29 HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri-ciri Biologis Itik AP dan PA Itik AP dan PA yang merupakan hasil silangan antara alabio sebagai itik petelur dengan peking sebagai itik pedaging memiliki karakteristik yang berbeda jika dibandingkan dengan itik-itik lokal yang sudah ada di Indonesia. Pada umumnya itik-itik lokal berpotensi sebagai petelur dengan karakteristik bobot badan relatif sedang, sedangkan itik AP dan PA memiliki bobot badan relatif besar mewarisi gen bobot besar dari induknya yaitu peking. Karakteristik bobot badan tersebut menjadi salah satu ciri biologis pada ternak hasil persilangan ini. Ciri-ciri biologis lain itik AP dan PA yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi dan konversi ransum, warna bulu dan kualitas telur. Bobot Badan Keberhasilan produksi telur yang optimum pada periode bertelur ditentukan oleh pertumbuhannya, terutama masa starter, yaitu sejak itik menetas (DOD) sampai umur 8 minggu (Susanti dan Prasetyo 2007b). Pertumbuhan pada ternak itik diartikan sebagai pertumbuhan dalam bobot hidup dari sejak menetas (DOD) sampai umur dewasa kelamin. Pengamatan pertumbuhan itik masa starter dilakukan sejak itik menetas (DOD) sampai umur 8 minggu. Bobot badan DOD itik AP (48.12 ± 0.46 g) sangat nyata lebih besar daripada itik PA (42.57 ± 0.36 g). Begitu pula pada umur 1 sampai 4 minggu, bobot badan itik AP sangat nyata lebih besar dibandingkan itik PA, yaitu masingmasing berturut-turut dari umur 1 sampai 4 minggu 135.04±2.71 vs 122.48±2.68 g, 281.51±4.62 vs 250.40±4.97 g, 538.24±9.67 vs 507.72±11.32 g, dan 813.61±12.54 vs 774.55±15.16 g. Hal ini menunjukkan adanya maternal effect, karena itik AP adalah hasil persilangan antara alabio jantan sebagai tipe petelur dengan peking betina yang merupakan galur pedaging. Hasil penelitian ini memiliki bobot DOD itik AP (48.12±0.46 g) dengan nilai di antara hasil persilangan itik alabio dengan itik cihateup, yaitu sebesar 50.23±3.01g pada itik AC dan 45.63±1.08 g pada itik CA, namun itik PA (42.57±0.36 g) memiliki nilai di bawah kedua hasil persilangan tersebut (Matitaputty et al. 2011). Pada umur 5 sampai 8 minggu, itik AP memiliki bobot badan yang sama dengan itik PA, yaitu masing-masing berturut-turut adalah 1099.75±16.04 vs
30 1058.32±17.78 g, 1413.87±16.30 vs 1367.52±21.41 g, 1672.94±19.08 vs 1655.15±23.47 g dan 1882.61±20.82 vs 1911.70±23.26 g. Meskipun bobot badan itik AP lebih baik dibandingkan dengan itik PA pada awal pertumbuhan, namun pada umur 8 minggu bobot badan itik PA masih menunjukkan laju pertumbuhan yang cepat sehingga
pertambahan bobot badan (PBB) selama masa starter
menjadi sama pada itik AP dan PA, yaitu masing-masing 1834.49±20.84 vs 1869.14±23.13 g. Hal ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan itik peking sebagai tipe pedaging sudah mengalami perlambatan pada umur 8 minggu, sedangkan galur itik alabio sebagai tipe petelur masih menunjukkan laju pertumbuhan yang cepat. Perubahan laju pertumbuhan itik PA yang lebih tinggi daripada itik AP terus berlanjut sampai memasuki masa grower. Laju pertumbuhan itik PA lebih baik dibandingkan dengan itik AP. Hal ini terlihat dari bobot badan itik AP dan PA yang sama secara statistik pada umur 10 minggu. Namun, pada umur 12 sampai 18 minggu, bobot badan itik AP sangat nyata lebih rendah dibandingkan itik PA. Padahal, pada umur DOD sampai umur 4 minggu bobot badan itik AP lebih baik daripada itik PA. Pola laju pertumbuhan pada penelitian ini hampir sama dengan persilangan itik CA dan AC. Pada bobot awal itik AC lebih baik daripada itik CA, namun pada bobot akhir, yaitu umur 8 minggu itik CA lebih baik daripada itik AC sehingga pertambahan bobot badan itik CA lebih baik dibandingkan itik AC (Matitaputty et al. 2011). Hal ini menunjukkan bahwa bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh pada masa grower dipengaruhi oleh galur pejantan. Bobot badan itik AP dan PA pada umur 10 sampai 16 minggu berturutturut
adalah
2108.98±24.80
vs
2166.50±21.87
g,
2172.03±27.46
vs
2261.00±23.01 g, 2209.83±28.36 vs 2314.60±22.99 g, 2251.49±38.33 vs 2344.70±22.40 g. Pertambahan bobot badan sampai masa grower itik PA sangat nyata lebih besar daripada itik AP, yaitu masing-masing 2203.46±38.38 dan 2302.14±22.33 g. Hasil ini menunjukkan bahwa itik PA, yang berasal dari induk alabio sebagai tipe petelur, masih menunjukkan laju pertumbuhan yang cepat pada masa grower, sedangkan itik AP, yang berasal dari induk peking sebagai tipe pedaging, laju pertumbuhannya sudah mengalami perlambatan pada umur 8 minggu sehingga bobot badan pada masa grower menjadi rendah. Hal ini
31 mungkin sebagai akibat seleksi dalam kurun waktu yang panjang terhadap galur itik peking yang memang ditujukan untuk pembentukan itik tipe pedaging dengan umur potong 8 sampai 12 minggu, meskipun itik alabio dan peking merupakan keturunan yang sama, yaitu dari itik Mallard (Anas plathyrhynchos). Perubahan laju pertumbuhan itik AP dan PA dari sejak menetas sampai dewasa kelamin terlihat jelas pada Gambar 7. 2500
Bobot badan (g)
2000 1500 1000 500 0 DOD
1
2
3
4
5
6
7
8
10
12
14
16
itik PA (g) 42.57 122.5 250.4 507.7 774.6 1058 1368 1655 1912 2167 2261 2315 2345 Itik AP (g) 48.12 135 281.5 538.2 813.6 1100 1414 1673 1883 2109 2172 2210 2251
Umur (mi nggu)
Gambar 7 Laju pertumbuhan itik AP dan PA masing-masing sebanyak 90 ekor pada umur DOD sampai 16 minggu. Berdasarkan Gambar 7 tampak bahwa pada awal pertumbuhan, yaitu umur DOD sampai umur 3 minggu, itik AP memiliki bobot badan lebih besar daripada itik PA. Namun, sejak umur 4 minggu, laju pertumbuhan itik AP sudah memasuki perlambatan, sedangkan itik PA masih mengalami laju percepatan pertumbuhan sehingga laju pertumbuhan masa starter, yaitu umur DOD sampai 8 minggu pada itik AP dan PA, adalah sama. Laju pertumbuhan itik PA masih mengalami percepatan sampai umur 16 minggu sehingga bobot badan itik PA sangat nyata lebih besar daripada itik AP.
32 Konsumsi dan Konversi Ransum Hasil pengamatan atas konsumsi dan konversi itik AP dan PA tercantum pada Tabel 1. Tabel 1 Konsumsi dan konversi ransum pada masa starter dan grower itik AP dan PA Peubah Itik AP (n = 90 ekor) Itik PA (n = 90 ekor) Masa starter (0-8 minggu) : Konsumsi (g/e/8 mg) 8804.84a ± 441.92 7973.10a ± 303.33 a Konversi 4.70 ± 0.22 4.31a ± 0.19 Masa grower (10-16 minggu) : Konsumsi (g/e/16 mg) Konversi
21577.00a ± 1530.86 9.74a ± 0.69
20100.28a ± 852.55 8.81a ± 0.38
Huruf superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P > 0.05).
