Jurnal HIKAMUNA
HAK-HAK ASASI MANUSIA DI DUNIA ISLAM
Umi Nurhayati AKBID Pelita Ilmu Depok Email:
[email protected]
Abstrak Islam sangat menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Sejatinya islam telah menetapkan larangan pembunuhan; QS al-Isra : 33 dan QS al-Nisa: 93. Di samping islam telah mengatur hukuman bagi pembunuh, sebagaimana terdapat dalam QS al-Baqarah 178. Harus diklaim pula bahwa persoalan HAM dalam perspektif islam tidak sebatas domain pembunuhan, bahkan HAM menukik pada hak perlindungan keyakinan beragama; QS al-Baqarah : 256. Kata Kunci: Hak Asasi Manusia (HAM), Pembunuh, dan keyakinan. A. Pendahuluan HAM itu milik siapa? Demikian pertanyaan pembuka untuk menggugah rasa kepedulian terhadap diri dan sesama. Sejatinya HAM milik diri pribadi dan orang yang berada di sekitar pribadi. Jelas, HAM terakomodir dengan mulus karena mengetahui hak (hidup, berkeyakinan, dan sejenisnya) yang melekat dalam diri dan di luar dirinya. Oleh karenanya, ketidakpatuhan pada hak yang melekat dalam diri manusia berimplikasi pada pelanggaran HAM. Berdasarkan data kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang membuat berbagai kategorisasi. Pertama, kasus pelanggaran HAM masa lalu yang belum tersentuh proses hukum sebanyak 8 kasus. Kedua, kasus pelanggaran HAM yang macet di Komnas HAM dan Jaksa Agung sebanyak 8 kasus. Ketiga, kasus pelanggaran HAM yang dibawa ke pengadilan sebanyak 7 kasus. Keempat, wilayah konflik sebanyak 5 kasus.
49
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
B. Respon Terhadap Konsep Hak-hak Asasi Manusia Penjelasan komprehensif terhadap poin a ini suatu rangkuman atau intisari dari subbab buku Islam dan Demokrasi, Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993 karya Masykuri Abdillah. Berikut ini akan disajikan pandangan intelektual Muslim Indonesia seputar HAM. Pertama, Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa manusia mempunyai posisi tinggi dalam kosmologi, sehingga ia harus diperlakukan secara proporsional pada posisi yang ‚mulia‛. Sebelum seseorang individu dilahirkan dan setelah meninggalnya, dia mempunyai atau tetap mempunyai hak-hak yang diformulasikan dan dilindungi secara jelas oleh hukum. Karena individu mempunyai hak dan kemampuan untuk menggunakannya, Allah menjadikannya sebagai khalifa-Nya di muka bumi, sebagaimana dinyatakan secara eksplisit dalam Al-Quran. Lebih jauh Wahid menambahkan, kecenderungan manusia untuk menyalahgunakan haknya tidak menurunkan posisinya yang tinggi, sehingga dapat dipahami bahwa teologi Islam tidak mengakui dosa warisan. Memang ada keseimbangan tertentu antara hak-hak yang dipunyai seorang Muslim dan kewajibannya kepada Allah, tetapi hak-hal ini tidak dapat disangkal menunjukkan kebebasan berkehendak dan memilih. Kebebasan ini kemudian menunjukkan dasar yang kuat bagi pemeliharaan dari pengembangan hak-hak asasi manusia dalam Islam. Melalui pernyataannya di atas, Wahid memberikan pesan jelas bahwa manusia sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna dan melekat dalam dirinya, baik di kala masih hidup bahkan sudah meninggal pun senantiasa terlindungi oleh hukum. Sementara pesan lain yang hendak disampaikannya ialah terkait apapun pelanggaran yang dilakukan oleh manusia tidak berarti serta-merta ‚kemulian‛ yang melekat pada dirinya lantas hilang, karena Al-Quran secara jelas menegaskan bahwa dalam konsep Islam tidak mengenal dosa warisan. Dalam konteks ini, permasalahan ini masih belum final, karena perlu dimunculkan ke ranah perdebatan. Kedua, Maarif dan Azhary mengemukakan bahwa Allah memberkati manusia dengan kemulian-kemulian tertentu… ada tiga
50
Jurnal HIKAMUNA
