Global Governance: Antara Kebutuhan akan Global Networking dan Lingakaran Oligarki Internasional Analisa Kritis Terhadap Argumen Ann Florini (Hevi Kurnia Hardini, S.IP, MA. Gov)
1. Latar Belakang Argumen Florini menekankan tentang tantangan bagi pemerintah dewasa ini dalam menangani berbagai issu dan masalah yang komplek dan saling terkait. Kondisi tersebut ‘memaksa’ pemerintah untuk berjejaring dengan organisasi internasional guna mengambil langkah-langkah kolektif. Hal ini di karenakan pemerintah tidak dapat menangani keseluruhan masalah kompleks tersebut sendiri. Alasannya adalah sebagai entitas negara-bangsa pada era globalisasi tidak hanya memerlukan kemampuan untuk bekerja secara efektif dalam skala nasional, melainkan juga harus mampu berpartisipasi dan bernegosiasi secara aktif dalam skala internasional (Florini, 2003: 64). Guna melakukan simplifikasi dalam menganalisa argument Florini dan sintesisasi dengan berbagai referensi lain yang terkait, teori the iron law of oligharchy juga akan dianalisa sebagai sebuah counter argument. Kajian mengenai Indonesia dijadikan sebagai lokus dalam pembahasan ini sebagai sebuah contoh negara-bangsa yang sedang mengahadapi tumbuhnya kebutuhan dan tantangan akan global governance, serta tingginya ekspektasi masyarakat bahwa pemerintah mampu menjadi problem solver terhadap segala permasalahan baik dalam dan luar negeri. Pada satu sisi, Indonesia di lihat sebagai sebuah negara berkembang yang sedang menghadapi kebutuhan untuk berjejaring pada pentas global. Sedangkan pada sisi yang lain, terganjal beberapa ketentuan akan pernanjian intenasional yang sering menjebak Indonesia kedalam lingkaran oligarki global dikarenakan kekuatan pengaruh beberapa negara super power yang membuat Indonesia hanya sebatas pelengkap dan penggembira tanpa memiliki posisi yang strategis. Paper ini akan di bangun dalam beberapa section; 1. Introduction; 2. Analisa kritis terhadap argument Florini, 3. Indonesia dan meningkatnya kebutuhan akan global governance; and 4 Kesimpulan.
1
2. Analisa Kritis terhadap Agumen Florini Florini
(2003) membangun
argumennya dengan
menggambarkan
bersarnya peranan para kepala pemerintah baik pada negara maju maupun negara dunia ketiga yang sedang menghadapi kompleknya permasalahan domestik dan global. Situasi tesebut membawa negara-bangsa pada tingginya permintaan untuk melakukan aksi kolektif global. Sehingga, adanya kerjasama dengan negara lain dengan cara terhubung dengan inter-governmental agents dan organisasi internasional menjadi sangat penting dari pada menyelesaikan masalah domestik mereka secara spatial. Sebagai pendukung argument Florini, Rosenau menegaskan bahwa sebuah negara-bangsa tidak dapat menangani permasalahan global seperti halnya: polusi, krisis moneter, korupsi, AIDS, terorisme, migrasi massa dan perdagangan obat-obat terlarang dalam skala global. Hal ini dikarenakan koordinasi antar negara sejatinya ada pada skala global dan diluar batas-batas national jurisdictions (Pieree, 2000 : 172). Lebih lanjut, menciptakan a better world hanya dapat dicapai dengan cara bekerja sama dengan menggunakan kekuatan kolektif (Commision of Global Governance cited in Kjaer 2004: 65). Dengan kata lain, dunia ini dilihat sebagai a globalised place (Rosenau in Pierre 2000). Hal ini dibenarkan bahwa batas-batas antar negara telah menjadi ‘tidak jelas’ pada era globalisasi, terutama pada beberapa dimensi, seperti halnya: global nation-state system, world military order, world capitalist economy dan international division of labour (Giddens cited in Kjaer 2004: 65). Sehingga, pengaruh globalisasi tidak dapat terelakkan lagi. Hal tersebut menjelaskan bahwa terminologi global governance telah menjadi semakin popular. Menurut Rosenau, pemerintahan global adalah pemerintah yang memiliki capaian dengan menggerakkan control yang mana memiliki konsekuensi transnational bahkan lebih dari sekedar formal institusi dan organisasi yang menangani urusan-urusan internasional (Rosenau in Kjaer 2004: 59).
