7
Pengujian Aktivitas Antibakteri (Metode Cakram)
Analisis Statistik
Media TSA semi padat yang berisi 100 μl biakan bakteri dengan konsentrasi 106-107 sel/ml dituangkan ke dalam cawan petri yang telah berisi media TSA padat (cawan overlay). Kertas cakram berdiameter 6 mm yang berisi 10 μl ekstrak borneo camphor, glycyrrhizae radix, atau coptidis rhizoma diletakkan di atas permukaan media overlay. Pengamatan terhadap zona bening yang terbentuk dilakukan setelah inkubasi selama 24 jam pada suhu ruang.
Analisis statistik yang digunakan adalah rancangan percobaan satu faktor dalam rancangan acak lengkap (RAL). Rancangan ini digunakan untuk menguji respons daya hambat setiap ekstrak atau campuran ekstrak terhadap bakteri S. pyogenes dan S. aureus. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program SAS. Uji lanjut yang digunakan adalah uji kontras ortogonal untuk menentukan bahwa campuran ekstrak etanol glycyrrhizae radix, coptidis rhizoma, dan borneo camphor mempunyai efek sinergis sebagai antibakteri.
Penentuan efek sinergis campuran borneo camphor, glycyrrhizae radix, dan coptidis rhizoma sebagai antibakteri
HASIL DAN PEMBAHASAN
Media TSA semi padat yang berisi 100 μl biakan bakteri dengan konsentrasi minimal 106-107 sel/ml dituangkan ke dalam cawan petri yang telah berisi media TSA padat (cawan overlay). Kertas cakram berdiameter 6 mm yang berisi 10 μl campuran ekstrak borneo camphor, glycyrrhizae radix, dan coptidis rhizoma dengan nisbah (1:1:1) diletakkan di atas permukaan media overlay. Pengamatan terhadap zona bening yang terbentuk dilakukan setelah inkubasi selama 24 jam pada suhu ruang. Identifikasi Senyawa Identifikasi senyawa yang bersifat sebagai antibakteri dalam ekstrak etanol coptidis rhizoma, glycyrrhizae radix, dan borneo camphor menggunakan spektrofotometer UV dan spektrofotometer IR. Spektrum serapan coptidis rhizoma, glycyrrhizae radix, dan borneo camphor diukur dalam larutan encer yang menggunakan pelarut etanol dengan blanko etanol. Larutan tersebut diukur pada panjang gelombang 200-450 nm. Serbuk coptidis rhizoma, glycyrrhizae radix, dan borneo camphor dihaluskan bersamaan dengan serbuk KBr dalam mortar agate, kemudian dimasukkan ke dalam alat pencetak pelat KBr sehingga diperoleh lempeng KBr yang transparan. Lempeng ini dimasukkan ke dalam spektrofotometer IR. Spektrum yang muncul digambarkam dengan kurva hubungan antara transmitan dan bilangan gelombang.
Persiapan Sampel dan Ekstraksi Coptidis rhizoma, borneo camphor, dan glycyrrhizae radix dihaluskan sampai membentuk serbuk halus dengan ukuran 100 mesh, kemudian ditentukan kadar airnya dan diekstraksi dengan etanol 50% (v/v). Penentuan kadar air untuk menyatakan kandungan zat dalam tumbuhan sebagai persen bahan kering dan mengetahui ketahanan suatu bahan dalam penyimpanan (Harjadi 1993). Kadar air yang baik adalah kurang dari 10%, pada kadar ini bahan dapat disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama karena kemungkinan rusak terkena jamur pada saat penyimpanan sangat kecil (Winarno 1997). Kadar air rerata yang diperoleh dari serbuk coptidis rhizoma, glycyrrhizae radix, dan borneo camphor berturut-turut sebesar 8.57, 7.14, dan 4.96% (Lampiran 2). Hasil ini menunjukkan bahwa serbuk kering coptidis rhizoma, glycyrrhizae radix, dan borneo camphor dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Serbuk coptidis rhizoma, borneo camphor, dan glycyrrhizae radix diekstraksi dalam pelarut etanol 50% (v/v) dengan metode refluks pada suhu 80 oC selama 26 jam. Metode ekstraksi ini merupakan kondisi optimum untuk ekstraksi coptidis rhizoma. Ekstrak yang diperoleh dengan metode ini mampu menghambat pertumbuhan Streptococcus mutans, yaitu mampu menurunkan jumlah bakteri dari 6.110 log CFU/ml menjadi 4125 log CFU/ml (Choi et al. 2007). Ekstraksi pada prinsipnya adalah menyerap komponen yang ada dalam bahan
8