karamah (kemuliaan) yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia terlepas dari latar belakang etnik, agama, dan politik mereka, yakni: 1. karamah fardiyyah (kemuliaan individu) yang berarti bahwa Islam melindungi aspek-aspek kehidupan manusia baik aspek spiritual maupun material; 2. karamah ijtima‘iyyah (kemuliaan kolektif) yang berarti bahwa Islam menjamin sepenuhnya persamaan di antara induvidu-individu; dan 3. karamah siyasiyyah (kemuliaan secara politik) yang berarti bahwa Islam memberi hak politik pada individu-individu untuk memilih atau dipilih pada posisi-posisi politik, karena mereka wakil Allah. Ketiga, Ali Yafie mendukung hak asasi manusia dengan argumen teori-teori hukum (ushul al-fiqh) yang sudah dirumuskan oleh para ulama klasik, yakni tentang konsep mashlahah (kemanfaatan atau kebaikan). Dalam ushul al-fiqh tujuan umum syari’ah Islam adalah mewujudkan kemaslahatan umum melalui perlindungan dan jaminan kebutuhan-kebutuhan atau keniscayaan (al-dharuriyyat) serta pemenuhan kebutuhan (al-hajiyyat) dan penghiasan (tahsiniyyat) mereka. Menurut Yafie, kebutuhan dasar manusia (al-dharuriyyah) meliputi jiwa (al-nafsi), akal (al-‘aql), keturunan (al-nasab), harta benda (al-mal), dan agama (al-din). Islam melindungi kebutuhan dasar manusia dan melarang pelanggaran apa pun terhadap kebutuhan dasar manusia tersebut. Keempat, Sjadzali mempunyai pendapat lain yang tidak pernah dijelaskan oleh para intelektual lain. Menurutnya, benar bahwa Nabi menyerukan kepada para pemilik budak untuk memperlakukan budak mereka secara lebih manusiawi atau membebaskan mereka sekalian, namun hingga wafatnya Nabi, Islam tidak menghapus perbudakan secara total. Sekarang ini, kemanusiaan menyetujui untuk menghapus perbudakan dalam semua bentuknya sebagai kejahatan kemanusiaan. Jika umat Islam mempertahankan ayat-ayat yang mengakui perbudakan karena staus quo periode Nabi dan hal-hal yang tidak terselesaikan dari apa yang telah Nabi bangun tentang pembebasan budak, mereka tidak akan dapat mendiskusikan persoalan hak asasi manusia, karena hak yang paling fundamental yaitu hak untuk hidup sebagai manusia merdeka. Oleh karena itu, Sjadzali menganjurkan untuk menafsirikan kembali tidak
51
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
hanya teks-teks Al-Quran dan Hadis yang bersifat ‚relatif‛ (nash zhanni), tetapi juga yang bersifat ‚absolut‛ atau pasti (nash qath’i), seperti sejumlah ayat mengenai perbudakan. Kelima, Amin Rais mengemukakan bahwa Negara yang melindungi hak asasi manusia, memelihara keadilan, menerapkan peraturan hukum terhadap seluruh warga Negara tanpa diskriminasi, berarti telah mengimplementasikan ajaran Islam. Tumpang tindih (overlapping) antara Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan hak-hak asasi Islam hampir sempurna. Memang terdapat ketentuan khusus bahwa Islam memperlakukan wanita dengan lebih protektif, seperti kebutuhan wanita untuk ditemani oleh muhrimnya dalam perjalanan. Amin setuju dengan perlakuan protektif ini, karena Islam mengakui perbedaan fisik dan biologis antara laki-laki dan perempuan. Namun dalam kenyataannya, sebagian besar intelektual Muslim serta ulama di Indonesia tampaknya tidak memandang hukum ini sebagai suatu kewajiban, tetapi hanya sebagai suatu anjuran. Hal ini mungkin karena kondisi sosial mereka sekarang ini lebih aman daripada sebelumnya, dan pendidikan wanita pun lebih tinggi dibandingkan pada masa dahulu, sehingga pada umumnya kini wanita hanya mempunyai sedikit masalah ketika berjalan sendirian. Persoalan yang sebenarnya yaitu bukan tentang banyak atau sedikitnya perlakuan protektif terhadap wanita, tetapi tentang posisi mereka di masyarakat secara keseluruhan. Terhadap keseluruhan respon intelektual Muslim Indonesia di atas, Masykuri Abdillah menarik benang merah dari keseluruhannya, Intelektual Muslim pada umumnya menyetujui bahwa Islam menegaskan keseimbangan antara hak-hak individual dan hak-hak kolektif, Amin Rais memilih untuk membedakan tiap sektor secara terpisah. Menurutnya, di sektor tertentu Islam cenderung pada kolektivisme, namun di sektor lain cenderung pada individualism, dan di sector lainnya lagi cenderung pada posisi tengah-tengah. Oleh karena itu, dia tidak ingin menyatakan secara definitif apakah Islam cenderung kepada individualisme atau kolektivisme. Dalam konteks ilmu dan teknologi, misalnya, Islam lebih individualistik, dalam arti setiap orang mempunyai hak penuh untuk mengembangkan kemampuannya. Dalam konteks moralitas, Islam membenarkan intervensi Negara yang didasarkan pada moralitas kolektif.
