TINJAUAN PUSTAKA
Gangguan Muskuloskeletal pada Diabetes Melitus Marcel Hamonangan Reinhard Sibarani Poliklinik Bid Dokkes Polda Kepri, Batam, Kepulauan Riau, Indonesia
ABSTRAK Gangguan muskuloskeletal merupakan salah satu komplikasi yang mulai sering ditemukan baik pada DM tipe 1 maupun pada DM tipe 2. Patogenesisnya belum sepenuhnya dimengerti, namun sering dikaitkan dengan peningkatan pembentukan advanced glycosylation end products (AGEs). Pengenalan dini dan penanganan yang baik sebaiknya dilakukan agar menghindari gangguan lebih lanjut yang mempengaruhi kualitas hidup pasien. Gejala umumnya adalah nyeri sendi atau otot, pembengkakan, dan berkurangnya pergerakan atau range of motion (ROM). Diagnosis pasti gangguan muskuloskeletal pada pasien DM memerlukan pertimbangan riwayat pasien, temuan klinis, hingga pemeriksaan penunjang. Saat ini belum ada penatalaksanaan baku, sebagian besar menganjurkan kontrol kadar gula secara optimal. Kata kunci: Diabetes melitus, muskuloskeletal, sendi
ABSTRACT Musculoskeletal disorders are one of the frequently found complications in type 1 and type 2 diabetes. The pathogenesis is not fully understood, but often associated with increased formation of advanced glycosylation end products (AGEs). Early recognition and detection can prevent further complications affecting quality of life. Symptoms are generally pain in joints or muscle, swelling, and limited range of movement (ROM). Diagnosis requires patient’s history, clinical findings, and further workups. There is not a treatment guideline for musculoskeletal disorders in DM patients, but it is important to achieve and maintain optimal glycemic control. Marcel Hamonangan Reinhard Sibarani. Muskuloskeletal Disorders in Diabetes Melitus. Keywords: Diabetes mellitus, musculoskeletal, joint
PENDAHULUAN Diabetes melitus merupakan kondisi metabolik kronik yang ditandai adanya hiperglikemia persisten dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan terkait komplikasi mikrovaskuler ataupun makrovaskuler.1 DM tipe 1 disebabkan defisiensi insulin akibat destruksi sel-sel β di pankreas yang diperantarai proses autoimun. Pada DM tipe 2, terjadi resistensi insulin, glukoneogenesis di hepar yang berlebihan, dan metabolisme lemak yang terganggu sehingga menyebabkan defisiensi relatif hormon insulin.2-4 Kerusakan mikrovaskuler dan makrovaskuler pada diabetes menyebabkan neuropati perifer dan berakibat berkurangnya sensasi proprioseptif dan nyeri. Mikrotrauma berulang dan tidak nyeri akibat neuropati akan menyebabkan destruksi persendian secara perlahan dan diperberat Alamat korespondensi
karena proses penyembuhan yang buruk dan iskemia perifer.5 Komplikasi muskuloskeletal merupakan salah satu komplikasi yang mulai cukup banyak ditemukan, walau jarang dievaluasi lebih mendalam. Manifestasi klinis biasanya kurang dikenali dan tidak mendapat penatalaksanaan yang tepat dibandingkan komplikasi lainnya seperti neuropati, nefropati, dan retinopati.6 Molsted, dkk. menemukan bahwa nyeri muskuloskeletal lazim ditemukan pada penderita DM tipe 2 dibandingkan populasi umum. Nyeri muskuloskeletal dilaporkan lebih sering terjadi pada perempuan. Pada kedua jenis kelamin, nyeri berhubungan dengan indeks massa tubuh (IMT) yang besar, pola hidup sedentary, dan adanya gangguan fungsi fisik. Lokasi yang sering mengalami keluhan antara