2
Terdapat beberapa view tentang global governance sebagaimana tertera pada table berikut: Tabel. 1 Views on Global Governance
Sourced from: (Kjaer 2004, p. 83). Florini tidak memaparkan secara jelas mengenai salah satu pandangan tersebut, tetapi dalam analisanya mengenai adanya ketidakseimbangan pattern of cooperation diantara intergovernmental organizations, secara jelas dipaparkan dengan mengambil contoh beberapa lembaga internasional seperti halnya: The World Bank (WB), International Monetary Fund (IMF), The World Trade Organisation (WTO) dan The Group of Ten (G-10). Pada kenyataannya beberapa institusi tersebut saat ini sedang berada dibawah kontrol beberapa negara super power. Sebaliknya terdapat adanya pembiaran terhadap negara non super power untuk berada pada posisi sebagai supporter belaka. Lebih lanjut, Florini mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas beberapa organisasi internasional yang berada dibawah tekanan kelompok elit internasional. Permasalahan ini terjadi dikarenakan adanya perbedaan kapasitas diantara anggota dalam excercising control. Bahkan sering para principal elite international (negara kaya
3
dan super power) mengambil alih kontrol dalam proses pembuatan kebijakan yang terkait dengan masalah-masalah strategis internasional. Ketidakseimbangan peran diantara anggota dalam organisasi internasional kemudian memberikan beberapa evaluasi mengenai eksistensi global governance. Held, Archibugi dan Falk sebagai proponents gobal demokrasi meneriakkan pentingnya democratic global governance dengan menerapkan kosmopolitan demokrasi. Akan tetapi Mearsheimer, Krasner dan Waltz sebagai promotor the neo-realism views (see table 1), mempercayai bahwa global governance sebagai sesuai yang tidak eksis dikarenakan international system adalah sesuatu yang anarkis dengan catatan tercapainya aliansi yang stabil dan seimbang (Kjaer 2004: 83). Pandangan neo-realism tersebut, sejalan dengan teori the iron law oligarchy, yang di formulasikan oleh Michels. Teori ini melihat demokrasi sebagai sesuatu yang imposible dan oligarki sebagai sesuatu yang tidak dapat terelakkan (Michels in Slattery 2003: 52). Hal ini berarti, sebagai sebuah gerakan aliran demokrasi membutuhkan sebuah organisasi untuk membuat aksi mereka more powerful, akan tetapi situasi tersebut akan secara kasat mata mengarah pada oligarki. Karena organisasi formal sering didominasi oleh sekelompok kecil elite baik dalam bentuk organisasi ataupun perorangan. Hal ini dikarenakan bahwa sangat tidak dimungkinkan jika seluruh anggota run the organisation at the same time. Sehingga organisasi tersebut membentuk lembaga representasi atau official yang diberi kekuasaan untuk menjalankan organisasi. Kemudian beberapa tendensi oligarki akan segera terbangun. Sebagai contohnya, pejabat official mulai menggunakan kekuasaan mereka untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan; membangun sruktur karir dalam organisasi untuk menciptaan “the mania of promotion”; dan elite cenderung melestarikan kekuasaan mereka daripada fungsi mereka sebagai representasi kelompok. Kemudian anggota biasa secara gradual akan terexclude dari proses pembuatan kebijakan. Untuk menghindari the development of oligharchy, para elite seharusnya tidak digranted absolute control (Michels in Slattery 2003: 52-53). Pada kenyataannya, beberapa organisasi internasional membuktikan teori yang dikembangkan oleh Michels.
