Jurnal Ekologi Birokrasi, Vol.1, No.1. Februari 2015 Formulasi Kebijakan Pembentukan Daerah Otonomi Baru dalam Kawasan Konservasi Kabupaten Nduga Pegunungan Tengah Provinsi Papua Henderina Morin* * Students Doctoral Program in Social Sciences University of Cenderawasih * contact:
[email protected]
kebutuhannya termasuk di dalamnya optimalisasi pelayanan publik. Salah satu hal yang tidak terbantahkan dalam era sekarang ini adalah begitu kuat-nya tuntutan peningkatan kualitas keter-libatan masyarakat serta akomodasi masukan dari warga Negara dalam perumusan kebijakan atau keputusan. Gagasan yang ditawarkan atas pendekatan pengambilan kebijakan yang selama ini dirasakan cenderung elistis teknokrasi dan top-down, adalah pendekatan yang sifatnya lebih parsitipatif dan berbasis komunitas dalam perumusan kebijakan atau pengambilan kebijakan. Terilhami oleh nilai demokratis tersebut maka kebijakan pembentukan daerah otonom baru pun mensyaratkan nilai demokrasi dalam kebijakan tersebut. Otonomi daerah yang dilaksanakan dengan salah satu tujuannya sebagai perwujudan demokrasi justru tidak dapat tercapai sejak awal proses terbentuknya daerah baru. Pembentukan daerah ber-tujuan untuk mengefektifkan dan mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat, dimana masyarakat seharusnya ditempat-kan sebagai subyek bukan sekedar obyek. Sebagai subyek pelaksanaan otonomi daerah tentu saja yang harus diutamakan adalah aspirasi dari masyarakat, karena inti dari otonomi daerah adalah untuk kesejahteraan masyarakat. Pada saat masyarakat melakukan penolakan untuk bergabung dengan daerah pemekaran, maka perlu dipertanyakan aspirasi masya-rakat yang mana yang telah menjadi dasar DPRD dalam melakukan persetujuan pembentukan wilayah tersebut, atau paling tidak ada aspirasi masyarakat yang tidak terakomodasi. Banyak faktor yang meny-ebabkan keengganan masyarakat untuk bergabung dalam daerah pemekaran, faktor
I.
Pendahuluan Indonesia merupakan suatu negara yang mempunyai wilayah yang sangat luas, jumlah penduduk yang besar dengan tingkat kemajemukan penduduk yang sangat tinggi, keadaan ini tidak memungkinkan Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan pemerintahan secara efektif tanpa melibatkan perangkat Pemerintahan Daerah dan memberikan sebagian kewenangannya kepada Pemerintah Daerah otonom. Untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut diperlukannya desentralisasi selain dekonsentrasi. Akibatnya pembangunan yang terjadi di Indonesia mengalami gap yang sangat besar antara pusat dan daerah serta tidak adanya pemerataan hasil-hasil pembangunan. Daerah sebagai pemilik potensipotensi pembangunan seperti sumber daya alam dan potensi jasa lainnya justru tidak mendapatkan pembagian hasil dalam porsi yang berimbang dari Pemerintah Pusat. Sumber daya daerah terserap tetapi hasilnya tidak dapat dirasakan maksimal oleh masyarakat di daerah. Selain itu masyarakat di daerah tidak mempunyai akses terhadap pelayanan publik yang baik. Untuk mengatasi masalah pelayanan publik yang buruk terhadap masyarakat di daerah, maka pemerintah membuat kebijakan tentang desentralisasi termasuk di dalamnya adalah kebijakan pembentukan suatu daerah otonom baru. Seperti telah diketahui bersama bahwa kebijakan publik merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seseorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau persoalan. Maka diharapkan dengan kebijakan pembentukan daerah otonom baru akan memperpendek rentang kendali antara pemerintah dan masyarakatnya, sehingga diharapkan masyarakat dapat lebih terakomodasi
28
Henderina Morin-Formulasi Kebijakan Pembentukan Daerah Otonomi Baru dalam ... ekonomi merupakan faktor yang cukup dominan. Ketika aspirasi masya-rakat tidak terakomodir maka bukan masyarakat yang mempunyai kedaulatan sebagai wujud demokrasi. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, telah diatur sedemikian rupa agar aspirasi masyarakat setempat merupakan sumber inspirasi yang utama bagi pemerintahan daerah otonom dalam menjalankan kewenangannya. Penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 telah menempatkan aspirasi masyarakat sebagai hal penting dalam pembentukan daerah, dimana aturan tersebut berbunyi : “Persetujuan DPRD dalam ketentuan di atas diwujudkan dalam bentuk keputusan DPRD yang diproses berdasarkan pernyataan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat”. Dalam tataran peraturan perundang-undangan, aspirasi masyarakat telah diperhatikan namun dalam tataran implementasi belum maksimal. Hal ini dapat dilihat ketika ada beberapa masyarakat di daerah otonom baru menolak untuk dimekarkan dari daerah induknya, sehingga terbersit bahwa ada aspirasi masyarakat yang tidak terakomodir dalam pengambilan kebijakan. Dan terlihat juga ada kemungkinan kepentingankepentingan elite dan kepenting-an kelompok yang bermain dalam pengambilan kebijakan itu sehingga aspirasi masyarakat terabaikan. Penguatan terhadap kinerja DPRD dalam menyerap aspirasi masyarakat sangat dibutuhkan dalam rangka pembentukan daerah. Hal ini supaya pembentukan daerah baru sungguh sesuai dengan kehendak masyarakat dan bukan hanya sebatas merupakan kepentingan politik sekelompok elit yang menginginkan kekuasaan dan tidak bisa tanpa kekuasaan. Karena dalam proses pembentukan daerah otonomi baru yang terjadi selama ini ide pemekaran itu sebenarnya datangnya bukan dari masyarakat, tetapi aspirasi pemekaran itu datangnya dari kelompok elite dan kelompok kepentingan yang tidak bisa dijauhkan dari kekuasaan. Pembentukan daerah otonom baru yang pada saat ini belum diatur dengan kriteria yang rigid menimbulkan banyaknya kepentingan yang
bermain dalam pembentukan daerah otonom baru, tidak semata-mata dan diutamakan untuk kesejahteraan dan peningkatan pelayanan publik kepada masyarakat. Pembentukan daerah otonom baru selama ini banyak didasari kepentingan sekelompok elite penguasa yang menginginkan kekuasaan. Dengan dasar PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah memungkinkan daerah untuk membentuk struktur organisasi baru sesuai kebutuhan daerah tersebut, dengan aturan ini maka terbuka kursi-kursi kosong jabatan baru. Hal ini menjadi sebuah sasaran empuk bagi para elite kekuasaan yang menginginkan jabatan baru yang lebih tinggi. Dengan terbentuknya daerah otonom baru, maka dibutuhkan banyaknya sarana dan prasarana baru yang diperlukan untuk mendukung kinerja daerah otonom baru tersebut. Hal ini tentu saja merupakan peluang bagi pihak swasta untuk mendapat keuntungan dari proyek-proyek peme-rintah tersebut. Dana dan peluang yang besar ini seringkali menimbulkan korupsikorupsi dalam pemerintahan daerah otonom baru. Pihak swasta berlomba-lomba untuk mendapatkan tender yang besar tersebut bahkan menghalalkan segala cara, dengan memberikan sejumlah uang kepada pejabat atau kongkalikong untuk menentukan nilai besaran proyek. Dengan keadaan seperti ini tentu saja kepen-tingan masyarakat yang menjadi korban, masya-rakat tidak dapat menikmati sarana dan prasarana yang maksimal sesuai dengan anggaran yang ada. Politik uang yang terjadi di DPR guna meloloskan suatu UU pembentukan daerah membuat tidak terjaminnya kemampuan daerah otonom baru dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat. Undang-Undang pembentukan daerah baru meru-pakan Undang-undang yang kurang mendapat perhatian publik atau tidak disorot oleh media. Kecenderungan politik uang ini menimbulkan begitu mudahnya DPR meloloskan usulan pembentukan daerah baru dengan membuat RUU pembentukan daerah tanpa memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007. Bahkan ketika hasil studi beberapa lembaga studi dan DPOD (Dewan Per-
29