52
Jurnal HIKAMUNA
Misalnya, laki-laki dan perempuan yang bukan pasangan sah tidak dapat berkumpul secara bebas, karena moralitas Islam melarangnya. Dalam konteks kehidupan ekonomi, Islam mengambil jalan tengah antara individualisme dan kolektivisme, dalam arti Islam menganjurkan para penganutnya untuk memperoleh kekayaan, tetapi Islam mengontrolnya secara simultan, agar dalam kekayaan itu terkandung fungsi sosial untuk menciptakan pemerataan ekonomi di antara manusia. 1. HAM Perspektif Islam vis a vis HAM Perspektif Barat HAM perspektif Barat lebih mengedepankan nilai-nilai falsafah, sementara HAM perspektif Islam acuannya pada al-Quran dan al-Hadis. HAM standar Barat berangkat dari pandangan yang menjadikan manusia sebagai ukuran dari segala sesuatu. Bila dirunut, liberalisme Barat telah menyatakan diri sebagai pewaris sah filsafat dan peradaban humanisme dalam sejarah. Aliran filsafat ini sebenarnya bermula dari Yunani kuno dan mencapai puncaknya pada era modern. Maka seperti halnya dalam mitologi Yunani kuno, mereka menganut pandangan bahwa antara langit dan bumi, alam dewa dan alam manusia, terdapat pertentangan di antara kedua pihak. Dewa-dewa dengan perbuatan dan kesadarannya berusaha menegakkan kezaliman manusia. Di sisi lain, untuk memperoleh kebebasan dan kemerdekaannya, manusia harus merebut kekuasaan para dewa, dan selanjutnya menggeser kekuasaan mereka untuk menentukan nasib sendiri. Dengan demikian, telah terjadi pertarungan antara paham humanisme dan theisme. Oleh karena itu, HAM perspektif Barat bersifat anthroposentris dan sekular. Berbeda halnya dengan konsep HAM dalam Islam, pembicaraan mengenai HAM mengarah pada hak-hak yang diberikan Allah sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Tidak ada seorangpun yang berwewenang mencabut. Selain itu, HAM bukanlah hak-hak yang diberikan raja, penguasa, atau lembaga legislatif yang dapat dicabut sewaktu-waktu. Dalam perspektif Islam, Tuhan menjadi patokan utama. Tuhan Yang Maha Tinggi dan manusia hanya untuk mengabdi kepada-Nya. Oleh karena itu, HAM perspektif Islam menganut pandangan yang bersifat theosentris atau religius (ketuhanan).
53
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
Mujaid Kumkelo, dkk membentangkan persoalan theosentris dan antroposentris dalam konteks HAM ditemui apabila terjadi perbedaan antara kepentingan manusia dan Tuhan; benar menurut manusia, tetapi tidak menurut kehendak Tuhan. Demikian pula dengan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, belum tentu selalu sama dan sejalan. 2.
Varian Konstruksi HAM Universal Menurut Al-Maududi Hak untuk Hidup, hak untuk mendapatkan keselamatan, hak penghormatan terhadap kesucian perempuan, hak untuk memeroleh kebutuhan hidup pokok, hak individu atas kemerdekaan dan kebebasan, hak atas keadilan, kesamaan derajat umat manusia, dan hak untuk kerja sama dan tidak bekerja sama merupakan konstruksi HAM menurut al-Maududi. 3.
Relasi Islam dan HAM Menurut An-Na’im Menurut An-Na’im, seorang muslim seharusnya benar-benar memahami dan mempraktikkan agama Islam secara praksis, bukan sebagai agama yang abstrak. Dalam ilustrasinya, jika saya sebagai seorang Muslim diminta untuk memilih salah satu di antara Islam dan Hak Asasi Manusia, saya pasti akan memilih Islam. Namun, dari pada saya harus menghadapkan pilihan sulit ini kepada umat Islam, saya kira lebih baik kita sebagai Muslim mulai mempertimbangkan untuk mentransformasikan pemahaman kita terhadap syariah dalam konteks masyarakat Muslim saat ini. Saya percaya, bahwa pendekatan ini bisa digunakan sebagai prinsip, sekaligus solusi pragmatis.