4
Sebagai contohnya, PBB membagi keanggotaan Dewan Keamanan PBB menjadi aggota tetap dan anggota tidak tetap1 (www.un.org). Hal ini menunjukkan bahwa pembagian keanggotaan tidak demokratis dan terlebih lagi PBB terkesan didikte oleh beberapa negara elite karena mereka memiliki beberapa keisimewaan yang mana negara tidak dimiliki oleh negara lain. Akan tetapi, tidak ada satupun negara yang mempu mengisolasi diri menjadi bagian dari sebuah organisasi di era globalisasi dewasa ini. Hal ini dikarenakan tingginya demand untuk engage dan berkoordinasi dengan komunitas global dalam mencari jalan keluar permasalah nasional dan internasional yang kompleks. Sehingga ketergantungan internasional tidak dapat terelakkan. Menurut Held, terdapat beberapa faktor yang pada akhirnya membatasi otonomi sebuah negara-bangsa seperti halnya: internasionalisasi produksi dan transaksi finansial; organisasi internasional, hukum internasional, hegemoni kekuasaan dan power blocs. Sebagai konsekuensinya kapasitas negara untuk memerintah menjadi melemah (Hirst Thompson in Rhodes in Pierre 2000). Hal itu berarti bahwa kapasitas sebuah negara bangsa hanya bisa diperkuat dengan bergabung dalam bentuk aliansi and kerjasama. Hal ini terkait dengan argumen Florini bahwa pemerintah tidak akan menyelesaikan semua permasalahan dewasa ini sediri dikarenakan pemerintah saat ini sedang terbebani dengan permasalahan yang kompleks pada tingkat lokal dan global dan hanya dapat diatasi dengan kerjasama internasional. Fakta mengenai interdepensi internasional dalam dunia yang global telah menjadi concern utama dalam the third way theory sebagaimana dikembangkan oleh
Giddens
yang
percaya
bahwa
globalisasi
akan
me-reshape
dan
merestrukturisasi model bagaimana negara-negara terhubung satu dengan yang lain. Teori ini menciptakan pemahaman bersama akan kebutuhan untuk global 1
Keanggotaan Dewan Keamanan PBB. Terdiri dari anggota tetap Dewan Keamanan terdiri China, France, Russian Federation, The United Kingdom and The United States. Sedangkan anggota tidak tetap PBB terdiri dari 10 anggota yakni: Azerbaijan (2013), Colombia (2012), Germany (2012), Guatemala (2013), India (2012), Morocco (2013), Pakistan (2013), Portugal (2012), South Africa(2012), Togo (2013). www.un.org.
5
korporasi sebagaimana tercermin dari kumpulan nilai-nilai yang dibangun oleh teori the third way seperti halnya: ketergantungan, responsibility, insentif dan devolusi2. Globalisasi menggabungkan negara-bangsa secara bersama dalam mencari solusi permasalahan global dan mampu mengesampingkan perdebatan ideology antara sosialisme dan liberalisme. Teori ini menekankan nilai-nilai keuniversalan dan non-sectionalism. The third way theory membenarkan bahwa kepentingan kolektif hanya dapat di bangun pada sesatu hal yang kita share secara bersama. Dunia telah memasuki suatu era multiple points of political identity and interest (Latham in Giddens 2001: 26). Teori ini mempromosikan konsep a healty global order, sehingga sebuah keseimbangan diantara pemerintahan global baik dalam bidang ekonomi dan civil society dapat dicapai. The third way theory ini sejalan dengan argumen Florini tentang pentingnya partisipasi global untuk mewujudkan kesejahteraan baik nasional maupun internasional. Lebih lanjut dalam pidatonya Blair3 menekankan dukungan untuk the third way social democracy untuk secara serius mewujudkan globalisasi dengan mengintegrasikan kebijakan nasional dengan perspektif global. Kemudian Giddens
menyarakan
bahwa
kejasama
nasional
harus
mengarah
pada
pembangunan institusi global, menejemen ekologi global, pengaturan akan kekuatan bisnis, kontrol terhadap kesejahteraan dan memperkuat demokrasi transnasional (2000: 123-124). Perkembangan the third way theory kemudian mendefinisikan negarabangsa dalam arena politik nation cosmopolitan yang lebih luas, yang mana mengimplikasikan terminolgi demokrasi cosmopolitan (lihat table 1). Pada satu 2
“Interdependency: negara dan masyarakat hanya dapat menjumpai tantangan gloalisasi jika mereka menemukan cara baru untuk bekerja sama dan saling mensupport antar sesama. Responsibility: dalam menerima hak dan benefit sebagai seorang warga negara, rakyat juga perlu di tuntut untuk bertanggung jawab terhadap tindakan dan usaha mereka dalam masyarakat. Incentives: karena dunia selalu berubah dalam ketidakpastian, rakyat perlu untuk di encourage memiliki simpanan, belajar lebih giat dan bekerja secara inteligen. Devolution, sangat jauh dari konsep masyarakat sebagai mesin dengan cara yang sudah using. Pemerintah saat ini perlu untuk menekankan kekuatan demokrasi dan public provision lebih dekat dengan masyarakat” Lantham cited in Giddens (ed) 2001, p. 26.
