Kepala Kaki Ekor Kulit Perut Kosong Usus Kosong Paru Jantung Hati Limpa Ginjal Keterangan : PO P1 P2 P3
= = = =
2.738± 152 835± 27 156± 20 3.133± 266 1.003± 50 823± 76 340± 24 116± 16 589± 231 54± 10 77± 6
Perlakuan ELJ P1 2.703± 117 761± 50 206± 62 3.080± 188 1.013± 25 780± 48 325± 19 123± 22 439± 39 52± 4 82± 3
P2
2.660± 305 830± 37 120± 14 3.180± 322 993± 43 865± 79 371± 34 117± 17 449± 34 57± 7 83± 5
P3 2.897± 168 850± 92 147± 17 3.238± 287 1020± 95 798± 104 356± 32 116± 10 412± 27 51± 4 85± 3
tanpa pemberian peptida/LJ100 (kontrol) pemberian peptida ELJ terenkapsulasi 1,5 mg/kg BB pemberian peptida ELJ terenkapsulasi 3 mg/kg BB ™ pemberian LJ100 terenkapsulasi 1 mg/kg BB
Karakteristik Daging Sifat fisik daging tidak dipengaruhi oleh suplementasi peptida ELJ seperti yang diperlihatkan oleh Tabel 19. Peningkatan ekspresi maskulinitas yang diakibatkan suplementasi tersebut tidak cukup besar untuk berpengaruh pada sifat fisik daging. Sifat fisik daging dari ternak yang maskulinitasnya berbeda secara ekstrim seperti jenis kelamin dan kastrasi telah dinyatakan berbeda oleh Zhang et al. (2010). Dijelaskan bahwa, jantan nonkastrasi menghasilkan daging lebih tinggi pada nilai shearforce, pH, drip, susut masak, dan kandungan abu dibanding jantan kastrasi dan betina. Salah satu penyebab keempukan daging jantan nonkastrasi lebih rendah adalah karena kadar hidroksiprolinnya yang lebih tinggi. Kadar kolagen juga berhubungan dengan susut masak daging, semakin tinggi kadar kolagen susut masak juga semakin tinggi (Okeudo & Moss 2005).
63 Tabel 19.
Sifat fisik daging domba jantan priangan yang disuplementasi ekstrak peptida pasak bumi
Peubah pH Keempukan (kg/cm3) Susut masak (%) Daya mengikat air (%) Keterangan : PO P1 P2 P3
= = = =
Perlakuan ELJ P1 P2
P0 5.12 ± 0.08 3.32 ± 0.65 43.19 ± 2.26 31.18 ± 2.28
5.16 ± 0.09 3.09 ± 0.85 42.03 ± 2.13 31.58 ± 7.33
P3
5.22 ± 0.08 2.50 ± 0.55 42.13 ± 2.43 34.36 ± 7.14
5.18 ± 0.03 2.63 ± 0.49 44.04 ± 3.10 35.55 ± 9.55
tanpa pemberian peptida/LJ100 (kontrol) pemberian peptida ELJ terenkapsulasi 1.5 mg/kg BB pemberian peptida ELJ terenkapsulasi 3 mg/kg BB ™ pemberian LJ100 terenkapsulasi 1 mg/kg BB
Hasil analisis proksimat otot menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata pada semua variabel di antara perlakuan. Perbedaan yang nyata pada depot lemak karkas seperti yang disajikan sebelumnya tidak diikuti oleh perbedaan lemak intramuskuler. Lemak intramuskuler atau marbling merupakan lokasi deposit lemak yang paling akhir diisi, kemungkinan juga merupakan yang terakhir dimobilisasi disebabkan kebutuhan energi maupun tuntutan fisiologis. Soeparno (2011) menjelaskan bahwa deposit lemak pada hewan muda biasanya muncul di area viseral, dengan kecukupan nutrien selanjutnya berkembang ke daerah subkutan, intermuskuler, dan intramuskuler. Tabel 20.