Jurnal Ekologi Birokrasi, Vol.1, No.1. Februari 2015 timbangan Otonomi Daerah) tidak merekomendasikan untuk membentuk daerah otonom baru. Sebagai bukti, dari 17 RUU Pembentukan daerah yang diusulkan DPR pada akhir tahun 2007, hanya 3 (tiga) yang layak untuk diloloskan (Kompas, 23 Des 2008). Dengan kendornya pengawasan DPR terhadap pembentukan daerah otonom baru karena adanya politik uang sangat merugikan masyarakat khususnya dalam pelayanan publik, karena daerah otonom baru kurang terjamin kemampuannya dalam melaksanakan kewenangan, hak dan kewajibannya dalam mengurus daerahnya sendiri. Pembentukan daerah otonom baru (DOB) melalui proses pemekaran daerah otonom sudah dikenal sejak awal berdirinya republik ini. Selama pemerintahan orde baru, pemekaran daerah juga terjadi dalam jumlah yang sangat terbatas. Kebanyakan pembentukan daerah otonom ketika itu adalah pembentukan kotamadya sebagai konsekuensi dari proses pengkotaan sebagian wilayah sebuah kabupaten. Prosesnya pun diawali dengan pembentukan kota administratif sebagai wilayah administratif, yang kemudian baru bisa dibentuk menjadi kotamadya sebagai daerah otonom. Proses pemekaran daerah lebih bersifat top-down atau sentralistik dengan didominasi oleh proses teknokratis-administratif. Selama pemerintahan orde baru tercatat bahwa pemekaran atau pembentukan daerah otonomi baru bisa dikatakan tidak ada sama sekali, karena pemerintahan orde baru tidak memberikan kewenangan kepada daerah untuk melaksanakan atau menjalankan pemerintahan di daerah berdasarkan kewenangan dan jabatannya sebagai kepala daerah. Tetapi yang terjadi bahwa pemerintahan orde baru dalam melaksanakan pemekaran sifatnya adalah topdown dan bersifat sentralistik. Sejak penerapan desentralisasi melalui pemberlakuan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32/2004, kebijakan pemekaran daerah mengalami perubahan signifikan. Menurut Pratikno (2008) mulai tahun 2001, proses kebijakan pemekaran daerah bersifat bottom-up dan didominasi oleh proses politik daripada proses administratif. Diawali oleh dukung-an
aspirasi masyarakat, diusulkan oleh kepala daerah dan DPRD induk, lalu dimintakan persetujuan dari kepala daerah dan DPRD daerah atasan, kemudian diusulkan ke pemerintah nasional yang melibatkan Menteri Dalam Negeri, Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) dan DPR/DPD. Kebijakan ini dimulai pada saat legitimasi pemerintah yang lemah menghadapi tekanan politik masyarakat dan politisi daerah. Regulasi dan situasi politik inilah kemudian memberikan ruang yang sangat lebar bagi maraknya pengusulan pemekaran daerah dan persetujuan pemerintah nasional terhadap usulan tersebut. Hanya dalam waktu setengah dekade, jumlah daerah otonom di Indonesia bertambah menjadi hampir dua kali lipat. Menurut Pratikno (2008), mulai Oktober 1999 sampai Januari 2008 terbentuk 164 daerah baru yang terdiri dari 7 (tujuh) provinsi, 134 kabupaten dan 23 kota. Bahkan menurut Prasojo (2008), sejak 1999 jumlah DOB yang dibentuk adalah 191 ditambah 12 DOB yang baru disetujui DPR dan pemerintah. Jadi jumlah keseluruhan DOB sampai akhir Oktober 2008 adalah 203 DOB. Jumlah ini masih mungkin bertambah karena masih terdapat inisiatif DPR untuk usul pembentukan DOB lagi. Pembentukan daerah otonomi baru secara masif, mencapai 205 daerah otonomi dalam satu dasawarsa (1999-2009), telah mengantarkan Indonesia mengukir rekor dunia sebagai negara dengan pertambahan daerah otonomi terbanyak dalam jangka waktu pendek. Menurut Eko Parsojo, ketika rekomen-dasi pengusulan diajukan ke DPR, disinilah nuansa politisnya lebih besar daripada nuansa teknis administratifnya. Pemekaran daerah itu didorong oleh beberapa faktor. Pertama, secara politik pemekaran berarti ada perluasan ruang politik bagi anggota-anggota parpol. Setiap pembentukan daerah baru berarti membentuk DPRD baru dan posisi-posisi baru. Hal ini yang memotivasi anggota dewan untuk memperluas ruang bagi kader-kader parpol. Faktor kedua, saat ini masamasa mendekati pemilu 2009. Beberapa anggota dewan memiliki kepen-tingan terhadap janjijanji pemilu 2009 untuk mempertahankan dukungan politik dari warga di daerah pemili-
30
Henderina Morin-Formulasi Kebijakan Pembentukan Daerah Otonomi Baru dalam ... hanya dan mempertahankan posisinya dalam legisatif untuk 2014 sampai 2019. Permasalahan pokok dari kebijakan pembentukan DOB ini terletak pada aspek kepentingan politik yang sangat kental dan menyelimuti kebijakan pemekaran daerah. Hal ini dapat dilihat jika ditelusuri siapa pengusul RUU pemekaran daerah yang selama ini terjadi. Sebagian besar inisiatif pemekaran daerah datang dari anggota DPR. Bahkan, 12 UU pembentukan DOB yang disahkan tanggal 29 Oktober 2008 yang lalu dan lima RUU yang sedang dibahas, semuanya merupakan inisiatif dari pihak DPR. Anggota DPR, baik secara pribadi maupun partai politik tentu sangat berkepentingan dengan pemben-tukan daerah baru tersebut. Bisa jadi, berkaitan dengan janjijanji di masa kampanye pemilu mereka terlanjur menjanjikan pemekaran daerah pada konstituen. Sehingga, pada waktunya janji tersebut ditagih oleh warga. Kepentingan politik lebih mengedepan daripada pertim-bangan rasional kenegaraan, seperti yang disinyalir Eko Prasojo sebelumnya. Tren lain dari tuntutan pemekaran daerah ini adalah tuntutan terbanyak dari luar pulau Jawa. Secara politik, ini meng-indikasikan ada misi untuk menarik sebanyak-banyaknya dana dari pusat ke daerah. Ini merupakan konsekuensi dari kesenjangan vertikal dan horisiontal yang terjadi selama ini. Dalam hal ini, sebagian besar uang beredar di Jakarta dan daerah-daerah di Jawa. Sedangkan daerah di luar Jawa masih saja mengalami marginalisasi pembangunan. Dalam kerangka administrasi pemerintahan daerah, permasalahan pemekaran daerah dalam pembentukan DOB sangat menarik untuk dilakukan pengkajian. Apalagi pemekaran daerah yang telah dilakukan oleh pemerintah saat ini penuh dengan nuansa kontroversial dan inkosistensi terhadap dasar hukum yang ada dan bersinggungan langsung dengan kawasan konservasi yang melahirnya konflik antara pemerintah daerah dan/atau pemerintah pusat. Dalam menentukan kawasan konservasi itu sudah dilakukan langsung oleh pemerintahan negara republik Indonesia, diseluruh provinsi yang ada di Indonesia, pemetaan wilayah konservasi
dilakukan dengan memetakan hutan dan wilayahnya berdasarkan fungsi dan kegunaannya. Undang-undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, disebutkan bahwa peraturan konservasi masih merupakan wewenang penuh pemerintah pusat. Peraturan ini menunjukkan secara jelas bahwa belum terjadi desentralisasi di bidang konservasi, padahal banyak inisiatif di tingkat kabupaten dan masyarakat yang dapat melangkapi peraturan konservasi tersebut. Pengelolaan sentralistik diperparah oleh proses perencanaan, penataan kawasan, perlindungan dan pengawasan dan berbagai kegiatan lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi yang seringkali dikembangkan secara tidak transparan oleh pemerintah pusat. Dukungan pemerintah daerah dan masyarakat terhadap pengelolaan kawasan konservasi rendah (Natural Resources Management, 2001). Konservasi dalam perspektif Undangundang konservasi Nomor 5 Tahun 1990 dijabarkan dengan berbagai bentuk pengelolaan kawasan yang mencakup kawasan suaka alam (cagar Alam dan Suaka Margasatwa), Cagar Biosfer dan kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam). Dalam Pengelolaan ketiga bentuk kawasan ini sama sekali tidak dicantumkan bentuk pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah daerah maupun masyarakat serta bentuk keterlibatan pihak pemerintah daerah dan masyarakat yang berada di sekitar kawasan tersebut. Jika di kaji dari Undang-Undang Konservasi No 5 Tahun 1990, menimbulkan masalah bagi pemerintah daerah dalam mengatur dan menata jalannya roda pemerintahan, karena kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana akan berbenturan dengan kawasan konservasi, Apa lagi daerah otonom baru atau pemekaran. Wacana pemekaran daerah berhembus terus bergulir sampai pada batasan ideal untuk mempercepat pemerataan pem-bangunan dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Tujuan pemekaran sesuai PP Nomor 129 tahun 2000, di revisi dengan PP Nomor 78 tahun 2007 tentang Tata cara Pembentukan, Penghapusan, dan penggabungan Daerah. Berdasarkan PP No
31