3
Pidato Blair disampaikan di Chicago April 1999
6
sisi ide demokrasi diatas negara-bangsa masih dipandang sebagai sesuatu yang utopia, pada sisi yang lain, fakta menunjukkan bahwa dunia lebih cepat terkoneksi dari yang diprediksikan. Situasi ini mendorong tumbuhnya penggunaan istilah global governance dan global civil society yang kemudian memicu kebutuhan akan demokrasi dan akuntabilitas pada skala global. Hal ini diindikasikan dengan berdirinya sekian banyak intergovernmental organisastion dan transnational nongovernmental organisation (Giddens 1998: 138; 140). Sebagai contohnya adalah Aarhus Convention yang mencerminkan ide mengenai global governance dan theory the third way. Konvensi ini mengenai penjaminan terhadap akses informasi, partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan dan akses untuk keadilan yang terkait dengan hal-hal seputar permasalahan global environment. Konvensi ini didesaign tidak hanya untuk menangani permasalahan lingkungan dewasa ini tetapi juga telah disesain untuk generasi mendatang (www.unece.org). Aarhus konvensi menekankan akan pentingnya bekerja lintas batas dan melibatkan seluruh stakeholders4 terkait, sehingga aksi kolektif dan kolaborsi kebijakan publik dapat terwujudkan. Menurut McIntyre-Mills & De Vries 2011, kolaborasi pembuatan kebijakan sangat diperlukan dengan cara lintas pemerintahan baik lokal dan nasional, universitas, NGO, pasar dan masyarakat untuk menghindari adanya disintegrasi kebijakan. Konvensi ini juga mengarah pada teciptanya inter-governmental management (IGM) dalam melestarikan lingkungan. Menurut Wright, IGM memiliki tiga fungsi features yakni: problem solving, intergovernmental ‘games’ and networking (in Rhodes 1997: 56). Hal ini dibenarkan bahwa ketika global networking telah dibentuk, dan akan segera diikuti perangkat management untuk mencapai tujuan bersama, karena ini tidak hanya membentuk organisasi intergovernmental yang formal belaka, tetapi lebih menekankan bagaimana mencari jalan keluar terkait permasalahan global didalam jursidiksi yang berbeda untuk menghasilkan hasil yang efektif.
4
Freeman mendefinisikan stakeholder sebagai sebuah group atau indivudu yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sebuah organisasi (cited in Burall & Neligan n.d, p. 8)
7
Florini dan pendukung the third way theory percaya bahwa global networking sangat bermanfaat. Akan tetapi, berjejaring dalam skala internasional tidak otomatis menjamin bahwa jaringan tersebut demokratis dan akuntable. Hal ini dibenarkan bahwa berjejaring cenderung untuk memberikan manfaat pada anggotanya, akan tetapi networks dapat juga berfungsi untuk mengexclude baik para anggota yang dinilai tidak mampu memberi manfaat maupun non-members. Sebagaimana di kemukakan oleh Kjaer bahwa jaringan dapat memberi manfaat dalam menghasilkan beberapa ide dalam proses pembentukan maupun realisasi kebijakan, akan tetapi networking mungkin juga dapat menghambat proses demokrasi (2004: 55). Sehingga, tuntutan untuk peningkatan akuntabilitas global governance dan the new mode of democratic governance lebih dari sekedar jaringan intra nation-state saat ini sedang meningkat. Hal ini merupakan sebuah tantangan yang berat untuk organisasi internasional, Karena institusi tersebut sangat besar baik dalam skala keanggotaan maupun cakupan. Sedangkan mereka harus mengambil tanggungjawab yang sangat berat dan memastikan pertanggujawabannya memiliki efek yang baik pada semua lapisan global community. Menurut Burall dan Neligan, terdapat empat dimensi akuntabilitas sebagai framework untuk organisasi internasional, seperti halnya: partisipasi eksternal dan internal stakeholder; tranparansi baik pada penyebaran informasi maupun proses pembuatan kebijakan; evaluasi oleh eksternal dan internal agensi; dan memiliki mekanisme complain dan redress dalam melindungi jurnalisme internasional dalam menguak penyalahgunaan kekuasaan. Framework tersebut melekat dalam proses implementasi yang sedang berjalan (in GPPi research paper series no 2: 5)