lain lengan, tangan, lutut, dan pinggang.7 Kondisi tersebut dapat membatasi pergerakan sendi atau otot yang terkena, sehingga terjadi gangguan fungsional. Patofisiologi sering dikaitkan dengan peningkatan pembentukan advanced glycosylation end products (AGEs) yang menyebabkan gangguan tingkat seluler yang dapat mengubah struktur matriks dan sifat mekanik dari jaringan.6,8 Beberapa kondisi berikut mulai banyak ditemukan pada pasien DM. Frozen Shoulder Frozen shoulder atau disebut juga adhesive capsulitis atau shoulder periarthritis merupakan manifestasi muskuloskeletal yang mengacu pada kekakuan sendi glenohumeral akibat penebalan dan kontraksi kapsul sendi menyebabkan penurunan cukup
email:
[email protected]
CDK-231/ vol. 42 no. 8, th. 2015
591
TINJAUAN PUSTAKA dkk. mengatakan untuk mendiagnosis frozen shoulder dapat melihat kriteria berikut: nyeri pada bahu kurang lebih selama 1 bulan, ketidakmampuan untuk berbaring satu sisi pada bahu yang tekena, pergerakan yang terbatas baik aktif maupun pasif pada persendian bahu.3,12 Frozen shoulder yang disertai dengan nyeri, bengkak, distrofi kulit, dan ketidakstabilan vasomotor pada tangan menyebabkan kondisi yang disebut sindrom bahu tangan (shoulder-hand syndrome), kondisi yang jarang namun berpotensi menyebabkan disabilitas pada penderita diabetes.15 Pemeriksaan X-ray dilakukan untuk menyingkirkan beberapa kondisi lain. Penatalaksanaan frozen shoulder meliputi analgesik, injeksi kortikosteroid intra-artikuler, dan fisioterapi.9,14 Harus diingat bahwa injeksi kortikosteroid dapat meningkatkan kadar gula darah 24-48 jam setelah penyuntikan. Oleh karena itu, perlu pemantauan kadar gula darah dan dipersiapkan rencana penanganannya.1 Limited Joint Mobility Syndrome Sindrom kelainan muskuloskeletal 4 kali lebih sering pada pasien diabetes dibanding pada pasien non-diabetes.15 Limited joint mobility syndrome (LJMS) atau dikenal juga dengan diabetic cheiroarthopathy atau diabetic stiff hand syndrome adalah suatu kondisi noninflamasi tanpa rasa nyeri disertai terbatasnya mobilitas tangan, kaki, dan sendi besar.1,3,13 Gangguan ini sering disebut sebagai suatu manifestasi intrinsik DM, terutama pada tipe 1, dengan prevalensi 8-58%, sedangkan pada beberapa penelitian prevalensi pada DM tipe 2 sebesar 8-76%. Kelainan tangan dan bahu lebih sering terjadi pada pasien diabetes.
Diagram. Teori jalur advanced glycation end product (AGE)8
besar kapasitas volume kapsul. Prevalensi frozen shoulder pada pasien diabetes melitus sebesar 11-30%.1,9 Sebuah studi cross-sectional pada 294 pasien DM tipe 1 dan 134 pasien DM tipe 2 menyebutkan bahwa prevalensi frozen shoulder atau shoulder periarthritis masing-masing sebesar 10% dan 22%.10 Ramchrun, dkk. menemukan bahwa kelainan anggota gerak ekstremitas atas, terutama daerah bahu, sering didapatkan pada diabetes dan berhubungan dengan kontrol gula darah yang buruk serta komplikasi diabetes lain.11 Beberapa hipotesis menyebutkan glikosilasi non-enzimatik menyebabkan penebalan dan peningkatan neoangiogenesis lokal pada
592
persendian.9 Keluhan timbul perlahan-lahan berupa nyeri dirasakan terutama pada malam hari, kekakuan, berkurangnya range of motion (ROM), terutama pada rotasi eksternal dan abduksi.12 Nyeri akan makin progresif yang selanjutnya dapat menyebabkan kontraktur kapsul sendi dan melekat pada kaput humeri, sehingga terjadi pengurangan volume sendi. Perjalanan penyakit ditandai dengan tiga fase, yaitu: (1) fase nyeri (2) fase adhesive, dan (3) fase resolusi.6,12,-14 Frozen shoulder lebih sering ditemukan pada pasien yang telah lama menderita diabetes, biasanya DM tipe 1 dan keluhan sering bilateral dibanding pada pasien non-diabetes.14 Pal,