Berdasarkan Tabel 1 tampak bahwa konsumsi itik AP dan PA tidak berbeda
nyata
pada
semua
fase
pertumbuhan,
yaitu
masing-masing
8804.84±441.92 g dan 7973.10±303.33 g untuk masa starter, 21577.00±1530.86 g dan 20100.28±852.55 g untuk masa grower. Konversi ransum itik AP dan PA juga tidak berbeda, yaitu masing-masing 4.70±0.22 dan 4.31±0.19 untuk masa starter, 9.74±0.69 dan 8.81±0.38 untuk masa grower. Konsumsi dan konversi yang diperoleh dalam penelitian ini lebih besar daripada galur murni alabio, peking, maupun hasil persilangan alabio dengan cihateup (Matitaputty et al. 2011; Marie-Etancelin et al. 2008 ). Hal ini mungkin disebabkan oleh banyaknya pakan yang tercecer dan tidak diukur sehingga terjadi peningkatan jumlah pakan yang digunakan yang berakibat tingginya nilai konversi ransum pada penelitian ini.
Warna Bulu Warna bulu itik AP dan PA sebagai keturunan itik peking dan alabio didominasi warna hitam, meskipun ada beberapa ekor yang berwarna putih dan cokelat menyerupai itik alabio. Variasi warna bulu itik AP dan PA tidak berbeda, yaitu di bagian punggung berwarna hitam, dada berwarna putih, sayap bagian atas bervariasi antara putih, hitam, dan abu-abu totol cokelat seperti warna itik alabio. Penampilan itik alabio, peking, PA dan AP tercantum pada Gambar 8.
33 a
b
c
d
Gambar 8 Penampilan itik alabio (a), peking (b), PA (c) dan AP (d).
Berdasarkan Gambar 8 tampak bahwa penampilan warna bulu itik PA dan AP hampir sama, yaitu didominasi warna hitam dengan bercak putih di bagian dada, sayap, dan kepala. Warna hitam pada itik dikontrol oleh gen E (Lancaster 1993). Gen E adalah gen autosomal yang dominan terhadap e+ (warna lain, seperti biru dan cokelat) dan menyebabkan bulu di seluruh tubuh berwarna hitam, kecuali warna bulu pada bagian-bagian tubuh tertentu yang dikontrol oleh gen warna putih. Gen E menjadi epistasis lengkap terhadap semua gen pada lokus M dan Li. Pada awalnya, hanya diketahui 3 tipe alel warna bulu itik mallard, yaitu MR, M+, dan md yang merupakan gen autosomal dengan derajat dominan lengkap MR>M+>md. Saat ini, Campbell (1984) telah menemukan gen MB pada itik sebagai pengontrol warna hitam dan merupakan gen paling dominan terhadap
34 warna lain yang telah diketahui sebelumnya, yaitu MR (restricted), M+ (mallard), dan md (dusky), namun diduga gen MB sama dengan gen E (Lancaster 1993). Gen pada lokus L adalah gen pengontrol untuk warna terang mengkilap. Lancaster (1993) menyatakan bahwa terdapat 3 gen pengontrol warna terang mengkilap pada itik, yaitu Li+ (fase gelap), li (fase mengkilap), dan lih (fase harlequin). Pada itik AP dan PA, warna terang yang mengkilap tidak muncul. Semua bagian tubuh didominasi warna hitam di bagian punggung dan bercak putih di bagian sayap. Meskipun ada beberapa ekor yang memiliki warna bulu putih di bagian leher dan dada, sebagian besar bagian tubuh lainnya didominasi oleh warna hitam. Hal tersebut memunculkan dugaan bahwa warna hitam bulu itik AP dan PA dikontrol oleh gen E atau MB, sedangkan kilapan warna pada itik AP dan PA dikontrol oleh gen lih. Induk itik AP dan PA adalah alabio dan peking. Itik alabio memiliki variasi warna bulu dominan cokelat dengan variasi biru, ungu, dan hijau pada sayap. Gen pengontrol warna bulu itik alabio adalah M+ dengan warna dilusi (d) sehingga diduga genotipenya adalah bi+/bi+ d/d yang mengekspresikan warna bulu cokelat yang seragam. Gen d adalah resesif dan terkait kelamin. Itik peking yang merupakan keturunan Indian Runner memiliki gen R dalam keadaan heterosigot, yaitu Rr+ dengan ekspresi warna bulu putih (Jaap 1933), namun apabila R bertemu dengan warna dilusi, maka zuriatnya akan menghasilkan warna hitam dan putih yang hanya muncul sebagian kecil saja.
Kualitas Telur Itik Kualitas telur itik AP dan PA yang diamati adalah telur yang pertama kali dikeluarkan. Tujuannya adalah untuk mengetahui kualitas telur apabila akan ditetaskan untuk menjadi bibit. Hasil pengukuran terhadap kualitas telur itik AP dan PA tercantum pada Tabel 2.
35 Tabel 2 Rataan ± S.E kualitas telur pertama itik AP dan PA Peubah Bobot telur Bobot kuning telur Bobot putih telur Bobot kerabang basah Bobot kerabang kering
Itik AP (n = 90 butir) Itik PA (n = 90 butir) ............................... g ………………..……. 62.58A ± 1.00 62.64A ± 0.80 A 17.86 ± 0.41 17.07A ± 0.39 A 37.14 ± 0.53 38.04A ± 0.42 A 7.87 ± 0.11 7.52B ± 0.08 a 6.57 ± 0.09 6.27b ± 0.07
Huruf kecil superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P < 0.01); Huruf kapital superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0.05); S.E = standar error
Bobot telur dan bobot kerabang merupakan indikator utama yang menjadi bahan pertimbangan dalam proses penetasan. Bobot telur pertama itik AP tidak berbeda dari itik PA, yaitu masing 62.58±1.00 dan 62.64±0.80 g. Peubah bobot telur akan menentukan bobot tetas. Telur-telur yang ditetaskan berasal dari itikitik yang telah mengalami masa produksi minimal 3 bulan agar diperoleh DOD yang sehat dan kuat. Selain itu, bobot telur yang pertama dikeluarkan biasanya relatif rendah, sehingga apabila telur-telur tersebut ditetaskan, maka akan diperoleh DOD yang lemah dan rentan terhadap penyakit. Pada masa produksi 3 bulan, bobot telur relatif stabil dan seragam sehingga akan dihasilkan bobot DOD yang seragam pula. Bobot telur yang tidak berbeda antara itik AP dan PA berhubungan dengan bobot kuning dan bobot putih telur itik AP dan PA yang tidak berbeda pula (Tabel 2). Bobot kerabang itik AP berbeda dari itik PA, terutama bobot kerabang kering. Hal ini mungkin merupakan suatu indikasi bahwa itik-itik yang berproduksi telur tinggi memiliki bobot kerabang telur yang tinggi pula.
Pola Rontok Bulu Kejadian rontok bulu selalu diawali dengan berhenti bertelur yang diikuti dengan rontok bulu dalam kondisi berhenti bertelur selama beberapa hari kemudian bertelur kembali. Urutan kejadian rontok bulu dengan berhenti bertelur dan bertelur kembali tercantum pada Gambar 9.
36
Lama berhenti bertelur Produksi telur
Berhenti
Rontok bulu
Berhenti
Bertelur kembali
Gambar 9 Pola rontok bulu itik AP dan PA.