Jurnal Ekologi Birokrasi, Vol.1, No.1. Februari 2015 129 Tahun 2000 dan PP Nomor 78 Tahun, pengusulan pemekaran paling banyak datangnya dari Indonesia bagian Timur, tidak bisa dipungkiri bahwa usulan pemekaran atau daerah otonomi baru syarat dengan nilai kepentingan khususnya dari Papua, kita tahu bersama bahwa pembentukan daerah atonomi baru atau pemekaran bagi papua merupakan solusi untuk meredam teriakkan orang Papua minta merdeka (melepaskan diri dari pemerintah republic Indonesia), hembusan otonomi daerah ini membuat setiap daerah di Papua ingin dimekarkan. Pemekaran berdasarkan tujuan positifnya akan memberikan manfaat yang besar dan tujuannya akan dinikmati oleh masyarakat, tetapi pemekaran yang hanya mengejar keuntungan akan menimbulkan peluang-peluang penyalagunaan keuangan Negara (anggaran Negara), spekulasi kekeuasaan dan belum bisa hidup susah dengan kata lain belum siap kehilangan jabatan atau kekuasaan. Pengusulan pemekaran yang berasal dari Papua, mengandung nilai politik dan bukan berasal dari aspirasi masyarakat, ketika pengusulan pemekaran daerah ke pemerintah pusat, seharusnya ada kajian yang benar-benar dilakukan untuk melihat pengusulan calon daerah baru, untuk provinsi Papua usulan pemekaran atau pembentukan daerah otonomi baru itu paling banyak wilayahnya bersentuhan dan malahan berada dalam kawasan konservasi. Penentuan suatu wilayah menjadi kawasan konservasi telah dilakukan oleh pemerintah pusat dan berlaku untuk semua provinsi yang ada di Indonesia. Tetapi ketika pengusulan pemekaran dari daerah kepemerintah pusat melalui mekanisme pembentukan daerah otonomi baru dan outputnya uu dob. Pemasalahan dalam pelaksanaan Otonomi daerah terkait dengan kesalahpahaman mengenai otonomi daerah, yaitu: pertama, otonomi dikaitkan semata-mata hanya dengan uang dan kedua, daerah belum siap dan belum mampu dalam melaksanakan otonomi daerha. Pulau Papua dikenal sebagai kawasan biogeografis terluas ketiga di Indonesia yang memiliki tingkat keanekaragaman sumberdaya hayati tinggi yang dicirikan oleh perpaduan dua ekosistem utama, yaitu daratan dan perairan. Pulau Papua dikenal pula sebagai suatu wilayah
yang memiliki ragam ekosistem terlengkap dan unik di daerah tropis. Keunikan dan kelengkapan ragam ekosistem tersebut mendorong pemerintah menetapkan beberapa wilayah darat dan perairan sebagai kawasan konservasi dalam rangka upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan konservasi dengan status taman nasional adalah suatu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi dan peranan yang paling lengkap, bila dibandingkan dengan status kawasan konservasi lainnya. Taman nasional ditetapkan dengan fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis flora dan fauna serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Berdasarkan fungsi tersebut, maka kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, budaya, pariwisata, jasa lingkungan dan rekreasi alam. Taman Nasional Lorentz (TN. Lorentz) merupakan salah satu taman nasional daratan terluas dan terlengkap ekosistemnya di kawasan Asia-Pasifik. Kawasan TN. Lorentz ditunjuk sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 154/Kpts-II/1997 dengan luas 2.505.600 ha. Kawasan ini, memiliki kedudukan dan peranan yang strategis bagi perkembangan pembangunan dan kehidupan masyarakat dalam wilayah administratif pemerintahan beberapa kabupaten di wilayah pegunungan dan pesisir. Kawasan TN. Lorentz mencakup 10 wilayah administratif Kabupaten, masing-masing Kabupaten Asmat, Kabupaten Intan Jaya Kabupaten Mimika, Kabupaten Nduga, Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Lanny Jaya, Kabupaten Puncak, Kabupaten Puncak Jaya dan Kabupaten Paniai. Empat di antara 10 kabupaten tersebut merupakan kabupaten baru hasil pemekaran. Sebagai kabupaten baru, tentunya kegiatan pembangunan infrastruktur akan berjalan intensif, kebutuhan ruang wilayah dan penggunaan sumberdaya alam akan meningkat pula. Kondisi ini akan menjadi ancaman utama bagi fungsi penetapan Lorentz sebagai Taman Nasional dan Situs Warisan Dunia karena dituntut untuk 32
Henderina Morin-Formulasi Kebijakan Pembentukan Daerah Otonomi Baru dalam ... mempertahankan nilai-nilai alamiah dari kawasan baik bentang alam, biologi, sosial budaya maupun proses-proses geologinya. Sebagai gambaran
proporsi luas wilayah terestrial masing-masing kabupaten terhadap luas keseluruhan TN. Lorentz disajikan sebagai berikut:
Proporsi Luas Wilayah Adminitratif Daratan Terhadap Luas TN. Lorentz No
Kabupaten
Luas Wilayah (ha)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10
Asmat 308.718,79 Intan Jaya 5.117,02 Jayawijaya 76.251,53 Lanny Jaya 197.882,33 Mimika 784,828,75 Nduga 502.612,17 Paniai 39.338,64 Puncak 176.626,18 Puncak Jaya 5.656,86 Yahukimo 139.465,06 Total 2.236.497,32 Sumber : Tim Zonasi Kolaborasi TN. Lorentz, 2010 Kawasan TN. Lorentz dalam perspektif ruang bukanlah suatu wilayah yang hanya sebagai habitat tempat hidup berbagai jenis tumbuhan dan hawan serta situs-situs hasil rancangan proses evolusi dan ekologis semata tetapi juga wilayahnya terbagi habis oleh wilayah adminis-
ProporsiTerhadap TN. Lorentz (%) 13,80 0,23 3,41 8,85 35,09 22,47 1,76 7,90 0,25 6,24 100
tratif pemerintahan 10 kabupaten keseluruhan di sekitar Lorentz adalah 9.792.472,534 ha dan dari luas tersebut seluas 2.354.644,32 ha (24,05%). Proporsi luas wilayah TN. Lorentz luas wilayah adminitratis pemerintahan 10 kabupaten disajikan sebagai berikut:
Proporsi luas kawasan TN. Lorentz terhadap luas wilayah Tiap Kabupaten. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Kabupaten
Asmat Intan Jaya Jayawijaya Lanny Jaya Mimika Nduga Paniai Puncak Puncak Jaya Yahukimo Total Sumber : Analisis GIS, 2010
Luas Wilayah (Ha) 2.494.150,682 929.734,271 235.134,320 348.547,076 2.069.785,134 586.249,755 550.310,249 563.372,879 496.215,584 1.518.972,584 9.792.472,534
Pada Tabel di atas memberikan gambaran bahwa Kabupaten Lanny Jaya, Kabupaten Nduga dan Kabupaten Puncak adalah tiga kabupaten baru hasil pemekaran yang luas wilayah admi-
Luas Kawasan (Ha) 308.718,79 5.117,02 76.251,53 197.882,33 784,828,75 502.612,17 39.338,64 176.626,18 5.656,86 139.465,06 2.236.497,32
Persen (%) 12,38 0,55 32,43 56,77 37,92 85,73 7,15 31,35 1,12 9.18 22,83
nistratif dalam kawasan yang luas. Artinya bahwa wilayah TN. Lorentz pada ketiga kabupaten baru tersebut merupakan wilayah rawan ancaman terhadap gangguan keutuhan
33
Jurnal Ekologi Birokrasi, Vol.1, No.1. Februari 2015 kawasan dan berpeluang terjadinya pemanfaatan ruang untuk pembangunan infrastruktur jalan dan fasilitas pemerintahan. Kawasan TNI. Lorentz tersebut selain statusnya sebagai kawasan pelestarian alam dan karena bentang alam hasil rancangan proses evolosi menjadikan di dalam kawasan terdapat situs-situs warisan alam dan sejarah purbakala. yang khas dan unik yang merupakan perwakilan berbagai bentang alam dunia. Kabupaten Jayawijaya menjadi Daerah Induk dari pemekaran terhadap 4 (empat) Kabupaten baru atau dikatakan pembentukan daerah otonomi Baru, empat Kabupaten tersebut adalah pertama, Kabupaten Lanny Jaya berdasar-kan UndangUndang No. 5 Tahun 2008, yang ibu kota Kabupaten adalah Tiom, kedua Kabupaten Nduga berdasarkan Undang-Undang No.6 Tahun 2008 dengan ibu Kota Kabupatennya adalah Kenyam, ketiga Kabupaten Mamberamo Tengah berdasarkan Undang-Undang No. 3 tahun 2008 yang berikota di Kobagma dan keempat adalah Kabupaten Yalimo dengan Undang-undang No.4 Tahun 2008 yang beribu kota kabupaten yaitu Elelim. Ketika Pembentukan Daerah Otonomi Baru selalu berbenturan dengan Kawasan konservasi, berdasarkan data di atas maka Kabupaten Nduga adalah kabupaten yang memiliki kawasan konservasi terbesar yaitu 85,73%, maka timbul pertanyaan: Bagaimana bentuk Formulasi Kebijakan Pembentukan Daerah Otonomi Baru dalam Kawasan Konservasi. Untuk itulah pada tulisan ini ada beberapa pertanyaan turunan yang perlu diklasifikasi, yakni: Bagaimanakah pembentukan formulasi kebijakan daerah otonom baru (DOB) dalam kawasan konservasi ? Apakah dengan adanya DOB mendekatkan pelayanan pada masyarakat? Maka pertanyaan turunan sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk pelayanan publik yang akan diberikan kepada masyarakat?, 2. Apakah dengan pemekaran/ pembentukan daerah otonomi baru mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat? 3. Faktor-faktor apakah yang menjadi pendorong dalam pemekaran daerah tersebut? 4. Bagaimana dengan kawasan konservasi? 5. Apakah benar pemekaran mengabaikan kawasan konservasi?.