Beberapa kelainan biokimia antara lain peningkatan glikosilasi non-enzimatik pada serat kolagen, peningkatan collagen cross-link dengan konsekuensi berupa resistensi terhadap pencernaan enzimatik, peningkatan hidrasi yang diperantarai oleh jalur aldolase reduktase, dan peningkatan pembentukan advanced glycosylation end products (AGEs). AGEs akan terakumulasi di jaringan, tergantung onset dan konsentrasi glukosa serta kerusakan protein intra maupun ekstraseluler. Peningkatan pembentukan AGEs berhubungan dengan kejadian LJMS dengan komplikasi DM baik mikro maupun makrovaskuler. Pada permukaan sel terdapat
CDK-231/ vol. 42 no. 8, th. 2015
TINJAUAN PUSTAKA reseptor AGEs (RAGEs) yang merupakan reseptor transmembran untuk imunoglobulin yang akan membawa pesan ke dalam sel dan menyebabkan disfungsi sel. Beberapa penelitian menunjukkan adanya penurunan respons vasodilatasi terhadap nitric oxide dan AGEs dapat menurunkan elastisitas vaskuler.2,3,8,16
kadar HbA1c tidak berhubungan dengan kejadian LJMS, prevalensi LJMS cenderung rendah pada pasien dengan HbA1c kurang dari 7%.18 Pemberian sorbinil, obat golongan aldose reductase inhibitor 400 mg/hari pada dua pasien DM tipe 1 dan mengalami LJMS berat telah memperbaiki LJMS yang berkelanjutan.19
Gejala timbul perlahan tanpa rasa nyeri, diawali perubahan kulit sekitar persendian metakarpo-falangeal dan proksimal interfalangeal jari kelima disusul kelainan jari lainnya. Pada fase awal terdapat parastesia dan nyeri yang akan makin progresif dan dipicu oleh gerakan tangan. Kulit akan berubah menjadi tebal, kaku, licin menyerupai lilin (waxy) mirip skleroderma.1,6,12 Pasien tidak mampu meluruskan sendi metatarsofalangeal secara penuh disebut “prayer sign”.1,3,17
Dupuytren’s Disease Dupuytren’s disease (DD) atau disebut juga dupuytren contracture adalah suatu fibromatosis tangan, ditandai penebalan fasia palmaris, nodul di palmar dan jarijari, penebalan dan perlekatan pada kulit, pembentukan pre-tendinous band, dan kontraktur berupa fleksi jari-jari.9,13 Kontraktur disebabkan terjadinya fibrosis dan pembentukan nodul pada fasia palmaris.17 Prevalensi kasus DD dilaporkan sebanyak 5-21% pada pasien DM dibandingkan pada populasi umum sebesar 3-9%. Prevalensi DD juga dilaporkan lebih tinggi pada usia tua dan telah menderita DM lama.13
Pada pemeriksaan USG ditemukan penebalan selubung fleksor tendon dan jaringan subkutis. Pada MRI juga terdapat penebalan selubung fleksor tendon.6 Terapi yang direkomendasikan yaitu fisioterapi dan obat-obat NSAIDs (nonsteroidal anti-inflammatory drugs), tatalaksana yang paling tepat yaitu kontrol kadar gula darah.3
Walaupun belum dipahami, perubahan mioglobin dan tyrosine like orphan reseptor 2 (ROR2) dikatakan berperan dalam patogenesis DD.4 Faktor genetik seperti transforming growth factor-β (TGF-beta I) merupakan salah satu sitokin fibrogenik
penting yang mampu menstimulasi proliferasi fibroblas dan deposit matriks ekstraseluler, diduga berperan penting dalam patogenesis DD.8 Diabetes, kebiasaan merokok, dan genetik diperkirakan sebagai faktor predisposisi DD. Perjalanan penyakit diawali dengan munculnya nodul pada telapak atau jari tangan, berkembang membentuk cord patologis menyebabkan deformitas berupa fleksi progresif jari-jari, yang terkena umumnya sendi metakarpo-falangeal dan interfalangealproksimal, terkadang juga mengenai sendi interfalangeal distal.6 Pasien DD dengan riwayat DM memiliki gejala khas gangguan jari tengah dan jari manis, sedangkan pada populasi umum lebih sering mengenai jari kelingking dan jari manis dengan kontraktur lebih ringan. Kriteria diagnostik antara lain adanya nodul palmar atau jari, penarikan palmar atau kulit jari, pretendinous band, dan kontraktur jari.4 Penatalaksanaan DD dapat dengan infiltrasi kortikosteroid intralesi, pembedahan, dan fisioterapi. Terapi alternatif injeksi kolagenase yang berasal dari Clostridium hystolyticum; kolagenase akan menyebabkan disintegrasi cord patologis melalui proses biokimia. Studi pada 308 pasien diabetes mendapatkan 6,5% menunjukkan perbaikan kontraktur