Pola rontok bulu dalam penelitian ini sejalan dengan penelitian Purba et al. (2005) yang mengamati pola rontok bulu pada itik alabio dan mojosari. Kejadian rontok bulu yang selalu diawali dengan berhenti bertelur mungkin sebagai akibat dari mulai mengecilnya organ saluran reproduksi sehingga tidak ada telur yang dihasilkan (Berry 2003; Park et al. 2004). Periode berhenti bertelur akibat rontok bulu dihitung dalam hari dan dinyatakan sebagai lamanya berhenti bertelur. Glatz (2001) menyatakan bahwa lamanya periode rontok bulu dapat dipengaruhi oleh galur, spesies, dan status nutrisi. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini digunakan kelompok hasil persilangan berbeda, yaitu itik AP dan PA untuk mengetahui pengaruh galur pada lamanya berhenti bertelur akibat rontok bulu secara genetis. Hasil pengamatan lamanya berhenti bertelur sebelum dan sesudah rontok bulu, serta waktu mulai terjadinya rontok bulu tercantum pada Tabel 3. Tabel 3 Rataan ± S.E waktu mulai terjadinya rontok bulu, lamanya berhenti bertelur sebelum dan sesudah rontok bulu itik AP dan PA Peubah Itik AP (n = 21 ekor) Itik PA (n = 45 ekor) Waktu mulai rontok (hari ke-) Lamanya berhenti bertelur : - Sebelum rontok (hari) - Setelah rontok (hari) - Total hari berhenti bertelur (hari)
135.10a ± 17.21
129.18a ± 11.67
12.80a ± 1.50 36.70a ± 4.64 48.57a ± 5.01
14.56a ± 1.23 54.00b ± 7.44 69.00b ± 8.11
Huruf kecil superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05)
Waktu mulai terjadinya rontok bulu pada itik AP dan PA tidak berbeda, yaitu masing-masing pada hari ke-135.10±17.21 dan 129.18±11.67 yang dihitung sejak itik pertama kali bertelur. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa waktu mulai terjadinya rontok bulu relatif lambat, yaitu pada minggu ke-17 dan 18
37 masing-masing pada itik PA dan AP. Ellis (2004) menyatakan bahwa pada umumnya rontok bulu terjadi pada minggu ke-6 setelah produksi pertama. Lamanya berhenti bertelur sebelum rontok bulu pada itik AP dan PA tidak berbeda, yaitu masing-masing 12.80±1.50 vs 14.56±1.23 hari, namun lamanya berhenti bertelur setelah rontok bulu berbeda nyata antara itik AP dan PA, yaitu masing-masing 36.70±4.64 vs 54.00±7.44 hari. Perbedaan lamanya berhenti bertelur setelah rontok bulu menyebabkan total lama berhenti bertelur juga berbeda, yaitu 48.57±5.01 vs 69.00±8.11 hari masing-masing pada itik AP dan PA. Lama berhenti bertelur yang pendek pada itik AP merupakan sinyal bahwa itik AP memiliki potensi produksi telur yang lebih baik dibandingkan dengan itik PA. Hasil pengamatan ini juga mendapatkan bahwa lamanya berhenti bertelur adalah relatif pendek baik pada itik AP maupun itik PA karena Purba et al. (2005) memperoleh lama berhenti bertelur pada itik alabio dan mojosari berturutturut adalah 90.70 dan 90.90 hari. Terjadinya rontok bulu yang relatif lambat dan dalam periode yang pendek ini menunjukkan bahwa persilangan itik alabio dan peking dapat diharapkan sebagai sumber bibit induk untuk menghasilkan itik-itik dengan sifat rontok bulu yang terkendali, yaitu terjadinya rontok bulu yang lambat dan dalam periode yang pendek. Informasi ini belum lengkap karena belum dikaitkan dengan produksi telur sebagai sifat utama dalam usaha peternakan. Oleh karena itu, analisis dilanjutkan dengan menghubungkan sifat rontok bulu dengan produksi telur. Hasil pengamatan produksi telur selama 48 minggu pada itik yang mengalami rontok bulu dan tidak rontok bulu tercantum pada Tabel 4. Tabel 4 Produksi telur selama 48 minggu itik AP dan PA yang mengalami rontok bulu dan tidak rontok bulu Jumlah itik (ekor) Produksi telur (%) Kondisi itik Itik AP Itik PA Itik AP Itik PA rataan ± S.E Itik rontok 21 45 62.18 a ± 3.30 63.86 a ± 2.71 Belum rontok sampai 62 42 86.48b ± 1.28 83.15b ± 1.67 48 minggu Huruf superskrip yang berbeda (a dan b) pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada taraf P<0.01, S.E = standar eror
38 Produksi telur itik yang belum mengalami rontok bulu sampai pengamatan 48 minggu sangat nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok itik yang mengalami rontok bulu. Hal ini terjadi pada kedua kelompok itik AP dan PA. Produksi telur itik AP dan PA yang belum mengalami rontok bulu sampai 48 minggu sangat nyata lebih tinggi dibandingkan dengan itik yang rontok bulu sebelum 48 minggu, yaitu berturut-turut 86.18 vs 61.92%; dan 83.15 vs 63.86%. Perbedaan produksi ini menunjukkan bahwa kejadian rontok bulu sangat mempengaruhi produksi telur. Oleh karena itu, seleksi diperlukan untuk memilih individu-individu yang akan diperbanyak untuk menghasilkan keturunan dengan rontok bulu yang lambat. Seleksi individu berdasarkan muncul tidaknya rontok bulu pada periode produksi dapat dilakukan dengan pemisahan itik-itik yang mengalami rontok bulu dari itik-itik lain yang belum mengalami rontok bulu. Seleksi berdasarkan sifat kualitatif ini dapat diaplikasikan di tingkat peternak. Kenyataan di lapangan bahwa para peternak masih mempertahankan dan memperjualbelikan itik-itik yang sudah mengalami rontok bulu dengan harapan masih dapat menghasilkan telur yang tinggi. Hal ini menunjukkan upaya seleksi perlu dilakukan untuk pemilihan itik-itik yang masih memiliki produksi telur relatif tinggi meskipun telah mengalami rontok bulu. Oleh karena itu, peubah rontok bulu yang berkaitan dengan produksi telur perlu dicari sebagai kriteria seleksi. Pada penelitian ini diamati peubah-peubah rontok bulu yang berkaitan dengan produksi telur, yaitu frekuensi rontok bulu, waktu mulai terjadinya rontok bulu, lama berhenti bertelur, dan konsentrasi hormon prolaktin pada saat rontok bulu. Frekuensi Rontok Bulu Hasil pengamatan selama periode produksi 48 minggu menunjukkan adanya itik-itik yang mengalami rontok bulu, namun ada pula yang belum menunjukkan rontok bulu. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut dibuat dua kelompok itik, yaitu (a) kelompok itik yang mengalami rontok dan (b) itik yang belum rontok sampai produksi telur 48 minggu. Jumlah ternak pada kedua kelompok, frekuensi rontok bulu, dan lamanya rontok bulu tercantum pada Tabel 5.
39 Tabel 5 Jumlah ternak, frekuensi dan lamanya rontok bulu itik betina AP dan PA Waktu dan frekuensi mulai rontok bulu Itik AP Itik PA ……..…Ekor (%)……….. (a) Itik yang mengalami rontok 21 (23.33) 45 (50.00) Rontok 3 kali 0 4 (4.44) Rontok 2 kali 3 (3.33) 13 (14.44) Rontok 1 kali 18 (20.00) 28 (31.11) (b) Belum rontok sampai 48 minggu Mortalitas
62 (68.89)
42 (46.67)
7 (7.78)
3 (3.33)
Itik PA, yaitu hasil persilangan jantan peking dengan betina alabio, lebih banyak mengalami kejadian rontok bulu dibandingkan dengan itik AP sebagai hasil persilangan antara jantan alabio dengan betina peking. Sebanyak 50.00% (45/90) itik PA mengalami rontok bulu selama masa pengamatan 48 minggu, sedangkan pada itik AP kejadian rontok bulu hanya muncul sebanyak 23.33% (21/90). Mayoritas kejadian rontok bulu adalah satu kali masing-masing 20.00 % (18/90) untuk itik AP dan 31.11 % (28/90) untuk itik PA, namun pada itik PA ada yang mengalami rontok bulu dua kali, yaitu 14.44% (13/90) dan 4.44% (4/90) mengalami rontok bulu tiga kali. Selama masa pengamatan terdapat mortalitas sebanyak 7.78 % (7/90) pada itik AP dan 3.33 % (3/90) pada itik PA. Hasil pengamatan atas jumlah ternak berdasarkan kejadian rontok bulu pada populasi itik AP dan PA menunjukkan kecenderungan bahwa kejadian rontok bulu dipengaruhi oleh maternal effect (pengaruh induk). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Dun et al. (1998) yang menyatakan bahwa sifat mengeram dipengaruhi oleh gen terpaut kelamin pada kromosom Z karena kejadian rontok bulu pada itik AP lebih sedikit dibandingkan itik PA. Hal ini mungkin terkait gen kelamin, namun pada kromosom W.