C. Problematika Hak-Hak Asasi Manusia Saat ini, demorasi dan hak-hak asasi manusia adalah dua hal yang saling terikat. Tidak ada demokrasi tanpa adanya hak asasi manusia, dan pada umumnya hak asasi manusia tak dapat eksis tanpa adanya demokrasi. Dalam sejarah teori politik, demokrasi berasal dari ide-ide hak asasi manusia, dan hak asasi mamunsia (human rights) berasal dari hak-hak yang bersifat alamiah (natural rights). Hak-hak alamiah sering dikaitkan dengan konsep tentang hukum alam (natural law), sebagaimana
54
Jurnal HIKAMUNA
diperkenalkan oleh John Locke (1632-1705). Dalam doktrin tradisional, hak asasi selalu menegaskan pertahanan terhadap pelanggaran atas kepentingan pribadi individu, terutama yang dilakukan oleh negara. Dalam teori pemerintahan terbatas, yang selalu menyertakan doktrin tentang hak-hak alamiah, negara dilarang secara moral melampaui garis-garis batas, disekitar individu, yang dibangun dengan hak-hak ini. Menurut Locke, negara bukanlah pencipta hak-hak individu, tetapi bertanggung jawab pada pelaksanaannya sebagai hak individu, tetapi bertanggung jawab pada pelaksanaannya sebagai hak yang tidak dapat dicabut. Di dunia dewasa ini, hak-hak tidak hanya dinyatakan untuk melawan tindakan negara, tetapi ditafsirkan sebagai klaim yang sah tentang pemerintahan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan manusia. Sementara hak-hak tradisional disebut hak-hak ‘’negatif’’ , seperti hak untuk hidup, kebebasan berekspresi, hak milik, dan kebebasan untuk berkumpul, hak-hak yang baru disebut hak-hak ‘’positif’’ atau hak ekonomi dan sosial, seperti hak untuk mendapatkan jamunan kesehatan, hak upah minimum dan berlibur dengan menerima gaji, dan sebagainya. Pertama, formulasi hak asasi menurut Islam didefinisikan dalam Cairo Declaration on Human Right in Islam yang dideklarasikan pada 15 Agustus 1990 di Kairo. Deklarasi ini dapat disetujui oleh anggota-anggota OKI setelah perdebatan dan negoisiasi panjang selama tiga belas tahun. Deklarasi itu terdiri dari 25 pasal, yang meliputi hak-hak individual, sosial, ekonomi, dan politik. Seluruh hak dan kebebasan yang ditetapkan dalam deklarasi ini merupakan subjek syari’ah Islam (Pasal 24), yang secara tepat disebutkan sebagai satu-satunya sumber rujukan untuk menjelaskan atau klasifikasi setiap pasal dalam deklarasi (pasal 25), Hak-hak sipil dan politik meliputi, hak persamaan dalam mertabat manusia, kewajiban dan tanggung jawab dasar (pasal 1), hak persamaan di depan hukum (pasal 19), hak hidup yang merupakan pemberian Tuhan (pasal 2), dan hak menyatakan pendapat secara bebas sejauh tidak bertentangan dengan syari’ah Islam (pasal 22). Hak-hak sosial dan ekonomi mencakup, hak memeperoleh pendidika (pasal 9), hak untuk bekerja (pasal 13), hak untuk memiliki kekayaan (pasal 15), hak untuk memenuhi kebutuhan hidup yang memadai (pasal 17), dan hak untuk aman dan bagi dirinya, agamanya, tanggungannya, kehormatannya, dan
55
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
hartanya (pasal 18). Dalam bidang sosial dan ekonomi, deklarasi ini mencakup berbagai hak fundamental, tetapi dalam bidang politik ia tidak menyebutkan berbaga hak politik yang sebenarnya fndamental, misalnya hak untuk berkumpul. Hal ini mungkin karena sebagian besar, jika tidak yang terbesar, negara-negara Muslim yang mendatangani deklarasi ini belum sepenuhnya menjamin hak-hak politik warga negara. Agama Islam datang ntuk membawa kebahagiaan tidak hanya di akhirat, tetapi juga di dunia. Karena itu banyak hal yang menjadi cita-cita agama pada saat agama itu turun ke bumi.Cita-cita agama itu bila dirujuk ke dalam literatur fikih, dapat disebut dengan maqasid al-syari’ah, atau tujuan dari syari’ah. Dan jika dikaitkan dengan HAM, maka cita-cita agama atau tujuan syariah itu sendiri dari beberapa hal. Pertama, hidz alal-din atau menjaga agam. Setiap agama, pemerintah, masyarakat dan kita semua berada di dalamnya mempunyai kewajiban menegakkan agama. Atau, setiap negara menjamin setiap warganegaranya menjalankan agamanya sesuai yang diyakini. Kedua, hifdz al-nafs atau memelihara jiwa. Setiap negara harus melindungi dan menjamin keamanan, sehingga seluruh masyarakat dan seluruh individu di dalamnya merasa aman, bebas dari kekerasan, dan merasa hidup yang sebenarnya-bukan hidup seperti orang mati. Ketiga, hifdz al-aql, atau menjaga akal. Paling tidak negara atau pemerintah memiliki kewajiban untuk menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat, berserikat, dan berkumpul. Ketiga, hifds al-mall, yaitu kewajiban untuk menjaga harta. Hak seseorang untuk memiliki sesuatu juga wajib dijamin, bukan malah dicuri, dirampok, dan dirampas, baik oleh negara maupun masyarakat. Dan kelima hifdz al-nafs, atau menjaga keturunan, menjaga hak orang untuk memiliki keluarga dengan tenang. Atau, kalau dalam konteks perempuan, negara wajib melindungi hak-hak reproduksi. Misalnya negara harus menyediakan sarana dan prasarana untuk melindungi hak-hak reproduksi. Artinya negara tidak boleh mengabaikan proses keberlangsungan keluarga. Bila kelima hal ini tidak dijalani dengan baik oleh negara dan pemerintah, maka berarti te;ah terjadi pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM).