Sebuah studi pada penderita DM tipe 1 dewasa di klinik endokrinologi di Inggris menunjukkan penurunan prevalensi LJMS dari 43% pada periode 1981 dan 1982 menjadi 23% pada tahun 2002, hipotesisnya adalah karena implementasi rejimen pengontrol kadar gula darah secara intensif. Walaupun
Gambar 1. Prayer sign3
CDK-231/ vol. 42 no. 8, th. 2015
Gambar 2. Dupuytren’s contracture12
593
TINJAUAN PUSTAKA fleksi dan range of motion (ROM) persendian jari dengan injeksi kolagenase tiga kali atau lebih. Operasi dapat berupa limited atau total fasciectomy, percutaneus needle fasciotomy, dan dermofasciectomy, namun pasien DM dikatakan cenderung tinggi rekurensinya setelah operasi.3,12 DD berhubungan dengan lamanya penyakit dan usia,4 pada pasien DM gejala umumnya lebih ringan.1 Trigger Finger Trigger finger (TF) atau disebut juga palmar flexor tenosynovitis atau stenosing tenosynovitis merupakan komplikasi muskuloskeletal daerah tangan yang cukup sering ditemukan pada penderita diabetes.4 Kondisi ini disebabkan oleh proliferasi jaringan fibrosa selubung tendon dan menyebabkan terbatasnya pergerakan normal tendon.1 Kasus ini banyak ditemukan pada pasien diabetes, prevalensi pada DM tipe 1 tidak terkontrol dilaporkan 20%, pada DM tipe 2 sebesar 3%, dan pada kontrol sebesar 0-2%. Pada palpasi teraba nodul atau penebalan fleksor tendon dengan locking phenomenon atau fenomena “terkunci” selama ekstensi atau fleksi jari-jari.9,17 Jari terkunci pada keadaan fleksi, ekstensi, ataupun keduanya lebih sering pada ibu jari, jari tengah dan atau jari manis. Volume distal dari titik yang mengalami konstriksi meningkat menyebabkan rasa nyeri, sulit melakukan fleksi dan kembali ke posisi ekstensi menyebabkan kondisi yang disebut fenomena “terkunci”. Kejadian ini berhubungan dengan lamanya menderita DM.4 Pilihan penatalaksanaan yaitu berupa imobilisasi dan injeksi lokal kortikosteroid pada selubung tendon yang terkena, meskipun terkadang prosedur ini kurang efektif pada pasien diabetes dan akan menganggu kebutuhan insulin pasien sementara. Injeksi kortikosteroid direkomendasikan sebagai first-line therapy dan sebaiknya dilakukan dengan metode ultrasound.6,13,20 TF pada pasien DM sering berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal lainnya seperti Dupuytren’s disease dan limited joint mobility syndrome.9 Jika TF mengenai lebih dari 1 jari harus dicurigai sebagai pasien DM.21 Charcot Joint Charcot joint disebut juga neuropathic arthropathy merupakan artropati destruksi progresif pada daerah yang mengalami kehilangan sensasi saraf.12 Kondisi ini adalah
594
kombinasi faktor vaskuler ataupun mekanik pada DM.3 Prevalensi pada pasien DM <1%-5%. Pada DM tipe 1 biasanya muncul di usia yang lebih muda, sedangkan pada DM tipe 2 biasanya muncul pada penderita DM yang sudah lama dengan rata-rata telah menderita DM selama 15 tahun.4 Neuropati memicu peningkatan aliran darah atau hiperemia distal mengakibatkan stimulasi osteoklas dan peningkatan resorpsi tulang, osteoporosis, fraktur, dan kerusakan sendi. Pelepasan sitokin proinflamasi menyebabkan peningkatan ekspresi polipeptida receptor activator of nuclear factorkβ ligand (RANKL). RANKL memicu sintesis faktor transkripsi nuclear factor-kβ dan akan menstimulasi maturasi osteoklas dari sel-sel prekursor osteoklas. NF-kβ akan menstimulasi produksi osteoprotegerin glikopeptida dari osteoblas. Sitokin proinflamasi, RANKL, NF-kβ, dan osteoklas akan meningkatkan osteolisis.12,13 Tarsal dan metatarsal merupakan persendian yang sering terkena selain sendi metatarso-falangeal dan tumit. Pasien umumnya mengeluh eritema dan edema unilateral kaki atau tumit. Kemudian diikuti serangan berulang, artropati kronik, ditandai dengan kolaps arkus plantaris dan tulang.3 Pada penderita DM sebanyak 20% terjadi bilateral.9 Diagnosis pasti memerlukan pemeriksaan X-ray. Diagnosis radiologi fase awal hanya osteopenia, berkurangnya celah sendi, dan edema jaringan lunak. Osteolisis akan berkembang dengan resorpsi di daerah metatarsal dan falang. Luksasi, fragmentasi tulang, sklerosis, dan neoformasi ditemukan pada fase lanjut. MRI dengan kontras dilakukan untuk menyingkirkan osteomielitis. Tatalaksana umumnya konservatif tetapi biasanya kurang memuaskan. Pemasangan splint untuk melindungi daerah yang terkena dari weight bearing dan kontrol kadar gula sering dilakukan. Penatalaksanaan pilihan pertama konservatif seperti istirahat, mengurangi tekanan dengan tongkat, kursi roda, dan imobilisasi.3 Antibiotik berspektrum luas dapat diberikan jika terdapat ulkus pada kulit dan artropati.4 Operasi dilakukan jika penatalaksanaan konservatif gagal.9 Carpal Tunnel Syndrome Sindrom terowongan karpal atau carpal tunnel syndrome (CTS) adalah neuropati
entrapment atau terperangkapnya medianus di terowongan karpal.12 Fibrosis noninflamasi dengan berkas kolagen ireguler, neoangiogenesis, dan sejumlah connective tissue growth factor (CTGF) merupakan bagian dari patogenesis CTS.9 Prevalensi CTS pada penderita diabetes sekitar 5-25%, lebih banyak pada perempuan. Geoghegan, dkk. mengidentifikasi DM sebagai faktor risiko CTS dan melaporkan OR (odds ratio) untuk DM tipe 1 dan tipe 2 sebesar 1,51, lebih tinggi pada pasien pengguna insulin dibandingkan obat diabetes oral. OR akan berkurang setelah pengurangan indeks massa tubuh (IMT), namun tetap lebih tinggi dibandingkan dengan pasien nonDM.22 Prevalensi CTS pada pasien diabetes tanpa polineuropati sebanyak 14%, lebih dari 30% pada penderita diabetes dengan polineuropati.12 Pasien mengeluh rasa terbakar, parastesia, dan hilangnya sensasi saraf sesuai dengan distribusi saraf medianus pada ibu jari, jari telunjuk, jari tengah, dan setengah lateral jari manis. Nyeri dipicu oleh gerakan fleksi atau ekstensi pergelangan tangan, aktivitas seperti memegang surat kabar atau menyetir mobil, dan akan menghilang jika menggetarkan tangan.4,9 Diagnosis berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik dengan perkusi saraf medianus di daerah pergelangan tangan (Tinel test), pasien diminta dorsofleksi pada daerah pergelangan tangan.12 Pada kasus lanjut dapat terjadi atrofi otot thenar dan berkurangnya kekuatan menggenggam. Pada ultrasonografi dapat dijumpai penebalan saraf medianus, perataan atau flatting saraf pada terowongan dan tertekuknya fleksor retinakulum. MRI menunjukkan derajat keparahan kompresi saraf dengan sensitivitas 96%, namun spesifisitasnya hanya 33-38%. Pemeriksaan ultrasonografi memiliki sensitivitas hanya 64,7%. Pengobatan dengan analgesik atau antiinflamasi, splint pergelangan tangan, dan injeksi lokal kortikosteroid. Pembedahan dilakukan untuk kasus refrakter atau rekuren.9 Kortikosteroid efektif mengurangi inflamasi dan edema, namun dapat membatasi fungsi tenosit untuk mengurangi kolagen dan sintesis proteoglikan, sehingga menurunkan