Pendugaan ini
berdasarkan bahwa induk itik betina alabio sebagai pembawa rontok berpengaruh pada anaknya, yaitu PA yang mengalami rontok bulu lebih banyak dan lebih sering, sedangkan itik peking, sebagai induk betina dari itik AP, memiliki sifat rontok bulu lambat dan menghasilkan keturunan dengan sifat rontok bulu lambat juga (Tabel 5).
40 Apabila diduga bahwa sifat rontok bulu dipengaruhi oleh 2 gen dominan autosomal tidak lengkap yang saling menghilangkan (AA sebagai penyebab rontok bulu dan BB sebagai penghambat rontok bulu) dan dipengaruhi oleh lingkungan, maka diprediksi kejadian rontok bulu pada hasil persilangan lebih kecil dibandingkan dengan kejadian rontok bulu pada tetua itik alabio (asumsi≤ 50%). Pada penelitian ini, kejadian rontok bulu pada kedua genotipe berada di bawah 50%, yaitu 23.33% pada AP dan 50.00% pada PA sehingga konsisten dengan pola pewarisan sifat mengeram pada ayam yang dipengaruhi oleh paling sedikit 2 gen dominan autosomal tidak lengkap yang saling menghilangkan (Romanov et al. 2002). Hasil pengamatan ini belum lengkap sehingga perlu dibuktikan melalui penelitian lebih lanjut dengan melakukan persilangan backcross antara F1 jantan dengan Peking betina untuk menghasilkan populasi F2. Kromosom kelamin unggas adalah ZZ (homogametik) pada jantan dan ZW (heterogametik) pada betina (Noor 2010). Sifat rontok bulu, selain dipengaruhi oleh gen dominan autosomal tidak lengkap, berhubungan pula dengan gen terpaut kelamin pada kromosom Z (Dun et al. 1998; Romanov et al. 2002). Oleh karena itu, program seleksi dengan tujuan mengendalikan sifat rontok bulu harus melibatkan kelompok pejantannya dengan membentuk reference family. Hal ini akan memudahkan dalam menentukan genotipe sifat rontok bulu yang berasal dari induk dan pejantannya. Penentuan frekuensi rontok bulu sebagai peubah yang dapat digunakan sebagai kriteria dalam program seleksi dengan tujuan untuk meningkatkan produksi telur memerlukan analisis hubungan antara frekuensi rontok bulu dengan lamanya berhenti bertelur dan produksi telur. Hasil analisis keterkaitan frekuensi rontok bulu dengan lamanya berhenti bertelur tercantum pada Tabel 6, sedangkan hasil analisis keterkaitan frekuensi rontok bulu dengan produksi telur tercantum pada Tabel 7.
41 Tabel 6 Rataan ± S.E lama berhenti bertelur itik AP dan PA berdasarkan frekuensi rontok bulu yang berbeda Total lamanya Lamanya berhenti bertelur per kejadian rontok berhenti bertelur (hari) (hari) Frekuensi rontok bulu Itik AP Itik PA Itik AP Itik PA Rontok Rontok Rontok Rontok Rontok ke-1 ke-2 ke-1 ke-2 ke-3 1 kali 2 kali 3 kali
44.67±5.19 a
27.33 ±4.18 -
59.46±9.97 b
44.67 ±11.89
a
a
35.08 ±4.91
33.92 ±7.53
-
37.33a±2.33
31.67a±5.78
30.67a±11.35
44.67B±5.19
59.46B±9.97
A
72.00 ±7.77
69.00AB±10.63
-
99.67A±16.02
Huruf kecil superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P < 0.01); Huruf besar superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0.05); S.E = standar error
Frekuensi rontok bulu tiga kali pada itik PA secara nyata menyebabkan periode berhenti bertelur yang lebih lama, yaitu 99.67±16.02 hari, jika dibandingkan dengan itik yang mengalami rontok bulu satu kali, yaitu 59.46±9.97 hari, tetapi tidak berbeda dari itik-itik yang mengalami rontok dua kali dengan lama berhenti bertelur 69.00±10.63 hari. Kelompok itik yang mengalami rontok bulu dua kali memiliki lama berhenti bertelur yang sama dengan kelompok itik yang mengalami rontok bulu satu kali, yaitu 69.00±10.63 dan 59.46±9.97 hari. Lamanya berhenti bertelur per kejadian rontok bulu tidak berbeda pada itik PA. Itik-itik yang mengalami rontok dua kali maupun tiga kali memiliki lama berhenti bertelur yang sama pada setiap kejadian rontok bulunya. Itik-itik yang mengalami rontok bulu dua kali mengalami lama berhenti bertelur 35.08a±4.91 hari pada kejadian rontok pertama dan 33.92±7.53 hari pada kejadian rontok ke-2. Begitu pula dengan itik-itik yang mengalami rontok bulu tiga kali memiliki lama berhenti bertelur yang sama pada setiap kejadian rontok yaitu 37.33±2.33, 31.67±5.78, dan 30.67±11.35 hari masing-masing pada kejadian rontok bulu ke-1, 2, dan 3. Frekuensi rontok bulu pada itik AP nyata mempengaruhi lamanya berhenti bertelur. Total lama berhenti bertelur itik AP yang mengalami rontok bulu satu kali adalah 44.67±5.19 hari yang nyata berbeda dari itik yang mengalami rontok bulu dua kali dengan lama berhenti bertelur 72.00±7.77 hari. Begitu pula pada setiap kejadian rontok bulu mempunyai lama berhenti bertelur yang berbeda
42 sangat nyata antara kejadian rontok pertama dengan rontok ke-2, yaitu masingmasing 27.33±4.18 dan 44.67±11.89 hari. Berdasarkan hasil pengamatan di atas menunjukkan bahwa frekuensi rontok bulu berpengaruh pada lamanya berhenti bertelur. Itik-itik yang sering mengalami rontok bulu juga akan mengalami lama berhenti bertelur yang lebih panjang. Pengaruh frekuensi rontok bulu ini perlu dikaitkan dengan produksi telur karena tujuan utama dalam beternak itik adalah menghasilkan telur. Hasil pengamatan frekuensi rontok bulu dan produksi telur tercantum pada Tabel 7. Tabel 7 Rataan ± S.E produksi telur itik AP dan PA selama 48 minggu berdasarkan frekuensi rontok bulu yang berbeda Produksi telur (%) Frekuensi rontok bulu Itik AP n (AP) = Itik PA n (PA) = ekor ekor Rontok 3 kali Rontok 2 kali Rontok 1 kali
58.33 ± 5.75 62.82a ± 3.76 a
3 18
63.51a ± 3.16 64.80a ± 4.09 64.80a ± 3.71
4 13 28
Huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P > 0.05); S.E = standar error
Frekuensi rontok bulu ternyata tidak mempengaruhi jumlah produksi telur pada kedua kelompok itik persilangan AP maupun PA (Tabel 7). Itik-itik yang mengalami rontok bulu selama periode pengamatan 48 minggu memiliki produksi telur relatif rendah, yaitu berkisar antara 58.33 sampai 62.82% pada itik AP dan 63.51 sampai 64.80% pada itik PA. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok itik PA yang mengalami rontok bulu lebih dari tiga kali memiliki lama berhenti bertelur yang panjang, namun produksi telurnya sama dengan kelompok itik yang mengalami rontok bulu dua dan satu kali. Dengan demikian, frekuensi rontok bulu tidak dapat digunakan sebagai kriteria seleksi ketika memilih itik-itik yang sudah mengalami rontok bulu. Oleh karena itu, peubah lain perlu dicari dan salah satunya digunakan peubah waktu mulai terjadinya rontok bulu.