yang diekstraksi dengan pelarut tertentu. Jenis dan jumlah yang dapat terserap tergantung sifat komponen tersebut. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah etanol 50% (v/v). Pelarut etanol yang bersifat polar dapat mengekstraksi hampir semua senyawa polar pada jaringan tumbuhan. Tabel 1 Rendemen Ekstrak Nama Sampel Rendemen (%b/b) Glycyrrhizae radix 24.0 Coptidis rhizoma 24.5 Borneo camphor 73.0 Rendemen ekstrak dari coptidis rhizoma, borneo camphor, dan glycyrrhizae radix berturut-turut adalah 24.0, 24.5, dan 73.0% (Tabel 1). Perbedaan rendemen disebabkan oleh perbedaan komposisi kandungan penyusun coptidis rhizoma, borneo camphor, dan glycyrrhizae radix yang berakibat pada perbedaan kelarutannya dalam etanol. Komponen yang terdapat dalam borneo camphor lebih banyak mengandung senyawa yang dapat larut dalam etanol dibandingkan dengan yang ada dalam coptidis rhizoma dan glycyrrhizae radix. Ekstrak yang diperoleh digunakan untuk uji antibakteri terhadap S. aureus dan S. pyogenes. Kandungan Metabolit Sekunder Uji fitokimia bertujuan mengetahui senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam ekstrak etanol coptidis rhizoma, borneo camphor, dan glycyrrhizae radix yang diduga sebagai senyawa antibakteri. Tabel 2 Metabolit sekunder yang terdapat pada ekstrak etanol ketiga sampel Golongan Senyawa C G B Flavonoid ++ Tanin Saponin + Steroid Terpenoid Alkaloid +++ Keterangan: (-): tidak terdeteksi; (+): positif lemah; (++): positif; (+++): positif kuat; C : Coptidis rhizoma; G : Glycyrrhizae radix; B : Borneo camphor
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 2, ekstrak etanol glycyrrhizae radix mengandung flavonoid. Flavonoid termasuk dalam senyawa fenol yang memiliki aktivitas antibakteri. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa flavonoid dari ekstrak etanol glycyrrhizae radix dapat menghambat pertumbuhan S. aureus (He et al. 2006). Pertumbuhan S. aureus dapat terganggu karena adanya senyawa fenol yang terkandung dalam ekstrak etanol glycyrrhizae radix. Fenol memiliki kemampuan mendenaturasikan protein dan merusak membran sel (Pelzcar & Chan 1986). Fenol berikatan dengan protein melalui ikatan hidrogen sehingga mengakibatkan struktur protein menjadi rusak. Sebagian besar struktur dinding sel dan membran sitoplasma bakteri mengandung protein dan lemak. Hasil uji fitokimia pada ekstrak etanol coptidis rhizoma mengandung saponin dan alkaloid. Alkaloid dapat beracun bagi manusia dan banyak mempunyai kegiatan fisiologis yang menonjol sehingga dapat digunakan dalam bidang pengobatan (Harbone 1987). Jenis alkaloid yang terdapat dalam coptidis rhizoma adalah berberin, protoberberin, palamatin, dan koptisin. Berberin dan koptisin adalah senyawa aktif yang bersifat sebagai antibakteri (Lian 2006). Berberin adalah salah satu contoh alkaloid yang potensial efektif terhadap typanosoma dan plasmodia (Naim 2004). Borneo camphor mengandung senyawa terpenoid (Grive 2000), tetapi hasil uji fitokimia ekstrak etanol borneo camphor tidak teridentifikasi adanya senyawa metabolit sekunder termasuk terpenoid. Pereaksi yang digunakan untuk uji fitokimia pada ekstrak borneo camphor sama dengan pereaksi yang digunakan untuk uji fitokimia pada ekstrak coptidis rhizoma dan glycyrrhizae radix yang berarti bahwa dalam ekstrak borneo camphor tersebut memang tidak teridentifikasi adanya senyawa metabolit sekunder. Hal ini mungkin disebabkan jumlah terpenoid yang terlalu sedikit dalam ekstrak etanol borneo camphor sehingga tidak terdeteksi. Kandungan Metabolit Primer Hasil uji metabolit primer untuk ekstrak etanol coptidis rhizoma, borneo camphor, dan glycyrrhizae radix terdapat pada Tabel 3. Ekstrak etanol coptidis rhizoma positif terhadap uji Molisch dengan terbentuknya warna ungu yang menunjukkan adanya karbohidrat. Ekstrak etanol coptidis rhizoma juga mengandung asam amino triptofan yang ditunjukkan dengan uji Hopkins-Cole.
