4
untuk pengukuran perpanjangan putus. Kemudian sampel ditarik sampai putus dengan kecepatan 100 mm/menit sehingga dapat diketahui besarnya gaya maksimum dan panjang sampel saat putus. Pengukuran dilakukan sebanyak lima kali ulangan. Kekuatan tarik dan persentase perpanjangan putus dihitung menggunakan Persamaan 1 dan 2.
. . .1 (c) (a) (b) Gambar 2 Film UHMWPE metode kempa panas (a), HDPE metode kempa panas (b), dan HDPE metode pemanasan (c) pada dosis 0 kGy.
Keterangan: = kekuatan tarik (kg/cm2) = gaya maksimun (kg) = luas penampang sampel (cm2) = 0,3 = rataan ketebalan sampel (cm)
% % ∆
∆
100%
. . .2
= persentase perpanjangan putus (%) = pertambahan panjang sampel (cm) = (cm) – (cm) = panjang sampel saat putus (cm) = panjang sampel awal (cm)
Analisis Derajat Kristalinitas dengan XRD Film HDPE atau UHMWPE dengan ukuran tertentu ditempelkan pada tempat sampel dalam alat XRD dengan perekat ganda yang kemudian diletakkan pada guaniometer dan dirotasikan pada sudut kalibrasi (2θ) 15°30° selama waktu tertentu. Hasil yang diperoleh berupa difraktogram dan dapat diamati di layar monitor. Persentase derajat kristalinitas dapat ditentukan dari difraktogram hasil XRD melalui Persamaan 3:
!
! "#$%
transparan (Gambar 2a), sedangkan HDPE dengan metode yang sama berwarna putih pekat (Gambar 2b). Polimer HDPE hasil metode pemanasan pada dosis 0 kGy juga berwarna putih, tetapi lebih pekat dari HDPE hasil metode kempa panas (Gambar 2c).
100%
. . .3
Keterangan: = derajat kristalinitas (%) &'()*+,(- = luas daerah kristalin (cm2) +./'0 = luas daerah amorf (cm2)
HASIL DA PEMBAHASA Ciri-ciri Fisik Tibial Tray Tibial tray UHMWPE dan HDPE yang dihasilkan dari kedua metode menunjukkan ciri-ciri fisik permukaan yang berbeda. Ada perbedaan warna yang signifikan dari kedua polimer pada dosis 0 kGy dan 500 kGy. UHMWPE hasil metode kempa panas pada dosis 0 kGy berwarna putih yang sedikit
Warna UHMWPE dan HDPE hasil kedua metode setelah diiradiasi pada dosis 500 kGy berubah menjadi warna coklat. Warna coklat pada UHMWPE hasil metode kempa panas masih sedikit transparan (Gambar 3a), dibandingkan dengan HDPE yang berwarna coklat pekat (Gambar 3b). Namun, HDPE hasil metode pemanasan memiliki warna coklat yang lebih pekat dibandingkan dengan HDPE hasil metode kempa panas (Gambar 3c).
(c) (a) (b) Gambar 3 Film UHMWPE metode kempa panas (a), HDPE metode kempa panas (b), dan HDPE metode pemanasan (c) pada dosis 500 kGy. Perubahan warna polimer dari putih menjadi coklat dipengaruhi oleh pemanasan yang dilakukan sebelum iradiasi dan saat iradiasi sinar gamma. Berdasarkan Sulchan dan Endang (2007), HDPE memiliki sifat tahan terhadap suhu tinggi, keras, buram, dan kurang tembus cahaya. Hal ini menyebabkan pemanasan menjadi tidak merata ke seluruh bagian HDPE pada metode pemanasan sehingga panas yang dihasilkan saat iradiasi hanya terjadi di permukaan saja. Hal ini berbeda dengan HDPE dan UHMWPE yang dihasilkan dari metode kempa panas, pada metode kempa panas polimer diberi tekanan selama pemanasan sehingga saat iradiasi, panasnya tidak hanya di permukaan, tetapi juga ke seluruh bagian polimer. Oleh karena
5
itu, warna coklat HDPE hasil metode pemanasan lebih pekat dibandingkan dengan UHMWPE dan HDPE metode kempa panas. Iradiasi sinar gamma mengubah sifat-sifat fisik permukaan polimer secara signifikan baik warna maupun struktur permukaannya. Pembentukan radikal bebas menjadi sumber terjadinya perubahan struktur kimia dan perubahan sifat-sifat polimer (Ivanov 1992). Mikroskop elektron payaran (SEM) digunakan untuk mengamati perubahan struktur dari permukaan polimer akibat iradiasi sinar gamma. HDPE hasil metode kempa panas pada dosis 0 kGy terlihat kasar dan tidak homogen karena masih terdapat banyak butiran di permukaan (Gambar 4a), sedangkan pada dosis 500 kGy butiran-butiran sedikit berkurang sehingga cenderung lebih homogen (Gambar 4b). Permukaan UHMWPE pada dosis 0 kGy tampak halus, licin, dan lebih homogen dibandingkan dengan HDPE, tetapi masih terlihat adanya sedikit butiran (Gambar 5a). Seiring bertambahnya dosis iradiasi, butiran-butiran pada permukaan UHMWPE yang diberi dosis 500 kGy semakin berkurang sehingga permukaannya menjadi lebih homogen, halus, dan licin (Gambar 5b). Batista et al. (2004) menyatakan bahwa permukaan yang licin dan halus dari UHMWPE dapat menghasilkan gesekan yang rendah dengan material lain sehingga dapat meningkatkan ketahanan mekaniknya.