Waktu Mulai Terjadinya Rontok Bulu dan Produksi Telur Frekuensi terjadinya rontok bulu tidak berpengaruh pada produksi telur sehingga peubah lain digunakan untuk memperoleh informasi keterkaitan sifat
43 rontok bulu dengan produksi telur, yaitu waktu mulai terjadinya rontok bulu. Itikitik yang mengalami rontok bulu dibagi menjadi 6 kelompok berdasarkan waktu mulai terjadinya rontok bulu. Tujuannya adalah untuk memperoleh informasi yang lebih akurat mengenai pengaruh waktu mulai terjadinya rontok bulu pada produksi telur. Hasil pengamatan pengaruh waktu mulai terjadinya rontok bulu pada produksi telur ditampilkan pada Gambar 10.
90 80
Produksi telur (%)
70 60 50 40 30 20 10 0
< 60
61-120
121-180
181-240
241-300
301-336
AP (%)
68.06
52.36
67.05
62.99
61.01
71.13
PA (%)
66.65
61.39
60.21
63.07
72
79.47
Waktu mulai terjadinya rontok bulu (hari ke-)
Gambar 10 Produksi telur selama 48 minggu pada itik AP dan PA berdasarkan waktu mulai terjadinya rontok bulu yang berbeda.
Kelompok itik yang mengalami rontok bulu di awal (< hari ke-60) dan akhir periode produksi (> hari ke-301) masih memiliki produksi telur yang relatif tinggi, yaitu 68.06% dan 71.13% pada itik AP, sedangkan pada itik PA adalah 66.65% dan 79.47% (Gambar 10). Terdapat kecenderungan bahwa itik-itik yang mengalami rontok bulu pada awal atau akhir periode produksi cenderung memiliki produksi telur yang tinggi. Hal ini disebabkan kejadian rontok bulu tidak dalam masa puncak produksi. Sebaliknya, rontok bulu yang terjadi pada periode menuju puncak produksi, yaitu sekitar hari ke-61 sampai hari ke-240 menyebabkan rendahnya produksi telur pada itik AP maupun PA. Itik-itik yang mengalami rontok bulu pada periode menuju puncak produksi memiliki produksi
Comment [T6]: Judul belum menggambarkan produksi telur pada itik AP dan PA yang mengalami waktu mulai rontok bulu yang berbeda.
44 telur berkisar antara 52.36 sampai 67.05% pada itik AP dan 61.39 sampai 63.07% pada itik PA. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa waktu mulai terjadinya rontok bulu berpengaruh pada produksi telur. Itik-itik yang mengalami rontok bulu pada awal dan akhir periode produksi memiliki produksi telur selama 48 minggu yang relatif tinggi baik pada itik AP maupun itik PA, namun itik-itik yang mengalami rontok bulu pada periode produksi terutama menjelang puncak produksi memiliki produksi yang relatif rendah. Meskipun waktu mulai terjadinya rontok bulu berpengaruh pada produksi telur itik, penentuan waktu mulai terjadinya rontok bulu sebagai kriteria seleksi untuk meningkatkan produksi telur memerlukan analisis korelasi antara dua peubah tersebut. Hasil analisis korelasi dan regresi kedua peubah tersebut pada itik AP dan PA tercantum pada Tabel 8. Tabel 8 Koefisien korelasi, persamaan regresi, dan koefisien determinasi antara waktu mulai terjadinya rontok bulu dengan produksi telur 48 minggu pada itik AP dan PA Peubah Itik AP Itik PA Korelasi 0.14 0.16 Persamaan regresi y = 58.6 + 0.03x y = 59.16 + 0.04x F hitung 0.36 (P = 0.55) 1.08 (P = 0.31) Koefisien determinasi (R2) 0.02 0.03 y =Nilai pendugaan untuk produksi telur, x = Waktu mulai terjadinya rontok bulu, n (AP) = 21 ekor, n (PA) = 45 ekor
Hasil analisis regresi korelasi tampak bahwa waktu mulai terjadinya rontok bulu dengan produksi telur berkorelasi rendah, yaitu 0.14 pada itik AP dan 0.16 pada itik PA. Begitu pula dengan persamaan regresinya untuk menduga produksi telur berdasarkan waktu rontok bulu tidak nyata (P>0.05) dengan nilai koefisien determinasi yang rendah pula, yaitu 0.02 dan 0.03 masing-masing pada itik AP dan PA. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa waktu mulai terjadinya rontok bulu tidak dapat digunakan sebagai kriteria seleksi, karena berkorelasi sangat rendah dengan produksi telur sebagai tujuan utama seleksi. Peubah lain perlu dicari sebagai kriteria seleksi, yang dalam penelitian ini dianalisis lamanya berhenti bertelur.
45 Lamanya Berhenti Bertelur dan Produksi Telur Peubah waktu mulai terjadinya rontok bulu berpengaruh pada produksi telur, namun berkorelasi rendah dengan produksi telur sehingga tidak dapat digunakan sebagai kriteria seleksi untuk meningkatkan produksi telur. Oleh karena itu, peubah lain digunakan untuk mengetahui hubungan antara sifat rontok bulu dengan produksi telur, yaitu lamanya berhenti bertelur. Hasil pengamatan pada lamanya berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok bulu dengan produksi telur selama 48 minggu tercantum pada Tabel 9. Tabel 9 Rataan ± S.E produksi telur itik AP dan PA selama 48 minggu berdasarkan lama berhenti bertelur yang berbeda Lamanya berhenti Produksi telur bertelur akibat rontok Itik AP (%) n Itik PA (%) (hari) (AP) < 30 68.49A ± 4,28 8 76.19a ± 6.73 A 31 – 60 68.13 ± 8,04 5 73.42a ± 3.44 B 61 – 90 52.16 ± 4,15 8 63.28b ± 5.72 91 – 120 52.71c ± 47.27 > 120 32.50d ± 18.74
n (PA) 11 16 7 3 8
Huruf kecil superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada taraf P<0.01; huruf besar superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05, S.E=standar eror, n=jumlah ternak
Pengelompokan itik yang mengalami rontok bulu berdasarkan lamanya berhenti bertelur ternyata memberikan informasi yang lebih menarik daripada waktu mulai terjadinya rontok bulu. Pada Tabel 9 tampak bahwa lamanya berhenti bertelur akibat proses rontok bulu berpengaruh pada produksi telur.
Itik-itik
dengan lama berhenti bertelur selama kurang dari 60 hari masih berproduksi tinggi, yaitu 68.13% pada itik AP dan 73.42% pada itik PA. Hal ini menunjukkan bahwa itik-itik yang mengalami rontok bulu masih dapat dipertahankan, apabila lamanya berhenti bertelur tidak lebih dari 60 hari karena masih mampu berproduksi sekitar 70% sebagai patokan produksi tinggi jika dibandingkan ratarata produksi itik lokal yang masih berkisar antara 60 sampai 65% per tahun. Hasil pengamatan tersebut membentuk kelompok itik dengan lamanya berhenti bertelur yang pendek. Seleksi individu berdasarkan peubah waktu mulai terjadinya rontok bulu di awal (
hari ke-301) dan lamanya berhenti bertelur yang pendek kurang dari 60 hari akan membentuk kelompok itik
46 yang sudah mengalami rontok bulu tetapi memiliki produksi telur yang relatif tinggi. Tujuan seleksi ini adalah untuk pemilihan individu-individu yang akan dijadikan tetua untuk menghasilkan keturunan dengan periode rontok bulu yang pendek. Informasi ini harus dilengkapi dengan nilai korelasi antara lamanya berhenti bertelur dengan produksi telur karena tujuan utama usaha ternak itik adalah memperoleh produksi telur yang optimum. Hasil scatter plot antara lamanya berhenti bertelur akibat proses rontok bulu dengan produksi telur pada itik AP dan PA tersaji pada Gambar 11.