9
Keterangan: (-): tidak terdeteksi; (+): positif lemah; (++): positif; (+++): positif kuat; C : Coptidis rhizoma; G : Glycyrrhizae radix; B : Borneo camphor
Ekstrak etanol glycyrrhizae radix positif terhadap uji Molisch yang menunjukkan adanya karbohidrat dalam ekstrak tersebut. Uji Benedict juga memberikan hasil positif yang menunjukkan dalam ekstrak etanol glycyrrhizae radix senyawa karbohidrat yang mempunyai gugus aldehida atau keton bebas. Karbohidrat dalam glycyrrhizae radix terdapat dalam bentuk senyawa glisirizhin yang merupakan glikosida menyerupai saponin (Sabbioni et al. 2006). Berdasarkan hasil uji metabolit primer, dalam ekstrak etanol borneo camphor tidak teridentifikasi adanya senyawa metabolit primer. Pereaksi yang digunakan untuk uji metabolit primer pada ekstrak etanol borneo camphor sama dengan pereaksi yang digunakan untuk uji metabolit primer pada ekstrak coptidis rhizoma dan glycyrrhizae radix. Hal ini mungkin disebabkan jumlah senyawa metabolit primer yang terlalu sedikit dalam ekstrak etanol borneo camphor sehingga tidak terdeteksi. Kurva standar bakteri Kurva standar bakteri merupakan hubungan antara log jumlah bakteri dan absorbans (OD). Kurva standar ini dapat membantu untuk menentukan kerapatan jumlah sel bakteri yang akan digunakan untuk uji antibakteri. Kurva standar S. aureus memiliki persamaan y = 0.1834x–1.2179 dengan r = 91.52%, sedangkan persamaan kurva untuk S. pyogenes adalah y = 0.4424x– 3.3807 dengan r = 96.06% (Gambar 4).
Jumlah bakteri yang baik digunakan untuk uji antibakteri adalah 106-107 sel/ml, yaitu pada saat bakteri dalam fase eksponensial. Saat fase eksponensial bakteri dalam keadaan berkembang biak dan mengalami proses metabolisme yang paling tinggi dibandingkan pada fase yang lain (Brock & Madigan 1991). S. aureus setelah diinkubasi selama 10 jam memiliki kerapatan 108 sel/ml (OD = 0.318) dan S. pyogenes diinkubasi selama 8 jam memiliki kerapatan 108 sel/ml (OD = 0.562), sehingga perlu dilakukan pengenceran terhadap isolat bakteri tersebut untuk mendapatkan kerapatan 106-107 sel/ml. Perhitungan jumlah koloni bakteri bertujuan mengetahui secara tepat jumlah bakteri yang akan digunakan untuk uji antibakteri, karena kerja antibakteri dipengaruhi oleh konsentrasi zat uji, jumlah bakteri, adanya bahan organik, dan pH (Pelzcar & Chan 1986). Jumlah bakteri yang digunakan akan mempengaruhi hasil yang diperoleh. Zat uji tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri karena jumlah bakteri yang terlalu banyak atau sebaliknya jumlah bakteri terlalu sedikit.
