PKMP-3-14-1
PEMANFAATAN EKSTRAK AKAR PASAK BUMI (Eurycoma longifolia Jack) SEBAGAI MODEL ANTIPENUAAN in vitro M. Riyad Filza, Adi Kristanto, Delvi I Mayasari, N Intan Sari, D Permata Putri S Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru ABSTRAK Penuaan merupakan proses alamiah akibat kerusakan oksidatif yang dipicu oleh advanced glycation end products (AGEs). AGEs adalah senyawa reaktif yang dihasilkan dari reaksi glikosilasi. Untuk mengurangi kerusakan oksidatif akibat AGEs diperlukan senyawa antioksidan. Pasak bumi merupakan salah satu tanaman unggulan di Indonesia yang bermanfaat sebagai antioksidan, terutama pada bagian akar. Akan tetapi, penggunaan akar pasak bumi sebagai antioksidan untuk menghambat pembentukan AGEs belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengkaji peran pasak bumi dalam menghambat proses penuaan melalui model reaksi glikosilasi. Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap, yakni tahap pembuatan ekstrak metanol, tahap uji potensi antioksidan, serta tahap pengukuran absorbansi senyawa AGEs dan senyawa dikarbonil. Berdasarkan hasil uji potensi antioksidan, aktivitas antioksidan ekstrak metanol akar pasak bumi yang dinyatakan dalam inhibitor concentration (IC) 50% adalah 423,5135 ppm. Dari grafik hasil pengukuran absorbansi senyawa AGEs dan dikarbonil, ekstrak metanol akar pasak bumi terbukti dapat menghambat pembentukan AGEs dan senyawa dikarbonil akibat reaksi glikosilasi. Selain itu, ekstrak metanol akar pasak bumi juga dapat menghambat kerusakan protein akibat AGEs dan senyawa dikarbonil. Kata kunci : akar pasak bumi, antioksidan, reaksi glikosilasi, AGEs, senyawa dikarbonil PENDAHULUAN Penuaan (aging) adalah proses akumulasi berbagai perubahan pada sel dan jaringan sebagai akibat pertambahan umur. Proses akumulasi tersebut berakibat pada peningkatan risiko munculnya penyakit dan kematian Selain itu, penuaan juga mengakibatkan kemunduran sistem imun dan penurunan kemampuan organisme dalam beradaptasi dengan lingkungannya (1-3). Ada dua teori tentang terjadinya penuaan, yaitu teori stokhastik dan teori pengembangan genetik. Berdasarkan kedua teori tersebut, terungkap bahwa radikal bebas memegang peranan penting pada proses penuaan (1,2). Radikal bebas adalah senyawa kimia reaktif yang terjadi karena atom atau molekul kehilangan elektron pada orbital terluarnya (4,5). Reaktivitas radikal bebas tersebut dapat menyebabkan kerusakan oksidatif di tingkat molekuler maupun seluler (2,3). Pada tingkat molekuler, radikal bebas dapat mengoksidasi protein, yang berakibat pada pembentukan ikatan silang protein, oksidasi asamasam amino, terputusnya ikatan hidrogen, ikatan van der Waals, dan lain-lain. Akibat perubahan-perubahan tersebut, akan terbentuk sekelompok senyawa baru, yang disebut dengan advanced glycation end products (AGEs). AGEs dan radikal bebas mampu berikatan dengan molekul penyusun membran sel, sehingga terjadi deformasi molekul penyusunnya. Hal ini akan mengakibatkan kerusakan
PKMP-3-14-2
membran sel. Dengan kata lain, radikal bebas dan AGEs merupakan spesies kimia yang dapat menyebabkan kerusakan oksidatif pada tingkat seluler (1,6,7). Salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah kerusakan oksidatif pada tingkat seluler dan molekuler, diperlukan senyawa yang bersifat sebagai antioksidan. Antioksidan merupakan senyawa yang mampu mencegah kerusakan oksidatif secara bermakna (4,5). Antioksidan tersebut dapat diperoleh dari bahan alam yang berasal dari tanaman. Salah satu tanaman tersebut adalah pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack). Pasak bumi merupakan salah satu dari 13 tanaman unggulan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pasak bumi mengandung zat aktif di semua bagian, yakni sitosterol, n-nonacosane, neoclovene, quassin, neo-quassin, glaukarubin, sedrin, dan