Gambar 11 Hubungan antara lamanya berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok bulu dengan produksi telur pada itik AP dan PA. Distribusi tingkat produksi telur yang dibentuk antarpeubah lamanya berhenti bertelur dengan produksi telur cenderung linear sehingga bentuk persamaan regresinya adalah sederhana (Gambar 11). Hasil scatter plot ini diperkuat dengan pengamatan atas korelasi, pendugaan persamaan regresi, dan koefisien determinasi antara lamanya berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok bulu dengan produksi telur 48 minggu pada itik AP dan PA, seperti tercantum pada Tabel 10.
47 Tabel 10 Koefisien korelasi, persamaan regresi, dan koefisien determinasi antara lamanya berhenti bertelur akibat rontok bulu dengan produksi telur selama 48 minggu pada itik AP dan PA Peubah Itik AP Itik PA Korelasi -0.553 -0.896 Persamaan regresi y = 80.7- 0.369x y = 84 – 0.299x F hitung 7.92 (P = 0.0115) 174.83 (P = 0.0001) Koefisien determinasi (R2) 0.306 0.803 y =Nilai pendugaan untuk produksi telur, x = lamanya berhenti bertelur akibat rontok bulu, n (AP) = 21 ekor, n (PA) = 45 ekor
Korelasi antara peubah lamanya berhenti bertelur karena rontok bulu dengan produksi telur memiliki nilai negatif tinggi. Hal ini berarti bahwa bertambahnya lama berhenti bertelur menyebabkan menurunnya produksi telur selama 48 minggu. Persamaan regresi yang diperoleh sangat nyata (P < 0.01). Hal ini berarti bahwa peubah bebas lamanya berhenti bertelur karena rontok bulu berhubungan erat dengan peubah produksi telur. Koefisien regresi ini sejalan dengan nilai korelasi, yaitu semakin pendek lamanya berhenti bertelur karena rontok akan menyebabkan produksi telur yang semakin tinggi, begitu pula sebaliknya. Koefisien determinasi (R2) relatif besar yang berarti bahwa produksi telur dalam penelitian ini dapat diduga dengan persamaan regresi tersebut terutama pada itik PA. Nilai pendugaan produksi telur berkaitan dengan lamanya berhenti bertelur karena rontok bulu. Pada itik PA dengan tingginya nilai R2 berarti persamaan regresi (Y=840.299X) dapat digunakan untuk pendugaan produksi telur menurut lamanya berhenti bertelur karena rontok bulu. Namun analisis ini masih berdasarkan sifat fenotipik, sedangkan untuk memperoleh respons seleksi yang akurat diperlukan informasi secara genetik. Oleh karena itu, penelitian perlu dilanjutkan untuk mengetahui korelasi genetik antara sifat produksi telur dengan lamanya berhenti bertelur, sekaligus menduga nilai heritabilitasnya.
Konsentrasi Hormon Prolaktin Proses berhenti bertelur yang berkaitan dengan rontok bulu menyebabkan perubahan fisiologis dengan melibatkan hormon reproduksi (Bell 2003). Salah satu hormon tersebut adalah prolaktin yang berperan dalam proses pembentukan
48 telur dan pertumbuhan bulu (Steven 1996). Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan pengukuran konsentrasi hormon prolaktin dengan dugaan bahwa konsentrasi hormon prolaktin berkaitan dengan produksi telur sehingga pengukuran konsentrasi hormon prolaktin terutama pada masa rontok bulu dapat digunakan sebagai salah satu kriteria seleksi, dengan pertimbangan bahwa pengukuran pada periode rontok bulu tidak akan membuat itik stress yang akhirnya mengganggu produksi telur itik tersebut. Hasil pengukuran hormon prolaktin pada populasi itik yang sedang mengalami periode rontok bulu, periode bertelur sebelum dan sesudah rontok bulu tercantum pada Tabel 11. Tabel 11 Konsentrasi hormon prolaktin itik sedang bertelur, rontok bulu dan bertelur kembali pada itik hasil persilangan PA dan AP Konsentrasi hormon prolaktin (ng/mL) Kondisi Itik AP (n=21 ekor) Itik PA (n=45 ekor) Bertelur sebelum rontok bulu 196.50aA ± 17.56 166.50aB ± 8.85 bA Rontok bulu 75.38 ± 11.84 79.18bA ± 4.98 aA Bertelur kembali setelah rontok bulu 174.20 ± 31.31 170.00aA ± 22.00 Huruf kecil superskrip berbeda (a, b) pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P < 0.01); Huruf besar superskrip berbeda (A, B) pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P < 0.01)
Konsentrasi hormon prolaktin pada kondisi itik yang sedang mengalami rontok bulu nyata lebih rendah dibandingkan pada kondisi itik dalam periode bertelur, baik pada itik AP maupun PA. Hormon prolaktin PA pada kondisi rontok bulu adalah 79.18±4.98 yang nyata lebih rendah dibandingkan dengan pada kondisi bertelur sebelum dan sesudah rontok bulu, yaitu masing-masing 166.50±8.85 dan 170.00±22.00 ng/mL. Begitu pula pada itik AP, konsentrasi hormon prolaktin pada periode rontok bulu adalah 75.38±11.84 ng/mL yang nyata lebih rendah dibandingkan dengan pada periode bertelur baik sebelum dan sesudah rontok bulu, yaitu berturut-turut 196.50±17.56 dan 174.20±31.31 ng/mL. Hasil yang sama dijumpai pada kalkun betina, yaitu konsentrasi prolaktin pada periode bertelur lebih tinggi dibandingkan dengan pada periode molting atau tidak bertelur (Gulde et al. 2010). Hal ini mungkin berkaitan dengan peranan hormon prolaktin yang banyak diperlukan pada masa produksi telur sehingga konsentrasinya menjadi tinggi (Hazelwood 1983), sedangkan pada kondisi rontok
49 bulu, yaitu kondisi tidak terbentuknya telur, namun terjadi pertumbuhan bulu, maka konsentrasi hormon prolaktin menjadi rendah. Konsentrasi hormon prolaktin itik AP dan PA pada periode produksi sebelum rontok bulu berbeda sangat nyata, yaitu masing-masing adalah 166.50 ±8.85 dan 196.50 ±17.56 ng/mL, sedangkan pada periode rontok bulu dan periode bertelur setelah rontok bulu tidak berbeda nyata. Konsentrasi hormon prolaktin pada periode rontok bulu itik AP dan PA masing-masing adalah 79.18 ±4.98 dan 75.38 ±11.84 ng/mL, sedangkan pada periode bertelur setelah rontok bulu pada itik AP dan PA adalah 170.00 ±22.00 dan 174.20 ±31.31 ng/mL.