CDK-231/ vol. 42 no. 8, th. 2015
TINJAUAN PUSTAKA kekuatan tendon dan menyebabkan degenerasi lanjut. Terapi konservatif 4-14 kali lebih sering gagal pada pasien diabetes dibanding pasien non-diabetes. Operasi untuk membebaskan saraf mungkin diperlukan jika konservatif gagal.12 Respons setelah operasi juga tidak terlalu memuaskan karena gangguan regenerasi saraf perifer pada DM akibat mikroangiopati, disfungsi sel Schawn dan macrophagic, serta berkurangnya ekspresi faktor neurotropik dan reseptornya.3 Diffuse Idiopathic Skeletal Hyperostosis Diffuse idiopathic skeletal hyperostosis (DISH) disebut juga ankylosing hyperostosis atau Forestier’s disease merupakan kalsifikasi dan osifikasi ligamentum dan tendon terutama di daerah torakolumbal tulang belakang, namun juga dapat mengenai daerah ekstraspinal.1 Faktor yang mempengaruhi patofisiologi DISH termasuk faktor metabolik, lingkungan, genetik, dan endokrin (contoh: insulin dan insulin-like growth factors pada DM tipe 2).9 Mekanisme terjadinya DISH belum diketahui pasti, namun insulin, growth hormon, dan growth factor (IGF-1) dianggap sebagai faktor
pemicu DISH. Aterosklerosis yang sering terjadi pada sindrom metabolik dapat menyebabkan kerusakan endotel dan agregasi trombosit, sehingga terjadi peningkatan IGF-1 dan memicu proliferasi osteoblas dan formasi tulang.12,17 Hiperinsulinemia terkait dengan DM dan obesitas serta perkembangan terjadinya hiperostosis vertebra. Insulin merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pertumbuhan tulang pada DISH.13 Prevalensi DISH pada pasien DM dilaporkan sebesar 13-49% dibandingkan 1,6-13% pada populasi umum.9,17 Gejala DISH timbul perlahan dan biasanya tidak disertai rasa nyeri. Pada stadium lanjut, pasien dapat mengeluh nyeri punggung, kekakuan, dan berkurangnya gerakan. Gangguan ini lebih sering terjadi pada tulang belakang torakal, servikal, dan lumbal.4 DISH lebih banyak ditemukan pada penderita DM tipe 2 dan pada laki-laki, terutama usia lanjut. Pada X-ray tulang belakang, terlihat adanya pertumbuhan tulang meluas secara vertikal anterolateral permukaan vertebra. Diagnosis DISH didasarkan pada pemeriksaan radiologi sesuai dengan kriteria Resnick
dan Niwayama tahun 1976, antara lain: (1) kalsifikasi ligamentum memberikan gambaran seperti mengalir (flowing) pada setidaknya empat tulang vertebra; (2) ruang diskus intervertebralis dalam kondisi baik; (3) tidak ada perubahan degeneratif spondilosis atau spondiloartropati.12 Pengobatan DISH meliputi analgesik, NSAID, dan fisioterapi.9 Sencan, dkk. melaporkan bahwa prevalensi DISH meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan peningkatan kadar HbA1c.23 SIMPULAN Gangguan muskuloskeletal sering dijumpai baik pada pasien DM tipe 1 maupun tipe 2. Sebagian besar gangguan berhubungan dengan lamanya menderita DM dan kontrol kadar gula yang buruk. Hingga saat ini belum ada pedoman diagnosis dan tatalaksana baku untuk gangguan muskuloskeletal pada pasien DM. Evaluasi komplikasi DM sebaiknya mencakup pemeriksaan muskuloskeletal karena pada tahap lanjut akan mempe ngaruhi kualitas hidup pasien.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Smith LL, Burnet SP, McNeil JD. Musculoskeletal manifestations of diabetes mellitus. Br J Sports Med. 2003; 37(1): 30-5.
2.
Alvin CP. Diabetes mellitus. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson JL, editors. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17th ed. McGraw-Hill; 2008.pp.2275-310.
3.
Silva MBG, Skare TL. Musculoskeletal disorders in diabetes mellitus. Rev Bras Reumatol. 2012; 52: 594-609.