eurycomanol. Tiga jenis senyawa quassinoid yang dapat diisolasi dari akar yaitu D-eurycolactone, E-eurycolactone, dan F-eurycolactone disamping dua quassinoid yang lebih dulu teridentifikasi yakni B-laurycolactone dan eurycomalactone (8,9). Penelitian tentang manfaat pasak bumi telah banyak dilakukan. Akan tetapi, penelitian mengenai peran pasak bumi sebagai penghambat proses penuaan akibat reaksi AGEs belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengkaji peran pasak bumi dalam menghambat proses penuaan yang diakibatkan oleh AGEs. Kemampuan pasak bumi dalam menghambat penuaan ditandai oleh penurunan pembentukan senyawa dikarbonil dan AGEs. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat memberikan nilai tambah manfaat tanaman pasak bumi sebagai antioksidan bahan alam yang mampu menghambat penuaan. METODE PENDEKATAN Pemilihan Sampel Sampel yang digunakan adalah akar pasak bumi sebanyak 5 kg. Pasak bumi diambil dari Taman Hutan Rakyat Sultan Adam, Desa Mandiangin, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Alat dan Bahan Penelitian Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstrak metanol akar pasak bumi, kertas saring, glukosa 500 mg/L, buffer fosfat pH 7,4, BSA 30%, aquadest, NaOH, metanol 70 % dan 10%, 2,4-dinitrofenilhidrazin (DNPH), HCl 2,5 M, asam trikloroasetat (TCA) 20% dan 10%, asam asetat 10%, urea 9 M, serta NaOH 0,4 N, derivat vitamin E merk Evion dalam buffer fosfat pH = 7,4 (digunakan sebagai larutan standar), protein, asam asetat 20%, Fe-EDTA, H2O2 10 mmol/L, DNPH dalam HCl 2,5 M, etanol-etil asetat. Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat gelas (PYREX®), pH meter (CYBERSCAN®), sentrifuge (CENTURION®), stopwatch (HANHART®), vortex (VM-300®), oven (HETO®), neraca analitik (GIBERTINI® E425-B), mikropipet (TRANSFERPETTE®), dan spektrofotometer ® (BIOSYSTEMS BTS-305).
PKMP-3-14-3
Cara Penelitian Penelitian ini dibedakan menjadi beberapa tahap, yakni tahap persiapan, tahap uji potensi antioksidan, tahap pengukuran absorbansi senyawa AGEs dan senyawa dikarbonil. Tahap persiapan Dalam tahap persiapan, terlebih dahulu dibuat ekstrak metanol dari akar pasak bumi. Pertama, akar pasak bumi dipotong kecil-kecil dan kemudian diparut. Selanjutnya, hasil parutan akar pasak bumi diangin-anginkan hingga kering. Kemudian sebanyak 300 g parutan akar pasak bumi direndam dalam 6 liter metanol 70% pada suhu ruang selama 72 jam. Setelah direndam, kemudian disaring untuk memisahkan filtratnya. Filtrat yang diperoleh kemudian diuapkan hingga diperoleh ekstrak. Ekstrak yang diperoleh kemudian dibuat larutan dengan konsentrasi 125 ppm, 250 ppm, 500 ppm, dan 1000 ppm. Masing-masing larutan diukur aktivitas antioksidannya. Uji Potensi Antioksidan Larutan ekstrak metanol akar pasak bumi konsentrasi 1000 ppm, 500 ppm, 250 ppm, 125 ppm masing-masing dimasukkan ke dalam 2 tabung reaksi dengan label A1 dan A0 kemudian pada tabung dengan label AU1 dan AU0 dimasukkan 0,01 mL derivat vitamin E 1 mmol/L dalam buffer fosfat pH = 7,4. Selanjutnya pada tabung dengan label A1, A0, AU1, dan AU0 masing-masing dimasukkan 0,49 mL buffer fosfat pH 7,4 dan pada tabung K1 dan K0 dimasukkan sebesar 0,50 mL kemudian ke dalam 6 tabung tersebut ditambahkan BSA 20% sebesar 0,50 mL dan tabung A0, K0 dan AU0 dimasukkan asam asetat 20% sebanyak 1 mL. Kedalam enam tabung reaksi ditambahkan Fe-EDTA sebanyak 0,20 mL dan H2O2 10 mmol/L. Setelah itu keenam tabung tersebut diinkubasi pada suhu 370C selama 1 jam di dalam oven, kemudian pada tabung A1, K1, dan AU1 ditambahkan asam asetat 20% dan diinkubasi lagi pada suhu 370C selama 10 menit. Pada masingmasing tabung diambil 0,5 mL dan ditambahkan DNPH dalam HCl 2,5 M sebanyak 2 mL kemudian diinkubasi selama 45 menit dalam ruangan terlindung cahaya dan di-vortex setiap 