(a) (b) Gambar 4 Permukaan HDPE metode kempa panas pada dosis 0 kGy (a) dan 500 kGy (b) dengan perbesaran 1000 kali.
(a) (b) Gambar 5 Permukaan UHMWPE metode kempa panas pada dosis 0 kGy (a) dan 500 kGy (b) dengan perbesaran 500 kali.
Butiran yang terdapat di permukaan menunjukkan adanya gelembung udara yang terjebak di dalam polimer akibat proses pemanasan pada suhu tinggi (Billmeyer 1984). Metode kempa panas adalah metode kompaksi yang dilakukan pada suhu tinggi untuk menghasilkan suatu proses pemadatan polimer yang sempurna (Rusianto 2009), sedangkan metode pemanasan merupakan metode yang dilakukan pada suhu tinggi, tetapi tidak diberi tekanan. Pemberian tekanan pada metode kempa panas sebesar 200 kg/cm2 setelah pemanasan yang tidak berlangsung lama pada serbuk halus UHMWPE menyebabkan pemanasan menjadi merata ke seluruh bagian sehingga gelembung udara yang terjebak, seperti oksigen di permukaan sangat sedikit dan homogen. Hal ini berbeda dengan HDPE karena HDPE yang digunakan masih berupa butiran sehingga luas permukaannya menjadi lebih kecil dari UHMWPE. Luas permukaan yang kecil dan sifat HDPE yang tahan terhadap suhu tinggi menyebabkan gelembung udara yang terjebak di permukaan banyak dan HDPE menjadi kurang homogen. Oksigen yang terdapat pada gelembung udara tersebut berperan sebagai penangkap radikal bebas saat iradiasi sehingga menghambat terbentuknya ikatan silang (Blunn et al. 2002). Oksigen yang kemungkinan terjebak pada permukaan UHMWPE, serta proses iradiasi sinar gamma yang berlangsung dalam media udara mengakibatkan terganggunya pembentukan ikatan silang dan UHMWPE dapat mengalami pemutusan rantai seiring bertambahnya dosis iradiasi (Stephens 2009). Gambar 6 menunjukkan proses pembentukan ikatan silang. HDPE hasil metode kempa panas juga dapat menghasilkan ikatan silang, tetapi kemungkinan terbentuknya ikatan silang lebih sedikit dari UHMWPE. Hal ini disebabkan oleh banyaknya oksigen yang terjebak di permukaan HDPE sehingga polimer tersebut lebih cepat mengalami pemutusan rantai dibandingkan dengan UHMWPE (Gambar 7).
Gambar 6 Pembentukan ikatan silang (Lewis 2001).
6
Gambar 7 Pemutusan rantai (Lewis 2001). Sifat Mekanik Kekerasan Kekerasan adalah ketahanan suatu material terhadap gaya penekanan dari material lain yang lebih keras. Penekanan tersebut dapat berupa mekanisme penggoresan, pantulan, dan indentasi dari material keras terhadap suatu permukaan benda uji (Yuwono 2009). Kekerasan merupakan salah satu sifat bahan yang sangat penting dan sudah sering digunakan sebagai indikator untuk ketahanan aus polimer (Wang dan Ge 2007). Pengukuran kekerasan menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kekerasan dengan meningkatnya dosis iradiasi baik pada UHMWPE maupun HDPE. Hasil ini sesuai dengan laporan Rosario dan Silva (2006) yang menyatakan bahwa nilai kekerasan UHMWPE semakin tinggi seiring bertambahnya dosis iradiasi dan berada pada kisaran 64-68 shore D. Nilai kekerasan UHMWPE hasil metode kempa panas berada pada kisaran 45.36-46.39 shore D, HDPE yang dihasilkan dari metode kempa panas berada pada kisaran 44.47-45.92 shore D, dan HDPE hasil metode pemanasan berada pada kisaran 44.22-45.76 shore D (Gambar 8). Nilai kekerasan yang diperoleh dari ketiga polimer tersebut masih lebih kecil dari hasil laporan Rosario dan Silva (2006). Lampiran 2 menunjukkan perhitungan nilai kekerasan UHMWPE dan HDPE. Nilai Kekerasan (shore D)
46,5 46 45,5 45 44,5 44 0
100
200
300
400
500
600
Dosis Radiasi (kGy)
Gambar 8 Nilai kekerasan UHMWPE ( ), HDPE ( ), metode kempa panas (-), dan metode pemanasan (-).
Peningkatan nilai kekerasan kedua polimer disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kemungkinan terbentuknya ikatan silang dan pemutusan rantai. Ikatan silang menyebabkan susunan rantai acak yang berada di daerah amorf menjadi teratur sehingga polimer menjadi lebih keras. Pemutusan rantai juga dapat meningkatkan kekerasan karena oksigen menangkap radikal bebas hasil iradiasi sinar gamma sehingga polimer mengalami suatu proses oksidasi dan menghasilkan senyawa hidroperoksida yang dapat menyebabkan putusnya ikatan C-C dan membentuk kristal baru (Stephens 2009). Kristal-kristal inilah yang menyebabkan kekerasan juga semakin meningkat. Nilai kekerasan UHMWPE lebih besar dari HDPE hasil kedua metode karena kemungkinan terbentuknya ikatan silang pada polimer tersebut lebih banyak sehingga pemutusan rantai yang terjadi seiring bertambahya dosis iradiasi masih lebih lama dibandingkan dengan HDPE. Oleh karena itu, UHMWPE masih lebih keras dari HDPE, tetapi peningkatan kekerasan HDPE hasil metode kempa panas tidak berbeda jauh dengan UHMWPE. Bobot molekul juga mempengaruhi besarnya nilai kekerasan pada UHMWPE dan HDPE. Bobot molekul yang sangat tinggi pada UHMWPE menyebabkan rantai polimer yang dihasilkan dari iradiasi sinar gamma menjadi lebih panjang, sedangkan bobot molekul HDPE yang lebih kecil dari UHMWPE menghasilkan rantai polimer yang lebih pendek dari UHMWPE. Rantai polimer UHMWPE yang lebih panjang dari HDPE membuktikan bahwa UHMWPE mengalami proses pemutusan rantai yang lebih lama dibandingkan HDPE sehingga UHMWPE masih lebih keras dan lebih mampu dalam menahan gaya penekanan dari material lain yang lebih berat. Pemutusan rantai yang berlangsung secara perlahan pada kisaran dosis 0-500 kGy menyebabkan kenaikan kekerasan yang dihasilkan dari kedua polimer tidak signifikan. Kenaikan kekerasan yang tidak signifikan juga dapat dilihat dari difraktogram hasil XRD. Ada dua jenis puncak yang dihasilkan dari difraktogram, yaitu puncak yang tajam dan puncak yang lebar. Puncak yang tajam menggambarkan daerah kristalin, sedangkan puncak yang lebar menggambarkan daerah amorf. Puncak-puncak tersebut muncul dalam difraktogram karena polimer UHMWPE dan HDPE merupakan polimer yang semikristalin (Bambang 2011).
15
20
25
30
Intensitas
2Ө
(a)
3600 3200 2800 2400 2000 1600 1200 800 400 0
20
25
30
Intensitas
2Ө
(a)
3600 3200 2800 2400 2000 1600 1200 800 400 0 15
20
25
30
2Ө
(b) Gambar 10 Difraktogram HDPE metode kempa panas pada dosis 0 kGy (a) dan 500 kGy (b).