3. Indonesia dan meningkatnya kebutuhan akan global governance Dalam bagian ini, beberapa permasalahan Indonesia dianalisa dengan menggunakan alur berfikir Florini untuk menggambarkan permasalahan yang kompleks baik pada tingkat domestik maupun global, yang mana kompleksitas tersebut sedang dihadapi seluruh nastion-state dewasa ini sebagaimana tertera dalam table berikut:
8
Table 2. Complicated international and domestic problems in Indonesia5 International problems Carbon Emission Transnational pollutant
Domestic problems Carbon Emission National pollutant The large number of elderly and retired people calls for better health insurance The large number of The large number of unemployed people causes cheap, illegal, unprotected crimes, poverty etc. labour working abroad The large number of kids and young people calls for providing better social safety net in terms of education and immunization International pandemics National pandemics (Tuberculosis and other (SARS, H1N1, AIDS etc) tropical diseases) Poor health care system Poor infrastructure development Terrorism Terrorism International drug National drug syndicates syndicates (narcotics, opium etc.) Insufficient or low national income which triggers Huge amount of foreign debt Poor environmental protection causes natural disasters The demand for free trade Low competitiveness of domestic products cause area high number of imports The demand for involving Poor capacity for exercising power and influence in many international in global negotiation. organisations. Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagai sebuah negara yang masih berkembang (Indonesia) pada era globalisasi memerlukan usaha yang sangat keras. Pada satu sisi, negara ini harus berjuang untuk menjaga stabilitas politik dan ekonomi, pada sisi yang lain, Indonesia di tekan untuk mampu berkompetisi dengan negara lain yang sudah maju dalam menghadapi tingginya permintaan akan globalisasi politik dan ekonomi. Faktanya, sebagian besar negara miskin dan
5
Tabel diatas hanya menggambarkan beberapa bagian dari permasalahan yang kompleks. Pada kenyataannya masalah-masalah tersebut sangat rumit untuk di deskripsikan secara detail.
9
berkembang tidak mampu untuk bersaing dengan negara maju. Sebagai konsekuensinya, mereka jauh tertinggal dengan negara maju, terlebih lagi negaranegara tersebut dilebelkan sebagai negara dunia ketiga, negara berkembang, negara yang kurang berkembang dan negara miskin. Florini menjelaskan secara detail dalam bahasannya tentang sulitnya proses untuk membangun sebuah negara-bangsa karena negara tersebut harus menjalankan roda pemerintahan dengan kondisi yang jauh lebih sulit disbanding negara maju (2003: 70). Kemudian
kompleksnya
permasalahan
memaksa
Indonesia
untuk
menerima bantuan dan pinjaman luar negeri, karena secara rasional sangat sulit untuk menyelesaikan permasalahan yang komplek tersebut sendiri. Tidak jarang kapasitas pemerintah Indonesia dalam mengalokasikan program pembangunan lebih sering dilemahkan oleh beban utang luar negeri. Seperti contohnya pada tahun 2009, Indonesia menghabiskan hampir US$ 6.5 Juta dari pemasukan negara untuk membayar hutang luar negeri (www.jubileaustralia.org). Pada satu sisi, bantuan dan hutang luar negeri tampaknya meringankan kinerja dan menyelesaikan masalah pemerintah Indonesia. Pada sisi yang lain, terdapat banyak agenda tersembunyi yang memaksa pemerintah meletakkan kepentingan negara donor/penyadang dana luar negeri diatas kepentingan dan aspirasi masyarakat Indoesia sendiri. Terlebih lanjut, persyaratan utang luar negeri sering menjerumuskan Indonesia pada kondisi yang rentan pada krisis financial. Kondisi tersebut menjebak Indonesia dalam belitan lingkaran setan hutang luar negeri yang berkepanjangan. Seharusnya persyaratan hutang luar negeri bertujuan untuk memudahkan negara penghutang dalam keadaan yang lebih baik, akan tetapi, lemahnya kapasitas pemerintah membuat Indonesia sulit menghindar dari keharusan untuk membayar hutang dan sekaligus menyepakati persyaratan kredit luar negeri dalam batas waktu yang terbatas. Sebagai contohnya adalah program penyesuaian dan strukturisasi dalam bentuk liberalisasi dan privatisasi yang saratkan oleh Bank Dunia dan IMF.