Hasil analisis proksimat otot domba jantan priangan yang disuplementasi ekstrak peptida pasak bumi
Peubah (%) Abu Lemak Protein Keterangan : PO P1 P2 P3
= = = =
P0 3.52 ± 0.17 2.33 ± 0.99 75.97 ± 3.39
Perlakuan ELJ P1 P2 4.00 ± 0.55 3.02 ± 1.45 77.51 ± 0.46
4.03 ± 0.49 2.18 ± 2.14 78.32 ± 4.50
P3 3.60 ± 0.34 2.41 ± 1.36 74.98 ± 6.45
tanpa pemberian peptida/LJ100 (kontrol) pemberian peptida ELJ terenkapsulasi 1.5 mg/kg BB pemberian peptida ELJ terenkapsulasi 3 mg/kg BB ™ pemberian LJ100 terenkapsulasi 1 mg/kg BB
Pembahasan Umum Pasak bumi merupakan tanaman semak, memiliki tinggi yang umumnya kurang dari 10 meter yang banyak ditemukan di hutan sekunder dan primer di beberapa daratan di Asia Tenggara. Tanaman ini di Indonesia ditemukan di Pulau
64 Sumatera dan Kalimantan. Populasi tanaman tersebut di beberapa kawasan hutan di Sumatera cukup tinggi. Ginting (2010) yang mengamati ekologi ELJ di sekitar hutan Bukit Lawang Sumatera Utara menemukan bahwa indeks nilai penting (INP) ELJ di kawasan tersebut untuk keanekaragaman tingkat pertumbuhan pohon (dari 72 jenis tanaman), tingkat pertumbuhan tiang (dari 44 jenis), tingkat pertumbuhan pancang (dari 70 jenis) dan tingkat pertumbuhan semai (dari 69 jenis) masing-masing adalah 2.16%, 22.9%, 24%, 24.6%. Tanaman ELJ di kawasan hutan ini dapat dikategorikan berperan karena menurut Sutisna (1981) bahwa suatu jenis dapat dikatakan berperan jika INP untuk tingkat semai dan pancang lebih dari 10%, sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon sebesar 15%. Heriyanto et
al. (2006) menemukan bahwa ELJ lebih menyukai tempat tumbuh yang miring, aerasi baik, dan tidak pernah tergenang air. Kelimpahan tanaman tingkat semai pada kondisi tersebut ditemukan antara 60 hingga 280 individu per ha. Disimpulkan juga bahwa ancaman terhadap kelangkaan ELJ di Bengkulu tidak terlalu merisaukan karena masyarakat setempat jarang yang memanfaatkan tumbuhan ini untuk ramuan obat tradisional. Noorhidayah dan Sidiyasa (2007) yang
mengamati ekologi tanaman obat di hutan Sungai Wain Kalimantan Timur menyatakan bahwa ELJ lebih banyak ditemukan pada tutupan hutan agak terbuka pada hutan primer, maupun hutan primer terganggu. Data penelitian tersebut mengindikasikan bahwa meski populasinya tidak dominan tanaman ELJ masih dalam kondisi tersedia. Beberapa hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa ELJ secara alami masih cukup tersedia, namun tentunya untuk pemenuhan kebutuhan yang besar di masa datang perlu dilakukan budi daya. Laporan hasil budi daya tanaman ELJ di Indonesia hingga saat ini belum ditemukan. Informasi tentang adanya pihak-pihak yang melakukan budi daya tanaman ELJ juga tidak jelas. Bisa diasumsikan bahwa semua produk ELJ yang diperdagangkan merupakan hasil eksploitasi dari hutan. Ada kemungkinan beberapa alasan yang menyebabkan masyarakat ataupun investor kurang tertarik untuk melakukan budi daya. Alasan pertama adalah populasi tanaman ini di alam masih cukup banyak, sehingga biaya untuk mencari dan mengeksploitasi tanaman yang sudah ada masih lebih murah dibanding melakukan budi daya. Meski ada
65 informasi perusahaan eksportir yang melakukan budi daya, tetapi hasilnya hanya sebagai cadangan pendukung kontinuitas produk mereka yang yang berasal dari hutan atau juga sebagai showwindow. Alasan kedua adalah biaya untuk budi daya ELJ relatif tinggi terutama jika analisis investasi dikaitkan dengan waktu dan opportunity cost penggunaan lahan. ELJ merupakan tanaman tahunan sehingga butuh waktu yang lama untuk satu siklus panen. Alasan ketiga karena permintaan pasar yang belum stabil, sehingga produk yang telah dipersiapkan dalam jumlah banyak
sering
menjadi
kadaluarsa
di
tempat
penyimpanan.