Pendekatan berdasarkan proses penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan deduktif, sementara pendekatan berdasarkan paradigma penelitian yang dipilih adalah paradigma kualitatif. Dikelompokkan dalam pendekatan deduktif, karena tulisan ini didekati dari sisi konsep, tipe dan teori formulasi kebijakan. Pendekatan paradigma yang dipilih adalah paradigma kualitatif, karena teori atau model yang dijadikan sebagai rujukan dalam pengumpulan data tidak diuji proposisinya tetapi hanya diverifikasi atau dikonfirmasi dengan data-data lapangan yang dihimpun melalui metode dan analisis data kualitatif. Walaupun demikian ada juga data-data kuantitatif yang digunakan sebagai data pendukung. Karena pendekatan yang dianut adalah deduktif kualitatif, maka teori yang dikemukakan sebelumnya tidak berfungsi sebagai “kacamata kuda” (Bungin, 2007) yang membatasi peneliti dalam pengum-pulan data secara ketat, melainkan memberi ruang untuk mengumpulkan data yang terkait dengan objek yang diteliti. Apabila data yang dihimpun tidak bisa dijelaskan oleh model atau teori yang membantu menentukan fokus penelitian, maka peneliti perlu menghadirkan model atau teori lain untuk menjelaskan data tersebut. Fokus penelitiannya adalah formulasi kebijakan Pembentukan Daerah Otonomi Baru dalam Kawasan konservasi, Variabel dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel independen (variabel bebas) dan variabel dependen (variabel terikat), lokasi penelitian daerah pengunungan tengah Papua, Kabupaten Nduga. II. Landasan Teori A. Pengertian Otonomi Daerah Pengertian Otonomi Daerah secara etimologis menurut Situmorang (1993) berasal dari bahasa latin, yaitu “autos” yang artinya sendiri dan “nomos” yang artinya aturan. Jadi dapat diartikan bahwa otonomi daerah adalah mengurus dan mengatur rumah tang-ganya sendiri. Sementara itu Saleh (1993), mengemukakan bahwa otonomi sebagai hak mengatur dan mengurus daerah sendiri atas kemauan dan inisiatif sendiri. Konsep Otonomi Daerah secara khusus diatur 34
Henderina Morin-Formulasi Kebijakan Pembentukan Daerah Otonomi Baru dalam ... dalam Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, makadilakukan revisi mengenai Undang-undang ini. yakni dengan disahkannya Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Peme-rintahan Daerah yang secara eksplisit memberikan kewenangan yang lebih besar ke pemerintah daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) memberikan definisi otonomi daerah yaitu Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan.UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mende finisikan Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batasbatas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dampak positif Otonomi Daerah adalah memunculkan kesempatan identitas lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali Pemerintah Pusat mendapatkan respon tinggi dari Pemerintah Daerah dalam menghadapi masalah yang beradadi daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari Pemerintah Pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pem bangunan daerah serta membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata. Walaupun demikian, ekses negatif dengan adanya Otonomi Daerah juga bertumbuh misalnya konflik, oligarki lokal dan lain-lain.
Sebuah produk kebijakan publik yang miskin aspek lapangannya itu jelas akan menemui banyak persoalan pada tahap penerapan berikutnya. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah penerapan nya dilapangan dimana kebijakan publik itu hidup tidaklah pernah steril dari unsur politik. Formulasi kebijakan publik adalah langkah yang paling awal dalam proses kebijakan publik secara keseluruhan, oleh karena apa yang terjadi pada tahap ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik yang dibuat itu pada masa yang akan datang. Oleh sebab itu perlu adanya kehati-hatian lebih dari para pembuat kebijakan ketika akan melakukan formulasi kebijakan publik ini. Yang harus diingat pula adalah bahwa formulasi kebijakan publik yang baik adalah formulasi kebijakan publik yang berorientasi pada implementasi dan evaluasi. Sebab seringkali para penga-mbil kebijakan beranggapan bahwa formulasi kebijakan yang baik itu adalah sebuah uraian konseptual yang sarat dengan pesanpesan ideal dan normatif, namun tidak membumi. Padahal sesungguhnya formulasi kebijakan publik yang baik itu adalah sebuah uraian atas kematangan pembacaan realitas sekaligus alternatif solusi yang fisibel terhadap realitas tersebut. Kendati pada akhirnya uraian yang dihasilkan itu tidak sepenuhnya presisi dengan nilai ideal normatif, itu bukanlah masalah asalkan uraian atas kebijakan itu presisi dengan realitas masalah kebijakan yang ada dilapangan (Fadillah, 2001:49-50). Solichin menyebutkan, bahwa seorang pakar dari Afrika, Chief J.O. Udoji (1981) merumuskan secara terperinci pembuatan kebijakan negara dalam hal ini adalah formulasi kebija-kan sebagai: “The whole process of articulating and defining problems, formulating possible solutions into political demands, chenelling those demands into the political system, seeking sanctions or legitimation of the preferred course of action, legitimation and implementation, monitoring and review (feedback)” (Keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisian masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan
B.
Pengertian formulasi Kebijakan Dalam fase formulasi kebijakan publik, realitas politik yang melingkupi proses pembuatan kebijakan publik tidak boleh dilepaskan dari fokus kajiannya. Sebab bila kita melepaskan kenyataan politik dari proses pembuatan kebijakan publik, maka jelas kebijakan publik yang dihasilkan itu akan miskin aspek lapangannya.
35
Jurnal Ekologi Birokrasi, Vol.1, No.1. Februari 2015 politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut kedalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, pengesahan dan pelaksanaan/ implementasi monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik) (Dalam Solichin. 2002:17). Menurut pendapatnya, siapa yang berpartisipasi dan apa peranannya dalam proses ter-sebut untuk sebagian besar akan tergan-tung pada struktur politik pengambilan keputusan itu sendiri. Untuk lebih jauh memahami bagaimana formulasi kebijakan publik itu, maka ada empat hal yang dijadikan pendekatan-pendekatan dalam formulasi kebijakan publik dimana sudah dikenal secara umum oleh khalayak kebijakan publik yaitu: 1. Pendekatan Kekuasaan dalam pembuatan Kebijakan Publik 2. Pendekatan Rasionalitas dan Pembuatan Kebijakan publik 3. Pendekatan Pilihan Publik dalam Pembuatan Kebijakan Publik 4. Pendekatan Pemrosesan Personalitas, Kognisi dan Informasi dalam Formulasi Kebijakan Publik. (Fadillah, 2001:50-62).
Akhirnya pemekaran wilayah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, peningkatan sumber daya secara berkelanjutan, meningkatkan keserasian perkembangan antar wilayah dan antar sektor, serta memperkuat integrasi nasional yang secara keseluruhan dapat meningkatkan kualitas hidup. 2.