56
Jurnal HIKAMUNA
Pemerintah harus tegas menindak setiapaksi kekerasan, seperti terhadap pelaku pengeboman. Masyarakat dan para agamawan juga harus ikut terlibat mencegah terjadinya kekerasan di dalam masyarakat. Segala macam bentuk kekerasan, sekecil apapun, bisa dipastikan dapat melanggar HAM. Sebab pada dasarnya kekerasan dapat dipastikan menmbulkan kerugian dan ketidaksukaan bagi orang yang terkena kekerasan. Alangkah baiknya kita kembali ayat-ayat Al-Qur’an (Qs.Al-Maidah, 5:32). Peringatan Alllah ini perlu kita camkan bersama agar kita tidak menempuh cara kekerasan terhadap orang yang tidak bersalah. Kekerasan, apalagi pembunuhan, saa halnya dengan pembunuhan atas kemanusiaan. Ancaman terhadap pelaku kekerasan sangat jelas. Kita sangat dianjurkan untuk menghidupkan seseorang, karena sama saja kita menghidupkan manusia. Dengan kata lain, kita berkewajiban menegakkan kedamaian di muka bumi ini, sekecil apapun yang bisa kita lakukan. Kita dilarang menebarkan kekerasan sekecil apapun, karena dapat merusak nilai-nilai kemanusiaan. Hak Asasi Manusia itu sebenarnya dilindungi oleh Islam, baik hak dalam lapangan yuridis, seperti hak mendapat pengakuan sebagai manusia pribadi terhadap undang-undang maupun hak dalam lapangan sosial, seperti hak memiliki lapangan pekerjaan, ataupun hak dalam lapangan ekonomi, seperti hak mempunyai milik, ataupun hak dalam lapangan kebudayaan, seperti hak dalam mendapat pelajaran, ataupun hak dalam lapangan politik, seperti hak turut serta dalam pemerintahan. Berikut ini hak yang pertama dari hak-hak pokok adalah hak hidup dan keselamatan diri, serta hak memperoleh perlindungan diri, kehormatan dan harta. Untuk menjamin hak hidup, islam melindungi jiwa bahkan kehormatan manusia dan harta benda. Sungguh banyak benar jaminan-jaminan keamanan dan keselamatan bagi manusia di dalam hidup bermasyarakat. Jaminan yang pertama dan terutama, ialah jaminan hidup. Dengarlah firman Tuhan: ‘’Wa la taqtulun nafsal lati harramallahu illa bil haqqi Dan jangan kamu membunuh jiwa (seseorang), melainkan dengan ada jalan yang dbenarkan.’’ (QS.Al An’Am/6:151). Tiap-tiap jiwa mempunyai hak yang mutlak ini, terkecuali kalau ada sebab yang dibenarkan oleh syara’. Membunuh seorang manusia
57
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
disamakan dengan membunuh semua manusia, karena membunuh itu dipandang mengingkari hak hidup, dan tidak dipandang Siapa yang mempunyai hak itu. Syariat Allah yang kekal mengandung prinsip ini. Dengar pula firman Allah: ‘’Min ajli dzalika katabna ‘ala bani Isra-ila annahu man qatala
nafsan bi ghairi nafsin au fasadin fil ardli fa kaannama qatalannasa jami’an wa man ahyana fa ka-annama ahyannasa jami’an ,‛ Yang artinya, ‚ Karena itu kami tetapkan atas bani Israil, bahwa barang siapa membunuh seeorang bukan karena dia (yang dibunuh itu telah membunuh orang) maka seolah-olah yang membunuh itu telah membunuh semua manusia. Dan barangsiapa menghidupkan seseorang, seolah-olah ia telah menghidupkan semua manusia.’’ (QS.Al-Maidah/5:32) Di surat lain Tuhan berfirman : ‘’Wa man yaqtul mu’minan muta’ammidan fa jaza-uhu jahannamu