15 menit. Selanjutnya ditambahkan 2 mL TCA 20% pada keenam tabung dan dinkubasi dalam es selama 5 menit kemudian disentrifugasi 5 menit dan supernatannya dibuang. TCA 10% sebanyak 2 mL ditambahkan ke dalam 6 tabung dan disentrifugasi selama 5 menit dan dibuang supernatannya. Selanjutnya ditambahkan 2 mL TCA 10%, sentrifugasi 5 menit dan supernatannya dibuang. Sebanyak 2 mL etanol-etil asetat ditambahkan pada keenam tabung, disentrifugasi selama 5 menit dan buang supernatannya kemudian ulangi sebanyak 3 kali. Selanjutnya pada keenam tabung ditambahkan 1 mL urea 9 M dalam NaOH 0,4 N dan diinkubasi 37oC selama 10 menit sambil dikocok dan disentrifugasi selama 5 menit. Absorbansi larutan pada keenam tabung tersebut dibaca pada = 390 nm. Perhitungan aktivitas antioksidan ditentukan dengan persamaan : AOA =
( K ( K
A) ×100% AU )
Keterangan: AOA = Aktivitas antioksidan (%) K = Absorbansi kontrol (K1 K0)
PKMP-3-14-4
A = Absorbansi sampel (A1 A0) AU = Absorbansi derivat vitamin E (AU1 AU0) Tahap Pengukuran absorbansi senyawa AGEs. Larutan uji terdiri atas larutan protein (BSA) dan glukosa, larutan protein (BSA) dan glukosa yang diberikan pasak bumi, dan larutan protein (BSA). Absorbansi senyawa AGEs diukur setiap 48 jam selama 20 hari dengan cara mengambil sebanyak 0,5 mL larutan dari masing-masing larutan uji, kemudian diukur serapannya pada = 340 nm. Tahap Pengukuran senyawa karbonil. Dari tiap larutan uji, diambil sebanyak 0,5 mL larutan. Kemudian setiap 0,5 mL larutan tersebut dibagi lagi menjadi 2 tabung dengan volume masingmasing 0,25 mL. Tabung pertama adalah sampel (A) dan tabung kedua adalah blanko (B), sehingga akhirnya akan tersedia 8 tabung. Selanjutnya, ke dalam setiap sampel (tabung A), ditambahkan DNPH sebanyak 1 mL, dan ke dalam blanko (tabung B) ditambahkan 1 mL HCl 2,5 M. Kemudian menginkubasi larutan-larutan tersebut selama 45 menit pada suhu ruang dan terlindung dari cahaya, dan di-vortex setiap 15 menit. Tahap selanjutnya adalah menambahkan 1 mL TCA 20% ke dalam masing-masing tabung (A dan B), lalu menginkubasinya di dalam es selama 5 menit. Sentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 1400 rpm, dan membuang supernatannya. Setelah itu melakukan pencucian dengan menambahkan 1 mL etanol-etil asetat ke dalam setiap tabung, sentrifugasi selama 5 menit pada kecepatan 1400 rpm, lalu membuang supernatannya. Kemudian, pencucian diulangi sebanyak 3 kali. Tahap akhir dari pengukuran senyawa karbonil ini adalah dengan menambahkan 1 mL urea 9 M, dan menginkubasi larutan pada suhu 37oC selama 10 menit sambil dikocok. Setelah itu larutan disentrifugasi dengan kecepatan 1400 rpm selama 5 menit. Selanjutnya warna yang dihasilkan diukur serapannya pada panjang gelombang 390 nm. Kerusakan protein dihitung dengan menggunakan persamaan. A C= ----b Keterangan: A= absorbansi = koefisien ekstingsi 22000 mM cm-1 b= 1 cm
Analisis Data Data absorbansi AGEs dan kadar senyawa karbonil yang diperoleh dari penelitian ini akan disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis dengan menggunakan korelasi regresi. Model grafik dari data tersebut akan ditentukan dengan menggunakan Microsoft Excel, untuk mengetahui hubungan antara produksi senyawa AGEs dan senyawa dikarbonil yang terbentuk
PKMP-3-14-5
Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari Mei 2006, bertempat di Laboratorium Kimia/Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Tahap pertama penelitian ini adalah pembuatan ekstrak metanol akar pasak bumi. Ekstrak metanol akar pasak bumi yang terbentuk kemudian ditentukan aktivitas antioksidannya, yang dinyatakan dengan inhibitor concentration 50% (IC50). Pada penelitian ini, yang dimaksud dengan IC 50% adalah konsentrasi ekstrak metanol akar pasak bumi yang mampu menghambat 50% kerusakan protein akibat radikal bebas.