Dasar Hukum Pemekaran Wilayah UUD 1945 tidak mengatur perihal pembentukan daerah atau pemekaran suatu wilayah secara khusus, namun disebutkan dalam pasal 18B ayat (1) bahwa, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang” selanjutnya, pada ayat (2) pasal yang sama tercantum kalimat sebagai berikut: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Secara lebih khusus, UU No. 32 Tahun 2004 mengatur ketentuan mengenai pembentukan daerah dalam Bab II tentang Pembentukan Daerah atau kawasan Khusus. Dapat dianalogikan, masalah pemekaran wilayah termasuk dalam ruang lingkup pembentukan daerah. UU No. 32 Tahun 2004 menentukan bahwa pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan undangundang tersendiri. Ketentuan ini tercantum dalam pasal 4 ayat (1), kemudian, ayat (2) pasal yang sama menyebutkan, “Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan pejabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dokumen, serta perangkat daerah”. Legalisasi pemekaran wilayah dicantumkan dalam pasal yang sama pada ayat berikutnya (ayat (3)) yang menyatakan bahwa. “pembentukan
C. Otonomi Daerah (Pemekaran Wilayah) 1. Konsep Pemekaraan Wilayah Pemekaran wilayah Kabupaten/Kota menjadi beberapa kabupaten/kota baru pada dasarnya merupakan upaya peningkatan kualitas dan intensitas pelayanan pada masyarakat. Dari segi pengembangan wilayah, calon kabupaten/kota yang baru yang akan dibentuk perlu memiliki basis sumber daya yang seimbang antara satu dengan lain. Hal ini perlu diupayakan dengn tujuan untuk mencegah timbulnya disparitas yang mencolok dimasa mendatang. Selanjutnya dalam suatu usaha pemekaran wilayah akan diciptakan ruang publik baru. Ruang pubik merupakan ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi berdasarkan kebutuhan kolektif semua warga yang ada wilayah baru tersebut. Ruang publik baru ini akan mempengaruhi aktivitas individu atau masyarakat sehingga mereka merasa diuntungkan karena pelayanannya yang lebih maksimal.
36
Henderina Morin-Formulasi Kebijakan Pembentukan Daerah Otonomi Baru dalam ... daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemakaran dari suatu daerah menjadi dua daerah atau lebih”. Dan ayat (4) menyebutkan, “ pemekaran dari suatu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan stelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan”. Namun demikian, pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi syaarat administrasi, teknis, dan fisik kewilayahan. Bagi provinsi, syarat administratif yang wajib dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten? kota dan Bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi induk dan gubernur, serta rekomendasi dari menteri dalam negeri. Sedangkan untuk Kabupaten/Kota, syarat administratif yang juga harus dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD Kabupaten/ kota dan Bupati/ Walikota bersangkutan, persetujuan DPRD Provinsi dan gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negri. Selanjutnya, syarat teknis dari pembentukan daerah baru harus meliputi factor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup factor-faktor di bawah ini, antara lain: a. Kemampuan ekonomi, merupakan cerminan hasil kegiatan usaha perekonomian yang berlangsung disuatu daerah provinsi, Kabupaten/ kota, yang dapat diukur dari produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan penerimaan daerah sendiri. b. Potensi daerah, merupakan cerminan tersedianya sumber daya yang dapat dimanfaatkan dan kesejahtaraan masyarakat yang dapat diukur dari lembaga keuangan, sarana ekonomi, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana transportasi dan komunikasi, sarana pariwisata dan ketenagaan kerjaan. c. Social budaya, merupakan cerminan yang berkaitan dengan struktur sosial dan pola budaya masyarakat, kondisi social masyarakat yang dapat diukur dari tempat peribadatan,
d.
e. f. g. h.
tempat kegiatan institusi sosial dan budaya, serta sarana olahraga. Social politik, merupakan cerminan kondisi social politik masyarakat yang dapat diukur dari partisipasi masyarakat yang dapat diukur dari partisipasi masyarakat dalam politik dan organisasi masyarakat. Kependudukan, merupakan jumlah total penduduk suatu daerah. Luas daerah, merupakan luas tertentu suatu daerah. Pertahanan dan keamanan. Faktor-faktor lain yang me-mungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Factorfaktor lain yang dimaksud harus me-liputi paling sedikit 5 kabupaten/ kota untuk pembentukan provinsi, dan paling sedikit 5 kecamatan dan pembentukan kabupaten, dan 4 kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prsarana pemerintahan.
D. Undang-undang dan Peraturan Konservasi di Indonesia, Khususnya di Papua Papua memiliki lebih dari 40 juta ha hutan, sumber daya hutan terluas dan terbesar yang masih tersisa di Indonesia dan satu dari lingkungan tropis terakhir yang sebagian besar masih asli (Mittermeier dkk, 2002). Hutan yang unik dan penting di tingkat global ini sangat terancam oleh pem-balakan liar dan penyalagunaan hutan. Undang-undang No. 5/1990: Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, prinsip utama UU ini adalah pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan untuk mendukung kesejahteraan manusia dan kualitas hidup, mengatur pelestarian dan perlindungan flora dan fauna, ekosistem, kawasan konservasi dan pemanfaatan sumber daya alam. Peraturan Pemerintah No. 13/1994: Perburuan Satwa Buru, PP ini mengatur pemburuan hidupan liar yang tidak dilindungi yang menjadi sasaran perburuan. Isinya menguraikan perburun hidupan liar, kawasan perburuan, musim, peralatan, surat ijin, serta hak dan kewajiban pemburu. Peraturan Pemerintah No. 68/1998: Kawasan
37
Jurnal Ekologi Birokrasi, Vol.1, No.1. Februari 2015 Suaka Alam dan Kawasan Konservasi Alam. PP ini menyediakan panduan teknis untuk mengelola kawasan suaka Alam dan Kawasan Konservasi Alam. Isinya menguraikan tipe kawasan lindung di Indonesia, berbagai persyaratannya, fungsi dan pengelolaan, termasuk pelestarian dan pemanfaatannya. Peraturan Pemerintah No. 6/1999: Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan di Hutan Produksi. PP ini ditetapkan sebelum UU No. 41/1999 disetujui dan ketika proses desentralisasi dan reformasi di bidang pengelolaan hutan berlangsung sangat cepat. PP ini memberikan wewenang kepada Gubernur dan Bupati untuk mengeluarkan surat ijin untuk pengusahaan hutan skala kecil. Masyarakat adat diberikan hak untuk menebang hutan milik masyarakat adat. Undang-undang no. 23/1997 : Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU ini ditetapkan untuk menggantikan UU No.4/1982. Intinya menyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup harus dilaksanakan oleh Negara untuk memastikan pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan di Indonesia.Isinya Mencakup pengaturan partisipasi dan peran masyarakat, kewajiban pengelolaan lingkungan hidup, penyelesaian konflik, hak masyarakat dan organisasi untuk menggugat dan keterlibatan mereka dalam penegakan hukum pengelolaan lingkungan hidup (class action). Undang-undang No. 41/2004 : Kehutanan. UU ini ditetapkan untuk menggantikan UU No. 5/1967 tentang Pokokpokok Kehutanan. Prinsip utamanya adalah untuk melaksanakan tata kelola hutan yang baik dengan mempertimbangkan dan menggabungkan pemanfaatan dan konservasi, memperhitungkan kebutuhan masyarakat lokal, memperjelas proses penyelidikan serta hukuman dan sanksi dan mendorong transparansi. Wewenang operasionalnya dialihkan ke pemerintah provinsi dan kabupaten, sementara pemerintah pusat dipusatkan pada isu-isu makro yang lebih strategis. Peraturan Pemerintah No. 45/2004: Perlindungan Hutan. PP ini mengg-antikan PP No.28/1985 sebagai peraturan Pelaksanaan UU No. 41/1999 untuk melindungi hutan dari berbagai kegiatan
manusia dan eksploitasi hutan. Peraturan ini memberikan mandate khusus kepada Departemen Kehutanan untuk memelihara berbagai fungsi ekologi hutan. PP ini menekankan pada peran dan tanggung jawab polisi hutan dan Penyidik sipil hutan untuk meningkatkan penegakan hukum dan peran masyarakat dan sector swasta dalam perlindungan hutan. Peraturan Pemerintah No. 34/2002: Tata Hutan dan Penyusunan Rencana pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan. PP ini menggantikan PP No.6/1999, yang mengatur pemanfaatan hutan dan berbagai prosedur untuk mendapatkan ijin dari pemerintah provinsi dan Pusat. Secara umum hutan dikelompokkan menjadi tiga tipe yaitu Kawasan Konservasi Alam, Kawasan Suaka Alam dan Hutan Produksi. Berbagai Kegiatan yang terkait dengan hutan diatur dibawah PP ini. Dibawah UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah, pemerintah kebupaten mengembangkan peraturan dan mengeluarkan sendiri ijin untukk pembalakan dihutan produksi dan untuk mengelola Hutan Lindung. Namun umumnya peraturan daerah ini tidak mengikuti hukum nasional, sebagaimana diharuskan oleh UU Otonomi Khusus Papua (No. 21 tahun 20001) yang merincikan lebih lanjut untuk Papua, PP No. 34/2002 menegaskan kembali wewenang pemerintah pusat dengan memutuskan bahwa hanya Menteri Kehutanan yang dapat menetapkan ijin pembalakan dan menolak berbagai macam ijin yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, seperti Ijin Pemungutan Kayu (IPK) (Patlis 2002). E.