Absorbans (OD)
Tabel 3 Metabolit primer yang terdapat pada ekstrak etanol ketiga sampel Uji C G B ++ ++ Molisch + Benedict Barfoed Millon ++ Hopkins-Cole Ninhidrin Xanthoproteat Biuret Salkowski LiebermanBuchard
0,7
y = 0,4424x - 3,3807
0,6
R = 0,9606
2
0,5 0,4 0,3
y = 0,1834x - 1,2179
0,2
R = 0,9152
2
0,1 0 -0,1 6
6,5
7
7,5
8
8,5
9
9,5
Log jumlah bakteri
Gambar 4 Kurva standar bakteri S. aureus (—) dan S. pyogenes (- - -) Kurva standar bakteri ditentukan dengan metode cawan hitung. Prinsipnya adalah jika sel bakteri yang masih hidup ditumbuhkan pada medium agar-agar, maka sel bakteri tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat dengan mata tanpa menggunakan mikroskop. (Fardiaz 1989). Aktivitas Antibakteri Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol coptidis rhizoma, borneo camphor, dan glycyrrhizae radix dengan variasi konsentrasi 1, 5, 10, 20, 40, 60, 80, dan 100 mg/ml terhadap S. aureus dan S. pyogenes dapat dilihat pada Tabel 4.
10
Ekstrak etanol coptidis rhizoma dan glycyrrhizae radix memiliki konsentrasi hambat minimal (KHM) terhadap S. aureus sebesar 20 mg/ml dengan diameter zona hambat berturut-turut sebesar 9.31 ± 2.88 dan 2.00 ± 1.33 mm. Ekstrak etanol borneo
camphor pada konsentrasi 1-20 mg/ml belum dapat menghambat pertumbuhan S. aureus. KHM ekstrak etanol borneo camphor sebesar 40 mg/ml dengan diameter zona hambat sebesar 3.33 ± 3.31 mm (Lampiran 4).
Tabel 4 Daya hambat ekstrak terhadap Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes Konsentrasi (mg/ml) 1 5 10 20 40 60 80
Staphylococcuss aureus (mm) G B C 2.00 ± 1.33 4.33 ± 3.31 4.17 ± 1.65 5.00 ± 0.00
Streptococcus pyogenes (mm) G B C
3.33 ± 3.31 5.33 ± 3.31 6.50 ± 2.86
9.31 ± 2. 88 13.33 ± 3.31 14.50 ± 4.96 15.53 ± 2.88
1.50 ± 2.87 1.87 ± 1.32 2.00 ± 0.00
3.07 ± 0.60 3.57 ± 2.94 5.40 ± 3.03
7.83 ± 4.38 10.67 ± 3.31 12.33 ± 3.31
100 8.00 ± 9.93 8.57 ± 2.94 Keterangan: G : Glycyrrhizae radix B : Borneo champor C : Coptidis rhizoma
19.17 ± 4.38
3.67 ± 3.31
6.93 ± 0.66
14.33 ± 4.38
Ekstrak etanol coptidis rhizoma, borneo camphor, dan glycyrrhizae radix pada konsentrasi 1-20 mg/ml belum dapat menghambat pertumbuhan S. pyogenes. Ketiga ekstrak ini memiliki KHM yang sama, yaitu sebesar 40 mg/ml dengan diameter zona hambat berturut-turut sebesar 7.83 ± 4.38, 3.07 ± 0.60, dan 1.50 ± 2.87 mm (Lampiran 5). Ekstrak etanol coptidis rhizoma memiliki daya hambat yang lebih besar dibandingkan ekstrak etanol borneo camphor dan glycyrrhizae radix baik terhadap S. aureus maupun S. pyogenes. Hal ini ditunjukkan dengan diameter zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak etanol coptidis rhizoma cukup besar terhadap S. aureus dan S. pyogenes yang diinkubasi pada suhu ruang (Gambar 5). Semakin tinggi konsentrasi ekstrak, diameter zona hambat yang dihasilkan semakin besar. Hal ini terjadi pada ketiga ekstrak tersebut baik terhadap S. aureus maupun S. pyogenes. Efektivitas senyawa antibakteri dipengaruhi oleh konsentrasi senyawa antibakteri yang digunakan (Pelzcar & Chan 1986). Peningkatan konsentrasi ekstrak menyebabkan semakin besar konsentrasi senyawa antibakteri yang berdifusi dalam medium agar sehingga diameter zona hambat yang dihasilkan juga semakin meningkat.
b
a
c
d (i)
c
a
d
b
(ii) Gambar 5 Zona hambat ekstrak etanol coptidis rhizoma terhadap (i) Staphylococcus aureus dan (ii) Streptococcus pyogenes dengan a : 100 mg/ml; b : 80 mg/ml; c : 60 mg/ml; d : 40 mg/ml.