Beberapa
permasalahan tersebut menjadi hambatan dalam usaha budi daya ELJ secara konvensional, namun teknologi budi daya juga terus berkembang. Ada informasi bahwa budi daya ELJ melalui kultur jaringan telah dilakukan secara komersial dan ekstraksi komponen bioaktifnya dilakukan pada fase dini perkembangan tanaman. Hal ini sejalan dengan temuan Mahmood et al. (2011) bahwa konsentrasi salah satu komponen aktif ELJ yaitu 9-methoxycanthin-6-one ditemukan lebih tinggi pada jaringan kalus dibanding pada tanaman utuh ELJ. Produk ELJ yang beredar di pasaran umumnya dipromosikan sebagaimana fungsinya yang dikenal awam, yaitu sebagai afrodisiak, sementara sebagian juga dipromosikan sebagai agen testosterone booster dan bodybuilding. Harga yang ditawarkan meski relatif tinggi namun cukup wajar mengingat manfaatnya bagi konsumen (terutama lelaki). Sejauh ini belum ditemukan adanya informasi atau hasil penelitian yang khusus mengamati pengaruh ELJ terhadap pertumbuhan otot dan perubahan komposisi tubuh, terutama pada ternak. Penggunaan ELJ sebagai pemacu pertumbuhan lean bagi ternak pedaging sebagaimana yang dilaksanakan pada penelitian ini dapat menjadi informasi awal yang terukur mengenai hal tersebut. Hasil penelitian membuktikan bahwa ekstrak akar ELJ mampu meningkatkan pertumbuhan otot dan menurunkan lemak karkas. Ekstraksi pada penelitian ini dilakukan dengan asumsi bahwa komponen bioaktif ELJ yang berperan dalam peningkatan testosterone adalah kelompok peptida, sehingga digunakan metode ekstraksi peptida/protein yang umum yaitu berdasarkan sifat kelarutannya pada suasana asam dan basa. Nilai recovery protein yang diperoleh masih rendah terutama jika dibandingkan dengan nilai recovery
66 dari isolasi protein beberapa kacang-kacangan. Proses ekstraksi menyisakan 10,09 gram protein dalam 500 gram bahan baku, suatu jumlah yang masih optimis untuk dikurangi. Selain karena kandungan protein kasar bahan baku yang juga rendah, sisa lemak yang masih tertinggal turut menghalangi kesempurnaan ekstraksi lemak. Adanya sisa lemak terlihat pada kromatogram yang menunjukkan bahwa asam lemak cukup dominan dari senyawa yang terdeteksi. Kelompok peptida ELJ dengan berat molekul < 8 kD seperti yang dikemukakan Sambandan et al. (2006) tidak terdeteksi dengan elektroforesis pada penelitian ini. Analisis SDS PAGE untuk peptida dengan berat molekul yang sangat rendah membutuhkan kecermatan yang tinggi dalam pengerjaannya. Peptida bioaktif ELJ yang dimaksud kemungkinan juga bukan atau bukan hanya dalam keadaan bebas pada bahan asal, tetapi merupakan potongan dari rantai polipeptida atau protein dengan molekul lebih besar, seperti halnya pada susu. Peptida bioaktif dari susu terbentuk setelah protein utama mengalami hindrolisis oleh enzim percernaan sebagaimana yang diamati Hernandez-Ledesma et al. (2007) Penelitian ini menyingkirkan anggapan bahwa senyawa yang berfungsi sebagai testosterone booster adalah kelompok quassinoid seperti eurycomanone, eurycomanol, dan eurycomalacton, karena hasil analisis GC-MS tidak mengindikasikan adanya senyawa tersebut. Anggapan lain bahwa peningkatan testosteron adalah akibat adanya fitosterol pada ELJ, juga sulit diterima. Stigmasterol sebagai fitosterol yang ditemukan cukup dominan pada ekstrak, banyak juga ditemukan pada tanaman lain namun tidak memberikan efek yang sama seperti ELJ. Fitosterol lain seperti ergosten, cholestan, dan metil kolesterol ditemukan dalam kadar yang sangat sedikit (persentase areanya pada kromatogram < 0,5%). Hasil karakterisasi ekstrak menguatkan dugaan bahwa komponen ekstrak ELJ yang berkontribusi dalam memperlihatkan pengaruh perlakuan pada penelitian ini adalah kelompok senyawa peptida. Proteksi komponen bioaktif ekstrak dari degradasi rumen yang dilakukan pada penelitian ini terbukti dapat menghantarkan senyawa tersebut mencapai organ target sehingga memperlihatkan fungsi yang dinginkan. Meski demikian
67 efisiensinya
masih
perlu
ditingkatkan.