Produksi Telur Hormon prolaktin berpengaruh pada produksi telur, terutama pada saat proses pembentukan kerabang (Hazelwood 1983). Hasil pengamatan produksi telur itik AP dan PA tercantum pada Tabel 12. Tabel 12 Produksi telur itik AP dan PA selama 48 minggu pengamatan Periode produksi (minggu) 0-4 4-8 8-12 12-16 16-20 20-24 24-28 28-32 32-36 36-40 40-44 44-48 Rataan 0-48
Itik AP (butir) n = 83 ekor 25.53a ± 0.36 24.55a ± 0.57 23.86a ± 0.69 24.19a ± 0.61 22.16a ± 0.82 22.12a ± 0.69 22.30a ± 0.83 21.94a ± 0.84 21.96a ± 0.83 21.78a ± 0.88 20.71a ± 0.96 20.11a ± 1.24 256.66a ± 6.00
Itik PA (butir) n = 87 ekor 23.76b ± 0.54 23.36a ± 0.63 20.64b ± 0.88 20.54b ± 0.85 21.47a ± 0.76 20.23a ± 0.89 19.92b ± 0.84 21.00a ± 0.89 20.39a ± 0.99 20.10a ± 1.00 17.97a ± 1.04 15.67b ± 1.44 232.22b ± 6.64
Huruf superskrip berbeda (a, b) pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P < 0.01)
Produksi telur itik AP sebelum rontok bulu, periode 0 sampai 16 minggu, sangat nyata lebih tinggi daripada itik PA, yaitu masing-masing adalah 25.53±0.36 vs 23.76±0.54
butir selama periode 0-4 minggu, 24.55±0.57 vs
23.36±0.63 butir selama periode 4-8 minggu, 23.86±0.69 vs 20.64±0.88 butir selama periode 8-12 minggu, dan 24.19±0.61 vs 20.54±0.85 butir selama periode
50 12-16 minggu. Hasil pengamatan produksi telur ini konsisten dengan kejadian rontok bulu dan hasil pengukuran konsentrasi hormon prolaktin. Rontok bulu pada itik AP dan PA mulai terjadi pada minggu ke-17 dan 18, sehingga dapat didefinisikan bahwa produksi telur sebelum rontok adalah periode awal produksi sampai 16 minggu. Produksi telur itik AP pada awal produksi sampai 16 minggu sangat nyata lebih tinggi daripada itik PA. Hasil ini konsisten dengan hasil pengukuran konsentrasi hormon prolaktin sebelum rontok bulu, yaitu itik AP (196.50±17.56 ng/mL) sangat nyata lebih tinggi
dibandingkan itik PA
(166.50±8.85 ng/mL). Hal ini terjadi karena itik dengan produksi telur lebih tinggi akan membutuhkan hormon prolaktin yang lebih banyak untuk proses pembentukan kerabang. Hasil penelitian ini, yaitu mengenai informasi keterkaitan hormon prolaktin dengan produksi telur sejalan dengan Wang et al. (2011) yang melakukan penelitian pada gen prolaktin dalam kaitannya dengan produksi telur itik lokal di China. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa gen prolaktin yang mengalami mutasi C-5961T sangat nyata berkaitan dengan produksi dan bobot telur. Pada itik dengan genotipe CC memiliki produksi telur dan bobot telur yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe TC. Gen prolaktin juga mempengaruhi sifat-sifat reproduksi terutama fertilitas pada itik Tsaiya yaitu itik lokal China (Chang et al. 2012). Produksi telur itik AP dan PA pada periode 16 sampai 48 minggu tidak berbeda nyata. Hasil ini sejalan dengan hasil pengukuran hormon prolaktin yang tidak berbeda nyata pada periode bertelur kembali setelah rontok bulu. Produksi telur itik AP dan PA masing-masing adalah 22.16±0.82 vs 21.47±0.76 butir untuk periode 16-20 minggu, 22.12±0.69 vs 20.23±0.89 butir untuk periode 20-24 minggu, 22.30±0.83 vs 19.92±0.84 butir untuk periode 24-28 minggu, 21.94±0.84 vs 21.00±0.89 butir untuk periode 28-32 minggu, 21.96±0.83 vs 20.39±0.99 butir untuk periode 32-36 minggu, 21.78±0.88 vs 20.10±1.00 butir untuk periode 3640 minggu, 20.71±0.96 vs 17.97±1.04 butir untuk periode 40-44 minggu, dan 20.11±1.24 vs 15.67±1.44 butir untuk periode 44-48 minggu. Rataan produksi telur itik AP (256.66±6.00 butir) sangat nyata lebih tinggi dibandingkan dengan itik PA (232.22±6.64 butir) selama pengamatan sampai 48 minggu.
51 Hasil analisis pengaruh hormon prolaktin dan terjadinya rontok bulu pada produksi telur dijelaskan dengan Gambar 12. b
a
30
250
Produksi telur (butir)
25
200
20
150
15
100
10
50
5
0
0 4
8
12 16 20 24 28 32 36 40 44 48 Periode produksi (minggu) Itik PA
Itik AP
Periode produksi sebelum rontok
Periode rontok bulu
Hormon prolaktin PA
Periode produksi setelah rontok
Hormon prolaktin AP
Gambar 12 Trend produksi telur (a) dan konsentrasi hormon prolaktin (b) pada itik AP dan PA. Produksi telur itik AP lebih tinggi dibandingkan dengan itik PA. Begitu pula dengan hasil pengukuran hormon prolaktin pada itik AP lebih tinggi daripada itik PA (Gambar 12). Hal ini menunjukkan bahwa hormon prolaktin berperan dalam produksi telur, terutama dalam proses pembuatan kerabang telur (Hazelwood, 1983). Hal ini memperkuat dugaan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara konsentrasi hormon prolaktin dengan produksi telur, yang harus dibuktikan melalui analisis korelasi dan regresi. Konsentrasi hormon prolaktin pada periode rontok bulu pada itik AP berkorelasi positif tinggi dengan produksi telur selama 48 minggu, yaitu 0.85, sedangkan pada itik PA konsentrasi hormon prolaktin bernilai rendah, yaitu -0.34, sehingga analisis berikutnya hanya dilakukan pada populasi itik AP untuk menduga persamaan regresi pada peubah konsentrasi hormon prolaktin dengan produksi telur 48 minggu tersebut. Hubungan atau korelasi antara hormon prolaktin pada periode rontok bulu dengan produksi telur 48 minggu ditentukan melalui analisis scatter plot. Hasil analisis tercantum pada Gambar 13.
52
120
Produksi telur (%)
100
Y = 24.45 + 0.48 X
80 60 40 20 0 0
50
100
150
200
Hormon prolaktin (ng/ml)
Gambar 13 Konsentrasi hormon prolaktin pada periode rontok bulu dengan produksi telur selama 48 minggu.
Hubungan antara hormon prolaktin pada periode rontok bulu dengan produksi telur selama 48 minggu adalah linear positif (Gambar 13). Hal ini diperkuat oleh nilai koefisien korelasi sebesar 0.85. Warwick et al. (1995) menyatakan bahwa nilai koefisien korelasi mendekati angka 1, maka dapat diduga hubungan tersebut adalah linear. Hasil ini menunjukkan bahwa pada itik AP semakin tinggi konsentrasi hormon prolaktin pada periode rontok bulu, maka diduga semakin tinggi pula produksi telurnya. Hal ini terjadi karena dalam produksi telur yang semakin tinggi, maka semakin tinggi pula hormon prolaktin yang diperlukan untuk proses pembuatan kerabang. Korelasi yang tinggi antara hormon prolaktin, yang diukur pada periode rontok bulu dengan produksi telur mendukung dugaan gen prolaktin sebagai pengontrol sifat rontok bulu yang berkaitan dengan produksi telur. Pada penelitian ini pengukuran kadar hormon prolaktin dalam periode rontok bulu belum dapat digunakan untuk menduga produksi telur 48 minggu karena belum diperoleh informasi mengenai konsentrasi prolaktin tertinggi yang menghambat pembentukan telur sehingga penelitian perlu dilanjutkan untuk memperoleh informasi tersebut. Hasil analisis regresi diperoleh persamaan : Y = 24.45 + 0.48 X. Nilai determinasi (R2) adalah 0.72 yang berarti bahwa hanya 72% persamaan tersebut
53 dapat menggambarkan keragaman antara peubah konsentrasi hormon prolaktin dan produksi telur. Hal ini dapat dipahami karena kerja hormon prolaktin yang akan menjadi negatif apabila telah mencapai konsentrasi tinggi tertentu sehingga pengambilan sampel dalam periode yang lebih pendek mungkin akan menghasilkan grafik dengan bentuk bukan linear.