120 (%) 100
y = 0,0814x + 15,526 R2 = 0,9295
80 60 Antioksidan 40 20 Aktivitas 0 0
200
400
600
800
1000
1200
Konsentrasi (ppm)
Gambar 1. Korelasi konsentrasi dengan aktivitas antioksidan ektrak metanol akar pasak bumi Korelasi aktivitas antioksidan dan konsentrasi ekstrak metanol akar pasak bumi dinyatakan dengan rumus IC = 0,0814x + 15,526 dengan korelasi r = 0,9295. Berdasarkan rumus di atas, nilai IC50 sebesar sebesar 423,5135 ppm. Artinya, pada konsentrasi 423,5135 ppm tersebut, ekstrak metanol akar pasak bumi mampu menghambat kerusakan protein akibat radikal bebas sebesar 50%. Setelah diketahui nilai IC50, selanjutnya konsentrasi ekstrak methanol akar pasak bumi tersebut digunakan untuk menghambat pembentukan senyawa AGEs dan modifikasi protein. Pada gambar 2, terlihat bahwa laju pembentukan senyawa AGEs yang dihasilkan oleh protein yang ditambahkan glukosa lebih cepat daripada yang dihasilkan oleh protein. Selain itu, lama inkubasi juga mempengaruhi laju pembentukan AGEs. Semakin lama inkubasi maka semakin banyak senyawa AGEs yang terbentuk.
PKMP-3-14-6
14
Absorbansi AGEs
12 10 8 6 4 2 0 0
5
10
15
20
25
Hari protein
Protein+glukosa
Protein+glukosa+pasakbumi
Gambar 2. Penghambatan ekstrak metanol akar pasak bumi terhadap pembentukan AGEs.
Kadar Senyawa Karbonil ( M)
Modifikasi protein ditandai oleh senyawa dikarbonil yang terbentuk. Laju penghambatan ekstrak metanol akar pasak bumi terhadap pembentukan senyawa dikarbonil tersaji pada gambar 3.
30 25 20 15 10 5 0 0
5
10
15
20
25
Hari protein
Gambar 3.
protein+glukosa
protein+glukosa+pasak bumi
Laju penghambatan ekstrak metanol akar pasak bumi terhadap pembentukan senyawa dikarbonil.