khalidan fiha wa ghadliballahu ‘alaihi wa la’anuhu wa a’adda lahu ‘adzaban ‘adhima.‛ Yang artinya, ‚ dan barangsiapa membunuh seseorang mu’min dengan sengaja, maka pembalasannya ialah jahannam, kekal di dalamnya. Allah memurkainya dan mengutukinya serta menyediakan untuknya azab yang besar.’’ (QS.An Nisa/ 4:93) Disamping itu Islam tidak menyerahkan prinsip seperti ini kepada tanggung jawab kebatinan dan siksa akhirat saja, tetapi disamping itu Islam membuat beberapa jenis undang-undang. Islam mewajibkan Qishash terhadap pembunuhan yang disengaja, mewajibkan diyat dan fidyah dalam hal yang tidak disengaja. Qishash diterapkan sebanding dengan kesalahan yang dibuat. Kalau seseorang mebunuh seseorang yang lain, maka yang membunuh itu dibunuh pula. Memang untuk menjamin keamanan manusia, baik jiwa maupun harta, Islam menentang segala perbuatan aniaya terhadap harta, kehormatan dan jiwa. Islam mewajibkan qishash dan had serta menugaskan para mu’min memperlakukan saudara-saudaranya sebagaiman ia mencintai dirinya. Untuk membela hidup, Islam membolehkan membunuh orang yang mempunyai makanan namun tidak mau memberikannya, padahal makanan itu sangat dihajatka (dibutuhkan) oleh yang memintanya untuk menyambung hidup. Oleh karena itula Ibnu Hazm menegaska, bahwa apabila seorang warga suatu kampung mati karena kelaparan, maka
58
Jurnal HIKAMUNA
diamlah diyatnya (denda) dari penduduk kampung itu, karena mereka dipandang sebagai pembunuhnya. Bersabda Nabi Muhammad SAW: ‘’ayyuma ahlu ‘urshatin ashbaha fihim umru-unja-i’an faqad bari-at minhum zimmatullahi Ta’ala,‛ Yang artinya, ‚ apabila terdapat seorang penduduk kampung yang lapar lantaran tidak dipedulikan oleh penduduk-penduduk kampung itu, maka seluruh penduduk kampung tersebut lepas dari jaminan Allah. ’’ Untuk lebih mengokohkan apa yang telah diterangkan oleh ayat-ayat tersebut di atas, maka dalam haji wada’ Nabi bersabda : ‘’Ya ayyuhan nasu, inna dima-akum wa amwalakum, wa-a’radlakum, ‘alaikum haramun, kahurmati yaumikum hadza,‛ Yang artinya, ‚ Wahai semua manusia sesungguhnya darah-darahmu, harta-hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu, seperti haramnya hari ini, bulan ini dan negeri ini.’’ Dan bersabda pula Nabi: ‘’Kullu muslimin ‘ala muslimn, haramun, damuhu wa ‘iradluhu wa maluhu.‛ Yang artinya, ‚ Setiap muslim terhadap muslim haram, baik darah, kehormatan, maupun hartanya.’’ (HR.Abu Dawud). Untuk menjamin hak hidup pula, Islam mewajibkan kita masing-masing memelihara hak itu dengan firman-Nya: ‘’ Wa la tulqu biaidikum ilat tahlukati.‛ Yang artinya, ‚ Jangan kamu mencanpakkan dirimu kedalam kebinasaan.’’ (QS.Al Baqarah/ 2:195) Hak asasi manusia membentuk etos dunia baru, bahwa manusia memiliki hak hidup, hak atas integritas tubuhnya, dan hak atas kondisi kehidupan yang layak, bahwa kebebasan suara hati, agama, dan pernyataan pendapat harus dihormati, bahwsa semua orang sama dimata hukum dan semua memiliki untuk ambil bagian dalam urusan publik yang merupakan kepedulian setiap orang . Dan bahwa segala bentuk diskriminasi harus ditolak. Semua yang disebut itu, dan masih banyak lagi, selaran dengan konsensus luas diseluruh dunia. Kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia yang tak dapat diganggu-gugat semacam itu telah diakui oleh hampir semua negara sejak Deklarasi Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan oleh PBB pada tahun 1948.