Alternatif Cara Pengendalian Rontok Bulu secara Genetis Berdasarkan beberapa hasil di atas tampak bahwa terdapat keeratan hubungan yang relatif tinggi antara lama berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok bulu dengan produksi telur. Oleh karena itu, kedua sifat tersebut dapat dimanfaatkan dalam upaya pengendalian sifat rontok bulu. Program persilangan dalam penelitian ini dievaluasi dengan menghitung nilai heterosis pada kedua sifat tersebut sebagai salah satu alternatif upaya membentuk kelompok itik dengan tingkat produksi tinggi dan sifat rontok bulu yang sudah terkendali. Lama berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok bulu dan produksi telur dievaluasi pada 4 genotipe, yaitu itik AP, itik PA dan kedua tetuanya alabio dan peking. Hasil pengamatan kedua sifat pada 4 genotipe tersebut tercantum pada Tabel 13. Tabel 13 Lama berhenti bertelur dan produksi telur 30 minggu pada itik alabio, peking dan hasil persilangan resiprokalnya Peubah Alabio Peking AP PA (n = 25 ekor) (n = 25 ekor) (n = 83 ekor) (n = 87 ekor) Lama berhenti 42.44b ± 8.59 71.31a ± 9.36 43.63b ± 4.88 49.35b ± bertelur (hari) 4.85 Produksi telur 72.48b ± 3.24 56.41c ± 4.59 83.75a ± 1.39 76.12b ± (%) 1.68 Huruf superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0.01).
Lama berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok bulu pada itik peking paling tinggi dibandingkan 3 genotipe lain, yaitu alabio, AP, dan PA. Padahal, itik peking di negara asalnya China atau pun di negara-negara Eropa yang mengembangkannya, mengalami rontok bulu setelah produksi 40 minggu (Cherry & Morris 2008). Di Indonesia itik peking mengalami lama berhenti bertelur yang panjang mungkin disebabkan oleh lingkungan yang tidak sama dengan lingkungan asalnya. Lama berhenti bertelur itik peking adalah 71.31±9.36 hari yang lebih lama dibandingkan itik alabio, AP, dan PA, yaitu masing-masing
54 42.44± 8.59, 43.63 ±4.88, dan 49.35±4.85 hari. Lama berhenti bertelur berdampak pada produksi telur. Lama berhenti bertelur dalam penelitian ini lebih pendek daripada hasil penelitian Purba (2005) yang memperoleh total lama berhenti bertelur 90.70±12.78 dan 96.90±11.98 hari masing-masing pada itik alabio dan mojosari. Produksi telur itik peking lebih rendah dibandingkan 3 genotipe lainnya, yaitu itik alabio, AP, dan PA, yaitu masing-masing 56.41±4.59 vs 72.48± 3.24 %, 83.75± 1.39%, dan 76.12±1.68%. Meskipun itik peking mengalami lama rontok bulu yang panjang dan produksi telur yang rendah, keturunannya mampu mengekspresikan potensi yang dimiliki oleh itik peking sebagai tetuanya. Itik AP sebagai keturunan dari induk itik peking memiliki lama berhenti bertelur relatif pendek dengan produksi telur yang paling tinggi. Penghitungan heterosis dilakukan dengan membandingkan antara hasil silangan dengan tetuanya. Pendugaan nilai heterosis lama berhenti bertelur dan produksi telur itik PA dan AP tercantum pada Tabel 14. Tabel 14 Nilai heterosis (%) lama berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok bulu dan produksi telur 30 minggu itik AP dan PA Peubah Itik AP Itik PA Lama berhenti bertelur -23.29 -13.23 Produksi telur 30 minggu 29.96 18.12 Nilai heterosis lama berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok bulu bernilai negatif pada kedua genotipe. Nilai heterosis yang negatif pada lamanya berhenti bertelur sangat diharapkan karena akan memperpendek lamanya berhenti bertelur. Selain itu, sifat lama berhenti bertelur berkorelasi negatif dengan produksi telur sehingga nilai heterosis yang negatif tinggi menunjukkan nilai heterosis yang baik. Nilai heterosis lama berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok bulu pada itik AP lebih tinggi daripada itik PA, yaitu masing-masing 23.29 dan -13.23%. Hal ini berarti bahwa persilangan timbal balik antara itik alabio dengan peking akan menurunkan panjangnya berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok bulu. Diharapkan dengan berhenti bertelur yang pendek, maka produksi telurnya menjadi tinggi. Nilai heterosis produksi telur pada itik AP lebih tinggi daripada itik PA,
55 yaitu masing-masing 29.96 dan 18.12%. Nilai heterosis ini relatif tinggi dibandingkan hasil Prasetyo dan Susanti (2000) yang memperoleh nilai heterosis produksi telur 11.69 pada persilangan mojosari jantan dan alabio betina, maupun persilangan alabio dengan tegal yang memperoleh nilai heterosis 7.4 % pada produksi telur selama 72 minggu (Hetzel 1983). Hasil ini menunjukkan bahwa persilangan timbal balik antara itik alabio dan peking dapat digunakan untuk meningkatkan produksi telur dengan sifat rontok bulu yang sudah terkendali. Nilai rataan lama berhenti bertelur dan produksi telur itik persilangan AP dan PA lebih baik daripada kedua tetuanya, yaitu Alabio dan Peking. Hal tersebut disebabkan oleh keragaman fenotipik sebagai akibat adanya keragaman genetik, keragaman lingkungan, dan interaksi genetik dengan lingkungan. Pada penelitian ini, keragaman lingkungan diasumsikan sama sehingga keragaman yang terjadi merupakan keragaman yang disebabkan oleh faktor genetik. Keragaman genetik disebabkan oleh aksi gen aditif dan nonaditif yang terdiri atas gen dominan dan gen epistasis. Perbedaan rataan yang tinggi
pada kedua peubah antara itik
persilangan (AP dan PA) dengan kedua tetuanya (alabio dan peking) menunjukkan adanya nilai heterosis, maka diduga sifat lamanya berhenti bertelur dan produksi telur tersebut dipengaruhi oleh aksi gen nonaditif, yaitu aksi gen dominan dan gen epistasis (Noor 2010). Hasil ini mendukung dugaan bahwa sifat rontok bulu dipengaruhi oleh gen dominan autosomal (Romanov et al. 2002). Nilai heterosis yang tinggi pada peubah lama berhenti bertelur dan produksi telur menunjukkan bahwa kedua peubah tersebut memiliki nilai heritabilitas rendah, karena pada umumnya nilai heterosis yang dikontrol oleh gen nonaditif berlawanan dengan nilai hertitabilitas yang dikontrol oleh gen aditif (Noor 2010). Nilai hertitabilitas yang rendah biasanya berhubungan dengan sifatsifat reproduksi yang terjadi pada sel kelamin dan pada unggas dikontrol oleh gen Z dan W dengan gamet ZZ untuk jantan dan ZW untuk betina. Nilai heterosis sifat lama berhenti bertelur dan produksi telur itik AP lebih tinggi daripada PA sehingga diduga di samping adanya pengaruh gen dominan, terdapat juga pengaruh gen terpaut kelamin pada kromosom W (maternal effect). Hal ini berbeda dari Dun et al. (1998) yang menduga sifat mengeram pada ayam dikontrol oleh gen terpaut kelamin pada kromosom Z. Pengaruh maternal yang
56 lebih tinggi pada kromosom W daripada Z dapat dipahami karena induk betina memiliki DNA mitokondria sebagai tambahan sumbangan material genetik yang diwariskan pada keturunannya di samping dari DNA inti. DNA mitokondria ini hanya diturunkan dari induk betina, karena hanya terdapat pada sel telur dan tidak ada pada sel sperma.