Senyawa dikarbonil yang terbentuk pada protein ditambah glukosa lebih cepat dibandingkan dengan yang terbentuk pada protein serta protein yang ditambahkan glukosa dan pasak bumi. Hal ini menunjukkan terjadi penghambatan
PKMP-3-14-7
kerusakan protein akibat aktivitas antioksidan yang terkandung dalam ekstrak metanol akar pasak bumi. Pembahasan Advanced glycation end products (AGEs) merupakan kumpulan berbagai macam senyawa kimia yang terbentuk akibat adanya perubahan struktur serta ikatan silang pada protein. AGEs secara normal terdapat di dalam tubuh dan akan terakumulasi pada berbagai organ seiring dengan meningkatnya usia. AGEs memiliki peran penting sebagai salah satu penyebab terjadinya penuaan. Pembentukan AGEs diawali oleh reaksi glikosilasi nonenzimatik, atau disebut juga reaksi Maillard (10-14). Reaksi Maillard adalah serangkaian reaksi nonenzimatik yang terjadi antara gugus aldehid glukosa dengan gugus amino protein. (11,15,16). Tahap awal reaksi ini dimulai dengan pembentukan basa Schiff yang berjalan secara reversibel. Pada tahap ini glukosa mengalami transformasi D-glucopyrosone, yaitu membukanya molekul berbentuk cincin menjadi molekul yang berbentuk linear. Hal ini dapat terjadi apabila glukosa dilarutkan ke dalam air. Ketika berbentuk linear, terdapat gugus aldehid pada salah satu sisinya yang bersifat reaktif. Tahap reaksi ini disebut juga reaksi pencoklatan (browning). Selanjutnya, aldehid yang terdapat pada rantai lurus glukosa tersebut akan bereaksi dengan gugus amino membentuk basa Schiff. Pada akhirnya, basa Schiff akan mengalami penataan ulang (rearrangement) secara irreversibel menjadi produk Amadori yang bersifat lebih stabil (11,17,18). Setelah berlangsung beberapa hari, produk Amadori mengalami serangkaian perubahan melalui jalur oksidatif, nonoksidatif, dan penataan ulang (4,19). Pada jalur oksidatif, akan terbentuk senyawa N -(carboxymethyl)lysine (CML) dan pentosidin (17,20). Berbeda dengan jalur oksidatif, pada jalur nonoksidatif akan terbentuk senyawa piralin. Adapun pada proses penataan ulang, akan dihasilkan senyawa 3-deoksiglukoson (10,17). Selain itu, glyoxal dan methylglyoxal (MG) juga dapat terbentuk saat peroksidasi lipid dan proses metabolisme (15,21). Proses penataan ulang produk Amadori akan menghasilkan senyawa dikarbonil. Senyawa dikarbonil ini bersifat oksidan dan merupakan senyawa antara (intermediate), atau prekursor, untuk proses pembentukan AGEs (10,11). Selanjutnya, dikarbonil akan bereaksi secara polimerasi dengan struktur protein membentuk senyawa AGEs (22,23). AGEs yang terbentuk bersifat sangat reaktif dan dapat menyebabkan kerusakan struktur jaringan. Kerusakan jaringan ini ditandai oleh peningkatan senyawa dikarbonil. Jumlah senyawa dikarbonil yang terbentuk menggambarkan tingkat kerusakan protein yang terjadi (20,22,24-26). Untuk menghambat pembentukan senyawa AGEs, diperlukan senyawa yang mampu meredam aktivitas oksidatif senyawa dikarbonil, yaitu antioksidan. Senyawa antioksidan ini terkandung pada berbagai tanaman, diantaranya pasak bumi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Budianto et al (8), diketahui bahwa infus akar pasak bumi dapat bersifat sebagai antioksidan, yakni sebagai penghambat kerusakan protein akibat radikal bebas in vitro. Berdasarkan gambar 2 dan 3, kadar senyawa karbonil dan AGEs sudah mulai terbentuk pada hari ke-2, tetapi belum menunjukkan peningkatan secara
PKMP-3-14-8
bermakna. Mekanisme ini diduga disebabkan oleh dua hal, yakni 1) reaksi antara gugus amino aldehid dengan oksigen membentuk dikarbonil, dan 2) reaksi antara basa Schiff dengan oksigen membentuk dikarbonil (10). Semakin lama waktu inkubasi, akan terjadi penataan ulang yang pada akhirnya mengakibatkan penumpukan dikarbonil dan AGEs. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Valencia et al (27) yang menunjukkan bahwa pembentukan senyawa dikarbonil dan AGEs meningkat seiring lama inkubasi. Meskipun demikian, penambahan ekstrak metanol akar pasak bumi dapat menurunkan pembentukan senyawa dikarbonil dan AGEs. Kemampuan ekstrak metanol akar pasak bumi dalam menghambat pembentukan senyawa dikarbonil ini diduga disebabkan oleh senyawa aktif ekstrak metanol akar pasak bumi, yaitu quassinoid. Quassinoid yang terkandung di dalam pasak bumi antara lain eurycomalactone, eurycomanone, dan eurycomanol.