10
Ketika Indonesia sedang berjuang untuk memanage baik hutang luar negeri dan kebutuhan akan keberlangsungan kepentingan nasional, sebuah kebutuhan yang lain, yakni meningkatnya kebutuhan akan global governance memaksa negara untuk terkoneksi dengan organisasi internasional dengan aksi kolektif. Meskipin demikian, organisasi internasional tersebut masih dihadapkan pada tantangan untuk memperbaiki akuntabilitas mereka kepada masyarakat global. Menjadi bagian dalam komunitas global menawarkan banyak manfaat untuk Indonesia. Tantangan paling hebat untuk Indonesia adalah untuk tetap optimis terkait dengan kapasitasnya untuk mempromosikan kepentingan nasional sembari mengakomodasi agenda global dan ikut bertindak dalam tataran internasional. Pada kenyataannya, kesempatan yang strategis ini selalu dihalangi oleh faktor seperti: lemahnya kapasitas pemerintah Indonesia dalam memainkan kekuasaannya, hal ini mengakibatkan Indonesia secara sistematis dikesampingkan oleh kuatnya pengaruh negara super power. Terdapat juga beberapa organisasi internasional dan kelompok. Keduanya memiliki concern yang signifikan terhadap globalisasi. Indonesia terpilih sebagai anggota Group of 20 (G206), kelompok ini sangat concern dengan stabilitas ekonomi global. Kelompok ini juga terdiri dari beberapa negara yang merepresentasikan
industri
dengan
kekuatan
pasar
baru;
negara
yang
merepresentasikan sekitar 90 persen dari keseluruhan gross national product (GNP) dunia; negara yang merepresentasikan 80 persen dari keseluruhan perdagangan dunia (termasuk perdagangan intra Eropa); dan negara yang merepresentasikan 2/3 dari keseluruhan jumlah populasi dunia (www.G20.org). Menurut Hermawan, terdapat beberapa agenda tersembunyi dibalik terpilihnya Indonesia sebagai anggota G 20 sepertihalnya: Indonesia adalah negara keempat terpopulis sedunia dengan potensi pasar yang bagus dan kaya 6
G-20 dibentuk dari kumpulan menteri keuangan dan gubernur bank sentral dari 19 negara yakni: Argentina, Australia, Brazil, Canada, China, France, Germany, India, Indonesia, Italy, Japan, Mexico, Russia, Saudi Arabia, South Africa, Republic of Korea, Turkey, United Kingdom, United States of Ameica. www.G20.org.
11
akan sumber kekayaan alam, serta partisipasi aktif pada ASEAN. Pada keyataannya ketika Indonesia sedang mengutarakan argument mengenai persyaratan pinjaman luar negeri yang menghambat proses reformasi dan pertumbuhan ekonomi dan juga mengajukan usul perubahan terkait dengan mekanisme voting untuk memutuskan komposisi management dan komitmen bantuan luar negeri, hasilnya negara maju masih mendominasi proses pengambilan keputusan yang mengutungkan kepentingan mereka secara sepihak (2009: 5-6). Fakta tetang perbedaan yang tajam pada kapasitas ekonomi politik dengan negara maju yang lain, dalam hal ini Indonesia memilih untuk berperan sebagai consensus maker dengan lebih menekankan pentingnya aksi koordianatif untuk dapat memecah kebuntuan dari kondisi yang sulit sebagai ordinary member (Hermawan 2009: 5-6). Situasi tersebut seolah membiarkan negara berkembang hanya sebagai compliments of legitimacy, yang mana sejalan dengan teory the iron of oligharcy yang dikemukakan oleh Michel. Terkait dengan fakta tersebut, Florini menyadari adanya ketidak seimbangan pola kerjasama dalam global networking, tetapi ia tetap menekakan pentingnya melakukan kolaborasi dalam melakukan aksi yang terkoneksi antar batas untuk menyelesaikan masalah yang saling terkait baik pada tingkat lokal maupun global. 4. Kesimpulan Florini menekankan akan pentingnya melakukan aksi secara efektif dan berpartisipasi pada tingkat national dan internasional, karena negara-bangsa tidak akan bisa menyelesaikan semua permasalahan yang kompleks dan saling terkait satu dengan yang lain. Sehingga era globalisasi menggiring pada keadaan yang saling tergantung diantara negara-bangsa. Hal ini dapat diindikasikan dari banyak didirikannya organisasi pemerintahan pada level internasioanl dan NGO transnasional. Akan tetapi Florini juga menekankan tentang adanya ketidakseimbangan model kerjasama dalam organisasi internasional, karena negara maju sering