Prosedur dalam Pemekaran Wilayah Inisiatif pemekaran wilayah pada dasarnya berangkat dari adanya peluang hukum bagi masyarakat dan daerah unutk melakukan pemekaran/penggabungan wilayah sebagaimana tertuang dalam UU N0.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dari sisi pemerintahan Pusat, proses pembahasan pemekaran wilayah yang datang dari berbagai daerah melalui dua tahapan besar yaitu Proses teknokratis (kajian kelayakan teknis dan administrtif), serta proses
38
Henderina Morin-Formulasi Kebijakan Pembentukan Daerah Otonomi Baru dalam ... politik karena selain harus memenuhi persyaratan teknokratis yang telah diatur dalam UU dan Peraturan Pemerintah, proposal pemekaran harus
didukung secara politis oleh DPR, Berikut akan digambar tentang skema proses pengusulan pemekaran ditingkat daerah.
PenjaringanAspirasi Pembentukan Tim Teknis Pengesahan oleh DPRD dan Bupati
Pengkajiankelayakan
Pengesahan oleh DPRD/ Gubernur
Pengajuan usulan ke Provinsi
Lobby dan Dialog Politik
Pengajuan usulan ke Provinsi
Persentasi oleh Daerah Persiapan dan Induk
Pengajuan usulan ke Pemerintah
Daerah Persiapan Daerah Induk
Dari gambar diatas dijelaskan bahwa persiapan dalam pemekaran wilayah dimulai dari wilayah yang mengusulkan. Usulan-usulan tersebut berbentuk proposal yang sudah memiliki pertimbangan-pertimbangan di dalamnya dan kajiankajian ilmiah, sehingga ketika proposal rencana pemekaran wilayah tersebut diajukan ke DPRD kabupaten/kota dan kemudian ke Provinsi, dapat
Provinsi
dipertanggungjawabkan dengan berlandaskan peraturan-peraturan yang berlaku. Dalam rangka memahami proses kebijakan pemekaran, perlu digambarkan bagaimana pemerintah nasional memloloskan usulan pemekar-an daerah otonomo, prosedur pemba-hasan ditingkat pusat untuk” meluluskan atau tidak meluluskan” proposal pembentukan daerah otonom baru secara teknokratis dapat di gambarkan sebagai berikut:
Sudah diselesaikan
Pro/kontra
? Ada kontra Proses berhenti
Cakupan wilayah tidak ada enclave
? Proses berhenti Ibu kota kabupaten baru
Sudah diselasaikan
Tim Independen TPOD
Siding DPOD
ada
?
STOP
disetujui sudah diselesaikan Proses berhenti tidak ada
Gambar 2. Tahapan dan Prosedur Pembentukan Kabupaten/Kota
39
RUU
Jurnal Ekologi Birokrasi, Vol.1, No.1. Februari 2015
Gambar diatas menjelaskan tentang tahapan dan prosedur pembentukan daerah kabupaten/ kota menurut pasal 16 PP No. 129 tahun 2000, yang terdiri dari: 1. Adanya kemauan politik dari pemerintah daerah dan masyarakat yang bersangkutan. 2. Pembentukan daerah harus didukung oleh penelitian awal yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. 3. Usul pembentukan kabupaten/kota disampaikan kepada pemerintah cq Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan dilampirkan hasil penelitian daerah dan persetujuan DPRD Kabupaten/kota serta persetujuan Provinsi, yang dituang dalam keputusan DPRD. 4. Dengan memperhatikan ususlan Gubernur, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan tim untuk melakukan observasi kedaerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah berdasarkan rekomendasi pada huruf d, ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah meminta tanggapan para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan dapat menugaskan Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut di lapangan. 5. Para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. Ususlan pembentukan suatu daerah diputuskan dalam rapat anggota dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. 6. Apabila berdasarkan hasil kepu-tusan rapat anggota dewan pertimbangan otonomi daerah menyetujui usul pembentukan daerah tersebut beserta rancangan undang-undang pembentukan daerah kepada presiden. 7. Apabila predisen menyetujui usul dimaksud, Rancangan undang-undang pembentukan
daerah disampaikan kepada DPR-RI untuk mendapat persetujuan. F.
Peran Pihak-Pihak di Daerah Dalam Pemekaran wilayah
1.
Daerah Persiapan Daerah melakukan pemekaran wilayah, maka pembentukan daerah persiapan menjadi penting dalam upaya penataan daerah. Seiring dengan hal tersebut, maka peran daerah persiapan tidak saja mencakup persoalan administrasi semata, tetapi juga perlu mencakup beberapa aspek lain, antara lain: a. Mempersiapkan persyaratan fisik yang berkaitan dengan penataan ruang maupun batas wilayah. Di samping itu juga terumuskan dokumen rencana tata ruang lokasi calon ibukota otonom baru maupun calon ibukota Daerah induk. b. Mempersiapkan persyaratan kelembagaan dan organisasi yang berkaitan dengan kebutuhan kantor, indentifikasi aset, fungsi staf, struktur organisasi, maupun proses pemekaran wilayah menjadi kebutuhan bersama antara Daerah Induk dengan Calon daerah Otonom Baru. c. Mempersiapkan persyaratan teknis administrasi yang berkaitan dengan kerja sama dengan Daerah Induk dan pihak ketiga yang akan melakukan peng-kajian terhadap kelayakan pem-bentukan daerah otonomi baru atau pemekaran wilayah. 2.
Peran Masyarakat Syarat utama untuk keber-lanjutan suatu proses pemekaran wilayah adalah suara dan peran aktif masyarakat. Hakekat pemekaran wilayah berorientasi pada peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Peran masyarakat secara jelas di atur dalam peraturan undang-undang dalam menentukan pilihan perlu atau tidaknya dilakukan pemekaran. Masyarakat juga berperan dalam pemberdayaan masyarakat supaya ada pengertian yang baik tentang keuntungan dan kelemahan pemekaran wilayah.
40
Henderina Morin-Formulasi Kebijakan Pembentukan Daerah Otonomi Baru dalam ... Dalam tahap awal. Tahap awal atau masa persiapan, kegiatan yang harus dilakukan adalah penjaringan aspirasi masyarakat.
model tersebut dikelompokkan kedalam dua model yaitu model elite dan model pluralis (Nugroho, 2012:544). Model elite merupakan model yang dipengaruhi kontinentalis yang terdiri dari model kelembagaan (institutional), model proses (process), model kelompok (group), model elit (elite), model rasional (rational), model inkremental (incremental) dan model pengamatan terpadu (mixed scanning). Sementara model pluralis yaitu model yang dipengaruhi oleh anglo-saxonis yaitu model teori permainan (game theory), model pilihan publik (pilihan publik), model sistem (system), model demok-ratis (democratic), model deliberatif (deliberative), model strategis (strategic), dan model tong sampah (garbage can). Untuk lebih memahami mengenai proses perumusan kebijakan, Nugroho (2011:551) mengemukakan Model Proses Ideal Perumusan Kebijakan yang diambil dari Pedoman Umum Kebijakan Publik yang dikembangkan untuk Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Tahun 2006 yang secara umum dapat digambarkan secara sederhana dalam urutan proses sebagai berikut 1. Munculnya isu kebijakan. Isu kebijakan dapat berupa masalah dan atau kebutuhan masyarakat dan atau negara, yang bersifat mendasar, mempunyai lingkup cakupan yang besar, dan memerlukan pengaturan pemerintah. 2. Setelah pemerintah menangkap isu tersebut, perlu dibentuk tim perumus kebijakan. Tim kemudian secara paralel merumuskan naskah akademik dan atau langsung merumuskan draf nol kebijakan. 3. Setelah terbentuk, rumusan draf nol kebijakan didiskusikan bersama forum publik, dalam jenjang sebagai berikut : a. Forum publik yang pertama, yaitu para pakar kebijakan dan pakar yang berkenaaan dengan masalah terkait. b. Forum publik kedua, yaitu dengan instansi pemerintah yang merumuskan kebijakan tersebut.
3.
Peran Daerah Induk Peran Bupati sebagai kepalla daerah di kabupaten induk, yaitu, Memberikan rekomendasi dan mendukung rencana pemekaran. wilayah beradasarkan aspirasi, melakukan hering dengan daerah persiapan, memberikan persetujuan dan mengajukan permohonan kepada gubernur dan mendagri untuk dapat mengabulkan rencana pemekaran wilayah, menetapkan Liason officer sebagai wakil daerah induk untuk melakukan komunikasi intensif dengan berbagai pihak yang terkait baik ditingkat daerah, provinsi, maupun pemerintah pusat, memfasilitasi kunjungan tim observasi dari pemerintah pusat dan DPR-RI, mengalokasikan anggaran bagi kegiatan pemekaran. Peran DPRD dalam pemekaran wilayah yaitu: Memberikan reko-mendasi dan dukungan politik terhadap rencana pemekaran, membentuk pansus (Panitia khusus) yang akan melakukan pembahasan tentang rencana pemekaran wilayah, mengeluarkan surat keputusan persetujuan dan dukungan terhadap pemekaran wilayah, mengeluarkan surat keputusan tentang calon ibu kota dan dukungan pembiayaan dalam masa persiapan sampai pada proses pembentukan DPRD dan Pemilihan Kepala Daerah, memberikan rekomendasi sekaligus permohonan kepada DPR Provinsi untuk dapat memberikan persetjuan terhadap rencana pemekaran wilayah. 4.