Gambar 4.
Beberapa struktur quassinoid dari akar pasak bumi yang telah diidentifikasi. Secara berurutan : D-eurycolactone, Eeurycolactone, dan F-eurycolactone (9).
Quassinoid merupakan senyawa fenolik yang dapat berperan sebagai donor proton. Mekanisme kerja quassinoid ini adalah dengan cara melepaskan atom hidrogennya untuk meredam aktivitas oksidan. Selain itu, quassinoid juga dapat berperan sebagai pemerangkap (scavenger) logam pembentuk radikal bebas (9). Oleh karena itu, mekanisme pasak bumi sebagai model antipenuaan in vitro akibat reaksi glikosilasi diduga melalui beberapa titik tangkap, yakni: 1. Perubahan produk amadori menjadi produk akhir melalui jalur oksidatif melalui keterlibatan oksidan dan logam (tersaji pada gambar 5). Pada jalur ini, perubahan 2-3 enediol menjadi N -(carboxymethyl)lysine (CML) melibatkan aktivitas H2O2, OH dan logam (Mn+). Pasak bumi bekerja sebagai antioksidan terhadap H2O2, OH dan sebagai pengikat logam (Mn+). 2. Peredaman terhadap reaktivitas oksigen melalui jalur pintas yang berperan dalam pembentukan senyawa dikarbonil. Pada titik tangkap ini, pasak bumi akan menghambat pada 3 jalur, yakni gugus aldehid-amino-dikarbonil, basa Schiff-dikarbonil, dan produk amadori-dikarbonil seperti disajikan pada gambar 6.
PKMP-3-14-9
Gambar 5. Pembentukan N -(carboxymethyl)lysine (CML) yang melibatkan jalur oksidatif reaksi glikosilasi (18).
Gambar 6. Skema pembentukan AGEs dan jalur pintas pembentukan senyawa dikarbonil (28)
PKMP-3-14-10
KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa aktivitas antioksidan ekstrak metanol akar pasak bumi yang dinyatakan dalam IC 50% adalah 423,5135 ppm. Ekstrak metanol akar pasak bumi terbukti dapat menghambat pembentukan AGEs dan senyawa dikarbonil akibat reaksi glikosilasi. Selain itu, ekstrak metanol akar pasak bumi juga dapat menghambat kerusakan protein akibat AGEs dan senyawa dikarbonil. DAFTAR PUSTAKA 1. Beckman KB, Ames BN. The free radical theory of aging matures. Physiol. Rev. 1998;78:547-81. 2. Troen BR. The biology of aging. Mt. Sinai. J. Med. 2003;70:3-22. 3. Poggioli S, Bakala H, Friguet B. Age-related increase of protein glycation in peripheral blood lymphocytes is restricted to preferential target proteins. Exp. Gerontol. 2002; 37:1207-15. 4. Halliwell B, Gutteridge JMC. Free Radical in Biology and medicine. 3rd ed. New York: Oxford University Press; 1999. 5. Halliwell B, Whiteman M. Measuring reactive species and oxidative damage in vivo and cell culture: how you should do it and what do the results mean? Br. J. Pharm. 2004;142:231-55. 6. Boldyrev AA. Protection of proteins from oxidative stress: a new illusion or a novel strategy? Ann. N. Y. Acad. Sci. 2005;1057:1-13. 7. Suhartono E, Setiawan B, Edyson, Mashuri. Modifikasi protein akibat reaksi Maillard dan pengaruhnya terhadap kadar tirosin. Profesi Medika 2004;4(2):20-28. 8. Budianto R, Firdaus RT, Paramita D, Vianty TA, Damayanti ED, Suhartono E. Uji antioksidan tumbuhan pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack.) serta peranannya sebagai inhibitor kerusakan protein akibat reaksi glikosilasi. Chem. Rev. 2004;7(2): 89-97. 9. Ang HH, Hitotsuyanagi Y, Fukaya H, Takeya K. Quassinoids from Eurycoma longifolia. Phytochemistry 2002;59:833-7. 10. Akagawa M, Sasaki T, Suyama K. Oxidative deamination of lysine residue in plasma protein of diabetic rats. Eur. J. Biochem.2002;269:5451-8. 11. Oya T, Hattori N, Mizuno Y, Miyata S, Maeda S, Osawa T, et al. Methylglyoxal modification of protein. J. Biol. Chem. 1999;274:18492-502. 12. Kobayashi T, Oku H, Komori A, Okuno T, Kojima S, Obayashi H, et al. Advanced glycation end products induce death of retinal neurons via activation of nitric oxide synthase. Exp. Eye Res. 2005;81:647-54. 13. Krone CA, Ely JTA. Ascorbic acid, glycation, glycohemoglobin and aging. Med. Hypothes. 2004;62:274-9. 14. Shoda H, Miyata S, Liu BF, Yamada H, Ohara T, Suzuki K, et al. Inhibitory effects of tenilsetam on the Maillard reaction. Endocinology 1997;138:188692. 15. Otin MP, Pamplona R, Bellmunt MJ, Ruiz MC, Prat J, Salvayre R, et al. Advanced glycation end product precursors impair eptdermal growth factor receptor signaling. Diabetes 2002;51:1535-42.