4.
Wyatt LH, Ferrance RJ. The musculoskeletal effects of diabetes mellitus. Journal of the Canadian Chiropractic Association 2006; 50(1): 43-50.
5.
Boswell SB, Patel DB, White EA, Gottsegen CJ, Forrester DM, Masih S, et al. Musculoskeletal manifestations of endocrine disorders. Clin Imaging 2014; 38(4): 384-96.
6.
Abourazzak FE, Akasbi N, Harzy T. Musculoskeletal manifestations of upper limbs in diabetes. OA Musculoskeletal Medicine 2014; 2(1): 9.
7.
Molsted S, Tribler J, Snorgaard O. Musculoskeletal pain in patients with type 2 diabetes. Diabetes Research and Clinical Practice 2012; 96(2): 135-40.
8.
Arkkila PE, Gautier JF. Musculoskeletal disorders in diabetes mellitus: An update. Best Pract Res Clin Rheumatol. 2003; 17: 945-70.
9.
Banon S, Isenberg DA. Rheumatological manifestations occurring in patients with diabetes mellitus. Scand J Rheumatol. 2013; 42: 1-10.
10. Arkkila PE, Kantola IM, Viikari JS, Rönnemaa T. Shoulder capsulitis in type I and II diabetic patients: Association with diabetic complications and related diseases. Ann Rheum Dis. 1996; 55(12): 907-14. 11. Ramchurn N, Mashamba C, Leitch E, Arutchelvam V, Narayanan K, Weaver J, et al. Upper limb musculoskeletal abnormalities and poor metabolic control in diabetes. Eur J Intern Med. 2009; 20: 718-21. 12. Al-Homood IA. Rheumatic conditions in patients with diabetes mellitus. Clin Rheumatol. 2013; 32(5): 527-33. 13. Lebiedz-Odrobina D, Kay J. Rheumatic manifestations of diabetesmellitus. Rheum Dis Clin North Am. 2010; 36: 681-99. 14. Garcilazo C, Cavallasca JA, Musuruana JL. Shoulder manifestations of diabetes mellitus. Curr Diabetes Rev. 2010; 6(5): 334-40. 15. Cagliero E, Apruzzese W, Perlmutter GS, Nathan DM. Musculoskeletal disorders of the hand and shoulder in patients with diabetes mellitus. Am J Med. 2002; 112: 487-90. 16. Larkin ME, Barnie A, Braffett BH, Cleary PA, Diminick L, Harth J, et al. Musculoskeletal complications in type 1 diabetes. Diabetes Care 2014; 37(7): 1863-9. 17. Crispin JC, Alcocer-Varela J. Rheumatologic manifestations of diabetes mellitus. Am J Med. 2003; 114: 753-7. 18. Lindsay JR, Kennedy L, Atkinson AB, Bell PM, Carson DJ, McCance DR, et al. Reduced prevalence of limited joint mobility in type 1 diabetes in a U.K. clinic population over a 20-year period. Diabetes Care 2005; 28(3): 658-61. 19. Eaton RP, Sibbit Jr WL, Shah VO, Dorin RI, Zager PG, Bicknell JM. A Commentary on 10 years of aldose reductase inhibition for limited joint mobility in diabetes. Journal of Diabetes Complications 1998; 12: 34-8. 20. Wang J, Zhao JG, Liang CC. Percutaneous release, open surgery, or corticosteroid injection, which is the best treatment method for trigger digits? Clin Orthop Relat Res. 2013; 471(6): 1879-86. 21. Koh S, Nakamura S, Hattori T, Hirata H. Trigger digits in diabetes: Their incidence and characteristics. J Hand Surg Eur. 2010; 35(4): 302-5. 22. Geoghegan JM, Clark DI, Bainbridge LC, Smith C, Hubbard R. Risk factors in carpal tunnel syndrome. J Hand Surg Br. 2004; 29: 315-20. 23. Sencan D, Elden H, Nacitarhan V, Sencan M, Kaptanoglu E. The prevalence of diffuse idiopathic skeletal hyperostosis in patients with diabetes mellitus. Rheumatol Int. 2005; 25: 518-21.
CDK-231/ vol. 42 no. 8, th. 2015
595