Peran Provinsi Peran Provinsi dalam pemekaran wilayah yaitu: Memberikan rekomendasi dan persetujuan tentang pemekaran wilayah, serta menindaklanjutinya dengan mengajukan permohonan persetujuan dari pemerintah pusat, dan Memfasilitasi serah terima asset antara daerah induk dengan daerah baru. III. Analisis A. Formulasi Kebijakan Publik Pada dasarnya ada empat belas macam model perumusan kebijakan, dan keempat belas
41
Jurnal Ekologi Birokrasi, Vol.1, No.1. Februari 2015 c. Forum publik yang ketiga dengan para pihak yang terkait atau yang terkena impact langsung kebijakan, disebut juga benificiaries. d. Forum publik yang keempat adalah dengan seluruh pihak terkait secara luas, menghadirkan tokoh masyarakat, termasuk didalamnya lembaga swadaya masyarakat yang mengurusi isu terkait. Hasil diskusi publik ini kemudian dijadikan materi penyusunan pasal-pasal kebijakan yang akan dikerjakan oleh tim perumus. Draf ini disebut Draf 1. 4. Draf 1 didiskusikan dan diverifikasi dalam focused group discussion yang melibatkan
Implement the preferred policy
dinas/ instansi terkait, pakar kebijakan, dan pakar dari permasalahan yang akan diatur. 5. Tim perumus merumuskan Draf 2, yang merupakan Draf Final dari kebijakan. 6. Draf final kemudian disahkan oleh pejabat berwenang, atau, untuk kebijakan undangundang, dibawa ke proses legislasi yang secara perundang – undangan telah diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011. Formulasi kebijakan yang digambarkan Carl Patton dan David Savicky (1993,3) sebagai berikut:
Define the problem
Select preferred policy
Determine evaluation criteria
Evaluate alternative Gambar, model rasional sederhana Patton-Savicky
Model tersebut adalah model yang paling klasik yang menjadi acuan sebagian besar pengambilan kebijakan. Perumusan atau formulasi kebijakan berjalan seperti itu, apapun modelnya. Dalam membuat keputusan, pasti kita melakukan terlebih dulu identifikasi masalah, dilanjutkan dengan memilih criteria untuk mengevaluasi permasalahan untuk menuju pada pilihan-pilihan pemecahan masalah yang disebut pilihan atau alternatif-alternatif kebijakan. Langkah selanjutnya adalah menilai seluruh alternatif tersebut, termasuk memberikan bobot dan ranking dari masingmasing alternatif. Penilaian tersebut menghasilkan satu alternatif yang terbaik dibanding yang lain untuk kemudian dipilih sebagai keputusan atau kebijakan. Langkah selanjutnya, implementasikan kebijakan tersebut, Sederhana, namun, kenyataannya tidak semudah itu, karena ada prosedurprosedur teknis dasar yang perlu dilakukan agar kebijakan yang dibuat adalah kebijakan terbaik. Berkaitan dengan proses perumusan kebijakan, Abidin (2012: 123) mengungkapkan bahwa proses perumusan kebijakan publik dapat didekati melalui model yang dinamakan dengan Kerangka Proses dan Lingkung-an Ke-
Identify alternative
bijaksanaan (KPLK). Kerangka proses tersebut menggambarkan proses kebijakan dalam tiga dimensi, antara lain dimensi luar, dimensi dalam dan tujuan. Diantara dimensi luar dan dimensi dalam terdapat jaringan keterkaitan (linkages). Elemen luar adalah bagian luar dari suatu organisasi yang mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap rumusan kebijakan. Dimensi dalam adalah bagian dalam dari dalam suatu organisasi, elemen-elemen yang berada di dalam sistem ini terdiri atas struktur organisasi, sumber daya manusia, dan sarana organisasi, termasuk peralatan dan teknologi yang dikuasainya. Keterkaitan atau linkages, yaitu pertama keterkaitan yang ditujukan untuk memperoleh dukungan keabsahan atau legitimasi (enabling linkages), kedua adalah keterkaitan sumber daya yang diperlukan dalam perumusan kebijakan. Terkait dengan sumber daya yang diperlukan dalam proses kebijakan, Riant Nugroho (2011: 506) mengemukakan terdapat keterbatasan sumber daya dalam proses kebijakan publik, adapun keterbatasan tersebut antara lain keterbatasan sumber daya waktu, kemampuan
42
Henderina Morin-Formulasi Kebijakan Pembentukan Daerah Otonomi Baru dalam ... sumber daya manusia, keterbatasan kelembagaan, keterbatasan dana atau anggaran, dan keterbatasan yang bersifat teknis yaitu kemampuan menyusun kebijakan itu sendiri. Dalam membicarakan peru-musan kebijakan publik, adalah penting untuk melihat siapakah aktor-aktor yang terlibat di dalam proses perumusan kebijakan tersebut. Winarno (2012: 126) membagi aktor-aktor atau pemeran serta dalam proses pembentukan kebijakan dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni para pemeran serta resmi dan pemeran serta tidak resmi.
dan secara langsung atau melalui media massa menyampaikan tuntutannya kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan publik yang diperlukan. Peran sistem politik adalah untuk memanajemeni konflik yang muncul dari adanya perbedaan tuntutan, melalui cara-cara berikut: a. Merumuskan aturan main antara-kelompok kepentingan. b. Menata kompromi dan menye-imbangan kepentingan. c. Memungkinkan terbentuknya kompromi dalam kebijakan publik (yang akan dibuat). d. Memperkuat kompromi-kompromi tersebut. Model Teori Kelompok sesung-guhnya merupakan abtraksi dari proses formulasi kebijakan yang didalamnya beberapa kelompok kepentingan berusaha mempeng-aruhi isi dan bentuk kebijakan secara interaktif. (Wibawa, 1994,9). Model proses dapat digambarkan secara sederhana sebagai berikut:
B. 1.
Model Rumusan Kebijakan Model Teori Kelompok Model pengambilan kebijakan teori kelompok mengandikan kebijakan sebagai titik keseimbangan (equilibrium). Inti gagasannya adalah bahwa interaksi dalam kelompok akan menghasilkan keseim-bangan, dan keseimbangan adalah yang terbaik. Individu dalam kelompok-kelompok kepentingan berinteraksi baik secara formal maupun informal,
Pengaruh Tambahan
Pengaruh Grup A
Kebijakan Publik
Posisi Kebijakan Alternatf
perubahan kebijakan
Ekuilibrium 2.
Model Teori Elite Model teori elite berkembang dari teori politik elite massa yang melandaskan diri pada asumsi bahwa dalam setiap masyarakat pasti terdapat dua kelompok, yaitu pemegang kekuasaan dan elite dan yang tidak memiliki kekuasaan atau massa. Teori ini mengembangkan diri pada kenyataan bahwa sedemokratis apapun, selalu ada bias dalam formulasi kebijakan karena pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang dilahirkan
Kata kunci dari model ini adalah “ akses”, artinya hanya mereka-mereka yang mempunyai akses terhadap kelompok-kelompok tersebut yang dapat terlibat dalam proses perumusan kebijakan. Kebijakan public menjadi ajang dan cerminan perebutan kepentingan dari kelompok-kelompok yang dominan (Anderson, 2011:2).