11
20 15
20 15 10 5 0
10
a
b
c
d
Campuran ekstrak (1:1)
5 0 40
60
80
100
Konsentrasi (mg/ml)
Gambar 6 Perbandingan daya hambat ekstrak etanol borneo camphor, coptidis rhizoma, glycyrrhizae radix, dan streptomycin sebagai kontrol positif terhadap S. aureus dengan G, B, C, dan Streptomycin 16
D iameter zona hambat (mm)
25
14 12 10 8
Gambar 8 Perbandingan daya hambat ekstrak campuran dan ekstrak tunggal borneo camphor, coptidis rhizoma, dan glycyrrhizae radix terhadap S. Aureus Respons ekstrak campuran Jumlah respons ekstrak tunggal a : B + C; b : B + G; c : G + C; d:B+G+C 14
Diameter zona hambat (mm)
D iam eter zon a h am b at (m m )
25
Diameter zona hambat terhadap S. aureus dan S. pyogenes yang dihasilkan oleh campuran ekstrak secara keseluruhan lebih kecil dari pada jumlah diameter zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak tunggal (Gambar 8 dan 9). Data selengkapnya terdapat dalam Lampiran 6. Hal ini disebabkan adanya senyawa lain pada campuran yang mengganggu kerja senyawa antibakteri atau karena adanya senyawa sejenis pada campuran yang saling melemahkan dalam menghambat pertumbuhan S. aureus dan S. Pyogenes. Diameter zona hambat (mm)
Daya hambat ekstrak etanol coptidis rhizoma, borneo camphor, dan glycyrrhizae radix terhadap S. aureus dan S. pyogenes lebih kecil dibandingkan antibiotik streptomycin sebagai kontrol positif (Gambar 6 dan 7). Hal ini disebabkan ekstrak ketiga sampel tersebut merupakan ekstrak kasar yang masih mengandung senyawa-senyawa lain yang dapat mengganggu kemampuan daya hambat senyawa antibakterinya, sehingga masih diperlukan penelitian lanjutan untuk memperoleh senyawa murni yang bersifat sebagai antibakteri dari ketiga ekstrak tersebut. Kenaikan konsentrasi streptomycin menyebabkan kenaikan daya hambat terhadap S. aureus dan S. pyogenes.
12 10 8 6 4 2 0
6
a
4
b
c
d
Campuran ekstrak (1:1)
2 0 1
2
3
4
Konsentrasi (mg/ml)
Gambar 7 Perbandingan daya hambat ekstrak etanol borneo camphor, coptidis rhizoma, glycyrrhizae radix, dan streptomycin sebagai kontrol positif terhadap S. pyogenes dengan G, B, C, dan Streptomycin
Gambar 9 Perbandingan daya hambat ekstrak campuran dan ekstrak tunggal borneo camphor, coptidis rhizoma, dan glycyrrhizae radix terhadap S. pyogenes Respons ekstrak campuran Jumlah respons ekstrak tunggal a : B + C; b : B + G; c : G + C; d:B+G+C
12
Ekstrak etanol coptidis rhizoma yang mempunyai daya hambat terbesar terhadap S. aureus dan S. pyogenes diidentifikasi menggunakan spektrofotometer UV dan IR. Spektrum UV ekstrak etanol coptidis rhizoma dalam pelarut etanol menunjukkan puncak maksimum pada λ 227 nm dan puncak tambahan pada λ 273 dan 350 nm (Lampiran 7). Puncak maksimum pada λ 227 nm menunjukkan bahwa transisi yang mungkin terjadi adalah π→π* atau n→δ*. Transisi π→π* adalah untuk senyawa dengan ikatan rangkap terkonjugasi seperti ikatan C=C dan C=O. Transisi n→δ* dihasilkan oleh suatu ikatan tunggal antara atom yang memiliki pasangan elektron bebas dengan atom yang memiliki elektron δ seperti ikatan C-N dan OH. Hasil ini juga didukung oleh spektrum IR ekstrak etanol coptidis rhizoma yang menunjukkan adanya serapan gugus OH, C-H sp2, C=C, C-C aril, C-N, dan C-X (Tabel 5). Berdasarkan uji kualitatif ekstrak etanol coptidis rhizoma mengandung alkaloid, saponin, dan karbohidrat. Spektrum UV dan IR yang diperoleh mendukung adanya senyawa alkaloid dalam ekstrak etanol coptidis rhizoma dengan adanya serapan gugus C-N pada spektrum IR tetapi tidak mendukung adanya saponin dan karbohidrat karena tidak terdapat serapan C-H aldehida pada spektrum IR (Lampiran 8). Tabel 5 Absorpsi gugus fungsi ekstrak etanol coptidis rhizoma hasil spektrum IR Bilangan gelombang (cm-1)