12
mendominasi proses pengambilan kebijakan. Lebih lanjut, transparansi dan akuntabilitas yang ada pada lembaga internasional masih berada dibawah kontrol elit internasional. Fakta ini meguak akan pentingnya evaluasi terkait eksistensi global governance. Situasi demikian berbanding lurus dengan teori the iron law of oligarchy yang dengan jelas mengemukakan adanya kecenderungan yang menifest disetiap organisasi formal untuk mengarah ke oligharki, dikarenakan adanya dominasi elite. Akan tetapi, adanya permintaan akan networking dan berkoordinasi dengan komunitas global semakin naik daun, sehingga fakta mengenai adanya ketergantungan internasional sudah tidak dapat dihindari. Hal ini berarti negara bangsa hanya dapat menjadi kuat dengan beraliansi dan membangun kerjasama. Fakta ini mendukung prinsip-prinsip the third way theory yang mengusung nilainilai keuniversalan, berkolaborasi dan non sectionalism. Dalam menghadapi fakta tidak terelakkannya tuntutan globalisasi, secara tidak langsung memaksa Indonesia sebagai sebuah negara berkembang untuk mengambil langkah ekstra. Di satu sisi, Indonesia sedang berjuang dalam menghadapi ketatnya ketidakseimbangan kapasitas dengan negara maju dalam menangani globalised political economy. Sebagi konsekuensinya Indonesia tetap berada dalam posisi yang lemah dalam menjalankan negosiasi atau tindakan dalam pentas internasional.
13
DAFTAR PUSTAKA
Books Florini, A 2003, The coming democracy: new rules for running a new world, Island Press, Washington DC
Giddens, A 2000, The third way and its critics, Blackwell Publishers Inc, USA
Giddens, A 1998, The third way the renewal of social democracy, Blackwell Publishers Inc, USA Kjaer, AM 2004, Governance, 1st edn. Polity Press, UK
Latham, M 2001, ‘The third way an outline’ in A Giddens (ed.), The global third way debate, 1st edn, Blackwell Publishers, USA
Michels, R 2003 ‘the iron low of oligarchy’ in M Slattery (ed.), Key ideas in sociology, Nelson Thornes, UK
Mcintyre-mills, J & De vries, D 2011, Identity, Democracy and Sustainability: Facing Up To Convergent Social, Economic and Environmental Challenges, Emergent Publications, USA
Rhodes, RAW 2000, ‘Governance and public administration’, in J Pierre (ed.), Debating governance authority, steering and democracy, 1st edn, Oxford University Press, New York.
Rhodes, RAW 1997, Understanding governance, policy networks, governance, reflexivity and accountability, The Cromwell Press, Great Britain.
Rosenau, JN 2000, ‘Change, complexity and governance in globalising space’, in J Pierre (ed.), Debating governance authority, steering and democracy, 1st edn, Oxford University Press, New York.
14
Jurnal/Paper Series Global Public Policy Institute n.d, The accountability of International organisations, GPPI Research Paper Series No. 2, viewed 20 June 2011,
Hermawan, YP 2009, ‘Global governance or global clubbing: can an exclusive club deliver benefits for all nations’, Proceeding of the 8th FES-SWP North-South Dialogue Global Governance for Global Markets: Moving Beyond G8?, Friedrich Ebert Stiftung, Berlin, pp. 1-13.
Internet Group of 20 n.d, About G-20,
viewed
20
June
2011
Jubilee Australia n.d, Australia’s $1 billion sand-by loan to Indonesia: help or hindrance?, viewed 23 June 2011,
United Nation 2011, UN security council members, viewed 20 June 2011,
United Nations Economic Commission for Europe, Introducing the Aarhus Convention, viewed 13 April 2009, http://www.unece.org/env/pp/
15