Hasil
analisis
in
vitro
rumen
memperlihatkan bahwa nilai proteksi EH sesungguhnya baru 34% berdasarkan KCBO dan 75.5% berdasarkan produksi gas NH3. Menekan jumlah substrat ekstrak yang terdegradasi di rumen akan meningkatkan efisiensi dan menghemat penggunaannya. Peningkatan kadar testosteron pada penelitian ini meski terlihat tidak nyata, namun berdasarkan pengamatan terhadap kadar haemoglobin dan butir darah merah serta komposisi tubuh diyakini testosteron meningkat pada P2 dan P3. Komposisi fisik karkas nyata dipengaruhi perlakuan P2 dan P3 terutama bobot lemak dan otot, namun tidak pada tulang, sedangkan sifat fisik dan komposisi kimia daging tidak terpengaruh nyata. Mekanisme pengaruh testosteron pada pertumbuhan otot secara rinci telah dijelaskan pada Tinjauan Pustaka, sedangkan mekanismenya dalam menurunkan lemak tubuh, testosteron mempengaruhi sinyal transduksi katekolamin di dalam sel lemak (Arner 2005). Mekanisme aksi testosteron dan katekolamin dalam menurunkan lemak tubuh berbeda diantara spesies. Sebagaimana umumnya penelitian yang dilaksanakan dalam skala laboratorium, akan sulit mencapai nilai ekonomis bila dilakukan analisis finansial. Pertumbuhan otot yang diakibatkan oleh pengaruh suplementasi ELJ pada penelitian ini baru mencapai 6% atau 958 gram dari 16.028 gram bobot karkas. Pertambahan bobot otot tersebut jika diuangkan dengan harga daging Rp 60.000,/kg adalah Rp. 57.480,-. Nilai tersebut masih jauh lebih rendah dibandingkan biaya total preparasi suplemen yang digunakan yang mencapai ratusan ribu rupiah. Tambahan penerimaan diperkirakan akan lebih tinggi jika produk yang dipasarkan berupa karkas, karena penampilannya yang lebih lean lebih disukai konsumen. Williams dan Droulez (2010) melaporkan bahwa di Australia ada kecenderungan meningkat (38%) penjualan daging merah dengan cara memisahkan lemaknya. Pemisahan atau penghilangan lemak belakangan juga meningkat (89%) dilakukan oleh konsumen setelah membeli daging. Penelitian lebih lanjut diperlukan guna menjadikan ekstrak ELJ sebagai sebuah produk yang layak untuk diaplikasikan di lapangan. Penelitian lanjutan
68 tersebut akan menyangkut optimalisasi recovery ekstrak peptida, maksimalisasi proteksi bahan aktif di rumen dan pembebasannya di usus halus, serta dosis dan waktu pemberian yang tepat pada ternak. Peningkatan recovery ekstrak pada praktiknya akan tercapai dengan memaksimalkan kelarutan dan pengendapatan peptida dalam larutan asam basa. Hal ini dapat dicapai antara lain dengan lebih memperkecil ukuran matriks, memaksimalkan pemisahan lemak, penambahan garam, penggunaan titik isoelektrik yang lebih selektif, dan sebagainya. Penelitian lebih mendalam mengenai beberapa metode lain yang dapat melindungi ekstrak peptida dari degradasi rumen dan membebaskannya pascarumen perlu dilakukan untuk mendapatkan metode proteksi yang paling efektif. Setiap tahapan perlu dicermati dan keutuhan senyawa aktif saat mencapai usus terdeteksi dan terukur. Percobaan suplementasi peptida pasak bumi pada beberapa level yang lebih tinggi perlu dilakukan untuk mendapatkan dosis pemberian optimal. Frekuensi dan lama pemberian juga perlu diamati agar suplementasi lebih efisien. Umumnya respon fisiologis tidak optimal dengan pemberian perlakuan yang terus-menerus.