59
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
Hak Asasi Manusia dimilik oleh manusia bukan karea diberikan kepadanya oleh masyarakat, jadi bukan berdasarkan hukum positif yang berlaku, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Manusia memilikinya karena ia manusia anusia memilikinya karena ia manusia. Apa yang disebut hak asasi manusia itu tidak dapat dihilangkan oleh negara. Negara dapat saja tidak mengakuinya. Tetapi pengingkaran negara ituNegara dapat saja tidak mengakuinya. Tetapi pengingkaran negara itu sama sekali tidak menghilangkan hak asasi manusia itu sendiri, karena keberadaan hak asasi manusia tidak bergantung pada keberadaan suatu negara. Hak asasi manusia tidak kehilangan kekuatan moralnya hanya karena tidak diakui oleh pihak yang berkuasa. Tidak mengakui hak-hak yang dmilii oleh manusia sebagai manusia itu menunjukkan bahwa dalam negeri itu martabat manusia belum diakui sepenuhnya. Salah satu pertanyaan menarik dalam wacana tentanag Hak Asasi Manusia (HAM) adalah apakah agama-agama dunia khususnya Yahudi, Kristen, dan Islam, cocok dengan ide modern tentang asasi manusia universal, yang didasarkan pada filosofi sekuler. Pertanyaan ini khususnya sangat krusial bagi Isam terutama jika dikaitkan dengan fakta, dibandingkan dengan dua agama lainnya, bahwa ia merupakan agama yang paling disalh mengerti dan menjadi sasaran dari begitu banyak kecurigaan berdasarkan streotipe dan prasangka. Meski begitu, secara jujur, penulis harus mengatakan bahwa tidak semua kritik yang ditujukkan kepada Islam tanpa kebenaran. Orang hanya perlu mengingat bahwa di negara-negara yang disebut Islami atau wilayah-wilayah yang didominasi oleh kaum muslim sebagian besar kekerasan paling serius terhadap hak asasi manusia telah terjadi.Kesulitan untuk menutupi kekerasan terhadap HAM yang disebutkan itu khususnya dirumit oleh penolakan pemimpin-pemimpin negara-negara tersebut untukmrngizinkan kelompok-kelompok independen untuk menyelidiki atau bahkan menguji laporan yang dberika leh pers, para pengungsi, diplomat dan lain-lanya. Adalah tidak mengejutkan bahwa selalu ada ketidak jelasan tertentu saat kita berbicara tentang kemungkinan Islam bekerja sama memperkenalkan HAM. Hal ini, pada gilirannya, makin mempersulit, kalaupun tidak boleh dikatakan tidak memungkinkan, untuk memberi jawaban yang memuaskan dan menghasikan rekomendasi yang dapat
60
Jurnal HIKAMUNA
diterapkan. Keambiguitasan itu pada dasarnya dapat dilihat pada adanya kesenjangan yang amat lebar antara yang diidealkan dan realitasa yang ada. Dengan begitu, bagi mereka yang melihat Islam dapat memperkuat upaya-upaya untuk memeperkenalkan hak-hak asasi manusiaakan mengajukan argumentasi mereka pada fakta bahwa Islam sebagai agama dunia mengandung prinsip-prinsip yang sesuai dengan deklarasi universal hak asasi manusia. Hal ini dikarenakan Islam tidak hanya menyediakan ajaran-ajaran komprehensif dalam masalah-masalah yang berkaitandengan hukum agama (fiqh)¸dogma (tauhid), dan etika (akhlak).Akan tetapi juga dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan manusai (mu’amalat) dan masalah-masalah keduniawiaan. Jadi di dalam ajaran Islam, dimensi sosial dan kemanusiaan (insaniyyah) dianggap penting dan ulama, yang menduduki posisi penting karena pengetahuan mereka, selalu memainkan peran sentral dalam penafsiran ajaran agama dalam upaya mengantisipasi dan menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang terus berubah. Dilihat dari perspektif ini, Islam akan mampu memberikan sumbangannya dalam wacana dan penerapan HAM pada saat sekarang ini melalui upaya perluasan terus-menerus serta proses reinterpretasi ulang ajarannya oleh ahli dan ulamanya. Tetapi dilain pihak, bagi mereka yang skeptis terhadap kompabilitas Islam dengan keuniversalan HAM modern akan menunjuk pada kondisi nyata perlindungan HAM dibeberapa negara-negara Islam sebagi bukti bahwa agama sebagian bertanggung jawab atas sebagian aksi yang melanggar hak-hak asasi manusia. Sebagai contoh, banyak rezim otoriter telah memelihara kekuasaan mereka untuk waktu yang lama atas nama Islam. Dalam melakukan hal itu, mereka memanfaatkan ajaran Islam untuk diri sendiri dan mengkooptasi banyak pemimpim-pemimpin agama dalam upaya melegitimasi kekuasaan mereka yang represif. Sebagai akibatnya, pelarangan perbedaan pendapat secara politik dan kebebasan berbicara, pelecehan terhadap kelompok-kelompok opsisi, penangkapan dan pemenjaraan tanpa jaminan, dan tindakan lain semacam merupakan praktek-praktek yang umum dan sering terjadi dengan restu dari beberapa pemimpin agama.