Intensitas
3200 2800 2400 2000 1600 1200 800 400 0
3200 2800 2400 2000 1600 1200 800 400 0 15
3200 2800 2400 2000 1600 1200 800 400 0 15
20
25
30
2Ө
15
20
25
30
2Ө
(b) Gambar 9 Difraktogram UHMWPE metode kempa panas pada dosis 0 kGy (a) dan 500 kGy (b). HDPE hasil metode kempa panas juga mengalami hal yang sama dengan UHMWPE, tetapi intensitas daerah amorf pada dosis 0 kGy terlihat lebih rendah dari UHMWPE (Gambar 10a). Setelah diiradiasi pada dosis 500 kGy, intensitas daerah amorf juga semakin berkurang (Gambar 10b). Intensitas daerah amorf HDPE hasil metode pemanasan pada dosis 0 kGy terlihat sangat rendah (Gambar 11a). Semakin naiknya dosis iradiasi, yaitu pada dosis 500 kGy, intensitasnya menjadi semakin rendah (Gambar 11b). Intensitas daerah amorf HDPE metode pemanasan setelah iradiasi sangat rendah karena HDPE tersebut sangat mudah mengalami pemutusan rantai akibat oksigen yang terjebak pada permukaan sangat banyak dan kemungkinan tidak ada ikatan silang yang terbentuk. Oleh karena itu, HDPE hasil metode pemanasan lebih cepat kristalin dibandingkan dengan HDPE dan UHMWPE hasil metode kempa panas.
Intensitas
Intensitas
Intensitas daerah amorf UHMWPE hasil metode kempa panas pada dosis 0 kGy terlihat tinggi (Gambar 9a), tetapi setelah diiradiasi pada dosis 500 kGy, intensitas daerah amorfnya berkurang atau lebih rendah (Gambar 9b). Penurunan intensitas daerah amorf menunjukkan bahwa UHMWPE semakin keras dan kristalin akibat terbentuknya ikatan silang dan pemutusan rantai, tetapi penurunannya tidak signifikan. Penurunan intensitas daerah amorf yang tidak signifikan disebabkan oleh pemutusan rantai pada kisaran dosis 0-500 kGy terjadi secara perlahan (Kim dan Nho 2009). Oleh karena itu, kenaikan kekerasannya pun tidak signifikan.
Intensitas
7
(a)
3200 2800 2400 2000 1600 1200 800 400 0 15
20
25
30
2Ө
(b) Gambar 11 Difraktogram HDPE metode pemanasan pada dosis 0 kGy (a) dan 500 kGy (b). Kekuatan Tarik, Perpanjangan Putus, dan Derajat Kristalinitas Uji tarik suatu bahan dapat memberikan informasi mengenai sifat mekanik, seperti kuat tarik dan perpanjangan putus. Kekuatan tarik menggambarkan kekuatan tegangan maksimum suatu material untuk menahan gaya tarik yang diberikan, sedangkan perpanjangan putus menggambarkan kemampuan material dalam menahan deformasi hingga terjadinya perpatahan. Perpatahan material hasil pengujian tarik ada dua macam, yaitu perpatahan ulet dan perpatahan getas. Perpatahan ulet lebih disukai karena bahan yang ulet umumnya lebih tangguh dan memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum terjadinya perpatahan (Yuwono 2009). Pengukuran kuat tarik
8
Nilai Kekuatan Tarik (kg/cm2)
600 500 400 300 200 100 0 0
100
200
300
400
500
600
Dosis Radiasi (kGy)
Gambar 12 Nilai kekuatan tarik UHMWPE ( ), HDPE ( ), metode kempa panas (-), dan metode pemanasan (-). Pengukuran persentase perpanjangan putus juga menunjukkan hal yang sama, yaitu semakin meningkatnya dosis iradiasi yang diberikan, maka semakin berkurang persentase perpanjangan putusnya. Berkurangnya persentase perpanjangan putus membuktikan bahwa polimer semakin getas
akibat adanya pemutusan rantai. UHMWPE getas pada dosis 500 kGy, HDPE hasil metode kempa panas mulai getas pada dosis 200 kGy, dan HDPE hasil metode pemanasan mulai getas pada dosis 100 kGy (Gambar 13). Terjadinya kegetasan dapat dilihat dari persentase perpanjangan putus yang bernilai 0%. Berdasarkan hasil tersebut UHMWPE mengalami perpatahan ulet dan tidak mudah getas dibandingkan dengan HDPE. Lampiran 4 menunjukkan perhitungan persentase perpanjangan putus yang diperoleh UHMWPE dan HDPE. Perpanjangan Putus (%)