PKMP-3-14-11
16. Requena JR, Ahmed MU, Fountain CW, Degenhardt TP, Reddy S, Perez C, et al. Carboxymethylethanolamine, a biomarker of phospholipid modification during the Maillard reaction in vivo. J. Biol. Chem. 1997;272:17473-9. 17. Soeatmadji DJ. The role of free radicals in management of type 2 diabetic patients. Disampaikan pada Simposium Free Radicals in Diabetes and their Interaction with Sulphonylurea, Jakarta, 24 Maret 2001. 18. Voziyan PA, Khalifah RG, Thibaudeau C, Yildiz A, Jacob J, Serianni AS, et al. Modification of proteins in vitro by physiological levels of glucose. J. Biol. Chem. 2003;278:46616-24. 19. Sadikin N. Pelacakan Dampak Radikal Bebas Terhadap Biomolekul. Makalah Pelatihan Radikal Bebas dan Antioksidan Dalam Kesehatan: Dasar, Aplikasi, dan Pemanfaatan Bahan Alam. Jakarta: Bagian Biokimia FK UI, 2001. 20. Frye EB, Degenhardt TP, Thorpe SR, Baynes JW. Role of the Maillard reaction in aging of tissue proteins. J. Biol. Chem. 1998;273:18714-9. 21. Thornalley PJ. Dicarbonyl intermediates in the Maillard reaction. Ann. N. Y. Acad. Sci. 2005;1043:1-7. 22. Baynes JW, Thorpe SR. Role of oxidative stress in diabetic complication: a new perspective on an old paradigm. Diabetes 1999;48:1-9. 23. Nakagawa J, Ishikura S, Asami J, Isaji T, Usami N, Hara A, et al. Molecular characterization of mammalian dicarbonyl/L-xylulose reductase and its localization in kidney. J. Biol. Chem. 2002;277:17883-91. 24. de Arriba SG, Krügel U, Regenthal R, Vissiennon Z, Verdaguer E, Lewerenz A, et al. Carbonyl stress and NMDA receptor activation contribute to methylglyoxal neurotoxicity. Free Rad. Biol. Med. 2006; 40:779-90. 25. Kalousová M, Zima T, Tesa V, Sulková SD, krha J. Advanced glycooxidation end products in chronic diseases clinical chemistry and genetic background. Mut. Res. 2005;579:37-46. 26. Matsumoto AO, Fridovich I. The role of , -dicarbonyl compunds in the toxicity of short chain sugars. J. Biol. Chem. 2000;275:34853-7. 27. Valencia JV, Weldon SC, Quinn D, Kiers GH, DeGroot J, TeKoppele JM, et al. Advanced glycation end product ligands for the receptor for advanced glycation end products: biochemical characterization and formation kinetics. Anal. Biochem. 2004; 324:68-78. 28. Booth AA, Khalifah RG, Todd P, Hudson BG. In Vitro kinetic studies of formation of antigenic Advanced Glycation End Products (AGEs). J. Biol. Chem. 1997;272: 5430-7.