61
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
Di luar kenyataan politik, seperti pelanggaran hak-hak asasi manusia terhadap wanita dan anak, diskriminasi terhadap kaum minoritas non muslim, dan dibebrapa wilayah , penerapan FGM (Female Genital Mutilation) sering kali dilakukan berdasarkan atas fatwa agama. Dalam hal isu pelanggaran hak-hak wanita, Islam adalah yang paling sering memakai dalih bahwa tindakan seperti itu sebagian besar berdsarkan atas argumentasi religius yang dikeluarkan oleh kaum ulama. Lebih jauh, meski ada beberapa prinsip Islam yang mungkin saja cocok dengan peningkatan demokrasi dan hak-hak asasi manusi, ada juga prinsip-prinsip Isla yang berlawanan atau bertentangan dengan ide tersebut. Sebagai contoh percabangan dua yang secara tajam antara wilayah damai (dar-al Islam) dan wilayah perang (dar-al Harb) serta anatra ummah dan apa yang dinamakan orang-orang yang dilindungi (ahl-Dzimmah) yang dapat memunculkan masalah serius terhadap proses pembangunan suatu kebijakn modern yang demokratis berdasarkan kewarganegaraan (citizenship). Ketegangan antara gagasan ideal dengan realitas tersebut, menurut hemat penulis, akan selalu ada dan karenanya hal itu perlu dibicarakan secara terbuka agar kita mampu melakukan wacana yang jujur dan menghasilkan jawaban serta rekomendasi yang masuk akal. Selain itu, untuk memahami Islam dengan lebih baik dan kemungkinannya untuk berpartisipasi dalam perjuangan untuk hak-hak asasi manusia kita harus mengajukan pertanyaan dalam konjungtur struktural dan historis khususnya keberadaan negara atau komunitas Islam yang ada. Pendekatan ini akan membuat kita dapat menangkap secara lebih dalam adanya ketegangan antar gagasan ideal dan realitas serta mencegah perangkap penggeneralisasian berlebihan yang cukup menggoda sebagian orang dalam upaya untuk mengahasilkan jawaban yang cepat dan masalah-masalah yang rumit. D. Kesimpulan Sejatinya Islam sangat memperhatikan hak-hak asasi manusia. Hal ini telah diatur melalui al-Quran dan al-Hadis. Bahkan Islam menolak keras kekerasan atas nama apapun. Terdapat sejumlah pandangan cendikia
62
Jurnal HIKAMUNA
yang berbeda-beda seputar HAM, sebetulnya pandangannya bermuara pada satu titik temu, yaitu mewujudkan keharmonisan sosial. Daftar Pustaka Abdillah, Masykuri. 2015. Islam dan Demokrasi, Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993. Jakarta: Prenadamedia Group. Cet. ke-1. Edisi Revisi. A.S Hikam Muhamad. 2000. Islam, Dekratisasi dan Pemberdayaan Civil Societ. Jakarta. Fayumi, Badriyah. 2004. Halaqah Islam Mengaji Perempuan HAM, Demokrasi. Jakarta.Ushul Press. Cet 1. Heppy el Rais. 2012. KAmusIlmiahPoppuler, PustakaPelajar, Yogyakarta, Cet. 1. Hussain, Syekh Syaukat. 1996. Hak Asasi Manusia Dalam Islam. GemaInsaniPress : Jakarta. Kumkelo, Mujaid. Moh. Anas Kholish, dan Fiqh Vredian Aulia Ali. 2015.
Fiqh HAM, Ortodoks dan Liberalisme Hak Asasi Manusia dalam Islam. Malang: Setara Press. Cet. Ke-1. Litbang Kontras. ‚Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia‛. Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Teungku. 1999. Islam HAM (Hak Asasi Manusia. Semarang. PT.Pustaka Rizki Putra.Cet 1. Raga Meran, Rafael. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta.PT.Asdi Mahsatya.Cet 1. Suharso, Ana Retnoningsih, 2014. Kamus Besar Bahasa Indonesia. WidyaKarya: Semarang. Cet.10.
63