menunjukkan bahwa terjadi penurunan kuat tarik dengan meningkatnya dosis iradiasi baik UHMWPE maupun HDPE dari kedua metode. Bobot molekul mempengaruhi kekuatan tarik dan perpanjangan putus pada polimer (Mark 1999). Bobot molekul yang sangat besar pada UHMWPE menyebabkan rantai polimer hasil iradiasi sinar gamma menjadi lebih panjang (Blunn et al. 2002). Bobot molekul HDPE yang lebih kecil mengakibatkan rantai polimer HDPE lebih pendek dari UHMWPE, namun rantai polimer HDPE hasil metode pemanasan masih lebih pendek dari HDPE hasil metode kempa panas. Rantai polimer yang panjang dari UHMWPE menyebabkan nilai kuat tariknya lebih besar dari HDPE hasil metode kempa panas dan rantai polimer HDPE hasil metode pemanasan yang sangat pendek menyebabkan nilai kuat tariknya paling kecil (Gambar 12). Seiring meningkatnya dosis iradiasi, maka rantai polimer semakin lama semakin pendek karena adanya pemutusan rantai sehingga nilai kekuatan tariknya semakin lama semakin menurun. Dengan kata lain, pemutusan rantai dapat meningkatkan kekerasan sekaligus menurunkan kekuatan tarik karena kristal yang terbentuk merupakan gabungan kristal hasil pemutusan ikatan C-C yang berikatan dengan oksigen. Penurunan kuat tarik terjadi secara tidak signifikan karena pemutusan rantai juga terjadi secara perlahan pada kisaran dosis yang digunakan. Lampiran 3 menunjukkan perhitungan nilai kuat tarik yang diperoleh UHMWPE dan HDPE.
800 700 600 500 400 300 200 100 0 0
100
200
300
400
500
600
Dosis Radiasi (kGy)
Gambar 13 Nilai persentase perpanjangan putus UHMWPE ( ), HDPE ( ), metode kempa panas (-), dan metode pemanasan (-). Persentase perpanjangan putus yang diperoleh UHMWPE menurun dari 350% ke 0% pada kisaran dosis 0-500 kGy. Hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan laporan Rosario dan Silva (2006) yang menyatakan bahwa persentase perpanjangan putus UHMWPE menurun dari 248% ke 30% pada kisaran dosis radiasi 0-500 kGy sehingga kekuatan tariknya juga menurun. Sedikitnya oksigen yang terjebak pada permukaan UHMWPE menyebabkan polimer tersebut mengalami pemutusan rantai yang lebih lama dibandingkan dengan HDPE sehingga UHMWPE memiliki nilai kuat tarik yang paling besar dan lebih mampu dalam menahan gaya tarikan dari material lain yang lebih berat. Oleh karena itu, UHMWPE mulai getas pada dosis 500 kGy. Hal ini berbeda dengan HDPE dari kedua metode. HDPE hasil metode kempa panas lebih mudah mengalami pemutusan rantai dibandingkan dengan UHMWPE karena oksigen yang terjebak pada permukaan lebih banyak sehingga kemungkinan terbentuknya ikatan silang lebih sedikit dari UHMWPE. Hal ini menyebabkan HDPE tersebut masih kurang mampu dalam menahan gaya tarikan dari material lain yang lebih berat, nilai kuat tariknya lebih kecil dibandingkan dengan
9
UHMWPE, dan mulai getas pada dosis 200 kGy. HDPE hasil metode pemanasan tidak terbentuk ikatan silang dan sangat kristalin. Kristalinitas yang tinggi akibat pemutusan rantai menyebabkan HDPE hasil metode pemanasan memiliki nilai kuat tarik paling kecil sehingga HDPE tersebut sangat mudah getas setelah diiradiasi. Hasil ini sesuai dengan laporan Rosario dan Silva (2006) yang melaporkan bahwa semakin kecil kekuatan tarik dan perpanjangan putusnya, maka polimer semakin getas seiring bertambahnya dosis iradiasi. Nilai kekuatan tarik dan perpanjangan putus yang semakin menurun juga dipengaruhi oleh faktor derajat