43
Jurnal Ekologi Birokrasi, Vol.1, No.1. Februari 2015 merupakan preferensi politik dari para elitetidak lebih Ada dua penilaian dalam pendekatan ini, negatif dan positif. Pandangan negatif dikemukan bahwa pada akhirnya dalam system politik, pemegang kekuasaan politiklah yang akan menyelenggarakan kekuasaan sesuai dengan selera dan keinginannya. Dalam konteks ini rakyat dianggap sebagai kelompok yang sengaja dimanipulasi sedemikian rupa agar tidak masuk dalam proses formulasi kebijakan. Panda-ngan positif melihat bahwa seorang elite
menduduki puncak kekuasaan karena berhasil memenangkan gagasan membawa Negara bangsa ke kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan persaingnya. Pemimpin (atau elite) pasti mempunyai visi tentang kepemimpinannya, dan kebijakan public adalah bagian dari karyanya untuk mewujudkan visi tersebut menjadi kenyataan. Konsepsinya dapat dilihat pada gambar berikut:
Elite Arah Kebijakan
Eksekusi kebijakan
Administrator
Massa Gambar. Model Elite
Pada gambar tersebut tampak bahwa elite secara top down membuat kebijakan public di implementasikan oleh administrator public kepada rakyat banyak atau massa. Pendekatan ini dapat dikaitkan dengan paradigma pemisihan antara poltik dan administrasi yang diikonkan dalam konstanta where politics end, administration begin. Jadi model elite merupakan abtraksi dari proses formulasi kebijak-an karena kebijakan public merupakan perspeksi elite politik. Prinsip dasarnya adalah karena setiap elite politik ingin mempertahankan status quo, maka kebijakannya menjadi bersifat konservatif. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh para elite politik tidaklah berarti selalu mementingkan kesejahteraan masyarakat. Dalam Kenyataannya Pembuatan Formulasi Kebijakan Pembentukan Daerah Otonomi Baru di Provinsi Papua syarat dengan nilai kepentingan politik yang dilakukan oleh Para elite Politik yang kedudukan dalam pemerintahan (Esekutif) dan Partai Politik dalam Keterwakilan masyarakat di legislative adalah sebagai actor dalam peng-
ambilan keputusan. Ketika Pemekaran atau pembentukan daerah otonomi baru turun dalam bentuk undang-undang, dan calon kabu-paten baru berada dalam area atau kawasan konservasi maka, akan timbul masalah antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Kawasan Konservasi yang ada di Indonesia itu telah dipetakan oleh pemerintah pusat dan didaftarkan masuk dalam situs internasional, pemetaan kawasan konservasi berlaku untuk semua provinsi yang ada di Indonesia. Kebijakan public senantiasa berinteraksi dengan dinamika kondisi politik, ekonomi, social, dan kultural tempat kebijakan itu eksis. Kebijakan public dengan demikian juga mencerminkan dinamika Negara dan bangsa yang bersangkutan. Dengan melihat dinamika kebijakan maka haruslah ada perumusan kebijakan pembentukan otonomi baru dalam kawasan konservasi memberikan pelayanan public kepada masyarakat baik melalui, aspek politik, aspek ekonomi, aspek sosial dan kultural yang dapat mensejahterakan masyarakat lewat otonomi daerah atau pemben-tukan daerah otonomi baru. Kenya-
44
Henderina Morin-Formulasi Kebijakan Pembentukan Daerah Otonomi Baru dalam ... taan yang terjadi di Papua dengan maraknya pembentukan daerah otonomi baru adalah, pelayanan tidak optimal, tidak efisien, masyarakat masih hidup dalam ketertinggalan, akses yang tidak tersedia untuk menghubungan masyarakat yang ada di kabupaten induk dengan kabupaten pemekaran, dan lebih parahnya adalah lahirnya raja-raja kecil dan membuka peluang yang sangat besar untuk penyalahgunaan keuangan Negara (korupsi). Sehingga Dunn mengemukan bahwa analisis kebijakan bermula ketika politik praktis harus dilengkapi dengan pengetahuan agar dapat memecahkan masalah public yang terjadi dalam formulasi kebijakan pembentukan daerah otonomi baru dalam kawasan konservasi.
di daerah, yang berhubungan langsung dengan kawasan konservasi. Penggunaan UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi khusus Bagi Provinsi Papua, dalam mengelolah dan pemanfaatan hutan yang ada di Provinsi papua. Kabupaten/ Kota yang ada di Provinsi Papua harus mempunyai RTRW yang digunakan untuk pembangunan ekonomi maupun pembangunan berkelanjutan. Pemerintah Provinsi Papua juga harus jeli dan tegas dalam menyikapi masalah-masalah pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat Papua secara umum dan masyarakat Nduga secara khusus. Pemekaran atau pembentukan daerah otonomi baru bukanlah solusi dalam menyelsaikan masalah pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, ada cara lain yang bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah pelayanan publik dan menciptakan kesejahteraan masyarakat yaitu cara, mendekatkan pembangunan kepada masyarakat (akses).
IV. Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan Pemerintah Pusat jangan dengan kekuasaan otoriter mengeluarkan Perundangundangan yang berlaku serempak di Indonesia (khususnya Undang-undang kehutanan, konservasi), harus juga melihat kondisi daerah lain yang ada di masing-masing provinsi, Khususnya Papua. Kawasan konservasi untuk Provinsi Papua khususnya Kabupaten Nduga, di sesuaikan dengan wilayah pemanfaatan dengan melihat batas-batas antara kawasan konservasi dan bukan kawasan konservasi. Kebijakan Lokal Pemerintah Daerah Kabupaten akan berguna untuk pemanfaatan wilayah yang bukan dan tidak berada dalam kawasan konservasi. Dalam Pengambilan Keputusan tentang perumusan kebijakan pemerintah pusat harus kembali melihat berdasarkan kebutuhan daerah bukan karna kepentingan sekelompok orang atau kelompok pejabat elite dalam pengusulan pemakaran maupun pembentukan daerah otonomi baru dalam kawasan konservasi. Pemberian DOB bagi Calon kabupaten harus berdasarkan prosedur mekanisme, dan peraturan yang berlaku secara universal, untuk semua provinsi yang ada di Indonesia.
References Agus Dwiyanto. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Balai Besar KSDA Papua Barat. 2008. Kondisi dan Permasalahan Kawasan Konservasi Di Papua dan Papua Barat. Budi Winarno. 2005. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo. Dunn, William N.. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Effendy, Arif Roesman. 2008. ”Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota”. Summary Report. Melalui: http: //pustakaonline.wordpress.com (14/11/2008). Muluk, M.R Khairul. 2007. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Malang: Bayumedia Publishing. Moeljarto Tjokrowinoto. 1996. Pembangunan Dilema & Tantangan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
B.
Saran Pemerintah Provinsi Papua harus mempunyai kebijakan yang bisa digunakan sebagai dasar hukum dalam pelaksanaan pemerintahan
45
Jurnal Ekologi Birokrasi, Vol.1, No.1. Februari 2015 Nicholson-Crotty, Sean. 2005. Bureaucratic Competition in the Policy Process. The Policy Studies Journal. Research Library Core. Patten, Steve. 2001. Democratizing the Institutions of Policy-making: Democratic Consultation and Participatory Administration. Journal of Canadian Studies.
Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Stiglitz, Joseph. 1999. Participation And Development: Perspectives From The Comprehensive Development Paradigm. Seoul, Korea Stockwell, Ross G.. 1997. Effective Communication in Managing Conflict. CMA Magazine. Subarsono, AG. 2005. Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tri Widodo Wahyu Utomo. 2000. Pengantar Kebijakan Publik. STIA LAN Bandung. Yeremias T.Keban. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik (Konsep, Teori dan Isu). Yogyakarta: Gava Media. Lain-lain : Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Peraturan Menpan Nomor: PER/04/M.PAN/ 4/2007 tentang Pedoman Umum Formulasi, Implementasi, Evaluasi Kinerja, Dan Revisi Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : 050188/Kep/Bangda/2007 Tentang Pedoman Penilaian Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah/RPJMD) Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 050/2020/Sj Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan RPJP Daerah dan RPJM Daerah.
Pratikno. 2008. “Usulan Perubahan Kebijakan Penataan Daerah (Pemekaran dan Penggabungan Daerah)”. Policy Paper. Melalui:
[email protected] Prasojo, Eko. 2008. “Jorjoran Pemekaran Daerah: Instrumen Kepentingan Ekonomi Politik”. Dalam Opini Jawa Pos: Selasa 11 November. Riant Nugroho Dwijowijoto. 2001. Reinventing Indonesia, Menata Ulang Manajemen Pemerintahan Untuk Membangun Indonesia Baru dengan Keunggulan Global. Jakarta: PT Elex Media Computindo.______. 2003. Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. Jakarta: Gramedia_________. 2009. Public Policy, Teori Kebijakan, Analisis Kebijakan, Proses Kebijakan, Perumusan, Implementasi, Evaluasi, Revisi Risk Management Dalam Kebijakan Publik, Kebijakan Sebagai The Fifth Estate, Metode Penelitian Kebijakan. Jakarta: PT. Elex Media Computindo. Robbins, Stephen P dan Timothy A. Judge. 2008. Organizational Behavior. Jakarta: Pearson Education. Said Zainal Abidin. 2002. Kebijakan publik. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah. Samodra Wibawa. 1994. Kebijakan Publik Proses & Analisis. Jakarta: Intermedia. Soenarko. 2000. Public Policy : Pengertian Pokok Untuk Memahami dan Analisa Kebijaksanaan Pemerintah. Surabaya: Airlangga University Press. Solichin Abdul Wahab. 2004. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke
46