Pustaka (cm-1)
Gugus
3367.37
3000-3700
-OH
2929.86 1603.66 1507.16 1274.51
2850-3000 1600-1680 1450-1600 1000-1350
C-H sp2 -C=C-C-C aril C-N
617.89 540-785 C-X Pustaka : Fessenden & Fessenden 1986 dan Pavia et al. 1996 Ekstrak etanol glycyrrhizae radix menunjukkan puncak maksimum pada λ 336 nm dan puncak tambahan pada λ 252 nm (Lampiran 9). Puncak maksimum pada λ 336 nm menunjukkan adanya suatu ikatan dengan transisi π→π*, n→π*, atau n→δ*. Transisi π→π* dan n→π* adalah untuk senyawa dengan ikatan rangkap terkonjugasi seperti ikatan C=C dan C=O. Spektrum IR ekstrak etanol glycyrrhizae radix juga menunjukkan
adanya serapan untuk gugus O-H, C-H sp2, C=C, C-C aril, dan C-O (Lampiran 10). Hasil spektrum UV dan IR ini mendukung hasil uji kualitatif adanya senyawa flavonoid dalam ekstrak etanol glycyrrhizae radix dengan adanya serapan gugus O-H dan C-C aril tetapi tidak mendukung adanya karbohidrat karena tidak terdapat serapan C-H aldehida pada spektrum IR. Hasil uji kualitatif ekstrak etanol borneo camphor tidak menunjukkan hasil yang positif untuk semua metabolit primer dan sekunder. Identifikasi ekstrak dilanjutkan dengan menggunakan spektrofotometer UV dan IR. Spektrum UV menunjukkan puncak maksimum pada λ 237 nm dan puncak tambahan pada λ 322 nm (Lampiran 11). Puncak maksimum pada λ 237 menunjukkan serapan untuk senyawa benzena. Spektrum IR ekstrak etanol borneo camphor menunjukkan adanya serapan untuk gugus OH, C-H aromatik, C≡N, dan C=C aromatik (Lampiran 12). Berdasarkan spektrum UV dan IR ekstrak etanol borneo champor mengandung suatu senyawa aromatik. Borneo camphor mengandung minyak atsiri yang merupakan suatu senyawa aromatik (Guenther 1990). Minyak atsiri diketahui memiliki aktivitas antibakteri. Minyak atsiri dari daun sirih dapat menghambat pertumbuhan Streptococcus mutans (Yunilawati 2002). Uji Statisik Hasil analisis statistik dengan ANOVA pada taraf 5% menunjukkan bahwa daya hambat ekstrak tunggal coptidis rhizoma, borneo camphor, dan glycyrrhizae radix berbeda nyata terhadap ekstrak campuran coptidis rhizoma, borneo camphor, dan glycyrrhizae radix (1:1:1). Hal ini berarti ada perbedaan kemampuan antara ekstrak campuran dan ekstrak tunggal dalam menghambat pertumbuhan S. aureus dan S. pyogenes (Lampiran 13). Uji lanjut kontras menunjukkan bahwa ekstrak campuran glycyrrhizae radix dan borneo camphor (1:1), glycyrrhizae radix dan coptidis rhizoma (1:1), borneo camphor dan coptidis rhizoma (1:1), serta campuran glycyrrhizae radix, borneo camphor, dan coptidis rhizoma (1:1:1) berbeda nyata terhadap ekstrak tunggal dalam menghambat pertumbuhan S. aureus, yang ditunjukkan dengan nilai p-value<0.05 (Lampiran 14). Hal ini berarti bahwa campuran ketiga ekstrak
13