kristalinitas yang semakin meningkat. Derajat kristalinitas adalah derajat kemungkinan terbentuknya susunan kristal dalam bentuk rantai (Bambang 2011). Sifat kristalinitas yang tinggi menyebabkan tegangan yang tinggi dan kaku (Agusnar 2004). Difraksi sinar-x (XRD) digunakan untuk menentukan derajat kristalinitas polimer. Persentase derajat kristalinitas UHMWPE hasil metode kempa panas pada dosis 0 kGy sebesar 52.07%, sedangkan pada dosis 500 kGy sebesar 59.70%. Persentase derajat kristalinitas HDPE hasil metode kempa panas juga semakin meningkat dan lebih besar dari UHMWPE, yaitu 67.11% pada dosis 0 kGy dan 68.75% pada dosis 500 kGy. Kenaikan derajat kristalinitas juga terjadi pada HDPE hasil metode pemanasan dan memiliki nilai yang paling besar, yaitu 69.96% pada dosis 0 kGy dan 79.15% pada dosis 500 kGy. Hasil ini sesuai dengan laporan Kim dan Nho (2009) yang menyatakan bahwa semakin tinggi dosis iradiasi, maka semakin tinggi derajat kristalinitasnya. Lampiran 5 menunjukkan perhitungan persentase derajat kristalinitas yang diperoleh UHMWPE dan HDPE. Derajat kristalinitas HDPE hasil metode pemanasan memiliki persentase yang paling besar dibandingkan dengan UHMWPE dan HDPE hasil metode kempa panas karena daerah amorf HDPE pada dosis 0 kGy sangat sedikit atau lebih kristalin sehingga HDPE tersebut sangat mudah terjadi pemutusan rantai. Hal ini disebabkan oleh oksigen yang terjebak sangat banyak baik pada daerah kristalin maupun daerah amorf sehingga oksigen tidak hanya menyerang radikal bebas di daerah kristalin saja, melainkan juga di daerah amorf. Proses tersebut menyebabkan adanya oksidasi pada polimer sehingga menghasilkan senyawa hidroperoksida yang dapat menyebabkan pemutusan rantai dan
menghasilkan kristal baru (Stephens 2009). Semakin tinggi kristalinitas akibat pemutusan rantai, maka HDPE menjadi semakin keras, tetapi mudah rapuh atau getas. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Sulchan dan Endang (2007) yang menyatakan bahwa HDPE memiliki kecenderungan untuk mengkerut dan getas selama dicetak sehingga termasuk material yang kritis terhadap cetakan. Faktor jenis ikatan dan struktur rantai juga mempengaruhi kristalinitas polimer (Agusnar 2004). Rantai polimer HDPE hasil metode kempa panas yang lebih pendek dari UHMWPE menyebabkan rantai polimer lebih cepat berkurang akibat adanya pemutusan rantai. Oleh karena itu, HDPE lebih cepat menjadi kristalin, derajat kristalinitasnya lebih besar, dan termasuk material yang lebih keras dan rapuh dibandingkan dengan UHMWPE.
SIMPULA DA SARA Simpulan UHMWPE yang dihasilkan dari metode kempa panas dan HDPE yang dihasilkan dari metode kempa panas dan metode pemanasan belum dapat meningkatkan ketahanan mekanik yang baik, dilihat dari menurunnya nilai kuat tarik dan persentase perpanjangan putus pada kisaran dosis 0-500 kGy. Nilai peningkatan kekerasan HDPE hasil metode kempa panas yang mendekati UHMWPE membuat HDPE memiliki potensi untuk dijadikan sebagai tibial tray menggunakan metode tersebut dibandingkan dengan metode pemanasan. Saran Perlu dilakukan homogenisasi sebelum dicetak menjadi tibial tray, iradiasi sinar gamma dalam keadaan vakum, dan dosis yang lebih tinggi terhadap HDPE baik metode pemanasan maupun metode kempa panas karena pembentukan ikatan silang merupakan faktor penting dalam tibial tray. Selain itu, perlu dilakukan pengujian untuk membuktikan adanya ikatan silang atau pemutusan rantai.
DAFTAR PUSTAKA Agusnar H. 2004. Penentuan derajat kristalinitas larutan kitin dengan variasi