tersebut tidak bersifat sinergis dalam menghambat pertumbuhan S. aureus. Uji lanjut kontras untuk daya hambat terhadap S. pyogenes menunjukkan bahwa ekstrak campuran glycyrrhizae radix dan borneo camphor (1:1), glycyrrhizae radix dan coptidis rhizoma (1:1), borneo camphor dan coptidis rhizoma (1:1) berbeda nyata terhadap ekstrak tunggal dalam menghambat pertumbuhan S. pyogenes. Campuran ekstrak etanol glycyrrhizae radix, borneo camphor, dan coptidis rhizoma (1:1:1) tidak berbeda nyata terhadap ekstrak tunggal, yang ditunjukkan dengan nilai p-value>0.05 (Lampiran 15). Hal ini berarti bahwa campuran ketiga ekstrak tersebut bersifat sinergis dalam menghambat pertumbuhan S. pyogenes.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Rendemen ekstrak etanol serbuk coptidis rhizoma, glycyrrhizae radix, dan borneo camphor berturut-turut adalah 24.0, 24.5, dan 73.0%. Ketiga ekstrak ini memiliki daya hambat terhadap S. aureus berturut-turut sebesar 13.33 ± 3.31, 4.33 ± 3.31, dan 3.33 ± 3.31 mm. Daya hambat ketiga ekstrak ini terhadap S. pyogenes berturut-turut sebesar 7.83 ± 4.38, 1.50 ± 2.87, dan 3.07 ± 0.60 mm. Ekstrak etanol coptidis rhizoma memiliki daya hambat terbesar terhadap S .aureus dan S. pyogenes. Hasil uji kualitatif ekstrak ini mengandung alkaloid yang didukung dengan spektrum IR yang menunjukkan adanya serapan gugus C-N dan spektrum UV yang menunjukkan serapan maksimum pada λ 227 nm. Hasil uji lanjut kontras menunjukkan bahwa ekstrak campuran coptidis rhizoma, borneo camphor, dan glycyrrhizae radix (1:1:1) berbeda nyata terhadap ekstrak tunggal dalam menghambat pertumbuhan S. aureus. Ekstrak campuran etanol coptidis rhizoma, borneo camphor, dan glycyrrhizae radix (1:1:1) tidak berbeda nyata terhadap ekstrak tunggal dalam menghambat pertumbuhan S. pyogenes. Saran Penelitian selanjutnya perlu dilakukan fraksinasi terhadap ekstrak etanol coptidis rhizoma untuk menemukan senyawa yang berpotensi sebagai antibakteri terhadap S. aureus dan S. pyogenes serta memperbaiki metode ekstraksi yang digunakan untuk
meningkatkan potensi antibakteri dari ekstrak coptidis rhizoma, borneo camphor, dan glycyrrhizae radix.
DAFTAR PUSTAKA Brock TD, Madigan MT. 1991. Biology of Microorganisms. New Jersey: PrenticeHall International Choi U, Kim M, Lee N. 2007. Optimization of antibacterial activity by Gold-Thread (Coptidis Rhizoma Franch) against Streptococcus mutans using evolutionary operation-factorial design technique. Microbiol Biotechnol 17:1880-1884 [DEPKES] Departemen Kesehatan. 1995. Farmakope Indonesia Ed. Ke-IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Dwidjoseputro D. 1978. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan Fardiaz S. 1989. Analisis Mikrobiologi Pangan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor Fessenden RJ, Fessenden JS. Kimia Organik Ed. Ke-II. Aloysius Hadyana Pudjaatmaka, Penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Organic Chemistry Gan
C. 2006. Herbasin Chinese herb database-Radix Glycyrrhizae. http://www herbasin.com/main.html [30 Des 2007]
Gan S. 1987. Farmakologi dan Terapi Ed. Ke-3. Jakarta: UI Pr. Grive M. 2000. Camphor. http://www. botanical.com/botanical/mgmh/c/camphor 13.html [31 Jan 2008] Guenther E. 1990. Minyak Atsiri Jilid IVA. Ketaran RS, penerjemah; Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari: Essential Oils Harbone JB. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Padmawinata, I Sudiro, Penerjemah. Bandung: ITB Pr. Terjemahan dari: Phytochemical Method.